• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASEAN dan Institusi Kontra Terorisme di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASEAN dan Institusi Kontra Terorisme di"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Adhe Nuansa Wibisono

Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional UI NPM : 1206299023

ASEAN dan Institusi Kontra Terorisme di Asia Tenggara

Makalah Akhir – Institusi Hukum Kontra Terorisme

Terorisme di Asia Tenggara

Asia Tenggara dianggap sebagai satu kawasan yang berpotensi menyimpan fenomena radikalisme dan terorisme. Pemerintahan George W. Bush pernah menyatakan bahwa Asia Tenggara adalah “front kedua” dalam “perang melawan teror” (Gershman : 2002, Hamilton-Hart : 2005). Salah satu yang menyebabkan pandangan tersebut adalah keberadaan jaringan kelompok radikal, Al Qaeda, yang telah memperkuat jaringan regionalnya di kawasan Asia Tenggara sejak tahun 1990-an, dengan menyebarkan ideologi transnasional dan anti baratnya, yang diwakili oleh keberadaan kelompok Jamaah Islamiyah yang berasal dari Indonesia. Kelompok ini bertujuan untuk mendirikan kekhalifahan atau negara Islam di kawasan Asia Tenggara, meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina. Serupa dengan kelompok Al Qaeda, kelompok JI juga bersifat transnasional dan bahkan pada akhir 1990-an mereka memiliki mantiqi (cabang) yang beroperasi aktif hingga di Australia (Abuza : 2005, hal 43-54).

Di wilayah Filipina juga terdapat beberapa kelompok yang dianggap radikal diantaranya adalah Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan kelompok Abu Sayyaf, kedua kelompok ini bertujuan untuk mendirikan negara Islam independen terutama di propinsi-propinsi dengan mayoritas penduduk muslim di Mindanao Selatan. Dikarenakan karakter perlawanan MILF untuk melakukan perang menuntut kemerdekaan di Mindanao Selatan, pemerintah telah mengadopsi pendekatan militer yang kuat dalam melawan MILF. Pada tahun 1990-an, MILF telah meluncurkan serangkaian serangan bersenjata di wilayah Filipina Selatan, yang mengakibatkan balasan serangan militer dari tentara Filipina.

Dalam konteks politik yang seperti inilah Al Qaeda dianggap telah memberikan dukungan ideologis, finansial dan operasional terhadap jaringan kelompok radikal seperti

Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan Abu Sayyaf Group (ASG) di Filipina, Jemaah Salafiyah (JS) di Thailand, Jemaah Islamiyah (JI) dan Laskar Jundullah di Indonesia, Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia, Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO) dan

Rohingya Solidarity Organisation (RSO) di Myanmar dan Bangladesh. Selain kamp pelatihan militer yang terdapat di Afghanistan, Al Qaeda juga mengirim pelatih untuk membentuk atau melatih kamp pelatihan militer di Asia, Afrika dan Timur Tengah. Saat ini banyak kamp militer kecil yang bermunculan di sejumlah daerah-daerah konflik di kawasan tersebut sebagai kompensasi atas dikuasainya Afghanistan oleh Amerika Serikat, yang dimana diaspora ini akan menghasilkan gelombang generasi ketiga dari Muajhidin.1

Sejak akhir 1980-an terdapat adanya indikasi yang jelas bahwa Al Qaeda secara ideologis telah melakukan penetrasi dan berhasil membangun basis operasi di Asia Tenggara. Pada tahun 1988, Mohammad Jamal Khalifa, saudara ipar dari Osama bin Laden telah mendirikan cabang di Manila, Filipina dari International Islamic Relief Organization

(IIRO). Organisasi ini adalah lembaga sosial dari Arab Saudi yang memberikan bantuan kepada organisasi-organisasi Islam di Asia Tenggara, dan pada saat itu juga secara tidak

1 Rohan Gunaratna, Terrorism In Southeast Asia: Threat And Response, Center For Eurasian Policy Occasional Research Paper Series

Ii (Islamism In Southeast Asia), No. 1, (Singapore : Hudson Institute, 2006), Hal 1-2

(2)

langsung difungsikan sebagai pusat jaringan regional untuk Al Qaeda. Selain itu, pelaku pengeboman World Trade Center 1993, Ramzi Ahmed Yousef dan aktor intelektual peristiwa 9/11 Khalid Sheikh Mohammad melakukan perjalanan ke Asia Tenggara pada tahun 1994 untuk merencanakan operasi “Bojinka”, yang didalamnya termasuk pengeboman 12 maskapai penerbangan Amerika Serikat di atas Samudera Pasifik. Demikian pula, dalam kamp militer Abu Bakar pimpinan MILF, instruktur militer asal Kuwait, Omar Al Farooq, mendiirkan kamp militer Vietnam untuk melatih kelompok Asia Tenggara dalam melakukan perang gerilya dan aksi terorisme. Tujuan dari pelatihan kamp militer ini adalah untuk membentuk komitmen inti dalam operasi “pembebasan” kelompok muslim tertindas di bawah rezim pemerintahan yang didiukung AS di seluruh wilayah Asia Tenggara.2

Melalui upaya infiltrasi yang konsisten, Al Qaeda berhasil mempengaruhi tujuan politik dari kelompok-kelompok separatis dan kelompok agama di Asia Tenggara untuk memenangkan pertempuran di level teritorial dan kemudian melancarkan jihad univesal ke seluruh dunia. Sebagai contoh, Jemaah Islamiyah cabang Singapura, yang dipimpin oleh Mas Selamat Kastari, telah merencanakan untuk membajak dan menabrakkan pesawat Aeroflot dari Bangkok, Thailand kepada bandar Udara Internasional Changi di Singapura. Menurut pernyataan Kastari, pilihan menggunakan maskapai penerbangan Rusia adalah untuk memberikan pelajaran kepada Moskow atas apa yang dilakukan kepada saudara-saudara Muslim di Chechnya. Demikian pula, serangan yang di Bali dan Hotel Marriot Jakarta yang ditujukan untuk menyebabkan kematian warga sipil secara massal.

Taktik seperti ini sebelumnya tidak dikenal oleh kelompok Asia Tenggara, dan merupakan contoh yang jelas dari metodologi yang diambil dari pengaruh Al Qaeda. Kemudian dampak paling kuat dari pengaruh Al Qaeda kepada kelompok-kelompok militan Asia Tenggara adalah adanya gagasan untuk melakukan perlawanan terhadap “musuh jauh” atau seperti yang dikatakan Osama bin Laden “kepala ular” yang ditujukan kepada Amerika Serikat. Imam Samudera, anggota JI dan salah satu perencana kunci dalam serangan Bom Bali, mengungkap selama interogasinya bahwa Australia secara khusus ditargetkan dalam serangan Bali dikarenakan dukungan langsung yang didapatkannya dari Amerika Serikat.3

Al Qaeda kemudian menyerukan pembentukan Wolrd Islamic Front for Jihad against

the Jews and the Crusaders pada bulan Februari 1998, menjadikan front perlawanan ini sebagai jalur koordinasi utama bagi kelompok-kelompok perlawanan Islam di seluruh dunia. Gagasan pembentukan front ini kemudian banyak mempengaruhi kelompok-kelompok militan di Asia tenggara yang mengadaptasi ideologi dan taktik militer Al Qaeda. Penyebaran gagasan akan ideologi pemersatu Al Qaeda ditandai oleh pembentukan organisasi tingkat kawasan yang memayungi kelompok-kelompok di Asia Tenggara yaitu, Rhabitah Al Mujahidin [Legion of the Fighters of God] yang dibentuk oleh Hambali pada tahun 1999.

Beberapa kelompok seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia, menolak upaya Hambali, yang berafiliasi kepada Al Qaeda, untuk menyatukan gerakan perlawanan etno-nasionalis yang mereka selama ini usung berubah masuk menjadi organisasi regional dengan tujuan yang universal. Respon yang berbeda diberikan oleh Moro Islamic Liberation Front (MILF), yang sempat menyetujui kerjasama dengan Jemaah Islamiyah dan Al Qaeda dalam melakukan perlawanan politik dan aliansi dengan kelompok-kelompok militan lainnya di Asia Tenggara.4 Konsekuensi yang dihasilkan dari pengaruh Al Qaeda di kawasan Asia

Tenggara terlihat cukup jelas dan berdampak besar. Kasus serangan pengeboman pada Oktober 2002 di Bali dan kasus pengeboman di Konsulat AS di Denpasar, Bali dianggap

2 Rohan Gunaratna, Terrorism In Southeast Asia: Threat And Response, Center For Eurasian Policy Occasional Research Paper Series

Ii (Islamism In Southeast Asia), No. 1, (Singapore : Hudson Institute, 2006), Hal 1-2

3

Rohan Gunaratna, Terrorism In Southeast Asia: Threat And Response, Center For Eurasian Policy Occasional Research Paper Series Ii (Islamism In Southeast Asia), No. 1, (Singapore : Hudson Institute, 2006), Hal 2

4 Rohan Gunaratna, Terrorism In Southeast Asia: Threat And Response, Center For Eurasian Policy Occasional Research Paper Series

Ii (Islamism In Southeast Asia), No. 1, (Singapore : Hudson Institute, 2006), Hal 2-3

(3)

sebagai serangan pengeboman teroris kedua paling mematikan setelah peristiwa 9/11. Selanjutnya kasus pengeboman kapal Superferry 14 di Manila, Filipina adalah salah satu kasus penyerangan maritim yang paling besar hingga saat ini.5

Institusi Kontra Terorisme ASEAN

ASEAN telah mengambil langkah awal untuk menghadapi ancaman terorisme yang semakin nyata, pada 5 November 2001, ketika negara-negara anggota ASEAN menandatangani ASEAN Declaration on Joint Action to Counter Terrorism. Poin-poin utama dari deklarasi ini adalah sebagai berikut6 :

 Mengutuk peristiwa serangan 9/11 dan mempertimbangakan tindakan serangan tersebut juga bisa menimpa kita semua

 Menolak setiap upaya yang menghubungkan terorisme dengan agama atau ras manapun

 Meninjau dan memperkuat mekanisme nasional untuk memerangi terorisme

 Menyerukan untuk melakukan peningkatan pembagian informasi dan intelijen, serta

kerjasama regional pada penegakan hukum

 Menyerukan kepada negara-negara anggota ASEAN untuk menandatangani,

meratifikasi atau mengakses semua konvensi anti-terorisme yang relevan termasuk Konvensi Internasional dalam Pemberantasan Pendanaan Terorisme

Peristiwa 9/11 kemudian menyebabkan perubahan mendasar dalam cara ASEAN menangani terorisme. Pada ASEAN Ministrial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) ketiga, 11 Oktober 2011, di Singapura, para menteri negara anggota ASEAN menyatakan dalam joint communique bahwa upaya dalam memerangi kejahatan transnasional harus

memiliki fokus pada terorisme. Pada bulan Mei 2002, ASEAN menghasilkan Work Program to

Implement the Plant of Action to Combat Transnational Crime, yang didalamnya disusun seperangkat mekanisme dan strategi untuk emngatasi kejahatan transnasional di tingkat regional, termasuk di dalamnya adalah terorisme.7

Di tengah latar belakang invasi Amerika Serikat kepada Afghanistan pada Oktober 2001, para pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-7 di Brunei pada November 2001 mengutuk keras serangan 11 September di Amerika Serikat dan menyatakan akan bekerjasama dengan AS dan PBB dalam memerangi terorisme di level global. Para pemimpin ASEAN kemudian menyatakan bahwa serangan tersebut merupakan “tantangan langsung kepada upaya pencapaian perdamaian, kemajuan dan kemakmuran ASEAN dan merupakan ancaman bagi perwujuduan visi ASEAN 2020”. Dilanjutkan dengan pernyataan, “Serangan itu kemudian dianggap sebagai ancaman dan hambatan yang serius bagi masa depan ASEAN itu sendiri”.8

ASEAN sejak tahun 2002 telah berkonsentrasi untuk melakukan pembentukan kerangka kerja hukum regional untuk menyeleraskan undang-undang anti terorisme nasional sebagai dasar untuk melakukan kerjasama antar negara. Sebagai contoh pada Mei 2002,

pemerintah Indonesia, Filipina dan Malaysia menandatangani Agreement on Exchange and

Establishment of Communication Procedures, yang dimana Thailand dan Kamboja juga menyetujui perjanjian itu kemudian. Perjanjian tersebut berisikan komitmen penandatangan untuk berbagi daftar penumpang penerbangan, daftar hitam, database sidik jari yang terkomputerisasi, kemudian disertai juga latihan gabungan antar negara dan penguatan

5 Rohan Gunaratna, Terrorism In Southeast Asia: Threat And Response, Center For Eurasian Policy Occasional Research Paper Series

Ii (Islamism In Southeast Asia), No. 1, (Singapore : Hudson Institute, 2006), Hal 3

6 Jonathan Chow 309 7

Jonathan Chow, ASEAN Counterterrorism Cooperation Since 9/11, Asian Survey Vol. 45, Issue 2, Pp. 302–321, (California : University Of California Press, 2005), hal 305

8 Neal Imperial, Securitisation and the Challenge of ASEAN Counter-terrorism Cooperation, Centre of Asian Studies, (Hong Kong : The

University Of Hong Kong, 2005), hal 16

(4)

pengawasan perbatasan dengan merancang sistem titik masuk dan keluar yang standar.9

Kemudian pada tahun 2003, Thailand, Kamboja dan Brunei ikut bergabung dalam mekanisme ini.

Para pemimpin negara-negara ASEAN juga mendukung diadakannya Ad Hoc Experts

Group Meeting dan sesi khusus dari SOMTC dan AMMTC yang akan fokus dalam pembahasan terorisme dan menyerukan akan penandatanganan awal atau ratifikasi atau aksesi pada konvensi anti-terorisme, penguatan dan pertukaran informasi dan intelijen, meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara AMMTC dan entitas ASEAN lainnya dalam kaitannya untuk memerangi terorisme, dan untuk mengotimalkan mekanisme yang sudah ada, seperti

ASEAN+3 (ASEAN + China, Jepang dan Korea Selatan), ASEAN Dialogue Partners dan ASEAN

Regional Forum (ARF) “untuk membuat perang melawan terorisme menjadi upaya yang berjalan baik di tingkat regional maupun global”. Pernyataan ini kemudian berdampak pada proses “regionalisasi” terorisme yang membuatnya diakui sebagai ancaman yang membutuhkan respon kolektif dari ASEAN untuk mengatasinya secara bersama-sama. Malaysia kemudian menjadi tuan rumah bagi ASEAN Ministrial Meeting on Terrorism pada Mei 2002. Komunike bersama yang dihasilkan pada saat itu kemudian menekankan persatuan yang kohesif diantara negara anggota ASEAN agar secara efektif dapat memerangi terorisme di kawasan.10

Pada bulan Maret 2003, ARF menyelenggarakan rapat tahunan Intersessional Meeting on Counterterrorism and Transnational Crime (ISM CT-TC) di Malaysia. Langkah ini dianggap penting karena forum ini tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN tetapi juga melibatkan “dialogue partners” eksternal, sebagai sebuah upaya untuk berbagi informasi dan mengembangkan solusi penanganan terorisme. Mitra ASEAN yang kemudian masuk ke dalam forum tersebut termasuk Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, China, Australia dan Rusia. Diantara topik yang dibahas adalah metode-metode khusus untuk meningkatkan pengawasan perbatasan seperti standardisasi dokumen perjalanan dan penggunaan mesin paspor biometrik.11 ASEAN juga telah membuka jalur komunikasi dengan berbagai kekuatan

besar di dunia, seperti yang ditunjukkan dalam forum ISM CT-TC dimana ASEAN telah menyepakati deklarasi bersama untuk memerangi terorisme diantara dengan Uni Eropa (Januari 2003), India (Oktober 2003), Rusia (Juni 2004), Australia (Juni 2004) dan pertemuan tingkat menteri dalam isu kejahatan transnasional yang melibatkan China, Jepang dan Korea Selatan (AMMTC 3) untuk pertama kalinya pada Januari 2004.12

Kemudian terdapat perjanjian Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, yang ditandatangani oleh delapan negara ASEAN pada 28 November 2004. Perjanjian ini memungkinkan pada negara untuk mencari bantuan sama lain dalam penyidikan pidana yang berkaitan dalam 190 jenis pelanggaran yang berbeda, termasuk pencucian uang, pembajakan dan pembunuhan. Bantuan tersebut mencakup pertukaran bukti hukum, pelayanan dokumen hukum, dan pemulihan dari kasus kriminal tetapi tidak mencakup ketentuan untuk melakukan ekstradisi. Walau demikian, hukum domestik nasional tetap didahulukan dibandingkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut. Hal ini kemudian memberikan beberapa variasi dalam bentuk kerjasama antarnegara tetapi juga tetap tetap melindungi prinsip non-intervensi akan urusan politik dalam negeri dan kedaulatan para negara anggota ASEAN.13 Pencapaian utama ASEAN dalam kampanye

9 Jonathan Chow, ASEAN Counterterrorism Cooperation Since 9/11, Asian Survey Vol. 45, Issue 2, Pp. 302–321, (California :

University Of California Press, 2005), hal 313

10 Neal Imperial, Securitisation and the Challenge of ASEAN Counter-terrorism Cooperation, Centre of Asian Studies, (Hong Kong :

The University Of Hong Kong, 2005), hal 17

11 Jonathan Chow, ASEAN Counterterrorism Cooperation Since 9/11, Asian Survey Vol. 45, Issue 2, Pp. 302–321, (California :

University Of California Press, 2005), hal 318

12

Jonathan Chow, ASEAN Counterterrorism Cooperation Since 9/11, Asian Survey Vol. 45, Issue 2, Pp. 302–321, (California : University Of California Press, 2005), hal 318

13 Jonathan Chow, ASEAN Counterterrorism Cooperation Since 9/11, Asian Survey Vol. 45, Issue 2, Pp. 302–321, (California :

University Of California Press, 2005), hal 319

(5)

perang melawan terorisme adalah dideklarasikannya ASEAN Counter Terrorism Convention tahun 2007. ACTC ini adalah konvensi yang mengikat negara-negara anggota ASEAN dalam komitmennya untuk melakukan perang melawan terorisme. Instrumen yang dibentuk dalam ACTC ini adalah penguatan kerjasama regional, misalnya bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana dan adanya kemungkinan dalam proses ekstradisi tersangka terorisme.14

Kesimpulan

Asia Tenggara merupakan satu kawasan yang memiliki potensi radikalisme dan aksi terorisme yang cukup aktif, hal ini ditandai dengan adanya berabagi varian kelompok radikal yang tersebar di berbagai negara Asia Tenggara. Potensi ini kemudian ditandai juga dengan adanya berbagai tindakan terorisme yang ada mulai dari kasus Bom Bali , Bom JW Marriot dan Bom Kedubes Australia di Indonesia, Rencana pengeboman bandara Changi di Singapura, konflik kekerasan di Filipina Selatan dan berabagi kasus di negara Asia tenggara lainnya.

ASEAN sebagai institusi regional kemudian secara serius telah melakukan upaya-upaya kontraterorisme seperti melakukan konvensi dan kerjasama antara negara ASEAN, melakukan pertukaran informasi dan intelijen, melakukan penguatan pengawasan di perbatasan dan imigrasi, penyediaan paspor biometrik bahkan latihan-latihan operasi militer dalam kontraterorisme. Yeng kemudian menjadi perhatian adalah efektifitas ASEAN dalam seluruh proses kontraterorisme yang telah dilakukan, apakah hal itu telah dianggap efektif dalam menghentikan aksi dan tindakan terorisme di kawasan?

Selain itu pula kasus-kasus konflik etno-separatis seperti yang terjadi di Pattani (Thailand), Arakan Rohingya (Myanmar) dan Moro Mindanao (Filipina) perlu mendapatkan perhatian serius dari ASEAN agar dapat memberikan solusi yang lebih konkrit dan dapat menyelesaikan konflik etno-separatis tersebut. Karena jika kasus-kasus tersebut dimasukkan ke dalam penanganan kasus terorisme, maka dikhawatirkan akan memicu meningkatnya eskalasi konflik yang menimbulkan sentimen minoritas di negara-negara tersebut.

Terakhir, alangkah lebih baik jika ASEAN dapat meningkatkan kapasitasnya dalam penyediaan infrastruktur dalam pencegahan dan penangkalan terorisme, terutama dalam proses pengawasan di wilayah perbatasan, imigrasi dan bandar udara, sehingga arus keluar masuk para aktor teroris bisa diminimalisiir dan kemudian dapat berdampak pada menurunnya intensitas serangan yang muncul di kawasan Asia Tenggara.

Referensi

Chow, Jonathan, ASEAN Counterterrorism Cooperation Since 9/11, Asian Survey Vol. 45, Issue 2, Pp. 302–321, (California : University Of California Press, 2005)

Gerstl, Alfred, The Depoliticisation and ‘ASEANisation’ of Counter-Terrorism Policies in South-East Asia: A Weak Trigger for a Fragmented Version of Human Security, Current Research on South-East Asia, (Vienna : Society for South-East Asian Studies, 2010)

Gunaratna, Rohan, Terrorism In Southeast Asia: Threat And Response, Center For Eurasian Policy Occasional Research Paper Series Ii (Islamism In Southeast Asia), No. 1, (Singapore : Hudson Institute, 2006)

Imperial, Neal, Securitisation and the Challenge of ASEAN Counter-terrorism Cooperation, Centre of Asian Studies, (Hong Kong : The University Of Hong Kong, 2005)

14 Alfred Gerstl, The Depoliticisation and ‘ASEANisation’ of Counter-Terrorism Policies in South-East Asia: A Weak Trigger for a

Fragmented Version of Human Security, Current Research on South-East Asia, (Vienna : Society for South-East Asian Studies, 2010), hal 65

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peranan organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia dalam membangun integrasi sosial antara anggota yang

Model baru pengesahan ini dapat diterapkan secara online sehingga dalam pelaksanaanya pihak dosen yang mengajukan proposal Hibah Dikti tidak perlu bertemu pihak

Faktor kesulitan informan untuk berhenti merokok adalah diri sendiri (tidak ada keinginan yang kuat dari dalam), lingkungan, teman sebaya, orang yang menjadi panutan,

Pada gambar 2 nilai tertinggi didapatkan pada kategori unsur 3, 4 dan 6 yaitu sebesar 0,99 yang artinya dari hampir 366 orang responden menilai bahwa petugas layanan di

Setelah diperoleh nilai MSE dari penaksir rasio, penaksir regresi dan penaksir rasio regresi dengan masing-masing menggunakan dua variabel tambahan untuk rata- rata

Fasal 7(1) dan 7(2) di dalam perlembagaan ini berkenaan korum dan penangguhan Mesyuarat Agung Tahunan terpakai untuk Mesyuarat Agung Khas, tetapi dengan syarat jika korum

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengetahuan zakat, motivasi dan sosial ekonomi terhadap kesediaan dosen Universitas Tridinanti Palembang (UTP) dalam

Apakah Jerman membangun selumlah U-boat dalam ukuran besar daripada sebuah sgips besar untuk kelompok elit angkatan laut (kapal perang), dan memiliki wewenang terbatas