• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Pemeliharaan Sistem Keuangan o

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Integrasi Pemeliharaan Sistem Keuangan o"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI PEMELIHARAAN SISTEM KEUANGAN OLEH BANK INDONESIA MELALUI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

MAKROPRUDENSIAL

Disusun dalam Rangka Mengikuti :

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH (LKTI) NASIONAL ECCENT’S 6th

Oleh :

DWI WULAN RAMADANI 041114029

DEDI RAHMAN 041211331025

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

INTEGRASI PEMELIHARAAN SISTEM KEUANGAN OLEH BANK INDONESIA MELALUI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

MAKROPRUDENSIAL

Oleh :

DWI WULAN RAMADANI 041114029

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas berkah, rahmat dan ijin-Nyalah kami bisa menyelesaikan karya tulis ini dengan baik. Tak lupa pula sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing kita menuju jalan yang terang.

Isu terhangat tentang Ekonomi akhir-akhir ini mengenai urgensi akan kehadiran Otoritas Jasa Keuangan dalam upaya mengakselerasi tata kelola kebijakan ekonomi di Indonesia yang berkualitas, mendorong saya menyusun sebuah karya tulis dengan judul INTEGRASI PEMELIHARAAN SISTEM KEUANGAN OLEH BANK INDONESIA MELALUI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL. Hal ini saya angkat tak lain dan dan tak bukan hanyalah untuk menggugah perhatian para ekonom untuk terus belajar dan mendalami ilmu ekonomi dalam proses pemberntukan ekonomi yang kuat serta menciptakan stabilitas ekonomi yang konsisten di Indonesia.

Karya tulis ini tidak selesai dengan sendirinya tanpa dorongan dari orang – orang di sekitar saya, tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu terselesaikannya karya kami ini, yaitu :

1. Teman – teman Fakultas Ekonomi & Bisnis UA yang telah memberikan semangatnya.

2. Serta semua pihak yang turut membantu terselesaikannya karya ilmiah ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu.

kamipun selaku penyusun sadar bahwa karya tulis yang telah kami buat ini jauh dari sempurna, baik dalam hal isi maupun penulisannya. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan penelitian dan karya kami selanjutnya. Akhirul Kalam, kami berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Surabaya, 26 Mei 2013

(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….

KATA PENGANTAR………...

DAFTAR ISI………..

ABSTRAK……….………....

BAB I. PENDAHULUAN……….………....

1.1 Latar Belakang………...1

1.2 Rumusan Masalah………..3

1.3 Tujuan Penulisan………3

1.4 Manfaat Penulisan………..4

BAB II. LANDASAN TEORI………5

2.1 Bank Indonesia ………..………5

2.2 Sistem keuangan ………..…………..8

2.3 Kebijakan Makro Prudensial………...……...9

BAB III. METODE PENULISAN………13

3.1 Teknik Pengumpulan Data………...13

3.2 Teknik Pengolahan Data………..13

3.3 Teknik Analisis Data………13

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN………..….14

4.1Urgensi Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan………14

4.2Era Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia kini………17

4.3Implementasi Makroprudensial pada Sistem Keuangan ………18

4.4Agenda Ke Depan Terkait Dengan Kestabilan Sistem Keuangan…...22

BAB V. PENUTUP………29

5.1 Simpulan………...29

5.2 Saran……….29

(5)

ABSTRAK

Sebagai Lembaga Negara yang independen, Bank INDONESIA dituntut melakukan perubahan mendasar sesuai dengan semangat yang terkandung dalam undang-undang, yaitu independensi, transparansi, dan akuntabilitas. Sebagai institusi publik, Bank Indonesia di tuntut untuk memperbaiki good governance yang berimplikasi pada perlunya peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan kebijkan. Krisis keuangan dan moneter yang terjadi pada 1997-1999 juga mengharuskan Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk meningkatkan citra dan membangun kembali kredibilitasnya untuk meraih kepercayaan publik. Hal ini sangat di butuhkan agar efektifitas kebijakan moneter dapat terjamin. Dalam skala yang lebih luas, kredibilitas bank sentral sangat berpengaruh dalam meningkatkan kepercayaan internasional.

Gejolak nilai tukar negara-negara regional memiliki pengaruh paling utama yang menyebabkan terjadinya krisis yang berkepanjangan. Kuatnya tekanan terhadap rupiah mengakibatkan ketidakmampuan Bank Indonesia untuk menyangga pita intervensi (band intervention) yang ada sehingga sistem nilai tukar mengambang bebas (Free floating system) menjadi salah satu alternatif sistem nilai tukar yang akhirnya dipilih untuk tetap menjaga cadangan devisa. Disamping sebagai dampak dari bergejolaknya nilai rupiah, sektor perbankan mengalami krisis yang sangat mendalam karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Hal tersebut semakin diperberat oleh lemahnya kondisi internal sektor perbankan, terutama sebagai dampak dari konsentrasi kredit yang berlebihan, lemahnya manajemen bank, moral hazard yang timbul akibat mekanisme exit yang belum tegas serta belum efektifnya peagawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Mempertimbangkan dampak dan biaya / kerugian yang demikian besar terhadap perekonomian akibat instabilitas sistem keuangan tersebut serta langkah-langkah penyelesaian krisis (crisis resolution) yang juga membutuhkan waktu yang lama, maka wacana menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi perhatian yang serius dari bank sentral dan pengambil kebijakan publik di berbagai negara dewasa ini. Di Indonesia, isu stabilitas sistem keuangan tersebut kembali menguat setelah terjadinya krisis keuangan dan perbankan dalam tahun 1997-1998.

Dalam karya tulis ini kami (baca : Penulis) mencoba menggali tentang bagaimana makroprudensial bisa membantu menjaga stabilitas perekonomian di Indonesia dengan memaksimalisasi fungsi ITF (Inflation targeting framework). Dimana ITF adalah salah satu instrument yang di gunakan dalam menentukan kebijakan makroprudensial.

(6)

begitu di harapkan kami juga bisa memahami lebih dalam mengenai kebijakan makroprudensial.

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pelayanan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada masyarakat adalah produk kebijakan, antara lain berupa :

1. Stabilitas makro moneter atau stabilitas harga-harga yang secara umum dipahami masyarakat sebagai tingkat inflasi,

2. Stabilitas keuangan yang mencakup antara lain kesehatan dan kehandalan perbankan nasional sebagai lembaga intermediasi keuangan dalam rangka peningkatan kegiatan ekonomi,

3. Sistem pembayaran yang lancar dan aman serta cepat dan murah.

Ketiga produk kebijakan publik yang dihasilkan Bank Indonesia tersebut haruslah produk yang berkualitas sehingga stabilitas yang dihasilkan bukanlah stabilitas semu yang dibayar dengan harga yang sangat mahal oleh perekonomian, yang pada gilirannya juga ditanggung oleh masyarakat.

Untuk mendapatkan kebijakan atau produk yang berkualitas seperti itu maka yang pertama dan yang utama Bank Indonesia haruslah menjadi lembaga pembuat kebijakan publik yang kredibel dan dihormati. Bank Indonesia yang tidak kredibel dan tidak dihomati akan sulit untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat; sementara kita mengetahui bahwa kepercayaan adalah penopang utama apakah kebijakan itu akan efektif dilaksanakan atau tidak.

(8)

atau berperilaku, yang terdiri atas Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas, dan Kebersamaan.

Adanya kencenderungan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2012 ini membuat Bank Indonesia mengeluarkan aturan makroprudensial guna memperkuat sistem keuangan dari ancaman risiko sistemik, akibat pengaruh krisis keuangan Eropa.

Hal ini disampaikan Deputi Direktur Grup Stabilitas Sistem Keuangan Direktorat Peneliti dan Pengaturan Bank Indonesia bahwa berdasarkan amandemen undang-undang Bank Indonesia, makroprudensial itu merupakan kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan kita, dan untuk mencegah serta mengurangi risiko sistemik yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi keuangan dan moneter. Jadi seperti Antibodi pada sistem kekebalan tubuh.

Peraturan ini sendiri, akan digunakan Bank Indonesia untuk pengawasan sektor tertentu dengan monitoring likuiditas harian, kajian stabilitas keuangan, riset laporan pengawasan perbankan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang mengalami cenderung melambat karena perlambatan ekonomi global yang berdampak ke ekspor Indonesia.

Inflation Targeting Framework (ITF) yang dikenalkan Bank Indonesia sejak Juli 2005 telah menjadi praktek kebijakan moneter beberapa Negara seperti New Zealand, Australia, Inggris, Kanada, Korea Selatan dan Amerika Serikat sejak Bernanke menggantikan Greenspan. Para pendukung ITF percaya bahwa dengan menetapkan besaran target inflasi di awal tahun atau akhir tahun untuk ekspektasi inflasi tahun berikutnya, kebijakan ekonomi-makro yang mendukung pertumbuhan ekonomi dapat diharapkan lebih stabil, sustainable, transparent dan yang lebih penting tanpa kuatir atas perubahan tingkat inflasi yang terlalu besar. Dengan target inflasi, Bank Indonesia dan Pemerintah tentu (seharusnya) akan bekerjasama secara erat agar target itu betul-betul dapat tercapai.

(9)

ekspektasi inflasi mendekati target inflasi yang telah ditetapkan. Sebutlah, misalnya, bila tingkat inflasi (aktual) berada di atas target, maka kebijakan Bank Indonesia selayaknya menaikkan suku bunga (dalam hal ini SBI), sebaliknya bila inflasi berada di bawah target, suku bunga dapat segera diturunkan. Dengan pola ini, target inflasi adalah fokus kebijakan moneter (dan seharusnya juga fiskal). Dengan kepercayaan target inflasi akan “pasti” tercapai, perilaku spekulatif pelaku ekonomi akan semakin ditekan seminimal mungkin dan perekonomian berkembang secara rasional.

Dari ketiga hal tersebut (Bank Indonesia, Kebijakan Makroprudensial, dan Inflation Targeting Framework), kami menganggap bahwa kesemuanya adalah hal yang menarik untuk di bahas dalam sebuah wacana, untuk itulah kami ingin mambahas bagaimana ITF (Inflation Targeting Framework) bisa menjadi instrument makroprudensial dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi di Indonesia di era OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

1.2Rumusan Masalah

Melalui latar belakang di atas, kami mengajukan rumusan masalah sebagai berikut;

1. Bagaimana Peran Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya di Era OJK (Otoritas Jasa Keuangan)?

2. Kebijakan Makroprudensial yang bagaimana saja yang bisa memelihara kestabilan system keuangan negara yang paling tepat di terapkan di indonesia?

3. Se-baik apakah ITF (Inflation Targeting Framework) bisa menjawab dan member solusi akan stabilitas system keuangan?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut;

(10)

2. Mendalami pengetahuan tentang kinerja Bank Indonesia, kebijakan makroprudensial, dan ITF sebagai solusi atas penjagaan stabilitas system keuangan negara.

3. Memberikan gambaran mengenai bagaimana teknis pelaksanaan dari kebijakan yang di ambil oleh negara sebagai upaya menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.

4. Mengambil kesimpulan tentang konsep pengelolaan keuangan negara yang di lakukan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di negara Indonesia.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang bisa kita ambil dalam penulisan karya tulis tentang integrasi pemeliharaan sistem keuangan oleh bank indonesia melalui implementasi kebijakan makroprudensial adalah;

1. Mendapatkan pemahaman konseptual yang lebih mendalam mengenai system kebijakan makroprudensial dalam menjaga stabilitas keuangan negara.

2. Memberikan sebuah karya mengenai kajian kebijakan makroprudensial menggunakan instrument ITF (inflation targeting framework).

3. Memberikan informasi kepada para pembaca mengenai kinerja Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan negara.

(11)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Bank Indonesia

Bank sentral mempunyai peran yang sangat strategis bagi masyarakat pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Yang paling mendasar adalah perannya dalam mencetak dan mengedarkan uang. Bank sentral merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan mata uang sebagai alat pembayaran yang sah di suatu negara. Peran ini vital karena begitu penting dan luasnya fungsi uang dalam perekonomian.

bank sentral ini mulanya berkembang dari suatu bank yangmempunyai tugas sebagaimana yang di lakukan bank-bank pada umumnya. Secara gradual bank tersebut di beri tugas dan tanggung jawab yang lebih besar di bandingkan dengan bank lainya, seperti menerbitkan uang kertas dan bertindak sebagai agen dan banker pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, bank yang kemudian di kenal dengan bank sentral selain memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih besar, juga terlepas dari beberapa tugas dan tanggung jawab bang pada umumnya.

Pada awalnya bank sentral di sebut sebagai bank of issue „bank sirkulasi‟ karena tugasnya yang harus mempertahankan konversi uang kertas yang di kkeluarkanya terhadap emas atau perak, atau keduanya. Dalam perkembangan selanjutanya bank sirkulasi ini menjalankan fungsi lain, seperti untuk mengawasi dan mengatur perbankan, untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dengan mengatur jumalh uang beredar, atau bertanggung jawab dalam penyelenggaraan system pembayaran.

(12)

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, misalnya sering pula diikuti dengan peningkatan harga-harga (inflasi) yang tinggi. Hal ini di sebabkan oleh menguatnya permintaan di dalam negeri sehubungan dengan meningkanya pendapatan masyarakat sebagai dampak pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Inflasi yang tinggi berkelanjutan dan tidak terkendali pada giliranya akan menganggua kesinambungan pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Selanjutanya, dengan di berlakukanya UU No. 23 Tahun 1999, kedudukan Bank Indonesia selaku bank sentral republik Indonesia telah di pertegas kembali. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia mempunyai kedudukan yang independen sebagaimana bank-bank sentral di beberapa negara seperti amerika serikat, chili, Filipina, inggris, jepana, jerman, korea selatan, dan swiss. Sebagai suatu otoritas moneter yang independen, bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter dan melaksanakan kebijakan yang telah di tetapkan dalam pelaksanaan tugasnya tanpa campur tangan pihak luar bank Indonesia. dalam kaitan ini,u bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan setiap bentuk campur tangan atau intervensi dari pihak luar bank indoneisa. Dengan independensi tersebut, bank Indonesia selaku otoritas moneter di harapkan dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif.

Bedasarkan UU No. 23 Tahun 1999, bank Indonesia di nyatakan sebagai badan hukum. Dengan status tersebut, bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum termasuk mengelola kekayaan sendiri terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu bank Indonesia juga berwenang membuat peraturan yang mengikat masyarakat luas sesuai dengan tugas dan kewenanganya dan dapat bertindak atas namanya sendiri di dalam dan di luar pengadilan.

Secara konseptual, Erman Munzir (1996) menjelaskan peranan perbankan di Indonesia sebagai berikut:

(13)

2. Lembaga moneter, karena perrbankan menciptakan uang dan menentukan suku bunga serta bertindak sebagai saluran atau sarana untuk pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter dan perbankan.

3. Lembaga penyelenggara sistem pembayaran, karena memberikan dan menciptakan jasa untuk pembayaran secara nasional dan internasional. 4. Lembaga pendorong ekonomi nasional, karena berperan mendorong

kegiatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi.

Sedangkan peranan bank sentral adalah mengendalikan penawaran uang adalah sebagai berikut:

1. Operasi pasar terbuka (open market operations) adalah pembelian dan penjualan obligasi pemeruintah oleh bank sentral. Ketika bank sentral membeli obligasi dari masyarakat, basis moneter dan penawaran uang meningkat. Ketika bank sentral menjual obligasi kepada masyarakat maka basis moneter dan penawaran uang menurun.

2. Tingkat diskonto (discount rate) adalah tingkat bunga yang dikenakan bank sentral ketika memberi pinjaman kepada bank-bank.

3. Cadangan yang disyaratkan (reserve requirement) adalah peraturan bank sentral yang menuntut bank-bank untuk memiliki rasio deposit cadangan minimum.

4. Himbauan moral (MoralHazard)

Ketiga instrumen di atas digunakan oleh otoritas moneter untuk menjaga kestabilan moneter dalam perekonomian suatu negara.

(14)

oleh mayoritas perbankan di Indonesia sering mengabaikan prisnsip-prinsip

healthy banking’. Tingginya kredit macet, pelanggaran, BMPK, tidak

dipenuhinya ketentuan reserve requirement (RR), Loan to Deposits Ratio (LDR), kecukupan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) merupakan persoalan-persoalan umum yang sering dijumpai dalam praktik perbankan di Indonesia. Belum lagi persoalan lemahnya profesionalisme manajemen bank tersebut dalam masalah pengelolaan termasuk pengelolaan yang tidak memperhatikan ketentuan „prudential banking‟.

Bank Indonesia menetapkan kebijakan ekonomi moneter bersama dengan menteri keuangan melalui Gubernur Bank Indonesia. Misalnya melalui Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia mengenai Koordinasi Pengelolaan Uang Negara. Keputusan itu mengatur tindakan makroprudensial seperti jumlah cadangan uang dan valuta asing Bank Indonesia serta tingkta bunga simpanan dan pinjaman yang ditetapkan secara resmi oleh Bank Indonesia bersama menteri keuangan.

2.2 Sistem Keuangan

Sistem keuangan, yang terdiri dari otoritas keuangan, sistem perbankan, dan sistem lembaga keuangan bukan bank, pada dasarnya merupakan tatanan dalam perekonomian suatu negara yang memiliki peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan. Fasilitas jasa keuangan tersebut diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan, termasuk pasar uang dan pasar modal. Sistem keuangan dapat diartikan sebagai kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan-peraturan, dan teknik-teknik di mana surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga ditetapkan, dan jasa-jasa keuangan (financial services) dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh bagian dunia (Peter S. Rose, 7th edition 2000).

(15)

Dalam perjalanan sejarah sektor keuangan Indonesia, sistem keuangan mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat fundamental terutama setelah memasuki era deregulasi pada akhir dekade 1980-an yang kemudian berlanjut dengan diundangkannya beberapa undang-undang di bidang keuangan dan perbankan.

Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yang mempunyai dana (surplus of funds) kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana (lack of funds). Apabila sistem keuangan tidak bekerja dengan baik maka perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai.

Dalam sistem keuangan tersebut, keberadaan lembaga perbankan khususnya bank umum menjadi sangat penting bahkan merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara. Oleh karena itu kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional sangat dipengaruhi oleh kestabilan dan kekuatan sistem keuangan.Hal ini dikarenakan fungsi yang dimiliki bank sebagai lembaga keuangan.

2.3 Kebijakan Makroprudensial

Kebijakan Makroprudensial merupakan kebijakan restrukturisasi sebagai kebijakan makro ekonomi yang ditujukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat melalui perlindungan dan penjaminan dana pihak ketiga, terutama juga untuk melindungi bank-bank sehat dari akibat penularan bank-bank yang sakit. Dengan demikian sistem pembayaran akan kembali lancar sehingga aktivitas perekonomian dan perekonomian menuju recovery. (Heru Kurnianto Tjahjono)

(16)

1. Merumuskan landasan hukum berupa Undang-Undang Perbankan (UU No. 10/98) sebagai perangkat yang akan menjamin legalitas upaya-upaya yang dilakukan melalui Restrukturisasi Perbankan. Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan mengenai pemberian otoritas penuh terhadap BI dalam aspek regulasi dan supervisi. Selain itu peningkatan „share‟ kepemilikan asing juga dimungkinkan. Bank-bank nasional melalui ketentuan baru tersebut juga diberikan ijin untuk beroperasi sebagai bank syariah (berdasarkan konsep bagi hasil).

2. Pengambilalihan aset-aset bermasalah dari bank dan menyerahkannya pada institusi khusus yang dibentuk untuk meningkatkan value dari asset tersebut, yaitu (Asset Management Unit). Upaya ini ditujukan untuk mengentaskan bank-bank dari masalah kualitas asset yang buruk karena NPL (Non Performing Liabilities) bank-bank tersebut dikeluarkan dari neraca bank, sehingga bank-bank tersebut tidak dihadapkan pada masalah kewajiban pembentukan cadangan.

3. Melakukan Corporate Restructuring. Sebaik apapun upaya pemulihan kesehatan perbankan namun jika kondisi dunia usaha tidak ikut dibenahi, maka upaya tersebut akan menjadi sia-sia belaka. Hubungan antara sektor riil (dunia usaha) dengan sektor perbankan adalah „ibarat telur dan ayam‟. Sektor riil yang tidak produktif tidak dapat memanfaatkan lembaga bank sebagai intermediary institution. Oleh karena itu penataan kembali rules of the games dalam dunia usaha harus menjadi agenda penting program restrukturisasi perbankan.

(17)

terhindar dari insolvency karena rasio CAR-nya akan meningkat. Namun demikian, program rekapitalisasi mensyaratkan penyetoran 20% fresh

money dari pemegang saham lama, sebab maksimum penyertaan

pemerintah hanya 80%. Dalam skenario tersebut dimungkinkan juga masuknya investor baru baik lokal maupun asing untuk mengambilalih tugas pemegang saham lama jika tidak mampu menyetor 20%.

5. Reformasi dalam hal supervisi dan regulasi untuk memperbaik dan meningkatkan efisiensi dan keefektifan peran dan fungsi bank sentral sebagai pengawas dan pembina bank-bank komersial. Dengan terjadinya seleksi alam melalui program restrukturisasi perbankan tersebut nantinya jelas akan lebih sedikit bank-bank yang beroperasi. Di tinjau dari aspek span of control, kondisi tersebut akan menguntungkan bank sentral dalam melakukan pengawasan mengingat keterbatasan SDM yang dimiliki. Dengan semakin sedikit jumlah bank yang harus diawasi oleh Bank Indonesia diharapkan kualitas pengawasan akan meningkat dan muaranya adalah peningkatan kualitas dan kinerja bank-bank nasional Indonesia.

Ciri – ciri kebijakan ekonomi makroprudensial:

a. Penyaluran kredit perbankan ke sektor yang tepat dan mendatangkan profit yang menjanjikan bagi perbankan.

b. Kebijakan tersebut memerhatikan faktor politik, hukum, dan sosial yang ikut dipengaruhi oleh sektor kebijakan ekonomi melalui naik atau turunnya suku SBI.

c. Berorientasi kepada stabilitas keuangan yang merata di sektor pemerintah, perbankan, dan masyarakat pengguna jasa keuangan.

d. adanya rule yang dikomunikasikan dalam awal penerapan. Namun, tetap membuka ruang untuk melakukan diskresi apabila terjadi shock dalam perekonomian.

(18)

prosiklikalitas. Prinsipnya adalah bagaimana mendorong institusi keuangan untuk mempersiapkan bantalan (buffer) yang cukup di saat perekonomian sedang baik, yaitu ketika ketidak seimbangan dalam sistem keuangan umumnya terjadi, dan bagaimana menggunakan bantalan tersebut.

(19)

BAB III

METODE PENULISAN

3.1. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan karya tulis ini menggunakan satu jenis data yakni data sekunder. Data sekunder tersebut berupa kepustakaan yang berasal literatur keilmuan, makalah, jurnal penelitian, artikel–artikel ilmiah dari sumber yang kredibel dan internet.

3.2. Teknik Pendekatan Masalah

Penulisan karya tulis ini menggunakan pendekatan konseptual dengan memadukan data-data kepustakaan yang dimiliki. Penulisan ini menggunakan bahan ilmu sosial, ekonomi, hukum, dan berita aktual.

3.3. Teknik Analisis Data

(20)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1Urgensi Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

Sistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.

a. Asimetari Informasi : Sumber Instabilitas Sistem Keuangan

Telah dipahami bahwa sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yangberkelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana. Apabila system keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai. Salah satu masalah krusial dalam sistem keuangan yang dapat menjadi sumber instabilitas keuangan yaknimenyangkut terjadinya asimetri / ketidaksamaan informasi (asymmetric information) yakni suatu situasi dimana satu pihak yang terlibat dalam kesepakatan keuangan tidak memilikiinformasi yang akurat dibanding pihak lain. sebagai contoh, peminjam (debitur) biasanyamemiliki informasi yang lebih baik keuntungan dan kerugian potensial dari suatu proyek.Investasi yang direncanakan dibandingkan dengan pihak pemberi pinjaman (kreditur).Dengan demikian, kreditur tidak dapat membedakan antara pinjaman yang sehat dantidak sehat.

(21)

Asimetri informasi ini juga menggambarkan dampak lanjutan dari krisis finansial pada perekonomian misalnya dalam kondisi suku bunga naik, mungkin berakibat pada adverseselection sehingga mengakibatkan penurunan penawaran kredit oleh bank. Demikian pulakondisi penurunan nilai agunan yang menyebabkan timbulnya debitur dengan net worthyang rendah. Akhirnya bila terjadi bank runs, bank yang sehat dapat memproteksi dirinyadengan mencadangkan lebih banyak likuiditas yang berakibat kontraksi dari sisipemberian kreditnya.

Permasalahan pokok yang lain adalah menyangkut moral hazard, yakni yang terjadisesudah transaksi dilakukan dimana pemberi pinjaman berada dalam posisi yangmenerima resiko atas dimana usaha yang dilakukan peminjam Moral hazard terjadikarena peminjam memperoleh keuntungan untuk mengalihkan proyeknya pada proyekyang beresiko tinggi yang tidak diinginkan oleh pemberi pinjaman yang apabila berhasildapat memberikan keuntungan yang besar dan apabila gagal akan ditanggung olehpemberi pinjaman dalam bentuk tidak kembalinya kredit yang diberikan.Kerangka dari masalah asimetri informasi ini memegang peranan yang penting bagiinstitusi perbankan dan lembaga keuangan dan intermediasi lain khususnya yangmemberikan kredit. Namun perbankan memiliki kelebihan-kelebihan khusus dibandingkanlembaga intermidasi. Ketika kualitas informasi mengenai debitur buruk, maka masalahasimetri informasi akan mengemuka yang nantinya dapat menjadi sumber ketidakstabilansistem keuangan. Oleh karena itu, dalam kerangka kestabilan sistem keuangan, Keberadaan instrumen hukum diharapkan dapat meminimalisir asimetri informasi yangterjadi dan paling tidak difokuskan pada 3 aspek pengaturan penting yakni:

(i) Mengatur semua transaksi pemindahan dana dari pihak-pihak/individu individu dalam lembaga keuangan;

(ii) Mengatur perilaku (behaviour) individu-individu/pihak-pihak dalam lembagakeuangan; serta

(22)

cakupan aspek hukum tersebut diarahkan agar kestabilan sistem keuangan dapat tercapai.

b. Stabilitas Sistem Keuangan : Pengertian dan Prasyarat

Secara umum istilah financial stability atau stabilitas keuangan telah dikenal banyak oleh pelaku ekonomi terutama pelaku pasar keuangan, namun demikian belum terdapat suatu kesepakatan umum mengenai apa yang dimaksud dengan stabilitas keuangandimaksud. Namun, pada prinsipnya, stabilitas keuangan berkaitan dengan 2 elemen, yaitu stabilitas harga dan stabilitas sektor keuangan, yang mencakup lembaga keuanganserta pasar keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya sistem keuangan.

Jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik,maka elemen lainnya akan terpengaruh. Misalnya, tingkat inflasi yang tinggi dapatmembawa konsekuensi pada kebijakan uang ketat (tight money policy), peningkatan sukubunga, dan peningkatan kredit bermasalah, yang akhirnya memicu kegagalan bank danlembaga keuangan lainnya dalam sektor keuangan. Sebaliknya, gangguan pada systemkeuangan akanmempengaruhi efektivitas transmisi kebijakan moneter dan tingkat hargasecara umum.Pertanyaannya adalah mengapa stabilitas keuangan merupakan isu yang sangat penting? Stabilitas keuangan bukanlah merupakan suatu target akhir, namun lebihkepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi pertumbuhan perekonomian.

(23)

(1) Lembaga Keuangan yang Sehat (2) Pasar Keuangan yang Stabil

(3) Lembaga Pengaturan dan Pengawasan yang Kompeten

4.2Bank Indonesia di Era OJK (Otoritas Jasa Keuangan)

Banyaknya masalah yang timbul akibat dari kompleksnya sistem keuangan membuat Bank Indonesia harus melakukan reformasi dalam berbagai aspek kebijakan maupun organisasinya.

Reformasi pengawasan perbankan meliputi perubahan yang bersifat paradigmatik pada beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, perubahan dasar pola pikir pengawasan dari konsep atau teori Y ke Teori X. Pola pikir yang menjadi dasar konsep pengawan selama ini adalah konsep teori Y, artinya otoritas pengawas memandang positif aspek perilaku individual dalam hal ini para bankir. Teori tersebut mengasumsikan bahwa masing-masing individu memiliki watak positif, baik dapat dipercaya, bekerja sungguh-sungguh dan berdedikasi tinggi sehingga dianggap tidak mungkin memiliki itikad buruk untuk melakukan pelanggaran.

Pola pikir seperti di atas, pada praktiknya ternyata membawa implikasi yang kurang menguntungkan karena pada pengawas cenderung „longgar‟ dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu dipandang perlu untuk menggantikan pola pikir tersebut dengan pola pikir teori X. Dalam teori X, setiap individu diasumsikan memiliki kecenderungan dan potensi untuk menjadi tidak baik. Mereka mempunya serangkaian sifat tidak baik seperti cenderung malas bekerja, banyak melakukan pelanggaran dan lain-lain. Dengan asumsi demikian, setiap pengawas haru berhati-hati dan teliti dalam melakukan tugas pengawasannya.

(24)

demikian, paradigma tersebut perlu dirubah menjadi supervisory authority yang menekankan pada tindakan langsung atau pengenaan sanksi atas terjadinya pelanggaran sehingga diharapkan fungsi pengawasan akan lebih dapat dijalankan dengan mempertimbangkan perilaku para bankir dewasa ini.

Dalam upaya perubahan budaya menuju good corporate governance, hal utama yang penting untuk ditekankan adalah komitmen otoritas terhadap budaya tersebut. Komitmen tersebut harus selalu disampaikan dan didukung oleh semua pihak dalam organisasi. Terkait dengan hal tersebut adalah pentingnya mindset kolektif untuk membentuk perilaku yakni sikap mental mapan yang dibentuk melalui pendidikan, pengalaman dan pandangan.

Agar proses perubahan tersebut dapat berjalan dengan baik maka pematangan konsep perubahan merupakan hal yang mendasar. Selanjutnya adalah sosialisasi konsep mewujudkan good corporate governance termasuk mengidentifikasi dan mengantisipasi penolakan terhadap perubahan (resistance to change) melalui antara lain:

 Orientasi dan Komunikasi

 Program pendidikan dan pelatihan  Partisipasi dan Keterlibatan.

 Dukungan fasilitas dan berbagai kemudahan.

Program fit and proper test merupakan salah satu upaya mewujudkan budaya good corporate governance. Mekanisme seleksi yang ketat dilakukan untuk memuculkan para bankir yang sesuai dengan budaya tersebut (people fit culture).

4.3Implementasi Makroprudensial pada Sistem Keuangan dengan ITF (Inflation Targeting Framework)

Kelebihan ITF dalam kebijakan makroprudensial dapat kita lihat pada efek jangka pendek maupun jangka panjang yang nantinya akan timbul dalam implementasi kebijakan tersebut. Antara lain kelebihan tersebut ialah:

(25)

dipisahkannya kedua kebijakan ini dalam institusi yang berbeda agar dapat berjalan secara efektif. Namun, apabila fungsi pengawasan perbankan dipisahkan dari Bank Indonesia, kerangka kebijakan makroprudensial tidak bisa dihindari harus melibatkan dua institusi, yaitu BI dan OJK. Jalan tengah terbaik adalah BI harus secara eksplisit diberikan mandat makroprudensials edangkan OJK diberikan mandat mikroprudensial. Secara keseluruhan dan dapat melakukan regulasi dan tindakan untuk mengendalikan risiko sistemik (systemic regulator).

b. Kedua, horizon pencapaian inflasi dalam fleksibel ITF perlu lebih diperpanjang memberikan ruang bagi kebijakan moneter untuk merespon berkembangnya ketidak seimbangan di sektor keuangan

c. Ketiga, paradigm baru ini memberikan implikasinya pada pendekatan yang selama ini dilakukan dalam memformulasikan kebijakan moneter, termasuk model dan indikator yang digunakan. Dalam system keuangan yang didominasi oleh perbankan, informasi mengenai kondisi perbankan seperti permintaan dan penawaran kredit, standar pemberian kredit, delinquency ratio, NPL, serta tingkat leverage debitur, sangat bermanfaat dalam pengambilan keputusan.

d. Keempat, adanya forward looking provisioning yang mendorong bank untuk menyisihkan cadangan yang didasarkan pada ekspektasi kerugian kedepan. Kebijakan yang memberikan disinsentif bagi arus modal yang berjangka pendek, seperti persyaratan minimum-tinggal atas arus modal, Tobin-type tax, dan kewajiban hedging adalah langkah-langkah yang dapat diterapkan untuk memperpanjang jangka waktu arus modal masuk.

(26)

suku bunga jangka panjang melalui kurva imbal hasil yang akan berpengaruh pada permintaan agregat. Perubahan permintaan agregat mempengaruhi output gap yang mempengaruhi inflasi dan ekspektasi inflasi. Perubahan suku bunga kebijakan, suku bunga jangka panjang, nilai tukar, output dan inflasi mempengaruhi neraca perusahaan dan bank.

Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasisaja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan danpelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanp ainflasi (zero inflation).

Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya, karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premirisiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minatinvestasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

Secara teoritis dan empiris, berkembangnya model ITF erat kaitannya dengan kontroversi yang tejadi di antara ekonom di bidang moneter. Kontroversi tersebut belum berakhir dan tampaknya tidak akan pernah berakhir. Perdebatan di antara ekonom moneter mengerucut (konvergensi) pada 4 (empat) hal yang kemudian 4 hal itu menjadipremis dari model ITF (Masson et al,1998).

(27)

(1). Uang netral dalam jangka panjang. Artinya, dalam jangka panjang perubahan jumlah uang beredar (money supply) hanya berpengaruh terhadap variable nominal (misalnya inflasi), tapi tidak berpengaruh sama sekali terhadap variabel riil (misalnya pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja). Secara teoritis, persoalan ini erat kaitannya dengan debat panjang antara dua keompok pemikiran. Yaitu antara kelompok implicit mainstream views yang menekankan fungsi uang sebagai alat tukar (the medium of change) dan berkesimpulan bahwa uang bersifat netral (money neutrality). Kelompok yang berpandangan bahwa money as social relationatau credit approach yang berpandangan bahwa uang bersifat tidak netral (Smithin, 2003). Namun secara empiris, banyak studi yang dilakukan sejak tahun 1970-an mendukung kenetralan uang terhadap sektor riil dalam jangka panjang (Taylor, 1996).

(2). Tingkat inflasi yang tinggi dan berfluktuasi menimbulkan biaya ekonomi yang sangat mahal dalam perekonomian. Banyak studi yang membuktikan kautnya hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, tingkat inflasi berpengaruh terhadap distribusi pendapatan melalui perubahan nilai kekayaan yang tidak proporsional dan sekaligus menurunkan tingkat kesejahteraan (Ismail et al, 2005).

(3). Uang bersifat tidak netral dalam jangka pendek. Meskipun kebijakan moneter memiliki dampak positif terhadap output dalam jangka pendek, namum pemahaman para ekonom mengenai dampak kebijakan moneter terhadap output dalam jangka pendek masih belum jelas. Ismail (2006) menyatakan bahwa ketidakjelasan itu meliputi: (i). Berapa besarnya dampak, (ii). Kapan dampak itu akan muncul, (iii). Bagaimana kebijakan moneter itu ditransformasikan ke seluruh sektor ekonomi. Untuk alasan itu, kebijakakan moneter yang ditujukan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja , sebenarnya masih menghadapi ketidakpastian (Dodge,2005).

(28)

stabilitas harga, harus dirumuskan dalam jangka menengah dan panjang. Mengacu pada keempat premis dasar model ITF tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan moneter yang fokus pada sasaran tunggal inflasi akan mempermudah tercapainya tujuan-tujuan lain dari kebijakan makroekonomi lainnya (misalnya pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja). Karena secara empiris, kebijakan moneter yang multiple target justru mempersulit bank sentral (Bank Indonesia), karena tidak semua sasaran dapat dikendalikan oleh instrumen kebijakan moneter. Akibatnya, tidak semua sasaran dapat dicapai secara simultan dan kebijakan moneter menjadi tidak efektif.

4.4 Agenda ke Depan Terkait dengan Kestabilan Sistem Keuangan

Untuk meminimalkan terulangnya sistemic risk pada sektor keuangan khususnya sistem perbankan, maka sistem perbankan nasional perlu disempurnakan.Penyempurnaan cetak biru sistem perbankan nasional dalam rangka kestabilan systemkeuangan yang tengah digodok saat ini meliputi dua aspek besar, yaitu :

1. Penyempurnaan fungsi Bank Indonesia selaku lender of last resort (LOLR);

2. Penyempurnaan kelembagaan peran, dan wewenang otoritas perbankan sebagaimana diamanatkan Pasal 34 UU No.23 Tahun 1999 tentang BankIndonesia dan Pasal 37B ayat (2) UU No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubahdengan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu :

(a) pemisahan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia;

(b) pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang indipenden;

(29)

Dalam rangka penyempurnaan sektor keuangan dan perbankan, langkah penting yang harus dilakukan adalah perbaikan perangkat hukum perbankan dan kesentralan.Penyempurnaan perangkat hukum ini tidak hanya mencakup Penyempurnaan UU dan peraturan-peraturan pelaksanaan dibawahnya saja, tetapi juga meliputi penyempurnaan peran dan kewenangan lembaganya. Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia selaku otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran mengeluarkan regulasi dan melakukan pembinaan / pengawasan (surveillance) terhadap perbankan agar perbankandapat menjalankan fungsinya secara efektif selaku lembaga intermediary dan sekaligusberfungsi pula sebagai media untuk mentransmisikan kebijakan moneter bank sentral.Berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 peran Bank Indonesia dalam rangka menjagastabilitas sistem keuangan mencakup :

a. Menciptakan kebijakan moneter yang kondusif;

b. Melakukan pemantauan terhadap stabilitas sistem keuangan (financial system surveillance);

c. Melakukan koordinasi dengan dan memberikan rekomendasi kebijakan stabilitassistem keuangan pada otoritas lain, misalnya kepada pemerintah Depertemen Keuangan selaku otoritas fiskal, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK);

d. Menciptakan efisiensi dalam sistem pembayaran dengan terselesaikannya transaksi secara aman dan tepat waktu (safe and robust payment system) antara lain melalui kegiatan design, operasional dan pengawasan sistem pembayaran;

e. Menyediakan mekanisme LOLR dalam upaya menangkal terjadinya kegagalan bank karena liquidity mismatch.

(30)

pelaku pasar dapat melakukan transaksi dengan hargayang mencerminkan kondisi fundamental pasar dan tidak terjadinya volatilitas hargajangka pendek yang tinggi (high votality prices).Dalam rangka memantau stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia melaksanakanberbagai upaya, antara lain berupa kegiatan riset dan observasi (surveillance) terhadap lembaga keuangan, pasar modal, kebijakan makro-ekonomi, kebijakan fiskal, sektor riil, household, sistem pembayaran hutang luar negeri, hutang dalam negeri dan pasar internasional. Melalui analisis data dan informasi yang realitis dan terukur tersebut, diharapkan performance sistem keuangan nasional dapat dipantau dengan baik. Namun mengingat tugas memelihara stabilitas sistem keuangan nasional pada dasarnyamerupakan produk sinergi dari beberapa otoritas, sehingga tidak dapat diletakkan padaBank Indonesia semata, maka perlu ada mekanisme koordinasi dan tanggungjawab yangjelas antar otoritas dimaksud. Permasalahannya, sampai dengan saat ini belum tersediaperangkat hukum yang mengatur mengenai kerangka kerja formal (baik di level pembuatkebijakan umum maupun di level teknis) dalam rangka mendukung tugas ini. Oleh karenaitu kiranya perlu dipikirkan penyusunan perangkat hukum yang jelas dan tegas mengaturaspek-aspek seperti :

(1) mekanisme koordinasi yang efektif,

(2) standar dan arah / keselerasan pengaturan yang kondusif bagi perbankan dan

lembaga-lembaga non-bank;

(3) information sharing dan exchange, serta

(4) aturan yang tegas mengenai alternatif mengatasi krisis (crisis resolution) yang

efektif.

(2) Merancang Cetak Biru Sistem Perbankan

(31)

cetak biru (blue print) sistem perbankan nasional.Cetak biru sistem perbankan nasional itu dapat dikategorikan menjadi tiga bagian besaryaitu :

a. Menyempurnakan Sistem Perbankan Nasional

Dalam rangka membangun sistem perbankan yang handal dan mampu menghadapi perkembangan ekonomi global yang sangat cepat, maka UU Perbankan No.7 Tahun 1992sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 perlu disempurnakan kembali.Berkenaan dengan itu, pengaturan kembali sistem perbankan nasional tidak bisa hanyadilakukan berdasarkan pendekatan domestik semata, melainkan secara responsif perlumemperhatikan pula standar-standar internasional yang berkembang, yaitu baik berupastandar-standar yang telah dikeluarkan oleh lembaga multilateral seperti Bank

forInternational Settlements (BIS) maupun praktek-praktek perbankan

(32)

Likuidasi Bank. Dari berbagai RUU tersebut dapat diketahui bahwa, pada waktunya akan dibentuklembaga-Iembaga baru yang dimaksudkan dapat berfungsi untuk memperkuat systemperbankan nasional. Lembaga-lembaga baru yang akan dibentuk adalah Otoritas JasaKeuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Dengan adanya lembaga-lembaga baru ini, maka lembaga yang memiliki otoritas pada sektor perbankan akan berubah, yaitu dari semula hanya Bank Indonesia, maka pada waktunya akan menjadi 3 otoritas, yaitu Bank Indonesia, OJK dan LPS. Oleh karena akan terdapat 3 otoritas di sektor perbankan, maka penataan kembalisistem perbankan nasional juga membutuhkan penataan formal mengenai hubungankelembagaan antar ketiga otoritas tersebut yang meliputi:

(1) pengaturan mengenai

mekanisme dan forum komunikasi;

(2) subtansi koordinasi dan prosedur pengawasan danpembinaan bank (oleh masing-masing otoritas)

(3) ketentuan-ketentuan yang terkaitdengan usaha perbankan, sehingga otoritas di sektor keuangan dan perbankan dipastikanakan mampu mendeteksi kelemahan-kelemahan (vulnerabilities) dalam sistem keuanganyang diduga dapat memicu terjadinya krisis.

b. Otoritas Pengawasan Bank

(33)

demikian, sesuai dengan amanat UU tersebut, pada waktunya Bank Indonesiaselaku bank sentral hanya akan menjalankan otoritas dibidang kebijakan moneter dansistem pembayaran, sedangkan otoritas dibidang pengawasan dan pembinaan bank akandilakukan oleh sebuah lembaga independen (OJK).Mengingat ototritas moneter akan terpisah dari otoritas pengawas bank, maka dalam rangka mengupayakan stabilitas sistem keuangan (financial system stability) nasional, khususnya agark kebijakan di sektor perbankan senantiasa dapat konsisten dan seiring dengan kebijakan di sektor moneter dan sistem pembayaran, maka sekurang-kurangnyaada 5 aspek yang harus dikaji secara mendalam, yaitu :

(1) cakupan obyek pengawasan OJK; (2) independensi OJK;

(3) kapabilitas dan kredibilitas SDM OJK;

(4) kemungkinan keterpisahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank, dan

(5) koordinasi yang efektif dan efisien antar institusi terkait.

(34)

selain harusmenjamin terciptanya koordinasi yang efektif antar otoritas, Bank lndonesia juga perludiberi kewenangan khusus agar Bank Indonesia dapat mengakses data secara langsungdari bank untuk keperluan tertentu (dalam hal ini dalam bentuk on-site supervision)apabila diperlukan.

Selanjutnya mengingat latar belakang pemisahan fungsi pengawasan bank tersebut tidak terlalu jelas, maka segi-segi permasalahan yang bersifat substansial yang inheren dalam sistem dan pasar jasa keuangan Indonesia, seperti banyaknya unit lembaga keuangan yang harus di awasi17, banyaknya lembaga keuangan yang merupakan bagiandari konglomerasi, produk jasa keuangan yang semakin bervariasi dan semakin kompleks, dan trend globalisasi yang didukung kemajuan teknologi, kiranya perlu mendapat perhatian yang serius dalam proses penyusunan perangkat peraturannya, khususnya dalam hal koordinasi dan kapabilitas masing-masing otoritas. Dalam hubungan ini patut diperhatikan pula mengenai perlunya disusun grand design dari arah regulasi,mengingat peraturan dibidang moneter dan payment

system akan tetap merupakankewenangan Bank Indonesia, pengaturan

(35)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang bisa kami ambil dalam penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut;

1. Pentinganya menjaga stabilitas sistem keuangan dalam sebuah perekonomian untuk menciptakan perekonomian yang baik di Indonesia salah satu caranya adalah mempertimbangkan dampak dan biaya / kerugian yang demikian besar terhadap perekonomian akibat instabilitas sistem keuangan tersebut serta langkah-langkah penyelesaian krisis (crisis resolution) yang juga membutuhkan waktu yang lama, maka wacana menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi perhatian yang serius dari bank sentral dan pengambil kebijakan publik. 2. Kebijakan makroprudensial merupakan salah satu kebijakan yang amat

efisien jika benar-benar di terapkan dengan baik di Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian.

3. ITF (inflation targeting framework) juga harus baik untuk menunjang kebijakan makroprudensial agar bisa terlaksana dengan baik.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah kami rangkum, maka saran yang bisa kami ajukan adalah sebagai berikut;

1. Saran yang pertama di tujukan kepada pemerintah maupun institusi yang berkepentingan di bidang perekonomian, yaitu agar melaksanakan fungsinya dengan baik sesuai dengan aturan yang ada, dan juga perlunya komunikasi dan pelaporan dengan baik. 2. Saran bagi akademisi, perlu adanya banyak pemikiran baru untuk

memberikan masukan mengenai bagaimana menjaga stabilitas keuangan menggunakan konsep makroprudensial.

(36)
(37)

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Juda. Mengintegrasikan Kebijakan Moneter dan Makroprudensial: Menuju Paradigma Baru Kebijakan Moneter di Indonesia Pasca Krisis

Global. Jakarta : Bank Indonesia (Jurnal)

Arbiatma, Fiqihani. Analisis Kebijakan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Memberikan Kredit Pemilikan

Rumah. (Jurnal)

bi.go.id (di akses pada tanggal 21-27 mei 2013)

Djiwandono, J. Sudradjad, dkk. 2009. Bank Indonesia dalam Perjalanan

Pembangunan Ekonomi Indonesia 1953-2003. Jakarta: Unit Khusus

Museum Bank Indonesia

Jurnal Economia, Volume 8, Nomor 1, April 2012

Listiyanto, Eko. dkk. 2007 Analisis Biaya Transaksi pada Industri Bank Umun di Indonesia. (Jurnal)

Nasution, Prof. Dr. Anwar. Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan. ojk.go.id (di akses pada tanggal 21-27 mei 2013)

Sihono, Teguh. dkk. Bauran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Bank Indonesia Sejak Maret 2011 hingga Maret 2012. (Jurnal)

(38)

CURRICULUM VITAE

Penulis I

Nama Lengkap : Dwi Wulan Ramadani

Tempat, Tanggal Lahir : Mojokerto, 15 Maret 1993

Alamat : Jl. Ronggolawe, no. 445

Ds. Sumengko Jatirejo, Mojokerto

No. HP : +6285655294648

Motto : Bangunkan yang tidur, Gerakkan yang bangun, Bijaksanakan yang gerak.

Riwayat Pendidikan :

- SDN Sumengko, Kec. Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur Lulus tahun 2005

- SMP Negeri 1 Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur Lulus tahun 2008

- SMAN 1 Gondang, Mojokerto, Jawa Timur Lulus tahun 2011

- Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur Sedang dalam proses

Karya Tulis yang Pernah Dibuat :

- PKM-K : (Aztek) Aksesoris Kawat Tembaga Dan Kabel Sebagai Inovasi Pemanfaatan Logam Berat Berbahaya Yang Cantik dan Ramah Lingkungan (2011)

(39)

- PKM-K : KUBUS (Klepon Jagung isi Buah dan Sayur ) : Klepon Berbahan Dasar Tepung Jagung dengan Isi Buah dan Sayur sebagai Inovasi Jajan Tradisional dan Alternatif Makanan Ringan yang Sehat dan Kaya Antioksidan (2013 – Didanai DIKTI)

- LKTEI : Optimalisasi Sukuk pada Pembiayaan Infrastruktur Negara Bidang Transportasi dalam Proses Pembangunan Perekonomian sebagai Solusi Kebijakan Keuangan Publik di Indonesia (2013 – Temu Ilmiah Nasional Solo)

Pengalaman Organisasi :

- Pengurus OSIS SMA Negeri 1 Gondang Mojokerto Staff Divisi Organisasi Kepemimpinan dan Demokrasi (OKD) periode 2008-2009 - Pengurus Organisasi Peduli dan Berbudaya Lingkungan (PBL) SMA

Negeri 1 Gondang Mojokerto, Penanggung Jawab Sie Materi 2008-2010 (2 Periode kepengurusan)

- Pengurus OSIS SMA Negeri 1 Gondang Mojokerto Ketua Divisi Pendidikan Keterampilan dan Kewirausahaan (PKK) periode 2009-2010

- Bendahara IKOMA BEM FEB Universitas Airlangga 2012

- Staff Sub Divisi IT Divisi PR/IT (Public Relation / Information

Technology) WEBS Universitas Airlangga 2012 ( @WEBS_UA )

- Staff Keilmuan HIMA EKIS FEB Universitas Airlangga 2012

(40)

CURRICULUM VITAE Penulis II

Nama : Dedi Rahman

Tempat/tanggal lahir : Madiun, 16 Juni 1994 Alamat : Jojoran 3 No.8 Surabaya Jenis Kelamin : Laki-laki

Nama Ayah : Bambang Sucipto

Nama Ibu : Siti Zumaroch

Riwayat Pendidikan :

2002 – 2008 : SD Negeri 2 Pandean 2008 – 2010 : SMP Negeri 2 Madiun 2010 – 2012 : SMA Negeri 2 Madiun

2012 – sekarang : S1 Akuntansi, Universitas Airlangga

Prestasi :

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi perekonomian Kalimantan Selatan secara makro dapat dilihat antara lain dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), PDRB per Kapita dan

17 proses pembelajaran jadi sebaiknya siswa harus benar menyusun kegiatan sehari-harinya, peningkatan juga terjadi pada indikator mengerjakan PR dikarenakan adanya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan perilaku konsumsi minuman keras pada remaja di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember adalah

- seandainya data yang disediakan Client tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan dan berdampak terhadap biaya / waktu pelaksanaan kerja, maka Kontraktor akan berhak untuk

Dengan menerapkan strategi Discovery Learning dan Project Based Learning siswa dapat mengetahui, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, menanggapi, mengorganisir, dan menulis

Selain itu, kesan tekanan kerja dan konflik keluarga juga turut mempengaruhi kepuasan kerja seseorang seperti kajian yang dijalankan oleh Sharon & Sherry

(1) Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang selanjutnya dalam Peraturan daerah ini disebut dengan BPBD adalah Lembaga Teknis Daerah yang berada di bawah dan

Proses Dapur Tinggi Listrik5. Proses