• Tidak ada hasil yang ditemukan

Elastisitas Permintaan Pangan Strategis (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Elastisitas Permintaan Pangan Strategis (1)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

ELASTISITAS PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS BERDASAR

ANALISIS DATA SUSENAS 2005 DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP KONSUMSI DAN UPAYA PERBAIKAN KONSUMSI

PANGAN MASYARAKAT INDONESIA

ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

(2)

berdasar Analisis Data Susenas 2005 dan Implikasinya terhadap Konsumsi dan Upaya Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia (Di bawah bimbingan DRAJAT MARTIANTO dan YAYUK F. BALIWATI)

Pemerintah terus berupaya untuk memenuhi permintaan pangan masyarakat, terutama pangan strategis. Permintaan pangan bersifat dinamis, antara lain dapat berubah akibat perubahan harga pangan tersebut, harga pangan lain, dan pendapatan. Seberapa besar pengaruh perubahan tersebut terhadap konsumsi pangan masyarakat merupakan informasi penting sebagai dasar pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan berkaitan dengan perbaikan konsumsi pangan masyarakat Indonesia.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis elastisitas permintaan pangan strategis pada rumah tangga di Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis: 1) konsumsi pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan, 2) elastisitas permintaan pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan, dan 3) implikasi elastisitas permintaan pangan strategis terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat.

Penelitian dilakukan di Bogor, pada bulan Maret hingga Juni 2008, dengan menggunakan desain survei. Penelitian ini menggunakan data sekunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 dengan sampel sebanyak 64.709 rumah tangga. Data diolah menggunakan program SAS versi 6.12 dan model ekonometrika regresi Log-Ganda. Data dianalisis secara deskriptif.

Secara nasional, jumlah konsumsi beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan dan mi basah adalah 100.52 kg/kap/th, 3.36 kg/kap/th, 11.67 kg/kap/th, 4.10 kg/kap/th, 5.09 kg/kap/th, 3.39 kg/kap/th, 0.22 kg/kap/th. Sementara itu, jumlah konsumsi kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 7.29 kg/kap/th, 9.64 kg/kap/th, 0.51 kg/kap/th, dan 9.00 kg/kap/th. Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis secara nasional dalam berbagai bentuk adalah sebagai berikut: beras 97.05%; beras ketan 1.89%; tepung beras 6.33%; bihun 2.28%; jagung basah dengan kulit 3.95%; jagung pipilan 5.59%; tepung jagung 0.52%; ketela pohon/singkong 29.04%; gaplek 0.54%; tepung gaplek (tiwul) 0.90%; tepung ketela pohon (tapioka/kanji) 0.49%; ubi jalar 11.12%; mi instan 60.95%; mi basah 1.67%; tepung terigu 17.66%; kedelai 1.68%; tahu 60.47%; tempe 65.17%; tauco 1.83%; kecap 42.82%; gula pasir 92.22%; daging sapi 7.36%; minyak kelapa 41.27%; minyak jagung 0.13%; minyak sawit 54.46%.

Kontribusi energi dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, gula pasir, dan minyak goreng secara nasional adalah 46.56%, 1.23%, 1.88%, 0.66%, 2.58%, 1.93%, 0.02%, 4.49%, dan 10.21%. Kontribusi protein dari kedelai dan daging sapi adalah 8.52% dan 0.43%. Secara nasional, konsumsi melalui pembelian untuk beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 82.01%, 32.89%, 39.09%, 40.21%, 99.02%, 98.93%, 98.94%, 98.55%, 99.43%, 95.25%, dan 97.30%.

(3)

3.07%. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) nasional, perkotaan, dan pedesaan adalah berturut-turut 78.6, 81.9, dan 76.1.

Secara nasional, elastisitas harga sendiri untuk beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 0.88, 1.36, 0.61, 0.20, -1.07, -0.86, -0.80, -1.03, -0.79, -0.54, dan -0.69. Secara nasional, elastisitas silang jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan mi instan terhadap beras adalah 0.15, -0.09, 0.02, dan -0.05; elastisitas silang ikan segar, ikan asin, daging sapi, daging ayam, dan telur terhadap kedelai dan turunannya adalah -0.06, -0.06, 0.05, -0.09, dan -0.13; elastisitas silang gula merah terhadap gula pasir adalah 0.02; elastisitas silang daging ayam dan telur terhadap daging sapi adalah 0.09 dan 0.15. Secara nasional, elastisitas pendapatan dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 0.42, 0.09, 0.16, 0.12, 0.50, 0.52, 0.08, 0.33, 0.38, 0.55, dan 0.43.

(4)

TERHADAP KONSUMSI DAN UPAYA PERBAIKAN KONSUMSI

PANGAN MASYARAKAT INDONESIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judul :

Elastisitas

Permintaan

Pangan

Strategis

berdasar Analisis Data Susenas 2005 dan

Implikasinya terhadap Konsumsi dan Upaya

Perbaikan

Konsumsi

Pangan

Masyarakat

Indonesia

Nama Mahasiswa : Anna Vipta Resti Mauludyani

NRP : A54103036

Disetujui

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS

NIP. 131 861 464 NIP. 131 669 944

Diketahui

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(6)
(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat berupa kesehatan, kesempatan, dan kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, petunjuk, dorongan, doa dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi dan Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing atas waktu, petunjuk, dan dorongannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen penguji atas saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Ibu Nina dan staf Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian, atas bantuannya dalam pengolahan data, dan pencarian literatur.

4. Omme Gatoet Sroe Hardono yang selalu menjawab pertanyaan penulis bila penulis menemui kesulitan dalam penyelesaian skripsi, yang memberi dorongan, nasehat, dan bantuan selama penyusunan skripsi ini.

5. Papa yang selalu mendoakan dan memberi kasih sayang kepada penulis. Papa tidak sempat melihat anaknya memakai Toga. Semoga Allah SWT menempatkan di Surga, Amiin. Kepada Mama, yang berperan sebagai mama dan dosen pembimbing tambahan; Amoy, Mbah Ni, Om Anang, Tante Ike, Rahma, Adit, Mbah Kung dan Keluarga Besar atas bantuan, doa dan kasih sayangnya.

6. Ahmad, Indy, Juli, Udin, Adhi, teman suka-duka bimbingan (Aris, Aqsa, Daru, Ratna, dan Merry), GMSK 40 atas motivasi dan perhatiannya, serta GMSK 41 atas semangatnya yang tak kunjung pudar.

7. Pak Ugan dan staf administrasi lain atas kerja kerasnya dalam mengurus keperluan seminar, sidang, dan SKL.

8. Semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu atas bantuannya hingga selesainya skripsi ini.

Agustus 2008,

(8)

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Permintaan Pangan... 5

Konsumsi Pangan ... 8

KERANGKA PEMIKIRAN ... 15

METODE PENELITIAN... 17

Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

Sumber dan Jenis Data... 17

Pengolahan dan Analisis Data ... 18

Definisi Operasional ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

Konsumsi Pangan Strategis ... 25

Jumlah Konsumsi Pangan Strategis ... 25

Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Strategis... 28

Konsumsi Pangan Strategis berdasarkan Sumber Perolehan... 31

Kontribusi Energi dan Protein Pangan Strategis ... 34

Pangsa Pengeluaran Pangan Strategis ... 39

Skor Pola Pangan Harapan ... 43

Elastisitas Permintaan Pangan Strategis... 44

Elastisitas Permintaan Beras... 44

Elastisitas Permintaan Jagung... 45

Elastisitas Permintaan Ubi Kayu... 46

Elastisitas Permintaan Ubi Jalar ... 47

Elastisitas Permintaan Terigu dan Turunannya... 48

Elastisitas Permintaan Mi Instan... 48

Elastisitas Permintaan Mi Basah ... 49

Elastisitas Permintaan Kedelai dan Turunannya... 50

Elastisitas Permintaan Gula Pasir... 50

Elastisitas Permintaan Daging sapi... 51

Elastisitas Permintaan Minyak Goreng ... 51

Implikasi Elastisitas Permintaan Pangan Strategis terhadap Konsumsi dan Upaya Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat... 52

KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

Kesimpulan ... 56

Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA... 58

(9)

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai

elastisitas pendapatan dengan menggunakan metode analisis AIDS... 7

2 Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai elastisitas harga sendiri dengan menggunakan metode analisis AIDS.... 7

3 Ketahanan pangan: kecukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan... 11

4 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan Deptan 2001... 14

5 Pengelompokan dan jumlah jenis pangan dalam SUSENAS 2005... 18

6 Jenis pangan strategis yang dianalisis dan karakteristiknya dalam SUSENAS 2005... 19

7 Daftar konversi pangan ... 19

8 Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) ... 20

9 Jumlah konsumsi pangan strategis menurut wilayah (kg/kap/th) ... 25

10 Jumlah konsumsi pangan strategis menurut kelas pendapatan (kg/kap/th)... 27

11 Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis menurut wilayah (%) ... 28

12 Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis menurut kelas pendapatan (%) ... 31

13 Konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan menurut wilayah (%) ... 32

14 Konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan menurut kelas pendapatan (%) ... 33

15 Kontribusi energi dari beras, jagung, gula pasir, dan minyak goreng menurut wilayah dan kelas pendapatan (%)... 36

16 Kontribusi protein dari kedelai dan daging sapi menurut wilayah dan kelas pendapatan (%) ... 38

17 Pangsa pengeluaran pangan dan total pengeluaran menurut wilayah dan kelas pendapatan (%)... 39

18 Pangsa pengeluaran pangan menurut kelompok pangan dan wilayah (%) ... 41

19 Pangsa pengeluaran pangan menurut kelompok pangan dan kelas pendapatan (%) ... 42

20 Pangsa pengeluaran pangan strategis terhadap pengeluaran pangan menurut wilayah dan kelas pendapatan (%) ... 43

21 Skor Pola Pangan Harapan (PPH) ... 44

22 Elastisitas permintaan beras ... 44

(10)

24 Elastisitas permintaan ubi kayu ... 46

25 Elastisitas permintaan ubi jalar... 47

26 Elastisitas permintaan terigu dan turunannya... 48

27 Elastisitas permintaan mi instan ... 48

28 Elastisitas permintaan mi basah... 49

29 Elastisitas permintaan kedelai dan turunannya ... 50

30 Elastisitas permintaan gula pasir... 51

31 Elastisitas permintaan daging sapi ... 51

32 Elastisitas permintaan minyak goreng... 52

(11)

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional ... 63

2 Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Perkotaan ... 63

3 Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Pedesaan ... 63

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Universal

Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 7 tahun 1996 mengenai pangan. Berdasarkan kesepakatan tersebut, pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim yang kondusif sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya dan mampu menjangkau pangan secara cukup (DKP 2006). Menurut Suryana (2004), pemenuhan kebutuhan pangan baik dari segi jumlah, mutu, gizi dan keamanannya dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. DKP (2006) lebih lanjut menyatakan bahwa salah satu indikator ketahanan pangan adalah terjaminnya konsumsi pangan, sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan serta preferensinya.

Pemahaman dan perumusan kebijakan ketahanan pangan akan semakin mantap bila ditopang dengan hasil analisis konsumsi secara komprehensif. Analisis konsumsi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya mencapai sasaran ketahanan pangan karena analisis konsumsi pangan adalah ”entry point” analisis dan pengembangan ketahanan pangan, khususnya tingkat rumah tangga (Maxwell 1996).

Departemen Pertanian telah menetapkan program prioritas pencapaian swasembada komoditas pangan strategis yang difokuskan pada 5 (lima) komoditas pangan, yaitu beras, jagung, kedelai, gula pasir, dan daging sapi (DKP 2006). Pangan-pangan tersebut termasuk dalam kelompok ”Sembilan Bahan Pokok/Sembako” yang kini dikenal dengan istilah ”Bahan Pangan Pokok”.

(14)

(Syafa’at, Ariani, Mardiyanto, Kristyantoadi & Sayaka 2003). Sementara itu, Sambutan Menteri Pertanian dalam Sastraatmadja (2007) mengemukakan bahwa beras, selain sering digambarkan sebagai komoditas pangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, beras juga merupakan komoditas politis dan strategis, mengingat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat, tidak kurang dari 2.5 juta ton beras harus disediakan setiap bulannya.

Komoditas jagung dapat memiliki peranan yang ganda, tidak hanya sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga sebagai bahan baku industri (Pasandaran & Kasryno 2005). Jagung dapat berfungsi seperti beras bila dinilai dari kandungan nilai gizinya. Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama dalam setiap seratus gramnya, bahkan protein jagung lebih tinggi daripada beras (Ariani & Pasandaran 2005). Jagung juga merupakan bahan baku utama pakan unggas (sekitar 50% dari ransum) sehingga harga jagung akan sangat mempengaruhi biaya produksi unggas dan pada akhirnya juga berpengaruh pada harga daging unggas (Tangendjaya, Yusdja & Ilham 2005). Ketergantungan impor yang cukup tinggi menyebabkan jagung rentan dengan gejolak pasar luar negeri (Syafa’at et al. 2003).

Kedelai merupakan komoditas pangan terpenting ketiga setelah beras dan jagung. Kedelai adalah tanaman yang kaya protein, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena harganya yang relatif terjangkau (Balitbangtan 2005). Rata-rata konsumsi kedelai nasional mencapai 1.803 juta ton per tahun tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri sehingga 60% ketersediaan harus dipenuhi dari impor (Anonymous 2008a).

(15)

3

berupa penetapan harga dasar, izin impor dan penerapan bea masuk impor (Pakpahan 2003).

Daging sapi termasuk salah satu jenis pangan yang perlu mendapat perhatian dalam hal penyediaannya. Konsumen daging sapi adalah masyarakat berpendapatan menengah ke atas dan para wisatawan atau pekerja asing. Walaupun rata-rata impor daging sapi masih rendah, namun dalam dasawarsa terakhir terdapat kecenderungan peningkatan nilai impor daging sapi dan sapi hidup. Hal ini disebabkan produksi dalam negeri baru dapat memenuhi sekitar 70% dari kebutuhan domestik (Balitbangtan 2005).

Selain kelima komoditas yang termasuk dalam program prioritas pencapaian swasembada komoditas pangan strategis, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya (mi instan dan mi basah), dan minyak goreng juga termasuk komoditas penting yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Ubi kayu dan ubi jalar merupakan komoditas penting dalam program penganekaragaman (diversifikasi) pangan pokok. Program ini mendorong konsumsi umbi-umbian, khususnya ubi kayu dan ubi jalar serta produk olahannya sebagai substitusi sebagian dari beras dan terigu (Syafa’at et al. 2003).

(16)

Perumusan Masalah

Permintaan pangan bersifat dinamis, antara lain dapat berubah akibat perubahan pengetahuan gizi, pendapatan, harga pangan (harga pangan tersebut dan harga pangan lain), preferensi, dan karakteristik pangan. Seberapa besar pengaruh perubahan harga pangan dan pendapatan terhadap kuantitas dan kualitas konsumsi pangan masyarakat perlu dikaji karena merupakan informasi penting bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan berkaitan dengan perbaikan konsumsi pangan masyarakat. Di tengah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), perubahan iklim dunia yang berpengaruh terhadap produksi pangan dan kompetisi penggunaan pangan, pakan, dan bahan bakar (biofuel) yang berakibat pada kenaikan harga pangan serta peningkatan jumlah penduduk miskin, maka analisis terhadap pengaruh harga dan pendapatan terhadap konsumsi pangan tersebut perlu untuk dilakukan. Berdasarkan pertimbangan ini, penulis tertarik untuk menganalisis secara lebih mendalam mengenai permintaan pangan strategis dalam kaitannya dengan faktor harga dan pendapatan.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis elastisitas permintaan pangan strategis pada rumah tangga di Indonesia. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis konsumsi pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan

2. Menganalisis elastisitas permintaan pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan

3. Menganalisis implikasi elastisitas permintaan pangan strategis terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat

Kegunaan Penelitian

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Permintaan Pangan

Permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku saat itu. Pengertian permintaan digunakan untuk mengetahui hubungan antara harga dengan jumlah barang yang dibeli konsumen dengan anggapan bahwa faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Hal ini dapat dijelaskan dengan kurva permintaan, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara jumlah maksimum dari barang yang dibeli konsumen dengan harga alternatif pada waktu tertentu (Purba 2004).

Besarnya permintaan dapat diketahui dengan pendekatan teori permintaan. Menurut teori tersebut, besarnya permintaan terhadap suatu komoditi bergantung pada harga komoditi yang bersangkutan, harga komoditi lainnya, tingkat pendapatan, besarnya rumah tangga, susunan umur, selera atau preferensi, dan letak geografis (Azahari 1984). Keragaan permintaan pangan dilihat melalui variabel elastisitas permintaan pangan dan konsumsi pangan.

Elastisitas permintaan merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga atau faktor-faktor lainnya terhadap perubahan permintaan suatu komoditas. Elastisitas permintaan dapat dibedakan menjadi 1) elastisitas permintaan terhadap harga (elastisitas harga), 2) elastisitas permintaan terhadap pendapatan (elastisitas pendapatan), dan 3) elastisitas permintaan silang (elastisitas silang) (Sugiarto, Herlambang, Brastoro, Sudjana & Kelana 2005).

Nilai elastisitas harga antara 0 - 1 disebut inelastis, merupakan barang-barang kebutuhan pokok dan antara 1 - disebut elastis merupakan barang mewah. Elastisitas pendapatan bernilai positif untuk barang normal, bernilai nol untuk barang netral, dan bernilai negatif untuk barang inferior. Apabila nilai elastisitas pendapatan lebih besar dari satu, barang tersebut disebut barang mewah, dan lebih kecil dari satu termasuk barang kebutuhan pokok. Nilai elastisitas silang dapat mengklasifikasikan apakah suatu barang berhubungan sebagai barang subtitusi atau komplemen. Apabila tanda elastisitas silang negatif, maka barang X komplemen terhadap barang Y. Sebaliknya, bila bertanda positif, maka barang X merupakan barang subtitusi terhadap barang Y (Suhartini 2001).

(18)

dibandingkan di pedesaan. Pada penduduk golongan pendapatan tinggi, minyak goreng dianggap sebagai komoditi inferior yang berarti permintaan terhadap pangan tersebut akan menurun dengan meningkatnya pendapatan.

Kuntjoro (1984) menyatakan bahwa rumah tangga yang berpendapatan lebih tinggi memperlihatkan daya konsumsi yang inelastis dengan pangan nabati, tetapi elastis terhadap pangan hewani dan sebaliknya bagi tingkat pendapatan rendah. Sementara itu, umumnya pangan bersifat kurang elastis baik di kota maupun di desa.

Tabor (1988) diacu dalam Daris (1993) menyatakan bahwa elastisitas pendapatan dan elastisitas harga dari komoditi kedelai cukup tinggi dibandingkan dengan bahan pokok yang mengandung energi yang tinggi. Permintaan menjadi sangat sensitif terhadap perubahan harga kedelai bagi bahan makanan pokok yang berprotein tinggi. Rosegrant (1987) diacu dalam Daris (1993) menyatakan bahwa elastisitas permintaan terhadap harga kedelai bersifat inelastis yang bertanda negatif dan terhadap pendapatan juga bersifat inelastis namun dengan tanda positif.

Hasil penelitian Utari (1996) dengan menggunakan AIDS menemukan bahwa elastisitas harga daging menunjukkan tanda negatif, sejalan dengan fungsi permintaan yang mempunyai arah yang negatif. Elastisitas harga daging mempunyai nilai yang lebih kecil dari satu, yaitu masing-masing -0.65 dan -0.41 untuk daerah desa dan kota. Berdasarkan kelas pendapatan, walaupun tidak konsisten, elastisitas harga semakin tinggi dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa bagi rumah tangga berpendapatan tinggi, harga bukan merupakan kendala untuk mengkonsumsi daging. Koefisien elastisitas silang yang bertanda negatif menunjukkan adanya hubungan yang bersifat komplementer antara daging dengan ikan, telur, dan susu. Hal ini diduga karena terbatasnya pengeluaran pangan yang dialokasikan untuk pangan hewani sehingga kenaikan harga salah satu pangan hewani akan menurunkan permintaan terhadap pangan hewani lainnya.

(19)

7

menunjukkan hasil yang negatif terhadap pangan hewani yang lain. Nilainya lebih besar di daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Mayrowani (1991) menggunakan model Log-Ganda dalam mencari nilai elastisitas pendapatan. Hasilnya adalah elastisitas pendapatan komoditas beras, tempe dan gula pasir yang masing-masing sebesar 0.4, 0.5, dan 0.6.

Selain hasil-hasil penelitian di atas, terdapat beberapa hasil studi permintaan pangan lain yang menggunakan metode analisis AIDS. Hasil tersebut ditampilkan dalam Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai elastisitas pendapatan dengan menggunakan metode analisis AIDS

Wilayah Kelas Pendapatan Utari (1996) Daging - 0.99 0.95 0.99K

0.94D

Keterangan: K=Kota; D=Desa; R=Rendah; S=Sedang; T=Tinggi

Tabel 2 Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai elastisitas harga sendiri dengan menggunakan metode analisis AIDS

Wilayah Kelas Pendapatan Utari (1996) Daging - -0.41 -0.65 -0.38K

-0.54D

(20)

Konsumsi Pangan

Enoch (1979) diacu dalam Husefra (1996) menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu yang termasuk dalam faktor eksternal adalah pendapatan/pengeluaran. Pola konsumsi protein asal ternak antar wilayah dipengaruhi oleh komposisi pendidikan dan umur penduduk untuk pedesaan, sedangkan untuk perkotaan dipengaruhi oleh komposisi pendidikan dan tingkat pendapatan (Iwantoro 1987).

Suhardjo (1993) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan mempunyai hubungan erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan. Lebih lanjut, Sanjur (1982) mengemukakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan, yang berarti apabila pendapatan keluarga meningkat, mutu konsumsi keluarga akan meningkat. Caleindo (1979) diacu dalam Hardinsyah (1988) mengemukakan 2 hubungan pendapatan dengan konsumsi pangan, yaitu 1) peningkatan pendapatan akan berimplikasi pada peningkatan pengeluaran pangan secara absolut tetapi persentasenya cenderung menurun secara relatif sesuai dengan Hukum Engel dan 2) peningkatan pendapatan akan berimplikasi pada perubahan pola konsumsi pangan dan mengurangi konsumsi pangan inferior.

Pendapatan yang meningkat akan memungkinkan keluarga untuk membeli dan mengkonsumsi pangan yang lebih mahal. Selain itu, peluang untuk mengkonsumsi beragam jenis pangan menjadi semakin tinggi. Tingkat pendapatan yang terbatas pada rumah tangga miskin menyebabkan perubahan pola makanan pokok ke barang-barang paling murah dengan jumlah yang berkurang (Irawan & Romdiati 2000). Hasil studi yang dilakukan Irawan (1999) menemukan bahwa mayoritas penduduk pedesaan cenderung merubah pola konsumsi makanan, baik kualitas (dari nasi ke jagung atau umbi-umbian) maupun kuantitas (dari 3 kali sehari menjadi 1 atau 2 kali sehari).

(21)

9

daging sapi menunjukkan penurunan karena merupakan pangan hewani yang harganya lebih mahal dibandingkan dengan bahan makanan lainnya. Rata-rata konsumsi pangan hasil peternakan tertinggi terdapat di daerah perkotaan.

Konsumsi protein hewani masih rendah, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini karena pada umumnya pangan hewani harganya mahal dan bahkan sebagian orang berpendapat bahwa jenis pangan ini dianggap barang mewah. Meskipun memiliki bahan pangan hewani, kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan menukarnya dengan jenis pangan yang lain (Atmojo & Rustiawan 1990). Konsumsi daging ternak berkisar antara 0.8 kg/kap/th hingga 10.6 kg/kap/th (Martianto 1995). Di wilayah perkotaan rata-rata konsumsi daging menurun dari 24 gr/kap/hr pada tahun 1997 menjadi 12 gr/kap/hr pada tahun 1998, sementara di wilayah pedesaan menurun dari 20 gr/kap/hr (1997) menjadi 10 gr/kap/hr (1998) (Latief, Atmarita, Minarto, Basuni & Tilden 2000).

Hapsari (2005) menemukan bahwa konsumsi minyak goreng cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan dan konsumsinya lebih tinggi di perkotaan dibandingkan pedesaan. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan permintaan minyak goreng untuk pangan rumah tangga semakin meningkat. Laju pertumbuhan total konsumsi minyak goreng sekitar 3,31 per tahun (Amang, Simatupang & Sjafa’at 1996).

Hasil analisis Susenas 1999 menunjukkan bahwa konsumsi tahu pada rumah tangga rawan pangan adalah sebesar 22.41 kg/kap/th di perkotaan dan 15.80 kg/kap/th di pedesaan. Adapun konsumsi tempe pada rumah tangga tersebut adalah sebesar 2.99 kg/kap/th di perkotaan dan 2.38 kg/kap/th di pedesaan (Saliem, Lokollo, Purwantini, Ariani dan Marisa 2001). Konsumsi tahu dan tempe di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Pada rumah tangga berpendapatan rendah maupun tinggi, pada sebelum, masa dan pasca krisis ekonomi, konsumsi tahu dan tempe menunjukkan tren yang selalu meningkat dengan nilai yang cukup besar hingga 34% (Martianto & Ariani 2004).

(22)

dan melihat bagaimana pergeseran peringkat kontribusi di antara komoditas tersebut (Purba 2004).

Erwidodo, Santoso, Ariani, Ariningsih dan Siagian (1998) menyatakan bahwa tingkat partisipasi konsumsi protein hewani cenderung meningkat dari tahun 1987 sampai tahun 1993, kecuali daging kambing dan ayam kampung untuk wilayah perkotaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Erwidodo, Saliem, Ariani dan Ariningsih (1999) di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga yang membeli beras, jagung dan daging sapi untuk keperluan konsumsinya adalah masing-masing sebesar 60.8%, 50.0%, dan 91.7%, sementara untuk rumah tangga di Kabupaten Tanah datar berturut-turut sebesar 32.9%, 12.5% dan 100.0%. Martianto (1995) menemukan bahwa proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi hasil ternak lebih tinggi di wilayah kota dibanding desa.

Pangan yang memiliki kontribusi energi ≥ 5 persen dapat dinyatakan sebagai pola konsumsi pangan pokok. Dengan analog yang sama, pangan yang memiliki kontribusi protein ≥ 5 persen dapat dinyatakan sebagai pola konsumsi pangan sumber protein (BPS 1984 diacu dalam Martianto 1995). Kontribusi energi konsumsi minyak goreng di perkotaan lebih tinggi dibandingkan pedesaan (Hapsari 2005).

Mayrowani (1991) menemukan bahwa pangan yang dikonsumsi masyarakat diperoleh sebagian besar dari pembelian (59.8%). Selain itu, pangan juga dapat diperoleh dari produksi sendiri (25.3%), dan pemberian dari orang lain (9.6%).

(23)

11

Tabel 3 Ketahanan pangan: kecukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan

Pangsa pengeluaran pangan Konsumsi energi per unit

ekuivalen dewasa Rendah

(≤ 60% pengeluaran total)

Tinggi

(>60% pengeluaran total) Cukup (> 80% syarat

kecukupan energi)

Kurang (≤ 80% syarat kecukupan energi)

Tahan pangan

Kurang pangan

Rentan pangan

Rawan pangan

Sumber: Jonsson dan Toole (1991) diacu dalam Maxwell et al. (2000) diacu dalam Saliem et al. (2001)

Rachman dan Erwidodo (1994) menyatakan mengenai Hukum Working, yaitu pangsa pengeluaran pangan memiliki hubungan yang negatif dengan pengeluaran rumah tangga. Mayrowani (1991) menemukan bahwa di Jawa Barat, pengeluaran pangan masih mendominasi pengeluaran rumah tangga, yaitu sebesar 53.1%.

Suhardjo (1989) berpendapat bahwa pengeluaran pangan rumah tangga dipengaruhi salah satunya oleh pendapatan rumah tangga (semua sumber). Pendapatan rumah tangga dapat dilihat dari tingkat pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pangan dan non pangan. Pada kondisi tidak tersedianya data pendapatan, pendapatan dapat didekati dari pengeluaran total (Fachrina 2005).

Bila tingkat pendapatan rendah, maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan non pangan. Sebaliknya, bila pendapatan semakin baik, maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan sudah terpenuhi. Dengan kata lain, pendapatan yang meningkat akan mendorong terjadinya pergeseran pola konsumsi (Husaini, Widodo, Triwinarto & Saliman 2000; Hapsari 2005). Hal ini sesuai dengan Hukum Engel, pada saat terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil. Sebaliknya, bila pendapatan menurun, persentase yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Soekirman 2000).

(24)

makanan pokok menurun tetapi pengeluaran untuk pangan hewani, sayur, dan buah meningkat. Selain bertambah beragam antar kelompok pangan, peningkatan pendapatan juga meningkatkan keragaman dalam masing-masing kelompok komoditas pangan.

Daud (1986) menyatakan bahwa pola konsumsi dapat dicerminkan oleh pangsa pengeluaran pangan yang berbeda antara kota dan desa. Selanjutnya, besar kecilnya pengeluaran pangan dapat dipakai sebagai acuan untuk melihat tingkat konsumsi zat gizi, walaupun tidak akurat. Hal ini karena semakin besar pengeluaran pangan belum tentu diikuti oleh peningkatan tingkat konsumsi zat gizi apabila harga dari pangan tersebut mengalami kenaikan (Ariani & Saliem 1992).

Hasil studi yang dilakukan Irawan (1998) menemukan bahwa penurunan tajam pada pendapatan menyebabkan banyak rumah tangga mengalami kesulitan untuk membeli makan yang selanjutnya berakibat pada berubahnya pola pengeluaran konsumsi. Proporsi untuk kebutuhan pangan lebih besar dibandingkan untuk kebutuhan non pangan, seperti kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Irawan dan Romdiati (2000) menjelaskan bahwa proporsi pengeluaran untuk pangan yang lebih besar daripada non pangan dapat dijelaskan atas dua alasan. Pertama, meningkatnya porsi konsumsi pangan tidak selalu mengindikasikan perbaikan pada kandungan energi dan protein yang dikonsumsi oleh setiap individu dalam suatu rumah tangga. Kedua, semakin kecilnya porsi konsumsi non pangan juga berarti berkurangnya pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan non pangan yang paling esensial, khususnya kebutuhan dasar untuk kesehatan dan pendidikan anak.

(25)

13

kelompok sama, maka kelompok rumah tangga rawan pangan dan rentan pangan mengkonsumsi pangan lebih sedikit baik dari jumlah maupun mutunya.

Secara umum, pengeluaran pangan di tiap propinsi lebih besar di wilayah pedesaan daripada wilayah perkotaan, sedangkan pengeluaran non pangan di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Hal ini terjadi karena kehidupan di perkotaan memerlukan pengeluaran yang lebih beragam dibandingkan di wilayah pedesaan (Irawan 2002; Hapsari 2005). Menurut Ariani et al. (2000), secara absolut, pedesaan memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan perkotaan.

Hasil penelitian Hapsari (2005) menemukan bahwa pangsa pengeluaran minyak goreng di pedesaan lebih tinggi dibanding perkotaan. Lebih lanjut, Ariani

et al. (2000) menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran minyak goreng terhadap

pengeluaran pangan untuk golongan pendapatan rendah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan golongan pendapatan lainnya. Martianto (1995) menyatakan bahwa secara rata-rata, rumah tangga di wilayah kota mengalokasikan pengeluaran untuk pangan hewani dua kali lebih besar dibandingkan rumah tangga di wilayah desa.

Salah satu parameter untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). PPH juga notabene dapat menjadi cermin kualitas konsumsi pangan masyarakat. Prinsip PPH tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya terima masyarakat, kuantitas, dan daya beli.

(26)

Tabel 4 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan Deptan 2001

FAO-RAPA Meneg Pangan (1994) Deptan (2001) No. Kelompok

Pangan % Min-Max % Bobot Skor % Bobot Skor 1 Padi-padian 40.0 40.0-60.0 50.0 0.5 25.0 50.0 0.5 25.0 2

Umbi-umbian 5.0 0.0-8.0 5.0 0.5 2.5 6.0 0.5 2.5 3 Pangan

hewani 20.0 5.0-20.0 15.3 2.0 30.6 12.0 2.0 24.0 4 Minyak dan

lemak 10.0 5.0-15.0 10.0 1.0 10.0 10.0 0.5 5.0 5 Buah/biji

berminyak 3.0 0.0-3.0 3.0 0.5 1.5 3.0 0.5 1.0 6

Kacang-kacangan 6.0 2.0-10.0 5.0 2.0 10.0 5.0 2.0 10.0 7 Gula 8.0 2.0-15.0 6.7 0.5 3.4 5.0 0.5 2.5 8 Sayur dan

buah 5.0 3.0-8.0 5.0 2.0 10.0 6.0 5.0 30.0 9 Lain-lain 3.0 0.0-5.0 0.0 0.0 0.0 3.0 0.0 0.0

(27)

KERANGKA PEMIKIRAN

Permintaan pangan bersifat dinamis, antara lain dapat berubah akibat perubahan pengetahuan gizi, pendapatan, harga pangan (harga pangan tersebut dan harga pangan lain), preferensi, dan karakteristik pangan. Keragaan permintaan pangan strategis dilihat melalui variabel konsumsi pangan strategis dan elastisitas permintaan pangan strategis. Variabel yang termasuk ke dalam komponen konsumsi pangan strategis secara kuantitas adalah jumlah konsumsi pangan strategis, tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis, konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan, kontribusi energi dan protein pangan strategis, dan pangsa pengeluaran pangan strategis. Secara kualitas, konsumsi pangan strategis dicerminkan dengan skor PPH. Ukuran kuantitatif yang dapat menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga atau faktor-faktor lainnya terhadap perubahan permintaan pangan strategis merupakan elastisitas permintaan pangan strategis. Elastisitas permintaan dapat dibedakan menjadi elastisitas harga sendiri, elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan.

(28)

PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS

 KONSUMSI PANGAN STRATEGIS

Jumlah Konsumsi Pangan Strategis

Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Strategis

Konsumsi Pangan Strategis berdasarkan Sumber Perolehan Kontribusi Energi dan Protein Pangan Strategis

Energi: beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya (mi instan dan mi basah), gula pasir, minyak goreng Protein: kedelai dan daging sapi

Pangsa Pengeluaran Pangan Strategis Kualitas Konsumsi Pangan (Skor PPH)

 ELASTISITAS PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS Elastisitas Harga Sendiri

Elastisitas Silang Elastisitas Pendapatan

Keterangan:

Variabel yang diteliti

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Elastisitas Permintaan Pangan Strategis Harga

Pangan

Pendapatan

Implikasi untuk Kebijakan Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat Pengetahuan

Gizi

Preferensi

Karakteristik Pangan

(29)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bogor pada bulan Maret hingga Juni 2008. Pengolahan data dilakukan di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian yang bertempat di Jalan Jend. A. Yani No. 70 Bogor. Pengolahan data dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Maret hingga April 2008.

Sumber dan Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data tersebut berupa data dasar (raw data) dalam bentuk CD sehingga dapat diolah sesuai dengan keperluan analisis.

Susenas merupakan survei rumah tangga yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial ekonomi yang sangat luas dengan lingkup nasional. Kerangka sampel yang digunakan adalah blok sensus. Suatu blok sensus harus memenuhi kriteria seperti berikut: (1) setiap wilayah desa/kelurahan dibagi habis menjadi beberapa blok sensus, (2) blok sensus harus mempunyai batas-batas yang jelas/mudah dikenali baik batas alam maupun buatan (RT, RW, dan sebagainya), dan (3) satu blok sensus harus terletak dalam satu hamparan.

Kategori data kategori data yang terdapat dalam Susenas terdiri dari 2 set, yaitu: (1) variabel pokok yang disebut dengan Kor, yang terdiri dari data karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan kelompok pangan serta pendapatan; dan (2) variabel sasaran yang disebut dengan Modul, yang terdiri dari data konsumsi pangan rumah tangga secara terperinci dan lengkap. Data Kor dikumpulkan setiap tahun sekali, sedangkan data Modul dikumpulkan setiap tiga tahun sekali.

(30)

Tabel 5 Pengelompokan dan jumlah jenis pangan dalam data Susenas 2005

No Kelompok Pangan Jumlah Jenis Pangan

1 Padi-padian 8

2 Umbi-umbian 9

3 Ikan/udang segar 19

4 Ikan/udang diawetkan 13

5 Daging segar 8

6 Daging diawetkan dan lainnya 9

7 Telur dan susu 13

8 Sayur-sayuran 29

9 Kacang-kacangan 11

10 Buah-buahan 23

11 Minyak dan lemak 6

12 Bahan minuman 8

13 Bumbu-bumbuan 13

14 Konsumsi lainnya 9

15 Makanan dan minuman jadi 30

16 Tembakau dan sirih 6

Total 214

Pengumpulan data Susenas umumnya dilakukan pada bulan Februari melalui wawancara langsung kepada rumah tangga sampel atau anggota rumah tangga yang paling mengetahui keadaan di rumah tangga yang bersangkutan. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang sudah dipersiapkan dengan metode ”recall” (mengingat kembali). Referensi waktu survei yang digunakan adalah selama seminggu yang lalu untuk konsumsi pangan serta sebulan atau setahun yang lalu untuk konsumsi bukan pangan. Data konsumsi pangan pada dasarnya merupakan turunan dari data pengeluaran rumah tangga untuk semua jenis pangan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data Susenas tahun 2005 dengan jumlah sampel sebanyak 64.709 rumah tangga yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Dari seluruh sampel, 26.376 rumah tangga berada di perkotaan dan 38.333 rumah tangga berada di pedesaan. Berdasarkan kelas pendapatan, sampel dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan jumlah sampel masing-masing sebanyak 25.883, 25.883, dan 12.943 rumah tangga.

Pengolahan dan Analisis Data

(31)

19

mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula, daging sapi dan minyak goreng. Karakteristik pangan-pangan tersebut disajikan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Jenis pangan strategis yang dianalisis dan karakteristiknya dalam

Susenas 2005

No Jenis

Pangan

Jenis Pangan dalam Susenas Kelompok Pangan dalam Susenas

1 Beras Beras, beras ketan, tepung beras, bihun Padi-padian 2 Jagung Jagung basah dengan kulit,

jagung pipilan, tepung jagung (maizena)

Padi-padian

3 Ubi kayu Ketela pohon/singkong, gaplek, tepung gaplek (tiwul), tepung ketela pohon (tapioka/kanji)

Umbi-umbian

4 Ubi jalar Ketela rambat/ubi jalar Umbi-umbian 5 Terigu dan 6 Mi instan Mi instan Konsumsi lainnya 7 Mi basah Mi basah Konsumsi lainnya 8 Kedelai dan

turunannya

Kacang kedelai, tahu, tempe, tauco Kecap

Kacang-kacangan Bumbu-bumbuan 9 Gula Gula pasir Bahan minuman 10 Daging sapi Daging sapi Daging (Daging

segar) 11 Minyak

goreng

Minyak kelapa, minyak jagung, minyak sawit

Minyak dan Lemak

Jenis pangan dalam Susenas dikonversi setara dengan jenis pangan strategis yang dianalisis untuk mendapatkan analisis komoditas secara utuh. Faktor konversi diperoleh dari daftar konversi yang telah dipublikasikan dan hasil perhitungan menggunakan referensi hasil penelitian suatu lembaga. Daftar konversi pangan yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 7. Tabel 7 Daftar konversi pangan

No Jenis Pangan Bentuk Semula Bentuk Sekarang Faktor Konversi 2 Jagung Jagung basah dengan kulit

Jagung kering dengan kulit 4 Tepung terigu Mi instan

Mi basah

(32)

Pengolahan data untuk menjawab tujuan penelitian 1 dilakukan dengan menggunakan program SAS versi 6.12 dan Program Aplikasi Perencanaan Pangan dan Gizi Wilayah yang dikembangkan Heryatno, Baliwati & Tanziha (2004) dari Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian IPB. Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 digunakan dalam perhitungan tingkat konsumsi energi dan protein, yaitu 2000 Kal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Skor PPH diukur berdasarkan kriteria PPH Deptan 2001. dengan keluaran berupa tabel Skor PPH (Tabel 8). Hasil pengolahan dipresentasikan dalam bentuk tabel dan gambar dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Tabel 8 Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH)

Skor Pola Pangan Harapan (PPH) N

(33)

21

Ln Y1 11LnX11 12LnX12 13LnX13 14LnX14 15LnX15 ...(1)

Dimana

Y1 = Permintaan beras; X11 = Harga beras;

X12 = Harga jagung; X13 = Harga ubi kayu;

X14 = Harga ubi jalar; X15 = Harga mi instan;

P = Pendapatan

Ln Y2 21LnX21 22LnX22 23LnX23 24LnX24 25LnX25 ...(2)

Dimana

Y2 = Permintaan jagung; X21 = Harga jagung;

X22 = Harga beras; X23 = Harga ubi kayu;

X24 = Harga ubi jalar; X25 = Harga mi instan;

P = Pendapatan

Ln Y3 31LnX31 32LnX32 33LnX33 34LnX34 35LnX35 ...(3)

Dimana

Y3 = Permintaan ubi kayu; X31 = Harga ubi kayu;

X32 = Harga beras; X33 = Harga jagung;

X34 = Harga ubi jalar; X35 = Harga mi instan;

P = Pendapatan

Ln Y4 41LnX41 42LnX42 43LnX43 44LnX44 45LnX45 ...(4)

Dimana

Y4 = Permintaan ubi jalar; X41 = Harga ubi jalar;

X42 = Harga beras; X43 = Harga jagung;

X44 = Harga ubi kayu; X45 = Harga mi instan;

P = Pendapatan

Ln Y5 51LnX51 52LnX52 53LnX53 54LnX54 55LnX55 ...(5)

Dimana

Y5 = Permintaan terigu dan turunannya;

X51 = Harga terigu dan turunannya;

X52 = Harga beras; X53 = Harga jagung;

X54 = Harga ubi kayu; X55 = Harga ubi jalar;

P = Pendapatan

Ln Y6 61LnX61 62LnX62 63LnX63 64LnX64 65LnX65 ...(6)

Dimana

Y6 = Permintaan mi instan; X61 = Harga mi instan;

X62 = Harga beras; X63 = Harga jagung;

X64 = Harga ubi kayu; X65 = Harga ubi jalar;

P = Pendapatan

Ln Y7 71LnX71 72LnX72 73LnX73 74LnX74 + 75LnX75 76LnX76 +

...(7) Dimana

Y7 = Permintaan mi basah; X71 = Harga mi basah;

X72 = Harga beras; X73 = Harga jagung;

X74 = Harga ubi kayu; X75 = Harga ubi jalar;

X76 = Harga terigu dan turunannya;

(34)

Ln Y8 81LnX81 82LnX82 83LnX83 84LnX84 85LnX85 86LnX86 +

.... (8) Dimana

Y8 = Permintaan kedelai; X81 = Harga kedelai;

X82 = Harga ikan segar; X83 = Harga ikan asin;

X84 = Harga daging sapi; X85 = Harga daging ayam;

X86 = Harga telur; P = Pendapatan

Ln Y9 91LnX91 92LnX92 ....(9)

Dimana

Y9 = Permintaan gula; X91 = Harga gula;

X92 = Harga gula merah; P = Pendapatan

Ln Y10 101LnX101 102LnX102 103LnX103 ....(10)

Dimana

Y10 = Permintaan daging sapi; X101 = Harga daging sapi;

X102 = Harga daging ayam; X103 = Harga telur;

P = Pendapatan

Ln Y11 111LnX111 ....(11)

Dimana

Y11 = Permintaan minyak goreng;

X111 = Harga minyak goreng; P = Pendapatan

Harga setiap pangan yang akan dimasukkan ke dalam rumus empirik perlu disesuaikan terlebih dahulu jika pangan tersebut memiliki produk olahan. Harga pangan tersebut didapatkan melalui perhitungan harga rata-rata dengan bobot tertimbang dari bentuk asal dan semua produk olahannya. Sebagai contoh, harga beras diperoleh dari rata-rata bobot tertimbang dari harga beras, beras ketan, tepung beras, dan bihun. Setelah semua harga pangan yang dibutuhkan diperoleh, data diolah dengan menggunakan program SAS versi 6.12. Selanjutnya, dilakukan analisis secara deskriptif.

(35)

23

Definisi Operasional

Pangan strategis adalah 11 komoditas pangan yang berdasarkan pertimbangan tertentu dianggap penting, yaitu dikonsumsi sebagian besar masyarakat, dan atau memiliki nilai ekonomi, sosial, dan politik yang tinggi, memiliki ketergantungan impor yang cukup tinggi, atau memiliki berbagai masalah lain yang menuntut adanya campur tangan pemerintah, mencakup beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya (mi instan dan mi basah), kedelai dan turunannya, gula, daging sapi, dan minyak goreng.

Rumah tangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan tinggal bersama serta makan dari satu dapur, sesuai dengan definisi rumah tangga yang ditetapkan oleh BPS dalam Susenas.

Wilayah adalah pengelompokan domisili rumah tangga berdasarkan tempat tinggal menurut kategori BPS, diklasifikasikan atas desa, kota, dan kota+desa (nasional).

Kelas pendapatan adalah pengelompokan rumah tangga berdasarkan besar pendapatan, dikategorikan menurut Bank Dunia, yaitu rendah (40% rumah tangga berpendapatan paling rendah), sedang (40% rumah tangga berpendapatan lebih tinggi), dan tinggi (20% kelas berpendapatan paling tinggi). Permintaan pangan strategis adalah jumlah pangan yang diminta untuk dikonsumsi konsumen pada tingkat harga tertentu, terdiri dari variabel konsumsi pangan strategis dan elastisitas permintaan pangan strategis.

Konsumsi pangan strategis adalah variabel yang terdiri dari jumlah konsumsi pangan strategis, tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis, konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan, kontribusi energi dan protein pangan strategis, pangsa pengeluaran pangan strategis, dan kualitas konsumsi pangan (skor PPH).

Jumlah konsumsi pangan strategis adalah jumlah pangan strategis yang dikonsumsi seseorang dalam jangka waktu 1 tahun, dinyatakan dalam kg/kap/th. Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis adalah persentase rumah tangga contoh yang mengkonsumsi pangan strategis terhadap total rumah tangga, dinyatakan dalam satuan persen (%).

(36)

pembelian dan 2) produksi sendiri/pemberian terhadap total sumber perolehan pangan, dinyatakan dalam satuan persen (%).

Konsumsi energi dan protein adalah jumlah energi dan protein yang dikonsumsi seseorang dalam jangka waktu 1 hari, dinyatakan dalam Kal/kap/hari untuk energi dan gram/kap/hari untuk protein.

Tingkat konsumsi energi dan protein adalah persentase konsumsi energi atau protein terhadap Angka Kecukupan Energi dan Protein, dinyatakan dalam satuan persen (%).

Kontribusi energi dan protein pangan strategis adalah perbandingan kontribusi energi dari beras, jagung, gula pasir dan minyak goreng terhadap total konsumsi energi; perbandingan kontribusi protein dari kedelai dan daging sapi terhadap total konsumsi protein; dinyatakan dalam satuan persen (%).

Pengeluaran pangan adalah jumlah uang yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jangka waktu 1 bulan, dinyatakan dalam Rp/kapita/bulan.

Pangsa pengeluaran pangan strategis adalah persentase pengeluaran setiap pangan strategis terhadap total pengeluaran pangan, dinyatakan dalam satuan persen (%).

Skor Pola Pangan Harapan adalah nilai yang menunjukkan kualitas/keragaman pangan yang dikonsumsi yang ditunjukkan dengan skor 100 dengan komposisi sebagai berikut: padi-padian (25), umbi-umbian (2.5), pangan hewani (24), minyak dan lemak (5), buah dan biji berminyak (1), kacang-kacangan (10), gula (2.5), sayur dan buah (30), dan lain-lain (0).

Elastisitas permintaan pangan strategis adalah respons permintaan pangan strategis akibat perubahan satu satuan harga atau pendapatan, meliputi elastisitas harga sendiri, elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan.

Elastisitas harga sendiri adalah respon permintaan suatu jenis pangan akibat perubahan satu satuan harga komoditas pangan tersebut.

Elastisitas silang adalah respon permintaan suatu jenis pangan akibat perubahan satu satuan harga komoditas pangan lain.

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Pangan Strategis Jumlah Konsumsi Pangan Strategis

Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah konsumsi beras lebih tinggi dibandingkan dengan pangan pokok lain. Menurut Ariani (1993) diacu dalam Martianto dan Ariani (2004), terdapat beberapa alasan yang mendasari dipilihnya beras sebagai pangan pokok, yaitu cita rasa yang lebih enak, lebih cepat dan lebih praktis diolah, dan mempunyai komposisi gizi relatif lebih baik dibandingkan pangan pokok yang lain. Selain itu, beras sering diidentikkan dengan pangan pokok yang mempunyai status sosial tinggi. Jumlah konsumsi beras lebih tinggi di pedesaan daripada di perkotaan. Masyarakat kota menggunakan beragam pangan sumber energi untuk memenuhi kebutuhannya, tidak hanya dari beras. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Fachrina (2005) yang menemukan bahwa konsumsi beras per kapita di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada wilayah pedesaan.

Pangan lain yang dikonsumsi dalam jumlah lebih besar di pedesaan dibanding di perkotaan adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan gula pasir. Hal ini menunjukkan bahwa pangan-pangan tersebut masih dikonsumsi sebagai makanan pokok oleh masyarakat pedesaan. Jumlah konsumsi ubi kayu mencapai angka yang cukup besar, yaitu 11.67 kg/kap/th (nasional). Hal ini karena ubi kayu masih cukup diminati sebagai pangan untuk dikonsumsi masyarakat dalam bentuk olahan yang beragam. Tingginya jumlah konsumsi ubi kayu ini tidak diikuti oleh jagung dan ubi jalar yang menunjukkan jumlah konsumsi nasional per kapita masing-masing 3.36 kg/th dan 4.10 kg/th.

Tabel 9 Jumlah konsumsi pangan strategis menurut wilayah (kg/kap/th)

No. Jenis pangan Nasional Kota Desa

(38)

Terigu dan turunannya, mi instan, dan mi basah, dikonsumsi dalam jumlah masing-masing sebesar 5.09 kg/kap/th, 3.39 kg/kap/th, dan 0.22 kg/kap/th. Jumlah konsumsi pangan-pangan tersebut lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Hal ini karena masyarakat perkotaan mengkonsumsi produk terigu yang dikenal praktis dan mudah diolah menjadi berbagai macam bentuk olahan (Ariani et al. 2000).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah konsumsi kedelai dan turunannya adalah sebesar 7.29 kg/kap/th. Jumlah konsumsinya yang lebih tinggi di perkotaan dibanding di pedesaan menunjukkan bahwa pangan berbahan baku kedelai dijumpai di perkotaan dalam jumlah yang banyak dan bentuk yang beragam. Jumlah konsumsi kedelai dan turunannya yang diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Saliem et al. (2001) menggunakan data Susenas 1999 yang menunjukkan bahwa konsumsi tahu sebagai produk turunan kedelai pada rumah tangga rawan pangan adalah sebesar 22.41 kg/kap/th di perkotaan dan 15.80 kg/kap/th di pedesaan. Sementara itu, konsumsi tempe pada penelitian tersebut adalah sebesar 2.99 kg/kap/th di perkotaan dan 2.38 kg/kap/th di pedesaan.

Jumlah konsumsi gula pasir adalah sebesar 9.64 kg/kap/th, lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Masyarakat kota yang memiliki kesadaran akan kesehatan yang lebih tinggi cenderung mengurangi konsumsi gula pasir agar terhindar dari penyakit degeneratif, terutama diabetes. Selain karena termasuk bahan minuman yang sering dikonsumsi bersamaan dengan teh dan kopi, gula pasir juga termasuk bahan campuran yang digunakan dalam pengolahan berbagai jenis masakan. Selain itu, gula pasir juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan makanan ringan atau selingan, seperti kue, roti, dan agar-agar (Syafaat et al. 2003).

(39)

27

lebih tinggi daripada wilayah pedesaan. Hal ini disebabkan karena daging sapi banyak dikonsumsi rumah tangga perkotaan yang memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan rumah tangga pedesaan. Jumlah konsumsi yang tidak jauh berbeda antara daerah perkotaan dan pedesaan, seperti yang terjadi pada komoditas gula pasir dan daging sapi, mengindikasikan bahwa kedua komoditas tersebut sudah teralokasikan dengan terdistribusikan dengan baik sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat sampai ke daerah pedesaan.

Tabel 10 Jumlah konsumsi pangan strategis menurut kelas pendapatan (kg/kap/th)

No. Jenis pangan Rendah Sedang Tinggi

1 Hampir seluruh pangan strategis memiliki jumlah konsumsi yang cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan, kecuali jagung, ubi kayu, dan ubi jalar (Tabel 10). Hal ini dapat dijelaskan dengan pernyataan Caleindo (1979) diacu dalam Hardinsyah (1988) bahwa peningkatan pendapatan akan berimplikasi pada perubahan pola konsumsi pangan dan mengurangi konsumsi pangan inferior. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa jagung, ubi kayu, dan ubi jalar termasuk pangan inferior. Pangan strategis yang memiliki kenaikan yang mencolok dengan peningkatan pendapatan adalah daging sapi, mi basah, terigu dan turunannya, dan mi instan.

Jumlah konsumsi ubi jalar pada rumah tangga berpendapatan tinggi lebih besar dibandingkan yang berpendapatan sedang. Hal ini diduga karena masyarakat berpendapatan tinggi memiliki ketertarikan yang tinggi untuk mencoba jenis makanan baru yang banyak diolah dari ubi jalar (Zuraida & Supriati 2001).

(40)

bahan pangan hewani, cenderung akan menukarnya dengan jenis pangan yang lain (Atmojo & Rustiawan 1990).

Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Strategis

Tingkat partisipasi konsumsi pangan didefinisikan sebagai persentase rumah tangga contoh yang dilaporkan mengkonsumsi jenis pangan tertentu (Suyanto 1992 diacu dalam Purba 2004). Kegunaannya adalah untuk mengetahui diantara pangan sumber suatu zat gizi, pangan apa yang merupakan sumber utama zat gizi tersebut dan untuk melihat bagaimana pergeseran peringkat kontribusi diantara pangan tersebut (Purba 2004).

Tabel 11 Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis menurut wilayah (%)

No. Jenis pangan Nasional Kota Desa

1 Beras 2 Jagung basah dengan kulit

Jagung pipilan

4 Ubi jalar 11.12 9.11 12.50

5 Mi instan 60.95 65.81 57.60

6 Mi basah 1.67 2.08 1.39

7 Tepung Terigu 17.66 19.12 16.65

(41)

29

sehingga harga beras dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi tidak dialami produk turunan beras, seperti beras ketan, tepung beras, dan bihun. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi beras tidak hanya terjadi di perkotaan (95.51%), melainkan juga di pedesaan (98.11%). Lebih rendahnya tingkat partisipasi konsumsi beras di perkotaan dibandingkan di pedesaan disebabkan sebagian masyarakat perkotaan mengkonsumsi pangan sumber energi selain beras sebagai pangan pokok.

Tingkat partisipasi konsumsi jagung sangat rendah, yaitu 3.95% untuk jagung basah dengan kulit, 5.59% untuk jagung pipilan, dan 0.52% untuk tepung jagung/maizena. Hal ini dapat disebabkan kurang beragamnya produk olahan jagung untuk dikonsumsi masyarakat. Sebanyak 4.29% masyarakat perkotaan mengkonsumsi jagung dalam bentuk jagung basah dengan kulit dan sebanyak 8.23% masyarakat pedesaan mengkonsumsi jagung dalam bentuk jagung pipilan. Tingkat partisipasi konsumsi ubi kayu yang masih cukup tinggi adalah ubi kayu dalam bentuk aslinya, yaitu 29.04%. Angka ini cukup jauh melampaui tingkat partisipasi konsumsi ubi jalar, sebesar 11.12%. Baik ubi kayu maupun ubi jalar lebih banyak dikonsumsi di pedesaan dibandingkan di perkotaan, ditunjukkan dengan tingkat partisipasi konsumsinya yang lebih tinggi di pedesaan. Tepung terigu paling banyak dikonsumsi masyarakat dalam bentuk mi instan, terlihat dari tingkat partisipasi konsumsinya yang mencapai 60.95%. Mi sudah menjadi bagian dari pola makan rumah tangga, baik di desa maupun di kota. Kebiasaan ini muncul karena produk mi dapat ditemui dalam merek bermacam-macam, dikemas rapi dan menarik, mudah disajikan, serta gencarnya promosi di berbagai media elektronik dan media lain (Ariani et al. 2000). Tingkat partisipasi konsumsi terigu dan turunannya lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan.

(42)

52.84% untuk kecap). Selain produk olahannya yang beranekaragam dan menarik, harga produk kedelai masih dianggap lebih murah dibandingkan dengan pangan penghasil protein lainnya, khususnya pangan hewani. Tingkat partisipasi konsumsi kedelai dan turunannya di kota lebih besar daripada di desa walaupun harga produk olahan kedelai tersebut lebih murah di pedesaan.

Gula pasir merupakan bahan campuran yang digunakan dalam pengolahan berbagai jenis masakan selain digunakan sebagai bahan minuman yang sering dikonsumsi bersamaan dengan teh dan kopi. Selain itu, gula pasir juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan makanan ringan atau selingan, seperti kue, roti, dan agar-agar (Syafaat et al. 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi konsumsi gula pasir mencapai 92.22%. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi gula pasir juga terjadi di perkotaan (93.46%) dan di pedesaan (91.37%).

Tingkat partisipasi konsumsi daging sapi masih rendah, yaitu sebesar 7.36%. Rumah tangga perkotaan lebih banyak yang mengkonsumsi daging sapi dibandingkan rumah tangga pedesaan. Hasil ini sejalan dengan Martianto (1995) yang menemukan bahwa proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi hasil ternak lebih tinggi di wilayah kota dibanding desa. Daging sapi merupakan pangan hewani yang harganya lebih mahal dibandingkan dengan bahan makanan lainnya sehingga masyarakat perkotaan yang pendapatannya lebih tinggi dapat mengkonsumsinya (Fachrina 2005). Umumnya, pangan hewani harganya mahal dan bahkan dianggap barang mewah oleh sebagian orang (Atmojo & Rustiawan 1990).

Minyak goreng dalam bentuk minyak sawit dan minyak kelapa dikonsumsi sekitar separuh jumlah rumah tangga. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil analisis Survei Konsumsi Gizi (SKG) oleh Depkes yang menyatakan bahwa minyak goreng merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi masyarakat di wilayah perkotaan dan pedesaan (Hardinsyah, Amalia & Setiawan 2002). Masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan, lebih banyak yang mengkonsumsi minyak sawit dibandingkan dengan minyak kelapa.

(43)

31

Semakin tinggi pendapatan, tingkat partisipasi jagung pipilan, ubi kayu dalam bentuk aslinya, tepung gaplek, gaplek, dan kedelai cenderung semakin menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh anggapan bahwa pangan-pangan tersebut merupakan pangan inferior. Beras, ubi jalar, tapioka, mi instan, tahu, tempe, gula pasir, minyak kelapa, dan minyak sawit memiliki tingkat partisipasi tertinggi pada rumah tangga berkelas pendapatan sedang. Rumah tangga berkelas pendapatan tinggi cenderung lebih memilih pangan hewani untuk dikonsumsi. Pangan hewani, khususnya daging sapi, merupakan pangan yang memiliki prestise tinggi sehingga digemari konsumen berpendapatan tinggi. Hal ini tentunya menjadi alasan bagi masyarakat tersebut untuk mengurangi konsumsi pangan nabati, seperti tahu dan tempe, agar asupan protein yang diperoleh lebih tinggi.

Tabel 12 Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis menurut kelas pendapatan (%)

No. Jenis pangan Rendah Sedang Tinggi

1 Beras 2 Jagung basah dengan kulit

Jagung pipilan

4 Ubi jalar 11.21 11.64 9.88

5 Mi instan 55.18 64.83 64.73

6 Mi basah 1.17 1.83 2.35

7 Tepung Terigu 13.59 19.67 21.76

8 Kedelai

Konsumsi Pangan Strategis berdasarkan Sumber Perolehan

(44)

menunjukkan bahwa masyarakat lebih memilih membeli pangan yang akan dikonsumsi. Hal ini didorong karena membeli memiliki sifat mudah, cepat, dan praktis serta memiliki prestise yang lebih tinggi. Hasil ini senada dengan penelitian Mayrowani (1991), bahwa di Jawa Barat, pangan yang dikonsumsi masyarakat diperoleh sebagian besar dari pembelian. Jagung, ubi kayu, dan ubi jalar memiliki persentase perolehan pangan melalui produksi sendiri/pemberian yang cukup besar. Konsumsi mi instan dan mi basah melalui produksi/pemberian adalah masing-masing 1.07% dan 1.06%. Karena mi instan dan mi basah diasumsikan tidak dapat diproduksi sendiri, angka pada kolom produksi/pemberian tersebut merupakan pangan yang diperoleh dari pemberian. Tabel 13 Konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan

menurut wilayah (%)

No. Jenis pangan Nasional Kota Desa

(45)

33

Tabel 13 menunjukkan bahwa secara umum, persentase pembelian pangan strategis di kota dan di desa tidak terlalu banyak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pasar, baik secara grosir hingga eceran, sudah cukup baik sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat sampai ke daerah pedesaan. Tentunya hal ini merupakan daya tarik tersendiri untuk masyarakat, baik di kota dan di desa, untuk memperoleh pangan melalui pembelian.

Tabel 14 Konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan menurut kelas pendapatan (%)

No. Jenis pangan Rendah Sedang Tinggi

1 Beras

(46)

pedesaan cukup tinggi, mencapai 75.60%. Hal ini terjadi karena distribusi beras yang sudah baik di pedesaan, perubahan gaya hidup, dan kebiasaan petani untuk menjual beras langsung setelah penen karena keinginan untuk memiliki uang cash. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa secara umum terdapat pola yang sama pada seluruh jenis pangan, yaitu semakin tinggi pendapatan, persentase konsumsi pangan melalui pembelian cenderung semakin tinggi. Hal ini diduga disebabkan tingginya prestise membeli dibandingkan dengan produksi sendiri/pemberian. Selain itu, masyarakat berpendapatan tinggi cenderung memiliki pola pemenuhan kebutuhan, termasuk dalam pemenuhan pangan, yang mudah, cepat, dan praktis. Mi basah memiliki pangsa pembelian tertinggi di rumah tangga berpendapatan rendah, yaitu 100.00%. Hal ini diduga karena masyarakat berpendapatan rendah tentunya tidak memiliki sarana dan prasarana untuk produksi sama sekali untuk memperoleh mi basah untuk dikonsumsi. Kontribusi Energi dan Protein Pangan Strategis

Besar kecilnya pengeluaran pangan dapat dipakai sebagai acuan untuk melihat tingkat konsumsi zat gizi walaupun tidak akurat. Hal ini disebabkan semakin besar pengeluaran pangan belum tentu diikuti oleh peningkatan tingkat konsumsi zat gizi, apabila harga dari pangan tersebut mengalami kenaikan (Arifin & Saliem 1992). Data menunjukkan bahwa secara nasional, tingkat konsumsi energi dan protein sudah melebihi angka kecukupan yang ditetapkan oleh WNPG VIII tahun 2004, yaitu masing-masing sebesar 107.40% (2148 Kal/kap/hari) dan 116.83% (60.75 gram/kap/hari).

95 100 105 110 115 120 125

%

Nasional Kota Desa

Wilayah

Gambar 2 Tingkat konsumsi energi dan protein menurut wilayah (% )

(47)

35

Gambar 2 memberikan gambaran bahwa tingkat konsumsi energi di desa lebih tinggi dibandingkan di kota. Hasil penelitian Fachrina (2005) menggunakan data Susenas 2002 menunjukkan hal yang sama, bahwa secara umum, tingkat konsumsi energi rumah tangga di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Di sisi lain, tingkat konsumsi protein di kota lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Hal ini disebabkan tingginya ketersediaan pangan sumber energi, namun rendah ketersediaan protein di pedesaan. Selain itu, masyarakat pedesaan memiliki aktivitas yang lebih banyak membutuhkan energi (BPS 2006).

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

%

Rendah Sedang Tinggi

Kelas pendapatan

Gambar 3 Tingkat konsumsi energi dan protein menurut kelas pendapatan (% )

Energi Protein

Enoch (1979) diacu dalam Husefra (1996) menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu yang termasuk dalam faktor eksternal adalah pendapatan/pengeluaran. Gambar 3 menunjukkan bahwa rumah tangga yang berkelas pendapatan rendah masih menemui kesulitan untuk memenuhi kebutuhan energi dan proteinnya, ditunjukkan dengan tingkat konsumsi yang masih di bawah anjuran, yaitu 87.45% untuk energi dan 89.69% untuk protein. Rendahnya pendapatan menyebabkan jumlah pangan yang dikonsumsi juga rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi. Irawan et al. (2000) menyatakan bahwa tingkat pendapatan yang terbatas pada rumah tangga miskin menyebabkan perubahan pola makanan pokok ke barang-barang paling murah dengan jumlah yang berkurang.

(48)

Lebih lanjut Sanjur (1982) mengemukakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan, yang berarti apabila pendapatan keluarga meningkat, mutu konsumsi keluarga akan meningkat. Hasil penelitian menemukan bahwa semakin tinggi pendapatan, tingkat konsumsi energi dan protein cenderung meningkat. Hal ini dapat dijelaskan dengan pernyataan Windyastuti (2003) bahwa pendapatan yang meningkat akan memungkinkan keluarga untuk membeli dan mengkonsumsi pangan yang lebih banyak, lebih mahal serta peluang untuk mengkonsumsi beragam jenis pangan semakin tinggi. Peningkatan pendapatan juga diharapkan sejalan dengan konsumsi pangan yang lebih bergizi (Irawan & Romdiati 2000).

Tingkat konsumsi energi dan protein pada rumah tangga berpendapatan tinggi jauh melebihi Angka Kecukupan Energi dan Protein. Kondisi ini perlu mendapat perhatian khusus karena kelebihan energi dan protein dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan (penyakit).

Tabel 15 Kontribusi energi dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, gula pasir dan minyak goreng menurut wilayah dan kelas pendapatan (%)

Wil/Kls

Keterangan: Wil=Wilayah; Kls pdpt=Kelas pendapatan; Nas=Nasional; K=Kota; D=Desa; R=Rendah; S=Sedang; T=Tinggi; B=Beras; J=Jagung; UK=Ubi kayu; UJ=Ubi jalar; TER=Terigu dan turunannya; MIN=Mi instan; MIB=Mi basah; G=Gula pasir; M=Minyak goreng

Gambar

Tabel 1   Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai elastisitas pendapatan dengan menggunakan metode analisis AIDS
Tabel 4 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan Deptan 2001Kelompok FAO-RAPAMeneg Pangan (1994)Deptan (2001)
Gambar 1  Kerangka Pemikiran Elastisitas Permintaan Pangan Strategis
Tabel 5  Pengelompokan dan jumlah jenis pangan dalam data Susenas 2005NoKelompok PanganJumlah Jenis Pangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

terdapat perselisihan antara masyarakat, perorangan, dan badan hukum (Perusahaan, KUD, dll). 13) Permasalahan lahan murni masyarakat (Genuine Masyarakat) adalah lahan

Pada pengujian diperoleh hasil bahwa integrasi layanan materi pelajaran antar sekolah dapat menghasilkan informasi yang saling melengkapi guna mendukung kebutuhan

sebanyak 43 (71,67%) responden menyatakan sangat setujuh, sebanyak 8 (13,63%) menyatakan setuju, sebanyak 4 (6,67%) menyatakan ragu-ragu, sebanyak 4 (6,67%) menyatakan tidak setuju,

prediksi simulasi numerik dengan hasil uji empiris, maka diperoleh fakta yang sebenarnya, sehingga mekanisme yang diusulkan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi pada keruntuhan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi reaksi yang optimum pada reaksi konversi senyawa dalam tanaman selasih hijau dengan metode MAOS dengan pelarut etilen

Dalam strategi pengembangan TOGA perlu dilakukan analisis spesies tumbuhan obat yang bisa dikembangkan dengan kriteria sebagai berikut : spesies tumbuhan obat yang ada di desa

Berdasarkan Tabel 5 Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan mendistribuskan hasil tangkapan ke pasar lokal (domestik) dan ekspor. Distribusi olahan ikan asin dan

merupakan suatu keharusan bagaimana cara untuk meformulasi hukum berorientai pada tipolog hukum responsif, dan otonom sehingga keberpihakan hukum determenan pada