BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hospitalisasi Pada anak 2.1.1 Konsep Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama
proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang
menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat
traumatik dan penuh stres (Supartini, 2004).
Penyakit dan hospitalisasi sering kali menjadi krisis pertama yang harus
dihadapi anak, terutama pada anak-anak salama tahun-tahun awal sangat rentan
terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi. Hal tersebut dikarenakan anak
mengalami stres akibat perubahan dari keadaan sehat menjadi sakit dan anak
memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stressor.
Stressor utama dari hospitalisasi anak antara lain adalah perpisahan, kehilangan
kendali, cedera tubuh, dan nyeri. Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut
dipengaruhi oleh usia perkembangan mereka (Wong, 2009).
2.1.2 Dampak Hospitalisasi Pada Anak
Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stres pada
semua tingkat usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyaknya faktor,
lingkungan baru, maupun lingkungan keluarga yang mendampingi selama
perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan perkembangan keadaan
anaknya, pengobatan, dan biaya perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak
bersifat langsung terhadap anak, secara pisikologis anak akan merasakan
perubahan perilaku dari orang tua yang mendampingi selama perawatan. Anak
menjadi semakin stres dan hal ini berpengaruh pada proses penyembuhan, yaitu
menurunnya respon imun. Hal tersebut dapat membuat pasien yang mengalami
kegoncangan jiwa akan mudah terserang penyakit, karena pada kondisi stres akan
terjadi penekanan system imun. Pasien anak akan merasa nyaman selama
perawatan dengan adanya dukungan sosial keluarga, lingkungan perawatan yang
terapeutik, dan sikap perawat yang penuh dengan perhatian akan mempercepat
proses penyembuhan (Nursalam, 2005).
2.1.3 Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi
Anak akan menunjukkan berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap
pengalaman hospitalisasi. Reaksi tersebut bersifat individual, dan sangat
bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya
terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang
dimilikinya. Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena
perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Berikut ini reaksi anak
terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit sesuai dengan tahapan perkembangan
a. Masa Bayi (0 sampai 1 tahun)
Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan dengan
orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang.
Pada anak usia lebih dari enam bulan terjadi stranger anxiety atau cemas apabila
berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan.
Reaksi yang sering muncul pada anak usia ini adalah menangis, marah, dan
banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety. Bila ditinggalkan
ibunya, bayi akan merasakan cemas karena perpisahan dan perilaku yang
ditunjukkan adalah dengan menangis keras. Respon terhadap nyeri atau adanya
perlukaan biasanya menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi
wajah yang tidak menyenangkan (Supartini, 2004).
b. Masa Todler (2 sampai 3 tahun)
Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber
stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon
perilaku anak sesuai dengan tahapannya,yaitu tahap protes, putus asa, dan
pengingkaran (denial). Pada tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah
menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang
diberikan orang lain. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah
menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain
dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan
adalah secara samar mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara
dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya. Oleh karena adanya
mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada lingkungannya. Terhadap
perlukaan yang dialaminya atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan
tindakan invasive, seperti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan meringis,
menggigit bibirnya, dan memukul (Supartini, 2004).
c. Masa prasekolah (3 sampai 6 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari
lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan,
yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap
perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah adalah dengan menolak makan,
sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif
terhadap petugas kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak
kehilangan control terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit mengharuskan
adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri.
Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak,
ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama
dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua (Supartini, 2004).
d. Masa Sekolah (6 sampai 12 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan
lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya dan
menimbulkan kecemasan. Kehilangan control juga terjadi akibat dirawat di rumah
sakit karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan kontrol tersebut berdampak
pada perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya
mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan
ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun nonverbal karena anak
sudah mampu mengomunikasikannya. Anak usia sekolah sudah mampu
mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir dan
memegang sesuatu dengan erat (Supartini, 2004).
e. Masa Remaja (12 sampai 18 tahun)
Anak usia remaja mepersepsikan perawatan di rumah sakit menyebabkan
timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan teman sebayanya.
Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak akan merasa kehilangan dan timbul
perasaan cemas karena perpisahan tersebut. Pembatasan aktivitas di rumah sakit
membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada
keluarga atau petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang sering muncul
terhadap pembatasan aktivitias ini adalah dengan menolak perawatan atau
tindakan yang dilakukan padanya atau anak tidak mau kooperatif dengan petugas
kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas kesehatan
(isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan atau pembedahan menimbulkan respon
anak bertanya-tanya, menarik diri dari lingkungan, dan menolak kehadiran orang
lain (Supartini,2004).
2.1.4 Konsep Tumbuh Kembang Anak
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa
bermain/toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (5-11 tahun)
hingga remaja (11-18 tahun) (Hidayat, 2009).
Aspek tumbuh kembang pada anak menjelaskan mengenai proses
pembentukan seseorang, baik secara fisik maupun psikososial. Pertumbuhan pada
masa anak sangat bervariasai sesuai dengan bertambahnya usia anak. Secara
umum pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki, sedangkan aspek
perkembangan pada anak bersifat kualitatif yaitu pertambahan kematangan fungsi
dari masing-masing bagian tubuh (Nursalam, Susilaningrum & Utami, 2005).
2.1.5 Prinsip-prinsip Keperawatan Anak
Terdapat prinsip atau dasar dalam keperawatan anak yang dijadikan
sebagai pedoman dalam memahami filosofi keperawatan anak. Di antara prinsip
dalam asuhan keperawatan anak tersebut adalah: Pertama, anak bukan miniature
orang dewasa tetapi sebagai individu yang unik. Prinsip dan pandangan ini
mengandung arti bahwa tidak boleh memandang anak dari ukuran fisik saja
sebagaimana orang dewasa melainkan anak sebagai individu yang unik yang
mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan menuju proses kematangan.
Pola-pola inilah yang harus dijadikan ukuran, bukan hanya bentuk fisiknya saja
tetapi kemampuan dan kematangannya. Kedua, anak adalah sebagai individu yang
unik dan mempunyai kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangan. Sebagai
individu yang unik anak memiliki berbagai kebutuhan yang berbeda satu dengan
yang lain sesuai dengan usia tumbuh kembang. Kebutuhan tersebut dapat meliputi
kebutuhan fisiologis seperti kebutuhan nutrisi dan cairan, aktivitas, eliminasi,
Prinsip keperawatan anak yang Ketiga yaitu pelayanan keperawatan anak
berorientasi pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan,
bukan hanya mengobati anak yang sakit. Keempat, keperawatan anak merupakan
disiplin ilmu kesehatan yang berfokus pada kesejahteraan anak sehingga perawat
bertanggung jawab secara komprehensif dalam memberikan asuhan keperawatan
anak. Kelima, praktik keperawatan anak mencakup kontrak dengan anak dan
keluarga untuk mencegah, mengkaji, mengintervensi, dan meningkatkan
kesejahteraan hidup, dengan menggunakan proses keperawatan yang sesuai
dengan aspek moral (etik) dan aspek hukum (legal). Keenam, tujuan keperawatan
anak dan remaja adalah untuk meningkatkan maturasi atau kematangan yang sehat
bagi anak dan remaja sebagai mahluk bio-psiko-sosial dan spiritual dalam konteks
keluarga dan masyarakat. Ketujuh, pada masa yang akan datang kecenderungan
keperawatan anak berfokus pada ilmu tumbuh kembang sebab ilmu tumbuh
kembang ini yang akan mempelajari aspek kehidupan anak (Hidayat, 2009).
2.2 Konsep Lingkungan Terapeutik
Lingkungan terapeutik merupakan aspek penting dalam penyembuhan,
lingkungan terapeutik dapat digambarkan sebagai keseluruhan lingkungan baik
fisik maupun non-fisik yang diciptakan untuk membantu proses pemulihan.
Lingkungan terapeutik diberikan untuk mengidentifikasi kemungkinan masalah
yang mungkin telah menghambat proses penyembuhan (Abbas & Ghazali, 2011).
Dalam model yang dimodifikasi lingkungan terapeutik terdiri dari
lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Unsur lingkungan yang
penyembuhan tetapi juga membantu pasien anak untuk mengatasi rasa sakit dan
agresi. Hal ini disetujui oleh National Association of childrens Hospital and
Related Institution (NACHRI) di mana ia mengungkapkan bahwa lingkungan
fisik merupakan pengaturan kesehatan yang mempengaruhi perawatan klinis, hasil
fisologis, psikososial, dan keamanan pasien anak (Oberlin, 2008 dalam Ghazali &
Abbas, 2011).
Lingkungan terapeutik dipengaruhi oleh faktor internal seperti:
keselamatan, warna atau desain ruangan, karya seni dan terapi musik, dan faktor
eksternal seperti: peran alam dan penciptaan terapi bermain di taman rumah sakit
serta komunikasi terapeutik perawat itu sendiri (Ghazali & Abbas, 2011).
1. Lingkungan Internal
Elemen-elemen lingkungan internal yang menuju terciptanya sebuah
lingkungan yang terapeutik termasuk keselamatan, desain ruangan, karya seni,
pencahayaan, suasana dan terapi musik (Ghazali & Abbas, 2011).
a. Intervensi yang dilakukan perawat dalam mengatasi dampak hospitalisasi
seperti persiapan dalam hospitalisasi, mencegah atau meminimalkan
perpisahan, mencegah atau meminimalkan ketakutan akan cedera tubuh,
memfasilitasi aktivitas yang sesuai dengan perkembangan, memberi
kesempatan untuk bermain dan meminimalkan manfaat hospitalisasi
(Ghazali & Abbas, 2011).
b. Keselamatan: peristiwa yang mempengaruhi keselamatan pasien sering
terlihat dengan peningkatan substansial dalam durasi mereka tinggal di
ergonomis untuk pasien anak yang tidak sama dengan orang dewasa
(Ghazali & Abbas, 2011).
c. Desain Ruangan: aspek dari desain ruangan yang sering diabaikan adalah
warna dinding dan tampilan gambar didinding rumah sakit karena warna
dan tampilan gambar di dinding dapat diartikan sebagai penyembuhan
yang kuat. Warna yang direkomendasikan untuk penyembuhan adalah
warna hijau, karena hijau mewakili keseimbangan, harmoni, pertumbuhan,
penyembuhan dan cinta. Tampilan gambar di dinding juga dapat
meningkatkan relaksasi serta kesenangan pada anak. Hal tersebut akhirnya
dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak dan
keluarga (Biley, 1996).
d. Terapi seni: merupakan proses kreatif pembuatan seni untuk meyakinkan
anak bahwa tindakan medis dengan tindakan pembuatan seni dapat
menyembuhkan dan meningkatkan kualitas anak mengurangi stres,
mencegah terjadinya trauma dan untuk memfasilitasi relaksasi. Ketika
anak-anak merasa tidak cukup baik atau tidak dapat mengunjungi ruang
bermain maka terapi seni individu dapat diberikan oleh seorang perawat
(Nessbitt & Haussmann, 2008).
e. Suasana pencahayaan: jendela dengan pencahayaan dan tampilan luar juga
penting terhadap penyembuhan anak. Cahaya terang merupakan terapi
yang efektif digunakan untuk mengurangi depresi, dimana anak yang
yang tinggal di ruangan yang membosankan (Nessbit & Haussmann,
2008).
2. Lingkungan Eksternal
Lingkungan eksternal dapat berkontribusi terhadap lingkungan terapeutik
yang melibatkan alam luar ruangan anak. Peran alam seperti melihat
pemandangan sekitar rumah sakit dan tanaman yang ada atau penciptaan kebun
terapi mempengaruhi terhadap proses penyembuhan. Bermain di taman yang
terletak disebuah rumah sakit bisa membantu mengurangi kecemasan pasien
(Ghazali & Abbas, 2011). Pasien juga dapat mendengarkan suara alam seperti
suara kicauan burung yang memiliki efek positif pada psikologis anak (Biley,
1996).
2.2.1 Intervensi Keperawatan Dalam Mengatasi Dampak Hospitalisasi Pada Anak
Sebagai salah satu anggota tim kesehatan, perawat memegang posisi kunci
untuk membantu orang tua menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan
perawatan anaknya di rumah sakit karena perawat berada disamping pasien
selama 24 jam. Untuk itu fokus intervensi keperawatan adalah meminimalkan
stressor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi, memberikan dukungan psikologis
pada anggota keluarga, dan mempersiapkan anak sebelum dirawat dirumah sakit.
(Supartini, 2004).
1. Persiapan Hospitalisasi
Alasan mempersiapkan anak menghadapi pengalaman rumah sakit dan
ketidaktahuan (fantasi) lebih besar daripada ketakutan yang diketahui. Oleh
karena itu mengurangi unsur ketidaktahuan dapat mengurangi ketakutan tersebut.
Proses persiapan untuk hospitalisasi merupakan praktik yang umum tidak ada
standar atau program universal yang dianjurkan untuk semua tempat. Proses
persiapan dapat dilakukan, dengan tur, pertunjukan boneka, dan waktu bermain
dengan miniatur peralatan rumah sakit, persiapan tersebut dapat melibatkan
penggunaan buku-buku, video, atau film. Tidak ada kesepakatan yang tegas
tentang waktu persiapan tersebut. Beberapa pihak berwenang menganjurkan untuk
menyiapkan anak usia 4 atau 7 tahun sekitar 1 minggu sebelumnya agar mereka
dapat memahami informasi yang diberikan dan mengajukan pertanyaan. Untuk
anak-anak yang lebih besar waktu yang diperlukan lebih lama. Akan tetapi, bagi
anak kecil, yang mulai berfantasi tentang apa yang mereka observasi, 1 atau 2 hari
sebelum masuk rumah sakit merupakan waktu yang tepat untuk persiapan
antisipasi. Lamanya sesi persiapan tersebut harus sesuai dengan rentang perhatian
anak, semakin kecil usia anak semakin singkat program. Pendekatan yang optimal
merupakan salah satu yang bersifat individual bagi masing-masing anak dan
keluarga. Tanpa memedulikan jenis program yang spesifik, semua anak, bahkan
mereka yang sudah dihospitalisasi sebelumnya, memperoleh manfaat dari
pengenalan terhadap lingkungan dan rutinitas di unit tersebut. (Wong, 2009).
Persiapan yang dibutuhkan anak pada hari masuk rumah sakit bergantung
pada jenis konseling prarumah sakit yang telah mereka terima, akan tetapi,
konseling prarumah sakit tidak melupakan kebutuhan akan dukungan selama
Tindakan menyebabkan kecemasan dan ketakutan yang tidak perlu selama
penerimaan dapat memberi pengaruh yang merugikan terhadap pembentukan rasa
percaya perawat dengan anak-anak tersebut. Oleh karena itu bantuan perawat
pada prosedur penerimaan merupakan hal yang sangat penting, tanpa
memedulikan seberapa baik anak tersebut dipersiapkan untuk menghadapi
pengalaman hospitalisasi. Selain itu meluangkan waktu bersama anak tersebut
memberi kesempatan pada perawat untuk mengevaluasi pemahaman anak tentang
prosedur yang selanjutnya (Wong, 2009).
2. Mencegah atau Meminimalkan Perpisahan
Tujuan keperawatan yang utama adalah mencegah perpisahan terutama
pada anak-anak yang berusia kurang dari 5 tahun. Banyak rumah sakit yang tidak
lagi mempertimbangkan pengunjung orang tua dan menyambut kehadiran mereka
setiap saat selama hospitalisasi anak. Sebagian besar rumah sakit menerima
kehadiran orang tua setiap waktu. Perawat harus menghargai sikap anak terhadap
perpisahan. Seperti dibahas sebelumnya, fase protes dan putus asa merupakan hal
yang normal. Anak diperbolehkan untuk menangis, sekalipun anak menolak orang
asing, perawat harus memberikan dukungan melalui kehadiran fisik. Lingkungan
yang akrab juga meningkatkan penyesuaian anak terhadap perpisahan. Jika orang
tua tidak dapat melakukan rawat gabung, mereka harus membawa barang-barang
kesukaan anak dari rumah ke rumah sakit untuk bersamanya seperti selimut,
mainan, botol, peralatan makan atau pakaian, maka mereka akan merasa nyaman
dan ketenangan dari barang-barang miliknya tersebut. Selain itu perawat bisa
stetoskop untuk menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan lebih akrab
bagi anak-anak (Wong, 2009).
3. Meminimalkan Kehilangan Pengendalian
Perasaan kehilangan pengendalian terjadi akibat perpisahan, perubahan
rutinitas, pemaksaan ketergantungan dan pemikiran magis. Meskipun beberapa
diantaranya tidak dapat dicegah tetapi sebagian besar dapat diminimalkan melalui
perencanaan asuhan yang keperawatan yang bersifat individual seperti: 1)
meningkatkan kebebasan bergerak yaitu anak-anak yang lebih mudah bereaksi
paling kuat terhadap segala bentuk retrinsik fisik atau imobilisasi. Faktor-faktor
lingkungan juga dapat menghambat gerakan. Menempatkan anak didalam boks
bermain memang tidak menimbulkan imobilisasi dalam bentuk konkret, tetapi hal
ini bisa membatasi stimulus sensorik tertentu. 2) Mempertahankan rutinitas anak,
pada hal ini aspek yang sering diabaikan dari perubahan rutinitas adalah
perubahan aktivitas harian anak. Satu teknik untuk dapat meminimalkan
perubahan pada rutinitas anak adalah penstrukturan waktu, dimana pendekatan ini
sesuai untu anak usia sekolah dan remaja yang mengerti konsep waktu, misalnya
minta anka untuk membuat gambar atau symbol yang mewakili aktivitas yang
menyenangkan setiap hari.
Asuhan keperawatan yang dilakukan perawat selanjutnya adalah
Mendorong kemandirian, peningkatan pengendalian anak yang meliputi
mempertahankan kemandirian dan konsep perawatan diri dapat menjadi satu hal
yang paling menguntungkan. Meskipun perawatan diri terbatas pada usia dan
aktivitas dengan sedikit atau tanpa bantuan sama sekali. Jika memungkinkan
aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan di rumah sakit. 4) meningkatkan pemahaman
kehilangan pengendalian dapat terjadi akibat perasaan memiliki terlalu sedikit
pengaruh pada nasib seseorang. Meskipun kemampuan kognitif anak belum
semua dikuasai, semua anak rentan terhadap interpretasi yang keliru terhadap
penyebab stres seperti sakit dan hospitalisasi. Persiapan antisipasi dan pemberian
informasi sangat membantu mengurangi stres dan mencegah kurangnya
pemahaman (Wong, 2009).
4. Mencegah atau meminimalkan ketakutan akan cedera tubuh
Secara umum, persiapan anak-anak untuk menghadapi prosedur yang
menyakitkan dapat menurunkan ketakutan mereka. Memanipulasi teknik
prosedural untuk anak-anak disetiap kelompok umur juga meminimalkan
ketakutan atau cedara tubuh. Kapanpun prosedur dilakukan pada anak-anak
intervensi yang paling mendukung adalah melakukan prosedur tersebut secepat
mungkin sambil mempertahankan kontak orang tua anak. Karena anak-anak kecil
mendefinisikan dengan buruk batasan tubuhnya (Wong, 2009).
Anak-anak yang merasa takut terhadap mutilasi bagian tubuh, penting bagi
perawat untuk berulang kali menekankan alasan prosedur tersebut dan
mengevaluasi pemahaman anak (Wong, 2009).
5. Memfasilitasi Aktivitas Yang Sesuai dengan Perkembangan
Tujuan utama asuhan keperawatan bagi anak yang dihospitalisasi adalah
meminimalkan munculnya masalah pada perkembangan anak. Anak-anak yang
mengalami keterlambatan perkembangan atau regresi. Dalam hal ini perawat bisa
melakukan beberapa hal seperti jika pasien berusia remaja maka perawat bisa
menganjurkan tempat aktivitas dengan pasien yang lebih kecil. Perawat yang
memberi kesempatan pada anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas
yang sesuai dengan tingkat perkembangan akan lebih menormalkan lingkungan
anak dan membantu mengurangi gangguan pada perkembangan anak yang terus
menerus (Wong, 2009).
Perawat dapat menganjurkan anak-anak untuki menyelesaikan tugas
sekolah mereka secepat mungkin bergantung kondisi yang mengizinkan,
membantu mereka membuat jadwal dan menjamin waktu yang baik untuk belajar,
dan membantu keluarga mengkoordinasikan layanan pendidikan rumah sakit
dengan sekolah anak mereka (Wong, 2009).
6. Memberi Kesempatan untuk Bermain
Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan salah
satu alat paling efektif untuk menatalaksana stres. Karena sakit dan hospitalisasi
menimbulkan krisis dalam kehidupan anak, dank arena situasi tersebut sering
disertai stress berlebihan, maka anak-anak perlu bermain untuk mengeluarkan rasa
takut dan cemas yang mereka alami sebagai koping dalam menghadapi stress
tersebut. Bermain sangat penting bagi mental, emosional dan kesejahteraan sosial
anak. Seperti kebutuhan perkembangan mereka, kebutuhan bermain tidak terhenti
pada saat anak-anak skit atau di rumah sakit. Sebaliknya bermain di rumah sakit
banyak memberikan banyak manfaat seperti minta orang tua untuk memberikan
barang-barang kecil tidak terselip dalam sprei. Di semua fasilitas rumah sakit,
tidak ada ruangan lain yang mengurangi stres akibat hospitalisasi kecuali ruang
bermain (Wong, 2009).
7. Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi Anak
Meskipun hospitalisasi biasanya menimbulkan stres bagi anak-anak, tetapi
hospitalisasi juga dapat bermanfaat (Wong, 2009).
1. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi
kesempatan orang tua mempelajari tumbuh kembang anak dan reaksi anak
terhadap stressor yang dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit.
2. Hospitalisasi dapat dijadikan media belajar untuk orang tua. Untuk itu
perawat dapat memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang
penyakit anak, terapi yang didapat, dan prosedur tindakan keperawatn
yang dilakukan, tentunya sesuai dengan kapasitas belajarnya.
3. Untuk meningkatkan kemapuan kontrol diri dapat dilakukan dengan
memberi kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu
bergantung pada orang lain dan percaya diri.
4. Fasilitasi anak untuk tetap menjaga sosialisasinya sesama pasien yang ada,