• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Politik Indonesia BAB 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sistem Politik Indonesia BAB 1"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS RINGKASAN MATERI SISTEM POLITIK

INDONESIA

OLEH

DEKRIS PRATAMA

NIM. 1301120520

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS RIAU

(2)

BAB 1

Kestabilan Politik dan Peta Politik

Tidak kurang dari 25 buah kabinet yang telah memerintah di Indonesia selama Indonesia Merdeka.1 Dari jumlah tersebut, hanya 7 kabinet yang berhasil memerintah selama 12 sampai 23 bulan. Lalu terdapat 12 kabinet yang berumur antara 6 sampai 11 bulan. Dan 6 buah kabinet yang hanya bisa bertahan di antara 1 sampai 4 bulan. Demikian salah satu gambaran dari ketidakstabilan politik Indonesia, yakni dilihat dari kesempatan yang tersedia bagi setiap pemerintah (kabinet) untuk menyelenggarakan persoalan – persoalan yang dihadapinya.

Dalam pada itu terdapat 45 buah protes melalui demonstrasi, 83 huru – hara dan 615.000 kematian yang disebabkan oleh kekerasan politik diantara tahun 1948 dan 1967 yang memperlihatkan betapa rapuhnya kestabilan politik di Indonesia.2

Kalau ketidakstabilan yang terdahulu lebih bersumber pada kelemahan elit untuk bekerja sama satu sama lain, maka yang terakhir ini lebih disebabkan oleh belum melembaganya struktur dan prosedur politik yang mampu memberi tempat kepada masyarakat luas untuk mengambil bagian di dalam proses politik. Orang akan cepat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa ketidakstabilan politik dialami oleh Indonesia memperkecil keleluasaan bagi negara ini untuk mengadakan perbaikan – perbaikan ekonomi, sosial dan politik. Oleh karena itu, logis program politik Orde Baru pada awal kekuasaannya untuk menggerakkan kestabilan politik untuk memberi landasan kepada pembangungan. Akan tetapi perlu pula dipersoalkan apa sifat – sifat stabilitas politik yang mungkin ditegakkan di Indonesia dan kestabilan politik yang bagaimana yang memungkinkan terlaksananya pembangunan dalam arti yang seluas – luasnya.

Secara teoritis, stabilitas politik banyak ditentukan oleh tiga variabale yang berkaitan satu sama lain, yakni perkembangan ekonomi yang memadai,

1 Dihitung berdasarkan Susan dan Daniel S. Lev, Republic of Indonesia Cabinet 1945-1965. Ithaca

N.Y .: Southeast Asia Program Department of Asian Studies, Cornell University, 1965

2 Lihatlah Organsky, The stages of Political Development New York: Cambridge University Press,

(3)

perkembangan perlembagaan baik struktru maupun proses politik dan partisipasi politik.

Di dalam mempelajari hubungan antara perkembangan ekonomi dengan demokrasi, negarawan dan peneliti politik barat datang kepada kesimpulan bahwa masalah politik yang penting pada masa ini bersumber dari perkembangan industri yang cepat. 3 Sebagai contoh Swedia dan Norwegia pada awal abad ke 20, Jerman sebelum perang dunia pertama, sebagai negara – negara yang berhasil mengembangkan industri dengan pesat sekali. Dengan cepat perkembangan industri tersebut memperbesar jumlah buruh tidak ahli yang berasal dari pedesaan, karena masyarakat tidak mampu menyediakan tenaga ahli sesuai dengan kecepatan perkembangan kebutuhan Industri akan tenaga ahli. Akibatnya pengangguran menjadi masalah politik yang perlu diselesaikan dengan segera. Hal inilah yang merupakan salah satu sebab dari penerimaan masyarakat, terutama kaum buruh Jerman kepada Hitler dengan harapan Hitler akan membawa perubahan yang mendasar bagi sistem politik dan sosial Jerman pada waktu itu. Perubahan memang terjadi akan tetapi masyarakat Jerman perlu memberikan pengorbanan yang lebih besar lagi, dan malah menghasilkan suatu perang.

Bagi Indonesia yang tidak kurang dari 70 persen penduduknya hidup dalam sektor pertanian, kenyataan sejarah di atas masih bermakna untuk diperhatikan. Sukar untuk dibantah bahwa ada usaha untuk meningkatkan hasil sektor pertanian guna mendampingi perkembangan industri, dengan harapan supaya serap sektor pertanian terhadap tenaga kerja meningkat. Namun masalah yang dihadapi bukanlah bagaimana menyeimbangkan antara daya serap tenaga antara kedua sektor tersebut diatas. Persoalan pokok adalah bagaimana menyeimbangkan antar daya serap tenaga kerja yang ada di dalam masyarakat. Kecendrugan ini menyebabkan tumbuhnya potensi radikal pada petani di pedeasaan dan lapisan bawah masyarakat di kota, karena rasa ketidakpuasaan serta perasaan tidak aman tentang kehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang.

3 Seymour Martin Lipset, Political Man. Garden City, New York: Doubleday & Company Inc., 88-89,

(4)

Masyarakat yang berada dalam kondisi tersebut lebih mudah tergoda untuk melakukan tindakan – tindakan kekerasan seperti hura – hura, pemberontakan, pembunuhan politis, revolusi, dan lain sebagainya.

Para ahli yang meneliti sebab – sebab yang hakiki dari relatif mudahnya Partai Komunis Indonesia (PKI) menggerakkan massa petani untuk melakukan aksi sepihak pada awal tahun enam puluhan, melihat bahwa ketidakpuasan dikalangan petani menyebabkan mereka lebih mudah tertarik ke dalam taktik perjuangan PKI seperti pembagian tanah dan lain – lain.

Disamping semuanya itu, dalam situasi dimana “ perkembangan ekonomi yang tidak diimbangi oleh perluasan partisipasai masyarakat secara politik, sukar pula diharapkan terpeliharanya kestabilan politik.4 Sebab masyarakat yang sudah merasakan perbaikan ekonomi, mulai memberikan perhatian kepada hak – haknya yang lain di luar lingkungan ekonomi itu sendiri.

Kalau kita perhatikan perkembangan politik Indonesia, sejak merdeka, perhatian masyarakat terhadap politik lebih banyak terangsang daripada perhatian kepada perkembangan ekonomi. Revolusi ’45 dan rezim Demokrasi Terpimpin amat banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan masyarakat secara revolusioner, anti imperialis dan sebagainya yang semuanya lebih mengarahkan perhatian masyarakat kepada masalah politik daripada ekonomi. Keadaan ini berlangsung di sekitar tahun 1965.5

Perkembangan partai yang pesat di dalam tahun lima puluhan adalah pembentukan lembaga – lembaga politik seperti Front Nasional, Paran, KOTI dan lain – lain di dalam tahun enampuluhan; lebih memerikan tempat kepada partisipasi dan pengerahan masyarakat secara politik. Sebaliknya keadaan ekonomi secara keseluruhan semakin merosot. Cadangan devisa merosot dari US$ 259, 900.000,00 dalam tahun 1959 menjadi US$ 8.600.000,00 dalam tahun 1963; dalam tahun tahun 1966 hutang luar negeri terhitung sebesar US$

4 John H. Kautsky, The Political Consequences of Modernization, New York: John Wiley &

Sons, Inc. 1972, hlm.168

5 Prof. Dr. Subroto. “ Perkiraan Situasi Ekonomi Dewasa Ini” dalam SESKOAD, Amanat/Pidato Pra

(5)

2.447.000.000,00.6 Defisit dari Anggaran Belanja Negara meningkat dari Rp. 3.602.000.000,00 dalam tahun 1955 menjadi 2.256.000.000.000,00 dalam tahun 19657 dan inflasi naik dengan cepat dari 109 persen diantara bulan Desember 1962 dan Desember 1963 menjadi 1320 persen di antara bulan Juni 1965 dan Juni 1966. 8

Dengan demikian terlihat kecenderungan tidak terdapatnya perimbangan antara partisipasi politik dan perkembangan ekonomi di Indonesia sampai tahun 1965. Di dalam hal ini malah partisipasi politik lebih dahulu bergerak daripada perkembangan ekonomi. Oleh karena itu seringkali timbul isu politik yang dilatar belakangi oleh masalah – masalah ekonomi yang menyebabkan goncangan situasi politik.

Dalam pada itu “ kestabilan politik di dalam suasana partisipasi politik yang tinggi dapat dipelihara sekiranya partisipasi tersebut diimbangi oleh perkembangan pelembagaan politik”.9 Hal ini mengandung pengertian bahwa masyarakat yang ingin mengambil bagian di dalam proses politik diberi kesempatan melalui lembaga – lembaga politik yang diperkembangkan sesuai dengan pertumbuhan kekuatan – kekuatan politik yang terjadi di dalam masyarakat. Tentu saja partisipasi tersebut bisa berjalan dan tidak menimbulkan goncangan – goncangan apabila semua pihak yang memainkan peranan politik sama – sama terikat kepada aturan permainan yang juga sudah melembaga. Sebaliknya apabila saluran bagi partisipasi tidak tersedia berupa partai politik, berbagai organisasi, kesempatan untuk memainkan berbagai peranan politik; dan apabila tidak terdapat persesuaian paham mengenai aturan permainan di antara pemegang peran politik; maka partisipasi di dalam suasana ini akan tersalur melalui cara – cara yang sering menggoncangkan kestabilan politik.

Di dalam Sistem Politik Demokrasi Konstitusional, terlihat kecenderungan kurang disepakatinya aturan permainan oleh para pemeran politik. Dan di masa

6 Lihatlah Organsky, The stages of Political Development New York: Cambridge University Press,

1971, hlm.299

7 Lihatlah Joelioes, Herman Boeke, The Evaluation of the Netherland Indies Economy. N.Y .:

Netherland Indies Council, Institute of Pacific Relation, 1946.

8 Disusun dari data yang disajikan oleh Rocamura. Lihat Rocamura, Ibid

9 Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies. New Haven and London: Yale

(6)

Sistem Politik Demokrasi Terpimpin, kurang melembaganya aturan permainan politik diperkuat oleh mengecilnya kesempatan untuk berpartisipasi merupakan salah satu penyebab dari ketidakstabilan pada masa itu.

Tanpa menghubungkan dengan masalah pembangunan, kestabilan politik dapat pula dipelihara dengan mempertahankan tingkat kelembagaan politik yang rendah; asal saja diimbangi dengan partisipasi politik yang rendah pula. Perhatikanlah diagram dibawah ini yang menunjukkan hubungan antara pelembagaan politik dengan partisipasi politik, sebagai sarana bagi kestabilan politik.

Secara menyeluruh dalam sejarah politik Indonesia, ketiga variabel pengukur kestabilan politik tersebut dapat diamati. Namun, untuk pengamatan yang lebih terperinci ada baiknya jika dimensi waktu diperhatikan.

Diagram 1.

Hubungan antara Pelembagaan dengan Stabilitas Politik Pelembagaan Politik

Tinggi

Rendah

Sedang Tinggi

Partisipasi Politik

(7)

Konstitusional kepada sistem politik Demokrasi Pancasila menggantikan sistem politik Demokrasi Terpimpin.

Kepercayaan massa kepada kepemimpinan karismatis dari Presiden Soekarno di masa sistem politik Demokrasi Terpimpin banyak pula berpengaruh kepada kestabilan politik dalam jangka pendek. Bilamana kepercayaan tersebut semakin menurun sesuai dengan bertambah lamanya Presiden Soekarno memegang tampuk pemerintahan yang didorong oleh semakin banyak masalah – masalah nasional yang tidak terselesaikan maka sentakan – sentakan ketidakstabilan politik semakin sering dirasakan. Tabel berikut ini memperlihatkan gambaran peningkatan ketidakstabilan politik di Indonesia.

Tabel 1

Indeks Ketidakstabilan Politik Indonesia 1948 – 196710

Tahun Demokrasi

Protes Huru – Hara KekerasanBersenjata Jumlah

1948 - 1.2 0.7 1.9

1949 - - 0.7 0.7

1950 - 1.5 0.5 1.7

1951 - 25.6 0.3 25.8

1952 2.2 1.2 0.3 3.7

1953 2.2 1.2 0.7 2.9

1954 2.2 1.2 0.3 3.7

1955 - - 88.7 88.7

1956 - - 0.7 0.7

1957 2.2 1.2 0.5 3.9

1958 6.7 - 2.5 9.2

1959 - 1.2 0.8 2.0

1960 - 1.2 0.5 1.7

1961 - - 0.2 0.2

10 Disusun berdasarkan data yang disajikan oleh Charles L. Taylor and Michael C. Hudson, op.cit

(8)

1962 2.2 1.2 0.2 3.6

1963 - 24.4 - 24.4

1964 2.2 1.2 0.5 3.9

1965 6.7 13.5 0.8 21.0

1966 40.0 19.5 0.8 60.3

1967 33.4 6.2 0.3 39.9

Jika kita perhatikan tabel diatas, terlihat bahwa akhir kekuasaan sistem politik Demokrasi Terpimpin indeks ketidakstabilan menunjukkan kenaikan. Kenyataan memang memperlihatkan bahwa sistem politik Demokrasi Terpimpin kurang memberikan perhatian kepada masalah di dalam negeri yang juga menjadi tuntutan masyarakat untuk diperhatikan. Presiden Soekarno lebih menyibukkan sistem politik terhadap masalah hubungan di antara bangsa dimana Indonesia diharapkan dapat memainkan peranan yang penting daripada mengurangi beban ekonomi dan politik yang dipikul oleh masyarakat. Dalam hal ini secara ekonomi dan politis masyarakat dikerahkan untuk mendukung cita – cita Indonesia sebagai negara terkemuka, sehingga kurang perhatian diberikan kepada pembangunan ekonomi didalam negeri jadi terbatas. Akibatnya semakin tumbuh pemikiran – pemikiran yang kritis terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno.

Stabilitas yang tidak mampu menampung perubahan sosial dan politik sering menjadi penyebab dari ketidakstabilan politik. Sebagai contoh Pakistan. 11 Di bawah kepemimpinan Ayub Khan terdapat perkembangan ekonomi yang berarti. Baik industri maupun penghasilan rata – rata penduduk telah mengalami kemajuan. Akan tetapi perbaikan ekonomi itu sendiri lebih dirasakan oleh elit dan lapisan tengah masyarakat daripada lapisan bawah masyarakat yang merupakan bagian terbanyak dari masyarakat.

Pengalaman Pakistan memperlihatkan kepada kita bahwa stabilitas politik yang perlu dibina bukanlah hanya untuk menghindarkan sistem politik daripada pergantian pemerintahan yang tidak wajar menurut konstitusi atau konsensus nasional. Juga bukan hanya untuk menjauhkan sistem politik dari revolusi dan

(9)

kekerasan politik seperti hura – hura, pemberontakan, boikot, penangkapan – penangkapan politik.12

Artinya disamping mampu melandasri perkembangan ekonomi, sistem poliitk hendaklah pula mampu membuka dirinya sendiri terhadap perubahan – perubahan yang tumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Barangkali dengan pengembangan daya dinamis dari sistem politik tersebut, maka kestabilan politik jangka panjang dapat ditumbuhkan. Dan barangkali dengan usaha tersebut bisa menghindarkan sistem politik Indonesia daripada membiarkan fungsi mobilitas sosial – ekonomi tersalur melalui ketidakstabilan politik, seperti yang dialami oleh banyak negara Amerika Latin.13

Peta Kekuatan Politik

Sebagai kekuatan politik yang berfungsi untuk merealisir Demokrasi Pancasila, ABRI Perlu memenuhi persyaratan pokok, yaitu penerimaan dan kepercayaan dari masyarakat. Secara formal persyaratan tersebut terdapat dalam UUD ’45 dan Ketetapan – ketetapan MPR. Begitu pula sejarah politik Indonesia merdeka memperlihatkan banyaknya keterlibatan ABRI di dalam masalah – masalah politik.

Maslah utama yang berkenaan dengan penerimaan (legitimasi) masyarakat ialah bagaimana prosedur pengakuan itu berlangsung di dalam proses kehidupan politik. Sebab rasanya ganjil jika ABRI sebagai bagian dari eksekutif bersaing dengan partai – partai politik yang swasta didalam suatu pemilihan umum sebagai sarana legitimasi kekuasan politik. Dengan kata lain, ABRI kurang mempunyai keleluasaan bertindak untuk memperoleh dukungan dari masyarakat secara nyata. Disamping itu, kurang lazim didalam kehidupan politik apabila ABRI mengorganisir masyarakat yang akan memberikan dukugan secara langsung.

Lalu dengan melihat bahwa masyarakat tersusun atas berbagai kelompok kepentingan yang merupaan kumpulan orang – orang yang berada di dalam

12 Untuk indikasi yang dipergunakan di dalam menilai stabilitas politik lihatlah antara lain Merle

King “ Toward a Theory of Power and Political Instability in Latin America”. Western Political Quarterly vol.9, no.1. Maret 1956, hlm 23-24

13 Lihat Ann Ruth Willner, The Neotraditional Accomodation to Political Independence. The Case of

(10)

lingkungan lapangan hidup yang sama maka terbentuklah Golongan Karya untuk mengumpulkan dan menyimpulkan keseluruhan kepentingan – kepentingan tersebut. Dengan demikian maka berbagai kepentingan yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakat Indonesia disalurkan dan diwakili melalu suatu lembaga yang terorganisir dari pusat sistem politik yaitu Golongan Karya.

Sesungguhnya tidak dapat disejajarkan dengan kekuatan – kekuatan politik yang sudah disinggung diatas. Sukar untuk membantah kenyataan bahwa ada semacam kekuatan politik yang kehadirannya di dalam kehidupan politik Indonesia tidak berkelansugan. Artinya mahasiswa dan pemuda sebagai kekuatan politik moril memperlihatkan diri di dalam bentuk protes dan demokrasi, sebagai akibat dari masih lemahnya pemenuhan fungsi legitimasi sistem politik oelh kekuatan politik formal.

Penggolongan Kekuatan – Kekuatan Politik

Secara fisik, telah dibedakan kekuatan politik antara ABRI, Partai Politik, Golongan Karya dan Kekuatan politik anomi seperti mahasiswa dan pemuda. Secara organisatoris dan berdasarkan keunggulan – keunggulan yang dipunyai masing – masing, maka pengkotakan seperti diatas dapat diperhatikan dengan lebih cepat.

Masalahnya, didalam kehidupan politik kelompok – kelompok yang bermain tidaklah terkotak sejelas dan sesederhana itu. Artinya sungguhpun diantara kekuatan – kekuatan politik diatas terdapat perbedaan kemampuan dan peranan, di dalam menghadapi berbagai masalah – masalah terdapat semacam jalur penghubung di antara kekuatan – kekuatan politik tersebut. Dengan demikian maka golongan yang bermain di dalam mencari penyelesaian persoalan – persoalan yang dihadapi oelh sistem politik tidak lagi didasarkan pada militer dan non-militer, partai dan bukan partai. Akan tetapi secara keseluruhan kekuatan – kekuatan politik di masa Orde Baru ini dapat pula di kategorikan ke dalam golongan – golongan : Radikal, Konservatif dan Moderat. 14

14 Didasarkan kepada beberapa masalah yang dihadapi oleh Orde Baru, maka Donald Hindley, “

(11)

Golongan radikal menghendaki supaya jangan diberikan kesempatan kepada mereka yang berkolaborasi dengan rezim Orde Lama. Baik menegakkan kestabilan dalam arti menyusun kembali peta politik, maupun merencanakan serta melaksanakan pembangunan; hendaklah dilakukan oleh mereka yang bersh dari pengaruh Orde Lama. Pemuka – pemuka kelompok ini terutama datang dari kalangan yang lebih condong berpaling ke Barat di dalam mengambil contoh – contoh untuk mengatur kehidupan politik dan ekonomi Indonesia.

Demikianlah misalnya tuntutan oleh pemuda dan mahasiswa untuk menuntut pertanggungjawaban terhadap Soekarno. Begitu pula konsep mengenai sistem kepartaian dan pemilihan umum yang diketengahkan oleh kalangan radikal di dalam ABRI melalui seminar Angkatan Darat di Bantung dalam bulan Agustus 1967, terlihat sebagai membayangkan keinginan golongan radikal.15

BAB II

Partisipasi Politik dan Legitimasi Sistem Politik

Sistem Politik

Orde Baru terhadap Soekarno, Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum. Di dalam buku ini penulis melihat bahwa persoalan – persoalan di atas merupakan unsur – unsur pendorong terbentuknya golongan – golongan tersebut. Saat ini dengan beberapa perubahan di dalam komponen

golongan – golongan tersebut masih terlihat aliran – aliran pemikiran yang merupakan merek dari golongan – golongan tersebut. Akan tetapi masalah – masalah pokok yang menandai golongan – golongan tersebut sudah berubah menjadi cara – cara mengambil keputusan sistem ekonomi yang hendak dipergunakan, serta tujuan dari pembangunan.

(12)

Sementara revolusi membawa tuntutan yang besar kepada perubahan sitem dan kehidupan politik di Indonesia, masyarakat sendiri masih mempunyai kapasitas yang relatif rendah untuk bisa melayani segala perubahan tersebut. Masyarakat yang secara minimal memperoleh kesempatan untuk mengenal berbagai sistem politik di dunia ini dan mencoba mengurus diri sendiri dengan mempraktekkan salah satu atau kombinasi dari berbagai sistem politik yang dikenalnya; di dalam waktu yang singkat sekaligus dihadapkan kepada tanggung jawab untuk mengatasi segala keterbelakangannya.16

Demikianlah halnya dengan partai politik. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, masalah yang menyangkut partai serta kehidupannya menjadi salah satu pembicaraan utama di kalangan para politisi Indoneisa. Para perintis kemerdekaan sudah memikirkan sistem kepartaian apa yang mungkin dikembangkan kelak di Indonesia. Akan tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mempraktekkan pemikiran – pemikiran mereka. Ada semacam wadah untuk mencoba kehidupan kepartaian seperti Volksrad, namun kesempatan yang tersedia tidaklah memadai bagi melandasi kehidupan kepartaian yang mantap dimasa setelah kemerdekaan. Di samping itu, perkembangan ekonomi dan kemasyarakatan belum memberikan kesempatan yang luas kepada tokoh – tokoh politik pada masa itu meletakkan dasar – dasar kehidupan partai politik seperti yang diharapkan.

Aliran : Struktur Vertikal Masyarakat

Sebelum para penyiar agama Islam datang, di Indonesia sudah berkembang berbagai kepercayaan baik berupa kepercayaan asli seperti animisme, maupun agama – agama Hindu dan Budha yang berasal dari Asia Selatan. Malah semacam percampuran ( Sinkretisme ) dari berbagai kepercayaan dan agama – agama tersebut sudah berkembang.

Besarnya peranan agama di dalam kehidupan masyarakat, ternyata dari penggunaan agama – agama tersebut untuk melandasi kekuasaan raja – raja

16 Dengan ungkapan tradisi demokrasi konstitusional, Herbert Feith melihat gejala ini sebagai

(13)

dimasa lalu. Perhatikanlah bagaimana kalau raja – raja Syailendra membangun candi – candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan dan Sari17dengan teknologi yang sederhana. Peninggalan – peninggalan sejarah memperlihatkan kepada kita bagaimana hubungan peranan agama dengan kekuasaan dan susunan masyarakat di Kepulauan Indonesia pada masa lalu.

Selama hampir 300 tahun di bawah kekuasaan kolonial Belanda, pandangan masyarakat di mengenai hubungan antara kekuasaan dengan agama hampir tidak berubah. Hal ini terjadi karena kekuasaan kolonial Belanda di atas dua sistem kekuasaan yang sekuler dengan segala aparat birokrasinya. Di lain pihak masyarakat dikukuhkan di dalam sistemnya yang semula, dimana perkaitan antara agama dengan organisasi dan sistem kekuasaan di dalam masyarakat begitu erat.

Politik balas budi (etische politiek) yang dijalankan Belanda, ternyata juga memberi kesempatan yang lebih menguntungkan kepada golongan aristokrat dan adat ini. Pendidikan yang lebih baik menyebabkan mereka lebih mampu mengisi kebutuhan Pemerintahan Kolonial Belanda akan tenaga – tenaga administratif. Dengan demikian secara tidak langsung, kekuasaan kolonial Belanda telah membantu pemberian mereka kepada suatu golongan masyarakat Indonesia yaitu golongan aristokrat dan adat dengan ciri kebangsawanan dan birokrat yang oleh Geertz disebut dengan golongan Priyayi.18

Disamping itu, kekuasaan kolonial Belanda dengan politik Balas Budinya telah meondorong terbentuknya semacam penggolongan lain dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan elit; yakni antara kelompok yang asik mengagumi teknologi dan peradaban Barat dan kalangan yang mendambakan keaslian timur Indonesia. Demikianlah di dalam membayangkan bagaimana negara dan masyarakat Indonesia diorganisir dan digerakkan untuk mencapai taraf perkembangan masyarakat yang maju, terdapat dua kelompok elit.19 Yang pertama adalah mereka yang menghendaki penggunaan teknologi dan sistem politik yang

17 Lihat Bernard H.M Vlekke, Nusantara: A History of Indonesia, Bruxelles : Les Edition A. Mateau,

1961 (Fifth Impression). hlm. 34

18 Ibid. Lihar juga Robert R.Jay, Religion and Political in Rural Central N.J.: Yale University Cultural

report series, No.12, 1963

(14)

telah berhasil diterapkan di negara – negara Eropa dan Amerika. Dan yang kedua adalah mereka yang beranggapan bahwa pengembangan masyarakat Indonesia hendaklah dicapai dengan lembaga – lembaga tradisional.

Aliran dan Organisasi – Organisasi Pergerakan Kemerdekaan

Berbagai aliran dan golongan diatas memengaruhi kehidupan organisasi sosial dan politik. Perhatikanlah maksud dari pembentukkan organisasi – organisasi sosial seperti Budi Utomo dan lainnya.

Disamping itu lahir pula kelompok – kelompok yang didasarkan pada suku kedaerahan, seperti Paguyuban Pasundan, Serekat Sumatera, Serekat Ambon dan lainnya.20 Sesungguhnya pada permulaan berdirinya organisasi – organisasi ini lebih terangsang oleh masalah – masalah sosial namun peranannya dalam pergerakan kemerdekaan secara keseluruhan patut dicatat.

Pengorganisasisan Partai Politik

Pada tanggal 30 Oktober 1945 Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia ( BP KNIP) yang berindak sebagai parlemen sementara sebelum diadakan pemilu, berkeputusan untuk membentuk partai politik atas dasar konsep banyak partai (multipartai)21 dengan pertimbangan bahwa berbagai pendapat yang ada di dalam masyarakat akan tersalur secara tertib.22 Disamping itu keputusan tersebut didasarkan pula atas pertimbangan bahwa partai politik akan memperkokoh perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan pemeliharaan keamanan bangsa.23 Setelah dikeluarkan Ketetapan Pemerintah pada tanggal 3 November 1945,24 maka terbentuklah berbagai partai politik politik yang pada umumnya merupakan kelanjutan daripada organisasi – organisasi sosial dan partai politik yang seudah

20 Iwa Kusuma Sumantri, Sejarah Revolusi Indonesia, Jilid Pertama. Jakarta : ?, 1963, hlm.16.

Serekat Sumatera lebih bersifat politis daripada organisasi-organisasi kedaerahan lainnya, karena sewaktu pendiriannya suasana politik sudah mengizinkan. Sungguhpun demikian, tujuan utama dari organisasi ini ialah menuntut peningkatan kekuasaan pemerintah Nagari (daerah Minang Kabau)

21 Menurut Kahin, hal ini merupakan tindakan BP KNIP yang penting, lihatlah George McTurnan

Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1970 (paperback), hlm. 154

22 Soedjatmoko, “The Role of Political Parties in Indonesia”, dalam Philip W Thayer (ed), National

and Progress in Free Asia. Baltimore: The Johns Hopkins Press, 1950, hlm.130

(15)

dibentuk baik pada masa kekuasaan kolonial Belanda, maupun pada masa kekuasaan Jepang.

Seperti organisasi – organisasi perjuangan kemerdekaan dan partai – partai sebelum kemerdekaan, pengaruh ikatan primordial25 jelas sekali terhadap pengorganisasian partai – partai politik setelah proklamasi. Sejalan dengan peningkatan ketergantungan partai kepada dukungan masyarakat untuk memperoleh kemenangan di dalam pemilihan umum pertama di Indonesia, maka pengatuh ikatan – ikatan primordial seperti agama, suku, dan kedaerahan semakin kentara mempengaruhi pengorganisasian partai – partai politik. Lalu dapat dibedakan misalnya antara partainya partai politik. Lalu dapat dibedakan misalnya antara partainya orang santri, orang abangan dan priyayi,26 berdasarkan kepada agama dan kebudayaan kelompok masyarakat pendukung partai.

MASYUMI, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Islamiyah ( PERTI) misalnya tergolong ke dalam partainya orang santri. PKI terutama memperoleh dukungan dari orang abangan, dan PNI mendasarkan kekuatan massanya dari orang priyayi.

Disamping pembedaan seperti di atas, berdasarkan kepada sikap terhadap kekuasaan dan sikap terhadap perubahan sosial, 27 dari pemimpin dan para pendukung partai maka dibedakan pula antara partai yang modern dan tradisional. Berkenaan dengan perbedaan itu Hindley Menulis :

Orang tradisional mematuhi orang yang dituakan dan yang muda merasa berkewajiban untuk menerima kebijaksanaan orang lebih tua. Masyarakat menerima apa adanya, dan perubahan dilihat sebagai hal yang akan merugikan. Curiga terhadap kebudayaan barat, seperti musik, film, pakaian, hubungan baru diantara orang berbeda kelamin atau cara pendekatan ilmiah terhadap persoalan – persoalan yang dihadapi. Sebaliknya orang modern mempertanyakan susunan masyarakat sekarang, mempersoalkan kepuasan terhadap bagian demi bagian masyarakat, dan menerima pendekatan yang rasional dan ilmiah terhadap pemecahan

persoalan serta menerima kebudayaan impor dari barat.”28

25 Konsep ini berasal dari Clifford Geertz, ” The Integrative Revolution, Primordial Sentiment and

Civil Politic in the New States”, dalam C. Geertz (ed.) Old Scienties and New States. New York: The Free Press, 1963. Hlm 109

26 Geertz, Ibid dan Robert R.Jay. Op.cit

(16)

Atas dasar ini dibedakan antara NU dan PNI sebagai partai tradisional dan MASYUMI, PARKINDO, PARTAI KATOLIK, PKI serta PSI sebagai partai – partai modern.

Sementara itu setiap partai besar merupakan pusat dari sekumpulan organisasi yang saling berkaitan satu sama lain seperti organisasi – organisasi wanita, pemuda, veteran, buruh, petani, keagamaan, pendidikan, kebudayaan dan olahraga membentuk suatu aliran atau jalur politik.29 Demikianlah misalnya NU sebagai partai, melingkupi organisasi wanita muslimat, Pemuda ANSOR, petani, PERTANU, SARBUMUSI, PPNU, PERGURU dan banyak lagi yang lainnya. Oleh karena itu penelaah politik Indonesia memakai konsep “Partai Aliran” untuk menggambarkan pola kepartaian di Indonesia.

Pengelompokan Partai

Faktor sejarah, sifat – sifat hubungan di dalam masyarakat, kemampuan berorganisasi di kalangan elit, serta sikap terhadap ideologi, bersama – sama berpengaruh secara negatif keapda kehidupan partai politik. Namun demikian seringkali pemimpin – pemimpin yang menunjang berbagai sistem politik di Indonesia, cenderung berkesimpulan bahwa masalah pokok yang berdiri di belakang semua kelemahan partai ialah jumlah partai yang terlalu banyak di Indonesia. Masalahnya ialah apakah dengan mnyederhanakn jumlah partai, perbaikan terhadap kehidupan partai dapat dilaksanakan. Sesungguhpun demikian, semenjak tahun 1961 telah beberapa kali dilaksanakan usaha untuk mengurangi jumlah partai politik. Melalui Keputusan Presiden nomor 128, 129 dan 440 tahun 1961; jumlah partai politik dikurangi dari 28 buah yang mengikuti pemilihan umum tahun 1955 menjadi 14 buah partai.30 Dan menjelang pemilihan umum tahun 1971 jumlah tersebut berkurang menjadi 9 buah. Selanjutnya di daam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1971 disusun tiga fraksi yaitu Persatuan Pembangunan, Demokrasi

29 Herbert Feith, op.cit., 1964, hlm.125. Lihat pula Clifford Geertz, The Social Context of Economic

Change : An Indonesian Case Study. Cambridge, Mass M.I.T., 1956 op.cit. 1969

30 Republik Indonesia, Departemen Penerangan, Al-manak Lembaga – Lembaga Negara dan

(17)

Pembangunan dan Karya Pembangunan. Dan selanjutnya diusahakan hanya menjadi tiga partai yang akan memasuki pemilu berikutnya.

BAB III

(18)

Memperoleh kekuasaan merupakan suatu tujuan di dalam kehidupan politik. Disamping itu memeprtahankan kekuasaan yang sudah dipunyai itu, merupakan pusat kegiataan lanjutan yang tidka kurang penting dan meninta kesungguhan dari kegiataan yang pertama. Tidak terkecuali bagi ABRI yang sekarang sedang berperan sebagai aktor utama di arena politik Indonesia, kedua persoalan di atas mesti pula dihadapi. Oleh karena itu di dalam kehidupan politik Indonesia dan prosedur yang bagaimana yang ditempuh ABRI untuk menjaga kelangsungan peranannya di bawah simbol – simbol pembangunan yang sekarang sedang dalam proses.

Munculnya militer di panggung politik, sosial dan ekonomi negara – negara berkembang, berpangkal kepada lemahnya pihak sipil untuk mengendalikan kesemua unsur – unsur kehidupan masyarakat. Politisi sipil yang relatif cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti penyusunan suatu sistem politik yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing, mengorganisir masyarakat yang terlatif tergesa – gesa berhadapan dengan tuntutan modernisasi, masih mencoba model – model yang mungkin dipergunakan untuk melayani tuntutan – tuntutan masyarakatnya sendiri. Begitu lepas dari kekuasaan penjajahan, negara – negara berkembang mengalami fase percobaan untuk merealisir demokrasi. Hanya saja di dalam tahap permulaai ini para politisi tidak mampu untuk mengembangkan daya integritas dan efektivitas mereka .... tidak saja diantara satu partai dengan partai lainnya, malah di dalam satu partai saja, sukar dikembangkan solidaritas di antara elit.31

Sekiranya pandangan yang dikemukakan di atas mendekati kebenaran, maka kemungkinan tumbuh dan berkembangnya kemampuan militer untuk mengelola kehidupan politik di Indonesia. Peneliti politik cenderung melihat keunggulan militer terutama terletak di dalam bidang organisasi.32 Herman Finer

31 Edward Shills, “ The Military in the Political Development of the New States” dalam John

J.Jhonson (ed.) The Role of the Military in Underdevelopment Countries, Princeton, N.Y.: Princetion University Press, 1967 (Third Paperback Printing) hlm. 45

32 Lihat antara lain Samuel P. Huntington, The Soldier and the State.Theory and Politics of Civil –

(19)

misalnya mengetengahkan bahwa “ tentara lebih terorganisir daripada sipil melalui setralisasi komando, hirarki, disiplin, komunikasi intern yang lancar, dan esprit de corps.33 Sukar dikatakan bahwa sipil tidak mempunyai sifat – sifat ini, akan tetapi bagaimanapun juga sipil tidak memupuk sifat – sifat tersebut secara sistematis dan utuh.

Apalagi kalau diingat bahwa masyarakat yang hendak dikelola pada masa ini adalah masyarakat yang besar, baik jumlah maupun dalam kebutuhan individu dan kelompok yang terlingkup olehnya. Masyarakat yang berada di dalam kondisi ini, sukar sekali bergerak mencapai tujuan – tujuan tanpa dibimbing oleh suatu organisasi.34 Oleh karena itu yang dibutuhkan oleh masyarakat yang sudah bertambah kompleks adalah suatu kelompok atau yang mampu membina dan mengontrol suatu organisasi.

Lalu disamping organisasi yang super sifatnya, maka emosi yang tinggi terhadap simbol dan monopoli menggunakan senjata, 35 merupakan sifat – sifat yang memberi keunggulan kepada militer untuk bersaing dengan sipil. Melalui upacara – upacara kepahlawanan, peringatan untuk hari – hari yang bersejarah seperti lahirnya Angkatan Perang, dan lain – lain; militer lebih mengesankan hubungan dengan negara secara keseluruhan. Simbol – simbol seperti sangsaka, kepangkatan, kepahlawanan, kesatuan, juga merangsang berkembangnya keterikatan tersebut. Dengan kata lain, militer lebih mampu mengenmbangkan keterikatan melalui simbol kondensasi (Condensation Symbol).36

Kesemua faktor yang dikemukakan diatas memupuk kemampuan militer Indonesia (ABRI) untuk membendung atau sedikitnya mengalihkan konflik –

33 Esprit de Corps artinya adalah jiwa korsa, sebuah bentuk kekompakan, kebersamaan yang

terjalin dalam sebuah kelompok, instansi atau organisasi yang dilandaskan keikhlasan tanpa paksaan apapun

34 Untuk melihat keperluan masyarakat akan organisasi lihatlah antara lain Emile Durkheim, The

Division of Labor in Society. New York: The Free Press, 1964 (First Paperback Edition)

35 Daniel S.Lev “ Lembaga Peradilan dan Kultur Hukum Indonesia”, Prisma no.4, Agustus 1973,

hlm. 38

36 Edelman membedakan dua macam simbol di dalam politik, pertama adalah ‘referentian

(20)

konflik tradisional yang memecah belah37 kesatuan Indonesia sebagai sebuah negara. Organisasi ABRI mampu menghubungkan komando di pusat dengan semua daerah secara timbal balik.

ABRI dan Pembangunan

Secara sosial militer lebih mampu untuk menjadi modernisator karena :

A. Walaupun banyak anggota yang bersasl dari daerah pedesaan, tetapi tentara lebih cepat berkenalan dengan teknologi yang datang dari luar.

B. Proses akulturisasi didalam tentara lebih mengarah kepada teknologi

C. Secara politis, proses akulturasi tentara lebih melibatkan diri kepada negara secara keseluruhan, daripada keterikatan kepada kelompok – kelompok yang lebih kecil seperti yang dialami oleh pengelompokkan sipil.

Bagi ABRI kegandrungannya kepada keutuhan nasional dapat diperhatikan dari sikapnya yang berkeberatan terhadap persetujuan – persetujuan yang dilaksanakan dengan Belanda sampai tahun 1950. Sikap dan tindakan ABRI terhadap percobaan untuk membentuk pemerintah tandingan yang amat mungkin akan mengakibatkan pecahnya Indonesia sebegai negara kesatuan.

Walaupun demikian, tidaklah berarti bahwa politisi sipil tidak mempunyai rasa keterikatan kepada keutuhan nasional. Akan tetapi keterikatan kepada keselurun Indonesia itu, sering dikalahkan oleh keterikatan kepada unsur – unsur kesetiaan primordial, seperti yang telah disinggung diatas. Sedangkan ABRI yang lebih menjalani kehidupannya melalu organisasi dan pelembagaan serta disiplin yang dipusatkan kepada satu arah yaitu Indonesia secara keseluruhan lebih terpisah daripada kesetiaan primordial.

Kalau di telaah sejarah politik Indonesia sejak merdeka sampai kepada saat ini, maka perbedaan seperti yang dikemukakan oleh Pye diatas dapat

37 Untuk mengetahui sikap militer terhadap hasil – hasil yang diperoleh para politisi sipil di masa

(21)

diperhatikan gejalanya. Banyak sekali rencana – rencana yang telah dibuat oleh politisi sipil untuk membangun Indoensai secara ekonomis akan tetapi pelaksanaan renacan tersebut sering kurang cermat dan tidak kontinu. Sejalan dengan pergantian pemerintah (kabinet), atau pergantian sistem politik terjadi pula perubahan rencana, atau pergantian rencana.

Kepemimpinan dan ABRI

Kepemimpinan politisi sipil mulai dari Soekarno sampai kepada Ali Sastroamidjoj, Natsir dan lain – lain lebih didsarkan kepada unsur – unsur tradisional masyarakat, seperti kharisma pada kewibawaan Soekarno, ikatan – ikatan primordial pada kepemimpinan Natsir, Ali Sastroamidjojo. Berbeda dengan itu, maka kepemimpinan militer Indonesia didasarkan kepada lembaga masyarakat yang lebih modern. Garis komando yang tegas dan dilaksanakan secara konsekuen banyak sekali memberikan andil untuk memupuk kepemimpinan ABRI. Melalui sistem komando ABRI lebih mampu untuk berada di dalam suatu organisasi yang utuh jika dibandingkan dengan organisasi sipil. Seperti yang telah disinggung pada bagian yang terdahulu, partai juga diorganisir secara terpusat. Akan tetapi sentralisasi organisasi partai lebih bersifat formal daripada operasional. Pada partai, yang mampu disentralisasiakn ialah penetapan kebijaksanaan. Akan tetapi partai tidak mempunyai peralatan yang cukup ampuh untuk melaksanakan keputusan tersebut secara sentral. Lagipula belum dikembangkan sistem pengawasan yang mendukung pelaksanaan suatu keputusan dari pusat partai.

Lebih utuhnya kepemimpinan militer, disokong pula oleh sistem herarki yang dilaksanakan dengan disiplin. Hirarki dan disiplin, amat membantu komandan untuk mengendalikan tingkah laku anggotanya yang tersebar di seluruh daerah. 38

38 Di dalam pidato Hari Angkatan Perang RI tahun 1956, Nasution mengemukakan bahwa di dalam

(22)

ABRI dan Pembaharuan Politik : GOLKAR

ABRI lebih mampu mengendalikan politik secara nasional dibandingkan dengan politisi sipil. Akan tetapi masalah yang dihadapi oleh ABRI bukan hanya sekedar kemampuan untuk mengendalikan politik nasional. Sebab disadari bahwa kemampuan untuk mengendaliakn (authority) tersebut akan berkurang daya efektifnya jika tidak didampingi oleh partisipasi masyarakat yang bertolak dari penerimaan dan kerjasama yang diberikan oleh masyarakat (legitimasi).

Ada beberapa pola mengenai hubungan antara militer sebagai kekuatan politik dengan masyarakat politik yang terjadi diberbagai negara berkembang. Janowitz39 mengemukakan lima tipe hubungan sipil militer yaitu:

1. Authoritarian – Personal, dimana pemegang kendali politik nasional mendasarkan kekuasaannya kepada kekuasaan tradisional dan individu pemimpin. Bentui ini dipraktekkan oleh negara – negara yang baru berusaha melaksanakan modernisasi seperti Ghana, Mali, dan Guinea

2. Dikatakan authoritarian – massparty apabila pengendali kekuasaan negara mendasarkan kekuasaan kepada partai tunggal dan pribadi pemimpin yang kuat.

3. Apabila ada lembaga kompetisi yang demokratis dan militer berada dibawah kontrol politisi sipil, maka tipe ini disebut sebagai democratic – competitive, seperti di Malaysia, Nigeria dan India.

4. Sekiranya militer memainkan peranan politik yang luas dan menjadi suatu blok politik, dan politisi sipil hanya masih bisa memegang kekuasaan atas dukungan pasif dari tentara, maka pola hubungan militer seperti ini disebut sebagai civil – military coalition

5. Oleh karena koalisi dan care taker (penjabat) diatas menghasilkan sistem politik yang stabil, maka tentara meningkatkan aktivitas politiknya sampai

Pembimbing, 1955, hlm. 232-261

39 Didasarkan kepada Morris Janowitz, The Military in the Political Development of New Nations.

(23)

menjadi kekuatan politik utama yang mengendalikan sendiri politik nasonal. Tipe ini disebut military oligarchy, seperti Mesri, Thailand dan Sudan.

Masalahnya ialah pembaharuan politik banyak pula ditentukan oleh partisipasi masyarakat. Di Indonesia, tidak kurang dari 70 persen penduduk hidup dibidang pertanian di daerah pedesaan. Lembaga-lembaga masyarakat bulum punya kapasitas untuk menyertai pembaharuan.

BAB IV

Mahasiswa dan Angkatan Muda

Kekuataan Politik Anomie

(24)

terbiasa dengan bahasa Indonesia, bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya dan Indonesia sebagai suatu kesatuan sosial dan politik.

Tercapainya kemerdekaan, tidaklah mengendorkan kegiatan angkatan muda di dalam politik Indonesia. Hanya saja persoalan yang menjadi tema dari aktivitas mereka mengalami perubahan. Dengan kata lain, teknik perjuangan, permasalahan yang menjadi titik tolak kegiatan grafik aktivitas bisa berbeda dari waktu ke waktu.

Begitu pula pusat kegiatan politik angkatan muda mengalami perubahan. Sebelum perang, studi grup seperti Algemene Studi Grup di Bandung dan Studi Grup di Surabaya merupakan pusat – pusat kegiatan politik angkatan muda. Di masa penjajahan Jepang, pusat – pusat pendidikan agaram atau pesantren dan lembaga – lembaga sosial yang juga bergerak di bidang pendidikan, seperti Naudathul Ulama dan Muhammadiyah merupakan semacam wadah bagi gerakan angkatan muda disamping gerakan – gerakan di bawah tanah seperti yang dipimpin oleh Sjahrir.40

Perkembangan dunia pendidikan setelah tahun lima puluhan, memperluas kesempatan mengecap pendidikan. Dalam tahun 1940, hanya 2.360.228 orang Indonesia yang memperoleh pendidikan di berbagai sekolah yang ada. Diantaranya hanya 637 orang yang berpendidikan perguruan tinggi. Akan tetapi didalam tahun 1965 terdapat lebih dari sejuta pelajar dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Lanjutan Atas. Dan tidak kurang dari kira – kira setengah juta mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Tabel 1

Perbandingan Jumlah Mahasiswa Lama dan Baru dari Sudut Daerah Asal, Kota dan Desa, di Universitas Gajah Mada41

Tingkat Sarjana

Persen Mahasiswa

Baru

(1959-Persen

40 George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution Indonesia. Ithaca, M.Y.: Cornell Free Press,

1964, hlm.16

41 Diambil dari Josep Fischer, “The Studen Population of a South East Asian University : an

(25)

Aspek (1952-1960) 1960)

Kota Metropolitan 362 37.99 916 37.54

Kota Besar 227 26.45 433 17.74

Kota Sedang 245 16.89 366 15.00

Kota Kecil 123 14.33 429 17.58

Desa 37 4.31 296 12.13

Jumlah 858 99.97 2440 99.99

Tabel I memperlihatkan bahwa perbedaan prosentase antara mahasiswa tingkat sarjana (mahasiswa lama) dengan mahasiswa baru yang berasal dari kota, lebih kecil daripada perbedaan antara prosentase mahasiswa lama dan baru yang berasal dari pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa universitas telah menjadi saran bagi mobilitas sosial.

Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosisalisasi politik yang terpanjang antara angkatan muda. Nyata bahwa hubungan antara sekolah dengan sosialisasi politik merupakan hal yang baru. Di banyak negara berkembang, keluarga tetap merupakan lembaga terpenting bagi proses sosialisasi politik.

Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik dikalangan mahasiswa. Di universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin di dalam kegiatan kampus sehari – hari.

Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise didalam masyarakat42 dengan sendirinya merupakan elit didalam kalangan angkatan muda.

Angkatan Muda dan Politik

Faktor – faktor pendorong mahasiswa untuk terjun ke dunia politik tidaklah terpisah dari unsur – unsur penyebab politik angkatan muda.

42 Selo Soemardjan, “ Social Mobility and Social Stratification in Indonesia”, East Asian Cultural

(26)

Perbedaan nilai antara generasi muda dengan generasi yang lebih tua mendorong terbentuknya generasi muda sebagai kekuatan politik di Indonesia. Generasi muda tidak hanya melihat perlunya simbol – simbol revolusi seperti Revolusi 1945, Angkatan ’45 dan sebagainya, akan tetapi sesuai dengan tanggapan mereka terhadap lingkungan dan diri sendiri, generasi muda lebih tertarik kepada masalah - masa–ah kesempatan kerja, kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, kepincangan ekonomi dan sosial diantara pelapis masyarakat dan di daerah, Angkatan Muda merasa langsung terlibat kedalam masalah – masalah diatas, sebab kesemuanya itu mereka hadapi secara nyata dan pula akan mempengaruhi hari depan mereka.

Perbedaan ini lebih banyak didorong oleh pengalaman dan sejarah masing – masing generasi.43 Sungguhpun Angkatan ’28 dan ’45 sama – sama menghayati proses peralihan dari terjajah kepada merdeka, akan tetapi Angkatan ’45 lahir dalam romantisnya perang kemerdekaan. Sedangkan angkatan ’66 lahir dalam krisis ekonomi, sosial dan politik yang terjadi pada waktu penjajahan. Generasi init tidak mengalami revolusi kemerdekaan. Penglihatan mereka untuk masa kini dan akan datang tidak dilandaskan kepada romantiknya perjuangan menjelang merdeka. Sungguhpun demikian, tidaklah berarti bahwa Angkatan Muda tidak menghargai pengorbanan angkatan yang terdahulu. Hanya saja penghargaan itu lebih dilahirkan didalam masalah – masalah pengisian kemerdekaan yang bertolak dari kebutuhan masa kini. Oleh karena itu Angkatan Muda cenderung untuk mepertanyakan peranan antar angkatan didalam penentuan dan pengisian kemerdekaan.

Mahasiswa dan Politik

Umumnya mahasiswa yang aktif berpolitik adalah mereka yang berpandangan pesimis mengenai kemungkinan untuk memperoleh poisis yang baik dalam masyarakat. Mereka ini agak terlambat menyelesaikan pendidikannya di universitas, atau memang tidak menyelesaikannya sama sekali karena kekurangan biaya. Sering mahasiswa yang termasuk ke dalam kategori ini

43 Perbedaan antara angkatan di Indonesia antara lain dibahas oleh Taufik Abdullah, Tentang

(27)

membiayai sendiri pendidikannya, baik secara sebagian maupun secara keseluruhan. Kebanyakan dari mereka berasal dari lapisan sedang dan rendah.

Baik keadaan ekonomi mereka, maupun lingkaran pergaulan mereka, belum meungkinkan mereka untuk lebih mudah memasuki – memasuki jabatan – jabatan terbaik didalam masyarakat. Di dalam hal ini tidak begitu banyak pengaruh kekhususan pergaulan mahasiswa di dalam kampus, yang sudah kurang memperhatikan dasar – dasar primordial dan pelapisan masyarakat. Oleh karena itu bagi mahasiswa golongan ini, jalan yang relatif singkat untuk melampaui semua hambatan sosial tersebut diatas adalah memasuki lapangan politik.

BAB V

Politik, Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat

Politik dan Pembangunan Ekonomi

(28)

kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa yang biasanya tersedia secara langka.

Hubungan kedua sistem itu terletak pada penggunaan kekuasaan pemaksa secara sah di dalam usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat. Misalnya di dalam perencanaan dan pengerahan masyarakat kepada pusat – pusat usaha ekonomi yang biasa disebut sebagai pembangunan, merupakan contoh dari hubungan yang erat sekali di antara politik dan ekonomi. Intensitas hubungan kedua aspek diatas adalah berbeda di berbagai negara. Akan tetapi di Indonesia, seperti juga di negara – negara berkembang pada umumnya hubungan antara politik dan ekonomi erat sekali. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu :

1. Sebagai negara yang baru lepas dari sistem ekonomi kolonial di mana sistem ekonomi terpecah didalam kedua unsur yaitu ekonomi ekspor dan yang berkecimpung44 didalam produksi barang – barang yang dibutuhkan oleh Negeri Belanda sebagai negara penjajah, dan ekonomi lokal yang tradisional sifatnya memerlukan penataran supaya sektor ekonomi lokal mempunyai kemampuan untuk mendukung kesertaannya dalam proses ekonomi global dan nasional.

2. Kelompok ekonomi yang baru tumbuh ini juga lemah kedudukannya untuk bersaing dengan kelompok ekonomi yang telah berpengalam untuk bersaing dengan kelompok ekonomi yang telah berpengalaman sebagai perantara di dalam sistem ekonomi kolonia.

3. Sebagai akibat dari sistem ekonomi penjajahan dimana masyarakt lebih terpusat kepada sektor produksi pertanian, maka sektor industri dan perdagangan menengah atau perantara dengan sektor eskpor sangatlah lamah.

4. Secara nasional kelompok – kelompok ekonomi yang ada di dalam masyarakat Indonesia belum mampu untuk melihat diri sendiri sebagai unit politik yang didasarkan kepada unsur primordisi daripada kapasitas

44 Lihatlah Joelioes, Herman Boeke, The Evaluation of the Netherlands Indies Economy. N.Y.:

(29)

ekonomi antara daerah serta hubungan pusat dan daerah sebagai kesatuan ekonomi.

Pembangunan Tidak Berimbang

Kesepakatan akan mudah diperoleh jika berbicara mengenai perlunya pembangunan bagi Indonesia. Demikian pula kalau dikatakan bahwa yang hendak dicapai dengan pembangunan itu ialah suatu masyarakat yang adil dan makmur. Bagi kita yang perlu diketengahkan disini bukan hanya kedua aspek pembangunan diatas. Lebih daripada itu ialah bagaimana proses atau usaha untuk mencapai kemakmuran itu berjalan, adalah persoalan yang perlu mendapat perhatian yang cukup. Sebab pada hakikatnya pembangunan adalah untuk memperbesar kebahagiaan yang dapat dicapai oleh anggota masyarakat, yang didalam masyarakat Indonesia diwujudkan dengan kata adil dan makmur.

Pada hakikatnya pandangan ini bertolak dari asumsi bahwa pembangunan menyangkut keseluruhan kehidupan masyarakat. Begitu pula hasil yang dibawa oleh pembangunan itu sendiri. Namun demikian pula dilema yang dihadapi oleh politik dan ekonomi sebagai unsur pokok pembangunan. Karen itu pembangunan diproses berdasarkan prioritas. Dasar pemikiran ini kentara sekali didalam pembangunan Lima Tahun yang sudah dimulai sejak tahun 1968. Dan tuntutan prioritas mengarahkan pembangunan kepada berbagai ketidakseimbangan.45

Pengendalian Pembangunan

Sebagai badan yang menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (PELITA), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memberikan pertanggungjawabannya langsung kepada Presiden.46 Dengan kata lain badan ini biasanya disebut sebagai Lembaga Non Departemental. Lalu untuk

45 Dalam membicarakan pembangunan tidak berimbang, Selo Soemardjan melihat beberapa

aspek dari ketidakberimbangan itu, seperti ketidakseimbangan yang bersifat ideologis, yakni antara keadailan dan kemakmuran; ketidakberimbangan organisasi pembangunan, yaitu antara pengutamaan pertanian dariapda industri; ketidakberimbangan secara struktural yaitu antara sektor pariwisata yang cepat berkembang dibandingkan dengan sektor lainnya;

ketidakberimbangan secara geografis antara pusat dan daerah atau di daerah – daerah sendiri. Lihatlah Selo Seomardjan, Imbalance in Development : The Indonesian Experience. Athens, Ohio : Ohio University Center for International Studies, Southeast Asia Series No. 25, 1972

46 Ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 177 Tahun 1966. Lihatlah umpamanya Almanak

(30)

memperoleh data dan keterangan, serta didalam menyusun rencana pembangunan, BAPPENAS mengadakan hubungan dengan lembaga – lembaga perencanaan setiap departemen. Pola kerja tersebut juga dikembangkan dengan Badan – Badan Perencanaan Daerah (BAP-PENDA) guna memperoleh bahan bagi tingkat daerah.

Rencana pembangunan yang disusun BAPPENAS tersebut terlebih dahulu dibicarakan oelh sidang kabinet sebelum diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memeroleh persetujuan sebagai undang – undang. Kemudian DPR membicarakan rencana pembangunan tersebut senafas dengan pembicaraan Rencana Anggaran Belanja Negara (RAPBN), sebab biaya pembangunan merupakan bagian dari belanja negara setiap tahun. Sebagai contoh pehatikanlah Rencana Anggaran Belanja tahun 1967 47 yang disusun atas tifa macam anggaran pokok yaitu biaya rutim, biaya pembangunan, dan biaya – biaya lain seperti Irian Barat, Pemilihan Umum, Rehabilitasi Peralatan Militer. Mata anggaran rutin dipecah atas lima macam yaitu belanja pegawai negeri untuk ABRI, impor beras, subsidi perusahaan – perusahaan negara dan subsidi untuk daerah, serta untuk melunasi hutang luar negeri.

Perhatikan tabel 1 untuk memberikan gambaran mengenai perbandingan setiap pos serta perubahan jumlahnya.

47 Lihat Emil Salim, Pokok – Pokok Pikiran Mengenai Rencana Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

dalam SESKOAD, Amanat/Pidato Prasaran Dalam Seminar AD ke II 1966.Bandung SESKOAD, 1966, hlm. 145

(31)

1. Personil (tak termasuk beras)

III. Biaya Lain (Irian Barat, Pemilu, dll) 487 8.900 5.000

Jumlah 2.345 28.660 81.600

Sungguhpun dalam tahun 1967 pembangunan lima tahun belum dimulai, akan tatapi jumlah anggaran yang disediakan untuk mempersiapkan pembangunan yang diletakkan di dalam mata anggaran pembangunan diperbesar dari 3.210 juta dalam tahun 1966, menjadi 14.000 di dalam tahun 1967. Dalam pada itu, secara keseluruhan anggaran belanja negara juga meningkat.

BAB VI

Kerangka Kerja Sistem Politik : Pendekatan Sistem

Ide ilmu sistem muncul dari disiplin biologi yang dipelajari oleh Bertalanffy pada tahun 1940. Bertalanffy memperkenalkan suatu kerangka konsep dan teori umum yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu. Kerangka ini dikenal dengan nama Teori Sistem Umum atau General System Theory

(32)

beruapaya memahami suatu sistem, termasuk sistem politik dengan meminjam pendekatan sistem tersebut.

Melalui pendekatan sistem politik, suatu masyarakat tidak dilihat hanya terdiri atas satu sistem (misalnya sistem politik saja), melainkan terdiri atas multisistem. Atau pendekatan ini bertolak dari konsepsi yang menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari berbagai macam proses, misalnya ada sistem ekonomi, sistem budaya, sistem kepercayaan, sistem teknologi, sistem politik dan sebagainya.

Pendekatan sistem berpegang pada prinsip bahwa tidak mungkin untuk memahami suatu bagian dari masyarakat sucara terpisah dari bagian – bagian lainnya yang mempengaruhi operasinya. Gagasan inilah yang menjadi pusat utama kerangka teori sistem politik yang dikembangkan David Easton. Ia telah berhasil menggambarkan kerangka kerja sistem dengan elemen – elemen penyusunan yang sederhana, sehingga telah memudahkan para ilmuan politik lainnya dalam menentukan unit – unit analisis yang ingin dikaji dan dijelaskan.

Dalam konteks ini, Easton mengemukakan, bahwa ketika kita mulai berbicara tentang kehidupan politik sebagai sistem kegiatan, maka akan muncul konsekuensi terhadap cara yang dapat kita ambil dalam melakukan analisis kerja suatu sistem. Gagasan ini membuat kita dapat memisahkan kehidupan politik dari kegiatan sosial atau setidaknya demi tujuan analisis kita dapat membedakan sistem politik dengan lingkungan yang melingkupinya, yaitu kita bicara tentang batas – batas antara sistem politik dengan lingkungannya. Dalam hal ini sistem politik sering disebut sebagai sistem terbuka artinya satu sistem politik tidak hidup dalam suatu ruang hampa, tetapi ia senantiasa hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Oleh karena itu, sistem politik terbuka bagi pengaruh – pengaruh yang berasal dari lingkungan, yaitu baik yang berasal dari lingkungan internal (domestik), maupun eksternal (internasional).

(33)

1. Melalui tulisan ilmiahnya “ The Political System” pada tahun 1953, yang menyatakan bahwa perlunya suatu teori umum dalam ilmu politik.

2. Dalam tulisan ilmiah lainnya “A Frame for Political Analysis “ dan “ A System Analysis of Political Life” pada tahun 1965

Dalam hal ini, Easton telah menggariskan kerangka berpikir dasar untuk mengkaji suatu sistem politik. Kerangka berpikir Easton bersifat Adaptif dan Fleksibel, karena itu dapat digunakan oleh aneka struktur masyarakat maupun politik, dan juga teori Easton ini memungkinkan dapat diaplikasikan secara improvisasi oelh para penggunaannya dalam melakukan penjelasan atas fenomena sistem politik.

Easton menafsirkan istilah politik sebagai “ Proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif”. Pengertian politik sebagai alokasi nilai yang bersifat otoritatif ini menandai dua tahap pembentukan teori sistem politiknya. Perhatian pada nilai sebagai komoditas yang dinegosiasikan di dalam masyarakat merupakan titik awal berlangsungnya suatu proses politik. Namun, proses alokasi nilai ini tidaklah dilakukan secara sembarang atua oleh siapa saja melainkan oleh lembaga – lembaga masyarakat yang memiliki kewenangan tertentu

Sistem adalah proses masukan yang ditransformasikan menjadi keluaran tertentu. Menurut awam, sistem dipandang sebagai suatu cara atau metode untuk mencapai tujuan tertentu.

Sistem secara etimologis menurut Webster’s New Collegiate Dictionary

terdiri dari kata “syn” dan “histanai” dari kata Greek yang berarti to place together ( menempatkan bersama )

Advance Leaner’s Dictionary dalam Sukarna (1977:13) menjelaskan pengertian sistem adalah “ System is a group of facts, ideas, beliefs etc arranged in an orderly way: as a system of philosophy” (Sistem ialah kumpulan fakta – fakta, pendapat – pendapat, kepercayaan – kepercayaan dan lain – lain yang disusun dalam suatu cara yang teratur: seperti sistem filsafat)

(34)

kompleks yang dibentuk oleh bagian – bagian yang berbeda – berbeda (diverse) yang masing – masing terikat pada (subjected to) rencana yang sama atau kontribusi (serving) untuk mencapai tujuan yang sama.

Murdick, Ross dan Claggett dalam Simatupan (1995:6) mendefenisikan sistem sebagai suatu susunan elemen – elemen yang berinteraksi dan membentuk satu kesatuan yang terintegrasi.

Shrode dan Voich, Jr (1974:122) mendefenisikan sistem adalah “ System is a set of interrelated parts, working independently and jointly, in pursuit of common objectives of the whole, within a complex environtment” (Sistem adalah kumpulan unsur – unsur, atau bagian – bagian yang saling berinteraksi, saling bergantungan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu dalam lingkungan yang kompleks)

Politik dilihat dari aspek pengertian atau defenisinya dalma bahasa sehari – hari sering ditafsirkan secara bervariasi, yaitu mulai dari pengertian positif misalnya kekuasaan, partai, pemerintahan negara, kebijakan pemerintahan, kehidupan parlementer, sampai kepada pengertian negatif seperti percakapan warung kopi, perbuatan manipulatif atau korupsi, kolusi, nepotisme, kelicikan, curang dan jahanam, kemunafikan dan lain – lain.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1983:763) arti politik adalah

Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan yaitu ilmu politik.

Menurut Miriam Budiarjo (2000:8) mengemukakan pengertian politik adalah bermacam – macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan – tujuan itu.

(35)

bagaimana kebijakan itu dilaksanan, yaitu hal – hal yang menyagkut kehidupan negara atau pemerintahan. Selanjutnya, berinteraksi berdasarkan proses – proses ( proses saling pengaruh – mempengaruhi) yang dapat diramalkan unutk memenuhi kebutuhan publik.

Dengan demikian pula, cakupan studi sistem politik itu pada dasarnya menunjuk kepada seluruh lingkup aktivitas politik, yaitu membahas hubungan dan interaksi lembaga – lembaga supra struktur politik: (Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif ) dan infrastruktur politik : ( Partai politik, Interest Group, Kelompok penekan, alat komunikasi politik, tokoh politik) yang menjadi objek bahasannya dalam kegiatan atau usaha lembaga – lembaga tersebut melaksanakan fungsi – fungsinya untuk menghasilkan output dari input yang berasal dari aspirasi rakyat ataupun diluar dari sistem itu sendiri agar dapat dicapai tujuan sistem itu.

BAB VII

Analisis Sistem Politik : Pendekatan Budaya Politik

(36)

Colere/Culture” diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Koentjaraningrat dalam Seokanto, 1969:55)

E.B Taylor dalam Soekanto (1996:55) memberikan defenisi mengenai kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan kepercayaan, kesenia, moral , hukum, adat istiadat dan lain kemampuan – kemampuan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Somardi dalam Soekanto (1996:55) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

Maka Roy Macridis mengemukakan pendapat budaya politik sebagai tujuan bersama dan peraturan yang diterima bersama. Kemudian Samuel Beer menyebutkan komponen – komponen budaya politik itu adalah nilai – nilai keyakinan dan sikap – sikap emosi tentang bagaimana pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan pemerintah itu.

Robert Dahl menyebutkan unsur – unsur budaya politik yang penting adalah :

1. Orientasi pemecahan masalah – malsaah, apakah mereka pragmatis atau rasionalistis;

2. Orientasi terhadap aksi beragama, apakah mereka bersifat kerjasama atau tidak (ko-operatif atau non ko-operatif)

3. Orientasi terhadap sistem politik, apakah mereka setia atau tidak

4. Orientasi terhadap orang lain, apakah mereka setia atau tidak

Selain itu Gabriel A. Almond dalam Ismid Hadad (1981:7) mengemukakan bahwa budaya politik adalah suatu pola orientasi yang khusus dari tindakan politik yang sudah tertanam dalam setiap sistem politik

(37)

- Orientasi Kognitif yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya. Misalnya bagaimana individu menegtahui hak dan kewajiban warga negara dalam konstitusi, bagaimana indivudu mengetahui tata cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai politik dan aktivitas partai tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku pemimpin – pemimpin mereka lewat pemberitaan massa merupakan contoh dari orientasi kognitif ini. Pengetahuan – pengetahuan ini bersifat tidak tetap. Pengetahuan seseorang bisa bertambah atau tetap bergantung kepada pengaruh – pengaruh dari lingkungan sekeliling individu.

- Orientasi Afektif yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya, dan lembaga – lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif dan yudikatif). Orientasi Afektif ini bergerak didalam konteks persaan. Perasaan - perasaan yang bermain, seperti perasaan diperhatikan, diuntungkan, diperlakukan adil, ditolong, disejahterakan, suka atau tidak suka, ataupun sejenisnya. Faktor ini kadang lebih menentukan ketimbang fatkor pengetahuan. Maka tak heran sering dimanfaatkan oleh banyak pemimpin negara dengan sengaja mengeluarkan kebijakan – kebijakan populis untuk meningkatkan aspek afektif warga negara.

- Orientasi Evaluatif yaitu keputusan dan pendapat tentang objek – ok=bjek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan, misalnya tampak saat pemilu. Orientasi ini merupakan campuran dari dua orinetasi diatas. Misalnya setelah mengatahui bahwa partai A atau B memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, maka individu memilih mereka di dalam suatu pemilu. Atau sekelompok individu menggelar unjuk rasa atau melakukan orasi untuk mendukung calon bupati misalnya.

(38)

1. Budaya politik parokial yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, disebabkan oleh faktor kognitif.

2. Buda politik kaula, yaitu masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju ( baik ekonomi dan sosial ) tapi masih bersifat pasif

3. Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi.

BAB VIII

(39)

Menurut Kantaprawira (1983:44), struktur adala hpelmbagaan hubungan organisasi antara komponen – komponen yang membentuk bangunan itu.

Dari pengertian tersebut jelaslah dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan struktur adalah suatu pola hubungan yang relatif sbail antara komponen – komponen, atau jabatan – jabatan yang ada dalam suatu organisasi atau lembaga.

Selanjutnya, Kantaprawira menjelaskan bahwa struktur politik sebagai salah satu species struktur pada umumnya, selalu berkenaan dengan alokasi nilai – nilai yang bersifat otoritatif yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan.

Dalam konteks ini, kekuasaan (power) menurut Russel dan Affandi yang (1977:80) merupakan substansi pokok dalam ilmu politik, seperti yang dikemukakan :

The fundamental concept in social science is power in the same sense which energy is the fundamental concept in physics that without which nothing would ever happen.

Konsep mendasar dalam ilmu sosial adalah kekuasaan, seperti halnya energi dalam konsep ilmu alam; tanpa energi takkan ada sesuatu yang terjadi.

Pemahaman politik diatas menunjuk pada kekuasaan, karena memang dalam aktivitasnya selalu terkait dengan “perjuangan” untuk memeroleh kekuasaan – kekuasan atau masalah – masalah pelaksanaan kekuasaan. Kekuasaan biasanya tercermin dari adanya hubungan, yakni di satu pihak memerintah dan dipihak lain diperintah.

(40)

Selain itu Tawney dalam Affandi (1977:81) mengatakan kekuasan adalah

The craving to be a cause, to see things and men move in the fulfilment or our own will; the capacity of an individual or group to modify the conduct of others in a manner which the desires, and to prevent this own conduct from being modified in a manner he does not desire.

Kekuasaan itu meruapak kehendak yang keras untuk menjadikan penyebab, untuk dapat melihat benda – benda dan orang – orang bergerak melaksanakan keinginan kita; atau suatu kemampuan seseorang atau sekelompok orang – orang untuk mengubah tingkah laku orang lain sesuai dengan keinginannya untuk mencegah tingkah laku sendiri diubah orang – orang menurut cara yang tidak diinginkan.

Dari beberapa pengertian kekuasaan diatas, dapat kita simpulkan bahwa kekuasaan adalah merupakan kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mengendalikan, menentukan, dan memengaruhi perilaku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga perilaku orang atau kelompok lain itu sesuai dengan tujuan dan keinginan dari orang yang mempunyai kekuasaan.

Sementara itu, kekuasaan politik dapat dipahami adalah bagian dari kekuasan sosil yang ada pada negara untuk dipergunakan, atau untuk melaksanakan tugas – tugas negara dan kekuasaan sosial yang dimiliki unsur – unsur masyarakat tertentu yang diarahkan olehnya terhadap negara untuk memengaruhi pemerintahan negara, bahkan mungkin pula bertujuan untuk mengubah struktur maupun kekuasaan negara.

Ketika kita membicarakan konsep kekuasaan seperti yang telah dibahas sebelumnya, kadang muncul konsep yang sekilas maknanya mirip dengan konsep kekuasaan sehingga orang awam sulit untuk membedakannya. Konsep – konsep tersebut adalah konsep pengaruh (influence), kekuatan (force), dan kewibawaan (authority). Untuk mendapatkan penjelasannya dapat dilihat dalam pendapat Isjawara (1966:50-51) sebagai berikut :

Gambar

Tabel 1
Tabel I memperlihatkan bahwa perbedaan prosentase antara mahasiswa

Referensi

Dokumen terkait

Istilah informed consent menurut KKI 5 adalah Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi yang mempunyai arti persetujuan pasien atau yang sah

Judul : Pelatihan Menjadi Khotib Shalat Jum’at di Njeblosan

4.8 Rekapitulasi Hasil Observasi Peneliti terhadap Siswa Kelas X Multimedia SMK Tamansiswa Kudus Tahun Pelajaran 2013/2014 Mengenai Indikator Penerimaan Diri dalam

 Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan

Analisis dan Pengolahan Data Melakukan pengukuran.. meskipun jawaban hanya berupa tidak tahu atau tidak mau menjawab. 2) Keterbacaan tulisan, tulisan yang tidak terbaca akan

(siswa) yang merupakan sampel dalam penelitian ini tidak dapat dilakukan.. dengan mengelompokkan subjek secara acak, karena di dalam

Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya adalah sebagaimana nilai-nilainya yang bersifat fundamental menjadi suatu sumber dari segala sumber hukum

Untuk menjawab hipotesis ketiga maka dilakukan uji secara simultan (uji F). Dengan demikian hipotesis ketiga diterima. Hasil persamaan yang dilakukan secara manual dan