Pengaruh Konsepsi Hukum Islam terhadap Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Adat di Indonesia
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan terdiri dari berbagai suku dan adat istiadat. Dalam hidup dan kehidupannya, masyarakat adat juga membutuhkan aturan untuk memberikan keteraturan dan ketertiban. Oleh karena itu masyarakat adat pun mengenal hukum.
Hukum sebagai salah satu permasalahan yang dihadapi manusia merupakan suatu permasalahan yang senantiasa dihadapi oleh umat manusia dimana dan dalam waktu kapan pun juga. Hukum termasuk juga hukum pidana adat dalam proses kehidupan manusia menampakkan diri dalam berbagai bentuk peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis.
Menurut syari’at Islam, tindak pidana yang harus dijatuhi hukuman ialah yang menyangkut masyarakat. Menurut Qur’an, tindak pidana semacam itu ialah seperti pembunuhan, perampokan, pembegalan, pencurian, perbuatan zina, pemerkosaan dan menuduh orang berbuat zina.
Pidana Mati dalam hukum adat sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan Pidana mati. Cara melaksanakan Pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lain-lain.
Sejarah hukum Pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah Pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat Pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan.
1.2. Perumusan Masalah
II. PEMBAHASAN
2.1. Konsep Pemidanaan dalam Hukum Adat
Hukum Adat merupakan hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam kurun waktu mulai terbentuknya masyarakat. Hukum Adat
terbentuk karena adanya interaksi antar warga masyarakat dalam suatu wilayah tertentu sehingga berlakunya hukum adat mengikat hanya untuk warga masyarakat dan dalam wilayah tertentu.
Hukum Adat dan Hukum Pidana Adat berasal dari kebudayaan masyarakat. Pada hakikatnya kebudayaan itu mempunyai tiga perwujudan yaitu : pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya. Kedua, kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, kebudayaan dapat berwujud sebagai benda-benda hasil karya manusia.1
Sistem nilai-nilai budaya bangsa terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat yang merupakan warga kebudayaan yang bersangkutan yang berfungsi sebagai pedoman untuk berbuat atau tidak berbuat. Menurut Soepomo, didalam hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat dan perbuatan ilegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika hukum diperkosa.2 Sedangkan menurut Teer Haar BZN bahwa
yang dianggap suatu pelanggaran ialah setiap gangguan segi satu terhadap
keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materil dan imateril orang-seorang atau dari orang-orang banyak yang merupakan suatu kesatuan. Tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat, karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang.3
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut adanya suatu kesamaan bahwa pada suatu tindak pidana adat itu merupakan tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang menyebabkan terganggunya ketentraman dan keseimbangan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu guna memulihkan ketentraman dan keseimbangan itu maka terjadilah reaksi-reaksi adat. Reaksi-reaksi adat untuk mengembalikan keadaan magis yang diganggu dan meniadakan keadaan sial yang ditimbulkan oleh Pelanggaran adat.4
Sebenarnya tujuan dari Pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Dalam hukum Pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teorig abungan. Teori absolut (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut Pidana dan yang membenarkan Pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak
3 Teer Haar BZN, Azas-azas Hukum Adat, Bandung, Alumni, 1979, hal.255
4 Lesquiliier dalam Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Bandung, Alumni, 1979,
objektit yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.
Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus, Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya. Teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa Pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada. 2.2. Pengaruh Hukum Islam Terhadap Pidana Adat dalam Hal Pidana Mati
Di Aceh, konsepsi hukum Islam sangat terlihat dalam penjatuhan
pidana adat. Dalam bidang pidana ketentuan tentang Qishash dan diyat
disesuaikan juga dengan adat lokal. Seratus unta dipahami sama dengan
seratus ekor kerbau atau lembu, dan di dalam kenyataan hukuman qisas tidak
pernah dijatuhkan karena keluarga korban atau keluarga korban selalu
memberikan pemaafan. Jumlah diyat walaupun pada dasarnya diakui seratus
ekor lembu untuk pembunuhan sengaja, di dalam kenyataan sehari-hari pada
umumnya dapat disetujui hanya dengan membayar beberapa ekor kerbau.
Mengenai ta`zir, dari penjelasan lisan pimpinan gampong dan tokoh-tokoh
masyarakat dapat diketahui bahwa hukuman ta`zir pada umumnya dijatuhkan
melalui musyawarah pimpinan gampong, jarang yang sampai ke mahkamah
yang waktu itu hanya ada padatingkatan pemerintahan uleebalang dan ibu kota
kerajaan (Qadhi Malikul Adil).
Hukuman denda, ganti rugi, harus mengaku salah dan minta maaf
secara resmi di muka umum, dicambuk, atau diusir dari gampong (dicabut hak
kewarganegaraannya) merupakan hukuman yang kelihatannya dikenal luas
dan sudah pernah dijatuhkan. Ancaman Pidana mati dikenal dalam hukum
Islam yang dikenal dengan nama Qishash.
sahaya, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyah kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang telah diisyarakatkan Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa yang melanggar sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih." Sedangkan dalam Surat AI-BaQarah Ayat 179 : “ Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa".
Qishash dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyah. Diyah adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihakatau yang ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari hukuman Qishash.
Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali Pidana mati juga diancamkan bagi pelaku kawin sumban Di kalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan.
Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang. Di Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati.
III. KESIMPULAN
Berdasar penulisan tersebut maka di dapat beberapa kesimpulan yang pada pokoknya :
1. Pandangan Islam terhadap Pidana mati tercantum dalam Surat AI-BaQarah ayat 178 dan Surat AI-BaQarah Ayat 179 yang dikenal dengan nama Qishash yaitu hukuman bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan.