• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Efek Analgesi Infiltrasi Morfin 10 Mg Dan Bupivakain 0.5% 2mg Kgbb Pada Pasca Bedah Sesar Dengan Teknik Anestesi Spinal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Efek Analgesi Infiltrasi Morfin 10 Mg Dan Bupivakain 0.5% 2mg Kgbb Pada Pasca Bedah Sesar Dengan Teknik Anestesi Spinal"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Nyeri

2.1.1 Fisiologi Nyeri

Nyeri adalah fenomena multi dimensional meliputi komponen sensori, afektif, motivasi, lingkungan dan kognitf. Definisi nyeri menurut “ The

International Ascociation for The Study of Pain” adalah suatu

pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik yang bersifat aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.19

Beberapa tahun terakhir, perhatian lebih ditempatkan pada kebutuhan pemeriksaan nyeri pada pemeriksaan mendasar. Nyeri saat ini juga diperhitungkan sebagai “tanda vital ke-5” (JCAHO 2011) dengan menggunakan skor nyeri untuk menilainya. Melakukan monitoring onset awal dari nyeri, efek samping terapi (opioid menyebabkan depresi nafas) atau hal yang berpotensi untuk menjadi penyebab komplikasi yang buruk (paraplegia permanen akibat epidural anestesi) adalah kewajiban bagi para klinisi dalam manajemen nyeri.20

Nyeri selalu bersifat subjektif. Setiap individu belajar menggunakan kata nyeri berdasarkan pengalaman yang berhubungan dengan cedera atau sakit sejak ia mulai dilahirkan. Tidak diragukan lagi, nyeri merupakan sensasi dari tubuh tetapi juga sering merupakan

(2)

subjektif ini, tidak mungkin kita dapat menyingkirkan pengalaman yang dirasakan dari kerusakan jaringan itu.19

Nyeri akut (contoh: prosedur pembedahan, cedera, dan

melahirkan) seringkali menunjukkan adanya proses penyakit, cedera, atau perlukaan yang memerlukan terapi sementara nyerinya dihilangkan. Hal tersebut merupakan tanda dari kerusakan jaringan yang sedang atau akan berlangsung, yang mendesak organisme untuk keluar dari jaringan yang rusak dan mencari pengobatan. Nyeri akut biasanya merupakan hasil dari kerusakan jaringan lunak atau inflamasi (yang biasanya terlihat pasca operasi). Pada nyeri akut, sangat jarang tidak diketahui secara pasti bagian dari tubuh yang mengalami perlukaan, karena tubuh mempunyai fungsi untuk menyembuhkan dan memperbaiki perlukaan yang terjadi agar tidak terganggu. Hal ini dilakukan dengan membuat area yang perlukaan atau inflamasi sehingga jaringan sekitarnya menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan. Dengan demikian segala jenis kontak yang akan terjadi dihindari dan dapat membuat pergerakan menjadi berkurang untuk membantu proses penyembuhan. Karena nyeri akut bersifat memperbaiki dan menyembuhkan, maka akan lebih baik jika nyeri yang terjadi diturunkan sampai kepada tahapan yang tidak membuat stres tetapi fungsi untuk melindungi masih dapat dijalankan dengan baik.19

Prosedur pembedahan menghasilkan kerusakan jaringan dan menyebabkan aktivasi dari nosiseptor aferen perifer, termasuk serabut

saraf delta A dan serabut saraf C. Sensasi nyeri dihasilkan dari trauma langsung pada ujung saraf atau dapat disebabkan inflamasi yang terjadi karena perlukaan pada jaringan. Mediator inflamasi – seperti natrium, prostaglandin, dan bardikinin dari sel yang perlukaan – merangsang nosiseptor untuk mengirimkan impuls aferen melalui dorsal root

(3)

neuropeptida sensori, seperti substansi P, neurokinin A dan kalsium yang berhubungan secara genetik dengan peptida. Neuropeptida ini mengeluarkan efeknya secara perifer maupun sentral.5

Pada perifer, mediator inflamasi mensensitisasi serabut sensoris dan menyebabkan aktivasi dari serabut saraf sensoris yang berdekatan. Sebagai tambahan, peningkatan pelepasan katekolamin dari serabut saraf simpatik dapat lebih lanjut mensensitisasi nosiseptor perifer, menghasilkan hiperalgesia perifer. Pada sentral, masukan perifer yang berulang ke dorsal horn akan meningkatkan transmisi yang diperantarai oleh glutamate dengan meningkatkan up-regulation reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan pengeluaran lebih lanjut dari prostanoid.5

2.1.2. Pembagian Nyeri

Tiap individu mengalami nyeri yang berbeda, walau dengan perlukaan atau fisik yang sama. Adanya perasaan takut, marah, cemas, depresi, dan lelah dapat mempengaruhi bagaimana nyeri diterima. Subjektivitas dari nyeri membuat sulit untuk mengkategorikan nyeri dan memahami mekanisme nyeri. Salah satu pendekatan adalah dengan mengkelompokkan nyeri berdasarkan durasinya (akut dan kronik) dan patofisiologinya (nosiseptif dan neuropatik).22

Nyeri akut biasanya dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang diketahui dan batas waktu yang terbatas hingga nosiseptor kembali kepada ambang rangsang istirahat yang normal.22 Nyeri akut disebabkan oleh stimulasi berbahaya karena perlukaan, proses penyakit

(4)

pankreatitis, dan batu ginjal. Dengan pengobatan, biasanya nyeri akut dapat sembuh dan hilang sendiri dalam beberapa hari atau minggu. Ketika nyerinya tidak dapat sembuh, baik karena pengobatan yang

tidak memadai dan penyembuhan yang abnormal, nyeri akut berubah menjadi nyeri kronik.24

Nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan (kanker, end

stage organ dysfunction) atau nonmalignan (nyeri punggung, migrain,

artritis, diabetik neuropati) yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan.22,24 Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan memiliki indikasi sebagai penyakit yang membatasi kehidupan seperti kanker, disfungsi organ tahap akhir, atau infeksi HIV. Nyeri kronik mungkin mempunyai elemen nosiseptif dan neuropatik atau bahkan keduanya. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai patologis yang terdeteksi, dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spina kordalis) membuat pengobatan menjadi lebih sulit. Yang paling menonjol dan paling sering berperan dari nyeri kronik adalah faktor lingkungan dan mekanisme psikologis. Pasien dengan nyeri kronik sering menguatkan atau bahkan menghilangkan respon stres neuroendokrin, seperti tidur yang tidak nyenyak dan suasana hati yang terganggu.22, 24Pasien dengan nyeri akut atau kronik bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul.22

(5)

susunan saraf perifer atau susunan saraf pusat, misalnya: avulsi pleksus brakhialis, amputasi daripada tungkai, perlukaan pada tulang belakang, herpes zoster akut, stroke. Adanya bukti kerusakan dari sistem saraf

perifer atau sistem saraf pusat (termasuk hilangnya kemampuan sensorik, kelemahan motorik, abnormalitas spinter lambung dan kandung kemih, perubahan reflek), nyeri pada daerah yang sudah tidak dapat merasa, meningkatnya aktivitas simpatis (perubahan warna kulit, suhu dan tekstur, berkeringat), dan nyeri yang berbeda sumbernya dari nyeri nosiseptif (nyeri terbakar, tertembak dan perlukaan tusuk).20 Nyeri nosiseptif termasuk nyeri viseral dan somatik, yang mengacu kepada nyeri disebabkan oleh stimulasi perifer dari nosiseptor di struktur viseral atau somatik. Nyeri nosiseptif biasanya direspon dengan pemberian analgesik opioid atau analgesik non-opioid. Gambaran klinis nyeri somatik adalah nyeri yang bersifat tajam, panas atau menyengat pada lokasi daerah perlukaan. Nyeri viseral mempunyai gambaran klinis berupa nyeri yang bersifat tumpul, kram atau nyeri kolik yang sering tidak terlokalisir (nyeri pada daerah yang luas) disertai dengan gejala mual dan berkeringat.20,24

Nyeri pasca bedah sesar terdiri dari komponen nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik berasal dari nosiseptor pada perlukaan operasi. Nyeri viseral berasal dari kontraksi uterus dan perlukaan operasi pada uterus. Nyeri ini diperantarai oleh saraf pada dinding anterior abdomen yang berasal dari T6 hingga L1 dan berjalan melewati dasar antara lapisan otot abdominus transversus dengan otot oblik

internal.23 Nyeri viseral adalah nyeri yang diperantarai oleh serabut saraf C (serabut saraf untuk nyeri yang konduksinya lebih pelan dan kronik). Serabut saraf C berjalan melalui jalur asenden

paleospinothalamic yang memang terbentuk untuk serabut saraf

(6)

tingkatan batang otak, yang menyebabkan terjadinya dua hal, yaitu: mempertahankan aktifitas pada susunan saraf pusat dengan sistem retikular ascending dan yang kedua adalah aktivasi dari beberapa nuklei

pada batang otak yang membuat jalur kontrol nyeri descenden menjadi aktif.25

2.1.3. Mekanisme Nyeri Akut Pasca Operasi

Ada 4 komponen fenomena klinis dari nyeri, yaitu nosisepsi, nyeri, keluhan nyeri dan perilaku nyeri yang berperan dalam menentukan terapi nyeri. Nosisepsi adalah deteksi dari kerusakan jaringan yang disebabkan oleh panas, mekanik atau kimia (ditransmisikan ke susunan saraf pusat oleh serabut saraf Delta A dan serabut saraf C). Nyeri adalah persepsi atau stimulus berbahaya yang timbul ketika informasi nosisepsi mencapai susunan saraf pusat atau ketika kerusakan susunan saraf pusat mengarah kepada proses sentral atau masukan aferen yang berubah, maka terjadilah nyeri tanpa nosisepsi. Keluhan nyeri merupakan respon afektif negatif yang dihasilkan pada pusat saraf yang lebih tinggi (contoh: lobus limbik) oleh rasa sakit atau oleh keadaan-keadaan afektif (depresi, isolasi, ketakutan dan kecemasan). Perilaku nyeri adalah hal yang dikatakan pasien, atau apa yang dilakukan atau tidak dilakukan, yang menunjukkan kerusakan jaringan yang telah terjadi.19

Nyeri dihasilkan dari proses stimulus dari jaringan yang rusak atau yang dapat merusak jaringan. Stimulus yang merusak itu disebut “noksius” dan dideteksi oleh sensori spesifik yang disebut dengan nosiseptor. Nosiseptor diidentifikasi oleh serabut saraf C (konduksi yang lebih lambat, untuk respon yang tertunda) dan serabut saraf delta

A (konduksi yang lebih cepat, respon yang lebih cepat). Per definisi, nosiseptor merespon secara selektif kepada rangsangan noksius. Nosiseptor ini adalah ujung saraf bebas dengan sel tubuh di dorsal root

(7)

spinalis. Di korda spinalis nyeri disampaikan dengan melepaskan neurotransmitter seperti glutamat (salah satu neurotransmitter dalam nyeri, berinteraksi dengan reseptor asam amino eksitatori jenis nMDA

dan non-nMDA), dan substansi P (berinteraksi dengan reseptor G-

Protein Coupled) dan calcitonin gene related peptide (CGRP).

(8)

Gambar 2.1.3.1. Mekanisme Nyeri Akut

(9)

produksi dari sitokin, kemokin, faktor pertumbuhan (contoh: nerve

growth factor), dan pengasaman jaringan. Leukosit tidak hanya sebagai

penyebab hiperalgesik tetapi juga sebagai mediator analgesik. Hal

terbaik dari leukosit yang berhubungan secara klinis adalah peptida endogen opioid dan reseptor.27

Berikut ini beberapa tahapan yang dapat diidentifikasi pada proses persarafan dari sinyal noksius yang dapat membuat terjadinya nyeri.

1) Transduksi, adalah proses dimana rangsangan noksius diubah menjadi sinyal elektrik pada nosiseptor. Nosiseptor ada dalam bentuk ujung saraf bebas, tidak dikhususkan dalam suatu struktur tertentu. Nosiseptor secara cepat memberikan respon kepada rangsangan noksius yang berbeda-beda, seperti rangsangan suhu, mekanik atau kimiawi, tetapi nosiseptor tidak memberikan respon kepada rangsangan yang bukan noksius. Berlawanan dengan reseptor sensori jenis lain, nosiseptor tidak beradaptasi. Sehingga stimulasi yang terus menerus menghasilkan sinyal yang terus menerus atau berulang, dan pada beberapa kasus stimulasi yang berulang menghasilakn penurunan ambang rangsang yang direspon oleh nosiseptor (contoh: sensitisasi dari nosiseptor).26

2) Transmisi, adalah tahap kedua dalam memproses sinyal noksius. Informasi dari perifer diteruskan ke korda spinalis, lalu menuju ke talamus dan terakhir ke kortek. Utamanya, informasi noksius diteruskan melalui dua tipe dari saraf aferen nosiseptor yang

berjalan pada kecepatan yang berbeda.26

(10)

diinhibisi secara selektif sehingga transmisi dari sinyal ke pusat yang lebih tinggi diubah.26

4) Persepsi, adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut.28

Gambar 2.1.2. Jalur Nyeri 2.1.4. Skala dan Cara Pengukuran Nyeri

Pada orang dewasa, ada tiga metode pengukuran intensitas nyeri dimana pasien melaporkan dan menilai sendiri apa yang dirasakan yaitu: Visual Analog Score (VAS), Verbal Numeric Rating Scale (VNRS) dan Verbal Descriptor Scale (VDS). Setiap metode ini secara beralasan dapat digunakan selama titik akhir dan adjektif dipenuhi dan dipilih secara hati-hati dan distandarisasi. Walaupun sering digunakan untuk membandingkan tingkatan nyeri antara pasien, metode skoring mungkin yang paling sering digunakan sebagai pengukuran perubahan tingkatan

(11)

1) Visual Analog Scale (VAS) menggunakan garis sepanjang 10 cm dengan keterangan titik akhir seperti “tidak nyeri” ditandai pada ujung tangan kiri dan “nyeri terburuk yang dapat dibayangkan”

pada ujung tangan kanan. Tidak ada petunjuk lain yang digunakan sepanjang garis itu. Pasien diminta untuk menandai titik dimana pasien dapat memberikan gambaran terbaik mengenai nyeri yang dirasakan. Jarak dari “tidak nyeri” kepada garis yang ditandai pasien lalu diukur dalam millimeter, inilah skor VAS (1-100). Untuk mempermudah pengukuran ini, lembaran skor VAS telah dikembangkan. Pada bagian depan lembaran adalah garis 10 cm dengan titik akhir seperti “tidak nyeri” dan “nyeri terburuk yang dapat dirasakan”. Pada sisi berlawanan menunjukkan garis yang sama ditandai dalam interval millimeter. Selanjutnya, pasien menggeser lembaran sepanjang garis pada bagian depan untuk menentukan titik mana yang paling memberikan gambaran terbaik mengenai nyeri yang dirasakan. Lalu, pengukuran VAS dibaca pada bagian belakang yang ditunjuk. Kerugian dari sistem penilaian VAS ini adalah lebih memakan waktu daripada metode skoring yang lebih mudah, peralatan yang spesifik dibutuhkan, dan pada beberapa pasien mungkin akan mengalami kesulitan dalam memahami atau melakukan penilaian ini ini, terutama pada periode pasca operasi. Satu keuntungan dari metode ini adalah kata yang digunakan dapat ditulis dengan banyak bahasa. Skala VAS juga dapat diadaptasi untuk mengukur variabel lain, seperti kepuasan pasien, efek samping seperti mual dan muntah, dan tingkat

(12)

karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat, sehingga pasien merasa tidak nyaman dan memerlukaan obat analgetik tambahan (rescue

analgesic).21

Gambar 2.1.4.1. Visual Analog Scale

2) Verbal Numeric Rating Scale (VNRS) sama seperti VAS, pasien diminta untuk membayangkan bahwa “0 sama dengan tidak nyeri” dan “10 sama dengan nyeri terburuk yang dapat dibayangkan”. Pasien kemudian diinstruksikan untuk memberikan angka pada skala tertentu yang dapat memberikan gambaran terbaik pada nyeri yang mereka rasakan. Sama halnya dengan VAS, pasien diminta untuk membayangkan bahwa “0 sama dengan tidak ada nyeri yang hilang” dan “10 sama dengan nyeri hilang dengan sempurna”. Keuntungan dari penilaian dengan sistem ini adalah tidak

membutuhkan alat. Bagaimanapun, masalah timbul bila bahasa menjadi penghalang atau pasien memiliki kesulitan lain dalam memahami sistem skoring ini. Ada hubungan yang baik antara VAS dan VNRS.20

Gambar 2.1.4.2. Verbal Numeric Rating Scale

(13)

ringan, menengah, berat dan menyiksa. Skala ini cepat dan mudah untuk digunakan, serta dapat lebih dipercaya pada beberapa pasien, misalnya pada pasien geriatric. VDS juga dapat digunakan untuk

mengukur hilangnya nyeri dengan menggunakan indikator kata-kata, seperti tidak hilang, sedikit hilang, menengah, baik dan hilang sempurna.20

Dalam metode ini, pasien biasanya ditanya untuk menilai nyeri ketika mereka sedang beristirahat. Bagaimana pun, indikator untuk keefektifan analgesia adalah penilaian dari nyeri yang disebabkan aktifitas fisik, seperti batuk, bernafas dalam atau bergerak. Oleh karena itu, skor nyeri saat istirahat, saat melakukan pergerakan atau saat batuk harus dicatat.20

Nyeri seharusnya dinilai ulang secara regular selama masa pengobatan. Frekuensi dari penilaian ini akan bervariasi bergantung dari regimen anestesi yang diberikan dan respon pasien terhadap pengobatannya. Frekuensi dari penilaian harus ditingkatkan bila nyeri tidak dapat ditangani dengan baik, atau jika rangsangan nyeri atau terapi yang diberikan berubah. Riwayat nyeri berulang akan membantu menentukan apakah asal dari nyeri sudah berubah jika ada penyebab nyeri yang baru (contoh: komplikasi pasca operasi), atau apakah perubahan harus dibuat pada regimen analgetik yang diberikan.20

2.1.5. Reseptor Nyeri Opioid Perifer

Berdasarkan penelitian terbaru, telah teridentifikasi 3 gen yang berbeda,

setelah dikodekan dengan ketiga reseptor iopioid (mu, delta, kappa). Ketiga reseptor tersebut berhubungan dengan golongan G

(Guanine)-protein coupled receptor (GPCR). Ikatan agonis kepada reseptor opioid

(14)

G-protein memperantarai kerja opioid yang dihasilkan secara

endogen dan obat opioid yang diberikan secara eksogen.27 Ikatan peptida opioid kepada reseptor opioid akan menyebabkan aktivasi dari

reseptor opioid dan bersatu untuk menghambat G-protein. Ini kemudian menghasilkan penghambatan aktivasi high-voltage calcium channels,

tetrodotoxin-resistant sodium channels dan penurunan kadar neuronal

cAMP.27 cAMP berperan sebagai pembawa kedua dari sel yang menghasilkan beberapa kejadian termasuk aktivasi dari protein kinase dan protein transkripsi gen. Induksi opioid melalui reseptor opioid menurunkan kadar cAMP secara tidak langsung pada penghambatan

voltage dependent calcium channels pada neuron presinaptik.26

Voltage dependent calcium channels berperan penting pada

pelepasan neurotransmitter dan transduksi neuronal. Opioid reseptor terletak di terminal presinaptik dari serabut saraf C dan serabut saraf A delta nosiseptif, yang ketika diaktifkan oleh agonis opioid, akan secara tidak langsung menghambat voltage dependent calcium channels dengan menurunkan kadar cAMP. Proses ini menghambat pelepasan neurotransmitter nyeri seperti glutamate, substansi P, dan CGRP dari serabut nosiseptif yang menghasilkan analgesia.26

(15)

Telah diketahui sejak lama bahwa mediator inflamasi dari inflamasi yang terjadi pada jaringan perifer dapat menghasilkan nyeri. Meski demikian, baru pada satu dekade terakhir ini dimulainya gambaran yang jelas dari Peripheral Endogenous Opioid Analgesic

System (PEOAS) pada tubuh. Elemen penting dari sistem ini adalah

leukosit yang menghasilkan opioid yang disekresikan dari akumulasi leukosit pada daerah inflamasi perifer. Inflamasi meningkatkan opioid perifer yang berasal dari leukosit, sama halnya seperti reseptor opioid perifer. Inflamasi pada daerah perifer menghasilkan peningkatan pada jumlah atau keefisienan dari reseptor opioid pada neuron aferen utama. Usaha untuk meniru atau memperbesar sistem analgesi perifer ini mungkin dapat berpotensi menghasilkan analgesi tanpa efek samping sentral yang tidak diinginkan.29

Tabel 2.1.5.2. Ligan Endogen Reseptor Opioid Perifer

(16)

B-endorphin, met-enkephalin, dynorphin, dan endomorphins dihasilkan

oleh leukosit dan dilepaskan pada beberapa jenis stimulus. Peptida opioid dapat berikatan dengan reseptor opioid pada neuron sensori.

Reseptor ini disintesa pada dorsal root ganglion (DRG) dan dibawa secara intraaksonal kepada ujung saraf sensori perifer. Ketiga jenis reseptor opioid seperti mu, delta dan kappa diekspresikan pada neuron sensori. Selanjutnya, ikatan agonis mengeluarkan analgesia eksogen dan endogen yang poten pada daerah yang mengalami inflamasi.27

2.2. Analgetik 2.2.1. Morfin

Morfin adalah turunan alkaloid utama dari opium morfin yang bekerja sebagai agonis opioid. Morfin berikatan dengan reseptor pada otak, spina kordalis dan jaringan lainnya.26 Morfin dapat diberikan secara intramuskular, intravena, subkutan, oral, transmukosal, rektal, epidural dan intratekal. Dosis dan interval bergantung kepada rute pemberian.20

Gambar 2.2.1.1. Struktur molekul morfin

Sejarah pemberian morfin subkutan dimulai ketika perang sipil

(17)

sejak tahun 1979 suntikan subkutan telah digunakan untuk mengobati nyeri kanker.9

2.2.1.1. Farmakodinamik dan Farmakokinetik di Perifer

Kita dapat mengidentifikasi empat tempat di mana opioid dapat bekerja sebagai penghilang nyeri. Ketika kita memberikan morfin atau opioid lainnya kepada pasien, maka kita mengaktifkan reseptor pada midbrain dan “menghidupkan” sistem desenden (melalui hilangnya kemampuan untuk menghambat secara sementara oleh karena faktor dari luar, misalnya karena obat). Pengaktifan reseptor opioid pada sel transmisi nyeri tahap kedua adalah untuk mencegah naiknya transmisi sinyal nyeri, meningkatkan reseptor opioid pada terminal sentral dari serabut saraf C di spina kordalis, mencegah lepasnya neurotransmitter nyeri, dan mengaktifkan reseptor opioid di perifer. Pengaktifan ini juga untuk menghambat aktifasi nosiseptor dan juga menghambat sel yang dapat melepas mediator inflamasi. Aktivasi sistem yang menurun oleh endorphin, yang terjadi melalui reseptor spesifik, disebut dengan “reseptor opioid”.26

Sistem ini diaktifkan pada sekitar regio periaqueductal

gray (PAG) dari midbrain. Neuron ini lalu menuju ke tempat

medullar reticular formation dan locus ceruleus (sumber utama

dari sel serotonin dan norepinephrine pada otak) melalui jalur yang belum diketahui secara pasti (kemungkinan melalui hilangnya kemampuan untuk menghambat secara sementara

akibat faktor dari luar, misalnya karena obat; dalam hal ini, penghambatan dari interneuron penghambat yang diperkuat secara aktif). Serabut yang menurun ini lalu menuju dorsal horn dari korda spinalis sepanjang jalur yang disebut dorsolateral

(18)

spinalis), untuk bersinaps baik dengan neuron aferen utama yang masuk, atau dengan transmisi neuron nyeri tahap kedua (interneuron).26

Neuron desenden dari nyeri menyesuaikan dengan baik pelepasan neurotransmiter pada korda spinalis, terutama serotonin dan norepinefrin, atau mengaktifkan sejumlah kecil opioid yang mengandung interneuron pada spinal dorsal horn untuk melepaskan peptida opioid (sekali lagi melalui hilangnya kemampuan untuk menghambat secara sementara oleh karena faktor dari luar, misalnya karena obat). Keluarnya serotonin dan norepinefrin bekerja langsung menghambat lepasnya transmiter nyeri dari sinyal nosiseptif aferen yang masuk, dan menghambat transmisi sel nyeri tahap kedua.26

Opioid endogen dan eksogen dapat bekerja pada terminal presinaptik dari nosiseptor aferen utama melalui reseptor opioid mu. Hal ini dilakukan dengan langsung menghambat voltage

gated calcium channels sama halnya seperti membuka saluran

kalium. Penghambatan masuknya kalsium ke dalam terminal presinaptik sama halnya seperti kembalinya kalium (hiperpolarisasi) yang menghasilkan penghambatan dari neurotransmitter nyeri lepas dari serabut aferen utama, yang menyebabkan analgesia. Pada tingkatan korda spinalis, opioid terjadi pada dua tempat. Reseptor opioid pada serabut saraf postsinaptik (neuron tahap kedua), ketika diaktifkan oleh opioid secara tidak langsung membuka saluran kalium. Ini kemudian

menghasilkan hiperpolarisasi dari serabut saraf yang menyebabkan analgesia.26

(19)

dari 10% diekskresikan secara utuh oleh ginjal. Metabolit utama dari morfin adalah morfin 6-glukuronid (M6G) dan morfin 3-glukuronid (M3G), yang mempunyai waktu paruh lebih lama

daripada morfin dan diekskresikan utamanya pada ginjal.20

Morfin diabsorpsi dengan cepat pada pemberian subkutan dan mencapai efek puncak analgesia pada 30-60 menit dan 50-90 menit setelah penyuntikan. Waktu paruh morfin subkutan adalah 3-4 jam. Morfin didistribusikan ke seluruh tubuh, terutama pada jaringan parenkim seperti ginjal, paru-paru, hati dan limpa. Konsentrasi rendah ditemukan pada otot lurik dan jaringan otak. Morfin berdifusi melewati sawar plasenta dan juga ditemukan pada air susu ibu. Sekitar 35% berikatan dengan protein, terutama kepada albumin Kadar pada serum mulai menurun sekitar 1,5- 2 jam, dan 90 % dijumpai pada urine dalam 24 jam. Sekitar 7-10% dari dosis dijumpai pada feces, kebanyakan setelah konjugasi dan ekskresi melalui kelenjar.8,9

Morfin diindikasikan untuk menghilangkan nyeri dari tingkatan sedang hingga berat, yang tidak memberi respon atas analgesik non opioid. Morfin diberikan secara sub kutan dengan rentang dosis 5-20 mg.27 Tidak ada perbedaan bermakna antara pemberian subkutan dan intravena dari obat dalam hal absorpsi, efikasi, dan frekuensi dari efek samping.30

2.2.1.2. Efek Samping

Efek samping yang paling sering dijumpai pada morfin, dan

opioid lainnya adalah pruritus, retensi urin, mual dan muntah, depresi nafas dan konstipasi.30

(20)

Penyebab pruritus ini masih belum jelas, tetapi kemungkinan disebabkan oleh pelepasan histamin. Terapi farmakologi meliputi antihistamin, antagonis reseptor 5-HT3, antagonis

opioid, kombinasi agonis-antagonis, propofol, dan NSAID.30

Pemberian sedasi mungkin dapat menolong mengurangi siklus rasa gatal dan garukan tetapi tidak menghilangkan sensasi gatal. Dipenhidramin mempunyai efikasi pada pruritus. Ondansentron juga mempunyai efikasi pada pencegahan dan pengobatan pruritus. Opioid antagonis nalokson, naltrekson, dan agonis-antagonis nalbuphine adalah obat yang paling efektif untuk pencegahan pruritus.30

2. Retensi urine

Efek samping ini dapat diobservasi segera setelah injeksi morfin dan berakhir setelah 14-16 jam (tergantung dosis). Insiden terjadinya retensi urine sekitar 35% pada pemakaian morfin. Opioid mempengaruhi berkemih melalui beberapa mekanisme termasuk penurunan tonus otot parasimpatik dan efek analgesik sentral, yang memodifikasi batas ambang kandung kemih dan berandil dalam terjadinya retensi.30

3. Mual dan Muntah

Semua jenis opioid menyebabkan mual dan muntahan. Dexamethason dan droperidol telah terbukti efektif dalam mencegah mual dan muntah pada pemberian opioid.30

4. Depresi Pernafasan

(21)

dan hiperkapni dapat terjadi walaupun frekuensi pernafasan normal. Monitoring paling baik dari depresi pernafasan adalah dengan melihat menurunnya kesadaran seseorang.30

5. Konstipasi

Konstipasi adalah efek samping yang paling umum dijumpai pada pengobatan opioid kronik, Konstipasi hampir dijumpai pada sebagian kasus penggunaan morfin, Konstipasi harus diterapi secara profilaksis menggunakan kombinasi dari pencahar dan perangsang peristaltik.30

2.2.2. Bupivakain

Bupivakain adalah obat anestesi lokal golongan amida sintesis, dibuat oleh A.F. Ekenstam pada tahun 1957 dan dipergunakan secara klinis pada tahun 1963. Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan masa kerja yang panjang, biasa digunakan sebagai manajemen nyeri akut pasca operasi. Pada konsentrasi 0.5% menyebabkan blok motorik yang lebih sedikit dibandingkan obat anestesi lokal lainnya.33,22,34

(22)

2.2.2.1. Farmakodinamik dan Farmakokinetik di Perifer

Sebagai obat anestesi local, bupivakain menstabilisasi membran sel saraf dengan cara mencegah depolarisasi

pada membran sel saraf melalui penghambatan masuknya ion natrium. Saluran Na sendiri merupakan reseptor spesifik untuk molekul anestesi lokal. Kemacetan pembukaan saluran Na oleh molekul anestesi lokal sedikit memperbesar hambatan keseluruhan permeabilitas Na+. Kegagalan permeabilitas saluran ion terhadap Na+, memperlambat peningkatan kecepatan depolarisasi sehingga ambang potensial tidak dicapai dan dengan demikian potensial aksi tidak disebarkan. Saluran Na+ dalam keadaan diaktivasi-terbuka, tidak diaktivasi tertutup dan istirahat- tertutup selama berbagai fase aksi potensial. Pada membran saraf istirahat, saluran Na+ didistribusi dalam keseimbangan di antara keadaan istirahat– tertutup dan tidak diaktivasi-tertutup. Dengan ikatan yang selektif terhadap saluran Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup, molekul anestesi lokal menstabilisasi saluran dan mencegah perubahannya menjadi keadaan istirahat-tertutup, dan diaktivasi-terbuka terhadap respon impuls saraf. Saluran Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup tidak permeabel terhadap Na+ sehingga konduksi impuls saraf dalam

(23)

Ada dua mekanisme pemberian anestesi lokal secara infiltrasi lokal, yaitu: Anestesi lokal yang memblokade transmisi nyeri langsung dari serabut

nosiseptif afferen di permukaan perlukaan, dengan berikatan dengan saluran natrium yang berada di membran axon, sehingga aksi potensial terhalangi.34 Disini, penghambatan inflamasi lokal terjadi di tempat perlukaan. Proses inflamasi ini berkontribusi atas terjadinya nyeri dan hiperalgesia di tempat perlukaan. Infiltrasi anestesi lokal mengurangi pelepasan mediator inflamasi yang berasal dari neutrofil, mengurangi perlengketan neutrofil di endotel, mengurangi pembentukan radikal bebas di tempat perlukaan, dan mengurangi terjadinya edema akibat proses inflamasi tersebut.35

Infiltrasi anestesi lokal di sekitar perlukaan merupakan komponen dari multimodal analgesia. Walaupun tindakan ini terbatas dengan masa kerja dan durasi kerja anestesi lokal itu sendiri. Sebagai tambahan, anestesi lokal yang diberikan melalui perlukaan operasi. Analisis Cochrane menyebutkan bahwa anestesi lokal yang diberikan pada perlukaan pasca operasi bedah sesar mengurangi penggunaan morfin pasca operasi selama 24 jam. Pemberian anestesi

(24)

melalui jalur di intradermal, subkutan, atau submukosa yang banyak dilewati oleh saraf-saraf sensorik. Pemberian secara umum untuk teknik infiltrasi ini

diberikan di subkutan.35

Bupivakain memiliki reaksi cepat dan memiliki durasi panjang. Efek reaksi Bupivakain timbul dalam waktu 5 – 10 menit dan durasi 90 -120 menit. Dosis maksimal Bupivakain adalah 2,5 mg/kg berat badan. Konsentrasi Bupivakain yang digunakan bekisar 0,125-0,75% dengan ataupun tanpa penambahan epinefrin. Bupivakain memiliki kadar puncak dalam plasma yang tercapai setelah 30 – 45 mg dan turun dalam waktu 3 – 6 jam. Waktu paruh Bupivakain pada orang dewasa adalah 2,7 jam, sedangkan pada neonatus 8,1 jam.33,22,35

2.2.2.2. Efek Samping

Karena blokade dari saluran natrium mempengaruhi potensial aksi dari propagasi pada seluruh tubuh, tidak mengejutkan jika anestesi lokal mempunyai kemampuan untuk toksisitas sistemik. Toksisitas sering dihubungkan langsung kepada potensinya. Obat anestesi lokal campuran seharusnya mempunyai efek toksik yang secara kasar lebih adiktif. Sebuah larutan yang mengandung 50% dosis toksik lidokain dan 50% dosis toksik bupivakain akan mempunyai kira-kira 100% efek toksik dari

masing-masing obat.32,33

1. Efek toksik neurologik

(25)

awal adalah mati rasa pada daerah bibir, lidah yang kelu, dan pusing. Tanda eksitatori (misalnya: lelah, agitasi, gugup dan paranoia) sering disebabkan karena

depresi susunan saraf pusat (misalnya: bicara yang tidak jelas, pusing dan tidak sadar). Kedutan otot merupakan awal dari mulainya kejang tonik klonik, gagal nafas menjadi kelanjutannya. Reaksi eksitatori adalah sebuah hasil dari blokade selektif pada jalur inhibisi. Obat anestesi lokal yang poten, highly lipid soluble, menghasilkan kejang pada konsentrasi darah yang rendah dibandingkan dengan obat anestesi lokal yang kurang poten. Dengan meningkatkan aliran darah ke otak dan paparan obat, benzodiazepine dan hiperventilasi meningkatkan ambang batas dari kejang yang disebabkan oleh obat anestesi lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) secara cepat dapat diandalkan untuk menghilangkan aktifitas kejang. Ventilasi dan oksigenasi yang cukup harus dijaga selama berlangsungnya kejang.32,33

2. Efek toksik kardiovaskular

Pada umumnya, semua lokal anestesi mendepresi otot jantung secara otomatis, dan menurunkan durasi periode refraktori. Kontraktilitas otot jantung dan velositas konduksi juga ditekan pada dosis yang lebih tinggi.

(26)

arteri. Hal ini dikombinasikan dengan bradikardi, blok jantung, dan hipotensi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung. Toksisitas kardiovaskular utamanya

membutuhkan sekitar tiga kali dari konsentrasi pada darah yang dapat menyebabkan kejang. Aritmia jantung atau gagal sirkulasi menjadi penanda awal pada overdosis anestesi lokal. Stimulasi kardiovaskular yang sementara (takikardi dan hipertensi) dapat timbul lebih awal dan menunjukkan eksitasi sisitem saraf pusat.32,33

Bupivakain yang disuntikkan secara tidak disengaja ke dalam intravaskular selama anestesi regional menghasilkan reaksi toksik kardio yang berat, termasuk hipotensi, blok jantung atrioventrikuler, irama idioventrikuler, dan aritmia, yang mengancam nyawa seperti takikardi ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan asidosis respiratorik merupakan faktor predisposisi. Penelitian elektrofisiologis telah menunjukkan bahwa bupivakain dihubungkan dengan perubahan yang siginifikan pada depolarisasi dibandingkan lidokain. Isomer R (+) pada bupivakain dengan cepat memblok saluran natrium dan berdisosiasi dengan sangat lambat. Pada dosis tinggi, saluran kalsium dan kalium juga dapat diblok. Resusitasi dari toksisitas kardiovaskular yang disebabkan oleh

(27)

anestesi lokal. Isoproterenol dapat secara efektif membalikkan beberapa perubahan karakter elektrofisiologis yang abnormal dari toksisitas

bupivakain.32,33

2.3. Kerangka Teori

Bupivacain 0.5% 2mg/kgBB Infiltrasi

Lokal 20 mL Morfin 10 mg Infiltrasi

Lokal 20 mL

Pasien yang akan

dilakukan bedah sesar

Stimulasi

Pembedahan

Anestesi Spinal

Injuri jaringan,

Inflamasi

Agonis Opioid Eksogen Menghambat Nyeri Perifer

Oleh Reseptor Opioid Di Perifer

Nyeri Perifer

Dihambat Nyeri Perifer Dihambat

Transmisi Nyeri Dihambat dengan Memblok Masuknya

(28)

2.4. Kerangka Konsep

= VARIABEL BEBAS

= VARIABEL TERGANTUNG

NYERI PASCA BEDAH

Nyeri -

Nyeri -

OPERASI BEDAH

SESAR

ANALGETIK TAMBAHAN, EFEK SAMPING, SIFAT

NYERI DAN VAS MORFIN 10 MG

Gambar

Gambar 2.1.3.1. Mekanisme Nyeri Akut
Gambar 2.1.2. Jalur Nyeri
Gambar 2.1.4.1.  Visual Analog Scale
Tabel 2.1.5.2. Ligan Endogen Reseptor Opioid Perifer
+3

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Evaluasi

Yakin telah terjadi sesuatu yang mengerikan, pengemudi kereta lalu mendobrak pintu masuk kamar itu, sementara teriakan wanita itu terus melengking dari

Untuk menganalisa kelayakan investasi pada perumahan khususnya perumahan griya asri maka penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan melakukan penyebaran

- Pengendalian Pelaksanaan PNPM-MP Terlaksananya Pembangunan Secara Berkesinambungan 14 Orang Melaksanakan Pembangunan Secara Berkesinambungan 144,115,500 - Pekan Olahraga

fungsi perencanaan, fungsi memandang ke depan, fungsi pengembangan.. loyalitas, fungsi pengawasan, fungsi pengambil keputusan dan fungsi memberi motivasi. Fungsi

Rasulullah telah mengiktiraf perbezaan antara manusia dengan penuh bijaksana, dalam Piagam Madinah contohnya, telah memberi ruang dan hak kepada rakyat yang bukan

Pemilihan Jurusan / Program sesuai minat

Di dalam laporan kerja praktek ini akan membahas tentang perbandingan efisiensi antara transformator tiga fasa yang biasa dipakai dalam keadaan pembebanan normal dengan transformator