• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Multikulturalisme (Studi Analisis Pada Struktur Pemerintahan Kota Pematangsiantar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik Multikulturalisme (Studi Analisis Pada Struktur Pemerintahan Kota Pematangsiantar)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah sebuah negeri yang sangat heterogen. Bangsa Indonesia terdiri dari ras dan suku bangsa yang beragam, berbicara dalam bahasa dan dialek yang berbeda, serta hidup dalam budaya yang plural. Alam Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, memang juga beraneka ragam, terdiri dari ribuan pulau, terpisah oleh selat dan laut, dihuni oleh flora yang bermacam-macam serta ditumbuhi oleh fauna yang beraneka.1

Di dalam penelitian etnologis, diketahui bahwa bangsa Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing serta kebudayaannya yang berbeda-beda.2 Keanekaragaman ini melahirkan banyak corak warna dalam satu wadah negara yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak perbedaan. Perbedaan yang beragam ini pulalah yang melahirkan semboyan Indonesia dengan sebutan “Bhineka Tunggal Ika”, yang memiliki arti “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.

1 Nur A. Fadhil Lubis. 2006. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol II No.1, Multikulturalisme

Dalam Politik. hal. 19.

2

Ibid. hal. 19.

(2)

Multikulturalisme secara Etimologis dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.3 Dengan demikian setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya.

Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.

Negara Indonesia menganut multikulturalisme yang tercermin dalam simbol yang telah disepakati bersama, yakni Bhineka Tunggal Ika. Bhineka Tunggal Ika merupakan suatu pengakuan terhadap heterogenitas etnik, budaya, agama, ras, dan gender, namun menuntut adanya persatuan dalam komitmen politik membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol yang seharusnya dapat difungsikan sebagai roh penggerak perilaku masyarakat Indonesia, di dalam kenyataan belum secara sungguh-sungguh dijadikan kekuatan untuk membangun bangsa dan negara. Bahkan pada beberapa tempat, kemajemukan masih dianggap sebagai sumber

3

Choirul Mahfud. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 75.

(3)

permasalahan bahkan konflik, yang membuktikan bahwa realitas heterogenitas belum dipahami dan diakui oleh seluruh lapisan masyarakat.4

Multikulturalisme muncul pertama kali di Amerika Serikat tahun 1850-an dan berkembang melalui tiga fase, yakni: 1) perjuangan mencapai kesamaan kedudukan dari ras-ras berbeda; 2) penolakan gerakan rasisme dalam penegakan hak asasi manusia; dan 3) pengakuan terhadap pluralisme budaya.5

Dalam sejarahnya di bidang politik, istilah multikulturalisme muncul pada tahun 1971 ketika pemerintah Kanada meneguhkan berdirinya Komisi Kerajaan tentang Bilingualism and Biculturalism. Islitah multikulturalisme begitu populer di Kanada, Australia, Amerika Serikat, tetapi tidak banyak diminati Jerman dan Perancis. Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan, yang mengambil ide dari gagasan posmodernisasi bahwa perbedaan secara analis lebih penting daripada kebersamaan mereka.6

Sementara di Asia sendiri multikulturalime memasuki wacana budaya berawal dari tahun 1990-an. Multikulturalisme muncul sebagai akibat reaksi internal suatu bangsa karena anti disintegrasi dari dalam dirinya pengaruh ekternal global, gerakan arus demokrasi dan desakan hak asasi manusia global yang sering

4

Prof. Dr. Meutia F. Hatta. 2006. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol II No. 1. hal. 1. 5

H.A.R Tilaar. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi

Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. hal. 89-90.

6

Ben Agger. 2005. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. hal. 140.

(4)

kali tidak dipertimbangkan keintegrasiannya. Dalam konsep ini multikulturalisme ingin memaknai dirinya tidak hanya tingkat lokal, regional, nasional dan global.7

Di Indonesia, menurut Darma Putra istilah multikulturalisme mulai mendominasi wacana publik awal tahun 2000-an sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berlarut-larut, meletusnya konflik kekerasan antar-etnik, dan gerakan-gerakan separatisme di Indonesia.Menurutnya bahwa sebelum istilah multikulturalisme populer dalam wacana publik dan wacana akademik, istilah yang banyak dipakai adalah pluralisme.8

Berbicara mengenai multikuluralisme pasti berkaitan erat dengan keanekaragaman suku dan agama. Dengan keanekaragaman ini tentunya akan membawa dampak positif dan negatif. Kenyataan bahwa kebudayaan yang terdapat antara manusia sangat beraneka ragam. Hal itu dapat menimbulkan beberapa dampak positif dan negatif pada perubahan kebudayaan dan kehidupan masyarakat. Dampak positif itu di antaranya:

a) Keanekaragaman memberikan ruang bagi masyarakat untuk terbuka dalam menjalin hubungan sosial maupun berbudaya.

b) Memberikan ikatan dan hubungan antar sesama.

c) Dapat saling berbagi bersahabat dan menghargai antar setiap budaya, tanpa adanya batasan-batasan karena sebuah perbedaan.

7

Christantius Dwiatmadja, dkk. 2011. Menyama Braya (Studi Perubahan Masyarakat Bali)

Multikulturalisme Dalam Perspektif Teori. Fakultas Teologi UKSW. hal. 27.

8

I Nyoman Darma Putra. 2008. Bali Dalam Kuasa Politik. Denpasar: Arti Foundation. hal. 120.

(5)

Di samping itu keanekaragaman budaya ini memiliki pengaruh negatif, di antaranya:

a) Rentan terhadap konflik. Perbedaan nilai-nilai budaya dan norma dasar akan sulit disesuaikan antara masing-masing agama, akan selalu bertentangan dan ini akan memudahkan munculnya sebuah konflik.

b) Munculnya sikap etnosentrisme, yaitu sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain.

c) Munculnya sikap fanatisme dan ekstrim. Fanatisme atau fanatik adalah suatu keyakinan yang kuat terhadap agama, kebudayaan, kelompok, dan lain-lain. Ekstrim adalah sangat kuat, keras yang solidaritas terhadap persamaan atau kelompoknya sendiri.

Secara khusus negara juga mengatur tentang keberagaman di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 329:

a) Ayat 1: Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. b) Ayat 2: Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah

sebagai kekayaan budaya nasional.

9

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 32.

(6)

Hal ini menunjukkan secara langsung, bahwa negara juga turut serta berperan aktif dalam menjaga keanekaragaman di dalam kesederajatan. Akan tetapi, dengan keanekaragaman yang ada, Indonesia secara langsung memiliki celah yang sangat rentan menjadi titik-titik yang berbuah konflik. Hal mendasar yang menjadi buah dari keberagaman adalah sudah pasti ada yang mayoritas dan minoritas, terlepas dari ada atau tidaknya pihak yang mendominasi dan didominasi. Melalui hal ini pulalah bahwa di dalam keberagaman itu, akan muncul pembagian kelompok-kelompok kecil di masyarakat secara kuantitas, yang didasarkan pada kesamaan ciri pada masing-masing kelompok. Oleh sebab itu, dengan keanekaragaman yang dimiliki Indonesia, merupakan sebuah tantangan yang besar di balik keindahan keberagamannya. Sebab, dibalik indahnya keberagaman itu, melalui kelompok-kelompok kecil yang berdasar pada kesamaan ciri, akan memudahkan munculnya konflik dalam bentuk agama, suku, warna kulit, golongan, dan keragaman lainnya.

(7)

Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan, mencakup kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, bisnis dan politik. 10 Politik multikulturalisme adalah pemerintahan dimana semua identitas khusus yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang. Setiap kelompok tersebut haruslah memiliki wakil diparlemen maupun di kabinet. Semua kelompok dari berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. 11

Menurut Kymlicka arah atau tujuan politik multikulturalisme adalah : ”Pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui”.

Dalam era diberlakukannya otonomi daerah, siapa yang sepenuhnya berhak atas sumber daya alam, fisik, dan sosial budaya, juga diberlakukan oleh pemerintahan lokal, yang dikuasai dan didominasi administrasi dan politiknya oleh putra daerah atau mereka yang secara suku bangsa adalah suku bangsa yang asli setempat. Ini berlaku pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten dan wilayah administrasinya. Ketentuan otonomi daerah ini menghasilkan golongan dominan dan golongan minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kesukubangsaan yang bersangkutan. Situasi ini secara tidak langsung akan

10

Choirul Machfud. 2005. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 302. 11

http://www.academia.edu/8586020/Istilah_dalam_Politik_Multikulturalisme, Dhena, diakses tanggal 8 Juli 2015, pukul 17.40 WIB.

(8)

melahirkan sebuah pola, dimana putra daerah akan memiliki peluang yang lebih besar dalam memangku dan melaksanakan kepentingan. Sementara mereka dengan jumlah yang lebih kecil dan bukan penduduk asli setempat memiliki kesempatan maupun kemampuan yang lebih terbatas.

(9)

Batak Karo, Jawa, Minang, dan Tionghoa. Keberagaman ini tersebar pula di beberapa kecamatan di wilayah Pematangsiantar, dengan arti lain ada beberapa daerah yang memang memiliki corak tersendiri.

Tabel 1.1:

Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Pematangsiantar Periode 2010-2015

NO Instansi Nama Pejabat Suku

1 Walikota Hulman Sitorus, SE Toba

2 Wakil Walikota Drs. Koni Ismael Siregar

Mandailing 3 Sekretaris Daerah Kota Drs. Donver

Panggabean, M.Si

Toba 4 Sekretaris DPRD Mahaddin Sitanggang,

S.H

Toba 5 Ass. Adm. Pemerintahan dan

Kesra

Drs. M Akhir Harahap Mandailing 7 Ass. Adm. Umum Baren Alijoyo Purba,

S.H.

Simalungun 8 Staf Ahli Bidang Pemerintahan Drs. Pardamean Silaen.

M.Si.

Toba 9 Staf Ahli Bidang Hukum dan

Politik

Drs. Midian Sianturi Toba 10 Staf Ahli Bidang Pembangunan Drs. Eddy Nuah

Saragih

Simalungun 11 Staf Ahli Bidang

Kemasyarakatan dan SDM

Chaidir Sitompul, S.H. Toba 12 Staf Ahli Bidang Ekonomi dan

Keuangan

Dra. Neslianita Sinaga Toba

13 Inspektur Robert Dontes

Simatupang, S.E.

Toba 14 Kaban Pelayanan Perizinan

Terpadu

Drs.Esron Sinaga, M.Si. Toba 15 Kaban Perencanaan dan

Pembangunan Daerah (Bappeda)

Ir. Reinwart

Simanjuntak, M.M.

Toba 16 Kaban Kepegawaian,

Pendidikan dan Pelatihan

(10)

17 Kaban Penganggulangan Bencana Daerah

Drs. Daniel H. Siregar Mandailing 18 Kaban Kesatuan Bangsa, Politik,

dan Perlindungan Masyarakat

Drs. Gunawan Purba Simalungun 19 Kaban Ketahanan Pangan Drs. Tuahman Saragih Simalungun 20 Kaban Penelitian Statistik Naik Lubis, S.H. Mandailing 21 Kaban Pemberdayaan

Masyarakat

Jhon Pieter Sitorus, S.Sos., M.Si.

Toba 22 Kaban Penanaman Modal dan

Promosi Daerah

Agus Salam, S.E. Jawa 23 Kaban Lingkungan Hidup Drs. Jekson Gultom Toba 24 Kaban Pemberdayaan

Perempuan dan KB

Drg. Rumondang Sinaga, MARS

Toba 25 Kadis Pendidikan Drs. Resman Panjaitan Toba

26 Kadis Kesehatan Dr. Ronald H. Saragih Simalungun 27 Kadis Bina Marga dan

Pengairan

Rufinus, S.T. Jawa 28 Kadis Pendapatan, Pengelolaan

Keuangan, dan Aset Daerah

Ir. Adiaksa Purba, M.M.

Simalungun 29 Kadis Tata Ruang, Perumahan,

dan Permukiman

Drs. Lukas Barus Karo 30 Kadis Sosial dan Tenaga Kerja Poltak Manurung, S.E. Toba 31 Kadis Perhubungan, Komunikasi

dan Informatika

Posma Sitorus, S.H. Toba 32 Kadis Kependudukan dan

Catatan Sipil

S. M. Ulinasari Girsang, S.H.

Simalungun 33 Kadis Kebersihan Drs. Robert Samosir Toba

34 Kadis Koperasi dan UKM Drs. Kalbiner

Lumbantungkup, M.Si.

Toba 35 Kadis Pemuda, Olah Raga,

Budaya dan Pariwisata

Dra. Fatimah Siregar Mandailing 36 Kadis Pertanian dan Peternakan Robert Pangaribuan,

S.P., M.Si.

Toba 37 Kadis Perindustrian dan

Perdagangan

Zainal Siahaan, S.E. Toba 38 Direktur RSU dr. Djasamen

Saragih

dr. Ria Novida

Telaumbanua, M.Kes.

Nias 39 Dirut PDAM Tirtauli Badri, S.E., M.M. Jawa 40 Dirut PD Pasar Horas Jaya Drs. Setia Siagian,

M.Si.

Toba 41 Dirut PD Pembangunan dan

Aneka Usaha

Herowin Sinaga, Ap, M.Si.

(11)

Praja Situmorang, M.Si. 43 Kakan Perpustakaan dan Arsip

Daerah

Soefie Saragih, S.STP Simalungun 44 Kakan Pemadam Kebakaran Sugiarto, S.H. Jawa

45 Sekretaris KPU Drs. Hermanto Panjaitan, M.Si.

Toba 46 Kabag Administrasi

Pemerintahan Umum

Josua Sihaloho, S.STP Toba 47 Kabag Administrasi

Kemasyarakatan

Corry Purba, S.H. Simalungun 48 Kabag Humas dan Protokoler Jalatua Hasugian, M.H. Toba

49 Kabag Administrasi Perekonomian

Andri, S.E. Jawa 50 Kabag Administrasi

Pembangunan

Drs. L. Pardamean Manurung

Toba 51 Kabag Hukum dan

Perundang-undangan

Gilbert Ambarita, S.H. Toba 52 Kabag Organisasi dan Tata

Laksana

Robert Irianto, S.H. Toba 53 Kabag Keuangan dan Aset Jadimpan Pasaribu,

S.H.

Toba 54 Kabag Umum dan Perlengkapan Dra. Patresia Ruth

Marbun

Toba 55 Kabag Kesejateraan Rakyat Drs. Sa'amsah Jawa 56 Camat Siantar Barat Heryanto Siddik, S.STP Jawa 57 Camat Siantar Utara Junaedi Sitanggang,

S.STP

Toba 58 Camat Siantar Selatan Hasudungan Hutahulu,

S.H.

Toba 59 Camat Siantar Timur Ir. JPM. Sitanggang Toba 60 Camat Siantar Marihat Johannes Sihombing,

S.STP

Toba

61 Camat Siantar Martoba Rafidin Saragih, S.H. Simalungun 62 Camat Siantar Sitalasari Irwansyah Saragih,

S.Sos., M.Si.

Simalungun 63 Camat Siantar Marimbun Fidelis Sembiring,

S.STP

Karo

Sumber: www.pematangsiantarkota.go.id

(12)

dominasi oleh suku Batak terutama Batak Toba, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya jabatan ditiap instansi yang diisi oleh orang yang bersuku Batak Toba, akan tetapi masih ada variasi suku yaitu suku Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing, Nias serta Jawa di dalamnya. Dimana pembagian pejabat dalam pemerintahan Kota Pematangsiantar pada masa kepemimpinan Hulman Sitorus mulai dari pejabat Eselon IV sampai Eselon II yaitu 36 orang suku Batak Toba, 11 orang suku Batak Simalungun, 2 orang suku Batak Karo, 4 orang suku Batak Mandailing, 7 orang suku Jawa dan 1 suku Nias.

Hal menarik dari Kota Pematangsiantar adalah bahwa pemerintahan Hulman Sitorus periode 2010-2015, merupakan untuk ketiga kalinya Pematangsiantar memiliki kepala daerah yang berasal dari etnis Batak Toba. Sehingga penelitian ini berfokus pada multikulturalisme dalam susunan pemerintahan Hulman Sitorus yang merupakan Walikota ketiga dari etnis Batak di Kota Pematangsiantar.

Dengan komposisi yang terdapat dalam struktur pemerintahan Kota Pematangsiantar pada masa kepemimpinan Walikota Hulman Sitorus, ada pertanyaan yang muncul dalam, apakah jabatan-jabatan dalam struktur pemerintahan ini memang berdasarkan kemampuan dari pejabat tersebut, atau karena ada hal lain.

(13)

sebelumnya, penelitian ini akan mengkaji tentang gambaran dan situasi multikulturalisme di Kota Pematangsiantar dari segi politik. Dimana yang akan dikaji adalah bagaimana situasi dan kondisi politik multikultural di dalam struktur pemerintahan eksekutif di Kota Pematangsiantar periode pemerintahan 2010-2015.

Penelitian yang dilakukan oleh Akhmad Satori, menunjukkan bahwa pemahaman multikulturalisme dalam masyarakat berdampak positif dalam sistem pemerintahan dengan meningkatkan pembangunan otonomi daerah.12

Dalam jurnal yang ditulis oleh Muhammad Taqyuddin yang berjudul Pendidikan Multikultural Terhadap Masyarakat di Indonesia menjelaskan bahwa pentingnya masyarakat untuk paham dan sadar terhadap keberagaman yang ada ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Keberagaman rentan menimbulkan konflik dan perselisihan dalam masyarakat sehingga perlunya ada aksi dan tindakan untuk mengatasinya. Jadi pemerintah dalam hal ini haruslah memberikan pendidikan multikultural yang bertujuan agar masyarakat lebih peka dalam menghadapi gejala-gejala yang berakar pada perbedaan kebudayaan di dalam masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis akan melakukan penelitian tentang situasi politik multikulturalisme di Kota Pematangsiantar. Penulis memberi judul penelitian ini dengan “POLITIK MULTIKULTURALISME (Studi Analisis Pada Struktur Pemerintahan Eksekutif Kota Pematangsiantar).”

12

Akhmat Satori. 2012. Merajut Masyarakat Multikultural dalam Bingkai Otonomi Daerah

(14)

1.2Rumusan Masalah

Kota Pematangsiantar merupakan kota yang memiliki keberagaman etnis, terlihat dari kota ini dihuni oleh etnis Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Mandailing, Batak Karo, Jawa, Minang dan Tionghoa, juga dihuni oleh pemeluk agama yang beragam yaitu Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu dan Budha. Secara historis, suku asli yang mendiami daerah ini adalah etnis Batak Simalungun.

Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 32 Tahun 200413 tentang otonomi daerah, pembauran masyarakat di luar etnis Batak Simalungun semakin terasa.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya tentang keberagaman di Kota Pematangsiantar, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana kondisi politik multikulturalisme pada masa kepemimpinan Hulman Sitorus periode 2010-2015 di struktur pemerintahan eksekutif Kota Pematangsiantar ?”

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan adanya pembatasan masalah terhadap hal yang akan diteliti, pembatasan ini diperlukan agar hasil penelitian lebih terfokus dan tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai menjadi karya tulis yang sistematis. Adapun yang mejadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

13

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

(15)

1. Bagaimana kondisi keberagaman dari segi politik pada pemangku jabatan eksekutif di Kota Pematangsiantar pada masa kepemimpinan walikota Hulman Sitorus?

2. Bagaimana implementasi politik multikulturalisme di dalam pemerintahan eksekutif Kota Pematangsiantar pada masa kepemimpinan walikota Hulman Sitorus?

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengeksplorasi kondisi Politik Multikulturalisme di Kota Pematangsiantar pada struktur pemerintahan eksekutif Kota Pematangsiantar.

2. Menganalisis peran masyarakat etnis minoritas dalam komposisi pemerintahan eksekutif Kota Pematangsiantar.

1.5Manfaat Penelitian

Dalam setiap penelitian, secara teoritis diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat.Terlebih lagi untuk perkembangan Ilmu pengetahuan. Adapun yang menjadi manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Secara Teori

(16)

2. Secara Lembaga

Penelitian ini diharapkan mampu untuk menjadi bahan rujukan tentang Politik Multikulturalisme bagi kaum akademisi terlebih dalam studi politik lokal. Secara khusus bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Secara Kemasyarakatan

Penelitian ini kiranya mampu untuk menambah informasi sebagai bahan bacaan tentang Politik Multikulturalisme, khususnya bagi masyarakat di Kota Pematangsiantar.

1.6Kerangka Teori

1.6.1 Teori Politik Multikultural

Teori politik adalah teori yang lebih menekankan bahwa politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Biasanya dianggap bahwa perjuangan kekuasaan (power struggle) ini mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat14.

Deliar Noer dalam Pengantar ke Pemikiran Politik menyebutkan bahwa: teori tentang ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Kehidupan seperti ini tidak terbatas pada bidang hukum semata-mata, dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru.

14

Prof. Miriam Budiharjo. 2009.Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. hal. 18.

(17)

Sementara Multikultural pada dasarnya merupakan konsep yang berbicara mengenai keberagaman. Keberagaman adalah istilah yang menggambarkan satu cara khusus untuk merespons keanekaragaman etnis. Namun dalam kenyataannya tidak ada pandangan multikulturalis tunggal, melainkan macam-macam sikap tentang syarat multikulturalisme.

Teori Multikulturalisme sistematis pertama dikembangkan oleh Will Kymlica. Menurut Kymlica, hak-hak minoritas tidak dapat digolongkan sebagai hak asasi manusia karena standar-standar hak asasi manusia tidak mampu menyelesaikan persoalan yang paling penting dan kontroversial terkait golongan minoritas budaya. Karena itu Kymlica berambisi mengembangkan sebuah teori liberal untuk hak-hak minoritas yang menjelaskan bagaimana hak minoritas hidup berdampingan dengan hak asasi manusia, bagaimana hak minoritas akan dibatasi dengan prinsip kemerdekaan individu, demokrasi, dan keadilan sosial15. Teori yang akhirnya diajukan Kymlica membedakan tiga jenis hak minoritas yaitu:

1. Hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri

Mengharuskan adanya pendelegasian kekuasaan kepada golongan minoritas bangsa.

2. Hak polietnis

15

Gerald F Gaus, Chandran Kukathas. 2012. Hand Book Teori Politik. Bandung: Nusa Media. hal. 574.

(18)

Menjamin dukungan financial dan perlindungan hukum bagi praktik-praktik yang menjadi ciri khas beberapa golongan etnis atau agama.

3. Hak perwakilan khusus

Menjamin tempat bagi wakil-wakil golongan minoritas di badan atau lembaga negara.

Penjelasan Kymlica untuk hak-hak yang dibedakan berdasarkan golongan ini berpusat pada pembedaan antara dua jenis golongan minoritas, Golongan minoritas bangsa dan Golongan minoritas etnis. Golongan minoritas bangsa adalah suku bangsa yang kebudayaannya dahulu memerintah sendiri dan terpusat secara teritorial, namun kini telah dilebur ke dalam suatu negara yang lebih besar. Sementara, Golongan minoritas etnis adalah suku bangsa yang telah bermigrasi ke suatu masyarakat baru dan tidak ingin menyelenggarakan pemerintahan sendiri, tetapi tetap ingin mempertahankan tradisi dan identitas etnisnya.

Inti teori multikulturalisme Kymlica adalah sebentuk nasionalisme. Kymlica berpendapat bahwa tradisi liberal memiliki sejarah yang mengakui hak-hak yang dibedakan berdasarkan golongan.

(19)

masyarakat multikultural, karena keduanya sama-sama menggambarkan keanekaragaman sosial dan kebudayaan. Pembahasan tentang masyarakat majemuk mulai memasuki dunia Antropologi mengenai kebijakan dan praktik kolonial di Indonesia dan Burma. Masyarakat majemuk sebagai masyarakat dimana orang-orang yang secara rasial berbeda hanya bertemu di pasar-pasar, suatu gambaran mengenai politik ekonomi kolonial. Kebudayaan-kebudayaan penyusun masyarakat majemuk dilihat sebagai entitas otonom, distinktif, yang berbeda satu sama lain. Batas-batas antara kebudayaan-kebudayaan satu sama lain tegas, dan interaksi di antaranya minimal kecuali dalam arena pasar atau arena publik lainnya yang memungkinkan orang bertemu karena kepentingan tertentu. Masyarakat majemuk adalah “kumpulan orang-orang dan mereka bergaul tapi tidak bercampur. Setiap kelompok memegang agama sendiri, kebudayaan dan kebiasaan sendiri, gagasan dan cara hidup sendiri. Inilah masyarakat majemuk, dengan bagian-bagian komunitas yang hidup berdampingan tetapi terpisah dalam satuan politik yang sama”.16

Kemajemukan masyarakat Indonesia adalah kenyataan yang sudah berjalan secara berkelanjutan hingga saat ini. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, di mana persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan kultural materialisme yang mencermati budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial

16

Andrik Purwasito.Op.Cit. Hal. 37.

(20)

tertentu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai mahkluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat dengan orientasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses yang sekaligus bermatra individual, sosial, dan kultural.

Dalam kenyataannya persentuhan nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang budaya dalam masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber dari masalah kesenjangan komunikasi, serta kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, dan adat kebiasaan yang merupakan kendala bagi tercapainya suatu konsensus yang perlu disepakati dan selanjutnya ditaati secara luas. Tambahan lagi dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang, akan selalu mengalami perubahan yang pesat dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga membuat celah-celah masalah keberagaman dapat menjadi sebuah potensi konflik di dalam masyarakat.

Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh membedakan lima macam multikulturalisme:17

17

Azra, Azyumardi. 2007. Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hal. 37.

(21)

a) Multikulturalisme Isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.

b) Multikulturalisme Akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.

(22)

d) Multikulturalisme Kritikal atau Interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.

e) Multikulturalisme Kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

Sehingga dapat dikatakan bahwa Politik Multikulturalisme merupakan sebuah teori yang menekankan akan upaya pencapaian sebuah kekuasaan di tengah-tengah keberagaman yang ada. Dapat dikatakan pula sebagai suatu proses mewakilkan secara keseluruhan keanekaragaman yang ada, dalam upaya pencapaian sebuah kekuasaan.

1.6.2 Teori Identitas Sosial

(23)

dalam bentuk identitas sosial berdasarkan kategori sosial. Identitas sosial, pada gilirannya, terhubung individu untuk masyarakat berpikir keanggotaan kelompok mempengaruhi keyakinan individu, sikap, dan perilaku dalam hubungan mereka dengan anggota kelompok sosial lainnya. Akibatnya, unit dasar yang hubungan masyarakat individu diteliti adalah kelompok sosial. Teori Identitas Sosial menekankan aspek sosial lebih dari aspek individu, sedangkan Teori Identitas membayar lebih memperhatikan aspek-aspek individu dalam hubungan masyarakat-individu.

Teori identitas, sebagai produk interaksi simbolik menjelaskan hubungan antara masyarakat dan individu atas dasar peran. Peran mengacu pada fungsi atau bagaimana seorang melakukan perannya ketika menduduki posisi tertentu dalam konteks sosial tertentu. Peran seseorang adalah pola perilaku sosial yang muncul sesuai dengan ekspektasi orang lain dan tuntutan dari situasi. Peran yang diinternalisasikan dan membentuk identitas peran. Identitas dibentuk dalam oposisi terhadap dan dalam selasi kepada orang lain, maka peran inheren memiliki aspek sosial.

Menurut Hecht, identitas memiliki pembagian kedalam empat lapisan. Keempat lapisan identitas adalah pribadi, berlaku, relasional, dan komunal18.

1. Pribadi lapisan

18

J.W.M. Bakker SJ. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. hal. 31.

(24)

Sebuah lapisan Pribadi merujuk kepada individu sebagai lokus identitas.Identitas sebagai lapisan pribadi memahami bagaimana individu mendefinisikan diri mereka secara umum serta dalam situasi tertentu.

2. Berlaku

Bagaimana pemahaman tentang identitas mampu menyesuaikan diri dengan suatu kondisi sosial tertentu.

3. Relasional Layer

Dalam lapisan ini, hubungan adalah fokus identitas.Identitas adalah produk bersama, bersama-sama dan saling dinegosiasikan dibentuk dalam hubungan melalui komunikasi.

4. Komunal

Kelompok juga merupakan tempat di mana identitas ada. Anggota kelompok biasanya memiliki karakteristik umum dan memiliki ingatan kolektif. Anggota kelompok membentuk identitas kelompok umum berdasarkan karakteristik umum dan sejarah.

1.7Metodologi Penelitian

1.7.1 Metode penelitian

(25)

akurat19. Metode penelitian ini dimaksudkan sebuah proses pemecahan suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menerangkan keadaan sebuah objek maupun subjek penelitian seseorang, lembaga maupun masarakat pada saat sekarang dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya20.

1.7.2 Jenis Penelitian

Jenis penelian ini adalah kualitatif, Penelitian kualitatif bermaksud untuk memberi makna atas fenomena secara holistik dan harus memerankan dirinya secara aktif dalam keseluruhan prose studi. Orientasi penelitian kualitatif yaitu pada upaya memahami fenomena secara menyeluruh. Penelitian kualitatif berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengadalkan analisis data secara induktif, bersifat deskriftif, membatasi studi dengan fokus21.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa teknik pengumpulan data yang dapat digunakan, antara lain penelitian perpustakaan (library research), yang sering disebut metode dokumentasi, dan penelitian lapangan, seperti wawancara dan observasi22.

19

Sudarwan Danin. 2002. Menjadi peneliti kualitatif ; Ancangan Metodologi, Presentasi dan Publikasi hasil

penelitian untuk mahasiswa dan peneliti pemula bidang ilmu ilmu sosial, pendidiakan dan humaniora.

Bandung: Pustaka Setia. hal. 41. 20

Hadari Nawawi.1987.Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Hal.63.

21

Lexy J Moleong. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 27. 22

Hadari Nawawi. Op.Cit. Hal. 63.

(26)

Untuk dapat memperoleh data berupa fakta di lapangan yang adalah informasi asli maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Metode Library Research atau Studi Kepustakaan

Studi yang dilakukan ini adalah dengan cara pengumpulan data dengan cara menghimpun dan mengumpul buku-buku, dokumen- dokumen, makalah, arsip-arsip dan literatur-literatur serta seluruh sarana informasi lainnya yang tentu saja berhubungan dengan masalah penelitian ini. 2. Wawancara

(27)

informan yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian. Pihak-pihak yang diwawancarai dilibatkan dalam penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan informasi dapat diperoleh.

1.7.4 Teknik Analisa Data

(28)

1.8Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan agar lebih mudah dan terarah untuk menyusun karya ilmiah. Maka penulis membagi sistematika penulisan ini menjadi empat bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah yang akan diteliti, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR, SUMATERA UTARA Dalam bab ini akan menguraikan tentang profil daerah Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara.

BAB III : ANALISIS POLITIK MULTIKULTURALISME DI KOTA PEMATANGSIANTAR

Dalam bab ini akan membahas secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis kondisi Politik Multikulturalisme di Kota Pematangsiantar dalam struktur pemerintahan eksekutif dalam upaya pemenuhan hak-hak politik.

BAB IV : PENUTUP

(29)

Gambar

Tabel 1.1:

Referensi

Dokumen terkait

Penyajian data tersebut, penulis susun secara sistematis, yang mengkonfirmasi dan menyesuaikan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu mengenai bagaimana

Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek- aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra (Ratna, 2013, hlm. Pandangan tersebut menjelaskan

The hydraulic model analysis shows that the alternate channel has an impact in reducing the water level. Selection of location and the length of the alternate channel impacts on

Istilah tersebut muncul sebagai respon atas kebutuhan teoritis untuk mengintegrasikan praktik penggunaan sumberdaya alam dengan pendekatan ekonomi politik secara

Perempuan merupakan seorang perempuan yang sudah menginjak masa dewasa dimana seorang perempuan ini mempunyai peran dalam kehidupan berumahtangga untuk mengatur

Apabila dikaitkan dengan kebijakan alokasi anggaran dalam kebijakan strategis (RPJPD, RPJMD, dan Renstrada) dapat dikatakan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk bidang

Copy the expression below to your main worksheet window, then click on it so you see it surrounded by blue editing lines (if necessary press the spacebar to select more of

Metode Cost Significant Model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini diharapkan memberi jawaban terhadap tuntutan akan tersedianya estimasi biaya awal proyek