• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini disajikan tinjauan literatur yang berkaitan dengan beberapa konsep yang digunakan pada penelitian ini. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu melihat hubungan antara peran stakeholders dengan partisipasi masyarakat, maka dijelaskan dalam tinjauan literatur ini, antara lain: konsep program pengembangan kasawan agropolitan, analisis stakeholders, peran stakeholders dalam program agropolitan, partisipasi dan tingkat partisipasi masyarakat.

Program Pengembangan Kawasan Agropolitan

Program agropolitan merupakan suatu upaya percepatan pembangunan pedesaan. Gatra terkait dengan pengembangan agropolitan antara lain adalah pembangunan dalam arti luas, seperti: redistribusi lahan, kesesuaian lahan, desain tata guna lahan dan pembangunan sarana dan prasarana. Secara fenomenal konsep ini mewujudkan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan atau istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah “Menciptakan kota di pedesaan” (Tarsudi 2010). Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota dapat diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pancaharian utama bagi sebagian besar masyarakat perdesaan.

Menurut Saefulhakim dkk (2004) pengertian agropolitan berasal dari kata “agro” yang bermakna “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman” yang digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian dan “polis” bermakna “a Central Point or Principal”. Agro-polis bermakna lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan. Berdasarkan uraian tersebut diatas agropolitan dapat diartikan sebagai suatu model pembangunan mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara wilayah perkotaan, dengan kegiatan pengelolaan agribisnis yang berkonsentrasi di wilayah perdesaan. Pendekatan agropolitan dapat mengurangi dampak negatif pembangunan yang telah dilaksanakan. Konsep agropolitan sendiri merupakan konsep pembangunan berkelanjutan yang mendapatkan dukungan masyarakat dan menjadi milik masyarakat sehingga dominasi peran berada di pihak masyarakat (Rustiadi 2006)

Secara lebih luas pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Djakapermana (2003) menyatakan bahwa pengembangan kawasan agropolitan menjadi sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan keunikan lokal. Selain itu pengembangan kawasan agropolitan dapat meningkatkan pemerataan mengingat sektor yang dipilih merupakan basis aktifitas masyarakat. Keberlanjutan dari pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor yang dipilih mempunyai

(2)

keunggulan kompetitif dan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya. Penetapan pusat agropolitan terkait dengan sistem pusat-pusat nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten) sehingga dapat menciptakan pengembangan wilayah yang serasi dan seimbang. Menurut Rivai dalam Tarsudi (2003), tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi (wewenang berada di pemerintah daerah dan masyarakat) di kawasan agropolitan.

Melalui berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on- farm) saja tetapi juga "off-farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan agropolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud.

Analisis Stakeholders

Menurut Freedman (1975), stakeholders merupakan kelompok dan individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan dari sebuah program. Stakeholders juga diartikan sebagai mereka yang memiliki kepentingan dan keputusan tersendiri, baik sebagai individu maupun wakil kelompok. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholders jika memiliki karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Budimanta dkk (2008), yaitu mempunyai: kekuasaan, legitimasi, kepentingan terhadap program. Soemanto (2007) mengkategorikannya ke dalam empat kelompok, antara lain: pemerintah (government), sektor privat (private sector), lembaga swadaya masyarakat (LSM)/Non-Governmental Organizations (NGOs), dan Masyarakat (community). Mitchell et al dalam Sukada (2007) mengungkapkan bahwa derajat relevansi pemangku kepentingan terhadap aktivitas perusahaan ditimbang dengan tiga hal, yaitu: kekuasaan, legitimasi, dan urgensi. Kekuasaan adalah derajat kemampuan pemangku kepentingan untuk mempengaruhi perusahaan melalui penggunaan unsur-unsur koersif atau pemaksaan, insentif atau disinsentif material, dan normatif atau simbolik. Pemangku kepentingan yang dapat menggunakan salah satu atau lebih unsur-unsur kekuasaan itu, mampu mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mempertahankan dirinya. Keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan tidaklah baru, dalam pengertian bahwa dalam program pihak tersebut selalu berinteraksi dengan berbagai kelompok eksternal, seperti: pembuat peraturan, pemerintah, pelanggan, dan penduduk asli. Menurut Sukada (2007) pelibatan pemangku kepentingan ditentukan berdasarkan derajat relevansinya atau kesesuian dengan keberadaan serta program yang akan diselenggarakan.

(3)

Analisis stakeholders diperlukan untuk mengetahui peran masing–masing stakeholders yang merupakan semua aktor atau kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah program. Analisis stakeholders dilakukan menggunakan metode pendekatan yang dikembangkan oleh Groenendijk (2003) untuk mengetahui peranan dan fungsinya. Metode tersebut diawali dengan mengidentifikasi stakeholders yang terlibat dan mengklasifikasikan berdasarkan keterkaitannya secara langsung/tidak langsung dengan proyek yang ada. Kemudian, tiap stakeholders yang berbeda tersebut tentunya memiliki atribut yang berbeda untuk dikaji sesuai dengan situasi dan tujuan dari analisis. Atribut yang dimasukkan dalam analisis adalah pengaruh (power) dan kepentingan (importance).

Menurut Reed et al. (2009), analisis stakeholders dilakukan dengan cara: (1) melakukan identifikasi stakeholders; (2) mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders; dan (3) menyelidiki hubungan antar stakeholders. Identifikasi stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui permasalahan. Colfer et al. (1999) menjelaskan bahwa untuk mengidentifikasi pengaruh dan kepentingan para stakeholders dilakukan melalui pemberian skor pada dimensi keikutsertaan dalam agropolitan, kewajiban dan hak serta ketergantungan terhadap program agropolitan sesuai dengan kepentingan program setelah para stakeholders terindetifikasi, maka langkah selanjutnya yaitu mengelompokkan dan mengklasifikasikan antar stakeholders sehingga dapat terlihat pihak mana yang berpengaruh penting dalam program agropolitan. Menurut Bryson (2004) dan Reed et al. (2009) untuk memperjelas peran masing-masing stakeholders dapat menggunakan matriks pengaruh (influence) dan kekuatan (power) dengan membedakan stakeholders ke dalam beberapa kategori key players, context setters, subjects, dan crowd. Bisa juga menggunakan metode power and interest grid (IFC 2007) yang mengklasifikasikan stakeholders menjadi manage closely, keep statisfied, keep informed dan monitor dengan menggunakan matriks pengaruh (power) dan kepentingan (interest). Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan stakeholders dalam pencapaian output dan tujuan (Reed et al. 2009) sedangkan kekuatan (power) merujuk pada pengaruh stakeholders pada metode power and interest grid merujuk pada kekuatan pengaruh yang dimiliki stakeholders untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Penjelasan dari klasifikasi stakeholders adalah sebagai berikut:

1. Context setter atau keep statisfied memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi risiko yang signifikan untuk harus dipantau.

2. Key player atau manage closely merupakan stakeholders yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek/program.

3. Subjects atau keep informed memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada. Namun mereka dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan stakeholders lainnya.

4. Crowd atau monitor merupakan stakeholders yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi

(4)

pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan.

Peran Stakeholders dalam Program Agropolitan

Agropolitan berasal dari ketetapan pemerintah pusat yang kemudian diterapkan di tingkat propinsi dan kabupaten. Menurut Rustiadi (2006), sebagai unit wilayah fungsional, kawasan agropolitan bisa saja mencangkup lingkup wilayah satu kecamatan administratif yang berbeda setiap daerah. Kawasan agropolitan bisa berada dalam satu wilayah kecamatan, beberapa kecamatan dalam satu wilayah kabupaten. Beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa kabupaten atau bahkan beberapa kabupaten dalam satu propinsi atau lintas propinsi sehingga dalam tahap perkembangan awal pengembangan kawasan agropolitan pemerintah harus memfasilitasi untuk terbentuknya kawasan pengembangan agropolitan. Berdasarkan Pedoman Pengelolaan Ruang Kawasan Sentra Produksi Pangan Nasional dan Daerah (agropolitan) tahun 2002, pelaksanaan kawasan agropolitan tingkat daerah harus ditentukan pihak-pihak yang terlibat dan menjadi subjek dalam pelaksanaan kegiatan dan program yang telah direncanakan, yaitu:

1. Pemerintah berperan memberikan proteksi, menyelenggarakan pembangunan melaksanakan fungsi fasilitasi, regulasi dan distribusi. Pemerintah memberikan perangkat kriteria rasional dan obyektif yang dijadikan acuan dalam penentuan wilayah pengembangan program agropolitan. Peran pemerintah dijalankan oleh berfungsinya departemen dan lembaga tingkat pusat yang terkait dengan pengembangan kawasan. Peranan pemerintah untuk memfasilitasi pengembangan kawasan agropolitan ini harus didasarkan pada UU No. 4 Tahun 1992, UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000, dengan peta kewenangan masing-masing sebagai berikut:

1.1 Pemerintah Pusat

Tugas pemerintah pusat adalah membantu pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan agropolitan serta kewenangan dalam bidang pemerintahan yang menyangkut lintas propinsi dan koordinasi lintas departemen. Peran pemerintah pusat adalah menyusunan rencana, program dan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan dalam bentuk peraturan pemerintah dan pedoman umum pengembangan kawasan agropolitan serta pedoman lainnya dari departemen teknis terkait. Selanjutnya memberikan pelayanan informasi dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta memfasilitasi kerjasama lintas propinsi dan lintas sektoral. Selain itu sebagai penyelenggaraan studi, penelitian dan kajian untuk pengembangan kawasan agropolitan dan yang terpenting adalah pembangunan sarana dan prasarana publik yang bersifat strategis dalam skala nasional dan lintas propinsi.

(5)

1.2 Pemerintah Propinsi/ Daerah Tingkat I

Peranan pemerintah propinsi adalah: a) mengkoordinasikan rencana program dan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah propinsi; b) memberikan pelayanan informasi tentang rencana pengembangan wilayah dan tata ruang kawasan agropolitan; c) memfasilitasi kerjasama lintas kabupaten dan lintas departemen/instansi terkait dalam penyusunan rencana dan pengembangan kawasan agropolitan; d) menyelenggarakan pengkajian teknologi sesuai kebutuhan petani dan pengembangan wilayah; e) membangun prasarana dan sarana publik yang bersifat strategis dan mendukung perkembangan kawasan agropolitan di dalam wilayah propinsi.

1.3 Pemerintah kabupaten/kota

Sesuai dengan titik berat otonomi daerah pada kabupaten/kota, maka penanggungjawab di tingkat pemerintah tingkat II adalah bupati atau walikota. Oleh karena itu peranan utama dari pemerintah daerah tingkat II, antara lain: a) merumuskan program, kebijakan operasional dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan; b) mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan masterplan, program dan melaksanakan program pengawasan kawasan agropolitan; dan c) menumbuhkembangkan kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung program pengembangan kawasan agropolitan. Sebagai pengelola kawasan yang biasanya diwakili oleh BAPPEDA, dinas sektoral dan instansi terkait harus mampu memahami dan mengerti aspek-aspek pengembangan kawasan agropolitan, serta dapat mewujudkan koordinasi dan keterkaitan yang sinergis antara pihak yang berkepentingan dalam agropolitan. Selain itu mampu mengembangkan jaringan kerjasama dan kemitraan untuk pengembangan program agropolitan. Pemerintah kabupaten juga bertanggungjawab menyusun rencana induk terkait rencana aksi pada tahun-tahun awal, serta mengendalikannya bersama stakeholders pengembangan kawasan lainnya.

Selain pihak di atas, stakeholders yang terdapat dalam program agropolitan diantaranya adalah: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, BPPT/LIPI. Peran fasilitas pemerintah berdimensi ganda, yaitu meningkatkan kapasitas dan kemandirian masyarakat, yang selanjutnya didorong dengan fasilitas infrastruktur (fisik dan kelembagaan) dan sistem insentif yang tepat dan proprosional.

2. Masyarakat berperan sebagai pelaku utama pengembangan program agropolitan yang bersinergi dengan pihak pemerintah. Masyarakat dibedakan ke dalam dua pihak yaitu: Perguruan tinggi, sebagai center of excellence akan menjadi mitra pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dalam pengembangan riset dibidang budidaya pertanian, peternakan, perikanan, dan agrowisata. Perguruan tinggi diharapkan menjadi soko guru bagi

(6)

pengembangan pendidikan dan pelatihan terkait dengan perkembangan agropolitan kepada masyarakat dan dunia usaha. Masyarakat Lokal sebagai sasaran program, biasanya sasaran merupakan kelompok tani yang membantu memberikan dukungan sekaligus pelaksana program agropolitan.

3. Swasta berperan sebagai pemasok jasa, keahlian, dana maupun material yang diperlukan. Mereka akan mendapat lahan usaha, dan keuntungan dari usaha serta peran sertanya dalam pelaksanaan pengembangan wilayah dengan terciptanya pasar bagi produk–produk mereka. Upaya mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang perlu terus didorong dengan keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dengan pendekatan community driven planning, dengan pendekatan ini diharapkan terciptanya kesadaran, kesepakatan dan ketaatan masyarakat serta dunia usaha terhadap aturan tata ruang kawasan agropolitan.

Konsep Partisipasi

Menurut Sumarjo dan Saharudin dalam Ariyani (2007) seseorang untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga prasyarat, yaitu adanya kesadaran pada diri yang bersangkutan tentang adanya kesempatan, dan adanya kemauan (sikap positif terhadap sasaran partisipasi) serta didukung oleh kemampuan (inisiatif untuk bertindak dengan komitmen). Kemauan dan kemampuan merupakan potensi yang dimiliki oleh pelaku secara individu maupun kelompok. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dipengaruhi oleh faktor tertentu terutama ketersediaan sarana dan prasarana fisik, kelembagaan, kepemimpinan, pengaturan dan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sedangkan Wardojo (1995) mengartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan dalam baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat dalam pembangunan mencangkup partisipasi dalam pembuatan keputusan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan, serta pemanfaatan hasil pembangunan. Menurut Tanjung (2003), definisi dari partisipasi adalah keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi sosial tertentu yang berarti seseorang berpartisipasi dalam suatu kelompok jika ia mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tersebut melalui bermacam sikap “berbagi” yaitu berbagi nilai tradisi, berbagi perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung jawab bersama, serta melalui persahabatan pribadi.

Pembangunan partisipatif merupakan model pembangunan yang melibatkan stakeholders dalam semua proses, mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Pelaku pembangunan tersebut adalah semua unsur yang ada dalam komunitas yang terdiri atas pemerintah dan masyarakat (civil society). Perumusan rencana pembangunan perlu dilakukan secara demokratis, professional dan terukur artinya dapat mewujudkan kebutuhan masa depan, handal, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua stakeholders untuk itu pembangunan daerah harus menganut prinsip-prinsip: Partisipasi artinya seluruh anggota masyarakat diharapakan berperan aktif dalam perencanan, pelaksanaan, dan pengawasan seluruh kegiatan pembangunan. Transparansi artinya setiap kegiatan

(7)

dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dari seluruh kegiatan dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan. Akuntabilitas artinya setiap kegiatan seharusnya dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun administratif. Keberlanjutan artinya pembangunan untuk masyarakat harus dapat berkelanjutan dari generasi ke generasi dan dikembangkan oleh masyarakat sendiri melalui wadah institusi masyarakat yang mandiri.

Menurut Uphoff (1977) menyatakan partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat penerima program pembangunan terdiri perencanaan, pelaksanaan/ implementasi, pemanfaatan dan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan yaitu:

1. Tahap Perencanaan

Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam proses rencana pembangunan biasanya dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat yang bertujuan untuk memilih alternatif dalam perencanaan pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat penting, karena masyarakat dituntut untuk menentukan arah dan strategi pembangunan disesuaikan dengan sikap dan budaya masyarakat setempat. Partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan suatu proses dalam memilih alternatif yang diberikan oleh semua unsur masyarakat dan lembaga sosial (Siagian 1972).

2. Tahap pelaksanaan

Partisipasi dilihat dari keikutsertaan masyarakat dalam bentuk sumbangan pemikiran, bantuan tenaga, materi serta keikutsertaan secara langsung dalam kegiatan pembangunan. Koentjaraningrat (1984) menyatakan bahwa partisipasi rakyat, terutama rakyat pedesaan dalam pembangunan sebenarnya menyangkut dua tipe yang pada prinsipnya berbeda, yaitu: pertama, partisipasi dalam aktivitas bersama dalam proyek pembangunan yang khusus. Rakyat pedesaan diperintahkan untuk mengerjakan pekerjaan yang sifatnya fisik. Jika rakyat ikut serta berdasarkan atas keyakinannya bahwa proyek itu akan bermanfaat baginya, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat dan spontanitas, tanpa mengharapkan upah yang tinggi. Sebaliknya, kalau mereka hanya diperintah dan dipaksa oleh atasan untuk menyumbangkan tenaga atau harta bendanya kepada proyek, maka mereka tidak akan turut berpartisipasi dengan semangat. Kedua, partisipasi sebagai individu diluar aktivitas bersama dalam pembangunan. Tipe partisipasi ini tidak memerlukan perintah atau paksaan dari atasannya tetapi berdasarkan kemauan mereka sendiri.

3. Pemanfaatan (Benefits)

Partisipasi dalam menerima hasil atau manfaat pembangunan yang merupakan segala sesuatu yang bisa diperoleh masyarakat setelah adanya program pembangunan, yang mana tidak bisa mereka dapatkan sebelum adanya program pembangunan di pedesaan. Dari segi distribusi dapat dilihat pada jumlah maupun kualitas manfaat. Dari segi lain dapat dibedakan antara material benefit dan social benefits. Material benefits dalam menganalisa akan berhubungan dengan konsumsi atau pendapatan, kekayaan, sedangkan social benefits seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, jalan-jalan dan fasilitas transportasi. (Uphoff 1977)

(8)

4. Evaluasi

Merupakan tahap pengumpulan data mengenai seberapa besar hasil dari suatu proyek pembangunan, dan bagaimana sistem pengawasan untuk menjalankan arah serta dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan proyek pembangunan tersebut. Pada tahap ini masyarakat memberikan umpan balik yang sebagai masukan untuk pelaksanaan proyek selanjutnya. Evaluasi program pembangunan dibedakan menjadi tiga jenis evaluasi, antara lain: 1) Project Contered Evaluation, 2) Political Activities, 3) Public Opinion Efforts. Project Contered Evaluation, bila evaluasi ini dipandang sebagai proses evaluasi formal. Sedangkan Public opinion Efforts, opini publik dalam mengevaluasi suatu program tidak secara langsung melainkan mempengaruhi melalui media masa/surat kabar, misalnya: melalui surat pembaca dalam mengungkapkan beberapa gagasan.

Partisipasi juga suatu bentuk khusus dalam pembagian kekuasaan, tugas dan tanggung jawab dalam komunitas. Selain itu partisipasi dipengaruhi oleh kebutuhan motivasi, struktur sosial, stratifikasi sosial dalam masyarakat, orang akan berpartisipasi menyangkut adanya kebutuhan akan kepuasan, mendapatkan keuntungan, dan meningkatkan status. Menurut Madrie (1986) partisipasi dapat dibedakan lagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Partisipasi dalam menerima hasil-hasil pembangunan :

a. Mau menerima, bersikap menyetujui hasil-hasil pembangunan yang ada. b. Mau memelihara, menghargai hasil pembangunan yang ada.

c. Mau memanfaatkan dan mengisi kesempatan pada hasil pembangunan. d. Mau mengembangkan hasil-hasil pembangunan.

2. Partisipasi dalam memikul beban pembangunan : a. Ikut menyumbang tenaga.

b. Ikut menyumbang uang, bahan serta fasilitas lainnya. c. Ikut menyumbangkan pemikiran, gagasan dan ketrampilan. d. Ikut menyumbang waktu, tanah dan lain sebagainya.

3. Partisipasi dalam pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan :

a. Ikut menerima informasi dan memberikan informasi yang diperlukan. b. Ikut dalam kelompok-kelompok yang melaksanakan pembangunan. c. Ikut mengambil keputusan tentang pembangunan yang dilaksanakan d. Ikut merencanakan dan melaksanakan pembangunan

e. Ikut menilai efektivitas, efisiensi dan relevansi pelaksanaan program. Menurut Ariyani (2007) sesuai dengan pembagian partisipasi tersebut maka partisipasi dalam menerima hasil pembangunan tidak hanya dalam hal menyetujui hasil-hasil pembangunan yang ada tetapi juga mau memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan sehingga pembangunan akan dapat berkesinambungan. Partisipasi dalam memikul beban pembangunan berarti masyarakat ikut berpartisipasi dalam menyumbangkan segala sumber daya yang mereka miliki baik uang, tanah, ketrampilan, ide, dan waktu untuk menunjang tercapainya tujuan pembangunan. Upaya pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya ikut serta

(9)

menerima dan memberikan informasi tetapi juga ikut serta dalam organisasi-organisasi dan kelompok kemasyarakatan.

Kartasubrata (1986), menjelaskan bahwa dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi mencakup faktor-faktor kesempatan, kemauan dan bimbingan. Bila melihat hubungan antara dorongan dan rangsangan dengan intensitas partisipasi dalam pembangunan untuk semua implikasinya adalah bila penduduk diberi lebih banyak kesempatan, ditingkatkan kemampuannya dengan cara memberi peluang untuk dapat memberi lebih banyak pengalaman dan dimotivasi kemauannya untuk berpartisipasi maka partisipasi akan meningkat. Kesempatan untuk berpartisipasi hendaknya tidak hanya diberikan pada waktu pelaksanaannya saja tetapi juga dimulai dari pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian dan kemudian distribusi hasilnya.

Tingkat Partisipasi

Tingkatan partisipasi merupakan derajat tingkat keterlibatan masyarakat dalam sebuah program terlihat dari kesempatan masyarakat untuk terlibat dan mempengaruhi jalannya program. Merujuk pada makalah yang berjudul “A Ladder of Citizen Participation” dalam Journal of The American Planning Association (1969), Arnstein mengemukakan delapan tangga atau tingkatan partisipasi yang menunjukan tingkat keterlibatan masyarakat dalam sebuah program. Delapan tingkat tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Manipulation (Manipulasi)

Pada tingkat ini, dengan mengatasnanamakan partisipasi, masyarakat diikutkan dalam program sebagai ‘stempel karet’ dalam badan penasihat yang berarti bahwa keterlibatan masyarakat hanya sebagai formalitas saja tanpa memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan. Tujuannya adalah dipakai untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh penguasa.

2. Therapy (Terapi)

Pada tingkat terapi atau pengobatan, pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdaayan sebagai penyakit mental dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok orang yang memerlukan pengobatan melalui program yang telah dirancang. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukan menemukan penyebab lukanya.

3. Informing (Menginformasikan)

Pada tingkat ini masyarakat diberikan informasi akan hak, tanggung jawab, dan pilihan terhadap program. Namun seringkali pemberian informasi dari penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah saja dari pemberi program. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik/masukan terhadap program dan tidak memiliki kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi program.

(10)

4. Consultation (Konsultasi)

Pada tingkat ini, masyarakat diminta pendapatnya sebagai suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Tetapi konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering digunakan dalam tingkat ini adalah jajak pendapat, pertemuan warga dan dengar pendapat. Pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan tersebut hanyalah partisipasi palsu. Partisipasi masyarakat diukur dari frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa pulang dan juga seberapa banyak dari kuesioner dijawab. Dengan demikian, pemegang kekuasaan telah memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat.

5. Placation (Menenangkan)

Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana akan tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan. Salah satu strateginya adalah memilih masyarakat miskin yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga. Jika mereka tidak bertanggung jawab dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kekuasaan, maka mereka akan dengan mudah dikalahkan.

6. Partnership (Kemitraan)

Pada tingkat ini kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Kemitraan dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir dengan demikian masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar menawar yang tinggi sehingga akan mampu mempengaruhi suatu perencanaan.

7. Delegated Power (Kekuasaan didelegasikan)

Pada tingkat ini, negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu.Pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuasaan dalam memntukan suatu keputusan. Selain itu masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu meresponnya akan tetapi dengan mengadakan proses tawar-menawar.

8. Citizen Control (Kontrol warga negara)

Pada tingkat ini masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial. Masyarakat mampu apabila ada pihak ketiga yang akan mengadakan perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati pihak ketiga.

(11)

Tingkat partisipasi tersebut kemudian dibagi menjadi tiga level derajat partisipasi (Gambar 1). Tingkat manipulasi dan terapi termasuk kedalam level non-partisipasi, yang menjelaskan bahwa program pembangunan tidak bermaksud untuk memberdayakan masyarakat tetapi membuat pemegang kekuasaan untuk “mendidik” komunitas dengan memberikan pelajaran dan pelatihan namun masyarakat tetap tidak memiliki kesempatan memberikan pendapat. Tingkatan partisipasi informasi dan konsultasi termasuk dalam level tokenisme, dimana komunitas mendapatkan informasi dan mampu menyuarakan pendapat demi perbaikan program tetapi tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi atau diimplementasikan dalam programnya. Keputusan terakhir tetap berada pada pemegang kekuasaan, masyarakat hanya diberi kewenangan searah untuk berpartisipasi dengan memberikan pendapatnya. Placation sebagai level tertinggi dalam tokenisme, mampu memberikan kesempatan kepada komunitas untuk memberikan pendapat kepada pemegang kekuasaan namun penentuan tetap berada pada pemegang kekuasaan. Tingkatan kemitraan juga memberikan kesempatan kepada komunitas untuk bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Tingkatan terakhir yaitu citizen power, pada tahapan ini masyarakat memiliki kewenangan yang besar terhadap penentuan program, dan pelaksanaan program. Tiga level terakhir termasuk kedalam level kekuatan warga negara (citizen power).

Sumber: Arnstein (1969)

Gambar 1 Delapan tingkatan dalam tangga partisipasi masyarakat Non-Partisipasi

Tokenisme

Kekuatan warga negara (Citizen power) Kontrol Warga Negara

Delegasi Kewenangan Kemitraan Placation/ Penenangan Konsultasi Informasi Terapi Manipulasi 8 7 6 5 4 3 2 1

(12)

Kerangka Pemikiran

Program pengembangan kawasan agropolitan ditujukan untuk memaksimalkan potensi daerah setempat, baik ditingkat nasional, provinsi, kabupaten maupun desa. Kesuksesan program ditentukan oleh keberhasilan dari indikator pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), pengembangan budidaya, pengembangan permodalan dan peningkatan fasilitas infrastruktur. Pelaksanaan program agropolitan terbagi dalam tahapan perencanaan tahun 2004-2005, pelaksanaan tahun 2005-2010 dan evaluasi tahun 2010. Penyelenggaraan program agropolitan melibatkan stakeholders seperti halnya program pembangunan kawasan lainnya. Keterlibatan stakeholders menghasilkan peran stakeholders yang dapat dilihat dari pengaruh stakeholders dan kepentingannya bagi masyarakat (IFC 2007). Pengaruh stakeholders diukur dari dukungan dana terhadap program, jaringan yang dimiliki serta personality pihak masing-masing stakeholders. Variabel lain yang mempengaruhi peran stakeholders adalah tingkat kepentingan stakeholders menurut masyarakat terkait dengan pentingnya keberadaan pihak tersebut dilihat dari tujuan keterlibatan stakeholders untuk kepentingan masyarakat, kepentingan organisasi atau kepentingan individu stakeholders tersebut. Peran stakeholders selama program yang didapatkan dari analisis stakeholders menurut Groenendijk (2003) serta ditampilkan melalui kuadran dengan metode power and interest grid (IFC 2007) yang dilihat dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program agropolitan. Peran masyarakat juga dipengaruhi oleh posisi pihak yang berkepentingan tersebut dalam klasifikasi stakeholders menurut pengaruh dan kepentingannya.

Salah satu elemen penting dalam program agropolitan adalah keterlibatan komunitas yang merupakan pelaku utama dalam proses pengembangan kawasan, karenanya diperlukan partisipasi komunitas dalam setiap tahapan program. Oleh karena itu perlu dilihat tingkat partisipasi dan bentuk partisipasi masyarakat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan yang terbagi menjadi pelaksanaan program pengembangan SDM, pengembangan budidaya, pengembangan budidaya, dan peningkatan fasilitas infrastruktur serta tingkat partisipasi masyarakat dalam evaluasi program. Pengukuran partisipasi masyarakat dilihat dari derajat wewenangnya dalam pengambilan keputusan dan digolongkan menjadi tingkatan non partisipasi, tokenisme dan citizen power oleh Arnestein (1969). Selain itu keterlibatan masyarakat juga menghasilkan bentuk partisipasi masyarakat dalam menyumbang dana, materi, pemikiran maupun tenaga saat aktivitas pelaksanaan program agropolitan. Pada proses menjalankan program tentunya masyarakat berinteraksi dengan stakeholders sehingga memungkinkan untuk diteliti hubungan antara peran stakeholders dengan partisipasi masyarakat. Dalam prosesnya juga diteliti hubungan antara masing-masing elemen peran yaitu pengaruh dan kepentingan yang dihubungkan pula dengan partisipasi masyarakat pada setiap tahapan program agropolitan. Kerangka pemikiran secara rinci dijabarkan melalui Gambar 2

(13)

Keterangan : = Pengaruh secara langsung = Hubungan saling mempengaruhi Gambar 2 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

1. Diduga terdapat perbedaan peran dan posisi masing-masing stakeholders pada tahapan program agropolitan.

2. Diduga terdapat perbedaan tingkat partisipasi dan bentuk partisipasi masyarakat pada setiap tahapan program agropolitan.

3. Diduga terdapat hubungan antara peran stakeholders yang disebabkan oleh pengaruh dan kepentingan stakeholders dengan partisipasi masyarakat dalam program agropolitan. Posisi Stakeholders menurut klasifikasi IFC (2007) Partisipasi Masyarakat 1. Tingkat Partisipasi 2. Bentuk Partisipasi Keterlibatan Stakeholders dalam

program agropolitan, yaitu: 1. Pengembangan SDM 2. Pengembangan Budidaya 3. Pengembangan Permodalan 4. Fasilitas Infrastruktur Pengaruh Stakeholders  Kekuatan dana  Jaringan  Personality Tingkat Kepentingan  Kepentingan Masyarakat  Kepentingan Organisasi  Kepentingan Pribadi Peran Stakeholders

(14)

Definisi Konseptual

Definisi konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Stakeholders program agropolitan merupakan pihak yang terlibat dalam program agropolitan. Ketepatan keterlibatan para pihak memerlukan identifikasi para pihak, peranan, fungsi, dan tingkat kepentingan. Stakeholders yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan pihak yang terlibat dalam program agropolitan selain masyarakat, karena masyarakat disini merupakan obyek yang akan diukur partisipasinya. Stakeholders hanya digolongkan menjadi pihak menjadi pemerintah dan swasta.

2. Tahap perencanaan program agropolitan merupakan langkah awal yaitu penyusunan masterplan serta penetapan lokasi sosialisasi agropolitan yang terdiri dari tahap pembuatan masterplan agropolitan dan sosialisasi awal yang terkait dengan proram agropolitan baik di tingkat pemerintah kabupaten maupun tingkat lokal desa.

3. Tahap pelaksanaan program agropolitan merupakan tahap implementasi dan internalisasi program ke masyarakat. Tahap sosialisasi terlihat dari interaksi antar stakeholders dengan masyarakat dalam suatu pemahaman sehingga diharapkan adanya kesamaan tujuan mewujudkan keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan. Pada tahap pelaksanaan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan seperti pengorganisasian sumber daya yang terlibat dalam program, penyusunan untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas, pengarahan pelaksanaan program, pengawasan, pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. 4. Tahap evaluasi program agropolitan merupakan merupakan tahap dimana

masyarakat menilai proses dan hasil dari pelaksanaan program pembangunan agropolitan, tahapan ini merupakan bagian dari sistem pengawasan untuk mengetahui arah program serta dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan program pembangunan tersebut.

5. Peran stakeholders merupakan salah satu bentuk kontribusi dari keterlibatan stakeholders dalam kegiatan sesuai dengan statusnya dalam lembaga dari mana dia berasal.

Definisi Operasional

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini menjelaskan pengukuran untuk masing-masing variabel:

1. a. Usia adalah lama hidup responden dari lahir sampai penelitian dilakukan yang diukur dengan skala rasio. Penggolongan usia mengacu pada Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006) yang dikategorikan atas: 1 Dewasa awal/dini : 18-29 tahun

2 Dewasa pertengahan/madya : 30-50 tahun 3 Dewasa tua/lanjut : > 50 tahun ke atas

(15)

b. Jenis pekerjaan adalah adalah profesi yang dijalankan responden untuk menopang kebutuhan hidupnya. Pengukuran dengan skala nominal yang dikategorikan menjadi enam kategori, yaitu petani, buruh tani, wiraswasta, PNS, aparat desa dan pekerjaan lain.

1. Petani, 2. Buruh Tani, 3. Wiraswasta, 4. PNS, 5. Aparat Desa, 6. Pekerjaan lain.

c. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir responden secara formal yang dikategorikan atas 6 kategori menurut tingkatan pendidikan yaitu:

1. SD, 2. SMP, 3. SMA, 4. D3, 5. S1, 6. S2.

2. Tingkat Partisipasi, adalah tingkatan partisipasi yang dicapai masyarakat dalam tangga partisipasi Arnstein (1969), dalam program agropolitan. Menyangkut tiga tahapan yakni perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Tingkatan partisipasi adalah keikutsertaan anggota dalam semua tahapan kegiatan sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Adapun kedelapan tingkatan partisipasi tersebut yaitu tahap manipulasi, terapi, pemberitahuan, konsultasi, penenangan, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan kontrol masyarakat.

a) Tahap manipulasi, dinyatakan sebagai bentuk partisipasi yang tidak menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak dalam suatu program. Pihak pemerintah maupun swasta sangat dominan pada tahap awal ini. b) Tahap terapi, bentuk ini seperti sebuah dengar pendapat dengan

mengumpulkan beberapa penduduk lokal untuk saling tanya jawab dengan pemerintah atau swasta, sedangkan pendapat dari penduduk lokal sama sekali tidak dapat mempengaruhi kedudukan program agropolitan yang sedang berjalan.

c) Tahap pemberitahuan, yaitu sekedar pemberitahuan searah atau semacam sosialisasi dari para stakeholders yang dalam hal ini adalah pemerintah dan swasta terhadap masyarakat.

d) Tahap konsultasi, yaitu partisipasi dimana anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi oleh semua pihak sehingga tetap dilibatkan dalam menentukan keputusan.

e) Tahap penenangan merupakan suatu bentuk partisipasi dengan materi, artinya ketika akan muncul suatu konflik antara pemerintah dan masyarakat, masyarakat diberikan insentif tertentu sehingga mereka segan berbicara untuk menentang program.

(16)

f) Tahap kemitraan, yaitu partisipasi fungsional dimana semua pihak mewujudkan keputusan bersama (antara swasta, pemerintah, dan komunitas) dalam suatu negosiasi.

g) Tahap pendelegasian kekuasaan, bentuk partisipasi yang aktif, dimana anggota masyarakat melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. h) Tahap kontrol masyarakat yaitu model yang sudah terbentuk

independensi dari monitoring oleh masyarakat terhadap program dan juga pemerintah.

Partisipasi masyarakat secara keseluruhan dapat dilihat dari indikator tingkatan setiap partisipasi, maka nilai setiap indikator (baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan/implementasi, dan evaluasi) akan dihitung skor dari setiap pertanyaan dengan kategori:

1. Tidak Pernah Berpartisipasi/ TD, diberi skor 1 2. Jarang Berpartisipasi/ JR, diberi skor

3. Selalu Berpartisipasi/ SL, diberi skor 3

Penggolongan partisipasi seperti dikutip dalam Saputra (2012) yang menggolongkan kedelapan tangga tersebut menjadi tiga kategori yaitu non-partisipasi (tangga 1-2), tokenisme (tangga 3–5) dan Citizen Power (kontrol masyarakat) (tangga 6–8). Penggolongan tersebut didasarkan pada skor pertanyaan dalam kuesioner kemudian dijumlahkan. maka pengukuran tingkat partisipasi secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Tangga partisipasi berdasarkan tiga kategori dari delapan tangga partisipasi Arnstein

Partisipasi Masyarakat

Tangga Partisipasi Arnstein (1969)

1 – 2 3 – 5 6 – 8

Non-partisipasi Tokenisme Citizen Power

Skor Skor Skor

Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi Skor Partisipasi Keseluruhan Keterangan:

* Skor partisipasi keseluruhan: Non partisipasi total skor: 50-75 Tokenisme total skor: 76-112

Citizen power total skor: 113-150

1. Bentuk partisipasi merupakan wujud peran serta masyarakat dalam menyumbang melalui kehadiran dan sumbangan lainnya yaitu sumbangan tenaga, pemikiran, materi atau dana.

(17)

1. Menyumbang materi, 2. Menyumbang pikiran, 3. Menyumbang tenaga, 4. Menyumbang uang, 5. Tidak menyumbang.

2. Klasifikasi stakeholders dalam agropolitan merupakan pengelompokan stakeholders berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya terhadap program agropolitan. Diukur dengan menggunakan tangga stakeholders dari yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang tertinggi, karena jumlah stakeholders yang akan dilihat perannya ada 14 stakeholders maka tangga tersebut memiliki 14 tingkatan (Gambar 3):

1) Tangga Tertinggi memiliki skor 14 dengan total 381-420 2) Tangga ke-13 memiliki skor 13 dengan total 351-380 3) Tangga ke-12 memiliki skor 12 dengan total 321-350 4) Tangga ke-11 memiliki skor 11 dengan total 301-320 5) Tangga ke-10 memiliki skor 10 dengan total 271-300 6) Tangga ke-9 memiliki skor 9 dengan total 241-270 7) Tangga ke-8 memiliki skor 8 dengan total 211-240 8) Tangga ke-7 memiliki skor 7 dengan total 181-210 9) Tangga ke-6 memiliki skor 6 dengan total 151-180 10) Tangga ke-5 memiliki skor 5 dengan total 121-150 11) Tangga ke-4 memiliki skor 4 dengan total 91-120 12) Tangga ke-3 memiliki skor 3 dengan total 61-90 13) Tangga ke-2 memiliki skor 2 dengan total 31-601 14) Tangga terendah memiliki skor 1 dengan total 1-30

Gambar 3 Tangga tingkatan pengaruh dan kepentingan stakeholders

Skor dari tingkat pengaruh pada pembuatan grid merupakan skor rataan tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang dijumlahkan masing-masing responden menjadi skor keseluruhan responden, begitupun dengan skor tingkat kepentingan. Langkah selanjutnya kemudian dihubungkan menjadi sebuah titik dalam grafik.

(18)

3. Peran stakeholders merupakan keterlibatan suatu pihak dalam memfasilitasi program agropolitan sesuai dengan fungsi dan tugas pokok. Peran tersebut dapat dilihat dari derajat peran menurut masyarakat yang di ukur dengan tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh suatu pihak dalam program. a. Tingkat Pengaruh diartikan sebagai kemampuan orang, kelompok

maupun organisasi yang dapat memaksa atau membujuk pihak lain dalam membuat keputusan dan mengikuti beberapa tindakan dalam program pengembangan kawasan agropolitan mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan maupun evaluasi yang dapat diukur menjadi:

1. Tingkat pengaruh rendah (Tidak Pernah/TD), total skor: 36-60 2. Tingkat pengaruh sedang (Jarang /JR), total skor: 61-84 3. Tingkat pengaruh tinggi (Selalu/SL), total skor: 85-108

Sedangkan pada pada masing-masing tahapan didapatkan skor berbeda, pada tahap perencanaan skoringya sebagai berikut:

1. Tingkat pengaruh rendah (Tidak Pernah/TD), total skor: 6-10 2. Tingkat pengaruh sedang (Jarang /JR), total skor: 11-14 3. Tingkat pengaruh tinggi (Selalu/SL), total skor: 15-18

Pada tahap pelaksanaan:

1. Tingkat pengaruh rendah (Tidak Pernah/TD), total skor: 24-40 2. Tingkat pengaruh sedang (Jarang /JR), total skor: 41-56 3. Tingkat pengaruh tinggi (Selalu/SL), total skor: 57-72

Pada tahap evaluasi:

1. Tingkat pengaruh rendah (Tidak Pernah/TD), total skor: 6-10 2. Tingkat pengaruh sedang (Jarang /JR), total skor: 11-14 3. Tingkat pengaruh tinggi (Selalu/SL), total skor: 15-18

b. Tingkat Kepentingan diartikan sebagai perlu atau tidaknya suatu pihak dalam mendukung program agropolitan demi kepentingan masyarakat, organiasasi maupun kepentingan individu pada setiap tahap program maka ukurannya:

1. Tingkat kepentingan rendah (kepentingan pribadi)total skor:42-70 2. Tingkat kepentingan sedang (kepentingan organisasi)total skor:71-98 3. Tingkat kepentingan tinggi (kepentingan masyarakat)total skor:99-126 Skor pada tiap tahapan program mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi adalah sebagai berikut:

(19)

1. Tingkat kepentingan rendah (kepentingan pribadi)total skor: 14-23 2. Tingkat kepentingan sedang (kepentingan organisasi)total skor: 24-32 3. Tingkat kepentingan tinggi (kepentingan masyarakat)total skor:33-42 4. Berdasarkan teori hasil peran stakeholders kemudian dilihat pengaruh dan

kepentingan pihak yang terdaftar sebagai stakeholders. Variabel pengaruh dapat diukur dengan kekuatan Jaringan, kekuatan dana, dan personality sedangkan variabel kepentingan dapat dilihat dari kepentingan yang diperjuangkan stakeholders, yaitu : masyarakat, organisasi atau individu. a. Kekuatan Jaringan merupakan kuat lemahnya pengaruh setiap

stakeholders terhadap masyarakat melalui proses interaksi dan relasi individu masyarakat dengan individu lain dalam komunitas maupun pihak eksternal. Pengukurannya didasarkan pada kerjasama yang terbentuk sebagai hasil dari interaksi sosial tersebut.

1. Tingkat Jaringan rendah (Kurang Luas), total skor :12-23 2. Tingkat Jaringan sedang (Cukup Luas), total skor :24-35 3. Tingkat Jaringan tinggi (Luas), total skor: 36-48

b. Kekuatan dana merupakan jumlah dukungan finansial/ materi yang diberikan untuk mendukung program agropolitan.

1. Kekuatan dana rendah (Tidak memberikan/ TD), total skor: 12-23 2. Kekuatan dana sedang (Jarang memberikan/ JR), total skor :24-35 3. Kekuatan dana tinggi (Selalu memberikan/ SL), total skor :36-48 c. Personality merupakan karakteristik individu atau suatu pihak yang

menyebabkan perilaku seseorang diterima atau tidak oleh masyarakat karena keterbukaannya dan mendengarkan pendapat masyarakat dapat terlihat juga dari munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku suatu pihak dalam menjalankan program agropolitan yang mempengaruhi penerimaan masyarakat.

1. Pengaruh Personality rendah, total skor :12-23 2. Pengaruh Personality sedang, total skor: 24-35 3. Pengaruh Personality tinggi, total skor :24-35

Gambar

Gambar 1  Delapan tingkatan dalam tangga partisipasi masyarakat Non-Partisipasi

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa “ Skripsi ” yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana

Penelitian geofisika ini dilakukan dengan metode geomagnetik yang bertujuan untuk mengetahui pola anomali medan magnet di Situs Candi Losari sehingga dapat memberikan

• Ketentuan LD akan tetap berlaku apabila Penjual tidak dapat mencapai COD pada jadwal yang telah disepakati, dengan perhitungan [[Tarif (Component A+B) atau BPP] x Kapasitas Kontrak

Namun , prt yang baru dua bu- lan bekerja di rumah korban itu tak berku- tik saat polisi menemukan uang 50 dolar amerika dari dalam dom- petnya.. sam- bil tertunduk, pelaku

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan serta panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, berkah serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat

Jual beli merupakan aktifitas yang dijalani manusia sejak zaman Rasulullah SAW hingga sampai saat ini, Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, khususnya di

Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui proses identifikasi masalah lingkungan hidup yang dapat dilakukan mahasiswa pada matakuliah Ekologi Manusia,

Untuk perencanaan pencapaian kecukupan daging sapi di Papua Barat adalah dengan melihat hubungan data jumlah Induk dan jumlah anak sapi (output), hasil yang terbaik