• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor

Teori basis ekonomi memiliki pandangan bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan non basis. Hanya kegiatan basislah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Tarigan, 2005). Teori basis ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu sederhana, mudah diterapkan, dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah dan dapat memberikan peramalan jangka pendek pertumbuhan suatu wilayah (Glasson, 1990).

Sjafrizal (2008) menyatakan bahwa sektor basis merupakan sektor yang kegiatannya dapat mendatangkan pendapatan dari luar wilayah, sektor yang fungsi permintaanya bersifat exogenous dan sektor yang dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah serta menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang cukup tinggi. Sektor non basis menurut sjafrizal merupakan sektor-sektor selain sektor basis yang kurang potensial, tetapi sektor ini berfungsi sebagai penunjang sektor basis atau disebut juga service basis atau service industries. Sektor non basis kegiatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal (daerah setempat) serta permintaannya dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat setempat.

Sektor basic terdiri dari usaha-usaha lokal yang aktivitasnya bergantung pada faktor-faktor eksternal. Kehidupan usaha sektor ini banyak tergantung dari usaha-usaha nonlokal. Perikanan misalnya dapat dikategorikan sebagai sektor basic karena sebagian besar produk ini dikonsumsi di luar misalnya untuk restoran, pabrik pengalengan dan berbagai industri lainnya yang berada di wilayah lain. Sektor non basic di sisi lain, terdiri dari usaha-usaha yang secara keseluruhan tergantung dari kondisi usaha lokal, misalnya usaha warung makan yang menjual makanannya pada konsumen lokal sehingga produknya sebagian besar dikonsumsi lokal (Fauzi, 2010).

(2)

Analisis shift share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional. Menurut Stevens dan Moore (1980), Keunggulan analisis shift share antara lain; (1). Memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi. (2). Memungkinkan seorang pemula mempelajari struktur perekonomian dengan cepat. (3). Memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dengan cukup akurat.

Location Quotient (LQ) merupakan indeks yang membandingkan sumbangan dalam persen aktivitas tertentu dengan sumbangannya dalam persen beberapa agregasi dasar. Pada tahap awal LQ dapat sangat bermanfaat bagi analisis ekspor dan impor regional. Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu sektor ekonomi termasuk dalam sektor basis atau sektor non basis di suatu daerah dalam periode tertentu. Sektor basis dikatakan telah mampu berswasembada di wilayahnya dan dapat mengirim atau menyumbangkan sebagian produksinya ke wilayah lain, sedangkan kebalikannya termasuk dalam sektor non basis (Tarigan, 2005).

Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi perikanan adalah melalui pendekatan Minimum Requirement Approach atau MRA. Meskipun penggunaan MRA biasanya digunakan untuk menggambarkan ekonomi wilayah secara keseluruhan, pendekatan ini dapat juga digunakan untuk melihat potret spesifik sektor perikanan relatif terhadap sektor ekonomi lainnya dalam suatu wilayah. Pendekatan ini pertama kali dikenalkan oleh Ullman dan Dacey pada tahun 1960 yang kemudian masih banyak digunakan untuk melihat keragaman ekonomi sektoral di suatu wilayah sampai saat ini. Minimum Requirement Approach mengasumsikan bahwa suatu wilayah tidak akan memenuhi permintaan dari luar sampai kebutuhan wilayahnya dipenuhi terlebih dahulu. Minimum Requirement Approach membutuhkan pendugaan variable yang dianalisis terlebih dahulu (produksi, tenaga kerja, atau yang lainnya) untuk kebutuhan lokal (Fauzi, 2010).

(3)

2.2. Karakteristik Perikanan Laut

Pada pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap, terdapat hal yang paling kritis karena sumberdaya perikanan adalah barang publik (public goods), yaitu rezim kepemilikan yang bersifat common property (kepemilikan bersama) dan rezim akses yang bersifat open access (siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa izin dari siapapun). Setiap orang tidak dapat dibatasi dalam penggunaan manfaat yang diberikan barang publik dan tidak ada persaingan dalam mengkonsumsinya, sehingga eksploitasi atau pemanfaatan terus berjalan tanpa pemeliharaan (Zulbainarni, 2012). Pemanfaatan sumberdaya ini bila tidak diatur dengan baik, maka akan cenderung ke arah pemanfaatan yang berlebih dan akan menimbulkan dampak yang dapat mengancam kelangsung usaha itu sendiri. Oleh sebab itu, perlu adanya pengelolaan yang seksama agar produksi optimum dapat terjaga.

Perikanan tangkap di Indonesia berdasarkan lokasi pemanfaatannya, diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu (1) perikanan lepas pantai (offshore fisheries); (2) perikanan pantai (coastal fisheries) dan (3) perikanan darat (inland fisheries). Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir. Masalah utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkap yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan (overfishing) dan degradasi kualitas fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan (Dahuri et.al., 2001).

Komoditi unggulan perikanan tangkap berasal dari habitat tertentu, bisa dari wilayah yang luas bisa juga merupakan wilayah yang sempit. Masing-masing wilayah mempunyai karakteristik sendiri. Jenis ikan karang tentunya hidup di perairan karang, ikan pelagis di perairan permukaan dan ikan demersal cenderung hidup di dasar perairan. Beberapa jenis ikan ada yang beruaya sangat jauh, khususnya ikan oseanis yang hidupnya lebih banyak di perairan samudera (Diniah, 2008).

Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Menurut Puslitbang Oseanologi LIPI (2001) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6,41 juta ton per tahun yang terdiri dari ikan pelagis 4,77 juta ton, ikan demersal

(4)

1.37 juta ton, ikan karang konsumsi 145 ribu ton, udang penaeid 94.80 ribu ton, lobster 4.80 ribu ton, dan cumi-cumi 28.25 ribu ton. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP Tahun 2011, produksi perikanan laut Indonesia tahun 2010 adalah sebesar 5.039.446 ton, bila dibandingkan dengan potensi lestari yang ada ternyata tingkat pemanfaatannya masih di bawahnya yaitu sebesar 78.62%. Perairan Laut Sumatera Barat merupakan bagian dari wilayah Pengelolaan Samudera Hindia dimana potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan berada di Samudera Hindia. Komoditas perikanan tangkap unggulan Sumatera Barat adalah tuna.

2.3. Sumberdaya Perikanan Tuna

Sumberdaya tuna merupakan salah satu dari beberapa sumberdaya potensial yang sudah terbukti besar sumbangannya bagi perekonomian perikanan nasional. Produksi tuna di perairan Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar 911.065 ton yang terdiri dari Tunas, Skipjack tunas dan Eastern little tunas, walaupun secara nasional pemanfaatannya tidak merata diseluruh perairan Indonesia (KKP, 2011). Sumberdaya tuna menyebar di perairan Indonesia dari barat hingga ke timur dan lebih banyak menyebar diperairan bebas. Oleh karena itu, tidak banyak nelayan tradisional yang turut memanfaatkan sumberdaya ini. Pemanfaatan sumberdaya tuna lebih banyak dilakukan oleh perusahaan skala menengah ke atas, karena memerlukan investasi yang besar.

Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scrombidae, memiliki ciri fisik yaitu; tubuh seperti cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor berbentuk bulan sabit (Saanin 1984). Tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari, tuna besar (yellowfin tuna, bigeye, southern bluefin tuna, albacore) dan ikan mirip tuna (tuna-like species), yaitu marlin, sailfish dan swordfish (KKP, 2005). Morfologi tuna dapat dilihat pada Gambar 3 (tuna sirip kuning) dan Gambar 4 (tuna mata besar).

(5)

Klasifikasi ikan tuna (Serdy 2004 dan FAO 2012) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridae Famili : Scombridae Genus : Thunnus

Spesies : Albacore tuna (Thunnus alalunga) Bluefin tuna (Thunnus thynnus) Bigeye tuna (Thunnus obesus) Skipjack tuna(Katsuwonus pelamis) Yellowfin tuna (Thunnus albacares) Blackfin tuna (Thunnus atlanticus)

Little tuna (Euthynnus alletteratus; Euthynnus affinis) Southern bluefin tuna(Thunnus maccoyii)

Frigate mackerel (Auxis thazard; Auxis rochei)

Tuna merupakan jenis pelagic yang menyebar luas di seluruh perairan tropis dan sub-tropis. Di Samudera Hindia dan Samudera Atantik, tuna menyebar diantara 40° LU dan 40° LS (Collete dan Naven 1983 diacu dalam Julianingsih 2004). Tuna merupakan jenis ikan pelagis besar yang memiliki kekhasan sebagai perenang cepat dan peruaya jauh. Bentuknya menyerupai cerutu dan memanjang. Ikan tuna tergolong jenis ikan yang aktif dan umumnya menyebar di perairan oceanik hingga perairan dekat pantai. Pada kawasan perairan Samudera Hindia bagian barat Sumatera, jenis tuna besar yang ada hanya tiga jenis yaitu; madidihang (Yellowfin tuna), tuna mata besar (Bigeye tuna) dan albakora (Albacore), sementara tuna jenis sirip biru selatan, ekor panjang, sirip biru utara dan sirip hitam tidak dijumpai (Uktolseja et al., 1998). Kota Padang merupakan penghasil tuna jenis yellowfin (Gambar 3) dan bigeye (Gambar 4). Wilayah penyebaran tuna ditampilkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

(6)

Gambar 1. Wilayah Penyebaran Tuna Mata Besar (Bigeye) Sumber : Barto dalam FAO (2012)

Gambar 2. Wilayah Penyebaran Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) Sumber : Barto dalam FAO (2012)

Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera. Kelompok tuna merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang secara komersial dibagi menjadi kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri dari tuna mata

(7)

besar, madidihang, albakora, tuna sirip biru selatan, dan tuna abu-abu, sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (KKP 2003).

Gambar 3. Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) Sumber : WWF Indonesia, 2011

Gambar 4. Tuna Mata Besar (Bigeye) Sumber : WWF Indonesia, 2011

Pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) dapat mencakup seleksi penggunaan teknologi. Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1998) dapat dilakukan melalui pengkajian aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Teknologi yang dikembangkan ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya dan dapat digunakan secara efektif dari segi teknis, dapat diterima masyarakat dari segi sosial serta secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan.Aspek lain yang tidak dapat diabaikan adalah kebijakan pemerintah. Pada penelitian ini teknologi pengembangan perikanan tuna mencakup teknologi prasarana dan sarana perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana.

(8)

2.4. Tuna Longline

Ikan tuna di PPS Bungus Padang ditangkap menggunakan armada tuna longline. Novita dalam Kosasih (2007) mengatakan bahwa konstruksi kapal ikan harus sekuat mungkin, tetapi tubuhnya tidak terlalu berat, karena perlu olah gerak selincah mungkin serta tahan terhadap gelombang. Seperti halnya setiap kapal ikan, kapal tuna longline dibangun dengan konstruksi yang disesuaikan dengan bentuk, cara penggunaan alat tangkap dan daerah penangkapannya. Tunalongline menggunakan pancing dengan panjang dapat mencapai 15-75 km dan untaian ribuan mata pancing yang umumnya dikhususkan untuk menangkap jenis bigeye dan yellowfin.

Armada penangkapan merupakan salah satu faktor yang turut menentukan jumlah dan hasil tangkapan, juga sebagai sarana untuk menunjang operasional penangkapan ikan secara efesien dan efektif, yang bertujuan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. Ketersediaan armada penangkapan dalam ukuran tertentu akan sangat menentukan jumlah dan hasil tangkapan. Desain armada tangkap tuna longline skala 30 GT ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Konstruksi Armada Tuna Longline Sumber: LP Unpatti, 2012

Armada tangkap tuna longline secara khusus dirancang dan digunakan untuk mengoperasikan pancing (longline) yang dilengkapi dengan satu atau beberapa perlengkapan penangkapan ikan. Perlengkapan tuna longline berupa penarik/penggulung tali (linehauler), pengatur tali, pelempar tali, bangku umpan, ban berjalan, bak umpan hidup atau mati dan alat penyemprot air kapal. Armada tangkap tuna longline selain untuk penangkapan juga sekaligus menampung, menyimpan mendinginkan, dan mengangkutnya. (LP Unpatti, 2012).

(9)

2.5. Pengembangan Sumberdaya Perikanan

Tiga komponen sustainable fishery system menurut Charles (2001), yaitu natural system, management system, dan human system. Natural system terdiri dari sumberdaya ikan itu sendiri, ekosistem, dan lingkungan biofisik. Human system adalah aspek yang menyangkut aktivitas manusia yang terdiri atas nelayan, sektor pasca-panen dan konsumen, rumah tangga dan komunitas nelayan, serta kondisi sosial ekonomi budaya dan lingkungan di masyarakat pesisir. Management system merupakan sistem pengelolaan perikanan yang terdiri atas perencanaan dan kebijakan perikanan, pembangunan dan pengelolaan perikanan serta penelitian di bidang perikanan. Hubungan antara ketiga komponen dalam keberlanjutan sistem perikanan dapat dilihat pada Gambar 6.

(10)

Natural system merupakan faktor utama keberlanjutan (sustainability). Sistem alam ini tidak akan terpengaruh tanpa adanya campur tangan manusia. Oleh karenanya, peran manusia sangat penting dalam keberlanjutan. Interaksi antara ketiga komponen akan menyebabkan keseimbangan yang baru pada natural system. Pada daerah tropis, tekanan sumberdaya (natural system) lebih besar karena jumlah masing-masing spesies yang sedikit.

Dalam rangka mencapai keseimbangan semua sistem, maka diperlukan pengelolaan yang terpadu oleh segenap stakeholder. Sebagaimana yang dikemukakan Aldon et al., (2011) bahwa sebuah kemitraan yang kuat dan terorganisir antara masyarakat, nelayan dan pengambil kebijakan dengan saling melengkapi satu sama lain akan mendukung faktor lingkungan (sumberdaya).

2.6. Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir

Kerusakan akibat bencana alam telah meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir (Millennium Ecosystem Assessment dalam Costanza dan Farley. 2007). Sebagian besar kerusakan ini terkonsentrasi di pantai, tsunami di Asia dan badai katrina hanya dua contoh terakhir. Akibatnya, pertumbuhan penduduk dan peningkatan jumlah infrastruktur yang dibangun di wilayah pesisir rentan terhadap kerusakan.

Berdasarkan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, defenisi wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Sedangkan defenisi perairan pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai serta yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna.

Pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut, selain kaya akan sumberdaya alam juga sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia dan bencana alam (Dahuri et al. 2001). Menurut Ruswandi (2009), terdapat enam elemen penyebab bencana alam di daerah pesisir yaitu; angin kencang/puting-beliung, gempa bumi, tsunami,

(11)

gelombang badai pasang, banjir, dan gerakan tanah. Selanjutnya ada empat elemen sebagai akibat bencana yaitu; abrasi, akresi, erosi dan intrusi air laut. Elemen potensi bencana alam yang terdapat di wilayah pesisir tersebut adalah sebagai berikut:

a. Angin Kencang

Angin kencang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan udara yang sangat tinggi pada zona tertentu di atmosfer. Perbedaan tersebut menimbulkan gerakan putaran angin yang kuat, disertai dengan hujan lebat dan menimbulkan efek destruktif karena membawa energi yang besar. Berbeda dengan badai tropis, angin kencang berlangsung singkat, dari hitungan detik hingga beberapa menit. Dampak angin kencang pada wilayah pesisir sulit dikurangi sekalipun dengan populasi mangrove yang padat,hal ini disebabkan arah datangnya angin tersebut berasal dari atas (Fritz dan Blount, 2006).

b. Gelombang Laut

Gelombang badai pasang (storm tide) adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras (BNPB, 2009).

Berdasarkan gaya pembangkitnya, gelombang laut (ocean wave) secara garis besar dikelompokkan dalam tiga jenis (Macmillan, 1966; Mihardja dalam Latief, 2008), yaitu:

 Gelombang angin atau ombak (wind wave), gelombang ini dibangkitkan oleh angin .

 Gelombang pasang surut atau gelombang pasang (tidal wave) sering disebut pasang surut (tide) disingkat pasut yang terlihat secara kasat mata sebagai pasang naik (flood tide) dan pasang surut (ebb tide). Keadaan pasang surut ini di laut sangat ditentukan oleh posisi bumi–bulan–matahari. Pada waktu bulan purnama dimana posisi bumi–bulan–matahari dalam satu garis lurus, maka muka laut saat pasang sangat tinggi dan sewaktu surut sangat rendah.

(12)

Bila posisi bumi–bulan–matahari membentuk sudut 90 derajat, maka muka laut saat pasang tidak terlalu tinggi dan saat surut tidak terlalu rendah.

 Gelombang badai (storm surge), yaitu gelombang yang timbul akibat angin kuat atau badai (storm) yang menekan air laut ke arah garis pantai dengan ketinggian kurang lebih empat meter mengakibatkan runtuhnya lereng gisik (landfall). Badai tersebut terjadi akibat persentuhan uap yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu muka air laut dengan lapisan atmosfer yang dingin dan basah, sehingga terjadi perpindahan energi dari laut ke atmosfer. Jika gelombang badai terjadi pada saat pasang, maka kekuatan pasang dan kekuatan badai menyatu dan menghasilkan gelombang badai yang lebih dahsyat.

c. Tsunami

Tsunami adalah rangkaian gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut (BNPB, 2009). Adapun pembangkit gelombang panjang tsunami ini diantaranya adalah gempa bumi dangkal (kedalaman epicentre kurang dari 40 km) yang berpusat di tengah perairan dengan magnitude yang cukup besar, yaitu lebih dari 6,4 SR. Syarat lainnya adalah gempa tektonik yang terjadi merupakan gempa vertikal yang melibatkan pergeseran vertikal lempengan dengan luasan yang cukup besar. Berdasarkan jarak bangkitnya, tsunami dibedakan atas tiga jenis yaitu tsunami jarak pusat gempa ke lokasi sejauh 200 km yang terjadi kurang dari 30 menit, tsunami jarak menengah sejauh 200-1000 km (terjadi 30 menit–2 jam setelah gempa), dan tsunami jarak jauh lebih dari 1000 km yang terjadi lebih dari 2 jam setelah gempa (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Menurut Sonak, Pangam and Giriyan (2008), tsunami adalah fenomena yang sangat tak terduga dan negara-negara yang terkena dampak di wilayah ini sama sekali tidak siap untuk menghadapi peristiwa bencana semacam ini. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami berdampak sangat parah bagi manusia dan alam. Oleh karena itu, mitigasi bencana menjadi solusi dalam mengurangi dampak bencana yang terjadi.

(13)

d. Abrasi

Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi (BNPB, 2009).

e. Erosi

Erosi terdiri atas tiga jenis yaitu; erosi gisik (beach) yang dicirikan oleh adanya tebing laut (sea cliff) yang terjal dan terdapatnya singkapan endapan batuan, erosi tebing sungai yang terjadi akibat gerusan arus sungai pada tebing sungai-sungai besar dan erosi permukaan yang terjadi akibat adanya aliran air permukaan yang menggerusi material hasil pelapukan (Latief, 2008).

f. Longsor

Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau bebatuan, ataupun pencampuran keduanya menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (BNPB, 2009). Apabila beban di atas lapisan keras melebihi daya dukung yang diijinkan, maka kemungkinan besar akan terjadi longsor/keruntuhan (land slide) atau amblesan/ perosokan (settlement/land subsidence).

g. Gempa Bumi

Menurut BNPB (2009), gempa bumi adalah peristiwa pelepasan energi yang diakibatkan oleh pergeseran/pergerakan pada bagian dalam bumi (kerak bumi) secara tiba-tiba. Tipe gempa yang umum ada dua, yaitu gempa tektonik dan gempa vulkanik. Dampak dari gempa bumi pada banyak kasus menimbulkan kerugian harta benda bahkan korban jiwa.

h. Banjir

Banjir merupakan limpasan air yang melebihi tinggi muka air normal, sehingga melimpas dari palung sungai yang menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di sisi sungai. Pada umumnya banjir terjadi akibat curah hujan yang tinggi di atas normal sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan

(14)

anak sungai alamiah serta sistem drainase dangkal penampung banjir buatan yang ada tidak mampu akumulasi air hujan tersebut sehingga akibatnya meluap (BNPB, 2009).

i. Akresi

Akresi muncul akibat adanya pendangkalan di muara sungai yang disebabkan oleh tingginya kandungan material tersedimentasi yang berasal dari hasil erosi akibat aktivitas`manusia di bagian hulu. Oleh karena itu, kecepatan timbulnya akresi dapat diperlambat dengan aktivitas penghijauan di areal tangkapan air dan sekitar bendungan (Ruswandi 2009).

j. Intrusi Air Laut

Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan pemukiman dan industri. Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap (Ruswandi 2009).

2.7. Mitigasi Bencana Alam

Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran atau peningkatan kemampuan menghadapi ancaman. Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Regulasi terkait penanggulangan bencana alam di Indonesia terdapat pada pasal 1 ayat 5 UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Undang-undang ini menyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Mitigasi bencana

(15)

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 47 UU Nomor 24 tahun 2007 dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan yang rawan bencana.

Forum Mitigasi (2007) membedakan mitigasi bencana atas dua macam yaitu mitigasi pasif (non struktural) dan mitigasi aktif (struktural), kategori mitigasi ini antara lain :

 Mitigasi Pasif (Non Struktural)

- Penyusunan peraturan perundang-undangan. - Pembuatan pedoman/standar/prosedur.

- Penyesuaian rencana tata ruang berdasarkan peta risiko bencana serta pemetaan masalah.

- Pembuatan brosur/poster.

- Pembuatan rencana alternatif tindakan kedaruratan (contigency plan). - Penelitian/pengkajian karakteristik bencana/analisis risiko bencana - Internalisasi Penanggulangan Bencana (PB) dalam muatan lokal

pendidikan.

- Pembentukan satuan tugas bencana/perkuatan unit-unit sosial masyarakat.

- Pengutamaan PB dalam pembangunan dan sosialisasi.

 Mitigasi Aktif (Struktural)

- Pembuatan dan penempatan tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana atau tanda peringatannya.

- Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan ke daerah aman. - Pembangunan penampungan sementara, daerah jalur evakuasi.

- Pembuatan bangunan struktur seperti: pengaman lereng (slope protection/seawalls), pemecah ombak (breakwater/detached breakwater), krib tegak lurus penahan gerakan sedimentasi sejajar gisik (groyne), dan pengaman gisik (beach protective).

Menurut Diposaptono dan Budiman (2006), upaya mitigasi bencana secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu upaya struktur/fisik (hard/soft solution) yang sering disebut hardware dan upaya non struktur/non fisik yang disebut juga dengan software.

(16)

 Upaya mitigasi struktur dilakukan dalam mitigasi bencana melalui dua metode, yaitu metode perlindungan alami revegetasi/remangrovisasi, sand-dune, pengisian gisik (beach nourishment) dan lainnya, serta metode perlindungan buatan seperti peredam abrasi (bank revetment), pemecah ombak (breakwater), pengaman lereng (slope protection/seawall), dan lain-lain.

 Upaya non struktur yang dapat dilakukan dalam mitigasi bencana seperti pembuatan peta rawan bencana, pembuatan peraturan perundangan terkait, norma standar prosedur manual (NSPM) dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat dan aparat terkait dalam upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana) seperti pelatihan penyelamatan diri.

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Carter, 1991). Dengan demikian pengurangan risiko bencana alam adalah suatu upaya untuk menekan kerugian masyarakat yang diakibatkan oleh peristiwa bencana alam (BNPB, 2009). Jika upaya ini ditingkatkan menjadi suatu kebijakan maka upaya tersebut ditujukkan untuk mengamankan seluruh aset pemerintah termasuk seluruh hasil pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan agar tidak rusak, sehingga hasil pembangunan akan tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

Mengurangi jumlah bencana adalah suatu hal yang tidak akan mungkin terjadi, tetapi mengurangi risiko bencana yang terjadi merupakan suatu keharusan. Langkah penting yang harus segera diambil adalah melakukan modernisasi jaringan dan integrasi sistem pengamatan. Lembaga Pengetahuan dan Teknologi Nasional Amerika Serikat-Bidang Pengurangan Risiko Bencana dalam laporan bulan Juni 2005, menyebutkan tantangan utama dalam pengurangan risiko bencana adalah identifikasi tiga tema menuju suatu masyarakat pegas bencana (three themes in moving towards a disaster resilient society) yaitu:

 Menyediakan informasi bahaya/bencana dimana dan kapan hal ini diperlukan.

(17)

 Membangun strategi dan teknologi mitigasi bencana gempa bumi, banjir pesisir dalam kaitan dengan tsunami, badai hurikane, gunung api, longsor dan amblesan.

2.8. Kelayakan Investasi

Studi kelayakan investasi menurut Husnan dan Suwarsono (1997) adalah penelitian tentang dapat tidaknya usaha investasi dapat dilaksanakan dengan berhasil. Sebuah studi kelayakan dilaksanakan untuk menjawab pertanyaan mengenai peluang usaha cukup ekonomis dan menjanjikan keuntungan yang layak apabila dilaksanakan. Semakin sederhana usaha yang akan dilaksanakan, maka semakin sederhana pula lingkup penelitian yang akan dilakukan. Pada tahapan studi kelayakan perlu diperhatikan ruang lingkup kegiatan usaha, cara kegiatan usaha dilakukan, evaluasi terhadap aspek-aspek yang menentukan berhasilnya seluruh usaha, sarana yang diperlukan serta hasil kegiatan usaha tersebut.

Jika dipandang dari sudut perusahaan saja, minimal ada tiga penyebab mengapa kegiatan studi kelayakan investasi yang dilaksanakan menjadi faktor pertimbangan yang cukup penting dalam pengambilan keputusan (Anggoro, 2004), yaitu:

 Investasi umumnya menyangkut pengeluaran modal yang besar.

 Pengeluaran modal mempunyai konsekuensi jangka panjang. Salah satu contoh yang mudah dilihat adalah apabila sebagian besar modal investasi didapatkan dari pinjaman bank konvensional, maka pihak pengusaha harus tetap mengembalikan modal yang dipinjam berikut bunganya baik itu investasi sukses maupun tidak.

 Komitmen pengeluaran modal adalah keputusan yang sulit untuk diubah, karena jika dipertengahan dirasa usaha tidak akan berjalan lancar maka modal yang telah ditanamkan sulit ditarik kembali.

Studi kelayakan investasi tujuannya adalah agar modal yang ditanamkan dapat dimanfaatkan dan menghindari penanaman modal yang terlalu besar untuk bagian yang ternyata tidak menguntungkan. Studi kelayakan proyek memerlukan biaya, tetapi biaya yang dibutuhkan relatif lebih kecil apabila dibandingkan

(18)

dengan risiko kegagalan suatu proyek yang menyangkut investasi dalam jumlah yang besar (Anggoro, 2004).

Tahapan dalam melakukan proyek investasi umumnya adalah identifikasi untuk memperkirakan kesempatan dan ancaman dari usaha tersebut, perumusan untuk menerjemahkan kesempatan investasi kedalam suatu rencana proyek yang konkret, penilaian untuk menganalisis dan menilai aspek pasar, teknik, keuangan dan perekonomian, pemilihan untuk mengingat segala keterbatasan dan tujuan yang akan dicapai serta tahap implementasi yaitu menyelesaikan proyek tersebut dengan tetap berpegang pada anggaran. Langkah awal sebelum melakukan studi kelayakan, terlebih dahulu harus ditentukan aspek -aspek yang akan dipelajari yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek hukum, aspek manajerial, aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta aspek finansial (Kadariah et al., 1999).

2.9. Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat

Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal atau diikuti secara baik oleh anggota masyarakat yang memberi naungan (liberty) dan meminimalkan hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga tidak ditulis secara formal seperti aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang (Wiratno dan Tarigan, 2002).

Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan panutan oleh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan Tjondronegoro (1999) yang mengatakan bahwa kelembagaan adalah suatu tata aturan yang dibentuk oleh masyarakat sehingga memiliki ciri tradisional dan non formal.

Menurut Jentoft (2004) kelembagaan memiliki peran yang penting bagi sektor perikanan, baik bagi sumberdaya ikan itu sendiri ataupun untuk kelangsungan hidup nelayan. Perikanan, seperti praktek sosial-ekonomi, tidak bisa ada tanpa mereka, pengguna (user) tidak akan tahu bagaimana harus bersikap. Kelembagaan memungkinkan orang di industri untuk melakukan apapun tugas

(19)

mereka, baik itu pengolahan ikan, pemasaran ataupun konsumsi. Kelembagaan juga sangat diperlukan ketika mengorganisir, mengkomunikasikan, mewakili, negosiasi, pengelolaan, pengaturan ataupun dalam melakukan suatu penelitian.

Menurut Nikijuluw (2002) ada beberapa hal yang menyebabkan pentingnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan perikanan tangkap, yaitu: (1) langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan perikanan tangkap yang dilaksanakan, (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat, dan (3) masyarakat mempunyai hak urun rembuk dalam menentukan program pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka.

2.10. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan, tetapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak awal penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau mengevaluasi program yang sudah selesai (Quandun dalam Dunn, 2003).

Dunn (2003) mengungkapkan bahwa analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya, sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan permasalahan kebijakan yang ada. Ruang lingkup dan metode-metode analisis sebagian bersifat deskriptif, dan informasi/fakta mengenai sebab akibat kebijakan sangat penting untuk memahami masalah-masalah kebijakan.

Menurut Parsons (1994), analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum ilmu pengetahuan dalam (in) proses kebijakan, pengetahuan untuk

(20)

(for) proses kebijakan, dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Secara kontinum, proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan terdiri atas tiga variasi yaitu analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, serta analisis untuk kebijakan. Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan yaitu analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat dan isi kebijakan yang merupakan deskripsi tentang kebijakan tertentu dan hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Monitoring dan evaluasi kebijakan berfokus pada pengkajian kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Analisis untuk kebijakan mencakup informasi untuk kebijakan dan advokasi terhadap kebijakan.

Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Jay Forrester dalam Dunn (2003), bahwa persoalannya tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah pada pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Oleh karena itu, perlu dikaji terlebih dahulu setiap alternatif yang akan menjadi prioritas dalam pengembilan kebijakan.

Dalam rangka merumuskan kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan di wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan arahan dan kebijakan secara terpadu. Hal ini disebabkan tingginya keterkaitan antar sektor yang ada di wilayah pesisir tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah kebijakan pembangunan kelautan, harus memperhatikan empat aspek utama yaitu: (1) aspek teknis dan ekologis, (2) aspek sosial ekonomi-budaya, (3) aspek politis dan (4) aspek hukum dan kelembagaan (Indrawani, 2000).

2.11. Kebijakan Kelautan dan Perikanan

Dalam rangka merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan kelautan, maka kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri melainkan merupakan paket kebijakan yang komponen-komponennya saling melengkapi dan menunjang. Todaro (1997) menyatakan bahwa suatu kebijakan

(21)

yang sifatnya komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga unsur fundamental, yaitu; Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan atas harga-harga relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih terjaminnya harga-harga pasar. Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap distribusi pendapatan, distribusi aset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh pendidikan serta penghasilan (pekerjaan) yang lebih merata. Ketiga, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk memodifikasi ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi melalui pajak progresif.

Menurut Kusumastanto (2003), agar bidang kelautan menjadi sektor unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Dalam rangka mengarahkan pembangunan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari ocean policy yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan kebijakan ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua lembaga dalam suatu sistem pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif. Kebijakan kelautan dan perikanan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung-jawab bersama.

Kebijakan pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang sekarang mengalami perubahan nomenklatur menjadi kementerian melalui Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, merupakan suatu keputusan ekonomi politik dari perubahan mendasar di tingkat kebijakan nasional. Keputusan politik ini diharapkan tidak hanya sampai pada pembentukan kementerian saja, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara dalam menjadikan bidang kelautan sebagai mainstream pembangunan bangsa (Kusumastanto, 2003).

Otonomi daerah sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang kewenangan

(22)

mengatur daerah dengan batasan pengelolaan wilayah laut provinsi dalam batasan 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, pemerintah kabupaten/kota mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sementara UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pada prinsipnya pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya laut dan pesisir.

Daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang besar terutama pesisir dan kelautan seharusnya memiliki kesempatan dalam memanfaatkan seoptimal mungkin potensi tersebut untuk pembangunan. Permasalahan utama yang dihadapi jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi adalah akan berdampak pada timbulnya efek negatif terhadap kondisi ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat (social welfare) (Kusumastanto 2003). Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus mempertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga dapat bermanfaat secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya yang optimal disatu sisi dapat menyokong pembangunan ekonomi dan di sisi lain bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainaibility) sehingga akan mencapai kesejateraan.

Keterkaitan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membutuhkan suatu model pengembangan wilayah pesisir yang sibernitik sebab bertindak berdasarkan analisis tajam untuk mencapai tujuan, holistik karena konteks ini melibatkan semua pihak yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat serta stakeholder dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki untuk pengembangan pesisir dan potensi bencana yang dapat terjadi (Ruswandi, 2009).

(23)

Ecological Sustainability 2.12. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan gagasan ataupun konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pembangunan berkelanjutan juga didefinisikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU Nomor 23, tahun 1997). Melalui definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar atau tiga dimensi keberlanjutan (Triple-P), yaitu keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet). Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain sehingga ketiganya harus diperhatikan secara seimbang (Munasinghe, 1993). Segitiga pembangunan berkelanjutan ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Charles, 2001)

Gambar 7 menunjukkan segitiga pembangunan yang membentuk dasar kerangka kerja untuk evaluasi keberlanjutan berdasarkan pada tiga komponen penting yaitu ekologi, keberlanjutan sosial ekonomi dan sosial/masyarakat.

Socioeconomic Sustainability Community Sustainability Institutional Sustainability

(24)

Komponen keempat yaitu keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan dan mendasari kegiatan dari tiga komponen lainnya (Charles, 2001).

Semakin terkonsentrasinya sebagian besar kegiatan masyarakat di pesisir, hilangnya hutan mangrove, hancurnya terumbu karang, meningkatnya penambangan pasir pantai dan semakin banyaknya industri membuang limbahnya ke wilayah pesisir, maka sudah sewajarnyalah jika pengembangan wilayah pesisir memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Salim, 1980). Konsep ini sebagaimana juga dijelaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.

Pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (PBBL) adalah konsep untuk mengelola pengembangan wilayah pesisir agar lebih tertata dan tidak bertambah kacau dan membahayakan generasi mendatang (Sugandhy dan Hakim, 2007). Konsep ini diperlukan untuk menjaga agar ambang batas tetap pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak karena tergantung kepada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia (Peng et al. 2006). Sementara itu, Pengembangan Wilayah Pesisir (PWP) adalah pendekatan pengelolaan wilayah dengan ekosistem pesisir yang sangat kompleks, dinamis dan memiliki kerentanan tinggi, karena memiliki kekayaan sumberdaya alam yang multiple use dan berpotensi menimbulkan konflik serta masih berlakunya penguasaan ruang terbuka oleh kelompok tertentu.

Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan (PMB) atau the sustainable livelihood approach (SLA) sebagai suatu integrasi kerangka kerja konseptual dengan prinsip operasional untuk menyiapkan pedoman formulasi kebijakan dan praktek pembangunan, sudah banyak diterapkan dalam penelitian pengembangan wilayah pesisir dan kehidupan nelayan. Program yang sudah dilaksanakan di 25 negara pesisir Benua Afrika bagian barat telah berhasil menyusun kebijakan inisiatif pengurangan kemiskinan (poverty reduction iniative policy), dan mengidentifikasi bahwa kemiskinan secara tidak langsung menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan (over-exploited fish resources).

(25)

2.13. Keterkaitan Pengembangan Sumberdaya Perikanan, Pembangunan Berkelanjutan dan Mitigasi Bencana

Manajemen bencana adalah upaya penanganan bencana sejak dari kedaruratan, pemulihan, pembangunan, pencegahan, mitigasi dan kesiap-siagaan (Carter, 1991). Mitigasi bencana dalam pengembangan perikanan adalah upaya pengurangan risiko bencana yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir terhadap pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan. Pemanfaatan sumberdaya yang terkendali adalah untuk memastikan bahwa ambang batas tidak terlampaui sehingga keberlanjutannya terjamin. Oleh karena itu laju pemanfaatannya tidak lagi hanya mengutamakan kepentingan ekonomi (profit) saja, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan sosial (people) dan ekologi (planet) sehingga terjadi keseimbangan, karena mata pencaharian berkelanjutan akan mempengaruhi kualitas lingkungan.

Kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana adalah kegiatan penelitian yang sedang dilakukan dan berpedoman pada ketiga aspek tersebut, yakni pengembangan sumberdaya perikanan, aspek keberlanjutan dan mitigasi bencana. Kajian ini diharapkan dapat menemukan arahan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan perikanan di pesisir saat ini, sehingga dapat diterapkan di pesisir Indonesia yang wilayahnya merupakan rawan bencana. Selain itu dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan diperlukan pendekatan berbasis ekosistem dimana konsep ini sangat penting dalam kegiatan eksploitasi spesies dan keberlanjutan jangka panjang (Haputhantri, Villanueva and Moreau, 2008).

2.14. Studi Terdahulu

Beberapa studi penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: Muzakkir (2008) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul “Kajian Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat”, menjelaskan bahwa rekmendasi kebijakan yang tepat agar tercapainya tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang optimal dan berkelanjutan serta mampu memberi nilai manfaat terhadap kesejahteraan nelayan adalah dengan membuat kebijakan tingkat upaya (effort)

(26)

penangkapan ikan pada level optimal. Bentuk kebijakan yang dapat diambil antaranya adalah; (a) menunda penerbitan izin baru penambahan armada tangkap kecuali payang masih dapat ditambah untuk 2 unit lagi, (b) mendorong investasi pada industri perikanan tangkap skala menengah ke atas untuk beroperasi di zona lepas pantai dan ZEEI. Selain itu pemerintah (policy maker) juga membuat kebijakan pengelolaan perikanan tangkap terutama dalam hal zonasi pemanfaatan dan alokasi optimum pemanfaatan sumberdaya perikanan bagan, payang dan tonda di Perairan Tanjung Mutiara.

Luthfi (2005) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul “Strategi pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) yang berbasis di Kota Padang: implikasi pembangunan Bandar Udara Internasional Minangkabau” menjelaskan bahwa PPS Bungus dan Bandar Udara Internasional Minangkabau sudah siap untuk mendukung pengembangan tuna ekspor yang berbasis di Kota Padang. Hal ini diindikasikan dengan telah tersedianya fasilitas yang lengkap di PPS Bungus serta telah tersedianya gedung untuk proses pengolahan dan pengepakan tuna ekspor. Kesiapan Bandar Udara Internasional Minangkabau dalam mendukung pengembangan tuna ekspor adalah dapat melayani penerbangan langsung ke negara tujuan ekspor dengan pesawat terbang berbadan lebar dan pesawat khusus kargo serta tersedianya fasilitas cold storage di terminal kargo dengan kapasitas 300 ton. Dalam rangka merumuskan strategi pengembangan tuna (Thunnus sp) ekspor yang berbasis di Kota Padang sebagai aset daerah yang dapat dijadikan sektor pertumbuhan ekonomi baru dan andalan untuk peningkatan perekonomian masyarakat di Kota Padang dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT menghasilkan lima prioritas utama strategi pengembangan perikanan tuna ekspor yang berbasis di Kota Padang sebagai berikut; 1) peningkatan produksi hasil tangkapan tuna di kawasan perairan Sumatera Barat; 2) meningkatkan teknologi penangkapan tuna dengan modernisasi alat tangkap; 3) peningkatan kualitas SDM nelayan; 4) kebijakan pemerintah dalam bidang perikanan, pengawasan dan kemudahan pemasaran untuk ekspor; 5) perluasan pangsa pasar ekspor tuna.

Ruswandi (2009) dalam disertasinya yang berjudul „Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam‟ mengemukakan bahwa kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam

(27)

minyak dan gas bumi sebagai national competence dapat meningkatkan kegiatan perikanan sebagai local competence dengan mengarahkan nelayan kepada akses pasar dan permodalan, kegiatan pariwisata dapat meningkatkan permintaan terhadap hasil perikanan (derive demand). Selain itu kebijakan pengembangan yang akan diterapkan untuk wilayah pesisir Indramayu dan Ciamis, hendaknya mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi. Ruswandi juga menyatakan Kebijakan pengembangan wilayah pesisir hendaknya sudah memperhitungkan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan sistem perlindungan pesisir terpadu. Upaya yang dilakukan lebih bersifat pro-aktif yang menekankan pada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan.

Gambar

Gambar 1.   Wilayah Penyebaran Tuna Mata Besar (Bigeye)  Sumber :   Barto dalam FAO (2012)
Gambar 3.  Tuna Sirip Kuning (Yellowfin)  Sumber :   WWF Indonesia, 2011
Gambar 5.   Konstruksi Armada Tuna Longline  Sumber:   LP Unpatti, 2012
Gambar 6. Keterkaitan antar Sistem Perikanan (Charles, 2001)
+2

Referensi

Dokumen terkait

78. AFRICAN JOURNAL OF MATHEMATICS AND COMPUTER SCIENCE 79. AFRICAN JOURNAL OF PURE AND APPLIED CHEMISTRY 81. INTERNATIONAL JOURNAL OF THE PHYSICAL SCIENCES 82. JOURNAL OF GEOLOGY

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pengawasan pelaksanaan ‘uqũ bah cambuk di Kota Banda Aceh adalah kehadiran Hakim Pengawas di lokasi pencambukan pada saat pelaksanaan

Jarak Ibukota Kecamatan ke Pusat Pemerintahan (Ibukota) Kabupaten Gunungkidul adalah Km. Kecamatan Tepus mempunyai luas wilayah 1.485,35 Km. Kecamatan Tepus memiliki desa,

diangkat dan diberhentikan oleh Walikota Kepala Daerah Dati II Surakarta.. Visi dan Misi Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset

Berbeda dengan kelompok Matius yang percaya nubuatan mesianik sudah terjadi dalam diri Yesus, kelompok Yahudi status quo menunjukan bahwa mesias bukan seperti yang

Advantageous is the high operation safety of SUSI 62 (coming down with comparatively low speed in case of loss of control), the short learning time to operate the system, the

You could rely on organizations like the US Citizens for Fair Credit Card Terms and the Federal Reserve Board that will give you reliable information on the various credit

Dan frekuensi kemunculan yang dihitung, adalah berapa banyaknya frekuensi kemunculan kutipan kalimat yang mengandung pesan pendidikan dalam novel Tenggelamnya Kapal Van