KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT
Fathiyyah Sekar Widiasri1, Dian Indira2 1,2Universitas Padjadjaran
1fathiyyah15001@mail.unpad.ac.id
2dian.indira@unpad.ac.id
Abstrak
Lauk Dewa (Ikan Dewa) merupakan mitos yang terkenal di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Melalui kajian semiotik akan dikaji makna di balik mitos Lauk Dewa tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan makna mitos dengan menganalisis makna denotatif, dan konotatif terlebih dahulu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teori yang digunakan ialah teori semiotik Roland Barthes. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari studi kepustakaan berupa artikel dari jurnal-jurnal dan literature review. Hasil dari penelitian adalah: 1) makna denotatif dari Lauk Dewa adalah ikan berjenis Kancra Bodas/Kancra Putih (Labaebarbus Dournensis); 2) makna konotatif dari Lauk Dewa adalah sosok prajurit Prabu Siliwangi yang dikutuk menjadi ikan karena membantah perintah raja; dan 3) mitos yang dihasilkan berupa kepercayaan bagi siapapun yang menangkap atau mengonsumsi Lauk Dewa akan mendapat hukuman berupa musibah. Lauk Dewa juga memberi keberkahan bagi siapapun yang dapat menyentuhnya. Kata kunci:mitos, lauk Dewa, Cigugur, semiotik, Roland Barthes
Abstract
Lauk Dewa is a famous myth in Cigugur Village, Kuningan, West Java. The meaning behind the myth of Lauk Dewa will be examined through a semiotic study. The purpose of this research is to describe the meaning of myth by analyzing denotative and connotative meanings first. This research uses descriptive qualitative method. The theory used is Roland Barthes' semiotic theory. Sources of data in this research is literature studies in the form of articles from journals and literature reviews. The results of the study were: 1) the denotative meaning of Lauk Dewa was a type of fish Kancra Bodas / Kancra Putih (Labaebarbus Dournensis); 2) the connotative meaning of Lauk Dewa is the figure of the warrior Prabu Siliwangi who was cursed to be a fish because he denied the king's orders; and 3) the resulting myth is the belief that anyone who steals or consumes Lauk Dewa will receive punishment in the form of a disaster. Lauk Dewa also gives blessings to anyone who can touch it.
A. PENDAHULUAN
Tanda bukan sesuatu yang asing dalam kehiupan manusia sehari-hari; awan mendung menandakan hari hujan, suara peluit di statsiun menandakan kereta api akan berangkat, dan masih banyak lagi. Disadari atau tidak tanda merupakan hal yang penting untuk diketahui
dalam mengarungi dinamika
kehidupan manusia. Tanda sebagai suatu hal yang harus dicermati dalam kehidupan memiliki peran penting; dengan menafsirkan tanda dapat mempermudah manusia dalam berkomunikasi satu sama lain. Tanda dimaknai secara luas, tidak hanya berupa tanda kebahasaan tetapi juga tanda nonkebahasaa, baik berupa tanda kiasan (figuratif) tetapi juga berupa tanda yang lugas. Suatu tanda akan dimaknai sama oleh satu
kelompok masyarakat sebagai
pemilik kebudayaan yang sama. Di dalam linguistik, tanda dikaji melalui bidang semiotika, yang secara etimologis berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika pada dasarnya merupakan sebuah ilmu yang mengkaji tanda-tanda atau lambang yang memiliki makna (Suryani & Ibrahim, 2020: 123). Ditambahkan oleh Pauzan (2018: 11) bahwa
“semiotics is a science or method to analyze signs. Then, all of the things in this world are signs, and although there are some things that have no intrinsic meaning, they can be sings if
we invest them with meaning.”
Semiotik difahami sebagai suatu ilmu yang mengkaji tanda-tanda yang bertujuan untuk memahami atau menafsirkan makna melalui objek, perisitiwa, bahasa verbal dan nonverbal, dan seluruh hasil
kebudayaan di dalam kehidupan manusia.
Linguis berkebangsaan Swedia Ferdinand de Saussure ( 1857-1939) merupakan tokoh semiotik, yang mengistilahkan kajian tentang tanda dengan semiologi. Roland Barthes (1915-1980) merupakan penerus dari pemikiran Saussure. Teori semiotika Barthes secara harfiah diturunkan dari teori bahasa Saussure. Menurut Saussure satu kalimat memiliki satu makna, tetapi menurut Barthes satu kalimat dapat
memiliki beberapa makna,
Sebagaimana dijelaskan oleh Nawiroh (2014: 27) bahwa jika
dalam pandangan Saussure
menekankan penandaan hanya
dalam tataran denotasi dan konotasi. Maka dalam pemikiran Barthes, penandaan itu disempurnakan dari semiologi Saussure dengan sistem penandaan konotatif dan mitos.
Teori diadik dari Sausuure
memperkenalkan konsep tentang tanda bahasa yang terdiri dari signifier (signifiant) atau penanda dan signified (signifie) atau petanda. Semiotika menurut Barthes adalah mempelajari tentang bagaimana manusia memaknai sesuatu yang ada di sekitarnya. Objek merupakan tanda yang membawa pesan tersirat. Misalnya, bunyi ayam berkokok menandakan bahwa hari sudah pagi dan membawa pesan agar manusia segera bangun dan melakukan aktivitasnya.
Barthes menggunakan istilah expression (ekspresi) untuk signifiant dan content (isi) untuk signifie. Dalam hal ini, teorinya bertumpu pada relation ‘relasi’ (R) antara
expression ‘ekspresi’ (E) dan content
‘isi’ (C), sehingga ia mengemukakan
Gambar 1.Model konotasi Barthes sebagai perpanjangan semantik tanda denotatif
(dalam Noth, 2000 : 108)
Sebuah sistem tanda primer bisa menjadi sebuah elemen dari sistem tanda yang lebih luas (Noth, 2000: 310). Mengenai pengertian tanda
primer, Sobur (2003: 262)
menjelaskan sebagai makna
denotatif, sedangkan tanda
sekunder adalah konotatif. Sobur
dalam sumber yang sama
menjelaskan lebih lanjut bahwa makna denotasi adalah suatu kata yang maknanya bisa ditemukan dalam kamus. Dengan kata lain, makna denotasi adalah makna sebenarnya karena mengungkapkan makna dari apa yang dilihat oleh mata, dan apa yang dilihat oleh mata itulah yang diyakini kebenarannya.
Makna konotatif kebalikan dari makna denotatif yaitu merupakan makna yang tidak sebenarnya. Makna konotatif bersifat subjektif dan variatif sehingga memungkinkan terbuka terhadap berbagai tafsiran.
Konotasi diistilahkan dengan
signifikansi pemaknaan tingkat kedua, yang dijelaskan oleh Haryono & Putra (2017: 72), “dalam signifikansi ini diyakini bahwa ada makna dibalik tanda tersebut.”
Dalam kerangka semiotik yang dicetuskan Barthes, konotasi yang terus berkembang dan dianggap menjadi suatu kebenaran atau
denotasi kedua dikenal dengan istilah mitos. Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis, yakni sistem tanda-tanda yang dimaknai manusia (Haryono & Putra, 2017: 72). Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Mitos yang diyakini oleh suatu kelompok
masyarakat dipengaruhi oleh
kehidupan sosial atau budaya masyarakat itu sendiri. Dengan cara
memerhatikan dan memaknai
korelasi antara apa yang terlihat secara nyata (denotasi) dengan yang tersirat (konotasi), lahirlah mitos yang dapat dikatakan sebagai denotasi baru. Jadi, jika konotasi tersebut sudah lama terbentuk di masayarakat maka itu menjadi sebuah mitos. Zaiimar (2008: 58) menambahkan bahwa mitos dalam teori Barthes juga memiliki sifat lain yaitu mitos tidak ditentukan oleh materinya, melainkan oleh pesan yang disampaikan. Iswidayati (2007:
181) mengungkapkan: “bagi
masyarakat, mitos berfungsi sebagai pernyataan tentang kenyataan yang tidak tampak secara kasat mata (jiwo katon)”.
Berpijak pada uraian
sebelumnya, maka mitos dapat bersifat verbal dan nonverbal. Dalam bentuk nonverbal, mitos dapat berbentuk lukisan, patung, tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, dan lain-lain. Dalam bentuk verbal, mitos merupakan tuturan oral di dalam masyarakat yang berorientasi dari masa lalu atau dari bentukan sejarah yang bersifat statis, kekal. Secara kasat mata, manusia melambangkan legenda/dongeng-dongeng suci yang
dimitoskan untuk memberikan
penjelasan terhadap fenomena yang tidak tampak, sehingga
dongeng-dongeng suci itu mengandung pesan, walaupun pesan tersebut adakalanya sulit diterima akal, karena pada
mulanya legenda-legenda itu
terbentuk secara tidak rasional. Di sisi lain masyarakat menerima dan memahami pesan yang terkandung
dalam mitos dengan tanpa
mempertanyakan secara kritikal. Penelitian tentang mitos pernah dilakukan sebelumnya oleh Kusuma dan Nurhayati (2017) dengan judul
“Analisis Semiotika Roland Barthes
pada Ritual Otonan di Bali”. Penelitiannya membahas tentang ritual keagamaan masyarakat hindu di Bali yang disebut dengan ritual Otonan dengan menganalisis makna denotatif, konotatif, serta mitos dan ideologi dalam ritual. Hasilnya menyimpulkan bahwa pemaknaan denotatif pada ritual Otonan ditandai dengan serangkaian kegiatan dalam ritual Otonan yaitu berupa gestur, pakaian, doa-doa, bunyi lonceng, dll. Terdapat pemaknaan konotasi yang erat dengan ajaran agama Hindu seperti ajaran Tri Murti, Sad Ripu, makna air tirtha, dll, serta berbagai mitos dan ideologi seperti hierofani,
ungkapan religius kolektif,
religiusitas, serta agama sebagai sistem budaya. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Kusuma dan Nurhayati (2017) dengan penelitian ini terletak pada objek penelitiannya dimana objek dalam pebelitian ini adalah ikan yang diritualkan oleh masyarakat yang disebut dengan Lauk Dewa.
Mitos Lauk Dewa ‘Ikan Dewa”
merupakan mitos yang terdapat di Desa Cigugur, kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dengan ketinggian 660 m di atas permukaan laut, kesejukan di Desa Cigugur sangat terasa pada malam dan pagi hari.
Pada tahun 1972, di bagian utara Desa Cigugur ditemukan benda-benda zaman prasejarah, seperti peti mati yang terbuat dari batu, dolmen, menhir, dan hiasan yang terbuat dari berbagai macam jenis bebatuan (Royyani, 2008: 402). Selain itu, di desa ini terdapat
kolam keramat ‘Balong Girang’, menurut informasi dari masyarakat setempat kolam ini merupakan peninggalan Raja Sunda Galuh Pakuan, Prabu Resi Guru Darmasiksa Sanghyang Wisnu yang memerintah dari tahun 1175 sampai 1297 masehi dan kemudian dibangun kembali oleh orang Belanda pada tahun 1939. Keberadaan objek wisata tersebut menjadikan desa ini sebagai salah satu tujuan wisata. Wisatawan yang berkunjung ini umumnya berasal dari Jawa Barat. Saat ini beberapa media televisi menayangkan objek wisata Desa Cigugur.
Balong Girang memiliki daya tarik tersendiri sebagai pemandian umum karena airnya berasal dari mata air. Masyarakat ada yang menyebut Balong Girang dengan Balong Cigugur, atau Balong Keramat Cigugur. Di kolam ini juga terdapat ikan yang memiliki mitos dan
dikeramatkan oleh masyarakat
setempat. Dalam tulisan ini akan dikaji makna di balik mitos Lauk
Dewa, melalui analisis tingkatan
makna denotasi dan konotasi dari Barthes.
B. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis semiotika. Menurut Mukhtar (2013: 28), penelitian kualitatif berusaha mendeskripsikan seluruh gejala atau keadaan yang ada, yaitu keadaan
gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang dikutip oleh Haula (2019: 28). bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus dan metode yang alamiah.
Peneliti menggunakan teori semiotik Roland Barthes sebagai pendekatan analisis dalam penelitian ini. Teori Barthes digunakan untuk
menguraikan pemaknaan tanda
dengan sistem pemaknaan tataran pertama atau denotasi, dan sistem tataran kedua atau konotasi, serta penafsiran makna antara denotasi dan konotasi sehingga menghasilkan sebuah mitos. Peneliti memilih teori dari Roland Barthes karena metode ini dapat membantu peneliti dalam penelitian yang bersifat cultural
studies dan dapat membantu peneliti
dalam menganalisa tanda-tanda budaya dari masyarakat di Balong Girang, yang kemudian dikaji makna denotatif serta makna konotatifnya, yang nantinya akan menunjukkan makna di balik mitos yang ingin disampaikan dalam tanda tersebut.
Sumber data dalam penelitian diperoleh dari studi kepustakaan berupa artikel dari jurnal-jurnal dan literature review. Tahap penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga tahapan yang sesuai dengan pendapat Sudaryanto (2001: 5-7), yaitu: 1) tahap penyediaan data, pada tahap ini metode yang digunakan adalah metode simak dengan membaca dan menyimak tulisan-tulisan pada sumber data yang dapat mendukung penelitian
ini; 2) tahap analisis data, pada tahapan ini data dianalisis sesuai
dengan masalah yang telah
dirumuskan, yakni menentukan
makna denotatif dan konotatif dari setiap tanda yang ada, serta menentukan mitos yang dihasilkan; 3) tahap penyajian hasil analisis data. Penyajian hasil penelitian dilakukan secara deskriptif yang disebut metode informal yaitu penyajian hasil analisis dengan
untaian kata-kata agar
penjelasannya terurai dan terinci (Adhiti, 2017: 36).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Sinopsis
Desa Cigugur merupakan sebuah desa di kabupaten Kuningan yang pada awalnya bernama Padara. nama yang merujuk pada pendiri desa yaitu Ki Gede Padara. Beliau hidup kira-kira pada abad ke XIV, namun belum ada sumber yang pasti mengenai keberadaanya. Nama Ki Gede Padara awalnya berasal dari kata Padar Tarak yakni sebutan
masyarakat setempat yang
memberikan gelar atau julukan bagi pendiri desa yang melakukan laku tapa dengan tekun. Menurut tokoh masyarakat (dalam Royyani, 2008: 408), kata padar Tarak kemudian
berkembang akibat adanya
penyederhanaan menjadi Padara, sedangkan kata Cigugur yang menjadi nama desa ini, menurut ketua adat, berasal dari kata gugur yang berarti halilintar. Nama Cigugur menurut cerita lisan diberikan oleh Sunan Gunung Djati yang ketika hendak mengambil air wudhu tiba-tiba ada halilintar yang menandakan akan turun hujan.
Di desa Cigugur terdapat sebuah kolam yang dinamakan Balong
girang. Balong girang dapat dijadikan sebagai tempat pemandian umum atau kolam renang yang airnya bersumber langsung dari mata air gunung Ciremai. Mata air yang mengaliri kolam ini berupa aliran air yang tidak saja melewati cadas dan banyak terdapat lereng di dalamnya melainkan juga banyak terdapat akar
dari pohon-pohon rindang di
samping kolam. Di dalam Balong Girang ini hidup satu jenis ikan yang
dikeramatkan oleh masyarakat
setempat. Ikan yang hidup di kolam ini adalah jenis ikan kancra atau masyarakat menyebutnya dengan lauk dewa.
Sebutan lauk dewa itu
disematkan oleh masyarakat
setempat karena ikan ini dipercaya sebagai penjelmaan prajurit Prabu Siliwangi atau Raja Padjadjaran. Menurut sumber lisan di Kuningan, konon katanya lauk dewa adalah para Prajurit Prabu Siliwangi yang dikutuk karena dianggap melanggar disiplin yang diberlakukan oleh Prabu Siliwangi. Sejumlah prajurit Prabu Siliwangi di lokasi tersebut dipercaya ada yang menjelma jadi harimau, ada yang jadi ikan yaitu lauk dewa tersebut.
Konon Prabu Siliwangi bertahta di Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Keraton tersebut merupakan 5 bagian keraton yang terpisah namun merupakan sebuah kesatuan dengan Suradipati sebagai
induknya. Keraton Sri Bima
berkedudukan di Lingga Jati (saat ini Objek Wisata Pemandian) yang mana
sebelumnya berkedudukan di
Winduherang. Keraton Sri Punta Pertama berkedudukan di Balong Dalem Jalaksana (saat ini Objek wisata Balong Dalem), kemudian berpindah ke Cipari (saat ini
Museum Purbakala). Kemudian, Keraton Sri Narayana pertama kali berkedudukan di Cijoho (saat ini Leles belakang LP) yang kemudian lokasinya berpindah ke Manis Kidul (saat ini Objek Wisata Cibulan). Sementara, Keraton Sri Madura berkedudukan di Cigugur (saat ini obyek wisata Pemandian Cigugur / Balong Girang). Sampai saat ini di 5 lokasi tersebut terdapat Ikan Dewa yang dipercaya sebagai prajurit yang dikutuk karena tidak disiplin dalam menjalankan titah raja.
2. Makna Denotatif dari Lauk Dewa
Lauk Dewa jika diartikan ke
dalam bahasa Indonesia adalah ikan dewa, lauk berasal dari bahasa sunda
yang artinya adalah ‘ikan’. Ikan yang
disebut dengan lauk dewa ini adalah ikan kancra bodas / kancra putih
yang memiliki nama latin
Labaebarbus Dournensis. Ikan
kancra (Labeobarbus douronensis) adalah ikan air tawar yang merupakan ikan spesifik lokasi dan merupakan ikan yang sudah langka terutama di perairan umum Jawa Barat. Keberadaan ikan tersebut dari tahun ke tahun semakin berkurang, oleh karena itu saat ini masyarakat tidak diperbolehkan menangkap dan mengkonsumsinya (Redjeki, 2007: 97). Sedangkan menut Ike (dalam Penelitian LIPI, 2007), lauk dewa yang terdapat di Balong Girang adalah jenis ikan yang termasuk ke dalam genus Tor.
Ikan ini umumnya memiliki panjang sekitar 60 centimeter, besar, dan berwarna gelap seperti hitam atau abu-abu. Kepalanya mirip ikan mas tetapi postur panjangnya mirip ikan arwana. Di beberapa bagian
tubuhnya, ikan ini memiliki sisik besar.
Sumber: oleholehmami.com
Sumber: news.trubus.id Ikan kancra bodas memiliki
banyak manfaat, diantaranya
memiliki kandungan gizi albumin yang tinggi, untuk pengobatan pasca operasi, dan dapat meningkatkan vitalitas. Karena jumlahnya yang sangat langka dan hanya ada di tempat-tempat tertentu, ikan ini memiliki harga yang sangat mahal. Kelangkaan tersebut juga yang menyebabkan masyarakat dilarang menangkap dan mengonsumsinya.
3. Makna Konotatif dari Lauk Dewa
Masyarakat setempat meyakini bahwa lauk dewa adalah ikan kesayangan para dewa, sebagaimana halnya dengan penyebutannya yaitu
lauk dewa ‘ikan dewa’. Konon
katanya, lauk dewa di Balong Girang sudah hidup sejak ratusan tahun yang lalu dan jumlahnya tidak
pernah bertambah maupun
berkurang. Tidak diketahui secara
pasti jumlah lauk dewa di kolam tersebut. Bangkai lauk dewa yang
mati juga jarang ditemukan.
Sebaliknya, kapan lauk dewa
menetaskan telur juga tidak ada yang tahu. Hal tersebut meyakinkan masyarakat bahwa lauk dewa adalah sosok prajurit Prabu Siliwangi atau Raja Padjadjaran yang menjelma menjadi ikan.
Masyarakat juga percaya bahwa ikan yang terdapat di Balong Girang ini dapat menghilang. Kepercayaan ini tercipta karena setiap kolam pemandian tersebut dibersihkan, ikan yang biasanya banyak dijumpai ini tiba-tiba menghilang dan akan muncul kembali ketika kolam sudah terisi air. Secara denotatif, ikan ini adalah jenis ikan yang suka pada lereng-lereng sungai dan Balong Girang merupakan kolam yang dasarnya terdiri dari lereng-lereng dan akar pohon. Biasanya pada saat
kolam dibersihkan ikan-ikan
tersebut bersembunyi pada lereng cadas atau akarakar pohon rindang yang terdapat di sumber mata air yang mengaliri Balong Girang. Hal tersebut juga menghasilkan makna konotatif yaitu bersembunyinya ikan di lereng-lereng ditafsirkan oleh masyarakat bahwa ikan ini bisa menghilang dan akan muncul sewaktu-waktu.
4. Mitos dari Lauk Dewa
Penafsiran makna antara
denotasi dan konotasi dari lauk dewa menghasilkan sebuah mitos di masyarakat. Mitos tersebut adalah adanya kepercayaan masyarakat setempat tentang hukuman bagi orang yang berani melanggar adat dengan mengkonsumsi lauk dewa. Berdasarkan cerita dari masyarakat, banyak kejadian yang merujuk
adanya hukuman atau “kualat”
berupa musibah bagi orang yang
melanggar larangan tersebut.
Musibah yang dialami oleh orang yang melanggar larangan ini dapat berupa kesialan yang akan menimpa dirinya bahkan hingga kematian yang tragis.
Sebaliknya, masyarakat juga percaya jika ada seseorang yang dapat menyentuh badan lauk dewa, maka hidupnya akan mendapatkan keberuntungan atau akan ada hal-hal baik yang datang pada orang tersebut.
Setelah melihat hasil analisis dari tanda primer atau denotatif, tanda sekunder atau konotasi, serta mitos yang dihasilkan dari kedua tanda tersebut, maka pemaknaan tersebut dapat dilihat melaluipeta tanda Roland Barthes di bawah ini:
Penanda (Sigifier) Ikan Kancra Bodas/Kanc ra Putih (Labaebarb us Dournensis) Petanda (Signified) Lauk dewa/ Ikan dewa
Prajurit Prabu Siliwangi atau Raja Padjadjaran yang menjelma menjadi ikan.
Larangan untuk menangkap atau mengkonsums i ikan tersebut karena dianggap sebagai ikan dewa.
D. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pada analisis yang dilakukan pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pendekatan dekonstruksi terjadi pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga
Almahendra lewat cerita dari
penelusuran sejarah. Pendekatan dekonstruksi terjadi melalui benda berupa kopi, bunga, bangunan, tekstil dan pemikiran tokoh pada masa lampau.
Melalui pendekatan sastra
dekonstruksi bahwa sejarah
mengungkapkan tentang kejayaan Islam di Eropa. Dekonstruksi Derrida pada novel ini mengungkapkan beberapa fakta tersembunyi atau yang belum banyak diketahui.
Namun, dekonstruksi tidaklah
mencari kesalahan atau pembenaran
dari suatu ketimpangan atau
pengetahuan baru. Dekonstruksi membuka peluang berpikir kritis dan wawasan baru tentang segala sesuatu yang berada disekeliling kita.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawati, N., Zuriyati, & Saifurrohman. (2020). THE DECONSTRUCTION OF MAIN CHARACTER IN IN GURU AINI
NOVEL BY ANDREA HIRATA :
DERRIDA. HORTATORI Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Volume, 4(1), 24–30. Randi, R. (2019). ASPEK RELIGIUS
DAN MORAL NOVEL 99
CAHAYA DI LANGIT EROPA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DALAM PEMBELAJARAN
APRESIASI SASTRA DI
SEKOLAH MENENGAH ATAS. Disastra: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia,
1(1), 65–70.
https://doi.org/10.29300/disa stra.v1i1.1825
Ronidin. (2015). PEMBACAAN
DEKONSTRUKSI CERPEN
“ZINA” KARYA PUTU WIJAYA.
Sembiring, R. H., Herlina, H., & Attas, S. G. (2018). Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye Kajian Psikoanalisis
Carl Gustav Jung.
Transformatika: Jurnal Bahasa,
Sastra, Dan Pengajarannya,
2(2), 157.
https://doi.org/10.31002/tran sformatika.v2i2.788
Siregar, M. (2019). Kritik Terhadap Teori Dekonstruksi Derrida. Journal of Urban Sociology,
2(1), 65–75. https://doi.org/10.30742/jus.v 2i1.611 Suryanto. (2016). ANALISIS PERBANDINGAN INTERPRETASI PENOKOHAN ANTARA NOVEL DAN FILM 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA. Jurnal Proporsi, 1(2), 153–164.
Sutisno, A. (2017). KAJIAN
DEKONSTRUKSI DERRIDA
DALAM NOVEL SENGSARA MEMBAWA NIKMAT KARYA
SUTAN SATI. BAHTERA
INDONESIA: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 2(2), 1–12.
Wahyuni, P., & Kusumaningrum, R. N.
(2020). DEKONSTRUKSI
FEMINISME DAN KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DALAM NOVEL IBUK KARYA IWAN
SETIAWAN. Diglosia, 4(2), 213–
231.
Yanti, L. (2016). Campur Kode Pada Novel 99 Cahaya Di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra (Kajian Sosiolinguistik). JP-BSI (Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia), 1(1), 23–27. https://doi.org/10.26737/jp-bsi.v1i1.72
Yulianto, E. (2020). GRAMMATICAL COHESION CONJUNCTION OF 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA
NOVEL BY HANUM
SALSABIELA RAIS AND
RANGGA ALMAHENDRA.
HORTATORI Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Volume, 4(1), 9–13.
Yusnadi. (2016). ROMANTISME
PERADABAN ISLAM DI EROPA (NILAI SKI) DALAM NOVEL 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA
KARANGAN HANUM
SALSABIELA RAIS DAN
RANGGA ALMAHENDRA.
Tarbiyah Islamiyah, 6(2), 126–
135.
Yusuf, A. (2016). Paradigma Ilmiah
pada Ilmu Sosial-Budaya
Kontemporer. Paradigma,
Jurnal Kajian Budaya, 1(2), 105–118.
https://doi.org/10.17510/para digma.v1i2.8