• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

17

1. Tinjauan tentang Asuransi Konvensional a. Pengertian Asuransi Konvensional

Kata Asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa popular dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan” (Muhammad Syakir Sula, 20: 26). Sedangkan dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).

Menurut Wirjoyo Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Hukum Asuransi Syariah di Indonesia (1987) yang dikutip oleh Zainudin Ali (2008: 1), menyatakan bahwa Asuransi adalah suatu persetujuan pihak yang dijaminkan untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas. Ada dua pihak yang terlibat dalam asuransi, yaitu pihak yang sanggup menanggung atau menjamin dan pihak yang akan mendapat penggantian suatu kerugian yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau semula dapat ditentukan saat akan terjadinya (Djoko Prakoso, 2000: 1).

Berdasarkan Pasal 1774 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), Asuransi atau pertanggungan termasuk dalam suatu perjanjian untung-untungan, yaitu suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Sedangkan, pengertian Asuransi atau Pertanggungan berdasarkan Pasal 246 Kitab

(2)

Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD), adalah sebagai berikut:

“Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang Penanggung mengikatkan diri kepada seorang Tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”

Berdasarkan Pasal 246 KUHD tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya, Asuransi atau Pertanggungan itu adalah merupakan suatu ikhtiar dalam rangka menanggulangi adanya risiko (Chairuman Pasaribu, 2004: 84). Dari pengertian Pasal 246 KUHD tersebut, terdapat 3 (tiga) unsur dalam Asuransi, yaitu sebagai berikut (Djoko Prakoso, 2000: 2):

1) Pihak Tertanggung yang mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang premi kepada pihak Penanggung, sekaligus atau dengan berangsur-angsur;

2) Pihak Penanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada pihak Tertanggung, sekaligus atau berangsur-angsur apabila maksud unsur ketiga berhasil; dan 3) Suatu kejadian yang semula belum jelas akan terjadi, yaitu

suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Di sisi lain, pengertian Asuransi menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian adalah:

“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan Asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan Asuransi sebagai imbalan untuk:

(3)

a. memberikan penggantian kepada Tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita Tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya Tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya Tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”

b. Dasar Hukum Asuransi Konvensional

Dasar hukum berlakunya Asuransi di Indonesia adalah: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) 2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)

3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

c. Fungsi dan Tujuan Asuransi Konvensional

Fungsi diselenggarakan perjanjian Asuransi adalah pengalihan risiko. Hal ini sesuai dengan pendapat Emmet J. Vaughan dan Curtis M. Ellliot (1978) atau seperti yang dikemukakan oleh C. Arthur Williams Jr. dan Richard M. Heins (1985), bahwa Asuransi berfungsi sebagai alat untuk mengelola risiko (risk management) (Man Suparman Sastrawidjaja, 2003: 146).

Adapun tujuan dari Asuransi ada dua macam yaitu (Man Suparman Sastrawidjaja, 2003: 147):

1) Tujuan Ekonomis

Asuransi dengan tujuan ekonomis maksudnya mengalihkan atau membagi risiko-risiko yang bersifat ekonomis.

(4)

2) Tujuan Sosial

Asuransi dengan tujuan sosial maksudnya suatu Asuransi yang tidak mempunyai tujuan untuk suatu bisnis tetapi tujuan utamanya adalah suatu jaminan sosial kepada masyarakat.

Secara umum, Asuransi yang dilakukan oleh seseorang adalah bertujuan untuk mengalihkan risiko, untuk mendapatkan pembayaran ganti rugi, pembayaran santunan, atau kepentingan kesejahteraan anggota (Martono dan Eka Budi Tjahjono, 2011: 28). Tujuan Asuransi dapat dibedakan dari sudut pandang pihak Tertanggung dan pihak Penanggung yaitu sebagai berikut (Suyanto, 2010: 53):

1) Tujuan Pihak Tertanggung

a) Menghindari kemungkinan kerugian yang lebih luas; b) Mendapat ganti rugi dari perusahaan Asuransi bila terjadi

musibah yang merugikan;

c) Menggeser kemungkinan resiko kepada pihak lain; dan d) Memperkecil kemungkinan kerugian yang diderita. 2) Tujuan Pihak Penanggung

a) Memberikan perlindungan terhadap kemungkinan kerugian yang diderita Tertanggung;

b) Memberikan dorongan kearah perkembangan perekonomian yang lebih maju;

c) Menghilangkan keragu-raguan bagi usahawan dalam menjalankan usaha atau pekerjaannya;

d) Menjamin penanaman modal para investor; dan

e) Memperoleh hasil berupa premi atas imbalan jasa-jang diberikan.

d. Jenis-Jenis Asuransi Konvensional

Menururt Man Suparman Sastrawidjaja (2003: 83-95) penggolongan Asuransi dan jenis-jenisnya adalah sebagai berikut:

(5)

1) Penggolongan dan jenis Asuransi berdasarkan yuridis a) Asuransi kerugian (schadeverzekering)

Asuransi kerugian adalah surat perjanjian Asuransi yang berisikan ketentuan bahwa Penanggung mengikatkan dirirnya untuk melakukan prestasi berupa memberikan gantu kerugian kepada Tertanggung seimbang dengan kerugian yang diderita oleh pihak yang disebut terakhir. Beberapa ciri Asuransi kerugian antara lain adalah kepentingannya dapat dinilai dengan uang (materieel belang), dalam menentukan ganti kerugian berlaku prinsip indemnitas, serta berlaku ketentuan tentang subrograsi (Pasal 248 KUHD). Termasuk dalam golongan Asuransi kerugian adalah semua jenis Asuransi yang kepentingannya dapat dinilai dengan uang, misalnya: (1) Asuransi pencurian;

(2) Asuransi pembongkaran; (3) Asuransi perampokan; (4) Asuransi kebakaran; dan

(5) Asuransi terhadap bahaya yang mengancam hasil pertanian.

b) Asuransi jumlah (sommenverzekering)

Asuransi jumlah adalah suatu perjanjian Asuransi yang berisi ketentuan bahwa Penanggung terikat untuk melakukan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang yang besarnya sudah ditentukan sebelumnya. Beberapa ciri dari Asuransi sejumlah uang antara lain, kepentingannya tidak dapat dinilai dengan uang sejumlah uang yang akan dibayarkan oleh Penanggung telah ditentukan sebelumnya, jadi tidak berlaku prinsip indemnitas seperti halnya dalam Asuransi kerugian serta

(6)

tidak berlaku pula subrograsi. Jenis-jenis Asuransi jumlah, misalnya:

(1) Asuransi jiwa; (2) Asuransi sakit; dan (3) Asuransi kecelakaan.

2) Penggolongan dan jenis Asuransi berdasarkan kriteria ada tidaknya kehendak para pihak

a) Asuransi sukarela (voluntary insurance)

Asuransi sukarela adalah suatu perjanjian Asuransi yang terjadinya didasarkan kehendak bebas dari pihak-pihak yang mengadakannya. Hal itu berarti timbulnya perjanjian tidak ada paksaan dari luar. Jenis-jenis Asuransi sukarela, misalnya:

(1) Asuransi kendaraan bermotor; dan (2) Asuransi awak pesawat udara. b) Asuransi wajib (compulsory insurance)

Asuransi wajib yang terbentuk diharuskan oleh suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dlam beberapa jenis golonggan Asuransi wajib, terdapat sanksi apabila Asuransi tersebut tidak dilakukan. Jenis-jenis Asuransi wajib, misalnya:

(1) Dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang kendaraan umum; dan

(2) Dana kecelakaan lalu lintas jalan.

3) Penggolongan dan jenis Asuransi berdasarkan tujuan a) Asuransi komersial (commersial insurance)

Pada umumnya, Asuransi komersial diadakan oleh perusahaan Asuransi sebagai suatu bisnis, sehingga tujuan utama adalah memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, misalnya besaran premi, besarnya ganti kerugian, didasarkan perhitungan-perhitungan ekonomis. Semua

(7)

jenis Asuransi yang diatur dalam KUHD merupakan Asuransi komersial dan memang pada dasarnya Asuransi komersial merupakan asuran sukarela.

b) Asuransi sosial (social insurance)

Asuransi sosial diselenggarakan tidak dengan tujuan memperoleh keuntungan, tetapi bermaksud memberikan jamina sosial (social security) kepada masyarakat atau sekelompok masyarakat.

e. Prinsip-Prinsip Asuransi Konvensional

Asuransi Konvensional menggunakan prinsip-prinsip Asuransi sebagai berikut (Novi Puspitasari, 2011: 45-46):

1) Insurable Interest

Prinsip ini menyatakan bahwa pihak-pihak yang ingin mengasuransikan (Tertanggung) harus mempunyai hubungan keuangan dengan obyek yang dipertanggungkan, sehingga pada Tertanggung timbul hak atau kepentingan atas obyek yang dipertanggungkan sehingga hubungan keuangan antara Tertanggung dengan obyek pertanggungan menjadi sah menurut hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Apabila terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan dan terbukti tidak terdapat kepentingan keuangan atas obyek tersebut maka Tertanggung tidak berhak menerima uang pertanggungan. 2) Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna)

Prinsip ini menyatakan bahwa Tertanggung yang ingin mengasuransikan obyek pertanggungan harus mempunyai itikad yang sangat baik dalam berasuransi. Hal ini bermakna bahwa Tertanggung harus secara sukarela menerangkan kondisi yang sebenar-benarnya berdasarkan fakta yang ada atas obyek yang akan dipertanggungkan tersebut kepada Penanggung, sehingga Penanggung memperoleh informasi

(8)

secara lengkap dan benar mengenai kondisi obyek pertanggungan. Dan sebaliknya, Penanggung berkewajiban memberitahukan sejelas-jelasnya dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan. Prinsip ini juga menjelaskan risiko yang dijamin maupun yang dikecualikan, segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas serta teliti. Kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku sejak perjanjian Asuransi dibicarakan sampai kontrak Asuransi selesai dibuat, yaitu saat kontrak disetujui, perpanjangan ataupun pada saat terjadi perubahan terhadap hal-hal yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan itu.

3) Indemnity

Prinsip ini mengandung pengertian bahwa dalam hal terjadi kerugian yang dijamin polis, maka Penanggung berkewajiban mengembalikan posisi keuangan Tertanggung seperti sesaat sebelum terjadinya kerugian. Prinsip ini menganut asas keseimbangan dalam asuransi, maksudnya adalah risiko yang dialihkan kepada Penanggung harus diimbangi dengan premi yang dibayar oleh Tertanggung. Asas keseimbangan ini mempunyai arti penting, sebab bila terjadi kerugian, maka ganti rugi atas kerugian tersebut harus sebanding dengan risiko yang dialihkan kepada Penanggung. 4) Subrogation

Prinsip subrogation diatur dalam Pasal 284 KUHD yang berbunyi “apabila seorang Penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada Tertanggung, maka Penanggung akan menggantikan kedudukan Tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian kepada Tertanggung”. Dengan kata lain, apabila anda mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak

(9)

ketiga maka pihak perusahaan asuransi, setelah memberikan ganti rugi kepada nasabah, akan menggantikan kedudukan nasabah dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut. Penggantian posisi semacam itu disebut subrogasi. 5) Contribution (Kontribusi)

Prinsip ini mengandung arti bahwa bila terjadi pertanggungan rangkap, yaitu Tertanggung memiliki lebih dari satu polis atas obyek pertanggungan yang sama, maka dalam hal terjadinya kerugian, Tertanggung tidak boleh menerima ganti rugi melebihi jumlah kerugian. Dengan kata lain, Penanggung telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak Tertanggung, maka Penanggung berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu pertanggungan untuk membayar kerugian masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya. 6) Proximate Cause (Kausa Proksimal)

Proximate Cause menyatakan bahwa dalam hal terjadinya suatu kerugian, maka penyebab dari kerugian tersebut haruslah merupakan suatu penyebab yang tidak terputus atau tidak di intervensi oleh penyebab lain. Dengan kata lain prinsip ini menekankan bahwa harus ada satu penyebab dominan yang efektif dalam menimbulkan suatu kerugian. Suatu prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien adalah “Unbroken Chain of Events” yaitu suatu rangkaian mata rantai peristiwa yang tidak terputus.

f. Perjanjian Asuransi

Asuransi Konvensional adalah sebuah mekanisme perpindahan risiko (risk transfer) yang oleh suatu organisasi dapat diubah dari tidak pasti menjadi pasti. Ketidakpastian mencakup faktor-faktor antara lain, apakah kerugian akan muncul, kapan

(10)

terjadinya, dan seberapa besar dampaknya dan berapak kali kemungkinannya terjadi dalam satu tahun. Asuransi memberikan peluang untuk menukar kerugian yang tidak pasti ini menjadi kerugian yang pasti yakni premi asuransi. Suatu organisasi akan setuju membayar premi tetap dan sebagai gantinya perusahaan Asuransi setuju untuk menutup semua kerugian yang akan terjadi yang termasuk dalam ketentuan-ketentuan polis (Muhaimin Iqbal, 2005: 4-5).

2. Tinjauan tentang Asuransi Syariah a. Pengertian Asuransi Syariah

Asuransi dalam bahasa Arab disebut at-ta‟min, Penanggung disebut mu‟ammin, sedangkan Tertanggung disebut mu‟amman lahu atau musta‟min (Muhammad Sakir Sula, 2004: 28). Secara umum, Asuransi dalam Islam sering diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai Asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syariat Islam dengan mengacu pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Takaful berasal dari bahasa Arab yang kata dasarnya kafalah yang kemudian ditashrif menjadi tafaa‟ala yang artinya saling menanggung atau saling menjamin (Muhammad, 2000: 71).

Menurut Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 mengatakan Asuransi Syariah adalah:

“Asuransi Syariah (ta‟amin, takaful, atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui dana investasi dalam bentuk aset atau tabarru‟ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.”

Asuransi Syariah menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian adalah:

(11)

“Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan Asuransi Syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara:

a. memberikan penggantian kepada Peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita Peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya Peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya Peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

b. Dasar Hukum Asuransi Syariah 1) Al-Quran

Pada hakikatnya Asuransi Syariah adalah saling bertanggung jawab, saling bekerjasama dan saling melindungi satu sama lain, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah (5) ayat 2, yaitu:

ۚ ٌِأَْدُعْنأَ ِىْثِ ْلْا َٗهَع إََُٔبَعَت َلََٔ ۖ ٰ َْٖٕقَّتنأَ ِّسِبْنا َٗهَع إََُٔبَعَتَٔ﴿ ََّاللَّ ٌَِّإ ۖ َ َّاللَّ إُقَّتأَ ِةبَقِعْنا ُدِٚدَد

Artinya: …dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelnggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat besar siksa-Nya.

Dan juga sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 177: َّسِبْنا ٍَِّكَنَٔ ِةِسْغًَْنأَ ِقِسْشًَْنا َمَبِق ْىُكَُْْٕجُٔ إُّْنَُٕت ٌَْأ َّسِبْنا َسَْٛن﴿ َٗتآَٔ ٍَِِْٛٛبَُّنأَ ِةبَتِكْنأَ ِتَكِئ َلًََْنأَ ِسِخ ْٜا ِوَْْٕٛنإَِٓهنبِب ٍََيآ ٍَْي َع َلبًَْنا ِمِْٛبَسْنا ٍَْبأَ ٍَِْٛكبَسًَْنأَ َٗيبَتَْٛنأَ َٗبْسُقْنا َِ٘ٔذ ِِّّبُح َٗه ٌَ ُْٕفًُْْٕنأَ َةبَكَّزنا َٗتآَٔ َة َلََّصنا َوبَقَأَٔ ِةبَقِّسنا ِْٙفَٔ ٍَِْٛهِئبَّسنأَ

(12)

ِءاَسَّضنأَ ِءبَسْأَبْنا ِْٙف ٍَِْٚسِببَّصنأِ أُْدَْبَع اَذِإ ْىِِْدَْٓعِب َُِْٛحَٔ ٌَ ُْٕقَّتًُّنا ُىُْ َكِئَُٔأَٔ إُُقَدَص ٍَِْٚرَّنا َكِئَنُٔأِسْأَبْنب Artinya:”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar(imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.

2) Hadist

Pengaturan Asuransi Syariah juga disebutkan pula dalam suatu hadist, sebagai berikut:

ُاللَّ َّٗهَص ِاللَّ ُلُْٕسَز َلبَق :َلبَق َُُّْع ُاللَّ َِٙضَز َةَسَْٚسُْ ِْٙبَأ ٍَْع َٔ ،ِتَيبَِٛقنا َوَْٕٚ ُاللَّ َُِسَتَس َىِهْسًُْنا ُِبَخَأ َسَتَس ٍَْي :َىَّهَسَٔ َِّْٛهَع ٍَْي ِةَسُك ٍِْي ًتَبْسُك َُُّْع ُاللَّ َسَّفََ بََُّْٛدنا ِةَسُك ٍِْي ًتَبْسُك ِِّْٛخَأ ٍَْعَسَّفََ ، ِِّْٛخَأ ٌَِْٕع ِْٙف ُدْبَعْنا َواَدبَي دبعنبََِْٕع ِْٙف َاللَّ ٌَِّإَٔ ،ِتَيبَِٛقْنا ِوَْٕٚ ىِهْسُي ُِأََز Dari Abu Hurairah berkata: bahwa Rasulullah bersabda “siapa saja yang menutupi aib saudaranya yang muslim maka Allah akan menutupi kesalahannya pada hari kiamat dan siapa saja yang meringankan kesulitan saudaranya maka Allah akan meringankan kesulitannya pada hari kiamat dan sungguh Allah akan selalu menolong hambanya selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

3) Fatwa DSN-MUI

Menurut Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN/MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, Asuransi Syariah

(13)

adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru‟ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah (Abdul Ghofur Anshori, 2007: 4).

4) Hukum Positif

Asuransi Syariah dari segi hukum positif, sebelum hadirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Asuransi Syariah juga mendasarkan legalitasnya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Undang-undang ini kurang mengakomodasi Asuransi Syariah di Indonesia karena tidak mengatur keberadaan Asuransi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Kemudian Asuransi Syariah menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Tetapi Fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia (Suyanto, 2010: 88).

Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000 (Suyanto, 2010: 89).

(14)

Asuransi Syariah mengalami perkembangan, sehingga dibentuk peraturan yang menyesuaikan perkembangan Asuransi Syariah, yaitu:

a) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha ReAsuransi Dengan Prinsip Syariah; b) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha ReAsuransi Dengan Prinsip Syariah;

c) Peraturan Ketuan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: PER-06/BL/2011 tentang Bentuk dan Susunan Laporan Serta Pengumuman Laporan Usaha Asuransi dan Usaha ReAsuransi Dengan Prinsip Syariah;

d) Peraturan Ketuan Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: PER-07/BL/2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Dana yang Diperlukan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Pengelolaan Dana Tabarru‟ dan Perhitungan Jumlah Dana Yang Harus Disediakan Perusahaan Untuk Mengantisipasi Risikko Kerugian Yang Mungkin Timbul Dalam Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha ReAsuransi Dengan Prinsip Syariah; dan

e) Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: PER-08/BL/2011 tentang Bentuk Dan Tata Cara Penyampaian Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah Pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan ReAsuransi Yang Menyelenggarakan Seluruh atau Sebagian Usahanya Dengan Prinsip Syariah;

(15)

Untuk mengakomodasi Asuransi Syariah di Indonesia dalam suatu undang-undang, maka pada tahun 2014 telah disahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian sebagai dasar hukum Asuransi Syariah di Indonesia (Hendri Tanjung, 2014: 287). c. Fungsi dan Tujuan Asuransi Syariah

Perjanjian Asuransi Syariah yang bertujuan untuk berbagi risiko antara penderita musibah dan perusahaan Asuransi dalam berbagai macam lapangan, merupakan hal baru yang belum pernah dikenal dalam kehidupan Rasulullah SAW, para Sahabat dan Tabi‟in (Heri Sudarsono, 2003: 100).

Misi yang diemban dalam Asuransi Syariah adalah (Muhammad Syakir Sula, 2004: 321-325):

1) Misi Aqidah

Ekonomi Islam adalah ekonomi ilahiah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah (mardhatillah), dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, penukaran dan distribusi, dilakukan pada prinsip ilahiah dan tujuan ilahi. Manusia muslim melakukan perencanaan, berproduksi, menyiapkan proteksi, karena memenuhi perintah Allah.

2) Misi Ibadah (Ta‟awun)

Asuransi Syariah adalah Asuransi yang bertumpu pada konsep tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan (wata‟awanu „alal birri wattaqwa), dan perlindungan (at-ta‟min), juga menjadikan semua Peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung. Al-Qur‟an mengajarkan kepada kita untuk saling menolong dalam kebajikan.

(16)

3) Misi Iqhtishodi (Ekonomi)

Konsep ekonomi syariah umumnya dan konsep Asuransi Syariah secara khususnya adalah konsep ekonomi yang berkeadilan dan tidak menzalimi satu terhadap yang lainnya. Ia menjalankan transaksinya dengan prinsip suka sama suka.

4) Misi Pemberdayaan Umat (Sosial)

Sebagaimana misi yang diemban Asuransi umumnya, pada Asuransi Syariah misi mengemban beban sosial terasa lebih melekat pada dirinya, melalui produk-produk yang khusus dirancang untuk lebih mengarah kepada kepentingan sosial dan pemberdayaan umat daripada kepentingan komersial.

d. Jenis-Jenis Asuransi Syariah

Asuransi Syariah atau takaful terdiri dari dua jenis, yaitu (Gemala Dewi, 2005: 152):

1) Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa), adalah bentuk Asuransi Syariah yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri Peserta Asuransi takaful. Produk takaful keluarga meliputi:

a) Takaful Berencana b) Takaful Pembiayaan c) Takaful Pendidikan d) Takaful Berjangka e) Takaful Dana Haji

f) Takaful Kecelakaan Siswa g) Takaful Kecelakaan Diri h) Takaful Khairat Keluarga

2) Takaful Umum (Asuransi Kerugian), adalah bentuk Asuransi Syariah yang memberikan perlindungan financial dalam

(17)

menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta benda milik Peserta takaful, seperti rumah bangunan dan sebagainya. Produk takaful umum meliputi:

a) Takaful Kendaraan Bermotor b) Takaful Kebakaran

c) Takaful Kecelakaan Diri d) Takaful Pengangkutan Laut e) Takaful Rekayasa / Enginering f) Dll

e. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah

Adapun Asuransi Syariah mengenal prinsip ta‟awuni atau tolong-menolong, yang mana telah diperbolehkan dalam syariat Islam, karena hal itu termasuk akad tabarru‟ dan sebagai bentuk tolong-menolong dalam kebaikan. Sebagaimana telah dikutip oleh Muhammad Syakir Sula (2004: 38), dalam karangan Wahbah az-Zuhaili, bahwa ta 'awun adalah ketika setiap Peserta itu membayar kepersertaanya (preminya) secara sukarela untuk meringankan dampak risiko dan memulihkan kerugian yang dialami salah seorang Peserta asuransi.

Jika Asuransi Konvensional mengandung unsur-unsur gharar, maysir, dan riba, maka Asuransi Syariah bersih dari unsur-unsur seperti itu. Menurut Amrin (2011), prinsip-prinsip Asuransi Syariah, yaitu (Novi Puspitasari, 2011: 40-45):

1) Prinsip Tauhid

Setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan, tidak terkecuali dalam Asuransi Syariah. Asuransi Syariah harus berlandaskan pada prinsip tauhid dan mengharapkan keridhaan Allah SWT. Jika dilihat dari sisi perusahaan, dalam Asuransi Syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan dan peluang pasar namun mengimplementasikan nilai syariah dalam dunia

(18)

asuransi. Dari sisi nasabah, Asuransi Syariah bertujuan untuk bertransaksi dalam bentuk tolong-menolong yang berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian, nilai tauhid terimplementasi pada industri Asuransi Syariah.

2) Prinsip Keadilan

Perusahaan Asuransi memiliki peluang besar untuk melakukan ketidakadilan, seperti adanya unsur dana hangus (untuk produk tabungan), karena pembatalan kePesertaan di tengah jalan oleh nasabah. Pada Asuransi Syariah, dana saving nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah bersangkutan, berikut hasil investasinya. Bahkan beberapa perusahaan Asuransi Syariah menyerahkan ke lembaga kesejahteraan umat seperti lembaga zakat, infaq, dan shodaqah, ketika terdapat dana-dana saving nasabah yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi, lalu tidak mengambil dananya kendatipun telah dihubungi baik melalui surat maupun media lainnya. Sikap adil terdapat pada firman Allah QS Al-Maidah (5) ayat 8 yang artinya adalah sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil into lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

3) Prinsip Tolong-Menolong

Hakekat konsep Asuransi Syariah adalah tolong menolong, dimana sesama Peserta berderma untuk kepentingan Peserta lain yang tertimpa musibah. Peserta tidak

(19)

berderma kepada perusahaan asuransi, Peserta berderma hanya kepada sesama Peserta saja. Perusahaan hanya berfungsi sebagai pengelola dana tabarru‟, yang konsekuensinya perusahaan tidak berhak menggunakan dana tabarru‟ atau mengklaim bahwa dana tabarru‟ adalah milik perusahaan. Perusahaan hanya mendapatkan ujrah (fee) atas jasanya mengelola dana tabarru‟ tersebut. Dengan konsep ini, sesama Peserta telah melakukan kegiatan tolong menolong, walaupun antara Peserta tidak saling bertatap muka. Hal ini sebagaimana Allah berfirman dalam QS Al-Maidah (5) ayat 2 yang artinya sebagai berikut: “Dan bertolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”.

4) Prinsip Amanah

Pada hakekatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam segala hal seperti mengelola dana premi dan proses klaim. Nasabah juga harus amanah dalam aspek risiko yang menimpanya. Transaksi yang amanah membawa pelakunya mendapatkan surga. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang pebisnis yang jujur lagi amanah (kelak akan dikumpulkan di akhirat bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada” (HR. Turmudzi).

5) Prinsip Saling Ridha („An Taradhin)

Aspek saling meridhai harus selalu menyertai. Nasabah ridha dananya dikelola oleh perusahaan Asuransi Syariah yang amanah dan professional. Perusahaan Asuransi Syariah ridha terhadap amanah yang diberikan Peserta untuk mengelola kontribusi (premi) Peserta. Peserta ridha dananya dialokasikan untuk Peserta-Peserta lainnya yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban penderitaan mereka. Dengan prinsip inilah,

(20)

Asuransi Syariah menjadikan saling tolong menolong memiliki arti yang luas dan mendalam. Semua menolong dengan ikhlas dan ridha, bekerja dengan ikhlas dan ridha, serta bertransaksi dengan ikhlas dan ridha juga.

6) Prinsip Menghindari Riba

Riba adalah mendapatkan keuntungan dengan cara menggunakan uang sebagai komoditas utamanya yang terdapat pada sistem bunga di bank atau bisnis pada lembaga keuangan konvensional. Riba dapat juga diartikan sebagai tambahan (ziyadah), tumbuh dan berkembang. Islam melarang setiap muslim yang mencoba untuk meningkatkan modal mereka melalui pinjaman atas riba (berkembang atau bunga) baik itu pada rate yang rendah atau tinggi. Kegiatan Asuransi Syariah salah satunya adalah menginvestasikan kumpulan dana tabarru‟ dan dana investasi pada instrumen yang non ribawi atau sesuai dengan syariah, yang berarti tidak terdapat unsur riba.

7) Prinsip Menghindari Maysir

Arti secara harfiah kata maysir dalam bahasa Arab adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa bekerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja keras. Maysir bisa disamakan dengan kegiatan berjudi. Judi menunjukkan tindakan atau permainan yang bersifat untung-untungan atau spekulatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan materi yang akan membawa dampak terjadinya praktik kepemilikan harta secara batil. Allah SWT sangat tegas melarang kegiatan perekonomian yang mengandung unsur perjudian. Larangan tersebut terdapat dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 219 yang artinya sebagai berikut:

(21)

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.

Konsep berbagi risiko (risk sharing) tidak ada salah satu pihak yang merasa diuntungkan atau dirugikan. Kondisi ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa jika Peserta mendapatkan klaim, maka dana yang dibayarkan untuk klaim riba pertukaran barang sejenis dengan jumlah yang tidak sama tersebut adalah dana tabarru‟ atau dana tolong menolong dari kumpulan Peserta yang lain sehingga perusahaan tidak merasa dirugikan. Sementara itu jika tidak ada pembayaran klaim atau nilai klaim yang kecil kepada Peserta, maka perusahaan juga tidak akan diuntungkan karena cadangan klaim tersebut tetap akan menjadi milik kelompok dana Peserta tabarru‟. Dengan demikian, unsur maysir atau judi tidak terkandung dalam konsep Asuransi umum syariah.

8) Prinsip Menghindari Gharar

Gharar atau transakasi yang meragukan dan dilarang dalam Islam. Keraguan atau ketidakpastian transaksi akan menimbulkan ketidakadilan pada pihak-pihak yang terlibat. Gharar diartikan sebagai ketidakjelasan, tipuan; transaksi yang mengandung ketidakjelasan dan atau tipuan dari salah satu pihak, seperti bai‟ ma‟dum (jual beli sesuatu yang belum ada barangnya). Asuransi Syariah melandaskan kegiatannya dengan konsep tolong menolong. Tolong menolong diwujudkan dengan membayar sejumlah dana yang akan menjadi kumpulan dana tabarru‟ dimana dana tabarru‟ ini yang digunakan untuk membantu Peserta Asuransi jika

(22)

mendapatkan musibah. Walaupun musibah bersifat tidak jelas dan tidak pasti kapan terjadinya, namun kondisi tersebut tidak berpengaruh pada jumlah dana tolong menolong yang dibayarkan oleh Peserta. Kondisi ini tidak mengandung unsur gharar karena keberadaan dana tabarru‟ yang pasti dan memang digunakan untuk menolong Peserta yang mengalami musibah.

9) Prinsip Menghindari Risywah

Dalam menjalankan bisnis, baik pihak Asuransi Syariah maupun pihak Peserta harus menjauhkan diri dari aspek risywah (sogok menyogok atau suap menyuap). Risywah pasti akan menguntungkan satu pihak dan aka nada pihak lain yang dirugikan, apapun dalihnya. Peserta tidak boleh menyogok oknum Asuransi supaya bisa mendapatkan manfaat (klaim), dan sebaliknya, perusahaan tidak perlu menyuap supaya mendapatkan premi (kontribusi) asuransi. Semua harus dilakukan secara baik, transaparan, adil, dan dilandasi dengan ukhuwah islamiyah.

10) Berserah Diri dan Ikhtiar

Allah memiliki dan menguasai atas seluruh harta kekayaan. Allah berhak penuh untuk memberikan rezekinya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah yang telah menetapkan seorang hamba menjadi kaya dan Dia pula yang memutuskan seorang menjadi miskin. Kita sebagai hamba Allah yang (khalifah di muka bumi) wajib memanfaatkan rizki yang telah dititipkan oleh-Nya untuk kemaslahatan (kemanfaatan) manusia. Oleh karena itu, kita diwajibkan untuk saling tolong-menolong dan bekerja sama.

11) Saling Bertanggung Jawab

Seluruh Peserta Asuransi berjanji/berakad saling bertanggungjawab antara satu sama lain. Bagi setiap muslim,

(23)

tanggung jawab merupakan suatu kewajiban. Rasa tanggung jawab ini timbul atas dasar sifat saling menyayangi, saling mencintai, saling membantu dan terdapat kepentingan bersama untuk mendapatkan kemakmuran bersama guna mewujudkan masyarakat yang beriman, takwa dan harmonis.

12) Saling Melindungi dan Berbagi Kesusahan

Peserta Asuransi satu sama lain saling melindungi dari kesusahan dan bencana karena keselamatan dan keamanan merupakan keperluan pokok bagi semua orang. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Quraisy mengenai pemberian janji keselamatan dari ancaman terhadap kelaparan dan bencana, dimana kelaparan merupakan keeprluan untuk jasmani sedangkan rasa ketakutan merupakan cerminan keperluan rohani. Pada prinsipnya tadhamun islami menyatakan bahwa yang kuat menjadi pelindung yang lemah, orang kaya melindungi orang miskin. Pemerintah menjadi pelindung terhadap kesejahteraan dan keamanan rakyatnya.

f. Perjanjian Asuransi Syariah

Perjanjian merupakan bagian yang paling penting yang membedakan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional. Karena sifat alami risiko memang tidak pasti (gharar) dan sementara Islam mengharamkan gharar maka kontrak Asuransi Syariah haruslah bukan merupkan kontrak jual beli. Gharar diharamkan dalam kontrak Asuransi Syariah dan oleh karena itu harus dihindari adanya gharar baik itu dalam kontrak, harga, metode, jumlah, dan waktu pembayaran antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak dan segala sesuatu yang dianggap tidak pasti atau penipuan. Untuk menghindari unsur-unsur yang diharamkan dari kontrak Asuransi Syariah kontrak yang digunakan adalah kontrak mudharabah (bagi hasil) (Muhaimin, 2005: 27-28).

(24)

Akad yang mendasari kontrak Asuransi Syariah adalah akad tabarru‟. Dalam akad ini pihak pemberi dengan ikhlas memberikan sesuatu dalam bentuk kontribusi atau premi tanpa ada keinginan untuk menerima apaun dari orang yang menerima kontribusi tersebut. Akad ini bertujuan untuk menerapkan konsep yang mempresentasikan firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah (5) ayat 2, bahwa bentuk tolong-menolong diwujudkan dalam bentuk kontribusi berupa dana tabarru (kebajikan). Hasil surplus dana tabarru‟ (jika ada) dikembalikan sebagian kepada Peserta melalui mekanisme mudharabah (bagi hasil) (Abdullah Amrin, 2006: 80).

Kejelasan akad dalam praktek muamalah merupakan prinsip, karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian halnya dalam asuransi, akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas. Akadnya dapat berupa jual beli atau tolong- menolong (takafuli) (Heri Sudarsono, 2003:116). Melihat dari pengertian Asuransi Syariah dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, terdapat dua akad yang digunakan yaitu Pertama, akad tabarru‟ merupakan akad tolong-menolong. Kedua, akad tijari merupakan akad dalam perniagaan seperti jual beli.

3. Tinjauan Perbedaan Asuransi Konvensional dengan Asuransi Syariah

Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Novi Puspitasari (2011: 39-46) dikaji dalam tiga bagian yaitu perbedaan konsep fundamental, perbedaan pengelolaan risiko, dan perbedaan prinsip-prinsip.

1) Perbedaan Konsep Fundamental

Konsep fundamental Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional adalah berbeda. Konsep tersebut perlu dikaji di awal karena jika tidak dipahami konsep fundamental Asuransi Syariah

(25)

maka konsep fundamental Asuransi Syariah dianggap sama dengan Asuransi Konvensional. Konsep fundamental yang diulas adalah pengertian atau definisi dan sistem pengelolaan risiko dari kedua jenis Asuransi tersebut. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah menetapkan pengertian Asuransi Syariah (ta‟min, takaful, atau tadhamun) sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui dana investasi dalam bentuk aset atau tabarru‟ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Berdasarkan Fatwa DSN MUI tersebut dapat diartikan bahwa konsep fundamental Asuransi Syariah adalah kegiatan tolong-menolong di antara Peserta Asuransi Syariah dan tidak bertujuan komersil. Sementara itu, konsep dasar Asuransi Konvensional adalah jual beli antara Peserta dan perusahaan. Hal ini dapat dipahami dari arti Asuransi secara umum yang berarti “jaminan”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata “asuransi‟ adalah „pertanggungan‟. Definisi standar Asuransi dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian bahwa Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan Asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan Asuransi sebagai imbalan untuk: a. memberikan penggantian kepada Tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita Tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya Tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya Tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Dengan demikian

(26)

dapat diartikan bahwa konsep fundamental Asuransi Konvensional adalah jual beli antara Peserta dengan perusahaan Asuransi (Novi Puspitasari, 2011: 39-40). Sehingga dalam perbedaan konsep fundamental ini, Asuransi Syariah menggunakan prinsip tolong-menolong yang bersifat sosial daripada komersil, sedangkan Asuransi Konvensional menggunakan prinsip jual beli yang bersifat komersil saja. Akad yang digunakan dalam Asuransi Konvensional adalah akad jual beli, sedangkan akad dalam Asuransi Syariah adalah akad tijari dan tabarru‟.

2) Perbedaan Pengelolaan Risiko

Perbedaan konsep dasar Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional ini berakibat pada perbedaan prinsip pengelolaan risiko. Prinsip pengelolan risiko Asuransi Syariah adalah berbagi risiko (risk sharing), yaitu risiko ditanggung bersama sesama Peserta asuransi. Hal ini bisa dimaknai dari Fatwa DSN-MUI No. 21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bahwa Asuransi Syariah adalah kegiatan melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak yang berarti risiko yang terjadi juga akan dibagi kepada semua Peserta Asuransi Syariah. Sementara itu prinsip pengelolaan risiko Asuransi Konvensional adalah transfer risiko (risk transfer) yaitu prinsip risiko dengan cara mentransfer atau memindahkan risiko Peserta Asuransi ke perusahaan asuransi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumanto, dkk (2009) yang menyatakan bahwa Asuransi Konvensional pada dasarnya merupakan konsep pengelolaan risiko dengan cara mengalihkan risiko yang mungkin timbul dari peristiwa tertentu yang tidak diharapkan kepada orang lain yang sanggup mengganti kerugian yang diderita dengan imbalan premi (Novi Puspitasari, 2011: 40-41).

(27)

Pengelolaan Asuransi Syariah menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut (Novi Puspitasari, 2011: 41-45):

a. Prinsip Tauhid b. Prinsip Keadilan

c. Prinsip Tolong-Menolong d. Prinsip Amanah

e. Prinsip Saling Ridha („An Taradhin) f. Prinsip Menghindari Riba

g. Prinsip Menghindari Maysir h. Prinsip Menghindari Gharar i. Prinsip Menghindari Risywah j. Berserah Diri dan Ikhtiar k. Saling Bertanggung Jawab

l. Saling Melindungi dan Berbagi Kesusahan

Sementara itu, pengelolaan Asuransi Konvensional menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut (Novi Puspitasari, 2011: 45-46):

a. Insurable Interest

b. Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna) c. Indemnity

d. Subrogation

e. Contribution (Kontribusi)

f. Proximate Cause (Kausa Proksimal)

Berdasarkan perbedaan prinsip-prinsip tersebut, dapat disimpulkan bahwa Asuransi Konvensional bersifat untuk mencari keuntungan semata dengan pemberian ganti rugi dari Penanggung terhadap suatu kerugian yang diderita oleh Tertanggung. Sedangkan Asuransi Syariah bersifat sosial, tauhid dan tolong-menolong terhadap sesama serta menghindari perbuatan yang dilarang dalam syariah yaitu riba, maysir, gharar, dan risywah.

(28)

Adapun perbedaan antara Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Muhammad Syakir Sula (2004: 326-328) adalah sebagai berikut:

No. Asuransi Konvensional Asuransi Syariah 1. Dalam konsep konvensional,

Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada Tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada Tertanggung.

Dalam konsep Islam,

Asuransi adalah

sekumpulan orang-orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara masing-masing

mengeluarkan dana tabarru‟.

2. Asuransi Konvensional berasal dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Pada tahun 1668 M di Coffe House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal-bakal Asuransi Konvensional.

Asuransi Syariah berasal dari al-`aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah dituangkan dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah.

3. Asuransi Konvensional bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Asuransi Konvensional berdasarkan pada hukum

Asurnasi syariah bersumber tidak hanya peraturan yang dibuat manusia atau hukum positif, akan tetapi juga berdasarkan pada Al-Quran,

(29)

positif, hukum alam, dan contoh-contoh yang ada sebelumnya. Misalnya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Hadist, Ijma‟, dan Qiyas.

4. Asuransi Konvensional tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya maysir, gharar, dan riba yang diharamkan dalam mu‟amalah.

Asuransi Syariah bersih dari adanya maysir, gharar, dan riba.

5. Asuransi Konvensional tidak diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS), sehingga dalam praktiknya ditemukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Diawasi oleh DPS yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktik-praktik

muamalah yang

bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. 6. Asuransi Konvensional

menggunakan akad jual-beli.

Asuransi Syariah

menggunakan akad tabarru‟ dan akad tijari.

7. Dari segi jaminan (risk), Asuransi Konvensional menggunakan transfer of risk, di mana terjadi transfer risiko dari Tertanggung kepada Penanggung.

Asuransi Syariah

menggunakan sharing of risk, di mana terjadi proses saling menanggung antara satu Peserta dengan Peserta lainnya (ta`awun).

(30)

8. Dari segi pengelolaan, dalam Asuransi Konvensional tidak ada pemisahan dana, yang berakibat pada terjadinya dana hangus (untuk produk saving-life).

Asuransi Syariah pada produk-produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru‟, derma dan dana Peserta, sehingga tidak mengenal istilah dana hangus. Untuk term insurance (life) dan general insurance semuanya bersifat tabarru‟.

9. Asuransi Konvensional bebas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak terbatasi pada obyek atau sistem investasi yang digunakan. Sehingga ini mengandung riba dan tidak sesuai dengan prinsip syariah.

Asuransi Syariah, investasi dapat dilakukan sesuai

dengan ketentuan

perundang-undangan,

sepanjang tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Di samping itu, dalam melakukan investasi, Asuransi bebas dari riba dan tempat-tempat investasi yang terlarang.

10. Asuransi Konvensional, dana yang terkumpul dari premi Peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan ke mana saja.

Asuransi Syariah, dana yang terkumpul dari Peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, merupakan milik Peserta, Asuransi Syariah hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dana tersebut

(31)

11. Asuransi Konvensional, unsur premi terdiri dari tabel mortalita (mortality tables), bunga (interest), biaya-biaya Asuransi (cost of insurance).

Asuransi Syariah, iuran atau kontribusi terdiri dari unsur

tabarru‟ dan tabungan

(yang tidak mengandung unsur riba).

12. Loading pada Asuransi Konvensional cukup besar terutama diperuntukkan bagi komisi agen, bisa menyerap premi tahun pertama dan kedua. Karena itu, nilai tunai pada tahun pertama dan kedua biasanya belum ada (masih hangus),

Pada sebagian Asuransi Syariah, loading (komisi agen) tidak dibebankan pada Peserta tetapi dari dana pemegang saham. Akan tetapi, sebagian yang lainnya mengambilkan dari sekitar 20-30% saja dari premi tahun pertama. Dengan demikian, nilai tunai tahun pertama sudah terbentuk.

13. Asuransi Konvensional, sumber biaya klaim adalah dari rekening perusahaan, sebagai konsekuensi Penanggung terhadap Tertanggung. Dari praktiknya tampak benar bahwa Asuransi Konvensional merupakan bisnis murni dan tidak ada nuansa spiritualnya.

Asuransi Syariah, sumber pembiayaan klaim diperoleh dari rekening tabarru‟, di mana Peserta saling menanggung. Jika salah satu Peserta mendapat musibah, Peserta lainnya ikut menanggung bersama risiko tersebut.

14. Sistem akuntansi yang dianut Asuransi Konvensional adalah konsep akuntansi

Asuransi Syariah menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang

(32)

accrual basis, yaitu proses akuntasi yang mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan nonkas. Di samping Asuransi Konvensional juga mengakui pendapatan, peningkatan aset, expenses,

leabilities dalam jumlah

tertentu yang baru akan diterima dalam waktu yang akan datang.

benar-benar telah ada, sedangkan accrual basis dianggap bertentangan dengan syariah karena

mengakui adanya

pendapatan, harta, beban atau utang yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sementara apakah itu benar-benar dapat terjadi hanya Allah yang tahu.

15. Asuransi Konvensional, keuntungan yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah keuntungan perusahaan.

Asuransi Syariah, profit yang diperoleh dari surplus

underwriting, komisi

reAsuransi dan hasil investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi hasil dengan Peserta.

16. Secara garis besar misi utama Asuransi Konvensional adalah misi ekonomi.

Adapun misi yang diemban oleh Asuransi Islam adalah misi akidah, misi ibadah, misi ekonomi, dan misi pemberdayaan umat.

Sesuai pendapat Novi Puspitasari dan Muhammad Syakir Sula, menurut pendapat Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman (2014: 155), aqad dalam Asuransi Syariah adalah aqad tolong-menolong dan saling menanggung, yaitu semua peserta Asuransi Syariah menjadi penjamin satu sama lainya. Bila salah satu meninggal yang lain menanggungnya, dan seterusnya.

(33)

Asuransi Konvensional menurut pendapat Syeik Taqiyudin An Nabhani yang dikutip oleh Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman (2014: 151), bahwa Asuransi Konvensional adalah mu‟amalah yang batil dikarenakan dua sebab, yaitu tidak terpenuhinya aqad yang sah menurut syariah, dan tidak memenuhi syarat bagi sahnya aqad jaminan. Sebuah aqad dinilai sah bila aqad-nya berlangsung secara sah dan menyangkut barang dan jasa. Aqad dalam Asuransi Konvensional tidak termasuk aqad, baik menyangkut barang atau jasa. Tetapi aqad-nya berkaitan dengan perjanjian atas jaminan pertanggungan. Janji ini tidak dapat dianggap sebagai barang maupun jasa.

Jaminan adalah pemindahan harta pihak penjamin kepada pihak yang dijamin dalam menunaikan suatu kewajiban. Dalam pemindahan harta seseorang kepada pihak lain itu disyaratkan harus ada penjamin, yang dijamin, dan yang menerima jaminan. Agar jaminan sah, disyaratkan terjadi dalam perkara penunaian harta yang benar-benar wajib dipenuhi oleh yang diamin, seperti hutang. Jika yang dijamin tidak mendapat apa-apa, maka dalam hal ini tidak terjadi pemindahan harta (Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman, 2014: 151-152).

Asuransi Konvensional seperti terdapat pihak penjamin yaitu perusahaan asuransi, pihak yang dijamin yaitu Tertanggung, dan pihak yang mendapat jaminan yang tergantung pada jenis asuransi. Bila Asuransi jiwa misalnya, berarti penerima jaminan adalah ahli waris, dan bila Asuransi kecelakaan, maka penerima jaminan adalah Tertanggung sendiri. Namun, sesungguhnya dalam Asuransi ini tidak ada pemindahan hak seseorang kepada orang lain. Perusahaan Asuransi tidak menjaminkan hartanya kepada Tertanggung dan tidak bisa disebut sebagai penjamin. Selain itu juga tidak terdapat jaminan, karena tidak ada harta yang harus ditunaikan oleh yang dijamin. Tidak terdapat yang dijamin karena perusahaan Asuransi tidak memberikan jaminan kepada seseorang yang harus memenuhi hak. Adanya ganti rugi hanya karena

(34)

imbalan dari sejumlah preni yang diserahkan oleh Tertanggung. Sehingga Asuransi Konvensional batil karena jaminan dengan imbalan yang tidak sah (Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman, 2014: 153-154).

Menyangkut gharar, Asuransi Konvensional terdapat gharar dalam hal sumber dana pembayaran klaim. Tertanggung tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan berasal manakala ia meninggal atau mendapat musibah sebelum premi yang harus dibayarkan terpenuhi. Masyarakat mengetahui bahwa dana diperoleh dari sebagian bunga dari penyimpanan uang premi di bank konvensional. Dapat dikatakan, bahwa dalam Asuransi Konvensional selain gharar juga terdapat riba. Selain itu, unsur maysir dalam praktek Asuransi Konvensional adalah bila Tertanggung mengundurkan diri sebelum jangka waktu pertanggungan habis, tidak akan mendapat apa-apa karena uang premi hangus. Kalaupun bisa diambil hanyalah sedikit, sehingga merugikan Tertanggung. Sedangkan dalam Asuransi Syariah, sejak awal peserta diberitahu darimana dana yang diterimanya bila meninggal atau mendapat musibah. Pembayaran premi sejak awal telah dibagi dua yaitu masuk ke rekening peserta dan rekening tabarru‟ atau shodaqoh untuk membantu yang lainnya. Maka apabila peserta meninggal sebelum masa jatuh temponya habis, kekurangan pertanggungan akan diambil dari rekening tabarru‟ (Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman, 2014: 155).

(35)

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Berdasarkan bagan di atas, akan menjadi langkah-langkah penulis guna menjawab perumusan masalah yang yang telah dipaparkan di muka. Pemaparan akan dimulai dari bahasan mengenai konsep dasar Asuransi di Indonesia dalam KUHD. Seiring dengan perkembangan Asuransi di Indonesia, maka dibentuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Tidak hanya Asuransi Konvensional saja yang berkembang, namun Asuransi Syariah juga mengalami perkembangan di Indonesia. Perkembangan Asuransi Syariah guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang ingin menggunakan jasa Asuransi yang sesuai dengan prinsip syariah. Namun, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian kurang mengakomodir Asuransi Syariah. Oleh karena itu, keluarlah Fatwa DSN-MUI Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Agar memiliki kekuatan hukum, maka perlu diimbangi dengan suatu regulasi baru yang mengatur mengenai Asuransi Syariah yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang

Asuransi Syariah UU 2/1992 tentang Usaha Perasuransian UU 40/2014 tentang Perasuransian Asuransi Konvensional Fatwa DSN-MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah KUHD

(36)

Perasuransian yang menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Oleh karena itu, dalam penulisan hukum ini akan mengkaji mengenai perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan faktor-faktor perkembangan pengaturan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Karena dengan tak pernah absenya Mischief Denim dalam event tahunan tersebut di tambah dengan merupakan salah satu produk jeans lokal yang memiliki followers Instagram terbanyak

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki percaya diri tinggi memperoleh keterampilan proses sains biologi siswa lebih baik dengan skor 118,3

Banyak penelitian menunjukan bahwa meningkatnya jarak tempuh latihan pada pelari wanita mempunyai hubungan yang hampir linier dengan kejadian amenorrhoea bila jarak tempuh

Direktorat  Jenderal  Pendidikan  Dasar  dan  Menengah  Departeman  Pendidikan  Nasional  (Ditjen  Dikdasmen  Depdiknas),  menetapkan  bahwa  penyampaian  mata 

 Melakukan koordinasi dan pengontrolan saluran pemasaran  Memahami potensi konflik dan solusinya dalam saluran pemasaran  Melakukan evaluasi kinerja saluran pemasaran. Apa

Oleh karena studi ini memfokuskan pada kajian kebutuhan pelayanan kawasan industri mebel Kalijambe berdasarkan preferensi pengusaha kecil (perajin) dan menengah

Berbagai inisiatif e-Government tidak akan ada gunanya jika tidak ada pihak yang merasa diuntungkan dengan adanya implementasi konsep tersebut dan dalam hal ini, yang

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 butir 11 menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu,