• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PENERAPAN IPTEK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR PENERAPAN IPTEK"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

PENERAPAN IPTEK

PENERAPAN IPTEKS MELALUI PELATIHAN

ERGO-ENTREPRENEURSHIP UNTUK MENGEMBANGKAN

SIKAP KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG KULINER DI

DESA PELIATAN UBUD GIANYAR BALI

Oleh:

Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes. (NIP. 196812171993031003)

Prof. Dr. Ni Putu Ristiati, M.Pd. (NIP. 195001041980032001)

Ida Ayu Putu Suryanti, S.Si., M.Si. (NIP. 198212052014042001)

Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)

Universitas Pendidikan Ganesha dengan SPK Nomor: 29/UN48.16/PM/2016 Tanggal 25 Pebruari 2016

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MIPA

LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

TAHUN 2016

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat’Nyalah maka Laporan Pengabdian pada Masyarakat yang berjudul: “ Penerapan IPTEKS Melalui Pelatihan Ergo-Entrepreneurship untuk

Mengembangkan Sikap Kewirausahaan Pedagang Kuliner di Desa Peliatan Ubud Gianyar Bali” dapat diselesaikan sesuai rencana. Dalam penulisan laporan pengabdian ini,

kami banyak mendapat masukan-masukan atau saran-saran dari berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penulisan laporan pengabdian tersebut.

Kami menyadari sepenuhnya akan kekurangan isi laporan pengabdian ini, sehingga dengan kerendahan hati kami mohon kritik dan saran untuk kelengkapan dan kesempurnaan laporan pengabdian tersebut. Sebagai akhir kata kami berharap agar laporan pengabdian ini bermanfaat terutama bagi mereka yang tertarik dengan masalah-masalah ergonomi di bidang kuliner, khususnya yang berkaitan dengan sikap kewirausahaan.

Singaraja, Oktober 2016

(4)

ABSTRAK

PENERAPAN IPTEKS MELALUI PELATIHAN ERGO-ENTREPRENEURSHIP UNTUK MENGEMBANGKAN SIKAP KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG KULINER

DI DESA PELIATAN UBUD GIANYAR BALI Oleh:

I Made Sutajaya, Ni Putu Ristiati, dan Ida Ayu Putu Suryanti Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNDIKSHA

Tujuan pengabdian adalah memberdayakan masyarakat melalui pelatihan ergo-entrepreneurship untuk mengembangkan sikap kewirausahaan yang akan berdampak positif terhadap pendapatan pedagang kuliner. Pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah pendekatan partisipatori berbasis ergonomi. Kegiatan pelatihan ergo-entrepreneurship yang dilakukan, diawali dengan identifikasi masalah, kemudian dibuat prioritas masalah dan selanjutnya dibuat rencana tindak (action plan). Rencana tindak ini digunakan sebagai intervensi terhadap pedagang kuliner yanng merupakan salah satu penerapan IPTEKS di sektor informal. Pengabdian berupa pelatihan ergo-entrepreneurship dilakukan untuk mengenalkan prinsip-prinsip ergonomi yang dipadukan dengan konsep kewirausahaan yang dapat diimplementasikan dalam usaha kuliner lokal. Pengabdian ini melibatkan 15 orang pedagang kuliner lokal yang berjualan di Alun-alun Desa Peliatan, Ubud, Gianyar. Keberhasilan pengabdian ini dievaluasi dari perubahan sikap kewirausahaan pedagang kuliner antara sebelum dan sesudah pelatihan. Sikap kewirausahaan didata dengan menggunakan kuesioner kewirausahaan dengan skala Likert dan hasilya dianalisis dengan uji t paired karena datanya berdistribusi normal pada taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan ergo-entrepreneurship ternyata dapat meningkatkan sikap kewirausahaan pedagang dan berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan pedagang kuliner yang tentunya akan berimbas kepada pendapatan masyarakat setempat serta terjalinnya kerjasama dengan event organizer yang memerlukan kuliner. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: (a) penerapan IPTEKS melalui pelatihan ergo-entrepreneurship cukup memadai dilakukan dilihat dari antusiasme pedagang kuliner untuk mengembangkan sikap kewirausahaannya dan (b) penerapan IPTEKS melalui pelatihan ergo-entrepreneurship dapat meningkatkan sikap kewirausahaan pedagang kuliner lokal secara bermakna sebesar 9,57% (p < 0,05).

(5)

ABSTRACT

THE APPLICATION OF SCIENCE AND TECHNOLOGY THROUGH ERGO-ENTREPRENEURSHIP TRAINING TO DEVELOP ENTREPRENEURSHIP ATTITUDES OF TRADERS IN PELIATAN VILLAGE

UBUD GIANYAR BALI By

I Made Sutajaya, Ni Putu Ristiati, and Ida Ayu Putu Suryanti Biology Department MIPA Faculty UNDIKSHA

The purpose of community service is to empower the community through training ergo-entrepreneurship in developing of entrepreneurial attitude that will positively affect revenue culinary merchants. The approach used in this training is based on participatory approach ergonomics. Ergo-entrepreneurship training activities were carried out beginning with the identification of the problems then made a priority issue and subsequently created an action plan (action plan). This action plan is used as an intervention against traders culinary which is one application of science and technology in the informal economy. Dedication form ergo-entrepreneurship training conducted to introduce the principles of ergonomics, combined with an entrepreneurial concept that can be implemented in local culinary business. This devotion involves 15 subjects who selling goods on the local culinary square in Peliatan Village, Ubud, Gianyar. The success of this service is evaluated from the change in the entrepreneurial attitude of culinary merchants between before and after training. Entrepreneurial attitudes were collected by using an entrepreneurship questionnaire with Likert scale and the result was analyzed by paired t test for normally distributed data at the 5% significance level. The results showed that the training ergo-entrepreneurship may increase entrepreneurial attitude and the merchant directly impact the revenue increase of culinary merchants that will certainly impact on the revenue of local communities and establishment of cooperation with the event organizer that requires culinary. It can be concluded that: (a) the application of science and technology through training ergo-entrepreneurship adequate done seen from the enthusiasm of traders culinary to develop an attitude of entrepreneurship and (b) the application of science and technology through training ergo-entrepreneurship may increase entrepreneurial attitudes merchants local culinary significantly by 9.57% (p <0.05).

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Sampul... i

Halaman Pengesahan... ii

Kata Pengantar... iii

Abstrak... iv

Abstract... v

Daftar Isi... vi

Daftar Tabel... vii

Daftar Gambar... viii

Daftar Lampiran... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Analisis Situasi... 1

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah... 3

1.3 Tujuan Kegiatan... 4

1.4 Manfaat Kegiatan... 4

BAB II METODE PELAKSANAAN... 5

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN... 20

BAB IV PENUTUP... 31

4.1 Simpulan... 31

4.2 Saran... 31

DAFTAR PUSTAKA... 32

(7)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Kerangka Pemecahan Masalah melalui Penerapan IPTEKS... 5 Tabel 3.1. Karakteristik Kuliner yang Dijajakan (n = 15)... 20 Tabel 3.2. Kondisi Lingkungan di Sekitar Tempat Berjualan (n = 15)... 20 Tabel 3.3. Hasil Analisis Deskriptif Penerapan IPTEKS dengan Kajian

Ergo-entrepreneurship... 21 Tabel 3.4. Hasil Uji Beda Sikap Kewirausahaan Pedagang Kuliner

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 3.1. Suasana Kuliner di Alun-alun Desa Peliatan... 24 Gambar 3.2. Barang Dagangan yang Dijajakan Kuliner

di Alun-alun Desa Peliatan... 25 Gambar 3.3. Suasana Kuliner saat Ada Turnamen Bola Voli... 25

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Absensi Peserta Kegiatan………. 34

Lampiran 2. Hasil Analisis Hasil Analisis Statistik Sikap Kewirausahaan

Pedagang Kuliner Sebelum dan Sesudah Pelatihan……… 35

Lampiran 3. Foto-foto Kegiatan………..……… 36

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Analisis Situasi

Kondisi ekonomi masyarakat Desa Peliatan mulai tahun 2002 tampaknya mengalami penurunan. Itu terjadi sebagai akibat terpuruknya usaha dalam bidang pariwisata sebagai dampak dari Bom Bali pada saat itu. Itu terjadi karena masyarakat di Desa Peliatan lebih dominan menggantungkan nasibnya di bidang pariwisata (RPJM, 2011). Kondisi tersebut semakin diperparah oleh melambungnya harga sembako di pasaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perekonomian di Desa Peliatan mengalami goncangan yang sangat serius dan memerlukan penanggulangan sesegera mungkin agar tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk lagi yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin.

Padahal Desa Peliatan memiliki berbagai potensi ekonomi yang cukup handal dan dapat mendatangkan penghasilan yang memadai. Misalnya dari hasil uji coba usaha kuliner khas Desa Peliatan yang dibuka di Alun-alun depan Puri Peliatan selama 11 hari dari tanggal 4 s.d. 15 Maret 2012 diperoleh data: (a) penghasilan pedagang mencapai 1,5 s.d. 2,3 juta selama kegiatan; (b) jumlah pelaku kuliner semakin meningkat yang semula hanya 9 pedagang meningkat menjadi 31 pedagang; (c) antusiasme masyarakat untuk mengunjungi tempat tersebut cukup tinggi, karena rerata kunjungan per hari kurang lebih 300 orang. Akan tetapi dengan semakin banyaknya para pendatang yang membuka usaha di Desa Peliatan membuat masyarakat Desa Peliatan semakin terdesak dan kehilangan peluang untuk usaha-usaha tertentu karena ketatnya persaingan ekonomi saat ini dan rendahnya pengetahuan masyarakat dalam bidang kewirausahaan.

Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan. Dalam perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi dan nonmaterial (Muchtar, 2007). Potensi kuliner sesunguhnya adalah modal besar bagi masyarakat di Desa Peliatan, akan tetapi karena tersendat-sendatnya upaya pemasaran kuliner tersebut mengakibatkan banyak masyarakat yang beralih ke usaha lain. Permasalahan mendasar inilah yang tampaknya dapat ditanggulangi melalui pemberdayaan masyarakat dengan pelatihan ergo-entrepreneurship. Dalam pelatihan tersebut ditekankan bahwa prinsip-prinsip ergonomi selalu dijadikan acuan di

(11)

dalam memperbaiki kondisi kerja pada usaha kuliner baik pada proses pembuatan makanan maupuun saat menjajakan makanan tersebut. Hal itu dilakukan demi terwujudnya kuliner lokal yang layak jual dan sehat sehingga berpeluang untuk dikembangkan ke arah yang lebih maju di era global yang ditandai dengan persaingan yang semakin ketat dan keras.

Perlunya dilakukan pengabdian masyarakat berupa pelatihan ergo-entrepreneurship, karena dari hasil analisis situasi, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan usaha ekonomi produktif atau usaha mikro masyarakat khususnya dalam usaha kuliner yaitu: (a) kurangnya modal usaha; (b) ketidakberanian masyarakat untuk memanfaatkan pinjaman di Bank sebagai modal usahanya; (c) kurangnya pengetahuan dan pengalaman masyarakat tentang kewirausahaan; (d) kurangnya aset dan akses usaha; (e) mutu hasil olahan yang relatif rendah; (e) sulitnya pemasaran produk yang dihasilkan; dan (f) minimnya fasilitator yang dapat membantu masyarakat untuk memfasilitasi usaha pemasaran dan pengadaan bahan baku. Hal ini mengakibatkan banyak usaha mikro yang tidak mampu berkembang dan terancam bangkrut.

Di samping itu keberanian pedagang kuliner lokal untuk bersaing dengan pedagang-pedagang dari luar desa atau dari luar Pulau Bali, tampaknya sangat mengkhawatirkan. Itu terbukti dari ketidaksabaran pedagang pada saat sepi pengunjung. Pedagang kuliner lokal lebih mudah menyerah dibandingkan dengan pedagang dari luar desa. Ini menunjukkan bahwa sikap kewirausahaan mereka perlu dikembangkan lagi agar mereka lebih ulet, gigih, dan optimis untuk mengembangkan kulinernya. Dalam hal ini prinsip-prinsip ergonomi yang lebih menekankan kepada unsur kesehatan dan manajerial dalam beraktivitas yang dipadukan dengan konsep-konsep kewirausahaan sangat perlu disosialisasikan kepada pedagang kuliner local agar sikap kewirausahaannya dapat ditingkatkan. Ini merupakan modal dasar untuk bersaing di era global.

Dilihat dari aspek ergonomi, ternyata para pedagang belum mempertimbangkan aspek-aspek yang harus diterapkan dalam menjalankan usaha kuliner. Misalnya: (a) ketika memilih tempat yang strategis untuk berjualan tidak mempertimbangkan kenyamanan pengunjung; (b) ketika memilih warna sarana dan prasarana yang digunakan tidak mengacu kepada konsep ergonomi yang menekankan bahwa warna merah sangat cocok untuk usaha kuliner; (c) ketika menentukan waktu berjualan tidak mempertimbangkan perilaku masyarakat setempat yang gemar berpetualang di bidang kuliner; dan (d) ketidakberanian menambah omset penjualan

(12)

pada hari-hari tertentu atau event tertentu yang dilaksanakan oleh desa, yang merupakan peluang untuk meningkatkan pendapatan.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Bertolak dari analisis situasi yang telah diungkapkan di atas dan hasil diskusi dengan pedagang kuliner serta observasi terhadap situasi dan kondisinya teridentifikasi permasalahan sebagai berikut.

1. Pedagang kuliner belum memiliki kerjasama dengan pihak lain dalam memasarkan dan mempromosikan produknya.

2. Pemasaran terhadap produk yang dihasilkan masih terbatas pada lokasi tempat berjualan.

3. Upaya pemasaran produk kuliner melalui kerjasama dengan event organizer yang memerlukan kuliner masih sangat minim

4. Promosi melalui media terkait belum dilakukan, karena terbatasnya fasilitator atau mediator yang bersedia untuk melalukan hal tersebut.

5. Ketidakberanian pedagang kuliner untuk memproduksi barang dagangannya dengan jumlah yang lebih banyak, karena mekanisme pemasaran belum jelas.

Rumusan Masalah

Bertolak dari identifikasi permasalahan di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut.

1. Perlu disosialisasikan konsep-konsep ergo-entrepreneurship dalam mengatasi permasalahan ergonomi dan kewirausahaan yang dihadapi olehpedagang kuliner lokal di Desa Peliatan.

2. Perlu pelatihan ergo-entrepreneurship melalui pendekatan partisipatori untuk mengembangkan sikap kewirausahaan pedagang kuliner di Desa Peliatan.

3. Perlu penanganan segera terhadap permasalahan ergonomi dan kewirausahaan yang selama ini menyertai pedagang kuliner di Desa Peliatan.

(13)

1.3 Tujuan Kegiatan

Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiattan pengabdian masyarakat melalui penerapan IPTEKS ini adalah sebagai berikut.

1. Menanamkan konsep-konsep ergo-entrepreneurship dalam mengatasi masalah ergonomi dan kewirausahaan pada pedagang kuliner di Desa Peliatan.

2. Mengetahui cara mengatasi permasalahan ergonomi dan kewirausahaan yang dihadapi pedagang kuliner di Desa Peliatan.

3. Mengetahui keberhasilan pelatihan ergo-entrepreneurship dilihat dari perubahan sikap kewirausahaan pedagang kuliner di Desa Peliatan.

1.4 Manfaat Kegiatan

Manfaat yang diharapkan dari hasil kegiatan pengabdian masyarakat melalui penerapan IPTEKS ini adalah sebagai berikut

1. Dapat dimanfaatkan sebagai acuan di dalam mengatasi kondisi kerja yang tidak ergonomis dan sikap kewirausahaan yang belum memadai sehingga tidak berdampak buruk terhadap keberlanjutan usaha kuliner di Desa Peliatan. 2. Dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan pemikiran bagi pedagang kuliner dan

instansi terkait berkenaan dengan upaya mengatasi masalah ergonomi dan kewirausahaan.

3. Dapat dimanfaatkan sebagai suatu alternatif solusi yang efektif dan efisien di dalam mengatasi sikap kewirausahaan yang belum memadai dan masalah pemasaran yang dihadapi oleh pedagang kuliner di Desa Peliatan.

(14)

BAB II

METODE PELAKSANAAN 2.1 Kerangka Pemecahan Masalah

Kerangka pemecahan masalah yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat adalah sebagai berikut.

a. Melalui implementasi Teknologi Tepat Guna yang menekankan pada upaya perbaikan sikap kewirausahaan yaitu: (1) secara teknis perbaikan tersebut dapat dikalukan; (b) secara ekonomis dapat dibiayai; (3) secara kesehatan dapat dipertanggung-jawabkan; (4) secara sosial budaya tidak bertentangan; (5) hemat energi; dan (6) tidak merusak lingkungan (Manuaba, 2008)

b. Melalui implementasi pendekatan ergonomik partisipatori yang dapat dijelaskan bahwa semua orang yang terlibat dalam pemecahan masalah harus dilibatkan sejak awal secara maksimal agar dapat diwujudkan mekanisme kerja yang kondusif dan diperoleh produk yang berkualitas sesuai dengan tuntutan jaman (Manuaba, 2008) c. Melalui model Enthrepreneurship Capasity Building (ECP) yang diterapkan

melalui awareness program sebagai upaya untuk meningkatkan wawasan pedagang kuliner tentang kewirausahaan dan pemasaran serta cara memonitoring dan mengevaluasi perkembangan usahanya.

d. Melalui kerjasama usaha antara pedagang kuliner dengan event organizer yang akan memberi peluang cukup besar untuk pemasaran produk.

Secara rinci kerangka pemecahan masalah melalui penerapan IPTEKS dapat dicermati pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kerangka Pemecahan Masalah melalui Penerapan IPTEKS

NO KEGIATAN PENERAPAN IPTEKS

1 Identifikasi dan Pemecahan

Masalah Ergonomi

a) Kondisi kerja secara umum

Melalui kajian ergonomi ditelusuri kondisi kerja yang berpotensi memunculkan penyakit akibat kerja dan berdampak kepada keberlanjutan usaha kuliner

b) Kondisi lingkungan di tempat kerja

Disosialisasikan tentang prinsip-prinsip lingkungan kerja yang ergonomis (aman, nyaman, dan sehat) serta cara mengaplikasikan ergonomi dalam mengatasi kondisi lingkungan yang berisiko memunculkan penyakit akibat kerja dan berdampak kepada animo masyarakat untuk

(15)

berkunjung ke lokasi kuliner

c) Organisasi kerja Disosialisasikan tentang penerapan organisasi kerja yang mengacu kepada pendekatan ergonomik partisipatori.

2 Diskusi interaktif dalam

menelusuri kendala yang dijumpai dan alternatif solusinya terkait dengan aplikasi ergonomi

Secara partisipatori semua stakeholders yang terkait diajak berdiskusi, sehingga kendala yang ada betul-betul merupakan kendala bersama dan alternatif solusi yang ditawarkan merupakan hasil pemikiran bersama

3 Pelatihan singkat

penyusunan action plan (rencana tindak)

Setelah dipilah dan dipilih permasalahan yang

teridentifikasi dan berorientasi kepada kendala yang ada, dilakukan pelatihan membuat rumusan action plan yang mengacu kepada unsur 5 W, 2 H, dan 1 R (what: apa yang akan dikerjakan); why: mengapa itu yang dikerjakan; when: kapan

dikerjakan; who: siapa yang mengerjakan: where: dimana dikerjakan; How: bagaimana caranya; How much: berapa biayanya; dan Regulation: apa dasar hukum atau peraturan yang digunakan

4 Kerjasama dengan pihak

konsumen

Difasilitasi kerjasama pemasaran dengan event organizer yang memerlukan kuliner

5 Pemantauan keberlanjutan

usaha kuliner

Selalu diupayakan kerjasama mutualisme antara

penghasil produk kuliner dengan event organizer yang memerlukan produk tersebut

2.2 Khalayak Sasaran

Khalayak sasaran yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan pengabdian masyarakat ini adalah sebagai berikut.

1. Pedagang kulier di Desa Peliatan, Ubud, Gianyar yang saat ini mengalami perrmasalahan ergonomi dan kewirausahaan ketika ingin memasarkan produknya. 2. Para generasi muda di Desa Peliatan, Ubud, Gianyar yang tertarik untuk menekuni

usaha kuliner yang sudah terbukti dapat menopang penghasilan keluarga.

3. Event Organizer (EO) yang bersedia menjadi perpanjangaan tangan para pedagang kuliner terkait dengan upaya perluasan pemasaran produk.

2.3 Keterkaitan

Lembaga terkait yang dilibatkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat melalui penerapan IPTEKS ini adalah sebagai berikut.

1. Undiksha dengan Pemda Kabupaten Gianyar yang bisa secara kolaboratif dapat membantu pedagang kuliner dalam mengatasi masalah pemasaran produk.

(16)

2. Pemerintahan Desa Peliatan melalui Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dapat merintis kerjasama dengan pihak UNDIKSHA khususnya dalam hal pemecahan masalah ergonomi dan kewirausahaan pedagang kuliner.

2.4 Metode Kegiatan

Metode kegiatan pengabdian masyarakat melalui penerapan IPTEKS ini adalah sebagai berikut.

a. Tahap persiapan

Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan sebagai berikut.

1) Sosialisasi program pengabdian masyarakat kepada mitra.

2) Penyusunan indikator dan instrumen program pengabdian masyarakat yang berkaitan dengan upaya pemecahan masalah ergonomi dan kewirausahaan yang dihadapi pedagang kuliner (mitra)

3) Penetapan tim pelaksana program pengabdian masyarakat sesuai dengan kepakarannya masing-masing

4) Pelatihan terhadap tim pelaksana tentang konsep-konsep ergonomi dan kewirausahaan yang dapat diaplikasikan dalam usaha kuliner.

b. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan program dilakukan kegiatan sebagai berikut.

1. Pendataan masalah-masalah ergonomi dan kewirausahaan yang menyertai pedagang kuliner di Desa Peliatan selama ini.

2. Dilakukan ceramah dan diskusi (tanya-jawab) mengenai dampak negatif yang diakibatkan oleh kondisi kerja yang tidak ergonomis dan sikap kewirausahaan yang tidak memadai terhadap keberlanjutan usaha kuliner.

3. Mensosialisasikan cara-cara mengaplikasikan prinsip-prinsip ergonomi dan kewirausahaan dalam mengatasi masalah pemasaran produk kuliner.

4. Menyampaikan kepada padagang kuliner (mitra) tentang prinsip-prinsip ergonomi dan kewirausahaan yang layak dan tepat diterapkan di tempat mereka.

(17)

5. Melalui diskusi interaktif, ditelususi kendala yang mungkin terjadi terkait dengan aplikasi ergo-entrepreneurship dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh pedagang kuliner.

6. Memfasilitasi kerjasama antara pedagang kuliner dengan Event Organizer yangbmemerlukan produk kuliner untuk memperluas pemasaran produk.

c. Tahap Pemantauan

Pada tahap pemantauan terhadap program pengabdian masyarakat dilakukan kegiatan sebagai berikut.

1. Pemantauan terhadap hasil pendataan masalah ergonomi dan kewirausahaan yang dihadapi oleh edagang kuliner.

2. Pemantauan terhadap hasil pelatihan ergo-entrepreneurship dalam

mengembangkan sikap kewirausahaan pedagang kuliner.

3. Pemantauan terhadap kesadaran pedagang kuliner dalam mengaplikasikan prinsip ergonomi dan kewirausahaan untuk menunjang keberlanjutan usaha kuliner.

4. Pemantauan terhadap kerjasama antara pedagang kuliner dengan event organizer yang siap memperluas upaya pemasaran produk.

2.5 Rancangan Evaluasi

Rancangan evaluasi yang akan dilakukan dalam menilai keberhasilan kegiatan pengabdian masyarrakat adalah sebagai berikut.

1. Evaluasi terhadap perubahan sikap kewirausahaan pedagang kuliner setelah diberikan pelatihan ergo-entrepreneurship.

2. Evaluasi terhadap hasil implementasi prinsip-prinsip ergonomi dan kewirausahaan dalam mengatasi permasalahan para pedagang kuliner dilihat dari indikator berupa sikap kewirausahaan.

3. Evaluasi terhadap keberlanjutan usaha kuliner setelah dipahaminya konsep ergo-entrepreneurship yang dapat diaplikasikan dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh pedagang kuliner.

4. Evaluasi terhadap keberhasilan kerjasama antara pedagang kuliner dengan event organizer yang memerlukan produk kuliner.

(18)

2.6 Materi Pelatihan

2.6.1 Ergonommi dalam Pemberdayaan Masyarakat

Ergonomi berasal dari kata Yunani yaitu ergon (kerja) dan nomos (aturan). Definisi ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menyerasikan alat, cara kerja dan lingkungan pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya (Manuaba, 2008). Ergonomi sangat diperlukan di dalam suatu kegiatan yang melibatkan manusia di dalamnya dengan memperhitungkan kemampuan dan tuntutan tugas.

Kemampuan manusia sangat ditentukan oleh faktor-faktor profil, kapasitas fisiologi, kapasitas psikologi dan kapasitas biomekanik, sedangkan tuntutan tugas dipengaruhi oleh karakteristik dari materi pekerjaan, tugas yang harus dilakukan, organisasi dan lingkungan dimana pekerjaan itu dilakukan (Manuaba, 2008). Dengan ergonomi dapat ditekan dampak negatif pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena dengan ergonomi berbagai penyakit akibat kerja, kecelakaan, pencemaran, keracunan, ketidak-puasan kerja, kesalahan unsur manusia, bisa dihindari atau ditekan sekecil-kecilnya (Manuaba, 2008). Dalam hal ini ergo-entrepreneurship dimaknai sebagai konsep-konsep ergonomi yang dapat diimplementasikan di dalam pengembangan pengetahuan dan sikap kewirausahaan seseorang sehingga mereka mampu bersaing di era global.

Sumber kerja diartikan sebagai aspek-aspek fisik, social atau organisasional dari pekerjaan yang dapat: (a) menurunkan tuntutan pekerjaan dan biaya yang berkaitan dengan faktor fisiologis dan psikologis; (b) berfungsi dalam pencapaian tujuan kerja; (c) menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan individu. Sumber kerja merupakan predictor terpenting dari engagement, karena mampu memprediksi komitmen suatu organisasi. Sumber kerja berperan dalam pembentukan proses motivasi karena karyawan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan ekonomi, kompetensi, dan berhubungan dengan orang lain. Penelitian terkini menyatakan bahwa suber kerja termasuk pada level tugas sebagai umpan balik kinerja, level interpersonal sebagai dukungan dari rekan kerja, dan level organisasi sebagai pembinaan supervisor (Bakker & Leiter, 2010: .Bakker, 2010; Bakker, et al, 2011 ; Bakker, et al, 2008; Shimazu, et al, 2010)

(19)

Pemanfaatan prinsip-prinsip ergonomi dalam mendesain suatu produk membuat produk tersebut menjadi lebih sesuai dengan pemakai (users friendly), memuaskan, nyaman dan aman (Manuaba 2008; Fam, et al, 2007; Limerick, et al, 2007). Untuk memudahkan dan mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul, penerapan ergonomi hendaknya menggunakan bahasa yang sederhana, bahasa perusahaan atau bahasa masyarakat. Pendekatan sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipatori (SHIP) hendaknya selalu dimanfaatkan dalam setiap pemecahan masalah atau merencanakan sesuatu sehingga tidak ada lagi masalah yang tertinggal atau muncul di kemudian hari (Manuaba, 2008; Azadeh, et al, 2007). Di samping itu pendekatan SHIP hendaknya diterapkan dalam pemilihan dan alih teknologi sehingga menjadi tepat guna, dengan persyaratan: (a) secara teknik hasilnya lebih baik; (b) secara ekonomi lebih menguntungkan; (c) secara sosial budaya dapat diterima; (d) kesehatan dapat dijamin dan dipertanggungjawabkan; (e) hemat dalam pemakaian energi; dan (f) tidak merusak lingkungan (Manuaba, 2008; Munaf, et al., 2008). Dari beberapa perbaikan ergonomi terbukti bahwa dengan penerapan ergonomi mampu memberikan keuntungan secara ekonomi, meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kerja. Malah telah sampai pada simpulan good ergonomi is good economic yang merupakan acuan utama konsep ergo-entrepreneurship (Sutjana, et al., 2008).

Pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan eksternal. Tanpa mengecilkan arti dan peranan salah satu faktor, sebenarnya kedua faktor tersebut saling berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan dinamis. Meskipun dari beberapa contoh kasus yang disebutkan sebelumnya faktor internal sangat penting sebagai salah satu wujud self-organizing dari masyarakat namun juga perlu memberikan perhatian pada faktor eksternalnya (Anonim, 2012). Cook (1994) dalam Anonim (2012) menyatakan pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju ke arah yang positif.

Giarci (2001) (dalam Anonim, 2012) memandang community development sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan masyarakat. Itu berarti pemberdayaan

(20)

masyarakat melalui pelatihan ergonomi sesungguhnya mengupayakan agar masyarakat menyadari betapa pentingnya kesehatan dan kebugaran dalam bekerja. Di sisi lain melalui pelatihan ergonomi dapat diwujudkan pembangunan berkelanjutan, karena akan tercipta pekerja-pekerja yang tangguh tanpa terpapar oleh kondisi kerja yang tidak aman, tidak sehat, dan tidak nyaman. Pada akhirnya akan diperoleh mekanisme kerja yang efektif, efisien, dan produktif.

2.6.2 Pertimbangan Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan Masyarakat

Kearifan lokal adalah unsur kebudayaan tradisional yang telah memiliki sejarah yang panjang dan hidup dalam kesadaran kesadaran kolektif manusia dan masyarakat sejagat, terkait dengan sumber daya alam, sumber daya kebudayaan, sumber daya manusia, ekonomi, hokum dan keamanan (Geriya, 2007). Secara konseptual kearrifan lokal merupakan bagian dari sistem pengetahuan sederhana (Sarna, 2008). Di antara keanekaragaman jenis kearifan lokal, ditemukan beberapa kearifan lokal yang memiliki kualitas dan keunggulan dengan kandungan nilai-nilai universal seperti historis, religius, etika, estetika, sains dan teknologi yang disebut lokal genius.

Tri Hita Karana sebagai warisan budaya Bali ternyata memiliki banyak keterkaitan dengan ergonomi karena kaya dengan filosofi, nilai, etika lokal, dan dengan focus berupa konfigurasi nilai harmoni. Dalam hal ini prinsip ergonomi yang mengutamakan unsur kenyamanan, kesehatan, keamanan, efisiensi, dan efektivitas serta produktivitas kerja amat terkait dengan konsep Tri Hita Karana yang sangat mempengaruhi perilaku orang Bali dalam beraktivitas. Di samping itu warisan leluhur tentang konsep keseimbangan yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana tersebut selalu menjadi inspirasi bagi pengelolaan sumber daya alam di Bali. Dalam hal ini penerapan ergonomi di industri kecil yang berbasis kearifan lokal sesungguhnya adalah beruasaha agar terjadi keseimbangan antara aktivitas manusia dengan daya dukung alam di sekitarnya. Penanganan limbah perusahaan dan pembatasan waktu kerja merupakan upaya ergonomi untuk menserasikan antara tuntutan tugas dengan kemampuan manusia dan faktor lingkungan yang menyertai para pekerja saat beraktivitas.

Budaya Bali sangat menekankan keseimbangan dari pola relasi hubungan dengan Tuhan, manusia, dan lingkungan. Kedinamisan keseimbangan pola relasi ini sangat terkait dengan dinamika perjalanan waktu dan keadaan yang terjadi (desa, kala, patra). Konsep desa

(21)

kala patra juga menjadi acuan dalam perbaikan stasiun dan proses kerja di industri kecil, karena konsep ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan intervensi ergonomi di suatu daerah (Sutajaya & Ristiati, 2011).

Ajaran Catur Purusartha (Dharma, Artha, Kama, Moksa) diarahkan untuk mencapai tujuan kebebasan yang abadi dan kesejahteraan seantero alam semesta dengan istilah mokshartam jagadhita. Tujuan untuk mencapainya adalah dengan Catur Marga (Karma, Bhakti, Jnana, Raja). Konsep ini amat terkait dengan prinsip ergonomi yang menekankan kepada upaya manusia untuk meningkatkan produktivitas kerjanya dalam mencapai kesejahteraan hidup dan tetap terjaganya kualitas kesehatan jasmani dan rohani.

2.6.3 Pertimbangan Faktor Sosial Budaya dalam Pemberdayaan Masyarakat

Geriya (2007) menyatakan bahwa kristalisasi nilai-nilai budaya yang digali dari bumi Indonesia adalah: (a) unsur ke-Tuhanan yang diungkapkan dengan bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrua yang artinya berbeda-beda tetapi satu dan tidak ada agama yang memiliki tujuan berbeda dimana unsur kerukunan dan toleransi agama menjadi bingkai pemersatu; (b) unsur kemanusiaan yang egaliter dapat dijumpai pada tata kehidupan bermasyarakat yakni menghargai sesama umat dan saling membantu jika tertimpa musiba;, (c) unsur persatuan yang terihat jelas dengan adanya kebersamaan (collectives), kekeluargaan, persatuan dan kesatuan serta kegotong-royongan; (d) unsur kerakyatan sebagai ciri demokrasi terlihat dalam pengambilan keputusan dilakukan melalui jalan musyawarah mufakat; dan (e) unsur keadilan tercermin dalam kehidupan hukum adat sebagai salah satu aspek budaya yang mengatur secara adil dan merupakan kewajiban warga masyarakat setempat. Pendapat ini sangat berkaitan dengan unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan ergonomi khususnya di Bali yaitu: (a) bekerja diyakini sebagai suatu darma seseorang dan hasilnya akan dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) melalui pelaksanaan karma marga sebagai wujud bakti kepadaNya; (b) melalui penerapan ergonomi sejak dini diharapkan dicapai kondisi kerja yang lebih manusiawi dan tidak memaksa seseorang untuk bekerja di luar batasan, kemampuan dan kebolehannya; (c) suatu pekerjaan akan bisa dilakukan secara efektif dan efisien dengan hasil maksimal jika dikerjakan secara bersama-sama melalui tim kerja yang kondusif; (d) unsur kerakyatan sebagai ciri demokrasi sangat kentara di dalam suatu organisasi kerja yang menerapkan pendekatan SHIP (sistemik, holistik,

(22)

interdisipliner dan partisipatori) karena pendekatan tersebut memberi peluang kepada setiap orang untuk berkontribusi sama dalam setiap mengambil keputusan dan mereka yang ingin menang sendiri dan otoriter akan tereliminasi; dan (e) unsur keadilan dapat dilihat pada sistem pengupahan di mana prinsip ergonomi selalu menekankan kepada sistem pengupahan yang proporsional sesuai dengan beban kerja atau risiko yang dihadapi pekerja.

Penelitian pemberdayaan masyarakat yang berorientasi ergonomi yang menyentuh unsur tubuh manusia yaitu: bayu (kekuatan), sabda (suara) dan idep (pikiran) dapat dijelaskan sebagai berikut (Sutajaya, et al, 2009).

1. Dalam menentukan permasalahan di tempat kerja hendaknya memperhatikan status nutrisi atau energi dan pemanfaatan tenaga otot (bayu) terkait dengan subjek yang akan dilibatkan dan intervensi ergonomi yang dikenakan terhadap subjek penelitian.

2. Dalam membuat protokol penelitian unsur sabda atau pendapat (suara) subjek perlu diperhatikan, karena apa yang diinginkan peneliti belum tentu sesuai dengan keinginan subjek.

3. Saat memperbaiki kondisi kerjanya diharuskan untuk mengajak subjek secara partisipatori turut berpikir atau memanfaatkan idep mereka demi tercapainya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Penelitian pemberdayaan masyarakat yang berorientasi ergonomi yang menyentuh unsur sarana berlogika yaitu desa (tempat), kala (waktu) dan patra (kebiasaan) dapat dijelaskan sebagai berikut (Sutajaya, et al, 2009).

1. Pada proses penelitian karateristik lokasi (tempat) penelitian sangat menentukan keberhasilan suatu penelitian karena terkait dengan cara pemilihan sampel, rancangan yang digunakan, dan strategi pendataan. Untuk itu perlu diketahui karakteristik suatu wilayah yang akan dijadikan objek penelitian sehingga penelitian dapat berlangsung lancar dengan hasil yang maksimal.

2. Waktu penelitian juga sangat menentukan validitas dan reliabilitas data yang diperoleh karena jika salah menentukan alokasi waktu penelitian bisa berakibat fatal atau penelitian mengalami kegagalan, misalnya: penelitian dilakukan saat ada upacara agama, ini tentu akan mempengaruhi kondisi subjek.

(23)

3. Kebiasaan setempat perlu dipertimbangkan agar diperoleh data yang akurat karena kebiasaan seseorang yang mungkin sudah dilakukan selama bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad lamanya tidak bertindak sebagai variabel pengganggu atau menjadi masking effect dalam analisis data.

Penelitian pemberdayaan masyarakat yang berorientasi ergonomi yang menyentuh unsur peradilan yaitu bukti, saksi dan ilikita (logika) dapat dijelaskan sebagai berikut (Sutajaya, et al, 2009).

1. Bukti keberhasilan intervensi ergonomi sering digunakan sebagai acuan di dalam melaksanakan intervensi berikutnya, karena bukti yang bisa dilihat dan dirasakan oleh pekerja dapat bertindak sebagai pemicu motivasi pihak terkait untuk memperbaiki kondisi kerjanya.

2. Saksi juga diperlukan untuk mempromosikan keberhasilan intervensi ergonomi karena apa yang dikatakan atau dilaporkan oleh saksi yang dalam hal ini adalah subjek dan peneliti dapat mempengaruhi minat pekerja atau orang lain yang tertarik dengan intervensi tersebut untuk diterapkan di tempat mereka.

3. Ilikita atau logika sangat berpengaruh dalam mengambil suatu keputusan terkait dengan upaya perbaikan yang akan dilakukan, karena dalam penerapan ergonomi diawali dengan perbaikan yang sifatnya mudah dikerjakan, murah biayanya dan masuk akal. Itu berarti secara logis apa yang diterapkan dalam penelitian ergonomi hendaknya masuk akal dan bisa berlanjut atau tidak hanya terbatas sebagai penelitian saja.

2.6.4 Sikap Kewirausahaan sebagai Penunjang Pemasaran

Wirausaha adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis; mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan dalam rangka meraih sukses. Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Sedangkan yang dimaksudkan dengan seorang wirausahawan adalah orang-orang yang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatankesempatan bisnis; mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan

(24)

serta memiliki sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata secara kreatif dalam rangka meraih sukses/meningkatkan pendapatan (Amperaningrum & Ichyaudin, 2009).

Orang-orang yang memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam hidupnya. Secara epistimologis, sebenarnya kewirausahaan hakikatnya adalah suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat dan kiat dalam menghadapi tantangan hidup. Seorang wirausahawan tidak hanya dapat berencana, berkata-kata tetapi juga berbuat, merealisasikan rencana-rencana dalam pikirannya ke dalam suatu tindakan yang berorientasi pada sukses. Maka dibutuhkan kreatifitas, yaitu pola pikir tentang sesuatu yang baru, serta inovasi, yaitu tindakan dalam melakukan sesuatu yang baru.

Beberapa konsep kewirausahaan seolah identik dengan kemampuan para wirausahawan dalam dunia usaha (business). Padahal, dalam kenyataannya, kewirausahaan tidak selalu identik dengan watak/ciri wirausahawan semata, karena sifat-sifat wirausahawan pun dimiliki oleh seorang yang bukan wirausahawan. Wirausaha mencakup semua aspek pekerjaan, baik karyawan swasta maupun pemerintahan (Soeparman Soemahamidjaja, 1980 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009).

Wirausahawan adalah mereka yang melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide, dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang (opportunity) dan perbaikan (preparation) hidup (Prawirokusumo, 1997 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009). Kewirausahaan (entrepreneurship) muncul apabila seseorang individu berani mengembangkan usaha-usaha dan ide-ide barunya. Proses kewirausahaan meliputi semua fungsi, aktivitas dan tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan organisasi usaha (Suryana, 2001 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009 ). Esensi dari kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengkombinasian sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda agar dapat bersaing.

Menurut Zimmerer (1996) dalam Amperaningrum & Ichyaudin (2009), nilai tambah tersebut dapat diciptakan melalui cara-cara sebagai berikut:

1. Pengembangan teknologi baru (developing new technology) 2. Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge)

(25)

3. Perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada (improving existing products or services)

4. Penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit (finding different ways of providing more goods and services with fewer resources)

Walaupun di antara para ahli ada yang lebih menekankan kewirausahaan pada peran pengusaha kecil, namun sifat inipun sebenarnya dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi di luar wirausahawan. Jiwa kewirausahaan ada pada setiap orang yang menyukai perubahan, pembaharuan, kemajuan dan tantangan, apapun profesinya. Dengan demikian, ada enam hakekat pentingnya kewirausahaan dengan penjelasan sebagai berikut (Amperaningrum & Ichyaudin, 2009).

1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses dan hasil bisnis (Ahmad Sanusi, 1994 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009)

2. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha dan mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro, 1997 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009)

3. Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (kreatif) dan berbeda (inovatif) yang bermanfaat dalam memberikan nilai lebih.

4. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (Drucker, 1959 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009)

5. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreatifitas dan keinovasian dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan usaha (Zimmerer, 1996 dalam Amperaningrum & Ichyaudin, 2009)

6. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan

mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan.

Untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka setiap orang memerlukan ciri-ciri dan juga memiliki sifat-sifat dalam kewirausahaan. Ciri-ciri seorang wirausaha adalah: (a) percaya diri; (b) berorientasikan tugas dan hasil; (c) pengambil risiko; (d) kepemimpinan; (d) keorisinilan; (e) berorientasi ke masa depan; dan (f) jujur dan tekun (Wikipedia, 2012)

(26)

Sifat-sifat seorang wirausaha adalah sebagai berikut (Wikipedia, 2012). 1. Memiliki sifat keyakinan, kemandirian, individualitas, optimisme.

2. Selalu berusaha untuk berprestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan ketabahan, memiliki tekad yang kuat, suka bekerja keras, energik ddan memiliki inisiatif.

3. Memiliki kemampuan mengambil risiko dan suka pada tantangan.

4. Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain dan suka terhadap saran dan kritik yang membangun.

5. Memiliki inovasi dan kreativitas tinggi, fleksibel, serba bisa dan memiliki jaringan bisnis yang luas.

6. Memiliki persepsi dan cara pandang yang berorientasi pada masa depan. 7. Memiliki keyakinan bahwa hidup itu sama dengan kerja keras.

Bertolak dari ciri dan sifat watak seorang wirausahawan dapat diidentifikasi sikap seorang wirausahawan yang dapat diangkat dari kegiatannya sehari-hari, sebagai berikut (Wikipedia, 2012)

1. Disiplin

Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki kedisiplinan yang tinggi Arti dari kata disiplin adalah ketepatan komitmen wirausahawan terhadap tugas dan pekerjaannya. Ketepatan yang dimaksud bersifat menyeluruh, yaitu ketepatan terhadap waktu, kualitas pekerjaan, sistem kerja dan sebagainya. Ketepatan terhadap waktu, dapat dibina dalam diri seseorang dengan berusaha menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Sifat sering menunda pekerjaan dengan berbagai macam alasan, adalah kendala yang dapat menghambat seorang wirausahawan meraih keberhasilan Kedisiplinan terhadap komitmen akan kualitas pekerjaan dapat dibina dengan ketaatan wirausahawan akan komitmen tersebut. Wirausahawan harus taat azas. Hal tersebut akan dapat tercapai jika wirausahawan memiliki kedisiplinan yang tinggi terhadap sistem kerja yang telah ditetapkan. Ketaatan wirausahawan akan kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya adalah contoh dari kedisiplinan akan kualitas pekerjaan dan sistem kerja.

(27)

2. Komitmen Tinggi

Komitmen adalah kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki komitmen yang jelas, terarah dan bersifat progresif (berorientasi pada kemajuan). Komitmen terhadap dirinya sendiri dapat dibuat dengan identifikasi cita-cita, harapan dan target-target yang direncanakan dalam hidupnya. Sedangkan contoh komitmen wirausahawan terhadap orang lain terutama konsumennya adalah pelayanan prima yang berorientasi pada kepuasan konsumen, kualitas produk yang sesuai dengan harga produk yang ditawarkan, penyelesaian bagi masalah konsumen, dan sebagainya.Seorang wirausahawan yang teguh menjaga komitmennya terhadapkonsumen, akan memiliki nama baik di mata konsumen yang akhirnya wirausahawan tersebut akan mendapatkan kepercayaan dari konsumen, dengan dampak pembelian terus meningkat sehingga pada akhirnya tercapai target perusahaan yaitu memperoleh laba yang diharapkan.

3. Jujur

Kejujuran merupakan landasan moral yang kadang-kadang dilupakan oleh seorang wirausahawan Kejujuran dalam berperilaku bersifat kompleks Kejujuran mengenai karakteristik produk (barang dan jasa) yang ditawarkan, kejujuran mengenai promosi yang dilakukan, kejujuran mengenai pelayanan purnajual yang dijanjikan dan kejujuran mengenai segala kegiatan yang terkait dengan penjualan produk yang dilakukan olehwirausahawan.

4. Kreatif dan Inovatif

Untuk memenangkan persaingan, maka seorang wirausahawan harus memiliki daya kreativitas yang tinggi. Daya kreativitas tersebut sebaiknya dilandasi oleh cara berpikir yang maju, penuh dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan produk-produk yang telah ada selama ini di pasar Gagasan-gagasan yang kreatif umumnya tidak dapat dibatasi oleh ruang, bentuk ataupun waktu Justru seringkali ide-ide jenius yangmemberikan terobosan-terobosan baru dalam dunia usaha awalnya adalah dilandasi oleh gagasan-gagasan kreatif yang kelihatannya mustahil

(28)

5. Mandiri

Seseorang dikatakan mandiri apabila orang tersebut dapat melakukan keinginan dengan baik tanpa adanya ketergantungan pihak lain dalammengambil keputusan atau bertindak, termasuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa adanya ketergantungan dengan pihak lain Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan Pada prinsipnya seorang wirausahawan harus memiliki sikap mandiri dalam memenuhi kegiatan usahanya.

6. Realistis

Seseorang dikatakan realistis bila orang tersebut mampu menggunakan fakta/realita sebagai landasan berpikir yang rasional dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan/ perbuatannya. ]Banyak seorang calon wirausahawan yang berpotensi tinggi, namun pada akhirnya mengalami kegagalan hanya karena wirausahawan tersebut tidak realistis, obyektif dan rasional dalam pengambilan keputusan bisnisnya. Karena itu dibutuhkan kecerdasan dalam melakukan seleksi terhadap masukan-masukan/ sumbang saran yang ada keterkaitan erat dengan tingkat keberhasilan usaha yang sedang dirintis.

(29)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Penerapan IPTEKS dengan Kajian Ergo-entrepreneurship

Karakteristik kuliner yang dijajakan dan kondisi lingkungan kerja yang menyertai pedagang kuliner saat beraktivitas dapat dicermati pada Tabel 3.1 dan 3.2.

Tabel 3.1. Karakteristik Kuliner yang Dijajakan (n = 15)

No Variabel Persentase

1 Berupa makanan tradisional 73,3%

2 Makanan khas desa setempat 40,0%

3 Dimasak sendiri oleh pedagang 73,3%

4 Tidak menggunakan penyedap rasa 46,7%

5 Bahannya berasal dari pasar desa setempat 86,7%

6 Memasak langsung di tempat berjualan 53,3%

Tabel 3.2. Kondisi Lingkungan di Sekitar Tempat Berjualan (n = 15)

No Variabel Keterangan

1 Areal parkir seluas 15 x 40 m Cukup memadai

2 Ada tempat beristirahat berupa bale sakenem(6x4m) Cukup nyaman untuk lesehan

3 Akses menuju kuliner sangat lancar Di pinggir jalan protokol

4 Tempat menyimpan rombong/ meja Di gedung serba guna atau di

sekitar kantor desa

5 Kebersihan areal Terjamin, karena ada petugas

kebersihan

6 Pengaturan parkir Dilakukan oleh seorang tukang

parkir

7 Keberadaan lalat, kecoa, dan tikus Diatasi dengan menutup atau

menggunakan rak kaca

8 Keberadaan debu terpaan angin Diatasi dengan menyiram areal

sebelum kuliner dibuka

9 Terpaan sinar matahari Diatasi dengan penambahan atap

pada rombong

10 Penanganan limbah kuliner Diatasi dengan membuang

limbah di tempat yang jauh dari areal kuliner

11 Penggunaan detergen untuk mencuci piring dan peralatan lainnya

Dapat diminimalkan dengan memanfaat inke beralaskan daun

pisang sebagai wadah makanan

12 Lokasinya di sekitar Gedung Serba Guna Jika ada kegiatan di gedung

tersebut akan menambah jumlah pembeli

(30)

Penerapan IPTEKS dalam pengabdian masyarakat yang berupaya untuk memfasilitasi antara pedagang kulner lokal dengan akademisi terkait dengan sikap kewirausahaan pedagang dan mekanisme pemasaran dinilai cukup berhasil. Hasil yang dicapai dalam kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk penerapan IPTEKS melalui pelatihan ergo-entrepreneurship untuk mengembangkan sikap kewirausahaan pedagang kuliner di Desa Peliatan Ubud Gianyar Bali dapat dicermati Tabel 3.3 dan 3.4.

Tabel 3.3. Hasil Analisis Deskriptif Penerapan IPTEKS dengan Kajian

Ergo-entrepreneurship

No Kegiatan Penerapan IPTEKS Hasil yang Dicapai

1 Identifikasi dan

Pemecahan Masalah Ergonomi

a. Kondisi kerja secara umum

Melalui kajian ergonomi

ditelusuri kondisi kerja yang

berpotensi memunculkan

penyakit akibat kerja dan

berdampak kepada

keberlanjutan usaha kuliner

Ditemukan penyakit akibat kerja, khususnya sakit pinggang, punggung, dan bahu pada pekerja setelah meraka berjualan kurang lebih 4 jam. Ini diatasi dengan penyedian tempat duduk bagi pedagang yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan untuk istirahat pendek ketika belum ada pembeli.

b. Kondisi lingkungan di tempat kerja

Disosialisasikan tentang

prinsip-prinsip lingkungan

kerja yang ergonomis (aman, nyaman, dan sehat) serta cara

mengaplikasikan ergonomi

dalam mengatasi kondisi

lingkungan yang berisiko

memunculkan penyakit akibat kerja dan berdampak kepada

animo masyarakat untuk

berkunjung ke lokasi kuliner

Setelah dijelaskan melalui pelatihan tentang kondisi lingkungan kerja yang ergonomis, para pedagang secara proaktif mengikuti saran tersebut, akan tetapi masih ada yang belum konsisten melaksanakannya terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sampah. Di samping itu penanganan terhadap debu di sekitar areal kulner juga sering luput dari perhatian pedagang. Kedua masalah lingkungan tersebut ditangani dengan

mempekerjakan petugas kebersihan di areal tersebut

(31)

yang digaji oleh para pedagang kuliner.

c. Organisasi kerja Disosialisasikan tentang

penerapan organisasi kerja

yang mengacu kepada

pendekatan ergonomik

partisipatori.

Mulai terbentuk organisasi kerja dengan struktur

organisasi yang jelas. Struktur organisasi ini sering

dimanfaatkan di dalam penggalian dana melalui bantuan sosial (bansos). Di samping itu dengan

terbentuknya organisasi kerja yang mantap, mekanisme pemasaran semakin jelas apalagi sudah dirintis kerjasama dengan event organizer yang

menyelenggaran kegiatan di sekitar lokasi kuliner

2 Diskusi interaktif dalam menelusuri kendala yang dijumpai dan alternatif solusinya terkait dengan aplikasi ergonomi

Secara partisipatori semua

stakeholders yang terkait diajak berdiskusi, sehingga kendala yang ada betul-betul merupakan kendala bersama dan alternatif solusi yang ditawarkan merupakan hasil pemikiran bersama

Ditemukan kendala dalam

pengembangan sikap

kewirausahaan yaitu: (a)

kurang inovasi dalam

pengembangan kuliner; (b)

disiplin kerja belum

memadai, karena pedagang

sering tidak berjualan

sehingga pelanggan kabur; (c) kurang tahan banting dalam menghadapi pemasaran yang

tidak lancar; (d) belum

menyadari bahwa pelayanan prima (customer services)

adalah kunci sukses

pedagang; dan (e) belum

berani menambah modal

usaha melalui pinjaman; dan (f) belum berani menambah jumlah dagangan saat ada event-event tertentu. Kendala ini dibahas bersama saat pelatihan dan dicarikan solusi

melalui pendekatan

partisipatori yang mengacu

kepada kemampuan dan

kemauan serta kesiapan

(32)

mengembangkan usahanya.

3 Pelatihan singkat

penyusunan action plan (rencana tindak)

Setelah dipilah dan dipilih

permasalahan yang

teridentifikasi dan berorientasi kepada kendala yang ada, dilakukan pelatihan membuat rumusan action plan yang mengacu kepada unsur 5 W, 2 H, dan 1 R (what: apa yang

akan dikerjakan); why:

mengapa itu yang dikerjakan; when: kapan

dikerjakan; who: siapa yang mengerjakan: where: dimana dikerjakan; How: bagaimana caranya; How much: berapa biayanya; dan Regulation: apa dasar hukum atau peraturan yang digunakan

Melalui pembinaan yang

intensif dan pembuatan pola sederhana dalam membuat rencana aksi, para pekerja

menyadari bahwa apapun

yang mereka rencanakan

wajib ditulis atau

didokumentasinya dalam

sebuah catatan sehingga bisa digunakan sebagai acuan di dalam bertindak atau bisa dimanfaatkan untuk evaluasi hasil kegiatan

4 Kerjasama dengan

pihak konsumen

Difasilitasi kerjasama

pemasaran dengan event

organizer yang memerlukan kuliner

Kerjasama dengan event

organizer yang telah dirintis adalah dengan EO Turnamen Bola Voli yang melaksanakan kegiatan selama satu bulan dan EO Turnamen Bulu Tangkis yang melaksanakan kegiatan selama dua minggu serta EO SEMARAK Peliatan yang melaksanakan kegiatan selama tujuh hari

5 Pemantauan

keberlanjutan usaha kuliner

Selalu diupayakan kerjasama mutualisme antara penghasil produk kuliner dengan event organizer yang memerlukan produk tersebut

Keberjanjutan kerjasama

antara akademisi, event

organizer, dan pedagang

kuliner tampaknya cukup

menjanjikan mengingat

antusiasme pedagang untuk

mengembangkan sikap

kewirausahaannya cukup

(33)

Tabel 3.4. Hasil Uji Beda Sikap Kewirausahaan Pedagang Kuliner antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan (n = 15) No Variabel Periode I (Sebelum Pelatihan) Periode II (Sesudah Pelatihan) Nilai t Nilai p Rerata SB Rerata SB 1 Sikap kewirausahaan pedagang 56,22 4,01 61,60 4,04 6,282 0,0001 SB: Simpangan Baku

Hasil pemantauan terhadap kondisi kerja pedagang kuliner di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar dapat dilihat pada Gambar 3.1, 3.2 dan 3.3.

(34)

Gambar 3.2. Barang Dagangan yang Dijajakan Kuliner di Alun-alun Desa Peliatan

(35)

3.2 Pembahasan

3.2.1 Karakteristik Kuliner

Karakteristik kuliner yang ada di Desa Peliatan adalah: (a) menjajakan makanan tradisional dilakukan oleh 73,3% pedagang; (b) menjajakan makanan khas desa setempat dilakukan oleh 40,0% pedagang; (c) memasak sendiri makanan yang dijajakan dilakukan oleh

73,3%; (d) tidak menggunakan penyedap rasa dilakukan oleh 46,7% pedagang; (e)

menggunakan bahan baku dari pasar desa setempat dilakukan oleh 86,7% pedagang; dan (f) memasak langsung di tempat berjualan dilakukan oleh 53,3% pedagang. Dilihat dari persenase tersebut tampaknya kuliner di desa tersebut cenderung menjajakan makanan tradisional yang dibuat sendiri oleh pedagang dengan menggunakan bahan baku yang dibeli di pasar desa setempat. Kondisi tersebut tampaknya perlu dipertahankan agar makanan-makan khas Bali tetap lestari dan semakin digemari oleh masyarakat. Di samping itu ditemukan bahwa hanya 46,7% saja yang tidak menggunakan penyedap rasa. Ditinjau dari unsur kesehatan tampaknya hal itu perlu ditanggulangi sesegera mungkin agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan konsumen.

Makanan khas desa setempat yang dijajakan adalah topot, jaja kukus, tipat santok, betutu, daluman, cendol, loloh, tipat sate, tahu basa lalah, jukut mebejek, pesan celengis, pesan kakul, pesan lindung, bubuh basa nyuh, jaja giling-giling, dan lain-lain. Barang dagangan tersebut sangat khas dinilai dari cara pembuatannya, cara penyajiannya, dan bumbu yang digunakan. Kekhasan ini membuat para pelanggan wajib datang ke tempat tersebut karena di tempat lain tidak ditemukan makanan khas seperti itu. Kondisi inilah yang membuat para pedagang yakin bahwa dagangannya akan dicari oleh para pelanggan.

Keunikan makanan tersebut tentu berpotensi untuk dikembangkan dan dipasarkan secara lebih luas dan dapat memotivasi para pedagang untuk berwirausaha lebih lanjut. Sutajaya & Gunamantha (2014) melaporkan bahwa melalui pemberdayaan pedagang kuliner mengakibatkan: (a) munculnya semangat baru bagi pedagang kuliner yang sebelumnya sempat tidak percaya diri untuk berbisnis di bidang tersebut; (b) munculnya kelompok pedagang kuliner yang siap berjualan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh desa; (c) berhasil dibuat tenda knock down yang bisa dibongkar pasang, karena areal yang dimanfaatkan untuk usaha kuliner tersebut paginya digunakan sebagai tempat parkir; dan (d) usaha kuliner yang dibangun tersebut menjadi sumber penghasilan baru bagi pihak desa.

(36)

3.2.2 Kondisi Lingkungan di Areal Kuliner

Kondisi lingkungan di areal kuliner sangat menentukan keberlanjutan kuliner tersebut. Dalam hal ini ditemukan bahwa: (a) areal parkir seluas 15 x 40 m dinilai cukup memadai untuk 100 s.d. 150 orang pengunjung; (b) tersedianya tempat beristirahat berupa bale sakenem (6x4m) diniilai cukup nyaman untuk lesehan atau sekadar untuk tempat duduk saat konsumen menikmati hidangan yang disajikan; (c) akses menuju kuliner sangat lancar karena lokasinya berada di pinggir jalan protokol; (d) tempat menyimpan rombong atau meja dimanfaatkan gedung serba guna atau di sekitar kantor desa sehingga sangat efektif dan efisien saat menyimpan peralatan tersebut; (e) kebersihan areal sangat terjamin, karena ada petugas kebersihan yang selalu menjaga kebersihan di areal tersebut; (f) pengaturan parkir juga dinilai cukup rapi, karena sudah dipekerjakan seorang tukang parkir yang cukup handal; (g) keberadaan lalat, kecoa, dan tikus yang sering mengintai makanan yang dijajakan diatasi dengan cara menutup atau menggunakan rak kaca; (h) keberadaan debu terpaan angin diatasi dengan menyiram areal sebelum kuliner dibuka; (i) terpaan sinar matahari diatasi dengan penambahan atap pada rombong; (j) penanganan limbah kuliner diatasi dengan membuang limbah di tempat yang jauh dari areal kuliner; (k) penggunaan detergen untuk mencuci piring dan peralatan lainnya dapat diminimalkan dengan memanfaat inke beralaskan daun pisang sebagai wadah makanan; dan (l) dengan lokasi kuliner di sekitar Gedung Serba Guna tampaknya sangat strategis karena mudah dijangkau dari segala penjuru dan jika ada kegiatan di gedung tersebut akan menambah jumlah pembeli.

Kondisi lingkungan tersebut dinilai sangat memadai untuk pengembangan kuliner ke arah yang lebih maju dan lebih mandiri. Dalam hal ini Adnyana (2013) melaporkan bahwa kondisi lingkungan yang dipertimbangkan di dalam beraktivitas adalah suhu kering, suhu basah, dan kelembaban relatif yang dipengaruhi oleh efek termal suatu peralatan. Suhu kering yang menyertai para tukang banten saat beraktivitas adalah 29 s.d. 31o C dan suhu basahnya adalah 27 s.d 29oC dengan kelembaban relatif 75 s.d 85%. Kondisi lingkungan tersebut dinilai nyaman untuk beraktivitas sehingga tidak mengganggu produktivitas pekerja. Sutarja (2012) melaporkan bahwa kenyamanan termal atau fisik lingkungan di tempat beraktivitas dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban relatif, kecepatan angin, pencahayaan, dan kebisingan. Dalam hal ini ditemukan bahwa temperatur di tempat kerja berkisar antara 26,5 s.d. 31oC, kelembaban relatif berkisar antara 63 s.d 75%, dan kecepatan angin antara 0,03 s.d.

(37)

0,15 m per detik. Kondisi lingkungan dengan rentangan tersebut dinilai nyaman untuk beraktivitas.

Di samping itu kondisi lingkungan biologis yang dinilai dari keberadaan lalat, kecoa, dan tikus juga harus diperhatikan, karena dapat mengganggu kesehatan pembeli atau dapat memunculkan kesan kumuh. Untuk itu disarankan agar tidak membuang limbah di sekitar areal kuliner yang dapat mengundang binatang tersebut. Kondisi lingkungan secara fisik seperti keberadaan debu yang dapat mengotori makanan juga perlu diperhatikan mengingat areal kuliner berada di pinggir jalan protocol. Hamburan debu akibat terpaan angin atau akibat laju kendaraan dapat mengotori makanan jika tidak ditanggulangi. Cara paling sederhana yang dilakukann oleh ara pedagang kuliner adalah dengan jalan menyiram areal kuliner sebelum kuliner dibuka. Ada juga yang sudah menggunakan rak kaca untuk menghindari paparan debu tersebut.

Kondisi lingkungan secara kimiawi dilihat dari penggunaan deterjen untuk mencuci piring dan peralatan kuliner. Hal ini ditanggulangi dengan menganjurkan kepada para pedagang untuk menggunakan inke beralaskan daun pisang sebagai wadah makanan, sehingga penggunaan deterjen untuk mencuci piring bisa diminimalkan. Pemanfaatan bahan penyedap untuk menyedapkan rasa makanan juga termasuk kondisi lingkungan kimiawi yang dapat mengganggu kesehatan pembeli. Hal ini ditanggulangi dengan sosialisasi bahaya yang ditimbulkan oleh bahan penyedap yang mengandung monosodium glutamat (MSG) tersebut.

3.2.3 Sikap Kewirausahaan Pedagang Kuliner

Pada pengabdian ini ditemukan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan sikap kewirausahaan pedagang kuliner sebesar 9,57% antara sebelum dan sesudah pelatihan ergo-entrepreneurship (p<0,05). Ini menandakan bahwa melalui pelatihan tersebut para pedagang kuliner semakin termotivasi untuk mengembangkan usahanya. Di samping itu muncul keberanian untuk berwirausaha. Dalam hal ini Sutajaya & Gunamantha (2014) melaporkan bahwa terjadi peningkatan sikap kewirausahaan dilihat dari indikator: (a) produk kuliner hanya dipasarkan di areal terbatas (22,2%); (b) usaha mencermati harga pasar (11,1%); (c) kepedulian dengan harga pasar (38,9%); (d) usaha meningkatkan kualitas produk (0%); (e) kecenderungan berusaha meningkatkan jumlah produk yang dihasilkan (66,7%); (f) usaha meningkatkan jumlah dan kualitas produk (33,3%); (g) usaha memasarkan melalui pasar

(38)

tradisional di tempat lain (44,4%); (h) usaha memasarkan melalui pasar swalayan (22,2%); (i) usaha untuk membuka toko kecil di kawasan wisata (22,2%); (j) usaha memasarkan produk kuliner dengan harapan mendapat keuntungan yang lebih tinggi (11,1%); (k) keberanian meminjam modal di LPD (27,8%); (l) usaha mengikuti kursus-kursus kewirausahaan (22,2%); (m) usaha memperluas area pemasaran produk (22,2%); (n) usaha menawarkan produk kuliner melalui rekanan dalam bidang pemasaran (5,6%); (o) usaha membeli produk kuliner dari pedagang lain yang produknya berkualitas (27,8%); (p) usaha memenangkan persaingan di pasaran (16,7%); (q) usaha sebagai penghasil produk sekaligus penjual (5,6%); (r) melakukan diskusi dengan teman seprofesi (11,1%); (s) menjalin kerjasama dengan kelompok-kelompok pedagang lainnya (11,1%); dan (t) usaha memperluas pemasaran ke pasar-pasar swalayan, hotel, restoran, dan pihak lain (16,7%).

Sutajaya & Gunamantha (2014) juga melaporkan bahwa pelatihan yang dilakukan oleh dua orang pakar kuliner yang sekaligus pakar ekonomi ternyata dapat mengubah sikap kewirausahaan secara bermakna dimana terjadi peningkatan skor sikap kewirausahaan sebesar 41,59%. Ini menunjukkan bahwa para pedagang kuliner mulai termotivasi untuk menggeluti bisnis tersebut. Di sisi lain tampak mereka semakin berani untuk menambah modal usaha dengan harapan agar bisa ditingkatkan kuantitas produk. Upaya pemasaran melalui cara lain, selain di areal yang disediakan pihak desa juga mulai tampak, karena 7 orang pedagang sudah mulai memasang iklan bahwa mereka menerima pesanan.

Seirama dengan peningkatan sikap kewirausahaan tersebut diyakini berdampak terhadap produktivitas pedagang. Itu bisa terjadi karena dengan semangat kewirausahaan yang tinggi tentu akan berkorelasi positif terhadap peningkatan produk yang dijual dan pada akhirnya omset penjualan akan meningkat. Ini tentu berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas kerja pedagang kuliner. Hal yang sama juga dilaporkan oleh: (1) Sudiajeng (2010) melaporkan bahwa pemberdayaan pekerja melalui intervensi ergonomi pada organisasi dan stasiun kerja dapat meningkatkan kinerja bengkel kayu dilihat dari peningkatan produktivitas sebesar 87,50%, (2) Suardana (2012) melaporkan bahwa pendekatan ergonomi dalam perancangan arsitektur meningkatkan kinerja pengguna bangunan dilihat dari peningkatan ketelitian kerja sebesar 87,2% dan konstansi kerja sebesar 15,79%, (3) Wijaya (2012) melaporkan bahwa penerapan manajemen kinerja klinik berbasis Tri Hita Karana sebagai suatu pemberdayaan terhadap pekerja dapat meningkatkan kualitas kerja perawat dan

(39)

bidan di rumah sakit umum Bangli sebesar 43%, dan (4) Purnamawati (2013) melaporkan bahwa pemberdayaan tukang benten melalui intervensi ergonomi dapat meningkatkan efisiensi kerja tukang banten ngaben di Kota Denpasar, dilihat dari peningkatan produktivitas sebesar 78%.

(40)

BAB IV PENUTUP

4.1 Simpulan

Bertolak dari hasil analisis dan pembahasan yang dikaji berdasarkan literatur yang relevan dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Penerapan IPTEKS melalui pelatihan ergo-entrepreneurship cukup memadai dilakukan dilihat dari antusiasme pedagang kuliner untuk mengembangkan sikap kewirausahaannya.

2. Penerapan IPTEKS melalui pelatihan ergo-entrepreneurship dapat meningkatkan sikap kewirausahaan pedagang kuliner lokal secara bermakna sebesar 9,57% (p < 0,05).

4.2 Saran

Berdasarkan simpulan di atas, saran yang disampaikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Kepada pedagang kuliner disarankan agar tetap menggunakan acuan ergo-entrepreneurship dalam mengembangkan usahanya karena telah terbukti cukup relevan untuk diaplikasikan.

2. Kepada aparat desa disarankan agar tetap mengembangkan kuliner local sebagai salah satu ciri khas desa setempat.

3. Kepada dinas terkait hendaknya selalu memfasilitasi pengembangan kuliner di suatu daerah mengingat usaha tersebut sangat potensial untuk menopang kehidupan masyarakat.

Gambar

Tabel 2.1. Kerangka Pemecahan Masalah melalui Penerapan IPTEKS
Tabel 3.1. Karakteristik Kuliner yang Dijajakan (n = 15)
Tabel 3.3. Hasil Analisis Deskriptif Penerapan IPTEKS dengan Kajian Ergo- Ergo-entrepreneurship
Gambar 3.1. Suasana Kuliner di Alun-alun Desa Peliatan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Lagi pula, kalau kita tidak tahu apa yang disukai pasangan kita pada diri kita, akan sulit bagi kita untuk membuat dia senang.. Sorang gadis remaja berkata kepada saya, “Aku

Wulandari, 2010, Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan, Struktur Aktiva, dan Profitabilitas Terhadap Struktur Modal Pada Perusahaan Makanan dan Minuman yang Terdaftar

Informasi yang diperoleh dari pemanfaatan statistik spasial dalam mempelajari determinan sosial, faktor risiko dan kejadian TB tersebut sangat bermanfaat dalam

Ketika medan magnet luar yang dikenakan pada bahan mula-mula berharga besar, kemudian secara berangsur-angsur diturunkan, maka keadaan superkonduktif bahan akan

Berdasarkan hasil analisis aplikasi ETABS V16.1, gaya dalam nominal yang ada di kolom, balok, plat lantai dan dinding geser lebih besar dibandingkan dengan gaya dalam

Melalui proses pembelajaran materi Desain Dasar Seni Rupa dua dimensi (Berkreasi Garis) peserta diharapkan menemukan ide-ide baru dan teknik-teknik yang unik

terlihat bahwa jalan Siliwangi arah Timur-Barat lajur kiri mcm.'liki nilai kerataan tinggi denagan kategori sangat baik dan masih memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh

juga dapat merasakan pembelajaran tersebut menyenangkan dan tidak membosankan. Dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani khususnya materi senam lantai, siswa kurang menguasai