• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ndt Ultrasonic Kalibrasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ndt Ultrasonic Kalibrasi"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

6. PESAWAT ULTRASONIK 6.1. Prinsip

Jenis pesawat ultrasonik tergantung pada teknik yang digunakan. Peralatan untuk teknik resonansi berbeda dengan peralatan untuk teknik gema/ transmisi. Dibawah ini digambarkan diagram blok yang bisa digunakan dalam teknik gema.

Pesawat ini mirip osiloskop dimana pengukuran yang dilakukan berdasar-kan pada pengukuran waktu dan tegangan

(2)

Pengukuran waktu yang dilakukan melalui skala horisontal dapat diterjemahkan menjadi pengukuran jarak (s = vt) sedangkan pengukuran tegangan yang dipresentasikan pada skala vertikal adalah untuk mengetahui besarnya cacat. Skala horisontal dan vertikal ini harus linier agar interpolasi dapat dilakukan dan tidak mengurangi ketelitian pembacaan.

(3)
(4)

6.2. Fungsi tombol

Fungsi tombol pada umumnya sama meskipun berbeda pembuatnya. Fungsi tombol yang penting adalah sebagai berikut :

1. Tombol ON/OFF, untuk menyalakan/mematikan pesawat.

2. Tombol gain :

2.1. Tombol gain kasar, untuk mengatur perubahan gain sebesar 20 dB.

2.2. Tombol gain halus, untuk mengatur perubahan gain sebesar 2 dB, 1 dB, ½ dB.

3. Tombol supresi, untuk membatasi atau menghikan gangguan derau (noise).Bila tombol ini dinyalakan penguatan menjadi tidak linier.

4. Tombol fungsi, untuk memilih jenis probe yang digunakan, tunggal atau kembar.

5. Tombol range (daerah ukur/time base) :

5.1. Tombol range kasar, untuk mengatur range de-ngan step besar

5.2. Tombol range halus, untuk mengatur range secara kontinu dari 1x sampai 5x range yang terbaca pada range kasar.

7. Tombol penggeser pulsa (delay line), untuk menggeser pulsa awal dan indikasi kekiri atau kekanan.

8. Tombol pulsa monitor, untuk memunculkan atau menghilangkan pulsa monitar pada/dari layar.

9. Tombol pengatur lebar/lokasi pulsa monitor.

10. Tombol pengatur fokus, untuk mempertajam garis/titik nyala.

(5)

6.3. Cara bekerja Pesawat

Perbedaan pesawat ultrasonik dan osiloskop terletak pada unit pemancar, penerima dan monitor. Secara singkat pesawat ultrasonik bekerja sebagai berikut :

Layar merupakan bagian depan dari suatu tabung hampa. Bagian dalam layar dilapisi zat fluresen yang dapat menyala terang bila tertembak elektron. Elektron berasal dari sumber yang terletak di bagian belakang tabung hampa tersebut. Antara sumber elektron dan layar terdapat lempeng vertikal dan horisontal serta lempeng pengatur fokus.

Lempeng vertikal mempengaruhi gerakan sontal sedangkan lempeng horisontal ruhi gerakan vertikal dari sinar elektron dalam jalanannya menuju layar

(6)

Berkas elektron yang terfokus mengenai layar sehingga menimbulkan bintik yang menyala. Bila lempeng A, B, C dan D tidak diberi tegangan maka sinar elektron akan jatuh ditengah layar dan terjadi bintik nyala ditempat tersebut. Bila lempeng A lebih positif dari pada B maka bintik nyala akan berpindah kearah titik 1. Besarnya perpindahan tergantung pada besarnya beda tegangan antara lempeng A dan B. Sebaliknya bila lempeng B lebih positif dari pada A. bintik nyala akan berpindah kearah titik 2. Demikian pula dengan lempeng C dan D bila C lebih positif bintik nyala akan berpindah kearah titik 3 sedangkan bila D lebih positif, bintik nyala akan berpindah kearah titik 4. Bila lempeng C dan B diberi tegangan tertentu maka bintik nyala akan berpindah ke skala 0. Dalam keadaan ini bila lempeng D diberi tegangan secara bertahap maka bintik nyala akan bergerak ke arah skala 10 dan bila tegangan D dihilangkan maka bintik nyala akan kembali ke 0.

(7)

Bila VD diberikan dalam waktu singkat maka bintik nyala akan bergerak lebih cepat kearah skala 10. Dengan demikian kecepatan bergeraknya bintik nyala dapat diatur dengan cara mengatur waktu pencapaian VD. Pengaturan ini dilakukan oleh tombol range/time base. Bila VD dinaikkan secara linier, maka gerakan horisontal dari skala 0 kearah skala 10 juga akan linier VD diberikan secara kontinu dan periodik sehingga bintik nyala akan selalu bergerak dari skala 0 keskala 10 secara terus menerus. Sementara itu bila dalam perjalanan bintik nyala dari skala 0 ke skala 10, kemudian lempeng A diberi tegangan maka bintik nyala menyimpang vertikal sambil tetap berjalan kearah skala 10.

Bila tegangan A dihilangkan maka bintik nyala akan kembali berjalan pada lintasan basis semula menuju ke skala 10.

Dengan mengatur tombol range kasar dan halus, maka kecepatan gerakan bintik nyala dari skala 0 ke skala 10 dapat disesuaikan dengan kecepatan gerakan gelombang ultrasonik di dalam benda uji, hal ini dilakukan pada kalibrasi range/jarak

(8)

Probe mempunyai hubungan langsung dengan pemancar dan dihubungkan pula dengan lempeng A melalui penguat. Pada saat pemancar memberikan tegangan kepada kristal, kristal mulai bergetar dan mengeluarkan gelombang ultrasonik, sementara itu tegangan juga akan sampai pada lempengan A sehinggga pada layar akan terjadi penyimpangan bintik nyala ke arah vertikal dan menghasilkan pulsa awal. B C A D 1 3 4 2 0 10 VD 0 t2 t1 2 t2 3 t2 2 t1 t3

(9)

Bila gelombang ultrasonik dipantulkan kembali dan ditangkap oleh probe maka pada saat penerimaan gelombang ini, bintik nyala juga akan menyimpang vertikal menghasilkan indikasi. Makin besar kekuatan gelombang pantulan, makin tinggi amplitudo yang terjadi pada layar. Dari lokasi indikasi yang terjadi, dapat diketahui lokasi dari permukaan pemantul/cacat.

Pulsa awal yang merupakan petunjuk bawa gelombang mulai dipancarkan, mempunyai lebar tertentu, dimana pada daerah selebar pulsa tersebut pengamatan pantulan gelombang tidak dapat dilakukan. Ketebalan pada benda uji yang ekivalen dengan lebar pulsa awal, dimana pengamatan pantulan gelombang tidak dapat dilakukan disebut daerah mati (dead zone).

6.4. Display hasil pengukuran

Diatas telah disebutkan bahwa salah satu jenis pesawat ultrasonik menggunakan layar sebagai display, dimana indikasi yang timbul akibat pantulan gelombang dapat memberikan informasi tentang jarak/ lokasi permukaan pemantul (skala horisontal) dan amplitudo (skala vertikal).

(10)

Dari prersentasi scan A dapat pula digabungkan dengan sistem lain sehingga dapat menggambarkan letak cacat pada suatu penampang lintang dari benda uji yang diperiksa.

Presentasi ini disebut scan B.

Bila scan A ini digabungkan dengan posisi probe diseluruh permukaan benda uji maka diperoleh lokasi cacat dilihat dari permukaan atas (plan view). Presentasi ini disebut scan C.

Display digital dapat pula dilakukan dengan mengambil dasar pengukuran seperti pada scan A, dalam hal ini hanya jarak yang dipresentasikan, sedangkan amplitudo tidak didisplaykan, misalnya thickness meter. Scan A Jarak A m p lit u d o Scan B Scan C Panjang Panjang Teb a l Lebar 0 2 4 6 8 10

(11)

7. SENSITIVITAS DAN RESOLUSI

Sensitivitas dan resolusi dari sistem pesawat ultrasonik tergantung pada alat elektronik dan probenya. Sensitivitas adalah kemampuan sistem untuk mendeteksi pemantul kecil yang letaknya jauh dari permukaan, sedangkan resolusi adalah kemampuan sistem untuk membedakan dua permukaan pemantul yang sangat berdekatan.

Sensitivitas dan resolusi merupakan dua faktor yang saling mem-pengaruhi artinya bila sensitivitas baik, akan menyebabkan resolusinya kurang mengun-tungkan, sedangkan resolusi yang baik akan mengurangi sensitivitas. Probe yang resolusinya baik akan selalu diikuti dengan sensitivitas yang kurang, demikian pula alat elektroniknya. Untuk memperoleh sistem yang resolusinya baik diperlukan probe dan alat elektronik yang baik pula. Besaran sensitivitas biasanya dinyatakan secara relatif, yang satu mungkin lebih baik dari yang lain.

(12)

Untuk mendeteksi cacat dari contoh uji yang sangat jauh letaknya dari permukaan, sistem yang sensitivitasnya lebih baik akan menghasilkan pengukuran yang meyakinkan, sedangkan untuk membedakan dua cacat yang berdekatan, resolusi yang baik akan sangat memudahkan.

BAIK 0 2 4 6 8 10 KURANG 0 2 4 6 8 10 BAIK 0 2 4 6 8 10 KURANG 0 2 4 6 8 10 SENSITIVITAS RESOLUSI

(13)

8. KALIBRASI

Setiap kali akan digunakan, pesawat ultrasonik harus dikalibrasi dengan bantuan blok kalibrasi, misal blok kalibrasi V1. V2, step wedge dan sebagainya.

Sementara itu pesawat harus diperiksa linieritasnya baik linieritas horisontal, linieritas vertikal maupun tombol gain-nya 25 50 40 50 60 5 12,5 STANDARD BLOCK V1 200 15 1,5 40 50 60 15 35 10 5 50 30 100 100 25 23 100 STANDARD BLOCK V2 STANDARD BLOCK VW 8 7 6 5 4 3 2 1 15 20

(14)

8.1. Pemeriksaan linieritas horisontal

Pemeriksaan dimaksudkan untuk menyakinkan bahwa skala horisontal/ jarak adalah linier. Pemeriksaan dilakukan dengan cara meletakkan probe pada ketebalan 25 mm dari blok kalibrasi, dengan mengambil range 250 mm.

Bila setiap indikasi tepat terletak pada skala :

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 maka skala horisontalnya masih linier. Apabila terjadi penyimpangan amati pada skala berapa yang terbesar terjadi penyimpangan.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(15)

8.2. Pemeriksaan linieritas vertikal

8.2.1.Pemeriksaan linieritas layar skala vertikal

Pemeriksaan dimaksudkan untuk meyakinkan

bahwa skala vertikal layar adalah linier. Untuk diusahakan pada layar dapat ditimbulkan dua buah indikasi yang amplitudonya 2 : 1 pada saat amplitudo indikasi pertama mencapai 80 % . Indikasi tertinggi diatur agar amplitudonya mencapai 100 %, kemudian diturunkan dengan step 10 % sampai amplitudonya menjadi 20 %. Skala vertikal layar disebut linier bila setiap kali amplitudo indikasi ke dua tingginya 50 ± 5 % dari amplitudo indikasi pertama.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(16)

8.2.2. Pemeriksaan linieritas tombol gain

Pemeriksaan dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa step tombol gain dari pesawat ultrosonik adalah linier. Untuk itu amati amplitudo dari suatu reflektor. Kemudian tombol gain diputar agar diperoleh penambahan ± 6 dB dan ± 12 dB. Tombol gain disebut linier bila dapat diperoleh data-data sebagai berikut POSISI AWAL PERUBAHA N GAIN HASIL PEMBACAAN TOLERANSI SESUAI STD 80 % - 6 dB 40 % 32 – 48 % 80 % - 12 dB 20 % 16 – 24 % 40 % + 6 dB 40 % 64 – 96 % 20 % + 12 dB 80 % 64 – 96 % 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 . 40% 80%

(17)

8.3. Kalibrasi Probe Normal

Dalam butir 6.3 telah dijelaskan cara bekerja pesawat ultrasonik. Kalibrasi dimaksudkan untuk menyesuaiakan skala 0 – 10 pada layar dengan jangkauan dari gelombang ultrasonik dalam benda uji/blok kalibrasi. Perlu diperhatikan bahwa gelombang yang merambat didalam uji/blok kalibrasi adalah gelombang longitudinal.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(18)

Jarak yang dikalibrasi adalah jarak tempuh yakni jarak yang dilalui oleh gelombang-gelombang dalam benda uji/blok kalibrasi. Untuk meng-kalibrasi range 100 mm maka mula-mula pulsa awal harus timbul pada skala 0. Tombol range diset pada 100 mm probe diletakkan pada ketebalan 25 mm dari blok kalibrasi VI. Indikasi yang timbul pada layar harus berjumlah 100/25 = 4 buah dan harus terletak pada skala :

25 indikasi I :  x 10,0 = 2,5 100 2 x 25 indikasi II :  x 10,0 = 5,0 100 3 x 25 indikasi III :  x 10,0 = 7,5 100 4 x 25 indikasi IV :  x 10,0 = 10,0 100

(19)

Agar indikasi dapat menempati skala yang seharusnya, tobol range halus dan tombol penggeser pulsa harus diputar secara bergantian. Bila seluruh indikasi telah menempati skala–skala tersebut secara tepat, maka kalibrasi telah selesai dan pesawat siap digunakan untuk pengukuran.

Kalibrasi harus diulang bila terjadi penggantian prabe, kabel probe maupun bila alat dinyalakan kembali. Perlu diperhatikan bahwa untuk kalibrasi jarak diperlukan timbulnya minimum 2 buah indikasi tidak termasuk pulsa awal, karena jarak yang sesuai dengan ketebalan bahan adalah jarak antara dua buah indikasi, bukan jarak antara pulsa awal dan indikasi pertama.

Untuk memeriksa apakah kalibrasi jarak telah tepat, sebelum dipakai untuk mengukur jarak pada benda uji, perlu dilakukan pengukuran terhadap ketebalan yang telah diketahui misalnya ketebalan lain pada blok kalibrasi VI atau V2.

(20)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

25

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(21)

8.4. Kalibrasi probe normal kembar

Untuk range lebih dari 20 mm, kalibrasi jarak probe normal kembar dapat dilakukan seperti pada probe normal tunggal. Sedangkan untuk range kurang dari 20 mm, kalibrasi dilakukan sebagai berikut :

Misalnya range 10 mm (tombol range diset pada 10), pulsa awal mula-mula harus terletak pada skala 0. Probe diletakkan pada ketebalan 4,0 dari stepwedge (VW), kemudian indikasi yang timbul ditempatkan pada skala 4,0 dengan cara memutar tombol penggeser pulsa. Probe dipindahkan pada ketebalan 8,0 mm dan dengan memutar tombol range halus, indikasi yang timbul ditempatkan pada skala 8,0.

Lakukan langkah ini berulang-ulang hingga diperoleh keadaan dimana bila probe diletakkan pada tebal 4,0 mm, indikasi tepat pada skala 4,0 dan bila probe diletakkan pada tebal 8,0 mm indikasi tepat terletak pada skala 8,0. Untuk memeriksa ketepatan hasil kalibrasi, probe diletakkan pada ketebalan 6,0 mm, indikasi harus terletak pada skala 6,0.

(22)

Perlu diperhatikan bahwa pada kalibrasi dengan cara ini, pengukuran ketebalan di luar ketebalan kalibrasi tidak menghasilkan harga yang tepat, karena ketidak linieran skala yang disebabkan oleh lintasan gelombang yang berbentuk huruf V.

Keuntungan penggunaan probe kembar dibandingkan dengan probe normal tunggal adalah bahwa medan dekat probe normal kembar berada di dalam probe sehingga pada layar tidak terdapat daerah mati (dead zone).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 STANDARD BLOCK VW 8 7 6 5 4 3 2 1 15 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(23)

8.5. Kalibrasi probe sudut

Pelaksanaan kalibrasi probe sudut lebih sukar dibandingkan dengan kalibrasi probe normal.

Hal ini disebabkan karena posisi probe harus tepat yang dapat diketahui dari amplitudo indikasi yang timbul pada layar. Posisi probe yang tepat akan menghasilkan indikasi yang amplitudonya maksimum. Bila amplitudo belum maksimum maka posisi probe belum benar dan hasil kalibrasi maupun pengukurannya juga tidak benar. Titik indeks dan sudutnyapun perlu diperiksa karena kesalahan dalam menentukan titik indeks maupun sudut akan menyebabkan kesalahan hasil pengukuran. V1 L  Persfek Steel ( baja ) Transversal T L ß T V 2

(24)

Dalam butir 3.2.10.telah dijelaskan proses pantulan dan pembiasan gelombang ultrasonik. Supaya memudahkan interpretasi, gelombang yang masuk kedalam benda uji harus satu mode saja, yaitu mode transversal, karena mode longitudinal mudah dihilangkan. Oleh karenanya sudut B terkecil dipilih 35o. Umumnya dipilih sudut B yang berharga

45o, 60o, 70o dan 80o.

8.5.1. Pemeriksaan Titik Indeks

Titik indeks perlu diketahui lokasinya karena titik ini merupakan titik nol dari setiap pengukuran jarak. Penentuan titik indeks dilakukan sebagai berikut :

max

(25)

Probe sudut diletakan pada blok

kalibrasi V

1

seperti pada gambar

diatas.

Probe

digerakan

maju

mundur agar amplitudo indikasi

akibat pantulan lengkungan R = 100

mm mencapai maksimum (sesuaikan

range

untuk

memperoleh

satu

indikasi). Pada kondisi maksimum

ini, skala pada probe yang berimpit

dengan pusat lengkungan adalah titik

indeks probe tersebut.

Kesalahan/ketidak

telitian

dalam

menentukan letak titik indeks akan

mengakibatkan

kesalahan

dalam

menentukan letak cacat/reflektor.

Kesalahan letak titik indeks terhadap

spesifikasi pabrik maksimum ± 2

skala. Bila telah melebihi dua skala,

probe

harus

diperbaiki

atau

(26)

8.5.2. Pemeriksaan Sudut

Sudut bias gelombang yang masuk kedalam benda uji dapat diukur dengan beberapa macam cara, tetapi sebelumnya titik indeks harus diketahui lokasinya. a. Pengukuran sudut dengan blok kalibrasi, dapat

dilakukan dengan cara meletakan probe pada V1 menghadap lengkungan 50 mm (berisi perspeks). Probe digeser maju mundur disekitar skala yang

sesuai dengan sudut probe sehingga diperoleh indikasi maksimum.

40 50 60

max

55

(27)

Harga–harga sudut dari probe sudut diperoleh dengan menginterpolasikan letak titik indeks terhadap skala yang ada pada blok kalibrasi tersebut

b. Cara lain untuk menentukan atau memeriksa sudut dari probe sudut dapat dilakukan dengan perhitung- an goneometri.

Probe diarahkan ke lubang bor sisi kemudian diusahakan amplitudo maksimum dari indikasi lubang tersebut. Dengan mengukur jarak x dan y, sudut dapat dihitung dengan rumus :

x tan  =  y x ß y

(28)

Toleransi sudut yang masih diperkenankan adalah sebesar ± 2o . Bila lebih besar dari toleransi tsb,

probe harus diperbaiki atau jangan dipergunakan untuk pengukuran.

8.5.3. Kalibrasi jarak

Berbeda dengan probe normal, pengukuran dengan probe sudut memungkinkan 3 macam jarak yakni : a. Jarak tempuh (s)

b. Jarak proyeksi diukur dari titik indeks (p) c. Jarak proyeksi diukur dari ujung probe (a)

d

P Pc

Sc

(29)

Bila salah satu jarak telah diketahui maka jarak yang lain dapat ditentukan melalui rumus berikut :

p sin  =  p = 2d tg  = s sin  s 2d 2d p sin  =  s =  =  s cos  sin  p tg  =  2d t1 = sc cos  = pc / tg  t2 = 2d - sc cos  = 2d - pc/tg 

Untuk kalibrasi jarak digunakan lengkungan pada blok kalibrasi V1, V2 dan sebagainya, harus selalu diingat bahwa amplitudo indikasi harus maksimum agar kalibrasinya benar dan teliti, sedang pada layar harus timbul minimum dua indikasi.

(30)

8.5.3.1. Kalibrasi Jarak Tempuh

Bermacam-macam blok kalibrasi dapat digunakan untuk mengkalibrasi jarak tempuh dimana sebagai bidang pemantul biasanya bidang lengkung agar diperoleh indikasi yang tajam dan tidak tergantung pada sudut.

a. Kalibrasi dengan blok kalibrasi V1

Probe diletakan pada pusat lengkungan dari blok kalibrasi V1 dan usahakan memperoleh indikasi maksimum.

Karena lengkungan berjari-jari 100 mm maka range yang diperoleh adalah kelipatan 100 mm. Misal untuk range 200 mm, indikasi harus berjumlah 2 buah dan harus diletakan pada skala :

(31)

100 indikasi I  x 10,0 = 5,0 200 2 x 100 indikasi II:  x 10,0 = 10,0 200

Penempatan indikasi pada skala diatas dilakukan dengan cara mengatur tombol range dan tombol penggeser pulsa.

b. Kalibrasi dengan blok V

2-Blok V2 memiliki 2 lengkungan konsentris berjari-jari 25 mm dan 50 mm. Untuk dapat memahami terjadinya indikasi pada layar maka perlu diikuti perambatan gelombang pada blok kalibrasi V2.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 25

50 40 50 60

(32)

Bila probe diletakan menghadap lengkungan 25 mm maka indikasi, yang timbul mewakili jarak-jarak : 25, 100, 175, 250 mm dan seterusnya. Bila probe menghadap lengkungan 50 mm maka indikasi yang timbul mewakili jarak-jarak 50, 125, 200, 275 mm dan seterusnya.

Secara umum bila lengkungan adalah r1 dan r2 maka indikasi akan mewakili jarak-jarak :

r1,r1 + (r1 + r2), r1 + 2 (r1 + r2),

dan seterusnya (probe menghadap r1) r2,r2 + (r1 + r2), r2 + 2 (r1 + r2),

dan seterusnya (probe menghadap r2)

c. Kalibrasi jarak proyeksi

Misal kalibrasi probe 45o dengan V

1 dan range 200

mm. Jarak tempuhnya 100 mm sehingga jarak proyeksinya 100 sin 45o = 70,7 mm. Indikasi harus

diletakkan pada skala :

70,0 indikasi I  x 10,0 = 3,5 200 2 x 70,7 indikasi II  x 10,0 = 7,1 200

(33)

Dengan menempatkan indikasi pada skala 3,5 dan 7,1 diperoleh range 200 mm jarak proyeksi dari titik indeks.

9. P E M A K A I A N

Seperti telah dikemukakan pada butir sebelumnya, permukaan yang mudah dideteksi adalah permukaan yang tegak lurus terhadap arah rambatan gelombang. Perbedaan antara kecepatan gelombang ultrasonik dalam blok kalibrasi dan dalam benda uji akan menyebabkan ketidak tepatan hasil pengukuran.

Ketelitian juga dipengaruhi oleh ketepatan kalibrasi, pembacaan skala, pencapaian indikasi maksimum, kondisi permukaan benda uji, homoginitas bahan, tekanan probe pada benda uji dan sebagainya.

Penentuan jenis cacat lebih sukar dilakukan karena memerlukan pengalaman dan ketelitian dalam menginterpretasi bentuk indikasi yang timbul pada layar.

(34)

9.1. Probe Normal

Probe Normal digunakan untuk mengukur tebal

bahan, menentukan lokasi cacat yang sejajar dengan permukaan benda uji dan menentukan ukuran cacat tersebut.

9.1.1. Pengukuran Tebal Bahan

Untuk mengukur tebal bahan, range harus dipilih berdasarkan perkiraan tebal benda uji. Misal tebal bahan kurang lebih 20 mm maka dipilih range 100 mm boleh lebih besar atau lebih kecil. Setelah dikalibrasi dengan range yang sesuai, probe diletakkan pada benda uji untuk memperoleh indikasi. Tebal bahan ditentukan dari :

sk d = —— x Range 10,0 atau sk d = ——— x Range n x 10

(35)

Dari letak indikasi maka dapat ditentukan tebal bahan : 1,9 d = —— x 100 = 19 mm 10,0 atau 7,6 d = ——— x 100 = 19 mm 4 x 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(36)

9.1.2. Penentuan Lokasi Cacat

Perhitungan jarak dapat dilakukan seperti pada pengukuran tebal, misal pada layar timbul indikasi sebagai berikut :

maka tebal bahan : 6,0 d = —— x 200 = 120 mm 10,0 lokasi cacat : 4,5 d = —— x 200 = 90 mm atau 10,0 9,0 d = ——— x 200 = 90 mm 2 x 10,0

Jadi pada bahan yang tebalnya 120 mm terdapat cacat pada kedalaman 90 mm dari permukaan.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(37)

Bila indikasi yang terjadi jumlahnya cukup banyak maka indikasi harus dianalisa satu persatu, dimulai dari indikasi pertama.

Misal terdapat 7 buah indikasi pada layar : Indikasi I lokasi 50 mm, cacat pertama

II lokasi 90 mm, cacat kedua

III lokasi 100 mm, pantulan II cacat I IV lokasi 120 mm, back wall

V lokasi 150 mm, pantulan III cacat I VI lokasi 180 mm, pantulan II cacat II VII lokasi 200 mm, pantulan IV cacat I

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 I II III IV V VII VI R = 200 mm

(38)

9.2. Probe Sudut

Probe sudut hanya digunakan untuk menentukan lokasi dan besar cacat yang memiliki permukaan yang

membentuk sudut terhadap permukaan benda uji. Probe sudut tidak biasa digunakan untuk mengukur tebal benda uji. Hal yang memudahkan dalam

pengukuran dengan probe sudut adalah bahwa dari satu cacat umumnya hanya menghasilakn satu indikasi

sehingga indikasi mudah dianalisa. 9.2.1. Penentuan Lokasi Cacat

Penentuan lokasi cacat dengan probe sudut memerlukan ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan probe normal karena dituntut suatu kondisi dimana indikasi yang timbul pada layar harus maksimum, agar dapat diyakini bahwa cacat berada pada central beam.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Sc d

(39)

ULTRASONIC

Probe Ultrasonic di bagi menjadi :

• Normal

• Sudut, probe sudut dibagi

menjadi :

 30°

 45 °

 60 °

(40)

ULTRASONIC

Ultrasonic dengan probe sudut :

UT Set Angle Probe A Scan Displa y 0 10 20 30 40 50

initial pulse defect echo

CRT Display

sound path

Angle Probe

defect Surface distance

(41)
(42)

Oleh karenanya probe ini harus digerakan maju mundur sambil diputar kekiri dan kekanan agar diperoleh amplitudo maksimum. Setelah dapat dicapai amplitudo maksimum lokasi indikasi pada layar dibaca (misal skl ) dan lokasi cacat ditentukan dengan :

sk1 R = Range

sc = ——— x R sk1 = lokasi indikasi 10,0 sc = lokasi cacat

Jarak-jarak lainnya dapat dihitung berdasarkan rumus :

pc = sc sin  ; dc = sc cos 

Sebagai contah misal digunakan probe 45o, tebal

pelat 50 mm, dipilih range 100 mm, misal diperoleh indikasi pada skala 5,5 jadi :

5,5

sc = ——— x 100 mm = 55 mm 10,0

(43)

pc = sc Sin 45o = 0,707 x 55 = 38,9 mm

dc = sc Cos 45o = 0,707 x 55 = 38,9 mm

Perlu diingat bahwa lokasi cacat diukur dari titik indeks jadi pada permukaan benda uji harus diberi tanda lokasi dari titik indeks, sehingga lokasi cacat dapat ditentukan. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 50 Pc=38.9 dc=38.9 Sc=55 R = 100 mm

(44)

10. PEMAKAIAN UNTUK PEMERIKSAAN LAS

Khusus untuk pemeriksaan cacat dalam lasan, digunakan probe sudut, Probe normal hanya digunakan untuk mengetahui cacat diluar lasan misal laminasi, karena adanya cacat diluar lasan dapat mengganggu pendekteksian cacat didalam lasan. Gelombang ultrasonic yang terhalang oleh laminasi atau cacat lain diluar lasan tidak akan mencapai cacat yang harus dideteksi karena dipantulkan kearah lain. Pemeriksaan pada las sederhana dilakukan sebagai berikut :

(45)

Sebelum probe sudut digunakan untuk pendekteksian cacat, periksa kemungkinan adanya cacat diluar lasan dengan probe normal (tunggal atau kembar). Pemeriksaan dengan probe sudut dilakukan minimum dengan dua sudut misal 45o

dan 60o atau 70o dari dua arah yaitu dari sebelah

kiri dan kanan lasan. Agar effisien, posisi probe paling jauh terhadap sumbu las dapat dibatasi yaitu sebesar p = 2d tg B. Probe digerakkan secara zig zag dengan tumpang tindih sebesar 10 % atau sesuai prosedur agar seluruh volume lasan dapat tercakup oleh gelombang yang dikeluarkan oleh probe. Bilamana perlu, probe dapat diputar kekiri dan kekanan untuk memeriksa cacat yang mungkin arahnya tidak tepat dengan posisi probe, tetapi harus dijaga agar posisi utama probe adalah tegak lurus terhadap sumbu las.

Bila diperoleh indikasi cacat pada layar dan kemudian dimaksimumkan, beri tanda lokasi titik indeks, probe pada permukaan benda uji dan ukur jarak proyeksi dari titik tersebut kearah lasan untuk memperkirakan lokasi cacat, kemudian beri tanda. Penentuan lokasi cacat dalam lasan dapat pula dilaksanakan dengan cara sebagai berikut

(46)

Gambarkan penampang lasan berikut posisi probe pada saat diperoleh amplitudo maksimum dan central beam. Gambarkan pula jarak cacat pada central beam sehingga lokasi cacat dapat ditentukan terhadap lasan kemudian pindahkan lokasi tersebut ke benda uji.

Interpretasi dari indikasi pada layar agak sukar karena kemungkinan terjadi pantulan oleh akar las dan rigi-rigi las. Oleh karenanya pantulan oleh akar las dan rigi-rigi las harus diperiksa. Bila posisi probe diluar dari posisi akar las dan rigi-rigi las maka indikasi yang timbul dapat dicurigai sebagai indikasi cacat, tetapi bila probe berada pada posisi pemeriksaan akar las atau rigi-rigi las dianggap bukan cacat. Sebagai contoh pemeriksaan las V tebal 20 mm dengan probe MWB 60, range dipilih 100 mm (jarak tempuh). Bila pada layar diperoleh indikasi maksimum pada skala 6,0 berarti lokasi cacat sc = 60 mm dari titik indeks. Bila pada posisi ini jarak probe ke sumbu las = 61 mm maka cacat berada pada bevel, tetapi bila pada posisi tersebut jarak probe ke sumbu las = 40 mm maka cacat berada diluar lasan.

(47)

11. PEMERIKSAAN TEKNIK IMERSION (RENDAM)

Biasanya sistim rendam ini digunakan untuk pengukuran secara otomatis dimana sistim Scan A digabungkan dengan gerakan probe terhadap permukaan benda uji dalam suatu sistim terpadu hingga menghasilkan Scan dan Scan C.

Mengingat jarak probe ke permukaan benda uji cukup jauh maka harus ditentukan jarak minimum yang tidak akan mengganggu pengukuran.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 da db vLa vLb air baja

(48)

Dari gambar terlihat bahwa waktu yang diperlukan oleh gelombang untuk merambat dari probe ke permukaan (I) benda uji adalah :

ta = da/Vla

Pantulan kedua terjadi dalam selang waktu ta.

Jadi supaya pantulan kedua dst dari permukaan I tidak mengganggu pantulan dari permukaan didalam benda uji (antara permukaan I dan permukaan II) maka

db

tb = —— < ta vLb

Karena Vb  4Va , maka

db < 4 da atau da > ¼ db

Jadi jarak probe permukaan I harus lebih besar dari ¼ tebal benda uji (baja).

Untuk dapat membaca skala dengan lebih teliti, range dapat diperkecil dan indikasi permukaan I dapat digeser ke skala 0 sehingga yang terlihat pada layar adalah indikasi yang berasal dari dalam benda uji.

(49)

12. PENENTUAN DIMENSI CACAT

Untuk cacat yang dimensinya lebih besar dari geometri gelombang, penentuan ukuran cacat dapat dilakukan dengan menentukan tepi atau batas pinggir dari cacat tersebut, sedangkan untuk cacat kecil, dimensi cacat ditentukan dengan cara membandingkan permukaan cacat dengan permukaan lubang bor datar atau permukaan lubang bor sisi. Oleh karenanya selalu harus diusahakan agar indikasi cacat yang diperoleh harus dimaksimumkan. Tekanan probe pada benda uji maupun pada blok referensi harus sama karena dasar penentuan dimensi cacat adalah amplitudo. Bila amplitudo tidak konsistem maka hasilnya tidak akan teliti, meskipun dimensi cacat sebenarnya tidak dapat dipastikan.

0 5 10 d air d baja Pulsa awal I II cacat

(50)

12.1. Penentuan dimensi cacat dengan 6 dB drop Untuk menentukan batas pinggiran cacat, posisi probe pada saat berada di batas pinggiran cacat harus dapat dipastikan.

Posisi Probe di pinggir cacat dapat ditentukan yakni apabila 50 % gelombang diteruskan sedangkan 50% lagi dipantulkan kembali ke probe. Dari definisi dB dapat dihitung bahwa bila intensitas berkurang dengan 50 %, maka amplitudo akan berkurang dengan 6 dB. Oleh karenanya bila amplitudo dari cacat maksimum berarti probe tepat berada pada posisi pinggiran cacat.

Scan B Panjang Teb a l Scan C Panjang Lebar

(51)

Jadi apabila telah diperoleh amplitudo maksimum dari indikasi suatu cacat, maka pinggiran cacat dapat diketahui dari posisi-posisi probe dimana probe memberikan indikasi yang amplitudonya berselisih 6 db terhadap amplitudo maksimumnya. Dengan menggeser probe di seluruh permukaan benda uji, maka batas pinggiran dari cacat tersebut akan dapat ditentukan sehingga diperoleh dimensinya.

12.2. Distance Amplitudo Correction (DAC)

DAC adalah salah satu cara menentukan dimensi cacat relatif, artinya relatif terhadap suatu referensi cacat tertentu. Untuk itu terlebih dahulu harus dibuat kurva DAC dari cacat referensi berupa lubang bor sisi atau berupa takikan segi empat (notch) dari blok kalibrasi dasar.

Setelah kurva DAC diperoleh, amplitudo dari indikasi cacat dibandingkan dengan kurva DAC dan dapat dihitung berapa persen perbandingan antara amplitudo dari indikasi cacat terhadap amplitudo kurva DAC untuk jarak yang sama.

(52)

0 2 4 6 8 10

(53)

12.3. Pemakaian Skala DGS (Distance Gain Size) Amplitudo suatu indikasi tergantung pada letak

permukaan pemantul/cacat (distance), gain dan dimensi permukaan pemantul/cacat tersebut (size). Makin jauh letak cacat dan dengan gain yang kecil serta makin kecil dimensi cacat, maka makin kecil pula amplitudo indikasi dari cacat tersebut.

Krautkramer secara teoritis dan dengan percobaan telah membuktikan adanya hubungan antara besaran-besaran tersebut di atas dan berhasil membuat hubungan antara besaran tersebut dalam diagram dan skala DGS dengan syarat bahwa permukaan dianggap datar/rata dan berbentuk lingkaran dua dimensi.

Karena diagram dan skala ini dipengaruhi oleh probe dan pesawat yang digunakan, maka

dibuatkan diagram dan skala untuk berbagai jenis probe, range dan pesawat ultrasonik. Untuk itu krautkramer membuat skala dengan kode-kode tertentu disesuaikan dengan faktor-faktor tersebut. Misal untuk pesawat USK, USL dan USM

dibuatkan skala DGS dengan kode huruf MAN untuk probe normal dan kode huruf MA untuk probe sudut.

(54)

Untuk memasukkan faktor frekuensi probe, sudut probe dan range dibuatkan kode angka misal skala DGS MAN 242 adalah untuk probe B.4 SN atau MB4SN dengan range 2 x 250 mm = 500 mm. Skala DGS MA 442 adalah untuk probe MWB 45 dengan range 2 x 50 mm = 100 mm dan jarak dari proyeksi dari ujung probe.

Untuk dapat menggunakan skala DGS langsung maka perlu dilakukan kalibrasi, baik gain maupun jarak sehingga amplitudo langsung menunjukkan dimensi cacat dalam satuan mm DGS. Distance : A Gain : V Size : G 1.5 2 3 4 5 7 mmn MWB 45 R 2 0 100 1.5 2 3 4 6 mmn MB 60 0 250 R 1

Referensi

Dokumen terkait

Dengan perkambangan teknologi smartphone, dibutuhkan konten berbasis web yang dapat disajikan melalui perangkat mobile tersebut. Oleh karena itu, dikembangkan juga

Menimbang, bahwa terlepas dari ketentuan-ketentuan formil sebagaimana terurai di atas, dalam perkara aquo, disamping ada kepentingan hukum Para Pemohon, juga

Oleh karena itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau substansial dan syarat yang sangat mendasar adalah

[r]

Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan

Aspek afektif atau emosi yang mendalam merupakan konsep yang menampakkan aspek kognitif dari minat yang ditampilkan dalam sikap terhadap aktivitas yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa kadar sisa chlor dan kandungan bakteri E.coli yang ada dalam air hasil PDAM tirta moedal Semarang sebelum dan sesudah

Produktivitas yang optimal tersebut dapat dicapai dengan cara meningkatkan pengawasan pada ketersediaan dan kualitas bahan baku, memberikan motivasi dan pengawasan