• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEHIDUPAN KABUPATEN BOYOLALI ABAD XX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEHIDUPAN KABUPATEN BOYOLALI ABAD XX"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

21

A. Awal Terbentuknya Kabupaten Boyolali 1. Sejarah Kabupaten Boyolali

Awal berdirinya Kabupaten Boyolali tidak dapat dilepaskan dari campur tangan pemerintahan kolonial, terhadap pemerintah Kasunanan Surakarta. Boyolali pertama kali adalah bagian dari desa – desa yang berdiri di sepanjang jalan utama Surakarta – Semarang, desa tersebut merupakan pos sementara yang didirikan dengan tujuan supaya pengiriman barang dan jasa dari Surakarta ke Semarang maupun sebaliknya dapat berjalan dengan aman. Pos sementara tersebut adalah Pos Tundhan. Kabupaten Boyolali berdiri pada masa Pos Tundhan1.

Pos Tundhan dikepalai oleh Tumenggung Gunung dibantu oleh Abdi

Dalem Gunung bermukim di pinggir jalan raya utama, di Ampel dan Boyolali

yang merupakan ruas utama Surakarta – Semarang. Urusan pemerintahan dan masyarakat tetap dipegang oleh Tumenggung tetapi masih di bawah pengawasan Patih Surakarta.Pos Tundhan ini berlangsung sejak tanggal 12 Oktober 1840 hingga perubahan status menjadi Kabupaten Gunung Pulisi Boyolali pada tahun 1847.

1

Kabupaten Boyolali awalnya merupakan sebuah desa di sebelah barat Surakarta, dan berada tepat di jalur utama Semarang – Solo. Lihat : Serat Angger Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoeboewono VII (Serat Angger Goenoeng). Bab. 1.

(2)

Keadaan Pos Tundhan yang masih terjadi beberapa kekacauan, membuat Sunan dan pemerintah Belanda membuat peraturan baru mengenai pemerintahan dhusun atau pemerintahan luar negara. Keluarnya peraturan tersebut atas dasar pemerintah Bale Mangoe sudah tidak dapa tmengurusi masalah pemerintahan. Tanggung jawab pemerintahan di tangan Sunan tetapi dipercayakan kepada Patih dibantu dengan Bupati. Peraturan tersebut muncul tahun 18472.

Seiring berjalanya waktu, status Pos Tundhan tersebut digantikan dengan Gunung Pulisi. Perubahan tersebut ditetapkan oleh Sunan dengan persetujuan Residen Belanda. Gunung Pulisi dipimpin Bupati Gunung dibantu dengan Priyayi Gunung pada tanggal 5 Juni 1847. Tahun 1847 pemerintahan

Bale Mangoe secara resmi dihapuskan, secara otomatis Pemerintah

Kasunanan Surakarta membentuk enam daerah Kabupaten Gunung untuk membantu pemerintahan di daerah.

Enam daerah tersebut, yakni : Kabupaten Gunung Kota Surakarta, Kartosuro, Klaten, Boyolali, Ampel dan Sragen. Pengangkatan Bupati Gunung harus mendapatkan persetujuan dari Residen Surakarta. Dengan adanya persetujuan tersebut, maka diangkatlah Bupati pertama Boyolali, yakni RT. Sutonagoro. Berdasarkan ketentuan tersebut maka status Pos Tundhan

2

Untuk mengurusi desa – desa di wilayah Surakarta dikeluarkanlah peraturan yang tertuang pada staatsblad yang bersiskan tentang pemerinahan dhusun. Lihat : Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1847 No. 30

(3)

berubah menjadi Kabupaten Gunung Pulisi pada tanggal 5 Juni 1847, dan Bupati berada di bawah Patih Surakarta3.

Meskipun sudah terbentuk Kabupaten Gunung Pulisi, akan tetapi kerusuhan masih terjadi maka untuk mentertibkan pelaksanaan pemerintah dhusun disyahkan peraturan baru. Pada tanggal 18April 1854 munculah

Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1854 No 32, yang berisikan pendirian Pengadilan Pradata di setiap kabupaten salah satunya Kabupaten Pulisi Boyolali4.Selain mendirikan pengadilan pradhata, peraturan tersebut juga memunculkan distrik-distrik dan wilayahnya.

Dengan dikeluarkanya peraturan tentang pembagian wilayah tersebut, maka tugas kepala distrik menjadi bertambah. Kepala distrik kemudian mengangkat pembantu, yakni carik. Selain abdi dalem yang diangkat Sunan dengan perjanjian Residen, Belanda juga menempatkan beberapa wakilnya berpangkat Asisten Residen di beberapa wilayah salah satunya Boyolali5.Dengan adanya jabatan asisten residen ini untuk membantu kelancaran pemerintahan daerah, dan mengakibatkan bupati memiliki dua pemimpin yakni : patih dalem dan asisten residen. Seiring berjalanya waktu

3

Serat Angger Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan

Pakoeboewono VII (Serat Angger Goenoeng). Bab. 4.

4

Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1854 No.32. Berisi tentang

pendirian pengadilan pradata disetiap Kabupaten Pulisi di wilayah Surakarta.

5

Staatsblaad van Nedherlandsch-Indie 1874 No.209.Tentang pembagian wilayah distrik di Kabupaten Pulisi Boyolali.

(4)

status asisten residen dan stafnya disebut dengan abdi dalem Pangreh Praja, dan abdi dalem kasunanan disebut dengan abdi dalem gunung.

Tahun 1918 merupakan tahun perubahan status Kabupaten Pulisi Boyolali menjadi Kabupaten Pangreh Praja Boyolali, dengan struktur pemerintahan : Bupati Pangreh Praja, Bupati Anom Pangreh Praja, Wedana dan Asisten Wedana Pangreh Praja. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 12 Oktober 19186. Sebelum berubah status menjadi Kabupaten Pangreh Praja Boyolali, terjadi prubahan status dari Bupati Pulisidan stafnya menjadi Abdi Dalem Pangreh Praja. Untuk mengatur tugas dan wewenang abdi dalem Pangreh Praja, dikeluarkanlah peraturan yang wajib dipatuhi abdi dalem panewu distrik dan onderdistrik7.

Kabupaten Boyolali pada awalnya merupakan Tanah Lungguh bagi abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta. Untuk menghapus sistem tanah lungguh maka Belanda mengadakan kompleit yang memberikan hak kepada rakyat untuk memiliki tanah secara perseorangan. Peristiwa tersebut berhubungan dengan program pengembangan pengaruh pemerintah Belanda di bidang ekonomi kepada daerah Kasunanan Surakarta, dan bidang perusahaan perkebunan.

6

Rijksblaad Soerakarta 1918 No.23. Tentang perubahan status dari Kabupaten Gunung Pulisi menjadi Kabupaten Pangreh Praja.

7

Rijksblaad Soerakarta 1918 No. 24. Tentang tugas dan kewajiban abdi dalem distrik dan onder distrik.

(5)

2. Demografi Kota Boyolali

Kabupaten Boyolali yang notabene berada di bawah Kasunanan Surakarta dalam pemerintahan dijalankan dan diawasi oleh Residen dibantu dengan Patih sebagai koordinator dan pengontrol pemerintahan daerah. Residen membawahi seorang Asisten Residen yang berada di daerah, selanjutnya Asisten Residen membawahi Bupati sebagai pemimpin daerah dibantu Wedana untuk mengawasi setiap distrik. Tujuan penetapan Bupati adalah selain pengontrol distrik juga menjaga keamanan dalam masyarakat Eropa, Cina dan pribumi.

Kabupaten Boyolali dihuni oleh beberapa golongan masyarakat dari berbagai negara dan tujuan diantaranya : Eropa, Cina dan Arab. Golongan masyarakat tersebut berada di Boyolali dengan tujuan mayoritas berdagang dan berkoloni satu sama lain. pembagian wilayah tempat tinggal didasarkan atas status sosial, mata pencaharian dan kedudukan. Masyarakat Eropa berada di Districthoodft (pusat kota), masyarakat Cina berada di Chineesekamp (Jalan Pandanaran), dan masyarakat pribumi berada di pinggir Kota Boyolali. Masyarakat di Kabupaten Pangreh Praja Boyolali berjumlah 286.763 ribu jiwa terdiri dari 479 jiwa masyarakat Eropa, 285.765 jiwa masyarakat Inlanders, 517 jiwa masyarakat Cina dan 2 jiwa masyarakat Arab.

Kemajemukan masyarakat di Boyolali mengakibatkan terjadinya stratifikasi sosial masyarakat, yang dipengaruhi oleh status, jabatan dan

(6)

golongan masyarakat yang ada di Boyolali. Adapun pembagian jumlah penduduk di Boyolali sebagai berikut :

Tabel. I.

PENDUDUK KOTA BOYOLALI TAHUN 1920

Administrat ieve Indeeling

Europeanen Inlanders Vreemde Oosterlingen Chineezen Arabieren Bojolali 181 20. 717 416 2 Modjosongo 2 13. 523 Moesoek 36 12. 634 Singosari 17 14. 797 Banjoedono 44 25. 481 8 Teras 14 14. 458 Sawit 23 12. 626 1 Ampel 56 16. 532 41 Tjepogo 31 14.706 Selo 7 8. 403 Karanggede 8 16.527 10 Klego 15. 473 Andong 1 19. 039 Simo 23 16. 527 25 Tari 7 10. 376 Sambi 14. 239 Djoewangi 27 11. 784 16 Kemoesoe 10. 294 Wonosegoro 14. 147 Repaking 2 3. 482 479 285. 765 517 2

Sumber :Uitkomsten Der In De Maand 1920 Gehouden Volkstelling Deel 1.Batavia : Drukkerijen Ruygrok & Co, 1982, hlm 98-99.

(7)

Berdasarkan data tersebut perlu dijelaskan yakni : golongan

Europeanen adalah masyarakat Eropa, Indlander adalah pribumi, Chineezen

adalah masyarakat Cina dan Arabieren adalah masyarakat Arab. Dominasi penduduk di Kota Boyolali tetap didominasi oleh penduduk Eropa yang mengontrol segala aktifitas di Kota Boyolali, baik di bidang pemerintahan maupun masyarakat.

B. Stratifikasi Masyarakat Boyolali Awal Abad XX 1. Stratifikasi sosial

Periode di tahun 1900 mulai diciptakan sistem kelas sosial pada masyarakat Kotamadya Surakarta, hal tersebut membuat masyarakat Kabupaten Boyolali juga dicanangkan stratifikasi sosial. Adapaun golongan masyarakat Kabupaten Boyolali yakni golongan Eropa, Timur Asing (Cina dan Arab) dan pribumi. Penggolongan kedudukan masyarakat dijabarkan dalam skema berikut :

Bagan I. Stratifikasi masyarakat Boyolali

Golongan Eropa dan Belanda

Golongan Indo dan Timur Asing

Golongan Bumiputra

Sumber : Wahyuningsih., Jejak-Jejak Arsitektur Bangunan Indis di Kota Salatiga Awal Abad XX.

(8)

Bagan di atas menggambarkan bahwa, masyarakat Eropa memiliki kedudukan lebih tinggi dalam segala bidang baik pemerintahan maupun non pemerintahan dan mendapat perlakuan istimewa. Golongan masyarakat timur asing berkedudukan lebih tinggi daripada pribumi, tetapi tidak lebih tinggi dari Eropa8. Masyarakat pribumi berada di posisi terendah dengan hak dan kedudukan terbatas tetapi berkewajiban besar. Stratifikasi masyarakat tersebut juga berlaku di Kabupaten Boyolali.

Stratifikasi sosial yang dibuat oleh Belanda tersebut mengakibatkan terjadinya diskriminasi ras yang diterima oleh pribumi, diskriminasi tersebut tidak hanya dibidang sosial dan budaya melainkan di bidang ekonomi. Dalam bidang ekonomi masyarakat pribumi untuk mendapatkan sesuatunya harus melalui pengorbanan yang cukup berat dengan hasil yang tidak seberapa dan sistem penggajian para pegawai pemerintahan dan non pemerintahan yang didasarkan atas golongan.

Pertumbuhan perusahaan perkebunan, pelayaran, perbankan, dan perkeretaapian memerlukan tenaga kerja berpendidikan rendah hingga pekerja terampil. Tenaga kerja tidak berpendidikan dipekerjakan untuk pembuatan saluran irigasi dan jalan raya, sedangkan tenaga kerja berpendidikan dipekerjakan di sektor perkantoran. Tenaga kerja berpangkat tinggi didatangkan langsung dari Belanda untuk bekerja di sektor pemerintahan.

8

Peter Carey., Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825. (Jakarta : Pustaka Offset, 1984), hlm : 16.

(9)

Pegawai pemerintahan pada masa kolonial disebut dengan

Binenlandsbestuur, pegawai-pegawai tersebut disebar ke seluruh pedalaman Jawa untuk mendirikan koloni mereka. Ketika penyebaran pegawai BB inilah percampuran budaya Eropa dengan Jawa terjadi, hal ini dikarenakan para pegwai tersebut tidak diperkenankan membawa istri kecuali pejabat tinggi. Kondisi tersebut mengakibatkan percampuran darah dengan wanita Jawa dan melahirkan anak-anak campuran, sehingga melahirkan budaya Indis.

Pemerintahan masyarakat di Boyolali pada masa kolonial sebelumnya dikuasai secara penuh oleh kerajaan akan tetapi dengan banyaknya kericuhan yang terjadi di dalam kerajaan dan kedatangan Belanda, maka pemerintahan dipegang oleh Pemerintah Belanda dibantu dengan raja berpusat di kantor pemerintahan kerajaan. Belanda dalam mencampuri urusan pemerintahan Jawa dengan cara intervensi militer9.

2. Kelompok Masyarakat Eropa dan Masyarakat Pribumi

Masyarakat Eropa disini yakni kolonial Belanda yang menempati suatu wilayah di Indonesia. Kedudukan masyarakat Eropa berada pada posisi tertinggi dan berkedudukan sejajar dengan raja10. Suatu daerah yang dikuasai oleh masyarakat Eropa, cenderung terjadi diskriminasi golongan yang

9

Akhmad Setiawan., Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm 86.

10

Wahyuningsih., Jejak-Jejak Arsitektur Bangunan Indis di Kota Salatiga Awal Abad XX, (Skripsi UNS : Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu Sejarah, 2006), hlm. 24.

(10)

didasarkan atas jabatan rendahan dan stratifikasi masyarakat dimana golongan Eropa berada di posisi teratas dan pribumi berada di lapisan bawah. Diskriminasi lainya yakni pembatasan dalam kegiatan sosial antar golongan, golongan pribumi tidak diperkenankan memasuki areal golongan Eropa begitupun sebaliknya. Bentuk diskriminasi atas dasar golongan yakni dilarangnya masyarakat pribumi memasuki daerah tempat bermukimnya Belanda, kecuali pejabat setempat yang sejajar dengan golongan asing.

Masyarakat Eropa tinggal di pusat Kota Kabupaten Boyolali dan dekat dengan pusat pemerintahan, sekolah, dan villa. Kemudian dalam bidang keamanan di masyarakat, pemerintah Belanda mendirikan Landraad. Masyarakat Belanda pada dasarnya adalah golongan Indo Eropa yang merupakan keturunan dari perkawinan campuran Belanda totok dan wanita pribumi11.

Masyarakat pribumi yakni penduduk asli suatu daerah yang mendiami desa-desa pada masa pemerintah kerajaan, dan tinggal jauh dari pusat kota. Masyarakat yang bermukim di dekat kota cenderung memiliki hubungan dengan masyarakat Belanda, yakni priyayi yang dijadikan pekerja di pusat kota12. lihat gambar 2. kondisi masyarakat Eropa dan pribumi di Kabupaten Boyolali berbeda dalam segala aktifitas, hal tersebut dapat dilihat pada gambar 1 dan 2 yang memberikan gambaran bahwa masyarakat Eropa

11

Sartono Kartodirjo., Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. (Jakarta : Ombak, 1993), hlm 97.

12

Kuntowijoyo., Raja, Priyayi dan Kawula : Surakarta 1900 – 1915,

(11)

mendapatkan hak yang istimewa sedangkan pribumi terbatas dalam mendapatkan fasilitas.

Gambar 1.

Masyarakat Eropa di Boyolali. Sumber : KITLV.nl

Gambar 2.

Masyarakat pribumi di Boyolali Sumber : KITLV.nl

(12)

C. Kebudayaan Indis di Boyolali

1. Budaya Indis awal abad XX di Boyolali

Kebudayaan Indis muncul dan berkembang dilatarbelakangi oleh bercampurnya dua budaya yang berkomunikasi satu sama lain, antara budaya Belanda / Eropa dengan budaya Jawa dan menghasilkan budaya baru yakni budaya Indis. Kebudayaan Indis di Indonesia berkembang pada Awal Abad ke-20, awal mula berada di pesisir Jawa yakni Batavia dan kemudian menyebar ke daerah pedalaman yang dihuni oleh masyarakat Belanda. Munculnya budaya Indis ini tidak dapat dilepaskan dari politik, sosial dan ekonomi pada masyarakat.

Kehadiran bangsa Belanda dengan budaya Eropa mengakibatkan masyarakat pribumi harus beradaptasi dengan budaya Eropa tanpa meninggalkan budaya Jawa. Dengan kedatangan Belanda di Jawa, maka gaya hidup dalam masyarakat Jawa juga turut berubah seiring berjalanya waktu. Budaya Eropa ini dibawa oleh para pedagang dan pejabat Belanda dalam rangka ekspansi ke negara-negara penghasil rempah-rempah yang laku dijual di dunia.

Kondisi iklim pulau Jawa yang berbeda dengan negara di Eropa, mengakibatkan munculnya bentuk arsitktur tempat tinggal, gaya hidup, mata pencaharian dan sebagainya hasil dari budaya Indis. Wujud dari hasil percampuran budaya tersebut yakni :

(13)

a. Sistem budaya yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan dan undang-undang yang dimiliki pemangku kebudayaan yang bersangkutan.

b. Aktivitas para pelaku seperti tingkah laku, upacara yang berwujud nyata dan dapat diamati masyarakat.

c. Berwujud benda yakni hasil karya manusia yang berupa benda13.

Wujud kebuyaan tersebut mempengaruhi tujuh unsur kebudayaan Indonesia yang universal, tujuh unsur tersebut yakni bahasa, gaya hidup, mata pencaharian, sistem sosial, kesenian, ilmu pengetahuan dan keagamaan14. Menetapnya Belanda di Indonesia secara perlahan menyebabkan budaya Jawa dan Belanda bercampur dan mempengaruhi gaya arsitektur tempat tinggal. Hal tersebut dikarenakan perbedaan kondisi iklim yang berbeda antara Belanda dan Jawa.

2. Arsitektur Indis

Arsitektur sebuah kota dipengaruhi atas kondisi geografis wilayah setmpat dan budaya masyarakat. Budaya tersebut selain melahirkan kebudayaan pada masyarakat juga melahirkan seni arsiektur Indis. Arsitektur Indis di Indonesia berawal dari pesisir Batavia pada Abad ke-18, dan merupakan gambaran kedudukan orang-orang Eropa di Indonesia. Gaya

13

Djoko Soekiman.,Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII – Medio Abad XX, (Yogyakarta: Bentang, 2000), hlm. 4

14

(14)

arsitektur rumah Indis ini berbeda dengan rumah di daerah pedalaman maupun pesisir pulau Jawa.

Seni arsitektur yang menojol pada Abad ke-18 di Indonesia yakni arsitektur Indische Empire Style15. Gaya arsitektur ini muncul sekitar pertengahan abad ke-18 di Eropa, dan berkembang seiring kedatangan Gubernur Jendral H.W. Daendels tahun 1808-1811 di Indonesia16. Berdirinya kota maupun kabupaten tidak dapat dilepaskan dari gaya arsitektur sebagai pembentuk sekaligus landmark kota. Kota-kota di Indonesia cenderung menggunakan konsep kota radial atau memusat pada suatu area tertentu, biasanya memusat pada jalan raya utama maupun pusat pemerintahan17.

Di beberapa kota kabupaten dan karesidenan di Indonesia, terdapat bermacam-macam gaya bangunan yang mewakili zamanya salah satunya yakni gaya Indis dengan ciri khas tersendiri. Kabupaten Boyolali yang notabene kota militer, dalam hal gaya arsitektur tempat tinggal dan pemerintahan berbeda dengan gaya arsitektur tempat tinggal dan pemerintahan pribumi. Perbedaan tersebut merupakan hasil campuran dari arsitektur bergaya Eropa dan Jawa atau arsitektur Indis, dengan ciri khas yang menonjol yakni : pemakaian kaca patri atau Stainledglass sebagai penghias

15

Indische Empire Style meruapakan gaya arsitektur Indis pertama di Hindia Belanda. Lihat :Hadinoto., Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa Kolonial, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), hlm. 47.

16

Ibid, hlm. 51.

17

Hadi Sabari Yunus., Struktur Tata Ruang Kota, (Yogyakarta: Ombak, 2004)., hlm. 119.

(15)

bagian dalam rumah, penggunaan hiasan Kemuncak, pemakaian Timpanon

(hiasan berupa papan bermotif lingkaran ditengah diapit segitiga terbalik), penggunaan Console dan bagian dalam rumah cenderung berlangit-langit tinggi dan tembok yang tinggi dan tebal.

Perbedaan lainya yakni, penggunaan konsep tata ruang pada rumah tradisional dengan pemisahan ruang yang seara jelas tidak berlaku pada bangunan Indis. Percampuran rumah tradisional dengan bangunan Eropa hanya tampak pada penggunaan rangka atap, bukaan rumah (pintu dan jendela yang didesain besar dan banyak), dan konstruksi bangunan yang tinggi dan besar18. Rumah tradisonal jawa diaplikasikan dalam rumah Eropa karena dirasa sangat cocok untuk mengatasi berubahnya musim di Hindia Belanda.

Belanda dalam menerapkan pola ruang rumah tradisional Jawa juga tidak dapat dilepaskan dengan unsur keselarasan terhadap alam, terlihat pada munculnya rumah Indis dengan halaman yang luas dan besar. Munculnya bangunan dengan halaman besar dan luas dengan segala kekuatan pemilik rumah mengakibatkan, rumah tersebut berubah fungsi mejadi simbol golongan. Simbol tidak dapat dipisahkan dengan budaya masyarakat Jawa awalnya, dan berkembang setelah kolonial Belanda menetap di Jawa. Rumah tradisional Jawa merupakan perpaduan antara arsitektur dan budaya,

18

Antonius Indro Nursito., Perubahan Bentuk dan Tata Nilai dalam Arsitetur Rumah Tradisional Jawa di Surakarta, Skripsi. (Surakarta : Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, 2005), hlm : 108.

(16)

arsitektur lebih cenderung terhadap bagaimana cara melindungi diri dari alam sedangkan budaya lebih cenderung kosmologi masyarakat Jawa. Arsitektur dan budaya rumah tradisional Jawa oleh Belanda ditambahkan dengan sistem teknologi dalam berbagai unsur19.

Konsep tata ruang rumah tradisional Jawa yang didasarkan atas dasar privasi pemilik rumah, juga diaplikasikan pada tata ruang rumah Indis oleh Belanda. Tata ruang rumah tradisional dengan konsep joglo, pringgitan, gandok, sentong kamar kiwo dan kamar tengen juga digunakan oleh Belanda untuk mengatur privasi mereka dari masyarakat luar. Akan tetapi, tata ruang tersebut tidak diaplikasikan secara keseluruhan. Masyarakat Belanda dengan segala teknologi dari Eropa dapat merubah tata ruang rumah tradisional sesuai dengan kebutuhan mereka, teknologi tersebut lebih ditekankan pada konstruksi rumah dengan segala sistem yang dibutuhkan.

Teknologi yang digunakan Belanda dalam mendirikan gedung juga merupakan simbolisme hubungan antara masyarakat pendukungya dengan lingkungan alam. Sehingga memunculkan suatu konsep tata kota tradisional dengan alun-alun sebagai pusat kegiatan masyarakat dan dekat dengan keraton atau bangunan pemerintahan dan rumah pribumi20. Akan tetapi konsep tersebut berubah semenjak kolonial Belanda menetap di pedalaman Jawa, dimana alun-alun berubah menjadi pusat masyarakat Eropa dan elite

19

Arya Ronald., Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa.

(Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005), hlm : 29.

20

Santoso Suryadi., Dinamika Perkembangan Arsitektur Jaman Pra Kolonial di Pulau Jawa. (Dalam Majalah Dimensi No. 5, 1981), hlm 35.

(17)

pribumi. Akhirnya konsep tata ruang kota pedalaman di Hindia Belanda pada masa kolonial cenderung memusat di pusat kota, dengan bangunan-bangunan pendukung pemerintahan dan tempat tinggal Eropa dan priyayi21

Tata ruang Kabupaten Boyolali berbeda dengan kota lain akan tetapi masih satu konsep yakni memusat di pusat kota dan bangunan-bangunan yang didirikan di Kabupaten Boyolali di antaranya, yakni : Tangsi Militer, Asisten

Residen, Landraad, Poostkantor, Hospitaal, Telefoonkantor,

Hulppostkantoor, Gouvt. Pandhuis, Opiumverkooplast, Stanplaat, Station Bojolali, Zoutpakhuis, Villa Merapi, Hotel Bojolali dan lain sebagainya. Di samping bangunan untuk pemerintahan dan umum juga didirikan bangunan sebagai tempat tinggal dan sekolahan, diantaranya : Hollandsch Inlande School, Europe School, rumah distrik, mess bayangkari rumah tinggal pribadi milik pastur Gereja Kristen dan Oemah Leo.

21

Robert Van Neil., Munculnya Elite Modern Indonesia. (Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm : 35.

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Aditya (2016) dengan judul pengaruh pembiayaan mudharabah dan musyarakah terhadap profitabilitas bank umum syariah periode

Dengan demikian, harta warisan tersebut tidak dibagi-bagikan diantara ahli warisnya, karena harta tersebut merupakan milik bersama (kolektif) dari seluruh anggota

(6) Ketentuan mengenai contoh penggunaan kode dan standar yang diterapkan untuk penentuan kelas mutu pada instalasi nuklir tercantum dalam Lampiran III yang merupakan

Dalawang Misa lamang ang ipinagdiriwang sa araw na ito: Ang Misa na may Pagbabasabas ng mga Langis at Pagsariwa sa Pangako ng mga Pari na ginaganap sa umaga, at ang Misa

Papilitis adalah inflamasi yang mengenai serabut retina nervus optikus yang masuk pada papil nervus optikus di dalam bola mata, dengan pemeriksaan opthalmoskopis

Disamping aspek tersebut, peneliti juga mengamati perilaku siswa saat proses pembelajaran berupaperhatian siswa padamateri pelajaran, keseriusan siswa dalam

Pemanfaatan mikrokontroller ATmega mikrokontroller ATmega 16 16 sebagai kontroller sebagai kontroller pada pada mesin profil mesin profil cukup cukup efektif,

Menjadi program Studi Profesi Apoteker yang unggul dalam penyelenggaran tri dharma perguruan tinggi untuk menghasilkan Apoteker yang profesional berdaya saing global dalam