KAJIAN KANDUNGAN PATI, AMILOSA DAN AMILOPEKTIN TEPUNG
DAN PATI PADA BEBERAPA KULTIVAR PISANG (Musa spp)
! "!
ABSTRAK
Pisang merupakan salah satu buah yang cukup perspektifdalam pengembangan sumber pangan lokal dan sumber karbohidrat non beras, sehingga dapat dijadikan sumber tepung dan pati baru. Pengolahan pisang menjadi tepung dan pati pisang merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi kehilangan pasca panen. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi kandungan pati beserta komponen penyusunnya berupa amilosa dan amilopektin dari pisang kapas, mahuli dan talas. Tepung dan pati pisang kapas memiliki kadar pati, amilosa dan amilopektin tertinggi yaitu 78,25 %, 18,17 % dan 60,08 %. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui salah satu kriteria mutu tepung dan pati yang berasal dari pisang, baik sebagai bahan pangan maupun non-pangan.
Kata Kunci ; pati, amilosa, amilopektin, pisang
PENDAHULUAN
Pisang (Musaspp) merupakan salah satu produk yang cukup perspektif dalam pengembangan sumber pangan
lokal. Provinsi Kalimantan Timur termasuk salah satu sentra penghasil pisang di Indonesia. Produktivitas pisang di Kaltim terus meningkat, dimana pada tahun 2009 jumlah produksi aneka jenis pisang sebesar 103.099 ton, meningkat menjadi 113.113 ton pada tahun 2010 dengan luas area tanam 2.032.929 Ha (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kaltim, 2011).
Pisang merupakan salah satu sumber karbohidrat dari buah-buahan yang masih relatif tertinggal pemanfaatannya dibandingkan dengan bahan pangan sumber karbohidrat asal serealia dan umbi-umbian. Alternatif pengembangan pisang yaitu untuk tepung dan pati. Tepung dan pati pisang adalah salah satu cara pengawetan pisang dalam bentuk olahan. Kalimantan Timur yang memiliki ragam jenis kultivar pisang memiliki potensi untuk pengembangan tepung dan pati. Namun perbedaan kultivar akan memberikan karakteristik yang berbeda terhadap tepung dan pati pisang yang dihasilkan.
Pengolahan pisang menjadi tepung dan pati memberi peluang pengembangan yang lebih bervariasi dan dapat membantu pengembahan bahan pangan non beras untuk mencapai ketahanan pangan. Hasil Penelitian yang pernah dilakukan oleh Satuhu dan Supriyadi (1995), tepung pisang diketahui memiliki komposisi kimia yang lebih tinggi dibandingkan pisang segar, yaitu tepung pisang mengandung karbohidrat 88,6 %, serat kasar 2 %, protein 4,4 %, lemak 0,8 %, kadar abu 3,2 %, -karoten 760 ppm dan kalori 340 kkal/100g. Sedangkan pisang segar mengandung karbohidrat 27 %, serat kasar 0,5 %, protein 1,2 %, lemak 0,3 %, kadar abu 0,9 %, -karoten 2,4 ppm dan kalori 104 kkal/100g. Dari data tersebut bahwa tepung pisang memiliki potensi yang lebih besar untuk dikembangkan menjadi produk olahan pangan.
Karbohidrat yang cukup tinggi pada tepung pisang menunjukkan bahwa tepung pisang memiliki kandungan pati yang juga tinggi. Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan, terutama dalam hal menyediakan kebutuhan energi manusia di dunia dengan porsi yang tinggi.Kandungan pati juga memiliki peranan penting menjadi salah satu kriteria mutu tepung. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin. Pada umumnya pati mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa. Perbandingan amilosa dan amilopektin ini mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati makin bersifat kering dan kurang lengket.
Untuk mengembangkan berbagai olahan pangan dari tepung dan pati pisang perlu diketahui karakteristik dan mutu tepung pisang, salah satu karakteristik yang perlu diketahui adalah kandungan pati beserta komponennya, berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan pati dan komponen penyusunnya berupa amilosa dan amilopektin dari tiga kultivar pisang yaitu pisang kapas, mahuli dan talas.
METODE PENELITIAN
Bahan dan Metode
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisang kapas, mahuli dan talas mentah yang berasal dari kebun petani di Samarinda, natrium bisulfit, serta bahan kimia untuk analisis. Alat yang digunakan meliputi : alat masak, oven listrik, blender, ayakan, timbangan digital serta peralatan gelas untuk analisis.
Prosedur Penelitian
Proses pembuatan tepungpisang diawali dengan pengukusan pisang selama 15 menit, dilanjutkan dengan pengupasan dan pengirisan. Selanjutnya irisan pisang direndam dalam larutan Na-metabisulfit 500 ppm selama 10 menit, ditiriskan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60 0C selama 24 jam. Untuk membuat tepung, gaplek digiling dengan blender dan diayak hingga diperoleh ukuran 120 mesh.
Pembuatan pati pisang dilakukan dengan menimbang lima ratus gram tepung pisang disuspensikan dalam air sambil diaduk pada kecepatan tetap selama 1 jam. Selanjutnya, suspense dilewatkan pada ayakan 80 mesh untuk memisahkan fraksi padatan yang mengandung serat dan fraksi cairan yang mengandung pati. Fraksi cairan dibiarkan untuk mengendap selama 4 jam. Cairan yang masih tertinggal bersama pati dicuci sebanyak 3 kali dengan menggunakan akuades, Pati dikeringkan dalam oven pada 600C selama 2 jam. Pati yang sudah kering digiling dan dilewatkan pada ayakan 100 mesh.
Tepung dan pati pisang yang diperoleh selanjutnya dianalisis Pati (SNI 01-2891-1992) dan komponen penyusunya berupa amilosa dan amilopektin (Riley et al. 2006).
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), faktornya adalah kultivar pisang (mahuli, kapas, dan talas), dengan lima kali ulangan. Data dianalisis dengan menggunakan metode General Linier Method (GLM) pada program Statistical Analysis System (SAS 9.1 2003). Jika terdapat beda nyata antar perlakuan maka dilanjutkan dengan metode Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 % pada program yang sama.
Prosedur Analisis
Kadar Pati (SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%, kemudian dididihkan selama 3 jam menggunakan pendingin tegak. Larutan dinetralkan dengan NaOH 30% dan ditambahkan sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan menjadi sedikit asam. Larutan dipindahkan dalam labu ukur 500 ml dan
ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambah dengan 25 ml larutan Luff, batu didih dan 15 ml akuades kemudian dipanaskan dengan nyala api tetap. Setelah mendidih selama 10 menit, erlenmeyer didinginkan di dalam bak berisi es. Setelah campuran dingin, dilakukan penambahan KI 20% sebanyak 15 ml dan H2SO4 25% sebanyak 25 ml. Campuran dititrasi menggunakan
larutan Na2S2O3 0.1 N dengan indikator pati 0.5% hingga diperoleh titik akhir. Prosedur analisis yang sama diterapkan
terhadap blanko.
Perhitungan kadar pati dilakukan berdasarkan kandungan glukosa yang terukur pada titrasi sampel. Kadar glukosa dihitung berdasarkan rumus berikut:
Na2S2O3 yang digunakan = (Vb – Vs) x N Na2S2O3 x 10
Dimana:
Vb = volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi blanko
Vs = volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi sampel
N = konsentrasi Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi
Jumlah (mg) gula yang terkandung untuk ml Na2S2O3 yang digunakan ditentukan melalui tabel Luff Schoorl
(Tabel 3). Dari tabel tersebut dapat diketahui hubungan antara volume Na2S2O3 0.1 N yang digunakan dengan jumlah
glukosa yang ada pada sampel yang dititrasi. Selanjutnya kadar glukosa dan kadar pati dihitung berdasarkan rumus berikut:
Kadar glukosa (%G) = Kadar pati (%) = %G x 0.90
Dimana:
W = glukosa yang terkandung untuk ml Na2S2O3 yang digunakan (mg) dari table
W1 = bobot sampel fp = faktor pengenceran Tabel 1. Penetapan gula menurut Luff Schoorl
Na2S2O3
0.1 N (ml)
Glukosa, fruktosa dan gula inversi (mg)
Na2S2O3
0.1 N (ml)
Glukosa, fruktosa dan gula inversi (mg)
1 2.4 13 33.0
2 4.8 14 35.7
3 7.2 15 38.5
5 12.2 17 44.2 6 14.7 18 47.1 7 17.2 19 50.0 8 19.8 20 53.0 9 22.4 21 56.0 10 25.0 22 59.1 11 27.6 23 62.2 12 30.3
Analisis Kandungan Amilosa dan Amilopektin (Riley et al. 2006) Penetapan Sampel
Sebanyak 100 mg sampel tepung bebas lemak dimasukkan dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9.0 ml NaOH 1 N. Setelah itu sampel dipanaskan dengan penangas air selama 10 menit dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sebanyak 5 ml sampel dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml CH3COOH 1 N dan 2 ml larutan iod (0.2% iod dalam 2% KI) lalu ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera.
Setelah dikocok, larutan didiamkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
Pembuatan Kurva Standar
Standar amilosa disiapkan dengan cara menimbang 40 mg amilosa murni ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sebanyak masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan standar dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan CH3COOH 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml, kemudian
masing-masing tabung ditambahkan 2 ml larutan iod dan ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, absorbansi dari intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y).
Kadar amilosa dalam sampel dihitung berdasarkan rumus berikut: Kadar amilosa =
Dimana:
C = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml) V = volume akhir sampel (ml)
F = faktor pengenceran W = berat sampel (mg)
Kandungan amilosa dalam sampel dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan amilopektin yang dihitung berdasarkan selisih total kadar pati dengan kadar amilosa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Pati
Kadar pati merupakan salah satu kriteria mutu untuk tepung, baik sebagai bahan pangan maupun non-pangan. Kadar pati dari tepung pisang yang diteliti berkisar antara 59,52 – 64,21%. Sedangkan kadar pati dalam bentuk ekstrak pati pisang berkisar antara 58,94 – 78,25%. Secara umum ekstrak pati memiliki kandungan pati lebih besar dibandingkan bentuk tepungnya. Grafikr histogram kadar pati dari tiga kultivar pisang disajikan pada Gambar 1.
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Gambar 1. Histogram kadar pati dari tepung dan pati pisang mahuli, kapas dan talas
Berdasarkan uji ANOVA Pisang Mahuli dan pisang kapas menunjukkan kandungan pati yang lebih tinggi pada ekstrak patinya, sementara pisang talas memiliki kandungan pati yang lebih tinggi pada tepung pisang talas. Hal ini mengindikasikan bahwa pisang mahuli dan kapas lebih cocok untuk dimanfaatkan dalam bentuk patinya, sedangkan pisang talas dalam bentuk tepung.
Granula pati tidak larut dalam air dingin, namun pati dapat terlarut sempurna pada pemanasan dengan tekanan pada suhu 120-1500 0C. Kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, dan kecepatan peningkatan kelarutannya adalah khas untuk setiap jenis pati. Apabila granula pati dipanaskan hingga suhu gelatinisasinya, granula akan membentuk pasta pati yang kental. Pasta pati bukan berupa larutan melainkan berupa granula pati bengkak tak terlarut yang memiliki sifat seperti partikel gel elastis. Besarnya viskositas tergantung pada jenis dan konsentrasi pati. Semakin tinggi konsentrasi pati maka semakin tinggi viskositas yang dihasilkan (Akanbi et al., 2009).
Kadar Amilosa dan amilopektin
Kandungan pati yang terdapat pada tepung terdiri dari amilosa dan amilopektin..Amilosa merupakan fraksi linier yang terkandung dalam pati, fraksi bercabangnya adalah amilopektin. Kadar amilosa dan amilopektin sangat berperan dalam proses gelatinisasi, retrogradasi dan menentukan karakteristik pasta pati.
Gambar 2. Histogram hasil analisis kadar amilosa-amilopektin tepung dan patipisang kapas, mahuli dan talas.
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Kadar amilosa ketiga tepung dan pati pisang yang diuji berkisar antara 8,60-18,17%. Berdasarkan uji ANOVA, pati pisang talas yang memiliki kadar amilosa terendah (8,60 %), sedangkan pati pisang kapas memiliki kadar amilosa tertinggi (18,17 %) diantara ketiga jenis pisang. Kadar amilosa pada tepung dan pati pisanng nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan amilosa pada sumber karbohidrat dari umbi, seperti umbi talas yang memiliki Nilai 5,59±1,54%(Aprianita et al. , 2009).
Kadar amilopektin berkisar 49,27 – 60,08 %. Berdasarkan analisis ANOVA, pati pisang kapas memiliki kadar amilopektin tertinggi diantara ketiga jenis tepung pisang, sedangkan tepung pisang kapas memiliki kadaramilopektin terendah. Perbedaan jumlah kadar amilosa dan amilopektin pada tepung dan pati pisang yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaaan kultivar tanaman tersebut.
Amilosa dan amilopektin berpengaruh pada sifat tepung yang dihasilkan. Sifat fungsional pati pada tepung juga dipengaruhi oleh varietas, kondisi alam, dan tempat tanaman tersebut berasal (Srichuwong et al., 2005; Riley et al., 2006). Kecenderungan terjadinya retrogradasi menyebabkan kristalisasi yang disertai dengan kecilnya molekul amilosa dan panjangnya rantai amilopektin (Peroni et al., 2006). Amilopektin merupakan komponen yang berperan penting dalam proses gelatinisasi. Tingginya kadar amilosa dapat menurunkan kemampuan pati untuk mengalami gelatinisasi (Tester dan Morisson, 1990).
DAFTAR PUSTAKA
Akanbi TO, Nazamid S, Adebowale AA. 2009. Functional and Pasting Properties of a Tropical Breadfruit
(Artocarpusaltilis) Starch from Ile-Ife, Osun State, Nigeria. Int Food Research J 16:151-157.
Aprianita, A, U Purwandari, B Watson dan T Vasiljevic. 2009. Physico-chemical properties of fours and starches from
selected commercial tubers available in Australia. International Food Research Journal 16: 507-520.
Beta T, Corke H. 2001. Noodle Quality as Related to Sorghum Starch Properties. Cereal Chem 78:417-420.
Badan Pusat Statistik. 2012. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Analisis Kandungan Pati. SNI 01-2891-1992
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kaltim. 2011. Data Produksi Aneka Jenis Pisang Kalimantan Timur. Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kaltim. Samarinda
Gujska, E., dan K. Khan. 1991. Feed moisture effects on functional properties, trypsin inhibitor and hemmagglutinating
activies of extruded bean high starch fractions. Journal Food Science 56:443-447.
Peroni F, T Rocha dan C Franco. 2006. Some structural and physicochmical characteristics of tuber and root
starches. Food Sci. Tech. Int. 12(6): 505-513.
Purwani EY, Widaningrum, Thahrir R, Muslich. 2006. Effect of Moisture Treatment of Sago Starch on Its Noodle
Quality. Indonesian J AgrSci 7:8-14.
Riley CK, Wheatley AO, Asemota HN. 2006. Isolation and Characterization of Starches from Eight
DioscoreaalataCultivars Grown in Jamaica. African J of Biotech 17:1528-1536.
Roder N, Ellis PR, Butterworth PJ.2005.Starch Molecular and Nutritional Properties: a Review. Adv Mol Med 1:5-14. Satuhu, S dan Supriyadi, A. 1995. Pisang: Budidaya, Pengolahan dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta. Srichuwong, S, TC Sunarti, T Mishima, N Isono, dan M Hisamatsu. 2005. Starches from different botanical sources
II: Contribution of starch structure to swelling and pasting properties. Carbohydrate Poly. 62: 25-34
Tester, RF dan WR Morrison. 1990. Swelling and gelatinisation of cereal starches. I. Effect of amylopectin
amylose and lipids. J. Cereal Chemistry 67: 551-559.
Taggart, P. 2000. Starch as an Ingredient : Manufacture and Applications. Di dalam: A.C.Eliasson (ed). Starch In
Foods. Structure, function andapplications. CRC Press LLC, USA.