• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMASI PEMISAHAN FASE CAIR PADA KIT RADIOIMMUNOASSAY AFLATOKSIN B1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPTIMASI PEMISAHAN FASE CAIR PADA KIT RADIOIMMUNOASSAY AFLATOKSIN B1"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI PEMISAHAN FASE CAIR

PADA KIT RADIOIMMUNOASSAY AFLATOKSIN B1

Agus Ariyanto

1

, Martalena Ramli

1

, Fitri Yunita

1

, Gina Mondrida

1

, Sutari

1

,

Sri Setiowati

1

dan Triningsih

1 1

Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka BATAN, Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Email: danto@batan.go.id

ABSTRAK

OPTIMASI PEMISAHAN FASE CAIR PADA KIT RADIOIMMUNOASSAY AFLATOKSIN B1. Aflatoksin adalah metabolit sekunder dari jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang tumbuh

pada berbagai jenis bahan pangan dan pakan serta produknya. Aflatoksin khususnya aflatoksin B1 mempunyai aktivitas biologi yang luas diantaranya toksik, teratogenik, mutagenik dan karsinogenik. Oleh karena itu kandungan aflatoksin dalam makanan harus memenuhi tingkat keamanannya. Metode yang sensitif, spesifik, akurat, dan praktis untuk deteksi aflatoksin adalah metode imunokimia atau immunoassay, diantaranya adalah teknik radioimmunoassay (RIA). Teknik ini didasarkan pada prinsip imunologi menggunakan perunut radioaktif. Aflatoksin B1 (AfB1) ditandai dengan 125I secara tidak

langsung kemudian dimurnikan dengan metode ekstraksi pelarut. Perunut selanjutnya diuji aktivitas imunologinya menggunakan poliklonal antibodi aflatoksin B1. Untuk menghasilkan kit RIA AfB1 yang

memenuhi baku mutu yang disyaratkan, ada dua hal yang perlu dioptimasi. Yang pertama adalah optimasi komponen kit yang terdiri standar AfB1, perunut AfB1 (AfB1 bertanda 125I) dan antibodi AfB1.

Hal kedua yang harus dioptimasi adalah metode pemisahan antara kompleks 125I-AfB1-Ab- AfB1 dari

fraksi 125I- AfB1 bebas (125I- AfB1 yang tidak bereaksi). Pemisahan antara AfB1 yang terikat dan fraksi

bebas dilakukan dengan metode pengendapan menggunakan campuran polietilenglikol (PEG), antibodi kedua dan serum kelinci normal (NRS). Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan komposisi pereaksi pemisah yang optimal pada metode pemisahan fase cair kit RIA aflatoksin B1. Pembuatan

AfB1 bertanda 125I menghasilkan rendemen rata-rata 53,7± 10,15 % %, ikatan imunologi 30,6 % dan

ikatan tak spesifik sebesar 3,0 % serta perunut tersebut stabil selama 2 minggu. Dari optimasi metode pemisahan fasa cair menggunakan campuran PEG dan serum kelinci normal (NRS) , didapatkan bahwa penggunaan pereaksi pemisah PEG sebesar 18 % yang dicampurkan dengan NRS 7,5 % dapat memberikan hasil pemisahan yang optimal untuk memisahkan antara kompleks 125I- AfB1-Ab- AfB1 dan

fraksi 125I- AfB1 bebas dengan % ikatan imunologi (%B/T) sebesar 20,3 % dan ikatan tak spesifik

(%NSB) 1,7 %. Diketahui juga bahwa penggunaan antibodi kedua pada pemisahan antara kompleks

125

I- AfB1-Ab- AfB1 dan fraksi 125I- AfB1 bebas dapat meningkatkan ikatan imunologi (% B/T)

Kata kunci. (RIA), Aflatoksin B1, karsinogenik,RIA, optimasi, kompleks 125I - AfB1-Ab - AfB1

ABSTRACT

OPTIMISATION OF LIQUID FASE SEPARATION ON AN AFLATOXIN B1 RADIOIMMUNOASSAY KIT. Aflatoxins are secondary metabolites of Aspergillus flavus and A.

parasiticus, which grow on a wide variety of food, feeds and their products. Aflatoxin, particularly aflatoxin B1 (AfB1) has wide biological activities including toxic, teratogenic, mutagenic and

carcinogenic. Therefore the AfB1 contentin foods should be met the requirement of food safety standard.

Radioimmunoassay (RIA) technique is one of immunochemical methods or immunoassays which has been considered to be sensitive, specific, accurate and practical for detection of aflatoxin. This technique is based on immunological reaction using radioactive tracer. AfB1 was indirectly

radiolabelled and then purified by using a solvent extraction. The tracer was then undergone a immunological testing by using a polyclonal antibody of AfB1. In order to produce AfB1 RIA kit which

meets the standard quality’s requirement there are two parameters that have to be optimised. First is optimisation of kit components which consist : standar AfB1, AfB1 tracer (125I-AfB1) and AfB1 antibody.

(2)

Second parameter is optimisation of separation method of 125I-AfB1-Ab-AfB1 complex from free 125I-AfB1

(125I-AfB1 which does not react with Ab-AfB1). The separation of the bound AfB1 from free fraction was

carried out using precipation method where a mixture of polyethylen glykol (PEG), second antibody and normal rabbit serum (NRS) was used as precipatating agent. The aim of this study was to get the optimum composition of agent for separation liquid fase of AfB1 RIA kit. Preparation of 125I-AfB1

resulted an average of yield of 53.7± 10,15 % %, immunological binding of 30.6 % and non specific binding of 3,0 %. Optimisation of precipitating agent which was carried out using a mixture of 18 % PEG and 7.5 % NRS was found to give an optimal separation between 125I- AfB1-Ab- AfB1 complex from

free 125I-AfB1which has given a percentage of immunological binding of 20.3% and a non specific binding of 1.7%. It was also found out that the addition of second antibody in separation of 125I- AfB1

-Ab- AfB1 complex from free 125I-AfB1 was also found to be be able in improving the percentage of

immunological binding (% B/T)

Key word: Aflatoxin B1, carcinogenic, RIA, optimisation, 125I-AfB1-Ab-AfB1 complex.

1. PENDAHULUAN

Aflatoxin merupakan kelompok racun yang banyak dihasilkan dari metabolisme sekunder dari beberapa strain jamur Aspergillus flavus

dan semua strain Aspergillus parasiticus. Aflatoksin khususnya aflatoksin B1 (AfB1)

mempunyai aktivitas biologi yang luas diantaranya toksik, teratogenik, mutagenik dan karsinogenik. International Agency for Research on Cancer (IARC) menetapkan AfB1 sebagai

karsinogen potensial. Oleh karena itu kandungan aflatoksin pada makanan tidak boleh melebihi tingkat keamanannya [1]. Menurut Food & Drug Administration (FDA) batas maksimum kadar aflatoksin yang masih diperbolehkan dalam bahan makanan adalah 20 ppb. WHO memberikan batas yang lebih rendah yaitu 5 ppm untuk kandungan aflatoksin B1 untuk semua produk makanan, sedangkan kandungan total aflatoksin tidak boleh lebih dari 10 ppm [2].

Selama ini ada dua metode standar deteksi AfB1 yang umum digunakan, yaitu kromatografi

cair kinerja tinggi (KCKT) dan kromatografi lapis tipis (KLT). Kedua metode tersebut sangat akurat tetapi metode ini memerlukan waktu preparasi cuplikan yang mahal dan lama. Untuk itu perlu dikembangkan satu metode yang tidak hanya mempunyai akurasi dan ketelitian yang tinggi, spesifik dan peka tetapi pengerjaannya juga sederhana dan sekaligus mampu menganalisis beberapa cuplikan dalam satu set analisis. Teknik analisis yang dapat dikembangkan untuk mengantikan dua metode konvensional di atas adalah metode imunokimia [3].

Salah satu metode imunokimia yang banyak

digunakan untuk kuantifikasi berbagai zat atau analit adalah teknik radioimmunoassay (RIA). Teknik ini merupakan teknik analisis yang didasarkan pada prinsip imunologi yang menggunakan perunut radioaktif. Teknik ini spesifik karena didasarkan pada reaksi imunologi antara antigen dan antibodi yang spesifik hanya untuk antigen tertentu saja. Oleh karena teknik RIA ini sangat spesifik maka zat-zat yang ada dalam cuplikan dapat langsung dianalisis tanpa perlu dipisahkan dari matriks yang kompleks. Penggunaan zat radioaktif menyebabkan teknik ini sangat peka, karena radioaktivitas perunut dapat diukur dengan peralatan yang sangat peka. Analisis aflatoksin menggunakan teknik RIA dilaporkan mampu medeteksi kadar AFB1 dalam pangan dan pakan

yang kadarnya relatif rendah (0,5-300 ng/g) [4]. Untuk menghasilkan kit RIA AfB1 yang

memenuhi baku mutu yang disyaratkan ada dua hal yang perlu dioptimasi. Yang pertama adalah optimasi komponen kit yang terdiri standar AfB1, perunut AfB1 (AfB1 yang ditandai dengan

radionuklida 125I) dan antibodi AfB1. Perunut

AfB1 (125I-AfB1) harus mempunyai

immunoreaktivitas antara 50 – 60%. Sementara itu antibodi AfB1 (Ab AfB1) yang diproduksi

juga harus bereaksi secara spesifik hanya dengan AfB1 dan perunut AfB1 (125I-AfB1). Hal

kedua yang harus dioptimasi adalah metode pemisahan antara kompleks 125I- AfB1-Ab- AfB1

dari fraksi 125I- AfB1 bebas (125I- AfB1 yang

tidak bereaksi) [5].

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan parameter pemisahan fase cair yang optimal pada kit RIA AfB1 sehingga dapat

dikembangkan Kit RIA AfB1 yang dapat

(3)

spesifik, dan akurat untuk analisis AFB1.

Diharapkan kit RIA AFB1 yang akan

dikembangkan ini dapat digunakan secara luas oleh produsen bahan pangan, makanan jadi maupun pakan ternak dalam rangka menunjang penyediaan bahan pangan dan pakan ternak yang sehat dan tidak membahayakan kesehatan manusia dan ternak. Selain itu kit ini dapat menganalisis cuplikan dengan cepat dan dengan biaya yang lebih murah dibandingkan metode konvensional KCKT dan KLT

2. BAHAN DAN METODE

2.1 Bahan

Aflatoxin B1 (Sigma), aflatoxin B1 BSA konjugat (Sigma), asam aminoksi acetat (Sigma), piridin (TCI), akuabides (IPHA), ITLC-SG (Merck), metanol (Merck), CHCL3 (Merck), silica gel (Merck), histamin (Sigma), Na-metabisulfit (Sigma), kloramin-T (Sigma) Na125I (Nordion), dioksan bebas Air (Sigma), tributilamin (Sigma), isobutilkloroformat (Sigma), larutan dapar fosfat 0,5 M pH 8, larutan dapar fosfat salin 0,05 M pH 7,4 dan polietilen glikol (PEG) Merck.

2.2 Peralatan

Timbangan analitik, UV kabinet, UV-Vis spektrofotometer (Jasco Japan), alat pencacah gamma (DPC), sentrifuga (Beckman), plat pemanas/ pengaduk, termometer.

2.3 Pembuatan AfB1-CMO-125I Histamin

Pembuatan perunut AfB1-CMO-125I

histamin dilakukan dengan penandaan tidak langsung. Penandaan dilakukan dua tahap, pertama histamin ditandai dengan 125I kemudian dikonjugasikan dengan AfB1-CMO yang sudah diaktifasi.

2.3.1Penandaan histamin dengan 125I

Sejumlah10 µl histamin (22 μg/mL)

ditambah 20 μl Na125I (~ 2 mCi) dan 10 µl kloramin-T (5 mg/mL), kemudian campuran dikocok dengan pengocok vorteks selama 1 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 10 µL larutan Nametabisulfit (30 mg/mL) dan diperiksa rendemen penandaan . Bila rendemen

histamin bertanda 125I lebih dari 45%,

dilanjutkan dengan konjugasi dengan

AfB1-CMO yang sudah diaktifasi.

2.3.2Konjugasi AfB1-CMO dengan 125

I-histamin

Sebanyak 2 mg AfB1-CMO diaktifasi dengan cara dilarutkan dalam 50 μl dioksan

bebas air lalu ditambah dengan 10 μl

tributilamin yang telah dilarutkan dalam dioksan (1:5) dan didinginkan sampai 10 °C. Selanjutnya

campuran ditambah dengan 10 μl

isobutilkloroformat (1:10 dalam dioksan) dan diinkubasi selama 30 menit pada temperatur 10°C dengan pengadukan. Campuran di atas diencerkan dengan dioksan sampai 2,8 ml, kemudian 50 μl larutan tersebut dimasukkan ke dalam larutan histamin bertanda 125I dan diaduk selama 2 jam. Setiap 1 jam pH diperiksa dan pH campuran tetap dijaga pada pH 8. Selanjutnya hasil konjugasi ini dimurnikan dengan ekstraksi pelarut.

2.3.3Pemurnian konjugatAfB1-CMO- 125I -

histamin

Hasil konjugasi AfB1-O- CMO dengan

125

I- histamin diasamkan dengan 1 ml HCl 0,1 N dan diekstraksi dengan 1 ml etil asetat (ekstrak I). Fasa air ditambah 1 ml NaOH 0,1 N dan 1 ml natrium metabisulfit (1 mg/ml) dalam 0,5 M dapar fosfat dan selanjutnya dieksraksi lagi dengan 0,5 ml etil asetat (ekstrak II). Jumlah radioaktifitas yang terdapat pada ekstrak I dan II di bagi radioaktifitas awal dikalikan 100% adalah rendemen penandaan. Ekstrak I dan II tidak dicampur karena biasanya tingkat imunologinya berbeda. Masing-masing ekstrak selanjutnya diperiksa kemurnian radiokimianya menggunakan kromatografi lapis tipis silika gel dengan fase gerak campuran toluen - metanol – asam asetat dengan perbandingan (75:24:1)[5].

Konjugat AfB1-CMO-125I- Histamin untuk

selanjutnya disebut AFB1 bertanda 125I dan diuji stabilitasnya selama dalam penyimpanan.

2.4 Pembuatan larutan pemisah fasa cair

Pemisahan antara kompleks 125I- AfB1-Ab-

AfB1 dan fraksi 125I-AfB1 bebas dilakukan

dengan metode pemisahan fase cair menggunakan polietilen glikol (PEG) sebagai pengendap. Larutan pemisah fase cair ini terdiri dari campuran PEG, serum kelinci normal (NRS) dan antibodi kedua. Penggunaan semua pereaksi tersebut harus dioptimasi. Tujuan dilakukan optimasi adalah untuk mendapatkan

(4)

jumlah pereaksi yang optimal sehingga memberikan % ikatan imunologi (%B/T) yang optimal dan % ikatan tak spesifik (%NSB) yang rendah (<5%). PEG ditimbang masing-masing sebanyak 10 g, 15 g, 18 g, 20 g lalu dilarutkan dalam 100 ml dapar fosfat salin 0,05 M pH 7,4 (larutan dapar kerja), sehingga didapatkan larutan PEG dengan konsentrasi 10 %, 15 %, 18 % dan 20 %. Kedalam masing-masing larutan ini ditambahkan NRS dengan variasi konsentrasi (2,5 %, 5 %, 7,5 %, 10 % dan 15 % dalam larutan dapar kerja). Antibodi kedua dengan pengenceran 1 : 100. Antibodi kedua adalah antibodi yang diperoleh dengan cara menyuntikkan IgG kelinci ketubuh kambing, sehingga dalam tubuh kambing terbentuk antibodi kedua.

2.5 Prosedur assay penentuan ikatan

imunologi aflatoksin B1

Sebanyak 100 ul larutan blanko dipipet ke dalam tabung reaksi yang sudah diberi tanda sesuai dengan variasi konsentrasi larutan pereaksi pemisah fase cair yang sudah disiapkan seperti prosedur di atas . Kemudian ditambah dengan 300 ul AfB1 bertanda 125I dengan jumlah cacahan ± 30.000 cpm dan 100 ul antibodi AfB1 selanjutnya di inkubasi selama 3 jam pada temperatur kamar . Setelah itu ditambahkan 100 ul antibodi kedua dan 1000 ul PEG dengan konsentrasi yang berbeda-beda (10 %, 15 %, 18 %, 20 %) yang masing –masing telah mengandung serum kelinci normal dengan konsentrasi (2,5 %, 5%, 7,5 %, 10 % dan 15 %), lalu inkubasi dilanjutkan selama 15 menit dan disentrifugasi selama 20 menit pada 3000 rpm untuk memisahkan antara kompleks 125I- AfB1

-Ab- AfB1 dan fraksi 125I- AfB1 bebas,

selanjutnya didekantasi dan ditentukan radioaktivitas endapan yang tertinggal didalam tabung yaitu kompleks 125I- AfB1-Ab- AfB1

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata Penandaan AfB1-CMO dengan

125

I-Histamin didapatkan rendemen penandaan 53,3 ± 10,15 % dan ikatan imunologi (%B/T) 30,6 % dengan ikatan tak spesifik (NSB) 2,97 %. Perunut AfB1 bertanda 125I ini memenuhi syarat untuk digunakan karena nilai ikatan tak spesifiknya masih dibawah 5 % , sehingga dapat digunakan untuk pengujian optimasi pereaksi-pereaksi lainnya. Perunut AfB1 bertanda 125I ini juga relatif stabil sampai 3 minggu bila disimpan di refrigerator dengan ikatan

imunologinya masih diatas 20% seperti terlihat pada Gambar 1. 0 5 10 15 20 25 30 35 P e rs e n Im u n o lo g i Waktu %B/T

Gambar 1. Kurva stabilitas perunut AfB1

bertanda 125I pada penyimpanan dalam

refrigerator (4 0C).

Metode pemisahan antara kompleks 125I- AfB1-Ab- AfB1 dan fraksi 125I- AfB1 bebas

dilakukan dengan metode pemisahan fase cair. Beberapa pereaksi yang perlu dioptimasi penggunaannya meliputi polietilen glikol (PEG), serum kelinci normal (NRS) dan antibodi kedua. PEG merupakan polimer dengan berat molekul yang besar sehingga dapat mengendapkan kompleks 125I- AfB1-Ab- AfB1.

Dari penelitian ini diketahui bahwa penggunaan konsentrasi PEG sebesar 18 % dapat mengendapkan kompleks 125I- AfB1-Ab- AfB1

dengan baik yang ditunjukkan oleh ikatan imunologi diatas 20 % dengan ikatan tak spesifik yang rendah 1,7 % seperti terlihat pada Gambar 2. 0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25 P e rs e n im u n o lg i Konsentrasi PEG,% % NSB

Gambar 2. Hubungan antara jumlah PEG

digunakan terhadap Ikatan imunologi (%B/T)

(5)

(NRS) seperti pada Gambar 3 diketahui bahwa dengan konsentrasi serum kelinci normal (NRS) sebesar 7,5 % dapat memberikan ikatan imunologi paling tinggi yaitu 20,96% dan NSB 2,2 %. Penggunaan serum kelinci normal ini bertujuan untuk menurunkan atau menekan agar nilai ikatan tidak spesifik dari pereaksi < 5 %. Optimasi penggunaan serum kelinci normal dari konsentrasi terendah (2,5 %) sampai yang tertinggi (15 %) diperoleh ikatan tak spesifik relatif rendah yaitu rata-rata 2,2 %. Sedangkan ikatan imunologi tertinggi (20,96 %) pada penggunaan NRS 7,5 % dan setelah ini terjadi penurunan ikatan imunologi yang disebabkan terjadinya kejenuhan sisi ikatan dari antibodi AfB1. 0 5 10 15 20 25 0 2 4 6 8 10 12 14 16 P e rs e n i m u n o lo g i Konsentrasi NRS, % % N SB % B ?T

Gambar 3. Hubungan antara konsentrasi NRS dengan ikatan imunologi

Penambahan antibodi kedua pada waktu

assay dapat meningkatkan % ikatan imunologi (%B/T) yang lebih tinggi (rata-rata diatas 25 %) dibandingkan dengan tanpa penambahan antibodi kedua (Gambar 4). Diketahui bahwa penambahan antibody kedua dapat meningkat % ikatan imunologi (% B/T)dan menurunkan % ikatan tidak spesifik (% NSB).

4. KESIMPULAN

Penandaan AfB1 dengan 125I didapatkan rendemen hasil penandaan rata-rata 53,7 ± 10,15 % dengan ikatan imunologi 30,6% serta ikatan tak spesifik sebesar 2,97% dan perunut ini relatif stabil selama 3 minggu. Dari optimasi metode pemisahan fase cair menggunakan campuran PEG dan serum kelinci normal (NRS), didapatkan bahwa penggunakan pereaksi

pemisah PEG sebesar 18 % yang dicampurkan dengan NRS 7,5 % dapat memberikan hasil pemisahan yang optimal untuk memisahkan antara kompleks 125I- AfB1-Ab- AfB1 dan fraksi 125

I- AfB1 bebas (125I- AfB1 yang tidak

bereaksi), dengan ikatan imunologi (B/T) sebesar 20,3 % dan ikatan tak spesifik (NSB) yang rendah 1,7%, juga diketahui bahwa penggunaan antibodi kedua pada pemisahan antara kompleks 125I- AfB1-Ab- AfB1 dan fraksi 125

I- AfB1 bebas (125I- AfB1 yang tidak bereaksi)

dapat meningkatkan ikatan imunologi (B/T).

0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 18 20 25 P e r s e n I m u n o lo g i Konsentrasi PEG (%) % B/T* % B/T **

Gambar 4 . Pengaruh penggunaan antibodi kedua terhadap % ikatan B/T

Keterangan :

% B/T* = % ikatan B/T menggunakan

antibodi kedua

% B/T** = % ikatan B/T tanpa antibodi kedua

% NSB = % ikatan tidak spesifik

5. DAFTAR PUSTAKA

1. ANONYMOUS., A Laboratory Manual of

Aflatoxin Analysis, Training Programme on Aflatoxin Analysis. Mach 6- 12 1995, Indian Council of Medical Research and Food Division of Bhabha Atomic Research Center Bombay.

2. PAPP. E, KLARA.H. OTTA, GYULA

ZARRAY, EMIL MINSCOVICS, Liquid Chromatographyc Determination of Aflatoxins, Microchemical Journal 73 (2002) 39-48

3. A. KORDE, S. BANERJEE, M.R. PiLLAI,

M. VENKATESH., Preparation and Evaluation of 125I- Aflatoxin B1, Journal of Radioanalytical and Nuclear Chemistry Vol 250 (2001) 231-237

(6)

4. NABIL SAAD., Aflatoxins, Occurrence and Health Risk, The Animal Science Webmaster, 2001, Cornell University

5. ANONYMOUS., Development of

Radiometric Assay and Kits for

Non-Clinical Application , Report of 1st IAEA Recearch Co-ordination Meeting, 2001, Mumbai, India

Gambar

Gambar  1. Kurva stabilitas perunut AfB1  bertanda  125 I pada penyimpanan dalam  refrigerator (4  0 C)
Gambar 4 . Pengaruh penggunaan antibodi kedua  terhadap % ikatan B/T

Referensi

Dokumen terkait

tertutup dan pertanyaan tertulis kepada validator yaitu ahli media, ahli bahasa dan ahli materi, lembar observasi yang digunakan untuk mendapatkan@data tentang situasi kelas pada

WMa HaJBHiiie cJiaBa; nojia Cpoiije n Cpncxim cjiaim ra, BCJiH HeKO h3 Gyi,iaKa... 32 CTEBAH CPEMAU. r-^ni],a ]\lapMJojia Koja je no

Konsep ini memahami bahawa Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus adalah Tuhan yang Satu tetapi wujud dalam tiga entiti/mod ketuhanan yang mempunyai fungsi dan peranan

Konseptual Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini...

[r]

dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kegiatan proses produksi yang telah dilakukan oleh peserta didik, mereka dapat mengembangkan kompetensi diri sekaligus kepedulian terhadap masalah lingkungan khususnya

Menimbang : bahwa guna menunjang kelancaran pelaksanaan pembangunan dipandang perlu mengubah susunan organisasi Departemen Keuangan dan Departemen Sosial sebagaimana