• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSPARANSI. Daftar Isi. E-newsletter Edisi I Vol XIX Februari E-newsletter Transparency International Indonesia Edisi I Vol XIX FEBRUARI 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TRANSPARANSI. Daftar Isi. E-newsletter Edisi I Vol XIX Februari E-newsletter Transparency International Indonesia Edisi I Vol XIX FEBRUARI 2014"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Mendongkrak

Indeks Persepsi Korupsi Hal………3

Penyelundupan Anggaran Pemilu Hal……….4

Di Aceh, 82 Persen Anak Muda Pernah ‘Berdamai’ Saat Ditilang Polisi

Hal……….5 Menuju Pakta Integritas

Pengelolaan Hutan Aceh yang Bebas Korupsi

Hal………6 Menuju Indonesia Bersih Tanpa Uang Pelicin Hal……….6

TRANSPARANSI

E-newsletter Transparency International Indonesia

Edisi I Vol XIX FEBRUARI 2014

Daftar Isi

(2)

E-newsletter Edisi I Vol XIX Februari 2014

Transparency International Indonesia (TI-I) didirikan di Jakarta pada tanggal 18 September 2000 oleh sejumlah aktivis anti korupsi dan profesional berkomitmen untuk penciptaan pemerintahan yang transparan dan akuntabel di Indonesia. TI-I mulai sebagai Chapter Transparency International yang berbasis di Berlin, namun akhirnya diakuisisi Status Hukum Indonesia dari Asosiasi terdaftar di bawah Akta Notaris No 3, (18-10-2000) ditandatangani oleh Notaris Ayu Resmiyati, SH dan baru Akta Notaris Nomor 43, ditandatangani oleh Notaris SP. Henny Singgih. TI Indonesia dikenal untuk jaringan yang kuat dengan para pemangku kepentingan

pembangunan berbagai tingkat nasional dan bekerja dengan lebih dari 99 Chapter lain di seluruh dunia. TI-I adalah unik di antara LSM Indonesia lainnya di Indonesia karena menggabungkan think thank dan organisasi gerakan sosial. Sebagai wadah pemikir, TI-I melakukan review kebijakan dan kebijakan atau legal drafting, mempromosikan reformasi kebijakan dalam lembaga penegak hukum dan pemerintah. Salah satu prestasi TI-I terbesar adalah untuk

mengoperasionalkan anti-korupsi pendekatan dan alat dalam bidang berbagai kebijakan seperti pengadaan, transparansi dalam anggaran publik dan penganggaran partisipatif. Sejak tahun 2004, TI Indonesia menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, berdasarkan metodologi TI dari survei Indeks Persepsi Korupsi Internasional. CPI Indonesia kini telah menjadi salah satu indikator pemerintahan yang paling penting yang digunakan oleh para pembuat kebijakan dan sektor swasta di Indonesia untuk menginformasikan kebijakan mereka. Indeks ini juga berguna untuk kelompok aksi warga dan media untuk mengukur kemajuan upaya anti-korupsi di Indonesia. Untuk lebih memperluas gerakan anti-korupsi untuk tingkat sub-nasional, TI-I juga telah dilakukan dan menerbitkan Barometer Anti-Korupsi Provinsi, yang pertama kali dilakukan dan

dipublikasikan di Provinsi Aceh

Sebagai organisasi gerakan sosial, TI-I aktif dalam kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memerangi korupsi di Indonesia. Untuk mencapai hal ini, TI-I telah mengembangkan sejumlah alat untuk

mempromosikan 'pemantauan kebijakan publik seperti kerangka audit sosial dan penciptaan forum warga di kota-kota di seluruh Indonesia. TI-juga menjadi rumah kampanye yang kuat untuk gerakan anti korupsi sejak diperkenalkannya kampanye kreatif menggunakan Film, Animasi, Mural, Komunitas Teater dan ICT untuk meningkatkan pesan anti korupsi dan melibatkan orang-orang ke dalam gerakan.

Staf TI-I, Board dan Anggota berasal dari berbagai latar belakang mulai dari ekonom, pengacara, pakar komunikasi, ilmuwan politik dan antropolog, mencerminkan suatu pendekatan terpadu terhadap anti-korupsi. Board TI-I merupakan tokoh masyarakat senior dengan berbagai latar belakang profesional mulai dari akademisi, akuntan, pengacara dan LSM. Salah satu anggota dewan TI-I, Erry Riyana

Harjapamekas menjabat sebagai Wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 2003 - 2007. Para pembaca setia e-Newsletter Transparansi,

Transparansi kembali hadir untuk menyapa anda pembaca setia. Dalam edisi Februari 2014 ini, Transparansi menurunkan beberapa artikel dari pegiat Transparency International Indonesia yang menghiasi di beberapa media massa nasional di sepanjang Januari 2014. Kali ini e-newsletter menurunkan dua buah opini tentang antikorupsi. Opini yang pertama datang dari Deputi Transparency International Indonesia, Dedi Haryadi yang bertutur tentang pentingnya upaya untuk menaikkan indeks persepsi korupsi Indonesia yang dinilai masih dibawah rata-rata indeks persepsi korupsi di Asia Pasifik. Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dalam dua tahun terakhir (2012-2013) stagnan pada angka 32 dari skala 0 sampai 100. Artinya, perbaikan peringkat Indonesia dari urutan 118 ke 114 dari 176 negara yang disurvei bukan disebabkan membaiknya kinerja dan prestasi pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Berikutnya opini ditulis oleh Reza Syawawi tentang penyelundupan anggaran pemilu. Reza bertutur sebagian elite dan petinggi parpol cenderung korup dengan "mencuri" anggaran negara melalui proyek pemerintah, sangat tak pantas jika uang yang dikelola dalam APBN kembali "dirampok" untuk membiayai parpol. Bagi parpol, ketika laporan keuangan partai masih tertutup, pengucuran anggaran itu dianggap wajar belaka.

Selain opini dari pegiat Transparency International Indonesia, e-Newsletter Transparansi edisi kali ini juga mengabarkan seputar kegiatan yang dihadiri dan dilaksanakan oleh Transparency International Indonesia, diantaranya mengenai launching survei integritas yang dilakukan di Aceh. Survei yang bertujuan untuk mengukur integritas anak muda dan seberapa besar anak muda di pedesaan dan perkotaan dalam segi pemahaman dan pendidikan mengenai korupsi ini, sebelumnya pernah dilakukan pada tahun lalu di Jakarta. Kini survey tersebut dilakukan di Aceh. Selain itu juga ada berita kegiatan mengenai pengelolaan hutan di Aceh. TI Indonesia mengadakan diskusi penyusunan Draft Pakta integritas Pengelolaan Hutan Aceh yang bebas korupsi melalui diskusi grup terbatas yang melibatkan Dinas Kehutanan, Inpektorat Aceh, BPKP, Akademisi dan SIAP II. Terakhir berita mengenai praktik uang pelicin di Indonesia. TI Indonesia mengadakan pelatihan dan diskusi mengenai bagaimana cara memberantas uang pelicin di Indonesia agar Indonesia bebas dari uang pelicin.

Demikianlah gambaran sekilas tentang e-Newsletter Transparansi edisi Februari ini dari kami. Semoga bermanfaat dan selamat membaca.

Salam Transparansi

Salam Redaksi

(3)

Mendongkrak

Indeks Persepsi Korupsi

Oleh Dedi Haryadi

Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dalam dua tahun terakhir (2012-2013) stagnan pada angka 32 dari skala 0 sampai 100.

Artinya, perbaikan peringkat Indonesia dari urutan 118 ke 114 dari 176 negara yang disurvei bukan disebabkan membaiknya kinerja dan prestasi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Itu lebih karena korupsi empat negara memburuk. Dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 32, hampir pasti target pemerintah meraih skor IPK 50 pada 2014 tak mungkin tercapai. Dalam dokumen Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK), pemerintah sudah mengadopsi IPK sebagai tolok ukur pencapaian pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Pesan utama

Pesan utama yang kita tangkap, pertama, kita tak bisa mengandalkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain karena besar dan kompleksnya problem korupsi, kewenangan, jumlah penyidik, dan anggaran KPK amat terbatas. Dalam dua tahun terakhir gegap gempita pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dimotori KPK tak mampu mendongkrak skor IPK.

Kedua, pendekatan dan solusi yang dikembangkan simplistik dan partikularistik, padahal problem korupsi kompleks dan sistemik. Apa yang harus kita lakukan untuk mendongkrak skor IPK?

Kecenderungan dan risiko koruptif bukan hanya problem perilaku individual, melainkan terkait dengan kerangka organisasi dan sistem. Kalau korupsi terjadi, dapat dipastikan ada problem dalam kualitas dan integritas personal, kerangka organisasi, dan sistem. Jadi, upaya mencegah dan memberantas korupsi harus menyangkut perbaikan kualitas personal, kerangka organisasi, dan sistem.

Pertama, pada tingkat personal, upaya mentransformasikan manusia Indonesia menjadi lebih jujur, tidak serakah, lebih bertanggung jawab, berdisiplin tinggi, berempati tinggi pada peningkatan kesejahteraan bersama, dan patuh pada aturan sangat penting. Pelembagaan nilai itu melalui berbagai macam pendidikan dan pelatihan harus terus dikembangkan. Jangan menyerah dan berhenti berupaya menghasilkan manusia Indonesia yang jujur dan baik meskipun korupsi endemik di mana-mana.

Kedua, memperbaiki kerangka organisasi, baik organisasi

pemerintahan, partai politik, peradilan, organisasi kemasyarakatan, militer, maupun korporasi. Ada tiga isu penting terkait dengan memperbaiki kerangka organisasi: (1) memastikan mekanismechecks and balances bekerja dengan baik; (2) mekanisme sistem koreksi diri berfungsi baik; dan (3) baik dan ajeknya tata kelola internal

organisasi. Kalau terjadi korupsi dalam satu organisasi, seperti di Kementerian Pertanian, SKK Migas, atau Kepolisian, dapat dipastikan ada yang tak beres dengan salah satu, dua, atau ketiganya.

Ketiga, pada tingkat sistem kita harus memiliki lima pranata sosial antikorupsi yang ajek: per- gantian pemerintah secara tertib dan teratur, institusi peradilan yang bebas dan mandiri, partai politik oposisi yang kuat, institusi media yang bebas dan independen, serta gerakan sosial antikorupsi yang kuat.

Syukur kita sudah memiliki mekanisme pergantian pemerintahan secara tertib dan teratur. Yang masih perlu dilakukan pada aspek ini: memperbaiki perekrut- an politisi dan pemilihan pejabat publik/negara sehingga terpilih politisi dan pejabat unggul ulung berbiaya rendah. Praktik perekrutan yang dilakukan partai sekarang berbiaya tinggi, maka tekanan melakukan korupsi cende- rung tinggi. Itulah yang memunculkan gejala korupsi politik. Terpilihnya Jokowi dan Ahok, Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI, yang fenomenal merupakan contoh baik pemilihan pejabat publik/negara. Perlu ditiru dan direplikasi.

Tantangan terbesar kita justru di sini: membangun institusi peradilan yang bebas dan mandiri. Kecuali KPK, kita belum punya institusi peradilan yang bebas dan mandiri. Para penegak hukum justru terlibat dalam perilaku koruptif. Sudah banyak jaksa, polisi, hakim, plus advokat yang tersangkut kasus korupsi. Alih-alih bebas dan mandiri, institusi peradilan terjebak dalam judicial

corruption. Bagaimana bisa memberantas korupsi kalau aparat dan institusi penegak hukum justru terlibat korupsi.

Kapolri dan jaksa agung

Menjadikan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dari pusat hingga daerah bebas dan mandiri merupakan agenda utama. Presiden hasil Pemilu 2014 harus memilih kapolri dan jaksa agung yang

kepemimpinan, profesionalisme, dan komitmennya pada pemberantasan korupsi meyakinkan publik. Tak mungkin kita menggantungkan pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya kepada KPK.

Kita belum punya partai oposisi yang kuat. Kecenderungan perilaku partai di pusat maupun di daerah: membangun koalisi ketimbang oposisi. Penting menjadi bagian dari orbit kekuasaan untuk memperkuat akses dan penguasaan sumber daya. Partai oposisi yang kuat sangat penting memastikan terjadinya relasi kekuasaan yang lebih seimbang. Juga memastikan mekanisme checks and balances bekerja baik.

Partai oposisi yang kuat akan mampu memproduksi kontra-argumen dan antitesis terhadap kebijakan dan tata kelola yang dikembangkan pemerintah yang berkuasa. Kontrol politik yang kuat dari partai oposisi akan mampu mengendalikan perilaku pemerintah yang berkuasa melaksanakan amanah dan pengelolaan sumber daya. Korupsi potensial bisa dikendalikan.

Dikuasainya sejumlah media cetak, elektronik, dan virtual oleh pengusaha sekaligus penguasa partai tak perlu mencemaskan. Pertama, ada persaingan yang ketat di antara para baron media tersebut sehingga ”fakta” atau informasi itu selalu ada subversinya. Kedua, masih ada media yang mengabdi dan mempromosikan kebenaran dan keadilan. Ketiga, masyarakat sudah pandai bukan hanya memilah dan memilih informasi, melainkan juga menafsir ulang, bahkan mereproduksi setiap informasi yang disajikan media. Kita belum punya gerakan sosial antikorupsi yang kuat. Dari segi nilai, masyarakat kita bukan- nya kreatif dan aktif memberikan sanksi sosial, melainkan justru proaktif memberikan kekebalan sosial kepada para koruptor. Itu sebabnya, fatwa tentang boikot terhadap mayat koruptor untuk tak dishalatkan, misalnya, tak mendapat sambutan positif masyarakat.

Kalau semua elemen bangsa serius dan terencana

mentransformasikan bangsa ini jadi bangsa yang bebas dari korupsi, mencapai skor IPK 60 atau 70 dalam satu-dua dekade nanti tidaklah mustahil. Menyamai Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Swedia, Norwegia, dan Singapura sebagai negara tebersih dari korupsi adalah mungkin.

Dedi Haryadi, Deputi Sekjen Transparency International

Indonesia

Sumber: Kompas

http://nasional.kompas.com/read/2014/01/03/1547079/Mendongkrak.I ndeks.Persepsi.Korupsi

(4)

E-newsletter Edisi I Vol XIX Februari 2014

Penyelundupan Anggaran

Pemilu

Oleh Reza Syawawi

Opini

Dalam kasus ini, pemerintah dan DPR sebetulnya menunjukkan "wajah aslinya". Tak dapat dimungkiri bahwa keduanya memang berasal dari entitas yang bernama parpol. Maka, tidaklah mengherankan apabila peruntukan alokasi anggaran itu disetujui. Bagi parpol, di tengah tingginya biaya politik, pengucuran anggaran ini tentu menjadi dana segar untuk membiayai kegiatan politiknya (saksi). Maka, relasi antara persetujuan alokasi anggaran itu di tingkat APBN dan kebutuhan parpol saat ini menjadi tak terbantahkan.

Lalu, di mana peran Bawaslu? Bawaslu berubah menjadi "alat" bagi pemerintah dan DPR menyalurkan dana itu kepada parpol. Tujuannya sangat jelas: menghindari agar dana APBN tak secara langsung diberikan kepada parpol.

Jalur penyelundupan

Bawaslu telah menyediakan diri menjadi jalur "penyelundupan" anggaran kepada parpol. Padahal, jika anggaran tersebut diarahkan untuk penguatan kelembagaan pengawas pemilu di daerah, ini jauh lebih memungkinkan dibandingkan dengan mengambil alih tanggung jawab membiayai saksi parpol.

Dari sisi institusi, penguatan pengawas pemilu jauh lebih menjamin terselenggaranya pengawasan pemilu yang independen. Maka, pembiayaan saksi parpol oleh APBN tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi sekaligus juga melemahkan pengawasan pemilu. Dalam konteks hukum, alokasi anggaran ini jelas mengarah pada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah, DPR, dan Bawaslu. Ada upaya yang sistematis dari ketiga lembaga ini untuk melegalkan praktik penyalahgunaan anggaran dalam pengawasan pemilu.

Untuk itu, perlu kiranya ada kebijakan meninjau ulang pengalokasian anggaran. Bawaslu sebagai lembaga yang dimanfaatkan sebagai corong "penyelundupan" anggaran seharusnya berani menolak anggaran itu digunakan untuk membiayai saksi dari parpol. Jika tidak, Bawaslu akan menjadi lembaga yang paling dipersalahkan karena memfasilitasi parpol mendapat dana APBN di luar ketentuan yang diperbolehkan. Pelaksanaan Pemilu 2014 tentu akan kehilangan legitimasinya sebagai sarana demokrasi karena diselenggarakan dengan cara-cara yang melanggar hukum.

Penyelundupan anggaran pemilu untuk kepentingan parpol jelas telah mencederai kepercayaan publik terhadap parpol

dan pengawas pemilu. Bawaslu yang seharusnya mengawasi setiap tahap penyelenggaraan pemilu telah berubah menjadi "penyelundup" anggaran pemilu.

Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Sumber: Harian Kompas, 18 Januari 2014

http://print.kompas.com/misc/Login.aspx?done=http://print.kompas.com/ KOMPAS_ART0000000000000000004138452

Tak ada yang menduga apa yang sedang dipikirkan pemerintah ketika mengalokasikan anggaran pengawasan pemilu untuk membiayai saksi partai politik di tempat pemungutan suara. Seolah-olah tanpa beban, anggaran sekitar Rp 600 miliar akan digelontorkan untuk membiayai para saksi. Semasih sebagian elite dan petinggi parpol cenderung korup dengan "mencuri" anggaran negara melalui proyek pemerintah, sangat tak pantas jika uang yang dikelola dalam APBN kembali "dirampok" untuk membiayai parpol. Bagi parpol, ketika laporan keuangan partai masih tertutup, pengucuran anggaran itu dianggap wajar belaka.

Tak berlebihan mengatakan bahwa alokasi anggaran semacam ini sebagai bentuk "persekongkolan" baru pengawas pemilu, DPR, dan pemerintah (Kementerian Dalam Negeri). Parahnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) justru menjadi corong bagi parpol melegalkan praktik itu.

Dana politik

Regulasi yang mengatur tentang dana politik sangat jelas melarang parpol menerima dana dari APBN/APBD di luar ketentuan yang ada. Parpol hanya boleh menerima bantuan keuangan dari pemerintah melalui APBN/APBD atas dasar perolehan suara dan memiliki kursi di lembaga legislatif dalam pemilu sebelumnya (Pasal 34 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik). Di sisi lain, penggunaan bantuan keuangan dari APBN/APBD diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat. Prinsipnya, bantuan keuangan kepada parpol yang bersumber dari APBN/APBD tidak digunakan untuk

membiayai penyelenggaraan pemilu (baca: saksi).

Dalam konteks pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), alokasi anggaran dalam APBN/APBD untuk membiayai saksi parpol adalah bentuk pelanggaran atas ketentuan Pasal 139 Ayat 1 Huruf (c) UU No 8/2012 bahwa peserta pemilu dilarang menerima pendanaan yang bersumber dari pemerintah. Dari sudut konsep penganggaran, sumber pendanaan dari pemerintah mengarah pada alokasi anggaran pada APBN.

Dengan semua ketentuan di atas, pengucuran dana APBN untuk membiayai saksi parpol di tempat pemungutan suara (TPS) adalah bentuk pelanggaran atas undang-undang. Pemerintah dan DPR selaku pemegang kuasa atas penganggaran yang seharusnya memahami soal aturan itu justru jadi aktor utama atas semua pelanggaran ini.

(5)

Transparency International Indonesia (TI Indonesia) merilis survei integritas anak muda di Aceh. Survei yang bertujuan untuk mengukur integritas anak muda dan seberapa besar anak muda di pedesaan dan perkotaan dalam segi pemahaman dan pendidikan mengenai korupsi ini, sebelumnya pernah dilakukan pada tahun lalu di Jakarta. Kini survey tersebut dilakukan di Aceh. Hasil survei mengatakan bahwa di Aceh semua institusi yang melayani publik baik pemerintah maupun swasta masih melakukan praktik korupsi. Survei dilakukan dengan mengambil 2000 responden yang terdiri dari 1.556 usia 15-30 tahun dan 444 usia dewasa dalam rentang waktu April hingga September 2013.

Dari hasil survei menyebutkan bahwa institusi pemerintah lebih tinggi dalam melakukan praktik korupsi dibandingkan dengan sektor swasta. Polisi, TNI menjadi institusi yang tertinggi dalam melakukan korupsi. Selain mengukur pelayanan publik, survei juga mengukur integritas anak muda di Aceh. Hasilnya enam dari sepuluh anak muda di Aceh mencirikan integritas dengan kejujuran dan kesuksesan diri. Hanya saja baru sebagian dari mereka mau melaporkan kepada pihak yang berwajib terkait kecurangan yang terjadi di sekitar mereka. Alasannya adalah karena ketidak tahuan mereka bagaimana cara melapor dan juga merasa tidak ada efeknya jika melapor tentang tindak korupsi di sekitar mereka. Mengenai pendidikan antikorupsi, tiga dari lima pemuda di Aceh mengaku pernah menerima pendidikan antikorupsi.

Yang mengejutkan dari hasil survei tersebut menyebutkan bahwa dari 1.556 pemuda di aceh, 82 persen pernah melakukan suap kepada Polisi saat ditilang. Mereka juga tidak percaya institusi negara bidang keamanan dan pelayanan publik bersih dari korupsi. Sebanyak 77 persen tidak percaya kepada institusi pemerintah bidang keamanan dan pelayanan publik, hanya 23 persen saja yang percaya. Hasil survei juga menjelaskan bahwa 30 persen anak muda di aceh memeberi suap saat mengurus dokumen/administrasi negara seperti pembuatan SIM, KTP, paspor dan lain-lain Berdasarkan hasil survey, TI Indonesia memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah untuk segera melakukan hal-hal yang berkenaan dengan pemeberatasan korupsi diantaranya adalah:

• Kepada gubernur Aceh dan kepala daerah kabupaten/kota di Aceh memberikan ruang dan perlindungan kepada kaum muda yang kritis terhadap problem korupsi disekitarnya. • Kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, beserta jajarannya di Aceh diharapkan, agar membenahi sistem pendidikan nasional, sehingga lingkungan sekolah menjadi lingkungan sosial kaum muda yang terbebas dari praktek korupsi dan menjadi ruang pembentukan karakter anak muda berintegritas.

• Sedangkan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga, juga diminta agar memiliki program pendidikan kewarganegaraan dan anti korupsi yang memadai bagi kaum muda. Sekretaris Jenderal TI Indonesia, Dadang Trisasongko pada kesempatan yang sama mengatakan, survei yang dilakukan TI Indonesia ini didasarkan pada pemahaman bahwa korupsi sebagai problem sosio politik. Dalam mengatasi hal itu tidak dapat mengabaikan pentingnya pergantian generasi (generational change) baik tingkat masyarakat maupun pemerintah.

Dadang menambahkan, dengan populasi 26 persen atau 59,6 juta jiwa penduduk Indonesia adalah kaum muda, maka fakta itu menjadikan anak muda sebagai kelompok strategis dalam upaya upaya melawan korupsi jangka panjang.

Menurutnya, hari ini korupsi secara sistematik telah melintasi kategori- kategori sosiologis dan politik baik di pedesaan dan perkotaan.

Wakil Walikota Banda Aceh lliza Saaduddin Djamal mengatakan, tidak mudah memberantas korupsi, karena praktik tersebut sudah mengakar di tubuh birokrasi. Hampir setiap saat dalam tayangan televisi, surat kabar dan radio memberikan kabar atau informasi mengenai korupsi. Seolah-olah tidak ada habisnya. Namun begitu masih ada solusi untuk menghadang laju korupsi, yaitu dengan adanya kontrol dari masyarakat maupun LSM kepada kerja pemerintahan. Semua harus yakin bahwa korupsi bisa diberantas., karena setiap perbuatan akan berdampak pada anak cucu kita, untuk itu mari jauhi korupsi. [NF]

Di Aceh, 82 Persen Anak Muda Pernah

‘Berdamai’ Saat Ditilang Polisi

“Dengan populasi 26 persen atau 59,6 juta jiwa penduduk Indonesia adalah kaum muda, maka fakta itu menjadikan anak muda sebagai kelompok strategis dalam upaya upaya melawan korupsi jangka panjang.” Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal TI Indonesia

Sekjen TI Indonesia Dadang Trisasongko, saat memberikan sambutan pada peluncuran hasil Riset Youth Integrity Survey di Aceh, 20/01/ 2014

Wakil Walikota Banda Aceh lliza Saaduddin Djamal, saat memberikan sambutan pada peluncuran hasil Riset Youth Integrity Survey di Aceh, 20/01/ 2014

(6)

E-newsletter Edisi I Vol XIX Februari 2014

Hutan merupakan kekayaan negara Indonesia. Sangat disayangkan sekali jika hutan dirusak dan dipolitisasi dalam pengelolaannya. Banyak oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan demi kepentingan beberapa pihak yang ada.

Dalam pengelolaan hutan dibutuhkan komitmen bersama baik dari masyarakat sipil, pemerintah dan akademisi. Sehingga tercipta suatu kerja sama yang bisa mewujudkan hutan di Indonesia tetap hijau. Untuk mewujudkan hal tersebut, Transparency International Indonesia

mengadakan diskusi penyusunan Draft Pakta integritas Pengelolaan Hutan Aceh yang bebas korupsi melalui diskusi grup terbatas yang melibatkan Dinas Kehutanan, Inpektorat Aceh, BPKP, Akademisi dan SIAP II. Yang dilakukan pada tanggal 23 Desember 2013 di Aceh

Diskusi diawali dengan pemaparan hasil Seminar “Mendorong Transparansi Dan Akuntabilitas Pengelolaan Tata Kelola Hutan Yang Berkelanjutan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam” pada Juli 2013. Dilanjutkan dengan penyampaian pokok-pokok fikiran yang perlu dimasukan ke dalam draft modul pakta integritas dari setiap peserta.

Adapun peserta dalam diskusi ini terdiri dari akademisi (Unsyiah),

Pemerintah (Inspektorat Prov. NAD dan Dinas Kehutanan Prov. NAD) dan NGO (Gerak, LBH Banda Aceh, WWF, dan TII)

Agar lebih efisien dan produktif dalam berdiskusi, sebelum acara panitia sudah mengirimkan draft yang akan dibahas di acara diskusi, sehingga di acara tersebut sudah ada masukan-masukan/koreksi yang diberikan. Acara diskusi berlangsung cukup seru, berbagai usulan dan penekananpun lahir dalam acara tersebut. Semoga dengan terciptanya pakta integritas dalam pengelolaan hutan di Aceh, akan tercipta pemerintahan dan pengelolaan yang bersih dari praktik korupsi. [JO/NF]

Menuju Pakta Integritas

Pengelolaan Hutan Aceh yang

Bebas Korupsi

Pemberian uang pelicin adalah pemberian dalam bentuk apapun baik masih dalam bentuk janji, yang diberikan untuk

mempercepat suatu proses administrasi. Pemberian ini jelas melanggar integritas semua pihak yang terlibat di dalam aktivitas tersebut. Harusnya, dalam menjalankan proses administrasi yang baik, hak dan wewenang semua pihak sudah jelas dan tinggal menjalankan, termasuk ketika memulai proses administrasi itu. Pemberian semacam ini masih marak dilakukan di Indonesia. Setiap harinya di Indonesia, baik masyarakat maupun pemerintah bebas menciptakan insiatif untuk memberikan uang pelicin. Hasil survei Global Corruption Barometer yang dirilis Transparency International (TI) tahun lalu menyebutkan bahwa masyarakat masih terbiasa untuk memberikan uang pelicin ketika mengakses layanan publik pemerintah.

Parahnya, ketika menilik hasil kajian Bribe Payer Index (BPI) yang juga dikeluarkan TI menyebutkan bahwa 50% pengusaha masih memberikan uang pelicin di tengah adanya peraturan internal perusahaan tentang good corporate governance (GCG), etika bisnis yang berintegritas dan bebas korupsi. Para pengusaha ini menilai kecenderungan praktik curang yang dilakukan oleh pengusaha selain mereka dalam berkompetisi menjadi momok tidak menegakkannya aturan internal mereka sebagai panduan berbisnis.

TI Indonesia menyadari bahwa pertama, pemberian uang pelicin merupakan masalah besar di Indonesia. Kajian lain dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin) menyebutkan bahwa uang siluman berperan penting dalam memboroskan biaya produksi sebanyak 30%. Jika diperbandingkan, paling parah dampak dari pemberian uang pelicin adalah menghabiskan 30% dari produk nasional bruto Indonesia atau sekitar 2.400 trilyun. Angka ini fantastis, menghimpun dua kali anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Indonesia.

Kedua, pemberian uang pelicin merupakan pelanggaran integritas yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam kampanye gerakan antikorupsi. Penindakan terhadap pelanggaran integritas ini penting. Namun, selain menekankan aspek penindakan untuk memandatkan pemberian uang pelicin sebagai pelanggaran integritas dan tindak korupsi, TI Indonesia memandang aspek partisipasi semua elemen masyarakat adalah tak kalah penting sebagai strategi ampuh gerakan dari sisi pencegahan. Untuk itu, dimulai dari bulan Desember 2013 sampai Januari 2014 kemarin, TI-Indonesia menggandeng semua pemangku kepentingan dari kalangan pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha untuk mencoba memahami dan menggali lebih dalam perilaku pemberian uang pelicin, serta memberikan solusi memberdayakan yang bisa dilakukan oleh mereka secara nyata. Rencananya, Februari 2014 ini TI Indonesia juga akan

merampungkan sebuah panduan bagi organisasi untuk bersih dari pemberian uang pelicin. [TYS]

Bersih Dari Uang Pelicin:

Mandat Dan Perlu

Partisipasi!

Berita Kegiatan

(Gambar Ilustrasi mengenai korupsi di sektor kehutanan. Maraknya korupsi di sektor kehutanan menginisiasi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan pengelolaan yang lebih baik.Gambar dokumentasi WWF)

Referensi

Dokumen terkait

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang Menyatakan bahwa skripsi/ karya ilmiah yang berjudul : Hubungan Sikap Terhadap Iklan Humor dengan Retensi.. Adalah bukan karya

Keterbukaan dalam pasar modal mempunyai makna bahwa menjadi suatu keharusan bagi emiten, perusahaan publik dan pihak lain yang tunduk kepada UUPM untuk

Dengan adanya sumber belajar seperti multimedia interaktif berbasis budaya lokal yang akan membuat peserta didik senang karena penyajian materi yang memberikan

3.5 Mengidentifikasi teks prosedur tentang cara melakukan sesuatu dan cara membuat (cara memainkan alat musik/ tarian daerah, cara membuat kuliner khas daerah,

Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk, meliputi keuangan, teknis, sumberdaya alam akan dapat mendorong bermacam-macam cara dalam pembangunan masyarakat (ada keanekaragaman

ini dibuktikan dari hasil pengamatan bahwa terjadi Berdasarkan analisis jalur hubungan (path analysis) dapat peningkatan parameter airway remodelling yaitu tebal

Hal ini dapat mendukung hasil penelitian bahwa jika organisasi membutuhkan perubahan untuk mencapai kesuksesan dalam persaingan, maka karyawan yang memiliki

Gb. 01 baut toolpost Gb. 01 baut toolpost.. ahan yang digunakan dalam kerja praktek siswa yaitu baja lunak  ahan yang digunakan dalam kerja praktek siswa yaitu baja lunak