Studi Kepadatan dan Pola Distribusi Bivalvia di Kawasan Mangrove
Desa Balimu Kecamatan Lasalimu Selatan Kabupaten Buton
[Study on Density and Distribution Pattern of Bivalvia in Mangrove Area of Balimu of
South Lasalimu, Buton]
Samir
1, Wa Nurgayah
2, Romy Ketjulan
31
Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo
Jl. HAE Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232, Telp/Fax: (0401) 3193782
2
Surel: nurgayah_fish@yahoo.com
3
Surel: romyketjulan@yahoo.co.id Diterima: 22 Maret 2016; Disetujui : 15 Juli 2016
Abstrak
Desa Balimu merupakan wilayah yang memiliki sumber daya hayati yang cukup baik, baik dari sumber daya jenis ikan maupun non ikan. Sumber daya non ikan yang dimaksud yaitu bivalvia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan dan pola distribusi bivalvia yang terdapat pada kawasan hutan mangrove di perairan Desa Balimu. Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai bulan Desember 2014 sampai Januari 2015. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Simple random sampling, dengan menggunakan transek kuadrat yang dilakukan tiga kali pengulangan. Penentuan lokasi stasiun didasarkan pada kondisi fisik mangrove. Hasil pengukuran parameter lingkungan dan organisme yang diperoleh selama penelitian kemudian dianalisis secara deskriptif. Di temukan lima jenis bivalvia yaitu; Isognomon-isognomun, I. perma, Gafrarium tumidum, G. pectinatum dan Barbatia decusata, dengan nilai tertinggi sebesar 35,14−44,62% pada jenis Isognomon-isognomun dan terendah pada jenis Barbatia decusata sebesar 1,54−3,60%. Kepadatan bivalvia tertinggi setiap bulan selama penelitian diperoleh pada stasiun I yaitu; 20,67−21,67 ind/m² sedangkan terendah diperoleh pada stasiun III yaitu sebesar 1,00−1,50 ind/m². Pola distribusi bivalvia selama penelitian pada stasiun I yaitu pola distribusi acak (Id=1) sedangkan pada stasiun II dan III yaitu mengelompok (id>1). Hasil pengukuran parameter kualitas air diperoleh kisaran yaitu suhu 27‒30ºC, salinitas 29‒35‰, kecepatan arus 1,11‒2,24 m/detik, pH air 7,0‒8,0, pH substrat 5,5–6,9 dan bahan organik substrat 10,7176‒13,8727%.
Kata kunci : Kerang (bivalvia), Kepadatan, Pola Distribusi
Abstract
Balimu has a plenty aquatic resources, particulaty fish and non-fish resources. One of fish resources is bivalves. The purpose of the study was to know the density and distribution pattern of bivalves in mangrove area of Balimu waters. The study was conducted from December 2014 to January 2015. Sampling method used was simple random using a quadratic transect. Each sampling at each location was replicated three times. Sampling station was designed according to mangrove phisical condition. The data of organism morphometric and environmental parameters obtained were analyzed descriptively. There were five species of bivalvia found namely Isognomon-isognomun, I. perma, Gafrarium pectinatum,
G. tumidum and Barbatia decusata. The highest and the lowest composition of bivalvia were I. isognomun ranging
35,14−44,62% and B. decusata ranging 1,54−3,60%, respectively. The highest density of bivalvia every month during the research conducted was found in station I namely 20,67−21,67 ind/m², while the lowest was obtained in station III namely 1,00−1,50 ind/m². The distribution pattern of bivalvia found in station I is random (Id=1) while in station II and III are clumped (id >1). The results of water quality parameters measured were temperature of 27‒30ºC, salinity of 29‒35‰, current velocity of 1,11‒2,24 m/s and pH of 7,0‒8,0, while substrate pH of 5,5–6,9 and total organic substrate matter of 10,7176‒13,8727%.
Keywords: Shellfish (bivalves), Density, Distribution Pattern
Pendahuluan
Desa Balimu terletak di Kecamatan Lasalimu Selatan Kabupaten Buton yang merupakan wilayah pesisir pantai yang memiliki potensi sumber daya hayati yang sangat baik. Hal ini tergambarkan melalui sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya jenis
ikan maupun non ikan dan dilihat dari segi sumber daya pesisir, wilayah pesisir pantai Desa Balimu ini memiliki perairan laut cukup luas yang di dalamnya terdapat tiga ekosistem secara umum, baik ekosistem mangrove, lamun maupun terumbu karang.
Berdasarkan letak geografi dan administrasi, Desa Balimu memiliki sumber daya pesisir yang sangat potensial, baik sumber daya daratan maupun sumber daya lautnya yang selalu dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan
masyarakat lokal untuk dapat menunjang
kebutuhan hidup. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Dahuri (2006), bahwa secara empiris wilayah pesisir merupakan tempat aktivitas
ekonomi yang mencakup perikanan laut,
transportasi dan pelabuhan, pertambangan,
kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata, kawasan pemukiman serta tempat pembuangan limbah.
Bentuk aktivitas ini secara langsung dapat memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan khususnya di beberapa ekosistem perairan yang ada seperti mangrove. Ekosistem mangrove memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar, baik dari segi ekologi maupun sosial ekonominya bagi kehidupan. Menurut Dahuri dkk., (2001). Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yang unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Fungsi ekologis ekosistem mangrove antara lain: pelindung pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi biota perairan. Fungsi ekonomis ekosistem mangrove adalah: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Menurut Mason (1993) bivalvia
merupakan biota benthik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama, mempunyai kemampuan merespon kondisi perairan secara terus menerus mulai dari tingkat individu seluler
sampai komunitas, mudah dianalisa dan
prosedur pengambilannya relatif mudah serta jumlahnya melimpah.
Desa Balimu merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Lasalimu Selatan yang memiliki kawasan hutan mangrove yang sangat luas, namun saat ini kawasan hutan mangrove tersebut mulai mendapat gangguan oleh adanya keperluan manusia sebagai pemenuh kebutuhan seperti pemanfaatan menjadi bahan kayu bakar, perabotan rumah, jembatan, penebangan secara liar dan berbagai gangguan lainnya. Sehingga kerapatan vegetasi hutan mangrove yang ada di perairan Desa Balimu bukan hanya berdampak pada vegetasi mangrove saja, namun pada organisme yang hidup pada kawasan hutan mangrove tersebut juga mendapat gangguan yang sangat besar, salah satunya organisme bivalvia. Organisme bivalvia yang ada di kawasan hutan mangrove belum diketahui kepadatan dan pola distribusinya serta informasi secara ilmiah yang tersajikan secara jelas.
Menurut Clark (1974) penurunan
kelimpahan dan keanekaragaman dari bivalvia biasanya merupakan indikator adanya tekanan ekologi yang terjadi pada perairan. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlu adanya studi penelitian terhadap bivalvia yang di temukan pada kawasan ekosistem hutan mangrove di perairan Desa Balimu Kecamatan Lasalimu Selatan Kabupaten Buton untuk mengetahui kepadatan dan pola distribusi bivalvia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan dan pola distribusi pada bivalvia yang terdapat pada kawasan hutan mangrove yang ada di perairan Desa Balimu. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberi masukan kepada berbagai pihak yang membutuhkan khususnya tentang keberadaan bivalvia pada ekosistem mangrove.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan pada bulan
Desember-Januari 2014/2015, berlokasi di Desa Balimu Kecamatan Lasalimu Selatan Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara dan peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode transek kuadran dan transek garis (Bengen, 2001) yang dilakukan dengan cara: 1. Menetapkan satu transek garis pada setiap
stasiun dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zona hutan mangrove). 2. Pada setiap transek garis tersebut diletakkan
kuadran (sub stasiun) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m sebanyak tiga kali pada formasi tepi laut, tengah dan tepi darat. 3. Pada setiap substasiun diletakkan transek
kuadran ukuran 1m x 1m sebanyak tiga kali yang dilakukan secara acak untuk pengambilan sampel organisme bivalvia.
4. Mengumpulkan organisme bivalvia pada substrat dengan menggali sedalam ± 20 cm, bila ada bivalvia yang berasosiasi dengan mangrove, maka diambil bivalvia yang melekat pada akar, batang pohon mangrove pada tiap-tiap plot berukuran 1m x 1m.
5. Sampel organisme bivalvia yang ditemukan diidentifikasi dengan buku acuan menurut Dharma (1988) dan buku identifikasi organisme bentos di laboratorium pengujian FPIK.
6. Pengukuran parameter lingkungan (kualitas air) dilakukan bersamaan dengan pangambilan
sampel bivalvia yaitu pengukuran suhu,
salinitas, pH, dan kecepatan arus.
Komposisi jenis digunakan untuk
mengetahui jenis-jenis organisme atau spesies yang terdapat disuatu lingkungan perairan. Untuk
mengetahui koposisi jenis setiap organisme
bivalvia, maka digunakan oleh Odum (1993) dengan persamaan :
𝑃 =𝑋𝑖
𝑁× 100% … … … . (1)
Keterangan :
P = persentase setiap jenis bivalvia (%)
xi = jumlah individu setiap jenis ke-i
N = jumlah individu semua jenis bivalvia Organisme benthos yang diambil dalam satuan luas transek/alat, dihitung dari rata-rata jumlah individu pada beberapa pengambilan contoh dengan rumus yang ditentukan oleh Shannon-Winner dalam Dahuri (1993) dengan persamaan :
𝑋 =∑ 𝑥𝑖
𝑛 𝑖=1
𝐴 … … … (2)
Keterangan :
x = rata-rata kepadatan individu pada pengambilan contoh (ind/m²)
xi = jumlah individu pada pengambilan contoh
ke-i (ind)
A = luas area pengambilan sampel (m²)
Pola distribusi digunakan untuk
mengetahui pola penyebaran organisme dalam suatu keadaan tertentu. Untuk mengetahui pola
penyebaran organisme dianalisis dengan
menggunakan indeks Morisita dalam Soegianto (1994) dengan persamaan: 𝑋 =∑ 𝑥𝑖 2− 𝑁 𝑁(𝑛 − 1) … … … (3) Keterangan:
id = nilai indeks penyebaran.
xi ² = kuadrat jumlah total individu pada setiap
plot.
N = jumlah plot (unit contoh).
xi = jumlah individu pada setiap plot, (i = 1,2,3,
...n).
N = jumlah total individu daerah plot dengan kriteria yaitu :
ID = 1, Pola penyebaran bersifat acak ID < 1, Pola penyebaran bersifat seragam ID > 1, Pola penyebaran bersifat mengelompok
Gambar 1. Peta lokasi penelitian Hasil
Berdasarkan hasil penelitian komposisi jenis bivalvia di perairan Desa Balimu, diperoleh tiga famili, tiga genera dan lima spesies. Famili bivalvia tersebut antara lain Isognominidae,
Veneridae dan Arcidae dan genera Isognomon, Gafrarium dan Barbatia, serta spesies
Isognomon-isognomun, Isognomon perma, Gafrarium
pectinatum, Gafrarium tumidum dan Barbatia decusata. Tabel 1 menunjukkan pada semua
stasiun penelitian, diperoleh jenis-jenis bivalvia yang sama, baik yang diperoleh pada bulan Desember maupun Januari. Komposisi jenis
bivalvia selama penelitian disajikan pada
(Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi jenis bivalvia selama penelitian di perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab. Buton. Bulan
Januari dan Desember
Famili Genera Jenis Bivalvia (Spesies)
Stasiun I Isognominidae Isognominidae Veneridae Veneridae Arcidae Isognomon Isognomon Gafrarium Gafrarium Barbatia Isognomon-isognomun Isognomon perma Gafrarium pectinatum Gafrarium tumidum Barbatia decusata Stasiun II Isognominidae Isognominidae Veneridae Veneridae Arcidae Isognomon Isognomon Gafrarium Gafrarium Barbatia Isognomon-isognomun Isognomon perma Gafrarium pectinatum Gafrarium tumidum Barbatia decusata Stasiun III Isognominidae Isognominidae Veneridae Veneridae Arcidae Isognomon Isognomon Gafrarium Gafrarium Barbatia Isognomon-isognomun Isognomon perma Gafrarium pectinatum Gafrarium tumidum Barbatia decusata
Gambar 2. Grafik kepadatan bivalvia (ind/m2) selama penelitian di perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab. Buton.
Tabel 2. Hasil penelitian pola distribusi bivalvia di perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab. Buton.
Stasiun Jenis Indeks Distribusi (Id)
Desember Januari ST I Isognomon-isognomun 0,97* 1,01** Isognomon perma 1,03** 0,98* Gafrarium pectinatum 0,96* 0,98* Gafrarium tumidum 1,39** 0,98* Barbatia decusata 1,20** 1,06** ST II Isognomon-isognomun 1* 1,09** Isognomon perma 1,05** 1,11** Gafrarium pectinatum 0,96* 3,23** Gafrarium tumidum 0,96* 0,96* Barbatia decusata 0,89* 1,03** ST III Isognomon-isognomun 0,96* 1,07** Isognomon perma 1,09** 1,02** Gafrarium pectinatum 0,71* 1,08** Gafrarium tumidum 1* 1,04** Barbatia decusata 0*** 0,99* Keterangan : * = acak ** = mengelompok *** = seragam 0 5 10 15 20 25 30 D E SE MBE R JA N U A RI D E SE MBE R JA N U A RI D E SE MBE R JA N U A RI ST I ST II ST III K ep ad at an ( in d /m ²) Keterangan Isognomon-isognomun Isognomon perma Gafrarium pectinatum Gafrarium tumidum Barbatia decusata
Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kepadatan tertinggi pada stasiun I terdapat pada bulan Januari sebesar 21,67 ind/m² dengan bivalvia jenis isognomon-isognomun sedangkan terendah 7,67 ind/m² dengan bivalvia jenis barbatia decusata dan pada bulan Desember nilai tertinggi sebesar 16,67 ind/m² dengan bivalvia jenis isognomon
perma dan nilai terendah 1,67 ind/m² bivalvia jenis barbatia decusata. Pada stasiun II, nilai rata-rata
kepadatan bivalvia tertinggi terdapat pada bulan Januari sebesar 18,67 ind/m² dengan bivalvia jenis
isognomon perma dan barbatia decusata,
sedangkan terendah 8,00 ind/m² dengan jenis
gafrarium tumidum Pada stasiun III, nilai rata-rata
kepadatan bivalvia tertinggi terdapat pada bulan Januari sebesar 13,00 ind/m² pada jenis
Isognomon-isognomun, sedangkan terendah 3,67 ind/m²
bivalvia jenis gafrarium tumidum. Pada bulan Desember nilai tertinggi kepadatan bivalvia sebesar 9,67 ind/m² bivalvia jenis isognomon-isognomun, sedangkan terendah 1,00 ind/m² bivalvia barbatia
decusata.
Hasil perhitungan indeks distribusi bivalvia selama penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks
distribusi pada stasiun I, adalah dominan dalam keadaan mengelompok yang terdapat pada bulan Desember, sedangkan pada bulan Januari pola distribusi bivalvia dominan acak. Pada stasiun II, pola distribusi bivalvia dominan dalam keadaan acak yang terdapat pada bulan Desember sedangkan bulan Januari pola distribusi bivalvia dalam keadaan mengelompok. Pada stasiun III, pola distribusi bivalvia terdapat tiga variasi pola distribusinya antaralain acak, mengelopok, dan seragam yang terdapat pada bulan Desember, sedangkan bulan
Januari pola distribusi bivalvia dominan
mengelompok dari beberapa jenis organisme bivalvia yang diperoleh pada saat penelitian seperti yang tersajikan pada (Tabel 2).
Hasil pengukuran rata-rata nilai suhu selama penelitian berkisar 27 ‒ 30ºC. Hal ini menunjukkan bahwa nilai suhu selama penelitian tidak memiliki perbedaan yang besar, baik pada waktu pasang maupun surut perairan. Suhu perairan terukur pada lokasi penelitian memperlihatkan kisaran yang cukup baik dan dapat mendukung kehidupan organisme di perairan baik yang hidup di kolom perairan maupun di dasar perairan seperti bivalvia.
Gambar 3. Hasil pengukuran suhu (ºC) selama penelitian di perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab. Buton 25,5 26,0 26,5 27,0 27,5 28,0 28,5 29,0 29,5 30,0 30,5
Sub I Sub II Sub III Sub I Sub II Sub III Sub I Sub II Sub III
ST I ST II ST III S u h u ( °C) Keterangan Desember pasang Desember surut Januari pasang Januari surut
Gambar 4. Grafik kecepatan arus perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab. Buton.
Gambar 4 menunjukkan hasil kecepatan arus tertinggi selama perode penelitian pada waktu pasang perairan yang terdapat pada bulan Desember sebesar 1,03 m/detik, dan pada bulan Januari sebesar 1,1 m/detik, sedangkan terendah pada bulan Desember sebesar 2,16 m/detik dan bulan Januari sebesar 1,17 m/detik. Pada waktu surut perairan kecepatan arus tertinggi terdapat pada bulan Desember sebesar 1,11 m/detik, dan pada bulan Januari sebesar 1,14 m/detik, sedangkan terendah pada bulan Desember sebesar 2,24 m/detik dan bulan Januari sebesar 1,21 m/detik.
Hasil pengukuran rata-rata nilai salinitas selama penelitian berkisar 30 ‒ 35‰. Hal ini menunjukkan bahwa nilai salinitas selama penelitian tidak memiliki perbedaan yang cukup besar, baik pada waktu pasang maupun surut perairan dan nilai-nilai tersebut masih tergolong baik bagi kehidupan organisme perairan termasuk bivalvia.
Gambar 5 menunjukkan nilai salinitas tertinggi pada waktu pasang terdapat di bulan Desember dan Januari sebesar 35‰ yang terukur pada stasiun III, sedangkan salinitas terendah pada bulan Desember dan Januari sebesar 31‰ yang terukur pada stasiun I. Pada waktu surut salinitas
tertinggi yang diperoleh pada bulan Desember dan Januari sebesar 33‰ yang terukur pada stasiun III, sedangkan nilai terendah yang diperoleh pada bulan Desember dan Januari sebesar 30‰ yang terukur pada stasiun I.
Hasil pengukuran rata-rata nilai pH selama penelitian berkisar 8,0 ‒ 7,0. Hal ini menunjukkan bahwa nilai pH selama penelitian tidak memiliki perbedaan yang besar di setiap stasiun penelitian dan menunjukkan baik bagi kehidupan organisme seperti bivalvia. Gambar 6 pH perairan Desa Balimu menunjukkan nilai yang tidak berbeda jauh antara nilai yang diproleh pada saat pasang maupun surutnya perairan yang terukur pada stasiun penelitian dengan nilai pH perairan sebesar 8,0 ‒ 7,0. Hasil pengukuran rata-rata nilai pH substrat di perairan Desa Balimu selama penelitian menunjukkan nilai yang cukup baik dengan nilai pH substrat tertinggi diperoleh sebesar 6,9 dan 6,9 yang terukur pada saat pasang perairan sedangkan Rusel dan Hunter (1983) menyatakan bahwa pH dari substrat mangrove berkisar antara 5,35 – 6,28. Sesuai dengan pernyataan tersebut dan berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh pada saat perlakuan (penelitian) telah diperoleh hasil pH 0 0,5 1 1,5 2 2,5 I II III I II III K ec . Ar u s (m /d et ik ) Desember Pasang Surut Januari Keterangan
substrat di perairan Desa Balimu antara 5,5 – 5,7 untuk nilai pH terendahnya, sedangkan untuk nilai pH tertinggi berkisar antara 6,9. Dengan demikian, hasil tersebut dapat dibandingkan dengan nilai
kualitas lingkungan (pH substrat) menurut
pernyataan Rusel dan Hunter (1983) di atas dengan kisaran 5,35 – 6,28 yang kurang lebih hampir sama.
Hasil analisis substrat dan bahan organik selama penelitian menunjukkan nilai yang masih dapat mendukung kehidupan organisme perairan baik dari jenis ikan maupun non ikan seperti bivalvia yang hidup menetap di dasar perairan. Analisis substrat dan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 5. Grafik salinitas (‰) perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab. Buton.
Gambar 6. Grafik nilai pH perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab. Buton. 0 5 10 15 20 25 30 35 40
Sub I Sub II Sub III Sub I Sub II Sub III Sub I Sub II Sub III
ST I ST II ST III Sal in it as ( pp t) Keterangan Desember pasang Desember surut Januari pasang Januari Surut 6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 7,8 8 8,2
Sub I Sub II Sub III Sub I Sub II Sub III Sub I Sub II Sub III
ST I ST II ST III p H Air Keterangan Desember pasang Desember surut Januari pasang Januari surut
Gambar 7. Grafik pH substrat perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab.Buton.
Tabel 3. Nilai analisis substrat dan bahan organik perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab. Buton.
Kode Sampel
Tekstur
BO (%) Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Klass
ST.1 sub 1 66.5405 18.5017 14.9578 Lempung berpasir 12.9819
ST.1 sub 2 69.3933 16.4052 14.2014 Lempung berpasir 11.8736
ST.1 sub 3 62.4262 22.1863 15.3875 Lembung liat berpasir 12.8151
ST.2 sub 1 75.0690 14.3404 10.5907 Pasir berlembung 10.7176
ST.2 sub 2 72.7637 17.2814 9.9549 Pasir berlembung 12.9342
ST.2 sub 3 68.1290 23.5440 8.3270 Lembung berpasir 11.0424
ST.3 sub 1 4.8619 71.0331 24.1050 Lembung berdebu 13.8727
ST.3 sub 2 4.6907 66.9885 28.3208 Lempung liat berdebu 13.2113
ST.3 sub 3 45.4432 34.9355 19.6213 lempung 12.3414
Bahan organik merupakan sumber
bahan makanan bagi organisme, dimana
kandungan bahan organik berhubungan erat dengan tipe substrat. Berdasarkan hasil analisis substrat dan bahan organik selama penelitian
menunjukkan nilai yang masih dapat
mendukung kehidupan organisme perairan baik dari jenis ikan maupun non ikan seperti bivalvia yang hidup menetap di dasar perairan. Hasil analisis substrat dan bahan organik berdasarkan
ukuran butiran sedimen selama penelitian diperoleh tekstur substrat adalah lempung
berpasir, lembung liat berpasir, pasir
berlembung, lembung berdebu, lembung liat
berdebu dan lempung. Sedangkan nilai
persentase bahan organik substrat (BO) tertinggi selama penelitian berada pada stasiun III yaitu 13,8727. Sedangkan terendah terdapat pada stasiun II yaitu 10,7176 seperti yang tersajikan pada tabel di atas (Tabel 3).
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Sub I Sub II Sub III Sub I Sub II Sub III Sub I Sub II Sub III
ST I ST II ST III pH Su bs tr at Keterangan Desember Januari
Pembahasan
Komposisi jenis bivalvia yang diperoleh selama penelitian terdiri dari tiga famili yaitu,
isognominidae, veneridae dan arcidae dan tiga
genera antara lain isognomon, gafrarium dan
barbatia. serta lima spesies yang terdiri dari
Isognomon-isognomun, Isognomon perma,
Gafrarium pectinatum, Gafrarium tumidum, dan
Barbatia decusata. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut memperlihatkan jenis-jenis bivalvia yang dominan berada pada daerah ekosistem mangrove dengan spesies terbanyak ditemukan pada kondisi mangrove yang masih tinggi nilai kerapatannya dengan vegetasi mangrove yang lebat. Namun pada
penempatan titik stasiun pengamatan yang
berdasarkan kondisi fisik dari habitat mangrove, tentunya mempunyai kondisi yang berbeda antara vegetasi yang tinggi dan rendah. Dengan demikian, hal tersebut akan menjadi tolak ukur dalam melihat jumlah jenis dari setiap organisme yang berasosiasi di dalamnya. Tolak ukur tersebut misalnya ketersediaan makanan pada habitat ekosistem mangrove dan kondisi parameter lingkungan yang terjadi setiap harinya sehingga dari hasil penelitian yang diperoleh hanya sebanyak 3 famili, 3 genera dan 5 spesies bivalvia yang ditemukan.
Menurut Odum (1993) bahwa substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar
perairan akan menentukan kelimpahan dan
komposisi jenis dari hewan benthos. Komposisi dan kelimpahan fauna invertebrata yang berasosiasi dengan mangrove berhubungan dengan variasi salinitas dan kompleksitas substrat.
Kepadatan bivalvia selama penelitian
menunjukan bahwa kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun I dan terendah terdapat pada stasiun III . Hal ini diduga karena adanya pengaruh terhadap perbedaan kerapatan mangrove, stasiun ketersediaan makanan dan adanya pengaruh parameter lingkungan
seperti suhu, kecepatan arus, salinitas, pH, substrat dan bahan organik. Menurut Soegianto (1994) bahwa kepadatan adalah jumlah individu dalam suatu luasan tertentu, kepadatan digunakan untuk mengetahui apakah suatu tempat merupakan habitat yang sesuai dengan organisme tersebut atau tidak. Namun apabila kepadatan tersebut rendah, maka daerah tersebut tidak sesuai bagi kelangsungan hidup organisme.
Menurut La Sara dkk (1996) bahwa kecepatan arus akan mempengaruhi “time retention” dan serasah dalam kolom air, kecepatan arus perairan yang besar akan membawa partikel lumpur dan serasah ke tempat lain, sehingga keadaan ini akan menentukan tekstur substrat dan jumlah serasah yang mengendap, yang pada akhirnya akan mempengaruhi jenis dan kelimpahan organisme makrozoobenthos. Di perairan yang arusnya kuat, lebih banyak ditemukan substrat yang kasar (pasir atau kerikil), karena partikel kecil akan terbawa akibat arus. Jika perairannya tenang dan arusnya lemah maka lumpur akan mengendap (Fitrianai, 2010).
Menurut Hardjowigeno (2003) bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi
maupun senyawa-senyawa anorganik hasil
mineralisasi termasuk juga mikrobia heterotrofik dan ototrofik yang terlibat dan berada di dalamnya.
Menurut La Sara (1996) bahwa tipe distribusi
mengelompok disebabkan karena keadaan
lingkungan yang sesuai untuk kehidupan organisme
tersebut. Pola penyebaran mengelompok
menandakan organisme atau hewan tersebut hanya dapat hidup pada habitat tertentu saja dengan kondisi lingkungan yang cocok bagi organisme untuk dapat mempertahankan hidup. Hal ini pula sesuai dengan pernyataan Effendie (2002) bahwa Penyebaran yang mengelompok besar kemungkinan disebabkan karena
mendukung kehidupan organisme bivalvia sehingga membatasi spesies tertentu untuk menyebar secara seragam atau acak disemua perairan.
Pola penyebaran bivalvia yang diperoleh selama penelitian memiliki pola penyebaran bersifat acak dan mengelompok yang di peroleh pada stasiun I yang diduga disebabkan karena tidak ada
kecenderungan dari pola penyebaran untuk
menghindar atau bergerak menuju organisme lainnya, serta pada stasiun I diduga memiliki kondisi lingkungan sangat seragam sehingga memberi peluang terjadinya pola penyebaran acak. Hal ini sesuai pernyataan Efriyeldi (1997) bahwa apabila pola penyebaran bersifat acak maka kondisi lingkungan seragam dan Effendie (2002) bahwa penyebaran secara acak jarang terjadi di alam dan dapat terjadi apabila lingkungan sangat seragam dan tidak ada kecenderungan untuk mengelompok.
Menurut Bengen (2004) daerah ekosistem mangrove hidup berbagai macam biota perairan seperti ikan, moluska, udang, kepiting dan cacing. Mangrove merupakan habitat bagi biota-biota akuatik. Fungsi ekologis mangrove bagi biota-biota tersebut adalah sebagai daerah asuhan (nursery
ground), daerah tempat mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground).
Rusaknya ekosistem mangrove dapat mengakibatkan penurunan populasi terhadap semua
organisme yang mendiami habitat tersebut,
khususnya bivalvia. Ekosistem mangrove
merupakan daerah yang memiliki manfaat yang sangat besar terhadap kehidupan sebagaimana pendapat Bandaranayake (1998) pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dikategorikan menjadi pemanfaatan ekosistem secara keseluruhan (nilai ekologi) dan pemanfaatan produk-produk yang di hasilkan ekosistem tersebut (nilai sosial ekonomi dan budaya). Secara tradisional, masyarakat setempat menggunakan mangrove untuk memenuhi
berbagai keperluan secara lestari, tetapi
meningkatnya jumlah penduduk dapat
menyebabkan terjadinya tekanan yang tidak terbaharukan pada sumber daya ini.
Mangrove memiliki peranan yang sangat besar di perairan selain memiliki nilai ekonomis juga nilai-nilai ekologi yang baik. Namun dalam proses pemanfaatan sumber daya, khususnya terhadap beberapa ekosistem di perairan seperti ekosistem mengrove yang hanya dijadikan sebagai sumber penghasilan dalam memenuhi kebutuhan dari segi ekonominya saja, namun hal tersebut secara langsung akan mempengaruhi struktur ekologinya di perairan. Sebagaimana nilai-nilai ekologi adalah adanya hubungan timbal balik antara organisme yang hidup pada daerah tersebut dan lingkungannya termasuk manusia itu sendiri. Oleh karena itu perlu kiranya menjaga dan melestarikannya agar tetap terjaga kestabilan nilai-nilai struktur ekologinya di
perairan sehingga setiap organisme mampu
berkembang biak dengan baik pada daerah tersebut dan tidak beruaya atau berpindah tempat dalam mempertahankan hidup.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Nilai kepadatan bivalvia tertinggi selama penelitian terdapat pada daerah dengan vegetasi hutan mangrove yang lebat sedangkan kepadatan terendah terdapat pada daerah mangrove yang tereksploitasi tinggi.
2. Pola distribusi bivalvia di perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab. Buton, merupakan pola penyebaran acak yang terdapat pada daeran mangrove dengan tingkat kerapatan tinggi dan sedang.
3. Parameter kualitas air yang terdapat di perairan Desa Balimu Kec. Lasalimu Selatan Kab. Buton masih berada dalam kisaran toleransi untuk kehidupan bivalvia.
Daftar Pustaka
Bandaranayake WM. 1998. Traditional and Medicinal Uses of Mangroves. Mangroves
and Salt Marshes.
Bengen DG. 2004. Sinopsis. Ekosistem dan Sumber Daya Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian. Bogor.
Cholik F, Artati, Arifudin R. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Ikan. Dirjen Perikanan. Clark J. 1974. Coastal Ecosystems. Ecological
Considerations for Management of The
Coastal Zone. Washington D.C.
Publications Departement the
Concervations Foundation.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Dahuri R. 2006. Kumpulan Koleksi Bivalvia. Jakarta. Pusat Penelitian Kelautan.
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Efriyeldi. 1997. Struktur Komunitas
Makrozoobenthos dan Keterkaitannya
dengan Karakteristik Sedimen di Perairan Muara Sungai Bantan Tengah, Bengakalis. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor. Erlangga. 2007. Efek Pencemaran Perairan
Sungai Kampar di Provinsi Riau Terhadap Ikan Baung (Hemibagrus nemurus). Tesis: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Fitriani M. 2010. Skripsi Kelimpahan
Gastropoda pada Areal Mangrove yang Direhabilitasi di Perairan Pantai Harapan Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka
Provinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi
Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.
Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Presindo, Jakarta.
Hari H. 1999. Beberapa Aspek Bioekologi Komunitas Bivalvia di Kawasan Hutan Mangrove Teluk Kulisusu, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Herawati VE. 2008. Analisis Kesesuaian Perairan Segara Anakan Kabupaten Cilacap sebagai
Lahan Budidaya Kerang Totok
(Polymesoda erosa) Ditinjau dari Aspek
Produktifitas Primer menggunakan
Penginderaan Jauh. Seminar Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Kastoro W. 1982. Usaha Budidaya Kerang Hijau, (Mytilus viridis) di Indonesia. LON‒LIPI, Jakarta.
Kon K., Kurokura H, Tongnunui P. 2009. Effects of The Physical Structure of Mangrove
Vegetation on a Benthic Faunal
Community. Journal of Experimental
Marine Biology and Ecology. 383:
171‒180.
La Sara, Halili dan M Kawaroe. 1996. Kelimpahan dan Tipe Distribusi Makrozoobenthos di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Agriplus Edisi No.17 Tahun VI Januari 1997. Fakultas Perikanan Unhalu. Kendari. Mason CF. 1993. Biology of Freshwater Pollution.
New York: Longman Scientific and Technical.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Pescod MB. 1973. Investigation of Ration Effluent
and Stream of Tropical Countries.
Bangkok.
Prasojo SA. 2012. Distribusi dan Kelas Ukuran Panjang Kerang Darah (Anadara granosa) di Perairan Pesisir Kecamatan Genuk, Kota Semarang. Journal of Marine Research.
Rajagopal S, Azariah J Nair KVK. 1994. Heat Treatment As A Fouling Control Method for Indian Coastal Power Plants. In Recent Advances in Biofouling Control. (M. F. Thompson, R. Nagabhushanam, R. Sarojini, and M. Fingerman, eds.). Oxford and IBH Publishing Company Pvt. Ltd, New Delhi. Russel WD, Hunter J. 1983. Actuarial Bioenergetics
of Nonmarine Moluscan Productivity.
Departement of Biology. Syracuse
University. New York.
Soegianto A. 1994 Ekologi Kuantitatif. Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. Indonesia. Whitten JA, Mustafa M, Hederson GS. 1987.
Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wijayanti HM. 2007. Kajian Kualitas Perairan di Pantai Kota Bandar Lampung Berdasarkan
Komunitas Hewan Makrobenthos.