• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI HISTOPATOLOGI LIMPA MENCIT PASCA INFEKSI Plasmodium berghei IRADIASI GAMMA STADIUM ERITROSITIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI HISTOPATOLOGI LIMPA MENCIT PASCA INFEKSI Plasmodium berghei IRADIASI GAMMA STADIUM ERITROSITIK"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI HISTOPATOLOGI LIMPA MENCIT PASCA INFEKSI

Plasmodium berghei IRADIASI GAMMA STADIUM ERITROSITIK

Tur Rahardjo, Siti Nurhayati dan Dwi Ramadhani

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi-BATAN

Jalan Lebak Bulus Raya No.49 Kotak Pos 7043 JKSKL Jakarta Selatan 12070 Email untuk korespondensi: nurhayati_s@batan.go.id

Gambar 5. Histopatologi limpa mencit (a) hari ke 8 (b) hari ke 40 (c) hari ke 47 (d) hari ke 62

ABSTRAK

STUDI HISTOPATOLOGI LIMPA MENCIT PASCA INFEKSI Plasmodium berghei IRADIASI GAMMA STADIUM ERITROSITIK. Salah satu kendala dalam penanggulangan penyakit malaria adalah meningkatnya resistensi parasit malaria terhadap obat anti malaria. Pengembangan vaksin malaria menggunakan radiasi menjadi penting seiring meningkatnya resistensi parasit malaria. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah mengetahui dosis radiasi sinar Gamma paling efektif untuk melemahkan Plasmodium berghei stadium eritrositik berdasarkan histopatologi limpa mencit (Mus musculus sp.). Sebanyak empat puluh ekor mencit jantan Swiss dibagi dalam empat kelompok perlakuan. Kelompok pertama diinfeksi dengan P. berghei yang tidak diiradiasi. Kelompok kedua dan ketiga diinfeksi dengan P. berghei yang diiradiasi 150 dan 175 Gy. Kelompok keempat adalah kelompok yang tidak diinfeksi oleh P. berghei. Mencit dibunuh pada hari ke 6, 8, 12, 16, 20 dan 24 pasca infeksi P. berghei kemudian dibuat preparat histologi limpanya. Kelainan patologis limpa dilakukan berdasarkan beberapa parameter yaitu luas area haemozoin, jumlah megakariosit serta nilai indeks limpa. Uji T digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan secara statistik antar kelompok perlakuan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan signifikan secara statistik pada luas area haemozoin dan jumlah sel megakariosit antara kelompok yang diinfeksi P. berghei irradiasi 175 Gy bila dibandingkan dengan kelompok yang diinfeksi P. berghei irradiasi 150 Gy dan tidak irradiasi. Sedangkan berdasarkan nilai indeks terlihat bahwa kelompok yang diinfeksi P. berghei irradiasi 150 Gy memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang diinfeksi P. berghei irradiasi 175 Gy . Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dosis irradiasi 175 Gy memberikan hasil lebih baik dibandingkan dosis 150 Gy. Penelitian lanjutan yaitu pemeriksaan gambaran histologi organ hati dan limpa terhadap mencit yang diimunisasi berulang menggunakan P. berghei irradiasi 175 Gy perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas dosis irradiasi 175 Gy. Kata kunci :histopatologi, limpa, mencit, Plasmodium berghei, radiasi

ABSTRACT

MICE SPLEEN HISTOPATHOLOGICAL STUDIES AFTER INFECTION OF GAMMA RAYS IRRADIATED Plasmodium berghei ERYTHROCYTIC STAGE. One of the difficulties on controlling malaria is the resistance of malaria parasite to antimalaria drugs, therefore development of vaccine malaria using radiation become importance to handling malaria disease. Aim of this research was to know the most effective gamma rays radiation dose to attenuated Plasmodium berghei erythrocytic stage based on the spleen histopathology of mice (Mus musculus sp.). A total of forty Swiss male mice divided into four experiment groups. First group was infected by unirradiated P. berghei. A second and third group was infected by P. berghei that was irradiated by 150 and 175 Gy. Last group was not infected by P. berghei. Mice were sacrificed at days 6 8, 12, 16, 20 and 24 after infection of P. berghei and the spleen were collected for histopatologic study. An abnormality of spleen histopathological was measured based on some parameters which were haemozoin area, number of megakaryocytes cells and spleenic indexs. T-test analysis was used to know whether there were significant differences between all groups experiment. Result shows that there were significant differences based on a haemozoin area and megakariocytes cells value between

(2)

first (0 Gy), second (150 Gy) and third (175 Gy) groups. While based on the splenic index it seen that in the the group infected P. berghei that was irradiated by 150 Gy gave a better results compared to the group that infected by P. berghei irradiated by 175 Gy. Overall it can be concluded that the radiation dose of 175 Gy gave a better results compared to 150 Gy. Futher research to examine the mice liver and spleen histology that infected several times with P. berghei irradiated with 175 Gy must to be done to determine the effectiveness of 175 Gy irradiation dose to attenuated P. berghei.

Keywords : histopathology, spleen, mice, Plasmodium berghei, irradiation.

PENDAHULUAN

Malaria hingga kini masih menjadi masalah kesehatan utama pada masyarakat di negara berkembang. Setiap tahunnya diperkirakan sebanyak 2,5 juta kematian disebabkan oleh penyakit malaria [Wichmann et al. 2007]. Meluasnya resistensi plasmodium sebagai penyebab malaria terhadap obat anti malaria makin mempersulit pemberantasan malaria [Wijayanti et al. 2003]. Spesies utama dari plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria pada manusia yaitu

P. ovale, P. malariae, P. vivax dan P. falciparum.

Plasmodium falciparum merupakan jenis yang paling ganas, karena bisa mengakibatkan kematian pada balita serta memiliki daya resistensi yang tinggi terhadap obat anti malaria [Weatherall et al. 1982].

Seiring dengan meningkatnya resistensi plasmodium terhadap obat anti malaria, maka pengembangan vaksin malaria menjadi penting dalam penanggulangan penyakit malaria [Carvalho et al. 2002]. Pengembangan vaksin dengan radiasi terbukti merupakan cara yang efektif dalam mengendalikan beberapa penyakit infeksius seperti malaria. Keberhasilan pelemahan plasmodium menggunakan radiasi sangat bergantung pada besarnya dosis radiasi yang digunakan [Syaifudin et al. 2011]. Hingga kini diketahui bahwa dosis radiasi sebesar 150 Gy merupakan dosis yang efektif untuk melemahkan beberapa parasit [Luke & Hoffman 2003].

Hoffman et al. [2002] menyatakan bahwa dosis optimal untuk melemahkan P. falciparum stadium sporozoit adalah antara 150 – 200 Gy. Sedangkan dosis radiasi optimal untuk melemahkan plasmodium pada stadium eritrositik belum diketahui [Hoffman et al. 2002]. Saat ini penelitian vaksin malaria dilakukan terhadap 3 stadium perkembangan plasmodium yaitu stadium sporozoit, stadium eritrositik bentuk aseksual dan stadium eritrositik bentuk seksual. Vaksin malaria pada stadium eritrositik ditujukan untuk menghambat perkembangan parasit di dalam eritrosit, serta mengurangi manifestasi klinis yang timbul [Wijayanti et al. 1997].

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui dosis radiasi paling efektif dalam

melemahkan P. berghei pada stadium eritrositik berdasarkan histopatologi limpa mencit (Mus

musculus sp.) sebagai model penyakit malaria.

Limpa pada penderita malaria berfungsi untuk menghilangkan eritrosit yang terinfeksi dan produknya seperti pigmen malaria dari aliran darah. Plasmodium dan pigmen malaria (haemozoin) difagositosis secara aktif oleh makrofag limpa sehingga pada pemeriksaan makroskopis limpa tampak membesar sedangkan secara mikroskopis terdapat peningkatan jumlah sel makrofag dan haemozoin yang tersebar [Wijayanti et al. 2003]. Limpa juga berperan dalam menurunkan persentase parasitemia [Alves et al, 1996].

BAHAN DAN METODE

Parasit Malaria

Parasit yang digunakan adalah Plasmodium berghei galur ANKA. Plasmodium berghei diperoleh dari Lembaga Biologi Molekular Eijkman, Jakarta.

Plasmodium berghei adalah salah satu parasit

malaria pada rodensia yang mempunyai sifat-sifat mirip dengan Plasmodium falciparum yang menginfeksi manusia [Wijayanti et al. 2003].

Hewan Coba

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit jantan galur Swiss Webster berumur sekitar 2 – 3 bulan dengan berat badan 30 - 35 gram. Mencit diperoleh dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia dan diberi makan pelet dan minum air secara ad libitum (tanpa batas). Mencit Swiss sebanyak 40 ekor dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok pertama diinfeksi dengan P.

berghei yang tidak diiradiasi. Kelompok kedua dan

ketiga diinfeksi dengan P. berghei yang diiradiasi 150 dan 175 Gy. Kelompok keempat adalah kelompok yang tidak diinfeksi oleh P. berghei. lnfeksi dilakukan dengan cara menyuntikan secara intraperitoneal sebanyak 1x107 parasit stadium eritrositik baik yang tidak diiradiasi maupun yang telah diiradiasi. Radiasi dilakukan menggunakan irradiator sinar Gamma 60CO (IRPASENA) di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Mencit

(3)

kemudian dibunuh pada hari ke 6, 8, 12, 16, 20 dan 24 pasca infeksi P. berghei.

Pembuatan Histologi Limpa Mencit

Organ limpa diambil dari mencit yang dibunuh dan dimasukkan ke dalam larutan fiksatif sodium fosfat formalin 10%. Organ limpa kemudian dikirim ke Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) untuk dibuat preparat histologi limpanya. Pewarnaan preparat histologi limpa yang digunakan adalah Hematoksilin-Eosin (HE).

Pemeriksaan Histopatologis Organ Limpa

Kelainan patologis limpa dilakukan berdasarkan beberapa parameter yaitu luas area haemozoin, jumlah megakariosit serta nilai indeks limpa (splenic index). Nilai indeks limpa dihitung menggunakan persamaan berikut.

Indeks limpa = (1).

Luas area haemozoin pada limpa dihitung dengan perangkat lunak pengolahan citra digital yaitu ImageJ 1.48 [Ramadhani et al. 2012]. Pengambilan citra digital dilakukan dengan mikroskop cahaya Nikon E100 yang dilengkapi kamera Digital Single

Lens Reflext (DSLR) Nikon D5200 dan dimodifikasi sehingga menjadi mikroskop polarisasi. Jumlah sel makrofag pada limpa yaitu sel megakariosit dihitung pada perbesaran 400x dan diambil rerata dari 5 lapang pandang yang dipilih secara acak. Mikroskop yang digunakan adalah mikroskop Nikon E100. Kelainan patologis pada limpa juga dilakukan dengan melihat struktur histologi limpa pada setiap hari perlakuan pasca infeksi P. berghei.

Analisis Statistik

Analisis data dilakukan menggunakan Microsoft Excel dan StatPlus 2.0. Uji T digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan secara statistik antar kelompok perlakuan. Apabila nilai p < 0,05 maka dianggap memiliki perbedaan signifikan secara statistik.

Etik Penelitian

Penelitian yang dilakukan telah disetujui oleh komite etik Komisi Etik Penggunaan dan Pemeliharaan Hewan Percobaan, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) berdasarkan surat No.003/KEPPHP-BATAN/X/2012 yang mulai berlaku pada tanggal 29 Oktober 2012 hingga penelitian selesai dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa berdasarkan rerata luas area haemozoin pada seluruh hari perlakuan (6, 8, 12, 16, 20 dan 24) pasca infeksi P. berghei, terdapat perbedaan signifikan secara statistik antara kelompok yang diinfeksi P. berghei irradiasi 175 Gy bila dibandingkan dengan kelompok yang diinfeksi

P. berghei irradiasi 150 Gy dan tidak irradiasi (0

Gy) (Tabel 1). Terlihat pada kelompok mencit yang diinfeksi P. berghei irradiasi 150 Gy luas area haemozoin tertinggi adalah 8565 µm2, sedangkan kelompok yang diinfeksi P. berghei irradiasi 175 Gy luas area haemozoin tertinggi adalah 3175 µm2.

Tabel 1. Luas area haemozoin pada preparat histologi limpa mencit

Kelompok perlakuan Rerata luas area haemozoin (µm2) Hasil analisis statistik (p-value) 0 Gy 6826 0,00035* (dibandingkan dengan 150 Gy) 0,00000061*

(dibandingkan dengan 175 Gy)

150 Gy 2517 0,046*

(dibandingkan dengan 175 Gy)

175 Gy 1166 -

* berbeda signifikan secara statistik

Gambar 1. Grafik luas area haemozoin pada histologi limpa mencit

Haemozoin atau pigmen malaria adalah substansi biocrystalline yang merupakan hemin hasil produk samping dari proses detoksifikasi oleh plasmodium. Haemozoin diduga berkontribusi terhadap anemia pada penderita malaria, meskipun masih terdapat kontroversi apakah yang berperan adalah haemozoin yang berada pada makrofag atau pada sel lainnya [Frita et al. 2012]. Haemozoin pada limpa terutama ditemukan pada pulpa merah (red

pulp) [Carvalho et al. 2007], meskipun haemozoin

juga ditemukan di pulpa putih (white pulp) pada beberapa hari pasca infeksi P. berghei [Frita et al. 2012].

[Berat organ limpa mencit (mg)] [Berat badan mencit (g)]

(4)

Berdasarkan jumlah sel megakariosit analisis statistik menunjukkan terdapat perbedaan secara signifikan antara kelompok perlakuan ketiga yaitu mencit yang diinfeksi P. berghei irradiasi 175 Gy dengan dengan kelompok mencit yang diinfeksi P.

berghei irradiasi 150 Gy dan tidak diiradiasi (0 Gy)

(Tabel 2). Secara keseluruhan jumlah sel megakariosit mengalami penurunan seiring dengan lama hari pengamatan pasca infeksi P. berghei (Gambar 2). Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan umumnya rerata jumlah sel megakariosit meningkat seiring dengan makin lamanya hari pengamatan pasca infeksi plasmodium. Peningkatan jumlah sel megakariosit sebagai sel makrofag di organ limpa disebabkan karena sel megakariosit berfungsi dalam proses fagositosis sel darah merah yang terinfeksi oleh plasmodium [Dkhil 2009]. Sel megakariosit selain berfungsi untuk memfagositosis sel darah merah yang terinfeksi oleh plasmodium juga berfungsi untuk memfagositosis haemozoin pada limpa [Wijayanti et al. 2003].

Penurunan yang terjadi kemungkinan disebabkan karena sulitnya mengidentifikasi sel megakariosit seiring dengan rusaknya struktur histologi limpa. Hal tersebut dapat terlihat pada kelompok mencit yang diinfeksi P. berghei tidak irradiasi jumlah rerata sel megakariosit tertinggi tercatat pada hari ke-8 dan jumlahnya semakin menurun seiring dengan semakin rusaknya struktur histologi limpa.

Tabel 2. Jumlah rerata sel megakariosit pada preparat histologi limpa mencit

Kelompok perlakuan Rerata jumlah sel megakariosit Hasil analisis statistik (p-value) 0 Gy 3,76 0,001*

(dibandingkan dengan 175 Gy)

150 Gy 3,70 0,012*

(dibandingkan dengan 175 Gy) 0,870

(dibandingkan dengan 0 Gy)

175 Gy 2,43 -

* berbeda signifikan secara statistik

Gambar 2. Grafik rerata jumlah sel megakariosit pada histologi limpa mencit

Berdasarkan nilai indeks limpa (spleenic

index) hasil penelitian memperlihatkan bahwa tidak

terdapat perbedaan signifikan antara kelompok mencit yang diinfeksi P. berghei irradiasi 150 Gy dibandingkan dengan mencit yang tidak diinfeksi (kontrol negatif) (Tabel 3). Perbedaan signifikan ditemukan pada kelompok mencit yang diinfeksi P.

berghei irradiasi 175 Gy dibandingkan dengan

mencit yang tidak diinfeksi (kontrol negatif). Berbeda dengan hasil berdasarkan luas area haemozoin dan rerata jumlah sel megakariosit, berdasarkan nilai indeks limpa terlihat bahwa dosis 150 Gy memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan 175 Gy (Gambar 3).

Tabel 3. Nilai indeks limpa mencit

Kelompok perlakuan Nilai indeks limpa Hasil analisis statistik (p-value) 0 Gy 24,9 0,035*

(dibandingkan dengan 150 Gy) 0,193

(dibandingkan dengan 175 Gy) 0,001*

(dibandingkan dengan Kontrol - )

150 Gy 15,9 0,401

(dibandingkan dengan 175 Gy) 0,104

(dibandingkan dengan Kontrol - )

175 Gy 18,9 0,082

(dibandingkan dengan Kontrol -)

Kontrol - 7,38 -

* berbeda signifikan secara statistik

Nilai indeks limpa dikelompok mencit yang diinfeksi P. berghei tidak diiradiasi pada penelitian yang dilakukan memiliki nilai yang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Dkhil [2009]. Tingginya nilai indeks limpa pada kelompok mencit yang diinfeksi P. berghei tidak diradiasi menunjukkan terjadinya pembengkakan pada limpa (splenomegaly) akibat P. berghei.

Gambar 3. Grafik rerata nilai indeks limpa pada setiap kelompok perlakuan

(5)

Berdasarkan struktur histologi limpa terlihat bahwa pada kelompok mencit yang diinfeksi P.

berghei tidak diiradiasi kerusakan struktur yang

ditandai dengan sulitnya membedakan antara area pulpa putih (white pulp) dan pulpa merah (red pulp) pada hari ke 16 (Gambar 4a). Pada kelompok mencit yang diinfeksi P. berghei irradiasi 150 Gy kerusakan dimulai pada pada hari ke 16 (Gambar 4b), sedangkan kelompok mencit yang diinfeksi P.

berghei irradiasi 175 Gy pada hari ke 16 masih

dapat dibedakan antara area pulpa putih (white

pulp) dan pulpa merah (red pulp) (Gambar 4c).

Meskipun terlihat terjadi pelebaran pada area pulpa putih bila dibandingkan dengan kontrol negatif (Gambar 4d).

Penelitian oleh Dkhil [2009] memperlihat-kan bahwa struktur limpa mencit yang diinfeksi dengan Plasmodium chabaudi mulai sulit dibedakan antara pulpa merah dan putihnya pada hari ke 12 pasca infeksi. Berbeda dengan penelitian Dkhil pada penelitian yang dilakukan kerusakan struktur limpa mulai terlihat pada hari ke 16. Hal tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan spesies Plasmodium dan mencit yang digunakan.

Fenomena yang menarik adalah penelitian Dkhil [2009] memperlihatkan bahwa terjadi perbaikan struktur limpa mencit pada hari ke 35 pasca infeksi P. chabaudi. Sayangnya pada penelitian yang dilakukan pemeriksaan histologi limpa pada kelompok mencit diinfeksi P. berghei tidak diirradiasi hanya dapat dilakukan hingga hari ke 24. Hal tersebut dikarenakan setelah hari ke 24 seluruh mencit pada kelompok mencit yang diinfeksi P. berghei tidak diirradiasi telah mengalami kematian sehingga tidak dapat dibuat preparat histologi limpanya.

Gambar 4. Struktur histologi limpa mencit pada hari ke 16 (a) kelompok mencit yang diinfeksi P. berghei tidak diiradiasi (b) kelompok mencit yang diinfeksi

P. berghei irradiasi 150 Gy (c) kelompok mencit yang

diinfeksi P. berghei irradiasi 175 Gy (d) kelompok mencit yang tidak diinfeksi P. berghei.

KESIMPULAN

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa berdasarkan studi histopatologi limpa mencit dosis radiasi sinar Gamma 175 Gy lebih efektif untuk melemahkan P. berghei stadium eritrositik dibandingkan dosis 150 Gy. Penelitian lanjutan untuk mengetahui efektivitas dosis irradiasi 175 Gy berdasarkan pemeriksaan gambaran histologi organ hati dan limpa mencit pasca imunisasi berulang (booster) dan uji tantang dengan menggunakan

P. berghei irradiasi 175 Gy perlu dilakukan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih pada Dr. Mukh Syaifudin atas koreksi dan masukannya pada makalah ini. Penelitian ini terlaksana dengan biaya DIPA tahun anggaran 2012.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wichmann D, Schwarz RT, Ruppert V, Ehrhardt S, Cramer JP, Burchard GD, Maisch B., dan Debierre-Grockiego F., (2007), Plasmodium falciparum glycosyl phosphatidy-linositol induces limited apoptosis in liver and spleen mouse tissue. Apoptosis 12: 1037-1041. 2. Wijayanti AM, Hendrina E., dan Mardihusodo

YS., (2003), Efek bee propolis terhadap infeksi

a

b

c

d

Pulpa putih Pulpa merah Pulpa putih Pulpa merah

(6)

Plasmodium berghei pada mencit Swiss.

Berkala ilmu Kedokteran 35: 81-89.

3. Weatherall DJ., dan Abdalla S., (1982), The anaemia of Plasmodium falciparum malaria.

British Medical Bulletin 38: 147-152.

4. Carvalho LJM, Ribeiro CTD., dan Goto H., (2002), Malaria Vaccine: Candidate Antigens, Mechanisms, Constraints and Prospects.

Scandinavian Journal of Immunology 56:

327-343.

5. Syaifudin M, Tetriana D, Darlina dan Nurhayati S., (2011), The Feasibility of Gamma Irradiation for Developing Malaria Vaccine. Atom Indonesia 37: 91-101.

6. Luke TC., dan Hoffman SL., (2003), Rationale and plans for developing a non-replicating, metabolically active, radiation-attenuated Plasmodium falciparum sporozoite vaccine.

The Journal of Experimental Biology 206:

3803-3808.

7. Hoffman SL, Goh ML., dan Luke TC., (2002), Protection of humans against malaria by immunization with radiation attenuated Plasmodium falciparum. The Journal of

Infectious Diseases 185: 1155- 1164.

8. Wijayanti MA, Soeripto N, Supargiyono., dan Fitri LE., (1997), Pengaruh Imunisasi Mencit dengan Parasit Stadium Eritrositik Terhadap Infeksi Plasmodium berghei. Berkala Ilmu

Kedokteran 2: 53-59.

9. Alves HJ, Weidanz W., dan Weiss L., (1996), The spleen in murine Plasmodium chabaudi adami malaria: stromal cells, T lymphocytes, and hematopoiesis. The American Journal of

Tropical Medicine and Hygiene 55: 370-378.

10. Ramadhani D, Rahardjo T., dan Nurhayati S., (2012), Automated Measurement of Haemozoin (Malarial Pigment) Area in Liver Histology Using ImageJ 1.6. Prosiding 6th Electrical Power, Electronics Communication, Control and Informatics Seminar (EECCIS), Malang.

11. Frita R, Carapau D, Mota MM., dan Hanscheid, T., (2012), In Vivo Hemozoin Kinetics after Clearance of Plasmodium berghei Infection in Mice. Malaria Research and Treatment 2012: 1-9.

12. Dkhil MAE., (2009), Apoptotic changes induced in mice splenic tissue due to malaria infection. J Microbiol Immunol Infect 42: 13-18.

Gambar

Tabel 1.  Luas area haemozoin pada preparat  histologi limpa mencit
Tabel 2.  Jumlah rerata sel megakariosit pada  preparat histologi limpa mencit  Kelompok  perlakuan  Rerata jumlah  sel megakariosit   Hasil analisis  statistik  (p-value)  0 Gy  3,76  0,001*
Gambar 4. Struktur histologi limpa mencit pada hari  ke 16 (a) kelompok mencit yang diinfeksi P

Referensi

Dokumen terkait

Kepercayaan Merek (Brand Trust) memiliki pengaruh signifikan terhadap Loyalitas Merek (Brand Loyalty), sehingga Geprek Bensu Malang berhasil menstimulus konsumen

Gizi seimbang merupakan susunan makanan sehari- hari yang mengadung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan memperhatikan prinsip

10 Peserta didik dapat belajar kapan saja dan dimana saja ia kehendaki; 11 Peserta didik dapat belajar sesuai kecepatannya masing-masing; 12 Peserta didik dapat belajar menurut

Syarat membran untuk sel bahan bakar agar dapat bekerja dengan baik adalah memiliki konduktivitas yang besar dan tahan terhadap suhu operasi tinggi.. Suhu operasi tinggi

Pembuatan obyek 3D awal merupakan pembuatan kerangka obyek. Kerangka obyek ini belum memiliki tekstur, dimana tekstur digunakan untuk memberikan tampilan sesuai dengan obyek

Terlihat pada gambar 4 bahwa efisiensi pemanasan mempunyai kecenderungan rendah pada awal pemanasan karena pada awal pemanasan banyak panas yang hasilkan oleh proses

Program percepatan swasembada daging sapi nasional 2010 diharapkan dapat memacu peningkatan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia agar setara dengan negara-negara lain

Pekan Olahraga Provinsi (PORPROV) merupakan kegiatan olahraga yang diadakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Tengah yang diikuti oleh berbagai Daerah Kabupaten atau