SISTEM PEMERINTAHAN DESA DAN KELURAHAN
SISTEM PEMERINTAHAN DESA DAN KELURAHAN
“PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN DESA”
“PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN DESA”
Nama
Nama : Rendyta Angg: Rendyta Anggrainiraini
Npp
Npp : 24.0489: 24.0489
Kelas
Kelas : : D.5D.5
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
KAMPUS REGIONAL NUSA TENGGARA BARAT
KAMPUS REGIONAL NUSA TENGGARA BARAT
TAHUN AJARAN 2014-2015
TAHUN AJARAN 2014-2015
Sejarah Perkembangan Pemerintahan Desa di Indonesia
1. Zaman kerajaan-kerajaan Nusantara.
Menurut Bayu Surianingrat (1992:12-13) desa sudah dikenal pada zaman kerajaan nusantara.Desa wilayah mandiri dibawah kerajaan pusat.Kerajaan pusat hanya menuntut loyalitas desa. Ditemukan prasati Himad-Walandit desa ada pada zaman kerajaan Kediri dengan status swatantera. Berdasarkan ditemukannya Prasasti tsb bisa disimpulkan tentang desa:
a. Sebagai lembaga pemerintahan terendah.
b. Dengan tingkatan berada langsung dibawah kerajaan,terdapat system pemerintahan dua tingkat.
c. Telah mengenal system pemerintahan daerah dan dijadikan asas penyelenggaraan. d. Terdapat jenis-jenis desa,seperti: Desa Keramat, Desa Perdikan dengan hak-hak
khusus.
Menurut Kern dan Van Den Berg desa di Jawa dibentuk ada pengaruh hindu yang ada setelah kedatangan Hindu, dengan mempunyai kesamaan dengan desa di India. Van Vollenhoven dan Brandes desa adalah ciptaan orang Indonesia asli.
2. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
Ketika masa pemerintahan kolonial atau biasa disebut dengan Pemerintahan Hindia Belanda, Desa atau Pemerintahan Desa diatur dalam pasal 118 jo Pasal 121 I. S. yaitu Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa penduduk negeri/asli dibiarkan di bawah langsung dari kepala- kepalanya sendiri (pimpinan). Kemudian pengaturan lebih lanjut tertuang dalam IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten) LN 1938 No. 490 yang berlaku sejak 1 Januari 1939 LN 1938 No. 681. Nama dan jenis dari persekutuan masyarakat asli ini adalah Persekutuan Bumi Putera.
Persekutuan masyarakat asli di jawa disebut DESA, di bekas Karesidenan Palembang disebut “Marga”, “Negeri” di Minangkabau sedangkan di bekas Karesidenan Bangka Belitung disebut HAMINTE.
Pada masa pemerintahan kolonial ini, asal-usul desa diperhatikan dan diakui sedemikian rupa sehingga tidak mengenal adanya penyeragaman istilah beserta
komponen-komponen yang meliputinya. Desa/Marga ini berasal dari serikat dusun baik atas dasar susunan masyarakat geologis maupun teritorial. Desa/Marga adalah masyarakat hukum adat berfungsi sebagai kesatuan wilayah Pemerintah terdepan dalam rangka Pemerintahan Hindia Belanda dan merupakan Badan Hukum Indonesia (IGOB STB 1938 No. 490 jo 681. Sedangkan bentuk dan susunan pemerintahannya ditentukan berdasarkan hukum adat masing-masing daerah. Adapun dasar hukumnya adalah Indische Staasgeling dan IGOB Stb.1938 No. 490 Jo. 681 Adapun tugas, kewenangan, serta lingkup pemerintahan meliputi bidang perundangan, pelaksanaan, keadilan dan kepolisian. Dengan demikian Desa/Marga pada saat itu memiliki otoritas penuh dalam mengelola dan mengatur wilayahnya sendiri termasuk ketertiban dan keamanan berupa kepolisian. Selain itu masing-masing wilayah tersebut memiliki pengaturan hak ulayat atau hak wilayah. Hak ini adalah hak mengatur kekuasaan atas tanah dan perairan di atasnya, termasuk ruang lingkup kekuasaan dari desa/marga tersebut. Adapun materinya adalah sebagai berikut:
a. Masyarakat hukum yang bersangkutan dan anggota-anggotanya bebas mengerjakan tanah-tanah yang masih belum dibuka membentuk dusun, mengumpulkan kayu, dan hasil-hasil hutan lainnya.
b. Orang luar bukan anggota masyarakat yang bersangkutan hanya boleh mengerjakan tanah seizin masyarakat hukum yang bersangkutan (izin kepala desa/marga)
c. Bukan anggota masyarakat yang bersangkutan, kadang-kadang juga anggota masyarakat hukum, harus membayar untuk penggarapan tanah dalam marga semacam retribusi sewa bumi, sewa tanah, sewa sungai, dsb.
d. Pemerintahan Desa/Marga sedikit banyak ikut campur tangan dalam cara penggarapan tanah tersebut sebagai pelaksanaan fungsi pengawasannya.
e. Pemerintah Desa/Marga bertanggung jawab atas segala kejadian-kejadian dalam wilayah termasuk lingkungan kekuasaannya.
f. Pemerintahan Desa/Marga menjaga agar tanahnya tidak terlepas dari lingkungan kekuasannya untuk seterusnya. Sedangkan Badan Perwakilan Desa pada masa itu dinamakan Dewan
Desa/Marga. Pemerintah Desa/Marga didampingi oleh Dewan Desa/Marga yang berfungsi sebagai lembaga pembuat peraturan-peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat. Dengan demikian sejak masa pemerintahan kolonial, bangsa Indonesia telah mengenal lembaga pembuat peraturan-peraturan di tingkat desa, dimana tugas dan fungsinya
secara tidak langsung telah ditumpulkan ketika pemerintahan masa orde baru melalui UU No. 5/1979.Untuk sumber keuangan atau sumber pendapatan Desa/Marga diperoleh antara lain dari pajak Desa/Marga, sewa lebak lebung, sewa bumi, ijin mendirikan rumah/bangunan, hasil kerikil/pasir, sewa los kalangan, hasil hutan/bea kayu, pelayanan pernikahan, pas membawa hewan kaki empat besar, dan lain-lain. Sumber pendapatan Desa/marga ini dapat dikatakan sebagai pendapatan asli desa/marga, karena tidak didapatkan unsur pinjaman ataupun bantuan dari pihak lain. Dengan demikian Desa pada waktu itu telah mandiri dengan sendirinya tanpa ketergantungan dari pemerintahan di atasnya.
“Desa” di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warmer Muntinghe, seorang Belanda anggota Raad Van Indie Pada masa penjajahan Kolonial Inggris, yang merupakan pembantu Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Kata desa sendiri berasal dari bahasa Jawa yakni “swadesi” yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas.
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa bangsa Indonesia telah mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah politik dan kehidupan sosial ekonominya, sejak Kerajaan-Kerajaan Mataram, Banten, Cirebon, Aceh, Deli, Kutai, Pontianak, Goa, Bone, Ternate, Klungkung, Karangasem, Badung, Bima dan lain-lainnya kehilangan kedaulatannya dan kemerdekaannya.
Kerajaan-kerajaan itu satu persatu menyerahkan kedaulatan politiknya kepada V.O.C mulai tahun 1602 sampai terbentuknya Pemerintah Hindia Belanda, masih berlangsung terus menerima penyerahan-penyerahan kedaulatan kerjaan-kerajaan tersebut. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkuasa dari tahun 1798 sampai Maret 1942, telah mengatur sebagian besar aspek kehidupan politik, ekonomi dan sosial bangsa Indonesia, melalui berbagai cara dengan gaya dan nafas khas kolonialis.
Berbagai peratuan perundang-undangan baik yang bersifat untuk sementara waktu, maupun yang dipersiapkan untuk jangka waktu yang cukup lama, yang telah dapat dipastikan akan menguntungkan Pemerintah Hindia Belanda, telah dikeluarkan dan harus ditaati sepenuhnya oleh bangsa Indonesia yang saat itu sebagai hamba-hamba Raja atau Ratu Belanda.
Tidak sedikit pula peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur Desa-desa atau yang semacam dengan Desa; sekalipun secara formal dan politis pemerintah kolonial Hindia Belanda menghormati dan mengakui serta “mempersilahkan” Adat dan Hukum Adat berlaku dan dapat digunakan sebagai landasan hukum bagi berbagai kegiatan Hukum
“Golongan Pribumi” dan sebagai hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan politik dan sistem kolonialisme.
Peraturan perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman pokok bagi desa-desa antara lain adalah :
1. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2 september 1854, Stb 1854.2.)
2. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama I.G.O (Stb.1906-83) dengan segala perubahannya.
3. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681) dengan segala perubahannya.
4. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala perubahannya.
5. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
6. Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui, disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).
Berdasarkan kepada ketatanegaraan Hindia Belanda, sebagaimana tersurat dalam Indische Staatsrwgwling, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum
“Pribumi” dengan sebutan Inlandsche gemeente yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja
dan Desa atau yang dipersamakan dengan Desa.
Bagi Swapraja-Swapraja yaitu bekas-bekas kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan Hukum Adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, disebut dengan nama Landschap.
Selanjutnya bagi Desa-desa atau yang dipersamakan dengan Desa (Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura dan Bali) mendapat sebutan Inlandsche Gemeente
dan Dorp dalam H.I.R.
Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan sekedar perumusan tentang sebutan
Inladsche Gemeente sebagai berikut :
Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada Hukum Adat dan peratuaran perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten dan
Swapraja.
Pada zaman penjajahan Belanda terdapat peraturan perundang-undangan mengenai desa yaitu Inlandshe Gemeente Ordonantie (IGO) yang berlaku untuk Jawa dan Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura pada tahun 1906. Aturan ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 71 REGERINGS REGLEMENT (RR) yang dikeluarkan tahun 1854 yang merupakan bentuk pengakuan terhadap adanya desa, demokrasi, dan otonomi desa. Pada tahun 1854, Pemerintah
kolonial Belanda mengeluarkan “Regeeringsreglement” yang merupakan cikal-bakal pengaturan tentang daerah dan Desa. Dalam pasal 71 (pasal 128.I.S.) yang menegaskan
tentang kedudukan Desa, yakni:
a. Desa yang dalam peraturan itu disebut “inlandsche gemeenten” atas pengesahan kepala daerah (residen), berhak untuk memilih kepalanya dan pemerintah Desanya sendiri.
b. Kepala Desa itu diserahkan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal atau dari kepala daerah (residen). Gubernur Jenderal menjaga hak tersebut
terhadap segala pelanggarannya.
Dalam ordonansi itu juga ditentukan keadaan dimana Kepala Desa dan anggota pemerintah Desa diangkat oleh penguasa yang ditunjuk untuk itu. Kepala Desa bumiputera
peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal, pemerintah wilayah dan residen atau Pemerintah otonom yang ditunjuk dengan ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi diatur wewenang dari Desa Bumiputera untuk:
(a) memungut pajak di bawah pengawasan tertentu;
(b) di dalam batas-batas tertentu menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh Desa.
Ada 3 hak Desa yang bisa diperhatikan dalam Pasal 71 tersebut, antara lain :
1.Desa berhak memilih sendiri Kepala Desa
2.Desa berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri 3. Desa yang terletak di kota (kota praja) di hapus
Pertumbuhan desa dimulai dari bentuk self governing community diformalkan oleh colonial Belanda sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Untuk menunjang kelangsungan hidup desa mempunyai kekayaan yang diatur sesuai system kelembagaan dikembangkan sendiri. Desa mempunyai rumah tangga sendiri hanya masyarakat desa bersangkutan yang boleh mengatur dan mengurus urusannya. Hubungannya dengan otonomi menurut Clive Day desa mempunyai otonomi bidang bisnis, peradilan, masalah pajak. Menurut Soetardjo,desa: lembaga asli mempunyai hak mengatur urusannya sendiri. Ditandai oleh cirri-ciri:
1) Terdiri atas kepala desa dibantu pamong desa.Kepala desa dipilih Dewan Morokaki. Dewan ini memilih kepala desa masa seumur hidup. Pamong desa pembantu kepala desa tugas sesuai dengan fungsinya.
2) Rapat desa pemegang kekuasaan tertinggi.
3) Pranata dan lembaga dengan konsep-konsep kebatinan dan praktik riil. 4) Tanah komunal berfungsi mengawasi perilaku anggota masyarakat hukum.
5) Gugur gunung, wajib kerja, dan gotong royong sebagai alat justifikasi dan pelestari otonomi desa.
6) Isi otonomi mencakup: Pertahanan, pekerjaan umum, peradilan, keagamaan.
Abad ke 18 VOC bangkrut dan dibubarkan Hindia Belanda mengambilalih pemerintahan dari tangan VOC. Belanda belum melakukan perubahan terhadap system pemerintahan pribumi. Sistem sosial budaya di desa dengan otonominya tidak melakukan perubahan apapun. Pemerintahan Inggris mengeluarkan revenue instruction. Kepala desa sebagai perantara pemerintahan dibawah perintah demang dalam pemungutan pajak tanah. Kepala
desa diserahi mengurus pendapatan desanya.Sistem mempunyai dua tujuan dicapai.Pertama, dikenalkan system ekonomi keuangan, Kedua dihapusnya upeti, bupati digaji oleh pemerintah.
Abad ke 20 Belanda melakukan politik balas budi. Belanda mengeluarkan ordonansi desa dikenal dengan IGO ( Inlandschee Gemeente Ordonnantie).Kepala desa dan pembantunya disebut pamong desa. Hak dan kewajiban kepala desa mengurus rumah tangga desa. Kedudukan desa menurut IGO ialah: menyangkut urusan otonomi pelaksanaannya kepada Kabupaten sedangkan urusan pemerintahan di bawah kecamatan.
Pada tahun 1941 Belanda mempertinggi status desa dengan mengeluarkan Desa Ordonantie. Desa diberi keleluasan berkembang menurut potensi dan kondisinya sendiri. Dalam ordonantie ada desa sudah maju pemerintahan dilakukan oleh Dewan Desa, sedangkan desa belum maju rapat desa dipimpin kepala desa.Dalam ordonantie pemerintah jangan ikut campur urusan desa dengan peraturan yang mengikat.
Berbeda lagi pemerintahan desa pada masa Jepang.Desa dibuat sebagai sumber tenaga dan sumber logistic perang Jepang melawan sekutu.Rakyat dimanfaatkan tenaganya secara paksa, dan kepala desa sebagai pengawas rakyat.
3. Zaman pendudukan Jepang.
Masa Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang
Telah dikemukakan di atas bahwa pada bulan Maret 1942 seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda jatuh ke dalam kekuasaan militer Jepang di mana penyerahan kekuasaannya ditanda tangani di Lembang Jawa Barat. Dengan sendirinya Jepang berkuasa atas segala sesuatunya di wilayah bekas jajahan Belanda itu yaitu Indonesia Tercinta ini. Pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah peratuaran perundang-undangan yang dibuat Belanda sepanjang tidak merugikan strategi “Perang Asia Timur Raya” yang harus
dimenangkan oleh Jepang.
Demikian pula Hukum Adat tidak diganggu apalagi dihapuskan. Masih tetap dapat digunakan oleh bangsa Indonesia, sepanjang tidak merugikan Jepang. Selama Jepang menjajah 3 ½ tahunm I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku, hanya sebutan-sebutan kepala Desa diseragamkan yaitu dengan sebutan Kuco; demikian juga cara pemilihan dan pemberhentiannya diatur oleh osamu Seirei No. 7 tahun 2604(1944).
Dengan demikian sekaligus pula nama Desa berganti/ berubah menjadi “Ku”.
Perubahan ini selaras dengan perubahansebutan-sebutan bagi satuan pemerintahan lebih atasnya. Untuk sekedar melengkapi hal di atas, maka sebagaimana dimaklumi
berdasarkan Osamu Seirei No. 27 tahun 1942, maka susunan pemerintahan untuk di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Pucuk pimpinan pemerintahan militer Jepang ada di tangan Panglima Tentara ke 16 khusus untuk pulau jawa yaitu Gunsyireikan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Saikosikikan.
2. Di bawah Panglima ada Kepala Pemerintahan militer disebut Gunseikan.
3. Di bawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan sebutan Gunseibu.
4. Gunseibu-gunseibu ini dijabat oleh orang-orang Jepang, tetapi wakil Gunseibu diambil dari bangsa Indonesia.
5. Gunseibu membawahi Residen-Residen yang disebut Syucokan. Pada masa Jepang
Keresidenan (Syu) merupakan Pemerintah Daerah Tertinggi. Para Syucokan semuanya terdiri dari orang-orang Jepang.
6. Daerah Syu terbagi atas Kotamadya (Si) dan Kabupaten (Ken).
7. Ken, terbagi lagi atas beberapa Gun (Kewedanan).
8. Gun terbagi lagi atas beberapa Son (Kecamatan).
9. Son Terbagi atas beberapa Ku (Desa).
10. Ku terbagi lagi atas beberapa Usa (Kampung).
Sekalipun menurut susunan pemerintahan Keresidenan menurut Pemerintah Daerah yang tertinggi, berarti juga termasuk kategori penting bagi strategi militer, namun ternyata Jepang mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap Desa-desa. Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital bagi strategi memenangkan
“Perang Asia Timur Raya”. Oleh karenanya Desa-desa dijadikan basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa semakin bertambah banyak dan bebannya semakin bertambah berat.
Desa-desa harus menyediakan pangan dan tenaga manusia yang disebut Romusya untuk
keperluan pertahanan militer Jepang.
Dengan demikian bagi Jepang pengertian Ku (Desa) adalah Suatu Kesatuan Masyarakat berdasarkan Adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda serta pemerintah Militer Jepang, yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, merupakan kesatuan ketata negaraan terkecil dalam daerah Syu, yang kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer. Sudah barang tentu pengertian yang terurai di atas itu tidak dapat dianggap sesuai lagi ketika Tentara Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pada tanggan 14 Agustus 1945.
Pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan yang berhak untuk menentukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Sedangkan untuk masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun.
Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan (Surianingrat, 1985: 189-190).Selanjutnya menurut Suhartono et. al (2001: 49), pada jaman penjajahan Jepang Desa ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada pendudukan Jepang ini, Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. Kepala Desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan
tebu.
Desa pada jaman pendudukan Jepang terdiri dari 9 (sembilan) pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor, Polisi Desa dan Amir (mengerjakan urusan agama). Artinya, pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, pengaturan Desa tidak terlalu banyak. Sehingga, Desa berjalan dan sesuai dengan IGO 1906 yang ditetapkan pada masa pemerintahan Belanda.
4. Zaman Kemerdekaan
a. KonsepsiF ounding F athers dan Konstitusi
Usulan founding fathers berasal dari kajian ahli Belanda. Menemukan desa telah ada dan memiliki lembaga yang lengkap dan mantap.Dilakukan pengesahan desa diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mengatur rumah tangganya sendiri.Di dalam kesatuan masyarakat hukum ini masyarakat saling mengenal karena satu keturunan dan membentuk system masyarakat yang khas. Contohnya Desa di Jawa-Bali-Madura, Nagari di Minangkabau, memiliki tata cara sendiri mengatur kehidupan sosial.
Pemerintah mengeluarkan UU No 1 tahun 1945,.Telah diatur kedudukan desa kekuasaan komite Nasional dipimpin seseorang kepala daerah.Undang-undnag ini sebagai bentuk desentralisasi pertama di Indonesia. Terlihat letak otonomi terbawah desa, berhak
mengatur pemerintahannya sendiri.
UU No 22 Tahun 1948 penyempurnaan dari UU No 1 Tahun 1945.Daerah otonom terbawah adalah desa,nagari, marga. Pemerintah desa adalah satuan pemerintah terbawah di bawah pemerintahan Kabupaten. UU No 22 Tahun 1948 belum bisa dilaksanakan.
UU No 1 Tahun 1957. Tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini memberikan status otonomi formal kepada desa. Desa dijadikan Daerah Tingkat III.UU ini belum sempat dilaksanakan karena tahun 1959 terjadi perubahan. Secara de facto penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan IGO dan IGOB.
Di Demak Jawa Tengah,sebelum diberlakukannya UU No 5 Tahun 1979 struktur pemerintahan terdiri atas lurah desa dan pamong desa.Lurah dipilih langsung oleh rakyat jangka waktu tidak ditentukan. Desa memiliki tanah komunal.
b. Pada Zaman Orde Lama dan Orde Baru
Pada 1965 dikeluarkan UU No 19 tahun 1965 tentang desapraja sebagai peralihan terwujudnya daerah tingkat III. Desapraja kesatuan masyarakat hukum berhak mengurus rumah tangga sendiri,memilih penguasa, dan harta bendanya sendiri.Alat kelengkapan desa terdiri atas: Kepala Desapraja, Badan Musyawarah, Badan pertimbangan, Panitera, dan pamong Desapraja.
Pada Orde baru dikeluarkan Surat Edaran Mendagri No 5/1/1969, desa dan daerah setingkat secara hirarkis langsung dibawah camat. Dikeluarkanlah UU No 5 Tahun 1979, sebagai berikut:
1. Desa kesatuan masyarakat hukum mempunyai organisasi terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan sendiri rumah tangganya.
2. Terdiri atas kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa
3. Kepala desa dibantu perangkat desa yang terdiri atas unsure staf dan pelaksan, yaitu sekretaris desa dan kepala dusun.
4. Sekretaris desa memimpin kepala urusan. 5. Desa bukanlah daerah otonom.
6. Desa bukanlah satuan wilayah, melainkan bagian dari wilayah kecamatan. 7. Desa adalah berkedudukan langsung di bawah camat.
c. Pemerintahan Desa pada Masa Reformasi
Terjadi reformasi setelah Soeharto mengundurkan diri terjadi perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintah. Dikeluarkanlah UU No 22 Tahun 1999 desa adalah kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan asal usul dan diakui Pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
UU No 32 Tahun 2004 menganut prinsip-prinsip demokraasi,partisipasi masyarakat, pemerataan. Desa diatur diatur sbb: Status desa dikembalikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat, nomenklatur desa bisa menggunakan nama lain sesuai adat istiadat, lembaga perwakilan rakyat sebagai pengayom adat,legislasi, dan pengawasan. Desa berada di bawah pemerintah kabupaten/kota. Dari kata mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri berarti desa mempunyai otonomi.Otonomi berdasarkan adat istiadat setempat yang dimiliki sejak dahulu kala dan menjadi melekat.Otonomi desa bukan berasal dari peraturan perundang-undangan. Jadi undang-undang hanya mengakui urusan desa bukan ikut mengatur.
5. Empat Tipe Desa
Ada empat tipe desa sejak awal pertumbuhan sampai sekarang:
1. Desa Adat ( self-governing community). Bentuk desa asli dan tertua di Indonesia. Otonomi asli merujuk pengertian desa adat.Desa ini mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan sendiri tanpa campur tangan dari Pusat. Desa adat diakui keberadaannya Pada Ordonansi Kolonial Belanda dalam IGO,IGOB, dan Desa ordonantie.
2. Desa Administrasi merupakan satuan wilayah administrasi memberikan pelayanan administrasi dari Pemerintah Pusat. Desa dibentuk oleh negara dan kepanjangan tangan negara. Desa ini tidak mempunyai otonomi dan demokrasi.
3. Desa otonom sebagai local self-government Dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dengan undang-undang. Desa otonom mendapat transfer kewenangan yang jelas dari pemerintah pusat, berhak membentuk lembaga pemerintah sendiri, mempunyai badan pembuat kebijakan
desa, berwenang membuat peraturan, dan memperoleh desentralisasi keuangan dari negara. 4. Desa campuran mempunyai kewenangan campuran antara otonomi asli dan semi otonomi
formal. Disebut otonomi asli karena diakui oleh Undang-Undang dan diberi kewenangan dari Kabupaten/kota. Disebut semiotonom karena penyerahan urusan pemerintahan dari daerah otonom kepada pemerintahan dibawahnya tidak dikenal dalam desentralisasi. Desa di bawah UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004 adalah tipe desa campuran.