• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII)

Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia merupakan yayasan non profit yang bekerja di bidang sosial dan kemanusiaan serta bersifat kekeluargaan. Yayasan ini berdiri pada tanggal 19 Juni 2009 di Lido, Sukabumi. Yayasan resmi berbadan hukum pada tahun 2008. Sejak saat itu, yayasan bertempat di Bogor hingga saat ini. Anggota dari yayasan ini adalah orang-orang yang menaruh minat dalam pembinaan dan pendidikan warga istimewa (anak penyandang autis dan spektrumnya).

Yayasan bertujuan untuk mecapai kemandirian warga istimewa dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Adapun visi dari yayasan yaitu memberikan pelayanan, perhatian, pengawasan, dan perlindungan kepada warga istimewa (anak penyandang autis dan spektrumnya) dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa; menjamin terpenuhinya kebutuhan pendidikan (pembinaan) yang layak bagi warga istimewa; menjamin diperolehnya persamaan hak dan kewajiban (kesempatan) warga istimewa dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

Kepengurusan dari yayasan terdiri dari dewan pengawas, dewan pembina, pengurus, dan anggota. Wujud kegiatan yang biasa diadakan oleh yayasan berupa pendidikan bimbel bagi anak istimewa, kegiatan terapi kuda dan lumba-lumba, serta berenang. Selain itu, yayasan juga mengadakan berbagai kegiatan bersama anak dan orang tua bekerjasama dengan lembaga lain seperti sekolah inklusi SDN Semeru dan LSC Sekolah Alam, misalnya dalam acara perayaan hari autis. Anak-anak yang melakukan bimbel di yayasan sebagian juga bersekolah di SDN Semeru dan LSC Sekolah Alam.

SDN Perwira

SDN Perwira merupakan satu dari sedikit sekolah inklusi yang berada di kota Bogor dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus yang mencapai 70% dari seluruh jumlah siswanya. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1977 dan berakreditasi B. SDN Perwira berlokasi di Jl. Perwira no. 4 Kelurahan Pabaton, Kecamatan Bogor Tengah. Sumberdaya manusia yang terdapat di sekolah ini yaitu seorang kepala sekolah dan 11 orang guru. SDN perwira memiliki tujuan agar peserta berkebutuhan khusus usia wajib belajar dapat memperoleh layanan pendidikan sama seperti peserta didik pada umumnya tanpa melihat kekhususan dan

(2)

menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan sesuai dengan kemampuan atau potensi peserta didik.

Karakteristik Contoh Usia

Usia contoh pada penelitian berkisar antara 6 sampai 16 tahun. Contoh sebagian besar (43,3%) berusia 8-9 tahun. Pengelompokkan usia hanya dilakukan untuk melihat sebaran anak penyandang autis pada setiap kelompok usia satu tahun.

Contoh sebagian besar (93,40%) termasuk pada kategori usia anak sekolah. Menurut Hurlock (1999), masa ini merupakan masa akhir masa kanak-kanak (late childhood) yang berlangsung dari usia 6 tahun sampai tiba saatnya anak menjadi matang secara seksual, yaitu 13 tahun bagi anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki. Golongan umur anak sekolah ini belum mencapai dewasa dan merupakan generasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam konsumsi pangannya. Pola makan pada masa ini perlu mendapat perhatian khusus, karena pola konsumsi saat ini akan terbawa terus sampai dewasa.

Anak autis yang semakin cepat terdeteksi dan ditangani maka semakin besar kemungkinan untuk membaik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Budhiman (1999) dalam Kusumayanti D et al. (2005) bahwa hal tersebut dimungkinkan karena sel otak pada usia dini masih dapat dirangsang untuk membentuk cabang baru, sehingga modifikasi perilaku yang bersifat positif masih mungkin dikembangkan pada anak penyandang autis.

Tabel 3 Distribusi jenis kelamin contoh berdasarkan usia Usia

(tahun)

Jenis kelamin Total

Laki-laki Perempuan n % n % n % 6-7 2 6,7 2 6,7 4 13,3 8-9 10 33,3 3 10,0 13 43,3 10-11 4 13,3 2 6,7 6 20,0 12-13 5 16,7 0 0,0 5 16,7 14-15 1 3,3 0 0,0 1 3,3 16-17 1 3,3 0 0,0 1 3,3 Total 23 76,7 7 23,3 30 100,0 Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 76,7% contoh berjenis kelamin laki-laki. Contoh berjenis kelamin perempuan yang menderita autis sebanyak 23,3%. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mashabi NA. dan Tajudin NR (2009)

(3)

bahwa prevalensi anak laki-laki penyandang autis tiga sampai empat kali lebih besar daripada anak perempuan.

Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki hanya memiliki satu kromosom X. Kegagalan fungsi pada gen yang terdapat di salah satu kromosom X pada anak perempuan dapat digantikan oleh gen pada kromosom lainnya. Sementara pada anak laki-laki tidak terdapat cadangan ketika kromosom X mengalami keabnormalan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan autis (Wargasetia 2003).

Karakteristik Keluarga Contoh Besar Keluarga

Besarnya jumlah anggota keluarga mempengaruhi pemenuhan konsumsi makanan dari masing-masing anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga yang besar akan meningkatkan pemenuhan kebutuhan makanan yang dikonsumsi. Jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga (Suhardjo 2003).

Tabel 4 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga. Contoh sebagian besar (70%) berasal dari keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga antara 3-4 orang. Keluarga contoh umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak. Contoh dengan besar keluarga kecil memungkinkan lebih sedikitnya kejadian status gizi kurang. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suhardjo (2003) bahwa umumnya kejadian kurang energi protein berat sedikit dijumpai pada keluarga yang memiliki anggota lebih kecil.

Semakin besar jumlah anggota keluarga, maka pengasuhan yang diberikan pada anak dalam keluarga dapat dilakukan oleh beberapa pengasuh. Perhatian dan kasih sayang yang kurang optimal dari orang tua dapat menurunkan kualitas pengasuhan dan menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak autis. Hal tersebut dapat disebabkan karena tidak adanya kesepakatan dalam keluarga. Kerjasama yang baik antara suami dan istri serta keduanya fokus dalam hal pengasuhan maka perkembangan anak autis

(4)

akan dapat diamati secara seksama (Grandin 1995 dalam Wieke 2008). Hal tersebut sangat penting terutama untuk pengaturan pola makan anak.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga n %

Kecil (≤ 4 orang) 21 70

Sedang (5-6 orang) 9 30

Rata-rata ± SD 4,2 ± 0,92

Total 30 100

Usia Orang Tua

Usia dewasa menurut Hurlock (1999) dikategorikan menjadi dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun). Usia ayah contoh sebagian besar (70,0%) berada pada kategori dewasa madya yaitu pada kisaran usia 41-50 tahun. Usia ibu contoh sebagian besar (80,0%) berada pada kelompok dewasa awal dengan kisaran usia 31-40 tahun. Rata-rata usia ayah contoh adalah 43,2 tahun dan rata-rata usia ibu contoh adalah 37,47 tahun. Tabel 5 menunjukkan sebaran usia orang tua contoh.

Tabel 5 Sebaran usia orang tua contoh

Kategori Usia Ayah Ibu

n % n %

Dewasa Awal (18-40 tahun) 9 30,0 24 80,0

Dewasa Madya (41-60 tahun) 21 70,0 6 20,0

Dewasa Lanjut (>60 tahun) 0 0,0 0 0,0

Total 30 100,0 30 100,0

Usia orang tua akan mempengaruhi kualitas pengasuhan terhadap anaknya. Usia biasanya mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menjalani proses-proses dalam kehidupannya. Tahapan kehidupan salah satunya dijalani dengan berkeluarga. Usia orang tua dapat mempengaruhi kesiapan menjalankan peranannya, terutama dalam memenuhi kebutuhan anak untuk menunjang tumbuh kembang yang optimal (Anfamedhiarifda 2006).

Usia yang semakin bertambah, akan membuat seseorang lebih mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan cukup baik tanpa emosional. Masa dewasa dini adalah masa seseorang memiliki banyak masalah baru dalam hidup karena pada masa ini seseorang sedang berada pada masa penyesuaian diri dengan cara hidup yang baru (Hurlock 1999). Rentang usia orang tua contoh berada pada masa dewasa dini (18-40 tahun) dan dewasa madya (40-60 tahun). Semakin bertambahnya usia orang tua diharapkan perhatian dan pengasuhan terhadap anak terutama anak autis yang membutuhkan penanganan khusus juga semakin baik.

(5)

Pendidikan Terakhir

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan terutama ibu, dapat mempengaruhi konsumsi keluarga. Tingkat pendidikan ibu yang tinggi akan mempermudah penerimaan informasi tentang gizi dan kesehatan anak serta mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Fallah 2004 dalam WKNPG 2004).

Berdasarkan tabel 6 sebanyak 33,33% pendidikan terakhir ayah dan 40% pendidikan terakhir ibu adalah tamat SMA. Selain tamat SMA, pendidikan terkahir ayah yang cukup banyak yaitu sarjana strata 1 sebanyak 30%. Sementara tingkat pendidikan ibu contoh yang paling tinggi adalah strata 1. Tingkat pendidikan yang baik diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang pilihan makanan yang baik untuk anaknya serta mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Wieke (2008), ibu yang berpendidikan rendah mampu memberikan kualitas pengasuhan yang terbaik untuk anaknya sehingga pertumbuhan dan perkembangan anaknya pun akan semakin baik. Hal tersebut berbeda dengan ibu yang berpendidikan tinggi tetapi kurang memberikan kualitas pengasuhan yang terbaik untuk anaknya, maka pertumbuhan dan perkembangan anaknya pun akan terhambat. Jadi, berhasil atau tidak ibu mendidik anak bukan dilihat dari faktor lama pendidikan saja tetapi yang terpenting adalah kualitas pengasuhan yang diberikan.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua

Pendidikan Ayah Ibu

n % n % Tamat SD 3 10,00 4 13,33 Tamat SMA 10 33,33 12 40,00 Diploma 1/2/3 5 16,67 7 23,33 S1 9 30,00 7 23,33 S2/S3 3 10,00 0 0,00 Total 30 100 30 100 Pekerjaan

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner, ayah contoh sebagian besar (36,67%) bekerja sebagai wiraswasta. Ibu contoh sebagian besar (76,67%) merupakan ibu rumah tangga. Anak autis memerlukan perhatian ekstra dari ibu sebagai pengasuh utama sehingga banyak diantara ibu contoh yang berhenti bekerja untuk lebih memperhatikan dan mengasuh anaknya secara langsung. Ibu adalah orang yang paling berperan dalam perkembangan anak, sehingga

(6)

anak yang selalu berada di bawah pengawasan ibu diharapkan akan mendapatkan kualitas pengasuhan yang terbaik sehingga perkembangan anak pun akan terarah dengan baik. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Latifah (2004) bahwa 72% ibu dengan anak autis di kota Bogor merupakan ibu rumah tangga.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua

Pekerjaan Ayah Ibu

n % n %

Pedagang 4 13,33 1 3,33

Buruh/non tani 3 10,00 0 0,00

PNS/ABRI/Polisi 7 23,33 2 6,67

Wiraswata 11 36,67 4 13,33

Ibu rumah tangga 0 0,00 23 76,67

Lainnya 5 16,67 0 0,00

Total 30 100,00 30 100,00

Pendapatan Keluarga

Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Pendapatan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Menurut hukum Bennet, peningkatan pendapatan akan cenderung mempengaruhi individu untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangannya yang lebih bergizi tinggi dan pola konsumsinya akan lebih beragam (Soekirman 2000).

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga

Pendapatan keluarga n % ≤2,5 juta 7 23,33 2,51-5 juta 8 26,67 5,1-7,5 juta 9 30,00 7,51-10 juta 4 13,33 >10,1 juta 2 6,67 Total 30 100,00

Pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari pendapatan seluruh anggota keluarga baik dari hasil pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan. Pendapatan keluarga contoh sebagian besar (30%) antara Rp. 5.000.001 - Rp. 7.500.000. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi.

Hasil penelitian Wieke (2008) menyebutkan bahwa 41,9% alokasi biaya terbesar yang dikeluarkan untuk merawat anak autis berkisar >Rp. 1.200.000 per bulan. Anak autis memiliki beberapa gangguan dalam tubuhnya, sehingga

(7)

membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya yang dikeluarkan orang tua untuk anak autis antara lain untuk kebutuhan terapi, suplemen dan makanan khusus, serta tes-tes alergi yang dibutuhkan anak.

Menurut Edi (2003), pada studi awal diduga bahwa penyandang autis hanya terdapat pada keluarga dengan kelas sosial ekonomi tingggi. Penemuan terbaru menemukan bahwa lebih dari 25 tahun yang lalu kasus ini meningkat pada kelompok sosial ekonomi rendah. Penemuan ini diduga bertambah karena meningkatnya kesadaran terhadap autis maupun tersedianya pekerja-pekerja kesehatan mental anak bagi keluarga miskin. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh bahwa masih terdapat sebanyak 23,33% keluarga contoh yang berpenghasilan kurang dari Rp. 2.500.000.

Akses Informasi

Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman, buku, dan surat kabar (Tjitarsa IB 1992). Akses ibu terhadap informasi dapat menjadi indikator kemampuan ibu untuk merawat anak secara lebih baik. Berbagai informasi gizi dan kesehatan dapat diperoleh dengan melihat atau mendengar sendiri, melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar/majalah, mendengarkan siaran radio, menyaksikan siaran televisi atau melalui penyuluhan (Engle et al. 1997 dalam Milyawati 2008).

Pertanyaan-pertanyaan terkait akses informasi meliputi pertanyaan tentang sumber informasi yang ibu peroleh, penerapan dari informasi yang diperoleh, bentuk tindakan ibu untuk mengatasi masalah anak, jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang biasa digunakan, serta frekuensi penggunaan layanan kesehatan.

Ibu sebagian besar (73,3%) mengaku sudah pernah tahu ataupun mendengar tentang autis sebelum mengetahui bahwa anaknya mengalami autis. Akan tetapi ternyata masih ditemukan sebanyak 26,7% ibu yang belum pernah mengetahui sama sekali mengenai autis. Tindakan awal ibu yang biasa dilakukan saat mengetahui bahwa anaknya mengalami autis beranekaragam. Ibu sebagian besar (86,7%) lebih memilih untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan tenaga profesional seperti dokter untuk menentukan tindakan selanjutnya yang harus dilakukan terhadap anak. Ibu yang semakin awal menyadari anaknya mengalami autis dan semakin cepat melakukan tindakan maka semakin cepat pula anak menunjukkan perkembangan. Tenaga ahli

(8)

diharapkan dapat menjadi pilihan pertama untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan pada anak.

Ibu sebagian besar (56,7%) mengetahui bahwa gejala yang timbul pada anaknya adalah autis dari media televisi, koran, majalah, atau internet. Ibu lainnya mengetahui saat diperiksakan ke dokter, diberitahu orang lain, ataupun dengan mengamati tanda-tanda yang muncul pada anak. Ibu yang pernah mendengar tentang autis sebelumnya memiliki perhatian yang lebih ketika mengamati gejala autis yang timbul pada anak.

Tabel 9 Sebaran ibu berdasarkan informasi dan tindakan awal ibu, sumber informasi dan penerapannya

Akses informasi Persentase (%)

Informasi awal tentang autis

Pernah tahu 73,3

Tidak tahu 26,7

Total 100,0

Tindakan awal ibu

Membiarkan saja 6,7

Berkonsultasi dengan

tenaga profesional 86,7

Membawa anak ke terapis 3,3

Lainnya 3,3

Total 100,0

Sumber informasi

Media 56,7

Diagnosa dokter 20,0

Diberitahu orang lain 16,7

Lainnya 6,7 Total 100,0 Penerapan informasi Langsung menerapkan 50,0 Tidak peduli 10,0 Berkonsultasi dengan dokter/terapis 26,7 Lainnya 13,3 Total 100,00

Umumnya sebagian besar (50,0%) ibu mengaku langsung menerapkan informasi yang diperoleh dari media tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan tenaga profesional seperti dokter. Ibu yang biasa berkonsultasi dengan tenaga profesional terlebih dahulu seperti dokter atau terapis hanya sebanyak 10,0%. Ibu sebagian kecil (13,3%) menerapkan informasi dengan membandingkan literatur yang pernah dibaca atau pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Selain itu, masih ditemukan ibu yang tidak peduli dengan informasi apapun mengenai anak autis sebanyak 10,0%. Ibu sebaiknya tidak langsung mengaplikasikan informasi yang diterima kepada anak. Hal ini mengingat gejala dari autis sendiri yang bersifat khas pada setiap anak. Ibu dapat berkonsultasi dengan tenaga profesional seperti dokter atau terapis ataupun bertukar pendapat dengan orang tua lain yang memiliki kasus serupa. Terapis umumnya adalah seseorang yang

(9)

memiliki latar belakang kependidikan dari disiplin ilmu yang sesuai, seperti pendidikan guru taman kanak-kanak, pendidikan guru sekolah dasar, sarjana pendidikan luar biasa atau sarjana psikolog. Selain itu, seseorang dari disiplin ilmu yang lain dapat pula menangani anak autis setelah mengikuti pelatihan dan bimbingan.

Tabel 10 Sebaran ibu berdasarkan jenis, frekuensi kunjungan, alasan kedatangan, dan keikutsertaan dalam seminar atau penyuluhan

Pelayanan kesehatan n % Jenis pelayanan kesehatan Rumah sakit/Puskesmas/Klinik 22 73,3 Terapis 8 26,7 Total 30 100,0 Frekuensi informasi/kunjungan ke dokter/terapis Tidak pernah 7 23,3 Jarang (1-3 x/6bln) 7 23,3 Sedang (1x/bln-2-3x/bln) 6 20,0

Sering (1x/minggu-setiap hari) 10 33,3

Total 30 100,0

Alasan datang ke terapis

Ikut-ikutan 1 3,3

Saran dokter 22 73,3

Informasi dari media 2 6,7

Lainnya 5 16,7 Total 30 100,0 Keikutsertaan dalam seminar/penyuluhan Pernah 18 60,0 Tidak pernah 12 40,0 Total 30 100,0

Jenis pelayanan kesehatan yang umumnya digunakan oleh ibu adalah rumah sakit atau puskesmas (73,3%). Ibu sebagian kecil (26,7%) menggunakan layanan terapis untuk mengkonsultasikan dan memeriksakan anaknya. Frekuensi kunjungan ke dokter atau terapis bervariasi antar ibu. Ibu sebagian besar (33,3%) mengaku sering datang ke dokter/ terapis minimal 1 kali seminggu. Ibu lain memiliki frekuensi sedang (1-3 kali dalam sebulan) sebanyak 20,0% dan jarang (1-3 kali dalam 6 bulan) sebanyak 23,3%. Ibu mengaku hanya sekali membawa anaknya pada pemeriksaan awal ke rumah sakit atau puskesmas dan tidak melakukan tindakan lebih lanjut. Ibu beralasan bahwa gejala yang timbul pada anaknya tidak terlalu berat. Selain itu, ibu terlalu sibuk sehingga tidak bisa meluangkan waktu untuk membawa anaknya ke dokter atau terapis.

Menurut Owen et al. (2000), pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang. Ketersediaan akses pangan, pola asuh, dan pelayanan kesehatan merupakan penyebab tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi. Ibu yang rutin membawa anaknya menjalani pelayanan kesehatan diharapkan memiliki anak yang berstatus gizi baik.

(10)

Alasan ibu yang membawa anaknya ke terapis sebagian besar atas anjuran dari dokter (73,33%). Sedangkan yang lainnya ada yang mendapatkan informasi dari media atau mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua anak autis lainnya. Kunci kesembuhan anak autis yang terbaik terbagi menjadi dua, yaitu intervensi perilaku dan intervensi biomedis. Tujuan dari terapi adalah agar anak mampu untuk berintegrasi dan berinteraktif dalam berbagai lingkungan dalam kehidupannya. Keberhasilan suatu terapi sendiri menurut Handojo (2003), dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia awal terapi, intensitas terapi, berat ringannya Autism Syndrom Disorder (ASD), Intelligent Quotient (IQ) anak, dan kerusakan pada pusat bicara anak. Selain akses terhadap layanan kesehatan dan pemberian terapi bagi anak, terdapat pula berbagai seminar atau penyuluhan tentang autis. Ibu sebagian besar (60%) mengaku pernah mengikuti seminar atau penyuluhan tentang anak autis. Kegiatan seminar atau penyuluhan diharapkan dapat menambah pengetahuan ibu tentang anak autis.

Pendidikan seseorang menentukan pengetahuan dari orang tersebut. Perkembangan stimulasi seorang anak dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tua. Orang tua yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup, maka anak akan kekurangan atau bahkan tidak mendapatkan stimulasi perkembangan yang cukup dan sesuai dengan tahapan usianya. Ibu yang memiliki pendidikan yang tinggi, cenderung memberikan pengasuhan makan yang sesuai dengan kebutuhan anaknya. Menurut hasil penelitian Syafitri (2008) kualitas pengasuhan makan pada anak autis umumnya adalah kualitas sedang yaitu sebesar 71.0% dimana pendidikan terakhir ibu sebagian besar (35,5%) adalah tamat SMA. Ibu yang berpendidikan tinggi memiliki akses terhadap informasi-informasi terbaru baik yang berasal dari buku, koran, majalah, ataupun internet (Gunarsa&Gunarsa 1995).

Pengetahuan Ibu

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara pengolahan makan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat (Notoatmodjo 2003). Pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan yaitu (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk tumbuh optimal, pemeliharaan tubuh dan memenuhi kecukupan energi, (3) ilmu

(11)

gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 2003).

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada penelitian ini masing-masing diberi skor kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kurang, sedang, dan baik. Pengkategorian pengetahuan gizi didasarkan pada Khomsan (2000) yang membagi pengetahuan gizi menjadi tiga, yakni baik dengan skor >80%, sedang dengan skor 60-80%, dan kurang dengan skor <60%.

Nilai minimum yaitu 8 jawaban benar dari 20 pertanyaan dan nilai maksimum yaitu 19 jawaban benar dari 20 pertanyaan. Berdasarkan hasil yang diperoleh 66,7% ibu memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Berdasarkan hasil tersebut diharapkan ibu dapat memberikan pilihan makanan yang tepat bagi anaknya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suhardjo (2003) bahwa pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah dan buruk. Ibu memiliki peranan utama dalam menyediakan dan mengolah makanan bagi keluarga. Pemberian makanan yang tepat sangat diperlukan bagi anak autis, sehingga pengetahuan ibu tentang makanan bagi anak autis menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Pengetahuan yang baik dapat disebabkan oleh tingkat pendidikan ibu yang didominasi tamatan SMA/Sederajat serta memadainya akses terhadap informasi gizi dan kesehatan melalui media ataupun layanan kesehatan seperti dokter dan terapis.

Tabel 11 Distribusi tingkat pengetahuan ibu berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat

pendidikan

Tingkat pengetahuan Total

Baik Sedang Kurang

n % n % n % n % Tamat SD 3 10,0 0 0,0 1 3,3 4 13,3 Tamat SMA 6 20,0 4 13,3 2 6,7 12 40,0 Diploma 1/2/3 6 20,0 1 3,3 0 0,0 7 23,3 S1 5 16,7 1 3,3 1 3,3 7 23,3 Total 20 66,7 6 20,0 4 13,3 30 100,0

Pengetahuan yang diukur dalam penelitian ini yaitu berupa pertanyaan umum mengenai gizi dan secara spesifik tentang autis dan pengaturan makan untuk anak autis khususnya pemberian makanan sumber gluten dan kasein. Pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan benar oleh ibu adalah pertanyaan mengenai autis dan keterkaitan makanan dengan gejala autis serta pilihan makanan untuk anak autis. Rata-rata pertanyaan tersebut dijawab benar oleh 90% ibu. Sementara jawaban yang paling banyak dijawab salah oleh ibu adalah perbandingan jenis kelamin pada anak penderita autis (40%).

(12)

Sebanyak 90% ibu mengetahui bahwa autis adalah jenis penyakit yang diturunkan dan lebih sedikit dijumpai pada anak perempuan. Dumas dan Nielsen (2003), menyatakan bahwa peluang autis pada anak laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, yakni empat hingga lima kali lebih besar dibandingkan anak perempuan. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan antara autis dan faktor-faktor genetik, tetapi bukan berarti bahwa semua kasus autis disebabkan oleh peranan faktor genetik (McCandless 2003). Genetik merupakan salah satu penyebab dari autis.

Ibu sebagian besar (80%) mengetahui bahwa terapi dapat mengurangi gejala pada anak tetapi tidak dapat menyebuhkan 100%. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yusuf W (2003) dalam Milyawati (2008), autis terjadi karena adanya kelainan pada otak sehingga tidak dapat diperbaiki atau disembuhkan, namun gejala-gejala yang ditimbulkan dapat dikurangi secara maksimal sehingga anak autis dapat bersosialisasi dengan anak-anak lainnya secara normal.

Ibu sebagian besar (95%) mengetahui bahwa makanan bukanlah penyebab dari autis. Menurut McCandless (2003), anak autis menderita gangguan saluran cerna. Gangguan tersebut diantaranya adalah ketidakmampuan anak untuk mencerna, menyerap, dan atau memfungsikan zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya dengan baik. Penyebab lain dari autis adalah adanya interaksi antara sistem imun dengan saluran cerna yang menyebabkan peradangan saluran cerna, pertumbuhan jamur yang berlebihan sehingga melukai saluran cerna, serta kondisi leaky gut (adanya lubang-lubang kecil pada mukosa usus sehingga meningkatkan permeabilitas usus) yang menyebabkan opioid (opioid bersifat layaknya obat-obatan seperti opium, morfin, dan heroin yang bekerja sebagai toksin/racun yang dapat mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas, serta menimbulkan gangguan perilaku) dan zat-zat beracun lainnya merembes memasuki aliran darah. Makanan bukanlah penyebab dari autis akan tetapi dapat meningkatkan kemungkinan semakin beratnya gejala yang timbul pada anak autis terkait gangguan metabolisme yang umumnya dialami oleh anak autis.

Intervensi diet khusus bagi anak penyandang autis akan sangat bermanfaat untuk mengurangi manifestasi klinis yang terjadi, sehingga dapat membantu dalam perbaikan tingkah laku. Pemberian makanan yang tepat dapat mengurangi perilaku hiperaktif, mengulang-ulang kegiatan, dan memperbaiki

(13)

kontak mata pada anak. Hal ini diketahui dengan baik oleh 90% ibu yang telah menjawab pertanyaan dengan benar.

Pola makan pada anak autis harus mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan perkembangan (McCandless 2003). Keseimbangan jumlah asupan zat gizi yang dikonsumsi oleh anak penting untuk diperhatikan demi mencegah terjadinya kejadian malnutrisi pada anak. Ibu sebagian besar (95%) menjawab dengan benar pernyataan tersebut, sehingga diharapkan dalam prakteknya ibu dapat memberikan asupan makanan yang berimbang, beragam, dan bergizi bagi anak.

Menurut Soetardji & Soenardi (2002), memberikan makanan yang bervariasi penting dilakukan untuk mencegah anak merasa bosan dengan makanan yang sama. Siklus menu pada anak autis perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka terhadap makanan tertentu. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak sebaiknya tidak diberikan kebebasan dalam memilih makanannya. Sebanyak 85% ibu mengetahui pentingnya pemberian makanan yang bervariasi, pemberian siklus menu agar anak tidak merasa bosan, dan mengetahui bahwa anak sebaiknya tidak dibebaskan dalam memilih makanan. Akan tetapi, dalam praktiknya masih ditemukan ibu yang tidak memberikan siklus menu pada anak. Ibu mengaku bahwa agak sulit untuk mengatur hal tersebut yang disebabkan antara lain keterbatasan ketersediaan bahan makanan dan keinginan anak.

Anak yang menderita autis sebaiknya melakukan diet khusus sesuai dengan keluhan yang dialami. Salah satu diet yang umum dilakukan adalah diet GFCF. McCandless (2003), menyatakan bahwa diet GFCF merupakan langkah penting yang bisa dilakukan oleh orang tua tanpa terlebih dahulu melakukan tes di laboratorium. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak (Sari ID 2009). Hal ini dikarenakan gluten dan casein dapat mengakibatkan anak menjadi lebih aktif, tantrum, bahkan tidak bisa diam sehingga kondisi anak dapat menurun.

Makanan-makanan sumber gluten dan kasein seperti tepung terigu, susu sapi, mie (berbahan tepung terigu), dan roti merupakan jenis makanan yang sebaiknya dihindari. Pada pernyataan “makanan yang terbuat dari tepung terigu perlu dihindari” masih ditemukan cukup banyak ibu (35%) yang belum

(14)

mengetahui bahwa tepung terigu adalah jenis makanan yang perlu dihindari. Hal yang sama ditemukan pada pernyataan “susu sapi adalah makanan yang baik bagi anak autis”. Sebanyak 35% ibu belum mengetahui bahwa susu sapi adalah makanan yang sebaiknya dihindari oleh anak.

Menurut Suryana (2004), anak autis juga perlu menghindari pemakaian bahan panambah rasa saperti MSG dan pewarna buatan. Ibu sebagian besar (80% dan 90%) mengetahui hal tersebut. Beberapa zat pewarna dapat merusak DNA yang menyebabkan mutasi genetik dan dapat mempengaruhi organ penting seperti syaraf otak (Sjambali 2003 dalam Latifah 2004). Bahan pewarna yang sering menimbulkan alergi adalah tatrazine, bahan pengawet asam benzoat, dan bahan penambah rasa monosodium glutamat (Munasir 2003). Alternatif bahan pewarna dapat menggunakan bahan alami seperti daun pandan, kunyit, dan buah bit merah. Bahan-bahan untuk membuat gurih dan mempertajam rasa juga dapat menggunakan bahan-bahan alami seperti jahe, kunyit, dan bumbu-bumbu lainnya.

Ibu sebagian besar (65%) mengetahui bahwa konsumsi suplemen diberikan sesuai dengan kebutuhan anak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lewis (1988) dalam Latifah (2004) bahwa terdapat banyak vitamin, mineral, asam amino, dan suplemen rempah (misalnya K-link sage plus dengan kandungan akar sage merah) yang dapat membantu anak autis. Sebagian dari suplemen tersebut tidak dianjurkan kecuali tes tertentu menunjukkan adanya defisiensi, namun sebagian yang lain sering dicoba karena diduga aman dan dapat mempengaruhi gejala autis pada anak. Hal yang harus dilakukan adalah konsultasi dengan dokter atau ahli gizi yang mengetahui dengan pasti mengenai kebutuhan anak autis dan terapi alternatif.

Konsumsi Pangan

Kebiasaan makan didefinisikan sebagai cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengonsumsi dan menggunakan makanan-makanan yang tersedia, yang didasarkan pada faktor-faktor sosial budaya dimana manusia hidup. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan yang baik dimulai di rumah, atas bimbingan dari orang tua dan anggota keluarga yang lainnya. Kebiasaan makan ada yang baik dan ada yang buruk bila dipandang dari segi gizi.

Konsumsi makan yang diamati dalam penelitian ini meliputi kebiasaan memilih makanan, diet GFCF (Gluten Free Casein Free), alergi makanan,

(15)

konsumsi suplemen, dan makanan yang disukai. Menurut Kusumayanti et al. (2005), anak autis memiliki pilihan makanan yang terbatas dan termasuk kategori yang suka memilih-milih makanan yang diberikan oleh ibu.

Frekuensi Konsumsi Pangan

Frekuensi makan merupakan salah satu bentuk kebiasaan makan seseorang. Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, per minggu maupun per bulan. Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intake konsumsi zat gizi.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi frekuensi makan, seperti faktor ekonomi, kebiasaan, dan pola sosial budaya. Frekuensi makan pada orang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang kondisi ekonominya lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi.

Contoh sebagian besar (93,33%) mengonsumsi makanan lengkap sebanyak tiga kali makan utama dalam sehari. Makanan lengkap biasanya diberikan pada makan siang dan sore atau malam. Di pagi hari sayuran jarang diberikan. Konsumsi makanan selingan bervariasi untuk setiap contoh, namun sebagaian besar (83,33%) contoh mengonsumsi selingan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari.

Siklus Menu

Porsi makanan yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan anak untuk mengonsumsinya. Ibu sebagian besar (83,33%) tidak menerapkan siklus menu bagi anaknya sehingga cenderung memberikan makanan sesuai dengan bahan makanan yang tersedia. Ibu yang memberikan siklus menu bagi anaknya menerapkan menu empat hari berdasarkan pemberian protein hewani. Ayam diberikan pada hari pertama, daging sapi pada hari kedua, telur pada hari ketiga dan ikan pada hari keempat, kemudian siklus tersebut diulang lagi pada hari kelima.

Siklus menu pada anak autis perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka terhadap makanan tertentu. Selain itu, siklus menu dilakukan untuk mengetahui tingkat sensitivitas anak terhadap makanan yang diberikan. Pemberian siklus menu ini memiliki konsekuensi yaitu ibu tidak selalu mengikuti

(16)

kesukaan anaknya karena khawatir ada pengaruh makanan yang diberikan terhadap gejala autisme. Siklus menu umumnya dilakukan atas saran dokter dan disesuaikan dengan hasil pemeriksaan alergi. Penerapann siklus menu terkadang lebih banyak dipengaruhi oleh hasil pengamatan ibu terhadap tingkat sensitivitas anaknya pada jenis makanan tertentu.

Makanan yang Disukai

Contoh sebagian besar (70%) tidak memiliki makanan favorit, hanya sejumlah 30% contoh yang memiliki makanan favorit. Jenis sayuran yang umumnya disukai contoh adalah sayur asem, labu siam, dan bayam. Buah yang paling banyak disukai adalah jambu biji, pisang, pepaya, dan melon. Kelompok lauk hewani yang disukai contoh biasanya terdiri dari ayam, ikan, dan daging sapi. Kelompok makanan lain yang disukai contoh adalah mie goreng, soto, coklat, yoghurt, baso, gorengan, dan bihun. Perlu dipahami bahwa jenis makanan untuk masing-masing contoh memiliki perbedaan untuk setiap individu.

Jenis makanan apapun boleh diberikan pada anak asalkan tidak memperparah gejala autis yang timbul. Akan tetapi, apabila makanan yang disukai tersebut memperparah gejala yang timbul (misalnya mie, yoghurt, baso, dan gorengan yang mengandung gluten dan kasein) ibu sebaiknya mengurangi konsumsi makanan tersebut secara bertahap sebelum akhirnya menghentikan konsumsinya sama sekali. Hal tersebut dilakukan agar anak tidak merasa terpaksa untuk melakukannya.

Makanan yang Biasa Dikonsumsi

Anak autis memiliki keterbatasan dalam pilihan makanan, karena mereka tidak boleh mengonsumsi jenis makanan tertentu. Jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh contoh dikelompokkan ke dalam makanan sumber karbohidrat, protein, sayuran, buah, dan makanan ringan (snack).

Kelompok makanan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi adalah nasi, roti, kentang, mie, dan bihun. Roti dan mie berbahan dasar tepung terigu merupakan salah satu bahan makanan sumber gluten. Menurut Soetardji dan Soenardi (2002), pemilihan makanan sumber karbohidrat bagi anak autis dipilih yang tidak mengandung gluten. Contoh makanan yang baik dikonsumsi adalah beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioka, ararut, maizena, bihun, dan soun.

Kelompok protein hewani yang paling banyak dikonsumsi adalah ayam dalam berbagai bentuk masakan, serta produk-produk olahan ayam seperti

(17)

nugget dan sosis. Sumber protein hewani lain adalah daging sapi, telur, udang, hati ayam dan ikan. Beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari oleh anak autis menurut Soetardji dan Soenardi (2002), adalah daging yang diolah dan diawetkan seperti sosis dan sumber gluten terselubung yang salah satunya terdapat dalam produk olahan ayam yaitu nugget. Berdasarkan data yang diperoleh masih ditemukan contoh yang terbiasa mengonsumsi pangan seperti sosis dan nugget, sehingga diharapkan ibu dapat mengurangi konsumsi pangan tersebut. Produk olahan nugget dapat tetap diberikan asalkan dibuat sendiri tanpa adanya tambahan bahan sumber gluten atau kasein dan bahan pengawet. Sosis siap konsumsi yang dijual di pasaran umumnya memakai bahan pengawet dan bahan aditif lainnya. Sosis tiruan dari daging giling yang dibuat sendiri dapat menjadi alternatif makanan bagi anak.

Ibu merasa khawatir untuk memberikan ikan laut terkait kekhawatiran tercemar merkuri. Menurut Suryana (2004), pencemaran bisa terjadi pada ikan-ikan di sekitar pantai seperti ikan-ikan teri atau kerang-kerangan, tetapi bukan pada ikan laut dalam seperti kakap, tenggiri, tuna, dan salmon. Ibu diharapkan tidak perlu khawatir untuk memberikan ikan laut dalam kepada anak. Kelompok makanan sumber protein nabati yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar contoh adalah tempe.

Sayuran yang biasa dikonsumsi adalah bayam, sayur asem, sayur sop, karedok, toge, kangkung, sayur lodeh, dan sawi. Sedangkan kelompok buah yang biasa dikonsumsi adalah pisang, apel, melon, tomat, pepaya, jeruk, semangka, strawberry, dan jambu biji. Buah-buahan tersebut bisa dikonsumsi secara langsung atau diolah menjadi jus. Jenis sayuran atau buah apapun boleh diberikan asalkan tidak memberikan efek merugikan pada anak.

Makanan ringan yang biasa dikonsumsi terbagi menjadi dua yaitu makanan kering dan makanan basah. Makanan kering yang biasa dikonsumsi berupa keripik, biskuit (biskuit beras ataupun biskuit berbahan terigu), gorengan, risol, donat, dan wafer. Makanan basah yang dikonsumsi contoh seperti bubur kacang hijau, kue basah, cilok, martabak, eskrim, kolak, puding, dan buras. Contoh juga mengonsumsi susu dan teh manis. Susu yang biasa dikonsumsi terdiri dari susu cair (53,33%), susu skim bubuk (13,33%), atau susu kedelai (3,33%). Menurut Suryana (2004), penggunaan susu sapi pada anak autis dapat diganti dengan susu kedelai atau susu kentang yang sudah terdapat di toko-toko yang khusus menjual makanan untuk anak autis.

(18)

Konsumsi Suplemen

Pemberian suplemen pada dasarnya tidak diperlukan apabila asupan gizi anak seimbang. Pemberian suplemen seperti vitamin, mineral, asam amino, dan suplemen rempah dapat mambantu anak autis. Pemberian umumnya disesuaikan dengan anjuran dokter berdasarkan hasil tes yang menunjukkan adanya defisiensi. Namun, terdapat pula yang sering mencoba karena diduga aman dan dapat mempengaruhi gejala anak (Soetardji dan Soenardi 2002).

Sebanyak 26,67% contoh mengonsumsi suplemen. Suplemen yang diberikan berupa suplemen khusus atau suplemen yang biasa diberikan untuk menambah nafsu makan. Pemberian suplemen khusus dilakukan setelah berkonsultasi dengan dokter. Suplemen khusus yang diberikan terdiri dari suplemen mineral (magnesium, zinc) dan suplemen selain mineral (minyak ikan, propolis, enzim DPP IV).

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan jenis supleman yang dikonsumsi

Jenis supleman n %

Mineral Magnesium, zinc 1 12,5

Selain mineral Minyak ikan, propolis, enzim DPP IV, enzim

karbohidrat, K-Link sage plus omega 4 50 Minyak ikan mengandung asam lemak omega 3 yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan otak. Minyak ikan cod berfungsi untuk memperbaiki metabolisme asam lemak. Penggunaannya dianjurkan bukan hanya untuk anak autis, melainkan juga untuk semua anak. Selain omega 3, minyak ikan (fish oil) cod juga mengandung vitamin A yang cukup tinggi (McCandless 2003).

Selain minyak ikan, enzim adalah suplemen lain yang juga biasa diberikan kepada anak autis. Enzim berfungsi untuk memecah beberapa komponen makanan agar mempermudah proses pencernaannya. Merek dagang enzim yang digunakan antara lain enzym complete/DPP IV yang mengandung beberapa komponen enzim seperti : DPP IV, FP 31 protease, alkaline protease, alpha amylase, glucoamylase, alpha galactosidase, lactase, maltase, cellulase, phytase, xylanase (hemicellulase), invertase (sucrase), bromelain, AFP (Acid Fast Protease), kiwi protease, papain, dan lipase.

Ibu sebagian besar (62,5%) selain memberikan suplemen khusus juga memberikan suplemen makanan yang biasa diberikan pada anak-anak normal. Suplemen tersebut berfungsi untuk pertumbuhan dan nutrisi otak, memelihara dan memperbaiki daya tahan tubuh, serta meningkatkan nafsu makan. Merek dagang yang biasa digunakan adalah Curcuma Plus, Scott Emulsion, Ester C

(19)

Kids, dan Cerebrofort Syrup. Rata-rata contoh mengonsumsi 1-2 jenis suplemen setiap harinya. Konsumsi suplemen yang paling banyak dikonsumsi oleh contoh adalah enam jenis suplemen per hari.

Alergi Makanan

Contoh sebagian kecil (10%) memiliki alergi terhadap bahan makanan tertentu. Contoh yang memiliki alergi sebagian besar merupakan contoh yang tergolong autis berat. Alergen dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu buah, lauk hewani, dan lain-lain. Alergi terhadap kelompok makanan tersebut diketahui melalui pengamatan sehari-hari maupun hasil pemeriksaan darah. Alergen dari kelompok buah adalah jeruk, alergen dari kelopok lauk hewani adalah kuning telur dan peyek rebon, dan alergen dari kelompok lain-lain adalah madu dan makanan yang disajikan dalam keadaan dingin.

Tabel 13 Distribusi jenis makanan penyebab alergi berdasarkan klasifikasi autis Klasifikasi autis Kelompok dan jenis makanan alergen

Buah Lauk hewani Lain-lain

Berat Jeruk (1) Kuning telur (1) Madu (1), makanan dingin (1)

Sedang - Peyek rebon (1) -

Ringan - - -

Alergi yang terjadi pada anak autis berbeda-beda dari satu individu dengan individu lainnya. Hasil penelitian terhadap 120 anak Indonesia yang memenuhi kriteria diagnosis autisme masa kanak-kanak, menunjukkan bahwa anak-anak tersebut menderita multiple food allergy. Selain susu sapi dan gandum atau makanan terbuat dari gandum, makanan yang sering menimbulkan alergi pada anak adalah telur, kacang tanah, kedelai, dan ikan laut. Menurut hasil penelitian tersebut, dari 120 anak, 100 anak (83,3%) alergi susu sapi, gluten, dan makanan lain, 18 anak (15%) alergi susu sapi dan makanan lain, serta 2 anak (27%) alergi terhadap gluten dan makanan lain (Budhiman 2003 dalam latifah 2004).

Tes alergi perlu dilakukan pada anak untuk mengetahui jenis makanan apa saja yang dapat menimbulkan alergi pada anak. Suryana (2004), menyatakan bahwa jika anak memiliki alergi sebaiknya memang menghindari makanan tersebut, akan tetapi makanan yang membuat alergi, juga tetap dianjurkan untuk dicoba pada anak. Misalnya telur, sebaiknya konsumsi dihentikan dan diberikan kembali setelah enam bulan.

Selain alergi hal yang penting diperhatikan pada anak autis adalah pemberian antibiotik ketika anak sakit. Pemberian antibiotik yang berlebihan mengakibatkan banyak bekteri yang resisten terhadap antibiotik. Antibiotik

(20)

menyebabkan terganggunya flora normal usus. Antibiotik bukan hanya membunuh patogen tetapi sekaligus membunuh bakteri-akteri pelindung (probiotik usus) (McCandless 2003).

Pemberian antibiotik biasanya dibarengi dengan konsumsi prebiotik. Prebiotik dikenal sebagai bahan makanan yang dapat mendukung tumbuh kembangnya bakteri menguntungkan dalam sistem pencernaan. Bakteri probiotik berkembang dengan baik apabila ada prebiotik yang cukup. Prebiotik sering ditambahakan pada susu formula seperti FOS (Frukto Oligo Sakarida) dan GOS (Galakto Oligo Sakarida). Akan tetapi, karena anak autis sebaiknya menghindari produk susu, hal ini sering menimbulkan masalah tersendiri bagi ibu dalam memilih makanan bagi anak. Prebiotik sebenarnya juga terdapat secara alami dalam bahan makanan tertentu. Sumber prebiotik dari bahan makanan alami diantaranya adalah pisang, bawang, madu, dan kacang-kacangan, serta ASI. Anak dapat mengonsumsi makanan sumber prebiotik alami asalkan tidak memiliki alergi atau intoleransi terhadap makanan tersebut.

Konsumsi Pangan Sumber Gluten dan Kasein

Kebanyakan anak autis memiliki masalah dalam mencerna casein dan gluten. Sewaktu dicerna, banyak protein yang dipecah menjadi asam amino tunggal, yang lainnya dibawa sebagai rantai yang sedikit lebih besar. Pada anak autis, protein dan peptida yang tidak dapat dicerna berasal dari casein dan gluten. Peptida yang tidak bisa diterima tubuh dapat memasuki aliran darah dan apabila terbawa ke otak akan memiliki efek seperti opioid (Shattock 2002 dalam Latifah 2004). Peptida ini di otak akan berubah menjadi casomorphin dan gluteomorphin yang seratus kali lebih berbahaya dari morfin biasa. Pori-pori yang tidak lazim kebanyakan ditemukan di membran saluran cerna anak autis, yang menyebabkan masuknya peptida ke dalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. McCandless (2003), menyatakan bahwa diet GFCF (Gluten Free Casein Free) merupakan langkah penting yang bisa dilakukan oleh orang tua tanpa terlebih dahulu melakukan tes di laboratorium. Anak-anak yang melakukan diet ini biasanya memberikan respon yang lebih baik daripada anak-anak yang belum melakukan diet GFCF.

Menurut Winarno (1997), kadar protein susu sapi umumnya 3,5%. Protein susu pada umumnya dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu kasein

(21)

dan protein whey. Kasein merupakan komponen protein yang terbesar dalam susu dan sisanya berupa protein whey. Kadar kasein pada protein susu mencapai 80% dari jumlah total protein yang terdapat dalam susu sapi, sedangkan protein whey sebanyak 20%. Produk olahan susu antara lain adalah keju, mentega, es krim, dan yoghurt. Kandungan protein pada masing-masing produk per 100 gram adalah 22,8 g (keju), 0,5 g (mentega), 4 g (es krim), dan 3,3 g (yoghurt).

Gluten terdapat dalam tepung terigu, yang secara khas membedakan tepung terigu dengan tepung-tepung lainnya. Kandungan gluten dapat mencapai 80% dari total protein dalam tepung, dan terdiri dari protein gliadin dan glutenin. Umumnya tepung terigu digolongkan berdasarkan kandungan proteinnya. Tepung terigu yang dijual di pasaran memiliki kandungan protein yang berkisar antara 8% - 9%, 10,5% - 11,5% dan 12% - 14%.Tepung terigu berprotein 12%-14% ideal untuk pembuatan roti dan mie. Tepung terigu berprotein 10,5%-11,5% untuk roti dengan volume sedang, donat dan pastry/pie. Sedangkan untuk gorengan, biskuit, kue-kue, cake dan wafer menggunakan terigu yang berprotein 8%-9% (Paran 2009).

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein per kelompok makanan

Frekuensi Gluten Kasein

n % n % Tidak pernah 13 43,33 20 66,67 1x sebulan 8 26,67 5 16,67 3 x seminggu 6 20,00 4 13,33 > 3x seminggu 2 6,67 0 0,00 1-2x sehari 1 3,33 1 3,33 >3x sehari 30 100,00 0 0,00 Total 13 43,33 20 66,67

Berdasarkan tabel di atas, contoh sebagian besar tidak mengonsumsi makanan sumber gluten maupun kasein. Rata-rata konsumsi makanan sumber gluten dan kasein contoh adalah 43,33% tidak pernah mengonsumsi makanan sumber gluten dan 66,67% tidak pernah mengonsumsi makanan sumber kasein. Frekuensi pemberian paling sering rata-rata sebanyak 1x sebulan atau 3x seminggu baik untuk makanan sumber gluten maupun kasein. Berdasarkan hasil penelitian Latifah (2004) sebagian besar (86,4%) ibu menerapkan diet bebas gluten dan kasein pada anaknya. Ibu sebagian besar (83,33%) tidak memberlakukan diet yang ketat pada anaknya. Meskipun tidak dalam jumlah banyak, anak kadang-kadang diperbolehkan untuk mengonsumsi makanan

(22)

ringan yang mengandung gluten seperti biskuit dan wafer, bahkan ada juga yang diberikan mie berbahan dasar terigu.

Jenis makanan sumber gluten yang paling sering diberikan yaitu mie, roti, dan biskuit masing-masing sebanyak 3x dalam seminggu. Ibu mengaku tidak memberlakukan diet dengan ketat sehingga anak masih diperbolehkan mengonsumsi makanan tersebut dalam jumlah yang terbatas. Jenis makanan lain seperti pasta, kue-kue berbahan dasar terigu, sereal gandum, dan tepung bumbu sebagian besar tidak pernah diberikan. Sementara hampir semua jenis gandum mengandung gluten, termasuk malt (biji gandum) dan oat. Sereal yang terbuat dari beras atau jagung dapat menjadi penggantinya. Tepung bumbu termasuk bahan makanan yang sebaiknya dihindari karena berbahan dasar tepung terigu yang merupakan sumber gluten.

Penggunaan tepung terigu sebagai bahan untuk membuat cake atau kue dapat diganti dengan tepung bebas gluten (gluten free) seperti tepung beras, tepung kedelai, tepung maizena (pati jagung), tepung tapioka, tepung sagu, dan tepung garut (arrowroot flour). Saat ini juga sudah dijual tepung campuran bebas gluten atau gluten free flour mix (GF flour mix). GF flour mix merupakan produk campuran tepung yang telah dimodifikasi sehingga dapat menghasilkan biskuit yang enak dengan rasa yang tidak kalah dengan tepung bergluten. Produk tersebut dapat berupa campuran dari tepung beras, tepung sagu aren dan tepung singkong (Karim & Chender 2007). Selain produk-produk free gluten kemasan, ibu dapat menggunakan makanan-makanan alami yang berasal dari singkong, ubi jalar, jagung, dan sebagainya. Makanan-makanan tersebut tidak memerlukan biaya yang mahal dan proses pemasakan yang rumit. Singkong dan ubi dapat direbus atau digoreng. Penggunaan tepung terigu pada pembuatan gorengan, misalnya goreng pisang dapat diganti dengan tepung beras.

Hampir semua jenis makanan yang mengandung kasein rata-rata tidak pernah dikonsumsi contoh. Jenis makanan yang masih biasa ditemukan dikonsumsi 3x seminggu ataupun 1-2x sehari adalah susu sapi (16,67% untuk konsumsi 1-2x sehari), susu skim, susu bubuk, mentega dan keju (umumnya sebagai campuran dari makanan lain), yoghurt, dan biskuit/ wafer yang mengandung susu (26,67% untuk konsumsi 1-2x sehari). Ibu yang masih memberikan susu beralasan bahwa susu adalah salah satu sumber asupan gizi anak, sementara beberapa orang tua lain beralasan bahwa anak tidak mempunyai alergi terhadap casein. Keju, mentega, dan yoghurt merupakan

(23)

produk turunan susu yang sebaiknya juga dihindari apabila sedang melakukan diet casein free. Susu yang terbuat dari beras, kentang, dan kedelai sudah banyak dijual di pasaran. Jenis susu tersebut dapat menjadi alternatif susu yang bebas kasein.

Asupan makanan sumber gluten dan kasein masih ditemukan pada anak dengan ibu yang sudah menerapkan diet GFCF. Ibu beralasan bahwa kondisi anak sudah membaik sehingga pemberian diet menjadi lebih ringan dengan memperbolehkan konsumsi pangan sumber gluten dan kasein dalam jumlah tertentu. Menurut Aden (2008), diet GFCF sangat disarankan akan tetapi asupan gluten dan casein sebaiknya tidak dihentikan dihentikan sama sekali pada awal penerapan diet. Hal tersebut disebabkan seperti halnya pecandu narkoba, jika mendadak dihentikan bisa mengalami ketagihan. Pada anak autis, jika konsumsi pangan sumber gluten dan casein tiba-tiba dihentikan bisa memperburuk kondisi anak. Penghentian asupan gluten dan casein secara total dari menu makanan sebaiknya dilakukan secara bertahap. Makanan yang tidak mengandung gluten atau kasein dapat dicampur bersama-sama dengan makanan yang masih mengandung gluten atau casein sehingga kandungan gluten atau kasein pada makanan tersebut menjadi lebih rendah. Misalnya, mencampur susu kedelai dengan susu sapi, sambil mengurangi proporsi susu sapinya. The Autistic Network For Dietary Intervention, Amerika, menyarankan agar penderita gangguan perilaku yang terkait dengan gangguan pencernaan seperti autis untuk menjalani diet bebas gluten dan kasein atau diet GFCF (gluten free casein free) selama minimal 6 bulan.

Menurut Emilia dan Yuliana (2006), proses pola makan bebas gluten dan kasein dimulai secara perlahan-lahan dengan cara sebagai berikut :

1. Menyingkirkan makanan yang mengganggu satu demi satu sambil berangsur-angsur memperkenalkan makanan pengganti yang baru.

2. Membuat makanan dengan variasi dalam bahan dan pengolahan serta menarik dalam penyajian

3. Gluten lebih lama hilang dari sistem pencernaan daripada kasein. Tes urin menunjukkan bahwa kasein dapat hilang dari tubuh dalam tiga hari, sedangkan gluten membutuhkan waktu berbulan-bulan. Anak sebaiknya menghindari konsumsi susu terlebih dahulu dan setelah beberapa minggu menghindari produk susu atau hasil olahan susu. Setelah itu baru menghindari produk dengan bahan dasar gandum

(24)

4. Menghindari produk kedelai kecuali tes hipersensitivitas makanan menunjukkan bahwa anak tidak alergi terhadap kedelai.

5. Mematuhi pola makan bebas gluten dan kasein dan kedelai ketat, minimal selama 6 bulan karena pemberian makanan yang mengandung gluten dan kasein, meskipun dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kemunduran pada kesehatan anak.

6. Membiasakan diri untuk membaca label pada kemasan makanan atau tandai makanan yang mengandung gluten dan kasein.

Konsumsi Zat Gizi

Konsumsi pangan per hari dan jenis makanan yang biasa diikonsumsi oleh contoh diketahui dengan melakukan record 3x24 jam. Hasil record tersebut

kemudian diterjemahkan sesuai dengan kandungan zat gizi dari masing-masing bahan pangan. Rata-rata konsumsi energi contoh adalah sebesar 1800,77 Kalori. Jenis makanan sumber energi yang biasa dikonsumsi contoh adalah nasi, roti, kentang, mie, dan bihun. Rata-rata konsumsi protein contoh yaitu 66,7 gram. Makanan sumber protein yang dikonsumsi terbagi menjadi dua, yaitu protein hewani dan protein nabati. Konsumsi beberapa zat gizi selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi zat gizi

Zat gizi Konsumsi

Terendah Tertinggi Rata-rata SD

Energi (Kal) 790 2584 1800,77 387,80 Protein (gram) 23,1 104,7 66,75 18,90 Vitamin A (RE) 19 6290,63 837,63 1320,68 Vitamin C (mg) 1,2 324,7 42,27 67,15 Kalsium (mg) 40 1291,57 350,19 313,54 Magnesium (mg) 109,83 501,37 222,45 69,24 Zinc (mg) 3,23 17,5 7,90 3,06

Makanan yang banyak mengandung vitamin A yang biasa dikonsumsi oleh contoh antara lain adalah sayuran hijau (bayam, kangkung, brokoli), wortel, tomat, dan sawi, serta beberapa jenis buah seperti semangka, pepaya, melon, jambu biji, mangga, dan jeruk. Makanan hewani sumber vitamin A adalah telur, ikan pindang, hati ayam, dan daging sapi. Vitamin C dari makanan yang dikonsumsi terdapat dalam buah seperti jeruk dan pepaya. Intake kalsium diperoleh dari daging sapi dan ikan laut. Selain itu, masih terdapat contoh yang masih mengonsumsi susu sapi sehingga terdapat sumbangan asupan kalsium dari susu tersebut. Sumber zinc berasal dari daging sapi, hati, dan telur. Selain berasal dari makanan, sumber asupan vitamin dan mineral juga diperoleh dari konsumsi suplemen.

(25)

Tingkat Kecukupan Gizi

Menurut hasil penelitian Defeat Autism Now! Mengenai status gizi pada anak-anak autis, sebagian besar anak autis menunjukkan defisiensi beberapa vitamin dan mineral, seperti rendahnya vitamin B6 dan buruknya kemampuan mengikat B6 disertai dengan jumlah magnesium intraseluler (dalam sel) yang rendah atau rendah-normal, rendahnya seng intraselular, rendahnya kadar vitamin A dalam darah, rendahnya biotin, B1, B3, dan fungsi B5, menurut uji mikrobiologi, serta rendahnya vitamin C pada urin (McCandless 2003).

Menurut Karyadi dan Muhillal (1990), kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan untuk dapat hidup sehat. Pada penelitian ini, dihitung tingkat kecukupan beberapa jenis mineral (Ca, Mg, dan Zn) dan vitamin (vitamin A dan vitamin C). Angka kecukupan gizi energi dan protein contoh diperoleh dengan menggunakan koreksi berat badan contoh. Kemudian ditentukan tingkat kecukupan berdasarkan kategori Depkes (1996).

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein

Zat gizi Klasifikasi n %

Energi

Defisit Tingkat Berat 5 16,67

Defisit Tingkat Sedang 2 6,67

Defisit Tingkat Ringan 4 13,33

Normal 12 40,00

Berlebih 7 23,33

Total 30 100,00

Protein

Defisit Tingkat Berat 1 3,33

Defisit Tingkat Sedang 1 3,33

Defisit Tingkat Ringan 1 3,33

Normal 3 10,00

Berlebih 24 80,00

Total 30 100,00

Berdasarkan hasil perhitungan 40% contoh memiliki tingkat kecukupan energi normal dan 80% contoh memiliki tingkat kecukupan protein berlebih. Meskipun sebagian contoh tidak mengonsumsi beberapa jenis makanan yang menjadi sumber energi seperti susu dan makanan yang mengandung gluten (roti, kue, biskuit dan lain-lain), contoh mendapat cukup asupan energi dari menu makanan yang mereka konsumsi. Sementara itu, tingginya asupan protein diduga karena tingginya konsumsi makanan sumber protein baik protein hewani maupun protein nabati. Menurut Almatsier (2009), protein yang berlebihan tidak baik untuk tubuh. Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan obesitas. Kelebihan asam amino memberatkan ginjal dan hati yang harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen.

(26)

Kelebihan protein dapat menyebabkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan ureum darah, dan demam.

Tingkat kecukupan vitamin A pada contoh, sebanyak 60% telah cukup baik. Tingat kecukupan vitamin C 70% contoh masih berada dalam kategori kurang. Salah satu manifestase akibat kekurangan vitamin C adalah gangguan syaraf berupa histeria dan depresi diikuti gangguan psikomotor. Vitamin C memiliki banyak fungsi dalam tubuh, sebagai koenzim dan kofaktor. Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehinga zat besi mudah diabsorpsi. Vitamin C juga membantu absorpsi kalsium dengan menjaga agar kalsium berada dalam bentuk larutan. Peranan penting vitamin C yaitu sebagai antioksidan dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi (Almatsier 2009).

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin

Zat gizi Kategori n %

Vitamin A Kurang 12 40 Cukup 18 60 Total 30 100 Vitamin C Kurang 21 70 Cukup 9 30 Total 30 100

Antioksidan seperti vitamin A dan C membantu melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan pada tingkat tertentu memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (McCandless 2003). Hal tersebut juga terkait dengan salah satu penyebab autis yaitu keracunan logam berat pada beberapa anak autis. Logam berat dapat berpengaruh buruk pada sistem saluran cerna, sistem imun tubuh, sistem saraf, dan sistem endokrin. Sebagian besar kerusakan yang disebabkan oleh logam berat datang dari perkembangbiakan radikal bebas oksidan.

Tubuh tidak dapat memproduksi vitamin C sehingga diperlukan asupan dari makanan atau suplemen. Bahan makanan yang banyak mengandung vitamin C adalah daun singkong, daun katuk, daun melinjo, daun pepaya, sawi, pepaya, gandaria, dan buah-buahan yang berasa asam. Konsumsi vitamin C yang baik juga dapat membantu meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi.

Tingkat kecukupan gizi beberapa mineral yaitu kalsium, magnesium,

dan zinc bervariasi untuk masing-masing mineral tersebut. Sebaran tingkat

(27)

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan mineral

Zat gizi Kategori n %

Kalsium Kurang 24 80,00 Cukup 6 20,00 Total 30 100,00 Magnesium Kurang 2 6,67 Cukup 28 93,33 Total 30 100,00 Zinc Kurang 24 80,00 Cukup 6 20,00 Total 30 100,00

Contoh sebagian besar (80%) termasuk dalam kategori kurang untuk tingkat kecukupan kalsium dan zinc. Tingkat kecukupan magnesium sebesar 93,33% dari contoh sudah cukup. Tingkat kecukupan kalsium yang tidak mencukupi diduga karena sebagian besar contoh tidak mengonsumsi susu sapi yang memiliki kandungan kalsium tinggi. Kalsium adalah unsur pokok utama penyusun tulang dan gigi dan sangat penting untuk proses penghantaran saraf, kontraksi otot, detak jantung, pembekuan darah, produksi energi, dan pemeliharaan fungsi sistem imun. Anak yang kekurangan kalsium lebih cenderung menunjukkan sifat mudah tersinggung, mengalami gangguan tidur, amarah, dan tidak mampu memberikan perhatian pada sesuatu. Anak-anak membutuhkan kalsium sebanyak 800-1200 mg per hari, terutama yang sedang menjalankan diet GFCF (McCandless 2003). Kalsium sangat penting dalam kebutuhan sehari-hari anak autis, sehingga perlu asupan kalsium lebih untuk anak yang berasal dari makanan lain selain susu sapi. Bahan makanan yang banyak mengandung kalsium antara lain udang, ikan teri, bayam, sawi, daun melinjo, daun katuk, selada air, dan daun singkong.

Kekurangan zinc dapat disebabkan karena makanan utama berupa serelia tumbuk dan kacang-kacangan. Menurut Almatsier (2009), serelia tumbuk dan kacang-kacangan tinggi akan serat dan fitat yang menghambat absorpsi

zinc. Kekurangan zinc kronis dapat menyebakan gangguan pada fungsi

pencernaan, fungsi pankreas, gangguan pembentukan kilomokron, kerusakan saluran cerna, gangguan sistem imun, sistem syaraf, dan fungsi otak. Menurut hasil penelitian Walsh dan Shaw dalam McCandless (2003), gangguan gizi yang sering ditemukan pada anak autis adalah kekurangan zinc yang ditemui pada hampir 90% anak autis.

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2009). Menurut Riyadi (1995), status gizi

(28)

adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi. Ukuran fisik seseorang sangat berhubungan dengan status gizi. Oleh karena itu, antropometri digunakan sebagai indeks yang baik dan dapat digunakan sebagai penentuan status gizi untuk negara berkembang. Status gizi contoh ditentukan berdasarkan indeks TB/U dan IMT/U menurut WHO (2007) yang juga telah diadaptasi oleh kementrian kesehatan RI tentang standar antropometri penilaian status gizi anak untuk usia 5-19 tahun dan indeks BB/U menurut CDC (2000).

Indeks BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah berubah. Namun indeks BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan.Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan tubuh skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap defisiensi zat gizi dalam jangka pendek. Pengaruh defisiensi jangka panjang terhadap tinggi badan akan muncul setelah beberapa waktu yang cukup lama. Indeks IMT/U merupakan indikator yang paling baik bagi remaja dan anak usia sekolah. Indikator ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan juga sejalan dengan indikator yang sudah direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi tentang indikator ini sudah tersedia (Soekirman 2000). Penentuan status gizi ditentukan berdasarkan software anthroplus 2007 yang mengacu pada referensi WHO 2007 dan software nutrisurvey untuk indeks BB/U menurut referensi CDC 2000.

Tabel 19 Distribusi status gizi (indeks BB/U dan TB/U) contoh berdasarkan klasifikasi autis

Klasifikasi autis

Berat Badan/Umur

Total Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih

n % n % n % n % Berat 1 3,3 4 13,3 0 0,0 5 16,7 Sedang 3 10,0 7 23,3 0 0,0 10 33,3 Ringan 2 6,7 11 36,7 2 2,0 15 50,0 Total 6 20,0 22 73,3 2 2,0 30 100,0 Klasifikasi autis Tinggi Badan/Umur Total

Sangat pendek Pendek Normal

n % n % n % n %

Berat 0 0,0 0 0,0 5 16,7 5 16,7

Sedang 1 3,3 1 3,3 8 26,7 10 33,3

Ringan 2 6,7 1 3,3 12 40,0 15 50,0

(29)

Tabel 20 Distribusi status gizi (indeks IMT/U) contoh berdasarkan klasifikasi autis Klasifikasi autis IMT/U Total (%) Sangat

kurus Kurus Normal Overweight Obesitas

Berat 3,3 0,0 3,3 3,3 6,6 16,7

Sedang 3,3 0,0 10,0 3,3 16,7 33,3

Ringan 0,0 3,3 16,7 13,3 16,7 50,0

Total 6,7 3,3 30,0 20,0 40,0 100,0

Indeks BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah berubah. Indeks BB/U menunjukkan bahwa 73,33% contoh berstatus gizi baik. Contoh sebagian besar yang berstatus gizi baik merupakan contoh dengan kategori autis sedang. Indeks TB/U yang digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk mengetahui keadaan gizi di masa lalu. Indeks TB/U menunjukkan bahwa 83,33% contoh memiliki status gizi normal. Contoh yang berstatus gizi normal sebagian besar termasuk kategori autis ringan. Status gizi contoh berdasarkan indeks IMT/U berkisar pada status gizi normal dan obesitas. Hal tersebut terlihat dari persentase anak yang berstatus gizi normal sebanyak 9 orang (30,00%) dan anak berstatus gizi obesitas sebanyak 12 orang (40,00%). Contoh yang berstatus gizi normal sebagian besar termasuk pada kategori autis ringan.

Anak-anak autis meskipun tidak boleh mengonsumsi beberapa jenis makanan tertentu, namun status gizi lebih mencerminkan kondisi konsumsi di masa lalu. Artinya orang tua memberikan gizi yang cukup pada saat anaknya masih bayi. Di samping itu, dari hasil wawancara dan pengamatan terlihat bahwa sebagian anak memang memiliki nafsu makan yang cukup baik sehingga porsi makannya terkadang bisa dua kali dari porsi normal. Meskipun demikian masih ditemukan adanya anak yang kurus (3,33%) dan sangat kurus (6,67%).

Gambar 2 Perbandingan sebaran status gizi contoh dengan grafik normal status gizi (IMT/U) menurut WHO 2007

(30)

Grafik tersebut menunjukkan bahwa status gizi contoh berdasarkan indeks IMT/U masih di bawah standar internasional WHO. Indeks IMT/U menunjukkan status gizi masa kini, sehingga bisa dilihat bahwa status gizi contoh saat ini masih terdapat beberapa yang masuk ke kategori gizi kurang (10%) dan sebagian besar (60%) masuk ke kategori gizi lebih.

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (TB/U)

Kecenderungan status gizi kurang contoh terlihat dari grafik status gizi contoh (grafik merah) yang cenderung bergeser ke kiri grafik normal (grafik hijau). Nilai z skore terendah (ujung kiri bawah grafik merah) mencapai nilai lebih dari -3 SD yang menandakan kecenderungan status pendek dan sangat pendek menurut TB/U. Berdasarkan hasil penelitian Latifah (2004) mengenai status gizi anak autis berdasarkan indeks TB/U 100% contoh berstatus gizi normal demikian juga dengan hasil penelitian Syafitri (2008) sebanyak 90,3% berstatus gizi normal. Akan tetapi pada penelitian ini ditemukan bahwa masih terdapat 6,67% berstatus gizi pendek dan 10% berstatus sangat pendek. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak jauh berbeda juga diperoleh dari hasil penelitian Xia W et.al. (2010) bahwa masih ditemukan adanya anak autis dengan status gizi kurang dan lebih. Berdasarkan penelitian Xia W et.al. (2009), 60,4% anak autis berusia 2-9 tahun di Cina berstatus gizi normal, 8,1% anak berstatus gizi buruk dan kurang, dan 31,5% anak berstatus gizi overweight dan obesitas.

Gambar

Tabel  19    Distribusi  status  gizi  (indeks  BB/U  dan  TB/U)  contoh  berdasarkan  klasifikasi  autis
Gambar 2  Perbandingan sebaran status gizi contoh dengan grafik normal status gizi  (IMT/U) menurut WHO 2007
Grafik  tersebut  menunjukkan  bahwa  status  gizi  contoh  berdasarkan  indeks  IMT/U  masih  di  bawah  standar  internasional  WHO
Tabel 24 Distribusi konsumsi gluten dan kasein berdasarkan pengetahuan ibu  Pengetahuan

Referensi

Dokumen terkait

Sopacua, Peran Balai Permasyarakatan (BAPAS) ………. Pembimbing Kemasyarakatan mengadakan wawancara dengan klien dan orang lain yang berhubungan dengan klien dan

Mengatur tata ruang fungsional yang dilengkapi sarana dan prasarana pelayanan dasar kawasan yang dapat mendorong pengembangan potensi dominan

Menjelaskan materi Bab 8 didahului dengan memancing pertanyaan dari mahasiswa, meminta tanggapan dari mahasiswa lain, merangkum kesimpulan dan inti Bab 8.. Tugas mandiri

Sistem operasi yang stabil dan aman juga dibutuhkan dalam membangun Hotspot dan CentOS adalah salah satu sistem operasi diantara sekian sistem operasi Linux yang memiliki kedua

Hasil pemeriksaan mutu sampel minyak Kenanga yang dilaksanakan di Laboratorium Minyak Atsiri di Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang (BPSMB) Medan dinyatakan memenuhi

Perusahaan yang berkinerja baik akan dapat memberikan tingkat pengembalian yang lebih diharapkan dari pada berinvestasi pada perusahaan yang berkinerja tidak baik.. Untuk

Sebuah teknik steganografi citra yang baik setidaknya harus memenuhi 4 kriteria yaitu tidak terlalu dapat dibedakan secara inderawi ( imperectible ), mutu citra hasil

memberikan penugasan... mekanisme pelaksanaan PSO oleh BUMN pelaksana sebagai. contoh ada BUMN yang DIPA nya masih di