• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kompleksnya kehidupan manusia di era globalisasi ini. Beberapa negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kompleksnya kehidupan manusia di era globalisasi ini. Beberapa negara"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Kesejahteraan menjadi suatu hal yang penting seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan manusia di era globalisasi ini. Beberapa negara menggunakan kesejahteraan sebagai tolak ukur kemajuan bangsanya, kemajuan sosial dan pemenuhan kebijakan publik. Selain itu, kesejahteraan juga dianggap sebagai motivator bagi masyarakat untuk bergerak maju dan berupaya maksimal dalam meraih tujuan hidupnya. UNESCO, UNHDR, WHO, CIA juga peduli terhadap kesejahteraan karena menganggap bahwa kesejahteraan berkaitan erat dengan harapan dan optimisme. Harapan dan optimisme merupakan proses kognitif yang mendorong seseorang untuk meraih tujuan hidup dan cara mempersepsikan keberhasilan dalam meraih tujuan hidup. Orang yang optimis biasanya mampu menentukan tujuan hidup, mampu menilai capaiannya secara lebih positif sehingga merasa sejahtera, sedangkan orang yang pesimis cenderung lebih banyak menunjukkan simtom depresi (Bailey, Eng, Frisch, & Snyder, 2007).

Oleh karena itu tidak mengherankan bila banyak orang yang ingin mencapai kesejahteraan. Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa semakin banyak materi yang dimiliki akan semakin sejahtera sehingga berupaya mencari materi sebanyak-banyaknya. Setelah memiliki harta melimpah, orang tersebut masih saja merasa kurang sejahtera sehingga berupaya mencari materi atau barang yang dianggap bisa membuatnya sejahtera. Setelah memperoleh barang atau materi yang diinginkan, yang bersangkutan merasa senang namun hanya sementara karena muncul lagi keinginan untuk mencari materi atau

(2)

barang atau lain yang diharapkan dapat membuatnya sejahtera. Pada akhirnya kesejahteraan yang diharapkan tidak kunjung datang karena kesejahteraan bukanlah bersifat materi melainkan inner of mind, artinya kesejahteraan merupakan hasil olah pikir seseorang. Sebagai contoh seseorang yang dilihat oleh orang lain sebagai orang yang kekurangan secara materi namun selama yang bersangkutan merasa sejahtera maka sejahtera pula dirinya. Sebaliknya, orang yang dipandang oleh orang lain memiliki materi berlimpah dan dianggap sejahtera, bisa saja justru tidak merasa sejahtera (Diener, Lucas, & Oishi, 2005). Kajian-kajian tentang kesejahteraan telah menarik perhatian publik sejak pertama kali dikenalkan. Sekelompok ahli menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan kecenderungan seseorang untuk merasakan kesenangan dan kenyamanan. Kelompok ini menggunakan tradisi hedonik dalam memandang kesejahteraan karena menyamakan kesejahteraan dengan emosi positif. Sekelompok ahli yang lain menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan indikator dari potensi seseorang untuk berfungsi lebih positif. Kelompok kedua ini memandang kesejahteraan dari tradisi eudaimonia (Keyes, 2009). Kecenderungan seseorang untuk merasa senang dan nyaman oleh Seligman (2011) disebut dengan kebahagiaan. Pada awal penelitiannya Seligman menganggap bahwa kesejahteraan identik dengan merasakan emosi positif berupa kebahagiaan, artinya seseorang dinyatakan sejahtera apabila sering marasa bahagia. Sejalan dengan bertambah banyaknya penelitian yang dilakukan Seligman, terjadi perubahan pula dalam mendefinisikan kesejahteraan. Salah satu temuannya menunjukkan bahwa bahagia bukan hanya merasakan senang melainkan mencakup evaluasi individu terhadap kehidupan yang dijalani. Oleh karena itu, Seligman merevisi pendapatnya dan lebih suka menggunakan

(3)

istilah kesejahteraan daripada kebahagiaan (Jayawickreme , Forgeard & Seligman, 2012).

Pada intinya di dalam pengertian kesejahteraan terdapat proses evaluasi afektif dan kognitif. Seperti yang dinyatakan oleh Diener, Lucas, & Oishi (2005) bahwa kesejahteraan subjektif adalah bagaimana penilaian afektif dan kognitif seseorang terhadap kehidupannya. Hasil penilaian afektif yang dilakukan oleh seseorang ditunjukkan oleh keseimbangan emosi positif dan negatif. Evaluasi kognitif terhadap kehidupan secara positif menghasilkan kepuasan hidup. Kepuasan hidup dapat dirasakan oleh seseorang karena tujuannya telah tercapai dan merasa bermakna. Seseorang dinyatakan sejahtera apabila lebih sering merasakan emosi positif daripada emosi negatif, lebih sering merasakan kebahagiaan daripada ketidakbahagiaan, merasa puas karena tujuan telah tercapai, dan merasa bermakna. Seligman (2011) menyatakan bahwa orang yang sejahtera dapat diketahui dari emosi positif, keterlibatan, relasi sosial yang hangat, kebermaknaan dan capaian atau prestasi. Penelitian ini menggunakan definisi kesejahteraan sebagai hasil evaluasi afektif dan kognitif yang ditunjukkan oleh lebih sering merasa bahagia dan merasa puas terhadap kehidupannya karena tujuan telah tercapai, dan merasa bermakna.

Kesejahteraan seseorang tidak diperoleh dengan sendirinya namun melalui proses dan hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungan. Dalam salah satu artikel, Dodge, Daly, Huyton, dan Sanders (2012) menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif memiliki pola yang dinamis, artinya seseorang yang pernah menyatakan diri sejahtera belum tentu terbebas dari perasaan cemas atau tegang apabila menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Situasi yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh seseorang dapat terjadi apabila

(4)

terdapat ketidaksesuaian antara realitas dengan standar yang dimiliki. Apabila seseorang mampu mengelola dirinya dengan baik maka ia berusaha menilai situasi yang dihadapi dari perspektif yang lebih positif sehingga dapat merasakan sejahtera kembali.

Hasil-hasil penelitian berhasil mengungkap indikator kesejahteraan yang muncul dalam aspek relasi sosial, kesehatan, dan akademik. Dalam relasi sosial, seseorang yang sejahtera menyatakan bahwa dirinya lebih percaya diri, menyukai diri sendiri dan orang lain, bersedia berbagi, memiliki resolusi konflik yang baik, mampu berempati, dan memiliki cara berpikir kreatif yang membuatnya mudah untuk menjalin relasi sosial. Orang yang sejahtera menunjukkan sikap yang lebih empati, lebih sosial pada orang lain, lebih mudah menjalin relasi sosial, bersifat altruis, bersedia berbagi, aktif berkegiatan, percaya diri, menyukai diri sendiri dan orang lain, memiliki resolusi konflik yang baik dan kreatif (Diener, Lucas, & Oishi, 2005). Sejahtera juga membuat seseorang memiliki fungsi psikososial yang lebih baik (Derdikman-Eiron, Hjemdal, Lydersen, Bratberg & Indradevik, 2013).

Penelitian di bidang kesehatan fisik dan mental menunjukkan bahwa orang yang merasa sejahtera menunjukkan imunitas yang tinggi sehingga jarang terserang penyakit (Diener & Chan, March, 2011); menunjukkan tingkat depresi yang rendah, afek negatif rendah, serta tingkat stres sosial yang rendah (Proctor, Linley, & Maltby, 2010). Sebaliknya, orang yang memiliki kesejahteraan rendah cenderung menganggap bahwa peristiwa yang dialaminya merupakan hal yang tidak menyenangkan sehingga emosi negatifnya menjadi mudah tersulut, mudah mengalami depresi, mudah cemas (Derdikman-Eiron, Indredavik, Taraldsen, &

(5)

Bakken, 2011), mudah melakukan tindakan agresi, atau sering merasa tidak puas dengan bentuk fisiknya (Buelga, Musitu, Murgui, Pons, 2008).

Kesejahteraan yang dirasakan seseorang juga berdampak di bidang akademik. Hasil penelitian pada kalangan pelajar sekolah menengah atas menunjukkan bahwa siswa yang merasa sejahtera memiliki prestasi akademik yang tinggi karena merasa bahagia ketika sedang menerima pelajaran sehingga lebih mudah menyerap pelajaran, lebih mudah untuk mengingat pelajaran dan kreatif. Selain prestasi akademik yang tinggi, siswa yang sejahtera merasa terikat secara emosional dengan sekolahnya sehingga jarang membolos (Sharma & Malhotra, 2010).

Keyes (2009) meneliti 1200 remaja usia 15-18 tahun untuk mengungkap kesejahteraan remaja dari perspektif kesehatan mental. Kesejahteraan remaja tersebut dibagi dalam tiga tipe yakni kesejahteraan emosional, psikologis dan sosial. Hasilnya menunjukkan bahwa kesejahteraan emosional pada remaja menduduki posisi yang paling kuat, diikuti oleh kesejahteran sosial dan kesejahteraan psikologis. Penelitian lainnya di kalangan remaja yang mengungkap keterkaitan antara kondisi emosional dengan kesejahteraan menunjukkan bahwa perilaku agresi, kemarahan, depresi atau kecemasan merupakan indikasi kesejahteraan yang rendah pada remaja. Penjabarannya adalah sebagai berikut masa remaja sering dianggap sebagai masa badai dan tekanan akibat perubahan yang dialami baik secara fisiologis maupun psikologis. Ketidaksiapan menghadapi perubahan berdampak pada kehidupan emosional remaja. Remaja menjadi mudah melakukan tindakan agresi, ataupun meluapkan amarahnya; atau justru sebaliknya remaja menjadi mudah depresi atau mengalami kecemasan. Dengan meningkatkan kesejahteraan remaja, ternyata

(6)

dapat menurunkan agresi, depresi atau kecemasan (Buelga, Musitu, Murgui, Pons, 2008; Derdikman-Eiron, Indredavik, Taraldsen, & Bakken, 2011; dan Kashdan, 2007).

Secara umum, ranah kehidupan remaja di Indonesia menunjukkan hal yang relatif sama dengan ranah kehidupan yang dikemukakan oleh Eid dan Larsen (2009). Pada studi awal yang dilakukan oleh peneliti pada 22-30 November 2013, terhadap 105 remaja berusia 15-18 tahun menunjukkan bahwa urutan ranah kehidupan remaja yang dapat mempengaruhi kesejahteraan berdasarkan prosentase terbesar adalah diri sendiri (67,62%), keluarga (12,38%), prestasi akademik (6,67%), teman (2,86%), masyarakat (0,95%), dan kehidupan beragama (7,62%). Ungkapan yang menunjukkan bahwa kesejahteraan remaja yang bersumber dari diri sendiri, misalnya “menjadi pemenang suatu perlombaan, memperoleh apa yang sudah lama diimpikan, mampu mengatasi masalah yang dihadapi, bisa makan, mandi dan tidur teratur”. Sedangkan ungkapan yang menunjukkan relasi antara remaja dengan keluarganya seperti “merasa sejahtera ketika rekreasi bersama keluarga” atau “merasa sejahtera karena dapat berprestasi di sekolah sehingga dapat membanggakan orang tua”.

Hasil lain yang diperoleh dari penelitian awal adalah remaja yang secara umum merasa sejahtera, dapat menurun derajat kesejahteraannya ketika mengalami hal yang tidak menyenangkan, misalnya harus menjalani ujian semester sementara dirinya merasa tidak bisa mengerjakan. Upaya yang dilakukan agar kembali merasakan kesejahteraan, subjek berusaha untuk selalu bersyukur kepada Tuhan.

(7)

Perbedaan hasil temuan penelitian awal dengan hasil penelitian Eid dan Larsen (2009) terletak pada peran kehidupan beragama bagi capaian kesejahteraan. Meskipun demikian, hasil-hasil penelitian menunjukkan peran kehidupan beragama masih tergolong kecil, seperti yang terungkap dalam penelitian Darmayanti (2012) bahwa pada remaja penyintas bencana Tsunami Aceh 2004, kehidupan beragama tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif remaja meskipun Aceh merupakan daerah yang memiliki atmosfer religi yang kuat. Weiten (2008) juga menyatakan bahwa sumbangan kehidupan beragama terhadap kesejahteraan subjektif tergolong kecil. Sementara itu, Kalat dan Shiota (2007) menyatakan bahwa kehidupan beragama merupakan salah satu strategi dalam mengelola emosi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kehidupan beragama tidak selalu berdiri sendiri melainkan bisa menjadi bagian dari variabel lain.

Menurut Garnefski, Koopman, Kraaij, dan tenCate (2009), Gilham, et al (2011) dan Amone-P’olak, Garnefski & Kraaij (2007), seseorang yang berada dalam situasi yang tidak menyenangkan akan berusaha menghindari atau menguranginya ketidaknyamanannya. Upaya yang dilakukan adalah berpikir secara positif, lebih selektif dalam memilih kegiatan, kembali ke rencana awal, meminimalkan emosi negatif, dan bersedia menerima. Upaya tersebut merupakan cara mengelola emosi agar lebih positif sehingga yang bersangkutan kembali merasa nyaman, aman, sejahtera. Istilah yang sering digunakan adalah strategi regulasi emosi. Penelitian Kashdan (2007) menunjukkan bahwa strategi regulasi emosi bermanfaat untuk menghindarkan diri dari gangguan emosional, sekaligus bisa digunakan untuk meraih kesejahteraan. Sebagai contoh dalam kasus APN (16), adalah berusaha bersyukur dengan apa yang ada dan apa

(8)

yang sudah diberikan Tuhan. Ketika APN merasa tidak sejahtera, ia berusaha untuk mensyukuri apa yang sudah diperoleh. Perasaan bersyukur merupakan salah satu strategi mengelola emosi secara positif dengan menilai apa yang sudah diperoleh berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan dan menggunakan pertimbangan yang positif (Kalat & Shiota, 2007).

Hasil penelitian awal juga memperoleh data bahwa sebagian remaja mampu berpikir bahwa situasi yang tidak menyenangkan hanya bersifat sementara, tetap mengandung sisi positif dan merasa mampu untuk mengatasi situasi tersebut. Seligman (2006) menyebutnya dengan optimisme. Contoh pernyataan optimisme yang diungkapkan subjek penelitian adalah “optimis” (TAP, 17 tahun); “selalu berusaha sebisa yang saya dapat lakukan” (AA, 16 tahun); “saya selalu berjuang untuk segala hal agar sesuatu itu hasilnya sesuai dengan yang saya inginkan dan saya usahakan” (P, 17 tahun). Hasil penelitian ini juga selaras dengan temuan Gilham et al (2011) bahwa optimisme berperan bagi pencapaian kesejahteraan seseorang.

Kesejahteraan seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (Diener, 1984; Diener, Fujita, Tay & Biswas-Diener; 2011; Diener, Tamir & Scolon, 2006). Faktor internal merupakan hal-hal yang berasal dari dalam diri seseorang, antara lain berupa ciri-ciri kepribadian. Ciri kepribadian berkaitan dengan erat dengan afek positif dan negatif, dan mempengaruhi seseorang dalam menentukan tujuan hidup agar lebih terarah. Strategi regulasi emosi dan optimisme merupakan bagian dari kepribadian.

Hal-hal yang berasal dari luar diri seseorang, antara lain berupa peristiwa yang dialami, keharmonisan perkawinan, relasi sosial (dalam keluarga atau dengan teman sebaya), kultur dan status demografik (Diener, 1984; Diener,

(9)

Fujita, Tay & Biswas-Diener, 2011; Diener, Tamir & Scolon, 2006). Pada remaja faktor eksternal yang signifikan dalam memengaruhi kesejahteraan subjektif adalah dukungan sosial keluarga (Caron et al, 2012; Sentse & Laird, 2010; Trzcinski & Holst, 2008; Ben-Zur, 2003; Petito & Cummins, 20000), dan pertemanan (Caron et al, 2012; Sentse & Laird, 2010; Guroglu, 2008; Thayer, Updegraff & Delgado, 2008 Vieno et al, 2007; Lansford, Criss, Pettit & Dodge, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian awal yang telah dilakukan oleh peneliti pada 22-30 November 2013 terhadap 105 remaja berusia 15-18 tahun, menunjukkan bahwa terdapat tiga kategori utama tentang makna kesejahteraan bagi remaja. Pertama, remaja merasa sejahtera apabila kebutuhannya terpenuhi (sebanyak 41,91%); kategori kedua, remaja merasa sejahtera apabila merasa bahagia (36,19%), dan kategori ketiga adalah remaja yang menyatakan diri sejahtera apabila keinginannya terpenuhi (sebanyak 21,90%). Temuan lainnya adalah adanya pernyataan tentang kesejahteraan yang merupakan perpaduan antara pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan (6,67%), pemenuhan keinginan dan kebahagiaan (4,76%), pemenuhan keinginan dan kebutuhan (2,86%), serta pemenuhan keinginan, kebutuhan dan kebahagiaan (5,77%). Hasil penelitian di lapangan tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan di kalangan remaja di Sukoharjo dapat diperoleh bila merasa puas akibat kebutuhannya terpenuhi, merasa bahagia dan merasa puas karena keinginannya terpenuhi. Adapun Kepuasan dan kebahagiaan merupakan hasil evaluasi kognitif yang dilakukan seseorang terhadap kehidupannya.

Dalam kehidupan remaja, ranah yang memberikan peran terhadap capaian kebahagiaan meliputi relasi dengan orang tua, teman sebaya, atau

(10)

pengembangan diri dan kehidupan bermasyarakat (Cummins dalam Dodge et al, 2012; Eid & Larsen, 2008). Peran kehidupan keluarga terhadap capaian kesejahteraan pada remaja berupa dukungan sosial. Remaja yang memeroleh dukungan sosial dari orang tuanya membuatnya merasa puas terhadap hidupnya, merasa bahagia dan sejahtera. Kelengkapan anggota keluarga juga berperan terhadap capaian kesejahteraan remaja, terbukti dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Henry (1994) yang menunjukkan bahwa remaja yang tinggal dengan orang tua lengkap lebih tinggi kesejahteraannya dibandingkan remaja yang tinggal dengan keluarga single parent. .

Relasi dengan teman sebaya yang berkualitas juga berdampak pada kesejahteraan remaja (Tilinger, 2013). Relasi dengan teman sebaya berasal dari bahasa Inggris Friendship yeng kemudian diterjemahkan menjadi pertemanan. Pertemanan yang hangat dan memuaskan bagi pihak yang terikat pertemanan merupakan hal yang penting bagi pencapaian kesejahteraan pada masa remaja (Lyubomirsky et al., 2006; Bagwel, Kochel, & Schmidt, 2015).

Dodge, Daly, Huyton, dan Sanders (2012) menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif memiliki pola yang dinamis, artinya seseorang yang pernah menyatakan diri sejahtera belum tentu terbebas dari perasaan cemas atau tegang apabila menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Situasi yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh seseorang dapat terjadi apabila terdapat ketidaksesuaian antara realitas dengan standar yang dimiliki. Orang yang mampu mengelola diri baik secara kognitif maupun afektif akan menilai situasi yang dihadapi dari perspektif yang lebih positif sehingga bisa merasakan nyaman dan kembali sejahtera. Emosi yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada rendahnya kesejahteraan remaja (Amone-P’Olak, Garnefski, &

(11)

Kraaij, 2007; Garnefski, Koopman, Kraaij,& ten Cate, 2009), sementara emosi yang dikelola dengan baik akan berdampak pada tingginya kesejahteraan remaja (Kashdan, 2007; Nyklicek, Vingerhoets, & Zeelenberg, 2011; Setyowati, 2010; Suldo & Huebner, 2006).

Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang unik. Santrock (2007) menyatakan bahwa remaja secara kronologis berusia 10 atau 11 tahun sampai dengan 21 tahun yang sedang mengalami perubahan fisik-fisologis, afektif-sosioemosional, psikososial dan mengemban tugas perkembangan untuk bisa menerima perubahan yang dialami sekaligus berusaha mengembangkan diri yang dilakukan dengan mencoba mandiri dari ketergantungan pada orang tua atau orang dewasa di sekitarnya dan mulai berperan di dalam kehidupan kemasyarakatan. Kadang-kadang masa remaja juga disebut sebagai masa yang emosional seperti dinyatakan oleh Stanley Hall (dalam Santrock, 2007), bahwa remaja berada dalam tahap badai dan tekanan sehingga lebih mudah terpicu untuk menjadi emosional.

Pada literatur yang berbeda, Smetana (2011) menyatakan bahwa peristiwa badai dan tekanan yang dialami oleh remaja tidak memengaruhi kondisi emosional seorang remaja apabila hubungan dengan orang tuanya lebih harmonis, hangat dan lekat. Orang tua yang hangat, mampu menciptakan kehidupan keluarga harmonis dan bisa memberikan kelekatan membuat remaja menjadi tidak mudah emosional sehingga mampu menemukan kesejahteraan. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Darmayanti (2011) yang menunjukkan bahwa pada remaja penyintas bencana Tsunami di Aceh, dukungan sosial dari orang– orang di sekitar remaja, termasuk di antaranya adalah orang tuanya, membuat remaja lebih mudah bangkit dari keterpurukan akibat tertimpa bencana tsunami

(12)

sehingga remaja menjadi lebih cepat menemukan kesejahteraannya kembali. Penelitian yang dilakukan oleh Setyowati (2010) juga menunjukkan bahwa dukungan sosial dari keluarga dapat meningkatkan kesejahteraan pada remaja. Keluarga tidak hanya berupa keluarga inti saja namun bisa juga orang tua pengganti.

Dukungan sosial dari orang tua juga berperan secara signifikan bagi kesejahteraan remaja korban gempa bumi di Yogyakarta (Munauwarah, 2008). Selain dukungan orang tua, remaja penyintas bencana menjadi lebih cepat meraih kesejahteraan karena memiliki optimisme (Darmayanti, 2011), kepribadian tangguh (Darmayanti, 2011; Munauwarah, 2008), harga diri dan resiliensi (Munauwarah, 2008), dan religiusitas (Darmayanti, 2011). Faktor harga diri, kepribadian tangguh dan religiusitas tidak memiliki peran langsung terhadap kesejahteraan remaja, tetapi berperan langsung pada optimisme. Dengan kata lain, harga diri, kepribadian tangguh dan religiusitas lebih berperan untuk meningkatkan optimisme daripada kesejahteraan subjektif (Darmayanti, 2011). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa optimisme memiliki peran yang lebih signifikan bagi pencapaian kesejahteraan di kalangan remaja.

Hasil penelitian yang dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif remaja dengan kondisi khusus (penyintas bencana atau yang ditinggal oleh orang tua menjadi buruh migran internasional) dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal, meskipun demikian belum ada model teoritis tentang kesejahteran subjektif remaja secara umum tanpa kondisi khusus. Jayawickreme, Forgeard dan Seligman (2012) mengajukan suatu model yang menggambarkan proses yang terjadi dalam meraih kesejahteraan dalam diri seseorang. Dasar berpikir yang digunakan adalah banyak faktor yang

(13)

memengaruhi pencapaian kesejahteraan seseorang baik berasal dari luar maupun dari dalam diri yang bersangkutan, namun belum ada yang merangkumnya menjadi suatu proses yang berkesinambungan. Model yang ditawarkan adalah pencapaian kesejahteraan dapat diibaratkan sebagai suatu mesin. Kinerja mesin didahului oleh adanya input yang kemudian diolah di dalam mesin dan akhirnya menghasilkan luaran. Input dapat berupa hal-hal yang berasal dari luar maupun dari dalam diri seseorang; mesin yang memproses input berupa status internal seseorang yang memengaruhi pilihan dalam memberikan respons; sedangkan output berupa perilaku yang menggambarkan kesejahteraan. Model ini lebih dikenal sebagai model the engine of well being. Belum banyak penelitian tentang the engine of well being ini, terutama bila diterapkan pada masa remaja. Padahal dalam perspektif perkembangan dijelaskan bahwa kesejahteraan pada masa anak berdampak pada masa remaja, kesejahteraan masa remaja berdampak pada masa dewasa dan seterusnya (Keyes, 2009). Oleh karena itu pemerolehan kesejahteraan pada pada remaja menjadi suatu hal yang penting karena menjadi dasar bagi pengembangan kesejahteraan subjektif pada tahap perkembangan berikutnya.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menguji model the engine of

well-being untuk melihat keterkaitan antara faktor internal (strategi regulasi emosi,

dan optimism), dan faktor eksternal (dukungan social, dan pertemanan) dengan kesejahteraan pada remaja.

B. Rumusan Permasalahan

Menurut Jayawickreme et al (2012) pemerolehan kesejahteraan atau kebahagiaan diibaratkan seperti mesin yang didahului oleh input-proses- dan

(14)

diakhiri oleh output yang kemudian dikenal dengan istilah the engine of

well-being. Model the engine of well-being diperoleh dari telaah penelitian terhadap

orang dewasa namun belum diterapkan pada subjek penelitian pada remaja padahal tahapan perkembangannya berbeda dengan karakteristik yang berbeda pula. Faktor-faktor yang ditengarai berperan dominan pada pemerolehan kesejahteraan subjektif remaja meliputi dukungan sosial keluarga, pertemanan, optimisme, dan regulasi emosi.

Berdasarkan paparan sebelumnya maka rumusan masalah yang diajukan adalah “Apakah model the engine of well-being dapat digunakan untuk menggambarkan keterkaitan antara dukungan sosial keluarga, pertemanan, optimisme, regulasi emosi dan kesejahteraan subjektif remaja?”

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan utama dalam penelitian ini untuk mengkaji keterkaitan antara dukungan sosial keluarga, pertemanan, optimisme, regulasi emosi dan kesejahteraan remaja berdasarkan model the engine of well being.

Manfaat teoritis dari penelitian ini: menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam rangka pengembangan teori well being berdasarkan model the engine of well being khususnya dalam mempelajari prediktor penting yang berperan langsung maupun tidak langsung terhadap kesejahteraan remaja.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Keyes (2009) tentang kesejahteraan subjektif pada remaja di Amerika. Hasilnya menunjukkan bahwa pada usia 12-18 tahun urutan pencapaian kesejahteraan subjektif yang paling tinggi adalah

(15)

kesejahteraan emosional, kemudian kesejahteraan psikologis dan diakhiri oleh kesejahteraan sosial. Kesejahteraan emosional ditandai oleh perasaan kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan hampir setiap hari. Hasil penelitian Keyes lainnya menunjukkan bahwa pengertian kesejahteraan emosional atau kebahagiaan sering disamakan dengan kesejahteraan subjektif.

Menurut Diener (1984), yang kemudian didukung oleh Eid dan Larsen (2008), kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah hal-hal yang bersumber dari dalam diri individu, antara lain genetika, kepribadian; sedangkan faktor eksternal adalah hal-hal yang berasal dari luar individu, antara lain relasi sosial, lingkungan social, usia, budaya dan keluarga.

Beberapa kajian dan penelitian tentang faktor internal yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif menunjukkan bahwa nilai-nilai ajaran Islam (Diponegoro, 2004), pusat kendali, optimisme (Harpan, 2006), harga diri, kepribadian tangguh, resiliensi, kepribadian ekstraversi dan neurotisme, sense of humor, religiusitas (Hartanti, 2012), strategi regulasi emosi (Setyowati, 2010) berperan signifikan terhadap kesejahteraan; sedangkan faktor eksternal yang berperan signifikan adalah budaya, demografik, dan relasi sosial dengan keluarga atau teman sebaya (Garnefski & Diekstra, 1996).

Berdasarkan penelitian Munauwarah (2008), Setyowati (2010), Darmayanti (2012), Hartanti (2012), Garnefski dan Diekstra (1996) dan Shaffer et al (Gilman et al, 2009) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kesejahteraan remaja merupakan suatu hal yang penting untuk diteliti, baik di kalangan remaja penyintas bencana maupun remaja pada umumnya. Meskipun bukan penyintas bencana, secara umum remaja memiliki tahapan perkembangan yang bervariasi,

(16)

remaja yang berusia 12 – 14 tahun menunjukkan gejala depresi minimal, konsep diri jelas, mampu menjalin relasi sosial yang hangat serta terikat pada sekolah; sedangkan remaja usia 15 – 18 tahun menunjukkan tingginya simtom depresi, ketidakpatuhan pada aturan, konsep diri rendah dan kurang terikat pada sekolah. Gejala depresi, rendahnya konsep diri, relasi sosial serta rendahnya keterikatan pada sekolah dapat digunakan sebagai gambaran tentang rendahnya kesejahteraan subjektif remaja. Dengan kata lain, remaja usia 15-18 tahun lebih rendah kesejahteraan subjektifnya dibandingkan remaja usia 12 – 14 tahun.

Beberapa penelitian yang dipaparkan di atas berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan dalam hal (1) subjek penelitian, pada penelitian ini subjek penelitian adalah remaja berusia 15 – 18 tahun bukan penyintas bencana; (2) peran keluarga pada kesejahteraan remaja dilihat dari dukungan sosial; (3) peran teman sebaya diwadahi dalam bentuk pertemanan; (4) unsur internal yang dipertimbangkan dalam penelitian ini adalah regulasi emosi dan optimisme; (5) kajian keterkaitan antara unsur internal (regulasi emosi dan optimisme) dan eksternal (dukungan sosial keluarga dan pertemanan) secara bersama-sama dengan menggunakan model teoritis the engine of well-being.

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat sesuai kapasitasnya mendukung program pembinaan pendidikan keluarga di lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan melalui berbagai cara, misalnya salah satu tokoh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Perbandingan

fasilitas olahraga yang menghibur, bagaimanakah tema sport dan entertainment dapat diimplementasikan dalam elemen-elemen interior sebuah plaza, dan bagaimana

Netway Utama pada saat saya melakukan audit pay roll sangat imajiner karena tidak adanya bukti transfer gaji pegawai yang diberikan pada saat audit, kemudian keterbatasan

Perusahaan Belanda, yang kini hampir selama satu abad memperluas perdagangan- nya di Kerajaan Siam di bawah nenek moyang Duli Yang Maha Mulia Paduka Raja yang sangat luhur,

Disini penulis ingin membuat olahan jahe yang memanfaatkan sari jahe dalam pembuatan puding SMJ (Susu, Madu, Jahe) dan ampasnya sebagai bahan dasar pembuatan

Proses ini akan menghasilkan hasil dari sebuah klasifikasi pada dokumen rekam medis untuk digunakan proses informasi ekstraksi teks kedalam database yang akan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan metode pembelajaran Project Based Learning (PjBL) disertai media Mind Mapping terhadap