• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR HASIL RISET PARTISIPASI PEMILIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR HASIL RISET PARTISIPASI PEMILIH"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN AKHIR

HASIL RISET PARTISIPASI PEMILIH

”TINGKAT KEHADIRAN PEMILIH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI KEHADIRAN DAN KETIDAK HADIRAN PEMILIH

UNTUK HADIR MEMILIH PADA PEMILU TAHUN 2014 DI

KABUPATEN MUNA”

DISUSUN OLEH :

TIM PENELITI

RISET PARTISIPASI PEMILIH

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN MUNA

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas karunia, taufik dan hidayah dan inayah-Nya kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Muna sehingga dapat menyelesaikan laporan akhir kegiatan Riset Partisipasi Pemilih dengan judul “Tingkat Kehadiran Pemililih dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih Di Lokasi TPS Dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 Di Kabupaten Muna”. Laporan penelitian ini menyajikan Informasi seluruh hasil penelitian yang dilakukan, sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen dari kami selaku pelaksana kegiatan ini.

Riset ini berlokasi di Kabupaten Muna dengan menggunakan metode kuantitatif melalui survey, wawancara dan penyebaran quisioner dengan pengambilan sampel secara acak pada semua kecamatan di Kabupaten Muna sesuai dengan wilayah kerja Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Muna

Kami menyadari laporan dalam riset ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan kedepannya. Semoga apa yang telah kami lakukan ini dapat memberikan kontribusi yang positif dalam menyelesaikan berbagai pesoalan terkait Partisipasi masyatakat dalam Pemilu, sekaligus menambah khasanah perbendaharaan ilmu pengetahuan di bidang komunikasi politik khususnya tentang partisipasi politik.

Kami mengucapkan terimakasih kepada tim pelaksana Riset yang telah bekerja dengan sebaik-baiknya sehingga berhasil menyelesaikan kegiatan laporan riset ini sesuai dengan yang diharapkan. kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mendukung dan memperlancar pelaksanaan seluruh kegiatan riset selama ini.

Demikian laporan penelitian ini kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi kemajuan Bangsa dan Negara, utamanya dalam pendemokrasian kehidupan ber Bangsa dan ber Negara umumnya dan masyarakat Kabupaten Muna pada khususnya

.

Raha, 30 Juli 2014

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN MUNA

(3)

iii

ABSTRAKSI

Tim Peneliti Riset Partisipasi Pemilih dengan Judul “Tingkat Kehadiran Pemililih dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih Di Lokasi TPS Dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 Di Kabupaten Muna”.

Partisipasi pemilih di Indonesia sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu 2014 bergerak fluktuatif. Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih sekitar 10% konsisten terjadi sampai pada pemilu 2009. Sementara itu pada pemilu 2014, angka partisipasinya kembali naik sebesar 5%. Hal serupa terjadi pada pemilihan yang diadakan di Kabupaten Muna. Pada kasus pilpres tercatat angka partisipasinya lebih jauh lebih rendah dibandingkan pemilu legislatif.

Penelitian ini mencoba untuk mengetahui dan menganalisis Tingkat Kehadiran Pemilih dan Faktor-faktor yang mempengaruhi kehadiran dan ketidakhadiran pemilih untuk memilih di TPS pada pemilu tahun 2014 di Kabupaten Muna. Teori yang digunakan dalam menjelaskan permasalahan tersebut adalah Teori Partisipasi dan Perilaku Pemilih, Faktor Yang Mempengaruhi pemilih untuk memilih dan tidak Memilih (non voting). Adapun metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif deskriptif dengan metode pengambilan sampel secara acak .

Hasil Penelitian Menunjukkan bahwa Partisipasi pemilih di Kabupaten Muna tergolong masih rendah dan Tingkat Kehadiran pemilih cenderung menurun dari Pileg tahun 2014, dimana kehadiran pemilih mencapai 62,48%. Pada Pilpres tahun 2014 mengalami penurunan sekitar 10,46% jadi 50,02%.

Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kehadiran dan ketidakhadiran pemilih disimpulkan empat faktor penting dari jawaban responden yaitu (1). Faktor Geografis seperti Cuaca dengan persentase 72,50% dan Jarak 67,75%, (2). Faktor sosial ekonomi seperti Pendidikan/Pengetahuan Pemilih tentang Pemilu 77,25%, Money Politik 68,50%, (3). Faktor Psikologis meliputi Kedekatan Pemilih dengan Calon 84,25%, Sosialisasi Politik 74,50%, (4). Faktor Rasional meliputi Jenis Pemilu 67%, Visi-Misi Parpol/calon 78% Keempat faktor tersebut dianggap sebagai faktor yang memberi pengaruh signifikan pada tingkat Kehadiran Pemilih untuk hadir memilih.

TIM PENELITI

RISET PARTISIPASI PEMILIH KETUA TIM,

(4)

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i KATA PENGANTAR ii ABSTRAKSI iii DAFTAR ISI vi BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 5 C. Tujuan Riset 5 D. Manfaat Riset 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

A. Partisipasi Politik 6

B. Pemilihan Umum 11

1. Pengertian Pemilihan Umum 11

2. Tujuan Pemilihan Umum 12

3. Asas Pemilihan Umum 12

4. Sistem Pemilihan Umum 13

C. Batasan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kehadiran dan

Ketidak Hadiran Pemilih 15

D. Kerangka Pemikiran 17

E. Skema Kerangka Pemikiran 18

BAB III METODE PENELITIAN 19

A. Jenis Penelitian 19

B. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan 19

1. Lokasi Riset 19

2. Waktu Pelaksanaan 19

C. Populasi dan Sampel 19

1. Populasi 19

2. Sampel 19

D. Jenis dan Sumber Data 21

E. Teknik Pengumpulan Data 21

F. Teknik Analisis Data 21

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 22

A. Keadaan Geografis 22

1. Letak Geografis 22

2. Luas dan Batas Wilayah 22

3. Topografi 22

(5)

v

B. Keadaan Demografi dan Pemerintahan 22

1. Pemerintahan 22

2. Jumlah Penduduk 23

3. Ketenagakerjaan 24

C. Sarana dan Prasarana 24

1. Pendidikan 24

2. Kesehatan 24

3. Agama 25

4. Transportasi 25

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 27

A. Tingkat Kehadiran Pemilih Untuk Memilih 27

1. Jumlah Pemilih Yang Terdaftar 27

2. Jumlah Pemilih Yang Memberikan Hak Suara 28 B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kehadiran Pemilih

Untuk Memilih dalam Pemilihan Umum tahun 2014 30

1. Faktor Geografis 30

2. Faktor Sosial Ekonomi 31

3. Faktor Psikologis 32 4. Faktor Rasonal 34 BAB VI PENUTUP 35 A. Kesimpulan 35 B. Saran 36 DAFTAR PUSTAKA 39 DAFTAR LAMPIRAN 41

(6)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemilihan umum dan demokrasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan prasyarat penting dalam bangunan demokrasi. Pemilihan umum juga merupakan wadah bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Pemilihan umum baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, merupakan serangkaian pemilihan yang dalam penyelenggaraannya dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 dan Undang-Undang nomor 42 tahun 2008. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia yang notabene memiliki masyarakat yang heterogen. Melalui pemilu kemungkinan semua pihak bisa terakomodasi apa yang diinginkan dan yang dicita-citakan sehingga terwujud kehidupan yang lebih baik. Dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu di jelaskan bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penyelenggaraan Pemilihan umum di Indonesia pada hakekatnya merupakan konkritisasi dari perwujudan kedaulatan rakyat dalam rangka partisipasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Secara tegas (explicit) ketentuan pasal 1 ayat 2 Undang–Undang Dasar 1945 menyebutkan, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang–Undang Dasar”. Penggunaan hak pilih (aktif) oleh setiap warga negara Indonesia, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga sebagai aplikasi hak politik warga negara, sebagaimana ditentukan dalam pasal 28 Undang–Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang– Undang”.

Demokrasi yang dianut di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila yang mencakup prinsip–prinsip pokok demokrasi konstitusional yang berdasarkan rule of law. Pelaksanaan pemilihan umum yang bebas untuk mengakomodir hak–hak politik masyarakat, merupakan salah satu syarat utama pemerintahan yang demokratis berdasarkan rule of law. Kemerdekaan atau kebebasan mengeluarkan pikiran/menyatakan pendapat merupakan pilar mendasar dalam pemerintahan yang demokratis, dan dianggap sebagai asas fundamental dalam Pemilihan umum.

(7)

2

Sebagai wadah aspirasi bagi masyarakat, pemilu diharapkan dapat tampil di tengah-tengah rakyat Indonesia yang plural dengan baik. Aspirasi yang dilakukan oleh rakyat, dimaksudkan agar terjadi sinergitas yang positif antara proses dengan hasil. Artinya, aspirasi rakyat merupakan ruh dalam pelaksanaan perkembangan dan pembangunan Indonesia ke depan.

Negara Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi yang menggunakan Pemilihan umum langsung yang memberikan kesempatan bagi rakyatnya untuk memilih sendiri wakil dan pemimpin mulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat. Tetapi dalam aplikasinya, pemilu di Indonesia itu sendiri ditanggapi secara apatis oleh masyarakatnya sehingga berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu.

Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat. Semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) atau perilaku tidak memilih termasuk di dalamnya tidak hadir memilih ke TPS dalam pemilu.

Pelaksanaan pemilu, baik pemilu legislatif, pemilu presiden ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu diwarnai dengan munculnya golongan putih atau golput. Entah kenapa golongan yang satu ini selalu menjadi sosok yang mengkhawatirkan dan menakutkan. Disebut mengkhawatirkan karena golongan ini dinilai sosok yang tidak mendukung pesta demokrasi yang sudah ada sejak dulu di negeri ini, dan jumlahnya cukup banyak bahkan kadang menyamai dan melebihi dengan jumlah suara tertinggi dalam suatu pemilu atau pilkada. Angka golongan putih (golput) atau voter’s turn out (VTO) apalagi jika melebihi dari jumlah suara pemenang, maka tentunya akan sulit untuk mengatakan bahwa kemenangan calon/kandidat adalah sudah merepresentatifkan kemauan sebagian besar masyarakat, lebih jauh lagi efek turunannya adalah sukar untuk membangun logika tentang dukungan maksimal dari masyarakat terhadap pemerintah yang akan datang.

Besarnya masyarakat yang tidak memilih saat Pemilu menunjukkan banyaknya massa yang masih ragu. Dalam bahasa sosiologi politik, massa mengambang disebut sebagai floating mass atau kadang juga disebut floating

voters. Mengambang artinya tidak ke sana, tidak ke sini atau tidak ke

(8)

3

menentukan pilihan mereka kepada suatu partai atau calon tertentu dalam suatu pemilihan. Padahal kita semua mengetahui bahwa calon-calon dalam Pemilu adalah yang mendapat dukungan dari partai politik. Ini menjadi sebuah fenomena tersendiri menjelang Pemilu mendatang.

Keikutsertaan warga negara dalam Pemilihan umum yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, sehingga keputusan untuk tidak memilih ini juga merupakan suatu pilihan yang memungkinkan untuk diambil. Hal ini merupakan bentuk konsekuensi dari berbagai macam karakteristik perilaku politik masyarakat yang diuraikan antara lain menyumbang dan memberikan dana bagi organisasi, mendirikan organisasi, menjadi anggota organisasi, mengemukakan pendapat, memberikan suara dan bersikap apolitis.

Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan salah satu hak warga negara yang mendasar adalah hak untuk mempergunakan suaranya, disamping hak-hak warga negara Indonesia yang lainnya. Selain pengaturan hak-hak warga negara untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Berikut ini adalah data partisipasi pemilih sejak Pemilu sejak Orde Baru sampai Pemilu Era Reformasi tahun 1971-2014

Tabel 1:

Data partisipasi pemilih pemilu tahun 1971-2004

Tahun Pemilih Terdaftar (Jiwa) Menggunakan Hak (%) Tidak Menggunakan Hak (%) 1971 58.558.776 96,62 3,38 1977 69.871.092 96,52 3,48 1982 82.134.195 96,47 3,53 1987 93.737.633 96,43 3,57 1992 107.565.413 96,06 4,94 1997 125.640.987 93,55 6,45 1999 118.158.778 92,74 7,26 2004* 148.158.778 84,07 15,93 2004** 155.048.803 78,23 21,77 2004 *** 152.246.188 76,93 23,37

Sumber : Kompas, edisi 6 April 2009 (hal. 4) Keterangan

(9)

4 ** : Pemilihan Presiden Putaran I *** : Pemilihan Presiden Putaran II

Partisipasi pemilih dalam setiap pagelaran pemilu selalu memprihatinkan. Angka golongan putih (golput) masih terus meningkat di setiap pemilu yang digelar di Indonesia. Tingkat partisipasi politik pada Pemilu rezim Orde Lama mulai dari tahun 1955 dan Orde Baru pada tahun 1971 sampai 1997, kemudian Orde Reformasi tahun 1999 sampai sekarang masih cukup tinggi. Tingkat partisipasi politik pemilih dalam pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 persen dengan angka golput hanya 8,6 persen. Baru pada era non-demokratis Orde Baru golput menurun. Pada Pemilu 1971, tingkat partisipasi politik mencapai 96,6 persen dan jumlah golput menurun drastis hanya mencapai 3,4 persen. Sementara Pemilu tahun 1977 dan Pemilu 1982 hampir serupa. Yakni, partisipasi politik sampai 96,5 persen dan jumlah golput mencapai 3,5 persen. Pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,4 persen dan jumlah golput hanya 3,6 persen. Pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1 persen dan jumlah golput mencapai 4,9 persen. Untuk Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 93,6 persen dan jumlah golput mulai meningkat hingga 6,4 persen.

Pasca-reformasi, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi memilih 92,6 persen dan jumlah Golput 7,3 persen. Angka partisipasi yang memprihatinkan terjadi pada Pemilu 2004, yakni turun hingga 84,1 persen dan jumlah golput meningkat hingga 15,9 persen. Pada Pilpres putaran pertama tahun 2004 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2 persen dan jumlah Golput 21,8 persen, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6 persen dan jumlah golput 23,4 persen. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9 persen dan jumlah golput semakin meningkat yaitu 29,1 persen. Pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7 persen dan jumlah golput mencapai 28,3 persen. Adapun tingkat golput dalam gelaran Pilpres 2014 mencapai 29,8% atau 56.732.857 suara. Angka golput Pilpres 2014 lebih parah dibanding Pilpres 2009, Bahkan jauh lebih buruk dibanding Pilpres 2004 (yang hanya mencapai 24%). Data KPU menyebut, total warga yang berhak menggunakan hak pilihnya dan masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pilpres 2014 adalah 190.307.134. Namun yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 133.574.277 suara (www.merdeka.com).

Meningkatnya angka Golput dan rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam setiap pemilihan menunjukkan kurangnya kesadaran dan minimnya pengetahuan masyarakat akan sistem politik yang lebih demokratis, adil dan berpihak kepada kepentingan umum. Sistem Pemilu atau Pilkada, mekanisme pencalonan kandidat dan format penyelenggaraannya dipandang belum merepresentasikan partisipasi dan kepentingan publik. Dengan

(10)

5

banyaknya golput, keterpilihan pemimpin tidak mencerminkan kehendak rakyat secara utuh. Dengan kata lain, menurunnya kredibilitas dan legitimasi pemerintah yang dihasilkannya sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan politik. Rendahnya tingkat kehadiran pemilih dalam setiap pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi ketidak hadiran pemilih untuk memilih yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik.

Berdasarkan fenomena di atas Komisi Pemilihan Umum termasuk Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Muna yang memiliki wilayah kerja di Kabupaten Muna yang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan pemilu secara serentak dengan daerah-daerah lain sesuai dengan undang-undang melakukan riset terhadap perilaku pemilih dengan judul “Tingkat Kehadiran Pemililih dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih Di Lokasi TPS Dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 Di Kabupaten Muna”. untuk mengetahui sejauh mana partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu khususnya Pemilu tahun 2014 sebagi bahan perbaikan ke depan demi mensukseskan demokrasi di negeri ini.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana tingkat kehadiran Pemilih dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Muna?.

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kehadiran dan ketidak hadiran pemilih dalam Pemilihan Umum 2014 di Kabupaten Muna?.

C. Tujuan Riset

Riset ini dilakukan bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui bagaimana tingkat kehadiran Pemilih dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Muna.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kehadiran dan ketidakhadiran pemilih dalam pemilihan umum 2014 di Kabupaten Muna.

D. Manfaat Riset

1. Untuk menambah pengetahuan mengenai tingkat partisipasi politik di Kabupaten Muna.

2. Memberikan solusi bagi KPU khususnya KPU Kabupaten Muna dalam menyusun strategi untuk mendorong peningkatan partisipasi pemilih.

3. Sebagai Bahan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan dan memperkuat partisipasi warga dalam pemilu dan setelahnya.

(11)

6

4. Menemukan akar masalah atas persoalan-persoalan yang terkait dengan partisipasi dalam pemilu.

5. Terumuskannya rekomendasi kebijakan atas permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan partisipasi dalam pemilu.

(12)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Di negara-negara yang proses modrnisasinya secara umum telah berjalan dengan baik, biasanya tingkat partisipasi warga negara meningkat. Modernisasi politik dapat berkaitan dengan aspek politik dan pemerintah.

Partisipasi politik pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah (Sastromatmojo, 1995:67).

1. Pengertian partisipasi politik

Miriam Budiarjo mendefenisikan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehiudpan politk, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara, secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan Negara. Kegiatan ini mencakup seperti memberikan suara pada pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota salah satu partai atau kelompok kepentingan dan sebagainya (Miriam Budiarjo, 2009:1)

Ramlan Subakti menurutnya partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan ikut serta dalam menentukan pemimpin pemerintahan (Ramlan Subakti, 2007:118).

Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam bukunya yang berjudul pembangunan politik di negara-negara berkembang memberi tafsiran yang lebih luas dengan memasukkan secara eksplisit tindakan ilegal dan kekerasan. Menurut merekabahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuat keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual dan kolektif, terorganisir dan spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan. Legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Miriam Budiarjo 1998:3)

Menurut davis, partisipasi politik adalah sebagai mental dan emosinal yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada tujuan atau cita-cita kelompok atau turut bertanggung jawab padanya (Davis dalam Sastromatmojo, 1995:67).

Dalam negara demokratis yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakannya memalui kegiatan

(13)

8

bersama untuk menentukan tujuan serta masa depan suatu negara itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang pimpinan.

Dari pengertian mengenai paritiisipasi politik di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud partisipasi politik adalah keterlibatan individu atau kelompok sebagai warga negara dalam proses politik yang berupa kegiatan yang positif dan dapat juga yang negatif yang bertujuan untuk berpatispasi aktif dalam kehidupan politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah.

2. Bentuk-bentuk partisipasi politik

Bentuk partisipasi politik seorang tampak dalam aktivitas-aktivitas politiknya. Bentuk partisipasi politik yang paling umum dikenal adalah pemungutan suara (voting) entan untuk memilih calon wakil rakyat atau untuk memilih kepala negara.

Dalam buku pengantar sosiologi Politik, Michael Rush dan Philip Althoff mengidentifkasi bentuk-bentuk partisipasi politik sebagi berikut:

a. Menduduki jabatan politik atau adiministarasi; b. Mencari jabatan politik atau administrasi;

c. Mencari anggota aktif dalam suatu organisasi politik; d. Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi politik. e. Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi politik f. Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi semi politik g. Paritispasi dalam rapat umum, demonstrasi, dsb

h. Partisipasi dalam diskusi politik internal i. Partisipasi dalam pemungutan suara.

Sastroatmodjo juga mengemukakan tentang bentuk-bentuk paritipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya yang dikategorikan menjadi dua yaitu partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi individual dapat berwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah. Partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga negara secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti dalam kegiatan pemilu.

Sementara itu, Maribath dan Goel membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori:

a. Apatis, adalah orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari prose politik.

b. Spektator, adalah orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilu.

c. Gladiator, adalah mereka yang aktif terlibat dalam prose politik misalnya momunikator, aktifis partai dan aktifis masyarakat.

(14)

9

d. Pengkritik, adalah orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.

Menurut Rahman, kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik mempunyai berbagai mcam bentuk. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi berbagai negara dan waktu dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional dan non konvensional, termasuk yang mungkin legal (seperti peitisi) maupun ilegal, penuh kekerasan, dan revolusioner. Bentuk-bentuk frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan/ketidakpuasan warga negara. Bentuk-bentuk partispasi politik yang dikemukakan oleh Alomond yang terbagi dalam dua bentuk yaitu partisipasi politik konvensional dan partisipasi politik non konvensional. Tujuan Partisipasi Politik

Adanya kondisi masyarakat yang beraneka ragam tentunya tiap-tiap warga masyrakat mempunyai tujuan hidup yang beragam pula sesuai dengan tingkat kebutuhannya, dan upaya memenuhi kebutuhan itu di refleksikan dalam bentuk kegiatan, yang tentunya kebutuhan yang berbeda akan menghasilkan kegiatan yang berbeda pula. Demikian pula dalam partisipasi politiknya tentu tujuan yang ingin dicapai antara warga satu berbeda dengan yang lain.

Menurut Waimer menyatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya pergerakan ke arah partispasi yang lebih luas dalam prose politik yaitu : a. Modernisasi di segala bidang, berimplikasi pada komersialisme

pertanian, industri, perbaikan pendidikan, pengembangan metode masa, dan sebagainya.

b. Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Perubahan sturktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menegah dan pekerja baru yang semakin meluas dalam era industrialisasi dan modernisasi. Dari hal itu muncul persoalan yaitu siapa yang berhak ikut serta dalam pembuatan-pembuatan keputusan-keputusan politik yang akhirnya membawa perubahan dalam pola partisipasi politik. Kelas menegnah baru itu secara praktis menyuarakan kepentingan-kepentingan msyarakat yang terkesaan demokratis.

c. Pengaruh kaum intlektual dan meningkatnya komunikasi masa merupakan faktor yang meluasnya komunikasi politik masyarakat. Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisasi akan membangkitkan tuntutan-tuntan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang luas mempermudah penyebaran ide-ide seluruh masyarakat. Dengan masyarakat yang belum maju sekalipun akan dapat menerima ide-ide politik tersebut secara tepat. Hal itu berimplikasi pada

(15)

tuntutan-10

tuntutan rakyat ikut serta menentukan dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.

d. Adanya konflik di antara pemimpin-pemimpin politik. Pemimpin politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan masa. Dalam hal mereka beranggapan, adalah sah apabila yang mereka lakukan demi kempentingan rakyat dan dalam uapaya memerjuangkan ide-ide partisipasi masa. Implikasinya adalah munculnya tuntutan terhadap hak-hak rakyat, baik hak-hak asasi manusia, keterbukaan, demokratisasi, maupun isu-isu kebebasan pers. Dengan demikian pertentangan dan perjuangan kelas menengah kekuasaan mengakibatkan perluasan hak pilih rakyat.

e. Adanya keterlibatan pemerintah yang semaki meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan-tuntutan yang berorganisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi keputusan politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.

Menurut Davis, partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi pengasa baik dalam arti memperkuat maupun dalam pengertian menekannya sehingga mereka memperhatikan atau memenuhi kepentingan pelaku partisipasi. Tujuan tersebut sangat beralasan karena sasaran partisipasi politik adalah lembaga-lembaga politik atau pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan politik.

Sedangkan bagi pemerintah, partisipasi politik dari warga negara mempunyai tujuan sebagai berikut:

a. Untuk mendukung program-program pemerintah, artinya peran serta masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan pembangunan.

b. Sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan.

Jadi partisipasi politik sangatlah penting bagi masyarakat maupun pemerintah. Bagi masyarakat dapat sebagai sarana untuk memberikan masukan, kritik, dan saran terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, sedangkan bagi pemerintah partisipasi politik merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan pelaksanaan kebijakan.

(16)

11 3. Landasan Partisipasi Politik

Hutington dan Nelson mengemukakan bahwa landasan yang lazim digunakan untuk menyelenggarakan partisipasi politik adalah:

a. Kelas : perorangan-perorangan dengan status sosial, pendapatan, pekerjaan yang serupa.

b. Kelompok/komunal : perorangan-perorangan dari ras, agama, bahasa atau etnisitas yang sama.

c. Lingkungan (negihborhood) : perorangan-perorangan yang secara geografi bertempat tinggal berdekatan satu sama lain.

d. Partai : perorangan yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintah.

e. Golongan (function) : perorangan-perorangan yang dipersatukan oleh intraksi yang terus menerus atau intens satu sama lain, dan salah satu manifestasinya adalah pengelompokan patro-klien, artinya satu golongan yang melibatkan pertukaran manfaat-manfaat secara timbal balik di antara perorangan-perorangan yang mempunyai sistem status, kekayaan dan pengaruh yang tidak sederajat.

Hermawan berpendapat bahwa yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku politik, adalah:

a. Lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem politik, media masa, sistem budaya, dan lain-lain.

b. Lingkungan politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, teman agama, kelas, dan sebagainya. c. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.

d. Faktor sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan politik, seperti suasana kelompok, ancaman, dan lain-lain.

B. Pemilihan Umum (Pemilu)

1. Pengertian Pemilihan Umum (Pemilu)

Berdasarkan UUD 1945 Bab I Pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam demokrasi modern yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat yang ditentukan sendiri oleh rakyat. Untuk menentukan siapakah yang berwenang mewakili rakyat maka dilaksanakan pemilihan umum. Pemilihan umum adalah suatu cara memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga perwakil-wakilan rakyat serta salah satu

(17)

12

pelayanan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik.(Syarbaini, S. dkk, 2002:80).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemiliham umum dinyatakan bahwa pemilihan umum, adalah saranan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Repbulik Indonesia tahun 1945.

Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilu. Sesuai dengan asas bahwa rakyatlah yang berdaulat maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah suatu pelanggaran suatu hak asasi apabila pemerintah tidak mengadakan pemilu atau memperlambat pemilu. (Kusnardi, M. dan Ibrahim. H, 1994:329)

Dari pengertian di atas bahwa pemilu adalah sarana mewujudkan pola kedaulatan rakyat yang demokratis dengan cara memilih wakil-wakil rakyat, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Karena pemilu merupakan hak asasi mansia maka pemilu 2014 warga negara yang terdaftar pada daftar calon pemilih berhak memilih langsung wakil-wakilnya dan juga memilih langsung Presiden dan Wakil Presidennya.

2. Tujuan Pemilihan Umum

Tujuan pemilu adalah menghasilkan wakil-wakil rakyat yang representatif dan selanjutnya menentukan pemerintahan. Dalam UUD 1945 Bab VII B pasal 22 E ayat (2) pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kemudian dijabarkan dalam UU RI Nomor 15 tahun 2011 bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat konstitusional yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Asas Pemilihan Umum

Berdasarkan Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoneisa tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pengertian asas pemilu adalah :

a. Langsung

Yaitu rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

(18)

13 b. Umum

Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut memilih dalam pemilu. Warga negara yang sudah berumur 21 tahun berhak dipilih dengan tanpa ada diskriminasi (pengecualian).

c. Bebas

Setiap warga negara yang memilih menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun/dengan apapun. Dalam melaksanakan haknya setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.

d. Rahasia

Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya akan diberikan.

e. Jujur

Dalam penyelenggaraan pemilu seitap penyelenggara/pelaksana pemilu, pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas, dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku.

f. Adil

Berarti dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilih dan parpol perserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

4. Sistem Pemilihan Umum

Dalam ilmu politik dikenal bermacam-maca sistem pemilhan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu : “single member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil ; biasanya disebut Sistem Distrik) dan multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil ; biasanya dinamakan prorportional Representation atau sistem Perwakilan Berimbang)”.(Rahman, H.A., 2007:151).

a. Single-member constituency (Sistem Distrik)

Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang dilipunti) mempunyai satu wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk keperluan itu daerah pemilihan dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat ditentukanoleh

(19)

14

jumlah distrik. Dalam pemilihan umum legislatif tahun 2014, untuk anggota Dwan Perwakilan Daerah pesertanya perseorangan menggunakan sistem distrik.

b. Multi-member constituency (sistem Perwakilan Berimbang)

Satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan prorportional representation atau sistem perwakilan berimbang. Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan bebarapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini diperlukan suatu pertimbangan. (Rahman, H.A., 2007:152)

Jumlah total anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan atas dasar pertimbangan dimana setiap daerah pemilih memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilih itu.

Indonesia merupakansalah satu negara demokrasi dimana dengan adanya sistem pemilihan umum yang bebas untuk membentuk dan terselenggaranya pemerintahan yang demokratis. Hal ini sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan sebagai saranan pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasrkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu 2014 dilakukan dua kali putaran dimana pemilu putran pertama memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD (legislatif) kemudian pemilu putaran ke dua yaitu memilih Perseiden dan Wakil Presiden (eksekutif). Dalam pemilu legislatif rakyat dapat memilih secara langsung wakil-wakil mereka yang akan duduk di kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada pemilihan umum anggota legislatif menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dimana dalam memilih, rakyat dapat mengetahui siapa saja calon wakil-wakilnya yang akan mewakilinya daerahnya. Selain dilaksanakan sistem proporsional juga adanya sistem distrik dalam pemilihan untuk anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Dengan adanya sistem pemilihan umum yang terbuka inilah diharapkan dapat memilih wakil-wakil rakyat yang mempunyai integritas dan benar-benar mewakili aspirasi, kergaman, kondisi, serta keinginan dari rakyat yang memilihnya.

(20)

15

C. Batasan Pembahasan Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi kehadiran dan ketidakhadiran Pemilih

Penjelasan teoritis terhadap perilaku golput / nonvoting pada dasarnya juga tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan perilaku pemilih. Dengan mengutip Ashenfelter dan Kelley (1975),Burnham (1987),Powell (1986) dan Downs (1957),Moon menguraikan bahwa secara umum terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan kehadiran pemilih atau ketidakhadiran pemilih dalam suatu pemilu. Pendekatan pertama menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi. Sementara itu, pendekatan kedua menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir dalam memilih. Hanya saja, kedua pendekatan tersebut didalam dirinya sama-sama memiliki kesulitan dan mengandung kontroversi masing-masing . Berikut ini akan dipaparkan beberapa penjelasan teoritis atau beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang berperilaku memilih atau tidak memilih, yaitu faktor geografis, faktor sosial ekonomi, faktor sosiologis dan faktor rasional.

1. Faktor Geografis

Kondisi Geografis dari pemilih merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh pada tingkat kehadiran maupun ketidak hadiran pemilih untuk memilih. Variabel ini meliputi Kondisi cuaca dan jarak tempat tinggal seorang pemilih dengan lokasi TPS. Keadaan cuaca yang baik bisa mendorong pemilih untuk hadir memilih, sebaliknya cuaca buruk semisal hujan deras, angin kencang bisa mendorong munculnya sikap perilaku non voting dari seorang pemilih. Begitu pula masalah jarak TPS jauh atau dekatnya dianggap berpengaruh pada tinggkat kehadiran atau ketidak hadiran pemilih untuk memilih.

2. Faktor Sosial Ekonomi

Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan perilaku voting atau non-voting selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi, variabel status sosial ekonomi memang dapat diletakkan sebagai variabel independen untuk menjelaskan perilaku pemilih tersebut. Namun, pada sisi lain, variabel tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur karakteristik pemilih itu sendiri. Setidaknya ada empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel status sosial ekonomi, yaitu tingkat pendidikan termasuk di dalamnya tingkat pengetahuan pemilih tentang pemilu, tingkat pendapatan, pekerjaan dan pengaruh keluarga. Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga

(21)

16

dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku non-voting. Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih.

3. Faktor Psikologis

Penjelasan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian. Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku nonvoting disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan peroragan secara langsung betapapun mungkin hal itu menyangkut kepentingan umum yang lebih luas.

Sementara itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan faktor orientasi kepribadian. Penjelasan kedua ini melihat bahwa perilaku voting atau nonvoting disebakan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi (Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, 1987:208-209)..

Secara teoritis apatis disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus) politik, atau adanya perasaan (anggapan) bahwa aktivitas politik tidak menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara langsung. Anomi merujuk pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi peristiwa atau kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada diluar kontrol para pemilih. Sebab, para terpilih biasanya menggunakan logika-logikanya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan politik, dan dalam banyak hal mereka berada jauh di luar jangkauan para pemilih. Perasaan powerlessness inilah yang disebut sebagai anomi.

Sedangkan alienasi berada di luar apatis dan anomi. Alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh terutama pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konsekuensi jahat terhadap kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkin akan mengambil bentuk alternatif aksi politik, seperti

(22)

17

melalui kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan semacamnya. Sebaliknya dengan sosialisasi atau stimulus politik dianggap mampu untuk mendorong kehadiran pemilih untuk memilih.

4. Faktor Rasionalitas.

Faktor pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai dan kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih.

Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu yang aktif. Ia tidak terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak. Faktor-faktor situasional, bisa berupa jenis pemilihan itu sendiri, isu-isu politik atau ideologi parpol, visi-misi parpol atau kedekatan kandidat yang dicalonkan, tingkat kepercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan, kepercayaan masalah akan diselesaikan jika pemimpin baru terpilih dan sebagainya. Pemilih yang pencaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan yang lebih baik, cendrung akan ikut pemilu sebaliknya yang tidak percaya cendrung tidak ikut memilih.

D. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dibangun sebagai Hipotesa awal dari pelaksanaan Riset, sekaligus bingkai dari permasalahan sehingga ruang lingkup pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kehadiran dan ketidak hadiran pemilih menjadi jelas dan fokus tentang hal yang akan diteliti. Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk memilih atau tidak memilih secara garis besar dibedakan atas 4 bagian, yaitu faktor Geografis menyangkut masalah kondisi cuaca dan jarak wilayah pemilih dengan lokasi pemilihan, faktor Sosial ekonomi menyangkut masalah pendidikan politik, latar belakang social maupun keadaan ekonomi pemilih, faktor Psikologis menyangkut masalah ciri kepribadian sesorang atau kedekatan kepribadian seseorang terhadap calon atau kandidat,

(23)

18

HADIR MEMILIH

TIDAK HADIR MEMILIH

Selanjutnya faktor rasional menyangkut rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihan berdasarkan untung dan rugi serta pertimbangan – pertimbangan yang matang .Seluruh faktor diatas akan saling mempengaruhi dan mengambil peran dalam diri seseorang sebelum akhirnya orang itu memutuskan untuk memilih atau tidak memilih. Faktor-faktor di atas di kumpulkan melalui, penyebaran kuesioner, wawancara maupun pengamatan di lapangan dianalisis untuk mengetahui faktor apa yang menentukan atau mempunyai pengaruh signifikan terhadap keputusan untuk hadir memilih atau tidak hadir memilih.

Titik kritis dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas tentang tingkat kehadiran pemilih, faktor-faktor yang paling dominan mempengaruhi kehadiran dan ketidak hadiran pemilih serta pandangan pemilih itu sendiri terhadap penyelenggaraan pemilu

E. Skema Kerangka Pemikiran.

Untuk mempermudah memahami alur pemikiran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kehadiran dan ketidakhadiran pemilih untuk memilih, berikut ini kami gambarkan Kerangka pemikiran yang dalam sebuah skema kerangka pemikiran untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang permasalahan yang akan kita rise sebagaimana skema berikut ini :

KERANGKA PEMIKIRAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PEMILIH UNTUK MEMILIH ATAU TIDAK MEMILIH

FAKTOR

GEOGRAFIS

1. CUACA 2. JARAK TPS

FAKTOR SOSIAL

EKONOMI

1. PENDIDIKAN POLITIK 2. MONEY POLITIK

FAKTOR

PSIKOLOGIS

1. KEDEKATAN CALON 2. SOSIALISASI

FAKTOR

RASIONAL

1. JENIS PEMILU 2. IDEOLOGI

PEMILIH

(24)

19

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam riset Tingkat Kehadiran Pemilih dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kehadiran dan ketidak hadiran pemilih di Kabupaten Muna dalam Pelaksanaan Pemilu 2014 peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa angka-angka yang kemudian dijabarkan dengan kata-kata yang memperoleh gambaran yang jelas terhadap kecenderungan prilaku yang diamati.

Dengan pendekatan ini diharapkan mampu mengetauhi tingkat partisipasi politik dan factor-faktor yang mempengaruhi kehadiran pemilih di Lokasi TPS untuk memberikan hak suaranya serta pandangan masyarakat pemilih terhadap penyelenggaraan Pemilu dan pendekatan yang digunakan untuk mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.

B. Lokasi dan waktu Pelaksanaan a. Lokasi Riset

Lokasi Riset ditetapkan di Kabupaten Muna mencakup 22 kecamatan. karena merupakan bagian wilayah kerja dari Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Muna

b. Waktu Pelaksanaan

Waktu Pelaksanaan kegiatan riset berlangsung selama 04 (empat) bulan dari tanggal, 01 April 2015 sampai dengan tanggal, 31 Juli 2015.

C. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi atau universe ialah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang memiliki spesifikasi atau ciri-ciri tertentu (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989:152). Dalam Riset ini akan diteliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kehadiran dan ketidakhadiran pemilih di TPS pada Pemilu tahun 2014. Sebagai populasinya adalah masyarakat Kabupaten Muna yang terdaftar dalam DPT Pemilu Tahun 2014. Populasi tersebut masih sangat luas, sehingga harus disederhanakan dengan sampel yang dapat mewakili populasi tersebut.

b. Sampel

Pada penelitian kuantitatif, sampel adalah keterwakilan (representativeness) dari sebagian populasi yang secara efektif diamati atau diteliti untuk mewakili seluruh populasi (Pawito, 2007:86). Secara umum,

(25)

20

terdapat dua pendekatan dalam metode pemilihan sampel. Yakni probability sampling dan nonprobability sampling. Dalam metode probability sampling, seluruh unsur (misalnya: orang, rumah tangga) dalam suatu populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dalam sampel. Dalam metode ini, cara pemilihan sampel harus dilakukan secara acak (random). Demikian pula dengan jumlah sampel minimum, harus dihitung secara matematis berdasarkan probabilitas.

Sebaliknya, dalam metode nonprobability sampling, unsur populasi yang dipilih sebagai sampel tidak memiliki kesempatan yang sama, misalnya karena ketersediaan (contoh: orang yang sukarela sebagai responden), atau karena dipilih peneliti secara subyektif. Sebagai akibatnya, penelitian tersebut tidak dapat menggambarkan kondisi populasi yang sesungguhnya. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel adalah menggunakan rumus Slovin (Sevilla et. al., 1960:182), sebagai berikut:

dimana

n: jumlah sampel N: jumlah populasi

e: batas toleransi kesalahan (error tolerance)

Untuk menggunakan rumus ini, pertama ditentukan berapa batas toleransi kesalahan. Batas toleransi kesalahan ini dinyatakan dengan persentase. Semakin kecil toleransi kesalahan, semakin akurat sampel menggambarkan populasi. Misalnya, penelitian dengan batas kesalahan 5% memiliki tingkat akurasi 95%. Dengan jumlah populasi yang sama, semakin kecil toleransi kesalahan, semakin besar jumlah sampel yang dibutuhkan.

Populasi Riset Partisipasi Pemilih pada Pemilu di Kabupaten Muna adalah Jumlah Daftar Pemilih Tetap pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 yang berjumlah 221.411 jiwa sebelum pemekaran Muna Barat. Namun setelah pemekaran jika dikurangi dengan jumlah pemilih yang di Kabupaten Muna Barat maka populasinya jadi 165.024 jiwa yang akan dilakukan survei dengan mengambil sampel.

Dengan menggunakan rumus Slovin jika batas toleransi kesalahan 5% dengan tingkat akurasi 95%

n = N / ( 1 + N.e² ) = 165.024 / (1 + 165.024 x 0,05²) = 399,03  400 jiwa dengan demikian jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 400 jiwa pemilih. Dengan menggunakan metode probability sampling (dengan pengambilan sampel secara acak) di 22 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Muna

(26)

21

D. Jenis dan Sumber Data

Dalam kegiatan riset ini, digunakan dua jenis dan sumber pengambilan data yaitu : data primer dan data sekunder

1. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber atau objek yang diteliti. Dalam hal ini data primer riset ini berasal dari jawaban responden melalui kuesioner yang dibagikan.

2. Data Sekunder

Yaitu semua data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui telaah pustaka (Librart Resarch) dan pencatatan dokumenantara lain mengumpulkan data dari buku-buku, jurnal, majalah, Koran, serta internet yang relevan dengan masalah yang diteliti

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik penelitian data sebagai berikut :

1. Penelitian kepustakaan, yaitu mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan,dokumen-dokumen serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian.

2. Penelitian lapangan, yaitu pengumpulan data dengan Melakukan Wawancara langsung dan mengedarkan kuesioner kepada responden yang telah dipilih dan memenuhi Kriteria serta paham betul dengan masalah yang sedang diteliti.

F. Teknik Analisis Data

Data yang telah diolah, dianalisis secara kuantitatif dengan teori yang digunakan, yaitu memberi arti dan menginterpretasikan setiap data yang telah diolah kemudian diuraikan secara komperhensif dan mendalam dalam bentuk uraian kalimat yang sistematis untuk kemudian ditarik kesimpulan. Selain itu dalam menjawab permasalah pertama peneliti menggunakan analisa isi (contain analysis) untuk mendeskripsikan hasil pemilihan tahun terakhir kemudian menyusun dan mengklasifikasikannya. Terdapat tiga tahap model dalam analisis bahan hukum, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Ketiga tahapan tersebut akan dilakukan secara simultan.

Analisa data merupakan langkah terakhir sebelum melakukan penarikan kesimpulan. Analisis bahan hukum merupakan langkah yang paling penting dalam suatu penelitian, sebab dengan analisis akan diketahui benar atau tidaknya suatu kesimpulan yang diambil.

(27)

22

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI

A. Keadaan Geografi 1. Letak Geografis

Kabupaten Muna adalah salah satu Kabupaten di provinsi Sulawesi

Tenggara, dengan Ibu kota di Raha. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 4.887 km² dan berpenduduk sebanyak 225.035 jiwa (Data Agregat Kependudukan Kabupaten Muna 2015). terletak di jazirah sulawesi bagian tenggara, meliputi bagian pesisir timur dan utara pulau muna dan sebagian kecil wilayah pesisir barat pulau buton serta pulau-pulau kecil yang tersebar di sekitar kawasan tersebut, terletak di bagian selatan khatulistiwa pada garis lintang 4º06 - 5.15° LS dan 120.00° – 123.24° BT.

2. Luas dan Batas Wilayah

Luas daratan Kabupaten Muna seluas 3.865 km² atau 386.500 ha, berbatasan dengan:

Sebelah Utara : Kabupaten Konawe Selatan dan Selat Tiworo Sebelah Selatan : Kabupaten Buton Tengah

Sebelah Barat : Kabupaten Muna Barat

Sebelah Timur : Kabupaten Buton Utara dan Pulau Kajuangi

3. Topografi

Kondisi topografi pada umumnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata kurang dari 100 meter di atas permukaan laut, wilayah muna bagian selatan terdiri dari tanah podsolik merah dan kuning.

4. Keadaan Iklim

Kabupaten Muna pada umumnya beriklim tropis dengan suhu rata-rata antara 25º C – 27º C. Musim hujan terjadi antara bulan Nopember dan bulan Maret, dimana pada bulan tersebut angin bertiup dari Benua Asia dan Samudera Pasifik mengandung banyak uap air yang menyebabkan terjadinya hujan di wilayah Indonesia, sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan Mei dan bulan Oktober, pada bulan ini angin bertiup dari Benua Australia yang sifatnya kering dan sedikit mengandung uap air.

B. Keadaan Demografi dan Pemerintahan 1. Pemerintahan

Secara administratif sampai dengan Pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan wakil presiden tahun 2014, Kabupaten Muna terdiri dari 33 kecamatan definitif, selanjutnya terbagi atas 220 desa, 39 kelurahan dan 1 unit pemukiman transmigrasi (UPT). Akan tetapi pada tanggal 23 Juli tahun

(28)

23

2014 terjadi pemekaran Kabupaten Muna Barat sehingga saat ini Kabupaten Muna hanya terdiri dari 22 Kecamatan dengan 150 desa/kelurahan.

Adapun Bupati Muna saat ini, hasil pemilihan kepala daerah tahun 2010 dengan masa perode jabatan tahun 2010-2015 adalah Bapak dr. H.

LM. Baharuddin, M.Kes dan Wakil Bupati Muna adalah Bapak Ir. H. Abd. Malik Ditu, M.Si

2. Jumlah Penduduk

Berikut ini adalah tabel Data Jumlah Penduduk Kabupaten Muna sesuai dengan Data Agregat Kependudkan PerKecamatan

Tabel 2 : NO KECAMATAN JENIS KELAMIN PENDUDUK (JIWA) LAKI-LAKI (JIWA) PEREMPUAN (JIWA) 1 NAPABALANO 5.937 5.970 11.907 2 MALIGANO 3.069 2.984 6.053 3 WAKORUMBA SELATAN 2.454 2.452 4.906 4 LASALEPA 5.432 5.467 10.899 5 BATALAIWORU 7.807 7.902 15.709 6 KATOBU 16.402 16.983 33.385 7 DURUKA 6.378 6.505 12.883 8 LOHIA 7.793 7.973 15.766 9 WATOPUTE 6.488 6.633 13.121 10 KONTUNAGA 4.043 4.231 8.274 11 KABANGKA 5.064 5.008 10.072 12 KABAWO 6.458 6.712 13.170 13 PARIGI 6.119 6.209 12.328 14 BONE 2.885 2.930 5.815 15 TONGKUNO 8.594 8.747 17.341 16 PASIR PUTIH 2.222 2.342 4.563 17 KONTUKOWUNA 2.070 2.151 4.221 18 MAROBO 3.354 3.343 6.697 19 TONGKUNO SELATAN 3.122 3.272 6.394 20 PASIKOLAGA 2.119 2.096 4.215 21 BATUKARA 1.296 1.343 2.639 22 TOWEA 2.359 2.318 4.677 JUMLAH TOTAL 111.465 113570 225.035

Sumber : KPU kabupaten Muna

Sekitar 60-70% mata pencaharian penduduk Kabupaten Muna adalah petani.

(29)

24

3. Ketenagakerjaan

Jumlah pencari kerja yang terdaftar pada dinas tenaga kerja dan transmigrasi sebanyak 12.596 orang, berhasil ditempatkan selama tahun 2015 sebanyak 573 orang dan dihapuskan sebanyak 2.726 orang. Dengan demikian sisa pencari kerja tahun 2015 sebanyak 9.297 orang.

C. Sarana dan Prasarana 1. Pendidikan

Pada tahun ajaran 2014/2015 jumlah sekolah Taman Kanak-kanak (TK) bertambah 24 unit, yaitu dari 122 tahun 2013/2014 menjadi 146 unit tahun 2014/2015, jumlah guru bertambah dari 315 orang tahun 2013/2014 menjadi 339 orang tahun 2014/2015. Demikian pula jumlah murid mengalami kenaikan dari 3.670 orang tahun 2013/2014 menjadi 6.906 orang tahun 2014/2015 atau naik sebesar 88,17 persen. Rasio antara guru terhadap sekolah TK adalah 47 orang, rasio murid terhadap sekolah rata-rata 47 orang dan murid terhadap guru rata-rata-rata-rata 20 orang. Rasio murid terhadap sekolah rata-rata 3 orang dan murid terhadap guru rata-rata 20 orang.

Jumlah Sekolah Dasar pada tahun ajaran 2014/2015 berjumlah 362 unit, jumlah guru sebanyak 2.567 orang, sedangkan jumlah murid sebanyak 52.137 orang. Rasio guru terhadap sekolah pada tahun ajaran 2014/2015 rata-rata 7 orang setiap sekolah, rasio murid terhadap sekolah rata-rata 144 orang, sedangkan rasio murid terhadap guru rata-rata 20 orang.

Pada tahun ajaran 2013/2014 jumlah sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) berjumlah 60 unit meningkat menjadi 65 unit tahun ajaran 2014/2015, guru berjumlah 1.324 orang dan murid sebanyak 16,934. Rasio antara guru dan sekolah rata-rata 20 orang per sekolah, rasio murid terhadap sekolah rata 261 orang dan rasio murid terhadap guru rata-rata 13 orang.

Jumlah Sekolah Tanjutan Tingkat Atas (SLTA) pada tahun ajaran 2014/2015 berjumlah 14 unit, jumlah guru 857 orang dan murid sebanyak 11.976 orang. Rasio guru per sekolah pada tahun ajaran 2014/2015 rata-rata 24 orang, rasio murid terhadap sekolah rata-rata-rata-rata 24 orang, rasio murid sekolah rata-rata 292 orang dan murid terhadap guru rata-rata 14 orang.

Jumlah perguruan tinggi tahun ajaran 2014/2015 sebanyak 7 (tujuh) unit dengan jumlah mahasiswa sebanyak 2.265 orang dan tenaga pengajar/dosen tetap dan tidak tetap sebanyak 359 orang.

2. Kesehatan

Jumlah fasilitas kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Plus) pada tahun 2004 berjumlah 127 unit . Fasilitas kesehatan tersebut terdiri dari Rumah Sakit sebanyak 1 unit,

(30)

25

Puskesmas 19 unit, Puskesmas Pembantu 100 unit dan Puskemas Plus 7 unit. Tenaga kesehatan (tenaga medis dan paramedis) tahun 2005 berjumlah 554 orang yang terdiri atas tenaga dokter 33 orang, bidan 73 orang, perawat 325 orang, SKM/Apoteker 15 orang dan tenaga kesehatan lainnya 94 orang.

3. Agama

Pada tahun 2014 terlihat bahwa jumlah sarana peribadatan sebanyak 493 buah yang terdiri atas masjid 350 buah, langgar/surau/mushallah 97 buah, gereja 24 buah dan pura/vihara 22 buah.

4. Transportasi Angkutan Darat

Untuk melayani angkutan darat dari ibukota kabupaten ke provinsi dengan menggunakan bus DAMRI dan mini bus, dari ibukota ke kecamatan dan pedesaan pada umumya menggunakan mobil angkot, adapun untuk dalam kota biasanya dengan menggunakan Ojek, mobar (motor barang) dan Bentor ataupun kendaraan pribadi seperti mobil dan motor.

Kondisi Jalan

Panjang jalan di Kabupaten Muna tahun 2014 tercatat sepanjang 1.224,2 km yang terdiri atas jalan provinsi sepanjang 268,5 km untuk jalan provinsi dan jalan kabupaten sepanjang 955,7 km. di mana jalan provinsi sudah termasuk bagian bagian dari jalan kabupaten.

Sekitar 91% jalan di Kabupaten Muna rusak parah, terutama jalanan Kabupaten yang tak kunjung ada perbaikan. Masyarakat yang bermukim disepnjang jalan Kabupaten mengekspresikan rasa kekesalannya dengan meletakan batang kayu di pinggir jalan, menanam pisang di tengah jalan karena jalan yang berlubang cukup parah, sehinggah bisah di tanami pohon pisang.

Angkutan Laut dan Penyeberangan

Kondisi Kabupaten Muna sebagai daerah pesisir menjadikan moda transportasi laut sebagai salah satu alat transportasi utama selain transportasi Darat. Terdapat beberapa pelabuhan baik yang sifatnya penyangga maupun utama. Setidaknya ada tiga pelabuhan utama di Kabupaten Muna untuk melayani masyarakat

1. Pelabuhan Besar Raha

Melayani Pelayaran penumpang dan barang antar Provinsi, transportasi dari ibu kota Kabupaten ke Provinsi dan ibu kota kabupaten dengan kecamatan dengan alat angkut : kapal Pelni, kapal kargo/kontainer, Kapal Laut penumpang lainnya, kapaal ekspress dan kapal ferry Raha-Maligano.

(31)

26 2. Pelabuhan Pasar Laino Raha

Merupakan salah satu diantara dua pelabuhan yang terdapat di ibukota, melayani pelayaran penumpang dari ibukota beberapa ke kecamatan yang teletak di pulau buton dengan alat angkut kapal kayu, speed atau bodi batang.

3. Pelabuhan Ferry Penyebrangan Tampo-Torobulu

Merupakan pelabuhan penyebranganantara kabupaten Muna dengan Kabupaten Konawe Selatan yang menghubungkan Jalan Darat menuju ibu kota provinsi Sulawesi tenggara dengan menggunakan alat angkut kapal ferry, speed maupun bodi batang.

(32)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tingkat Kehadiran Pemilih Untuk Memilih 1. Jumlah Pemilih Yang Terdaftar

1.1. Pemilihan Legislatif Tahun 2014

Dalam pemilihan umum Legislatif Tahun 2014 ada bebarapa jenis pemilih yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) (Penggunaan KTP atau indentitas lain atau paspor). Daftar pemilih tetap yaitu pemilih yang ditetapkan oleh KPU setelah melakukan pendataan dan diumumkan. Kemudian Daftar Pemilih Tambahan yaitu pemilih yang terdaftar setelah pengumuman DPT sehingga dia masuk tambahan. Kemudian Daftar Pemilih Khusus adalah mereka yang pindah memilih dengan menggunakan form A5. Dan terakhir adalah Daftar Pemilih Khusus Tambahan adalah mereka yang menggunakan KTP atau identitas lainnya meskipun tidak terdaftar dalam tiga kategori daftar pemilih di atas.

Adapun jumlah daftar pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Dengan Tetap (DPT) yaitu 220.349 orang yang terdiri dari pemilih laki-laki 105.108 orang dan perempuan sebanyak 115.158, Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) 499 orang, Daftar Pemilih Khusus (DPK) 239 pemilih, Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) /pengguna KTP atau identitas lain 5.383 pemilih. adapun jumlah daftar pemilih semua kategori yaitu 226.470 orang, yang terdiri dari pemilih laki-laki sebanyak 107.954 pemilih dan perempuan sebanyak 118.516 pemilih.

1.2. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014

Dalam pemilihan umum Tahun 2014 ada bebarapa jenis pemilih yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) (Penggunaan KTP atau indentitas lain lain atau paspor). Daftar pemilih tetap yaitu pemilih yang ditetapkan oleh KPU setelah melakukan pendataan dan diumumkan. Kemudian Daftar Pemilih Tambahan yaitu pemilih yang terdaftar setelah pengumuman DPT sehingga dia masuk tambahan. Kemudian Daftar Pemilih Khusus adalah mereka yang pindah memilih dengan menggunakan form A5. Dan terakhir adalah Daftar Pemilih Khusus Tambahan adalah mereka yang menggunakan KTP atau identitas lainnya meskipun tidak terdaftar dalam tiga kategori daftar pemilih di atas.

Pemilihan umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2014 di Kabupaten Muna, pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap yaitu 221.411 orang. Jumlah daftar pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih Tambahan (DPtb) yaitu 221 orang. Pemilih terdaftar dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) yaitu sebesar 29 orang.

(33)

28

Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) /pengguna KTP atau identitas lain atau paspor 2954 orang. Total dari semua pemilih yang terdaftar dalam semua kategori itu adalah 224.615 orang yang terdiri dari laki-laki 107.284 orang dan pemilih perempuan sebanyak 117.331 orang.

2. Jumlah Pemilih Yang Memberikan Hak Suara

2.1. Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014

Dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 di Kabupaten Muna, pemilih yang datang ke lokasi TPS masih dapat dikatakan banyak karena diatas 50% lebih, namun masih jauh dari angka 100%. Hal ini bisa dilihat jumlah pemilih yang terdaftar dalam semua kategori yaitu sebanyak 226.470 orang dan yang datang ke lokasi TPS untuk melakukan pemungutan suara sebanyak 141.491 yang terdiri dari pemilih laki-laki 64.725 orang dan pemilih perempuan 76.766 orang atau sekitar 62,48%.

Table 3 :

Jumlah Pemilih Yang Menggunakan Hak Pilih dalam Pileg 2014

NO. KECAMATAN JUMLAH DAFTAR PEMILIH JUMLAH KEHADIRAN PEMILIH PERSENTASE (%) 1. MAGINTI 6.222 4.277 68,74 2. TIWORO TENGAH 4.866 3.786 77,81 3. TIWORO KEPULAUAN 5.112 3.657 71,54 4. SAWERIGADI 5.008 3.372 67,33 5. KUSAMBI 8.891 5.767 64,86 6. NAPABALANO 8.488 5.596 65,93 7. MALIGANO 4.326 2.913 67,34 8. WAKORUMBA SELATAN 3.434 2.190 63,77 9. LASALEPA 7.644 5.537 72,44 10. BATALAIWORU 12.483 6.423 51,45 11. KATOBU 28.306 14.881 52,57 12. DURUKA 9.218 6.111 66,29 13. LOHIA 11.636 7.265 62,44 14. WATOPUTE 9.496 6.365 67,03 15. KONTUNAGA 5.915 4.004 68,37 16. BARANGKA 5.101 3.340 65,48 17. LAWA 6.485 3.949 60,89 18. KABANGKA 7.936 5.242 66,05 19. KABAWO 9.991 6.092 60,97 20. PARIGI 9.011 5.313 58,96 21. BONE 4.623 2.813 60,85

Gambar

Tabel 2 :  NO  KECAMATAN  JENIS KELAMIN  PENDUDUK  (JIWA) LAKI-LAKI  (JIWA)  PEREMPUAN (JIWA)  1  NAPABALANO  5.937  5.970  11.907  2  MALIGANO  3.069  2.984  6.053  3  WAKORUMBA SELATAN  2.454  2.452  4.906  4  LASALEPA  5.432  5.467  10.899  5  BATALAIWO

Referensi

Dokumen terkait

Saat dalam tampilan navigasi, Anda dapat mengusap ke atas dari bawah layar atau menekan tombol bawah untuk membuka daftar pintasan.. Pintasan memberikan akses cepat untuk

Setelah dilakukan sosialisasi dan monitoring terhadap implementasi senam ergonomi pada operator RTG yang rutin dilakukan terjadi penurunan kategori kelelahan kerja

Temperatur dalam ruang primary chamber/ruang utama diatur pada rentang400-1000˚C dan untuk mencapai temperatur tersebut, pemanasan dalam primary chamber/ruang utama dibantu

Sesuai tugas dan fungsi TRC Kementerian Sosial tersebut, TRC Yogyakarta yang terdiri TRC Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) dan TRC

Penandaan lokasi operasi adalah tata cara yang wajib dilakukan sebelum tindakan pembedahan oleh dokter spesialis bedah untuk memberikan tanda di lokasi

Antara kaedah yang terdapat dalam pengajaran sains adalah penyediaan meja atau sudut sains di dalam kelas, sediakan kotak sains mudah alih, merancang pembelajaran dalam

Beberapa pengertian loyalitas pelanggan menurut para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa loyalitas pelanggan merupakan kesetiaan konsumen terhadap perusahaan atau

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun model model pemberdayaan masyarakat pada program penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2K) di Banjarmasin dengan