• Tidak ada hasil yang ditemukan

GURU DANE : Pergumulan Estetika Ekspresi Subjek Kreator, Resepsi Beneficieries, dan Tanggung Jawab Akademik*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GURU DANE : Pergumulan Estetika Ekspresi Subjek Kreator, Resepsi Beneficieries, dan Tanggung Jawab Akademik*"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

“GURU DANE”: Pergumulan Estetika Ekspresi Subjek Kreator,

Resepsi Beneficieries, dan Tanggung Jawab Akademik*

Khirjan Nahdi

A. Pengantar

Saya mencoba memahami dan menawarkan pemahaman saya tentang novel ini untuk didiskusikan melalui perspektif estetika untuk memperjelas dan memperkuat basis karya sastra, termasuk novel adalah untuk keindahan sebelum sampai pada tendensi-tendensi lain sebagai muatan dalam jaringan komunikasi antara subjek kreator dan resepsi pembaca sebagai beneficieries (penerima manfaat). Melaui ruang diskusi ini, saya tidak mencoba mempertentangkan berbagai perbedaan pandangan tentang cara kerja estetika menurut para penggagas estetika, namun mencoba menemukan suatu piranti cara kerja estetika dalam menjembatani pikiran dan maksud subjek kreator dan pembaca, bahwa karya sastra adalah entitas komunikasi yang diafan, interpretable, dan multiperspektif.

Pierce (1893-1914) menawarkan proses komunikasi struktural yang di dalamnya terdapat tanda (simbol-semiotika). Jakobson, walaupun dipengaruhi oleh Pierce, namun penekanannya pada diafansi bahasa sastra yang berbeda dengan transparansi bahasa non sastra. Mukarovsky (1891-1975), walaupun masih bernuansa strukturalis, namun sudah melangkah menuju egalitarianisme individual dengan penghargaan pada khasanah transindividual. Robert Jauss (1921-....), menawarkan cara kerja estetis yang lebih pada penciptaan makna baru yang terus berkembang melalui proses hermeneutika kritis dengan maksud bahwa sejarah yang disampaikan melalui sebuah sastra adalah kontinum dengan penciptaan sejarah berikutnya. Lotman (1922-....), yang masih strukturalis dan semiotik, menawarkan pentingnya perbedaan antara fenomena, fungsi, dan makna

(2)

2

bahasa lingual dalam komunikasi selain pada dunia kesusasteraan dan bahasa supralingual dalam komunikasi melalui kesusasteraan. Barthes (1915-1980), penggagas estetika yang sangat menghargai egalitarianisme pembaca dalam memahami sebuah karya. Karenanya, posstrukturalisme yang ditawarkan Barthes, struktur karya sastra sebagaimana penggagas sebelumnya sangat bergantung pada proses regulasinya pada pembaca. Bahkan Barthes menuntut adanya peluang bagi pembaca menulis kembali karya yang dibaca untuk melahirkan bentuk lain yang lebih kreatif dan estetik. Umberto Eco (1932-....), sebagai seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, yang menawarkan cara kerja estetik mulai dari signifikansi simbol yang diproduksi secara kreatif, berproses, dan tampil ke permukaan. Estetika sebuah karya sastra merupakan aktivitas intelektual yang simbolik, berproses dengan berbagai perspektif yang relasional, dan tampil sebagai karya, baik oleh subjek kreator maupun pembaca (beneficieries).

Lyotard (1924-1998), memiliki kesejajaran dengan pandangan libido dari Sigmund Freud yang tampil dalam bentuk id, ego, dan super-ego. Pengetahuan yang ditampilkan melalui karya sastra lahir karena kekuatan energi pengarang yang harus dihargai dan diberikan tampat yang layak. Pada pihak lain, kekuatan energi pengarang tidak menjadi satu-satunya acuan untuk memperoleh nuansa estetik, tetapi penghargaan atas kreativitas

penikmat yang tidak selalu dianggap sebagai realitas ambigu.

Konsekwensinya, proses komunikasi yang efektif antara pengarang dan penikmat harus dipandu oleh proses penerjemahan, ilmu bahasa, ilmu komunikasi dan berbagai bentuk instrumen informasi lainnya. Demikian pula yang lainnya, seperti Foucault, Guattari, Kristeva, hingga Derrida. Intinya, keseluruhan mereka menempatkan subjek kreator dan beneficieries karya sastra sesungguhnya pada posisi yang sejajar, sama-sama penting dalam membangun tafsir dan makna suatu karya.

(3)

3

B. Estetika Ekspresi Subjek Kreator dan Estetika Resepsi Beneficieries

Bagian ini menggambarkan posisi subjek kreator dalam proses melahirkan sebuah karya (seni, termasuk seni sastra). Penggambaran ini penting untuk menempatkan subjek kreator posisi yang strategis dan sitimewa dalam melahirkan makna karya sastra. Subjek kreator adalah seorang kreator dan pencipta, yang aktivitasnya berbeda dengan proses ilmu pengetahuan yang cenderung deskriptif dan evaluatif. Seorang ilmuan, sebelumnya akan melakukan penelusuran fakta, menyusun formulasi data, evaluasi dan analisis, hingga penyusunan laporan ilmiah menjadi suatu sumber pengetahuan (science, pendidikan, hukum, sosial, budaya, humaniora, dan juga agama).

Sebagai kreator, subjek kreator kadangkala melakukan pendalaman yang sama terhadap berbagai realitas empirik yang akhirnya menjelma menjadi karya sastra. Hanya saja, langkah dan strategi yang ditempuh oleh kedua aktivitas berbeda ini sangat berbeda satu sama lain. Seorang yang mengamatai fenomena politik sebagai ilmuan politik akan melahirkan deskripsi dan evaluasi tentang politik, demikian pula sosiologi, pendidikan, hukum, dan lainnya. Karenanya akan menjadi mudah dipahami bahwa seorang ilmuan pada bidang itu akan bergelut dengan dunia itu pula, pada saat berikutnya akan melahirkan karya deskriptif-evaluatif pada bidang itu juga. Tidak demikian dengan subjek kreator yang menelusuri sejarah, menelusuri hukum, menelusuri politik, dan lainnya tetapi bukanlah ilmuan bidang itu, dia adalah seorang pengarang sastra (subjek kreator sastra).

Menilik cara kerja subjek kreator yang berbeda dan bahkan sama dengan ilmuan dengan produk yang jelas berbeda, pemahaman tentang siapa sesungguhnya subjek kreator menjadi penting, dengan mencoba menelusuri pandangan hidupnya, latar belakang struktur sosialnya, relasi sosial, pendidikan, bahkan agama, dan lainnya. Dalam pandangan ekspresif langkah demikian menjadi sebuah keharusan untuk memahami tendensi seorang subjek kreator. Tetapi pandangan ekspresif menurut estetika

(4)

4

reseptif cenderung memasung pembaca untuk menelusuri berbagai atribut yang berhubungan dengan latar belakang pribadi subjek kreator. Pemahaman subjek kreator melalui sebuah karya tidak semata-mata tendensi yang berkorelasi dengan kepribadiannya, tetapi yang lebih penting adalah beban tanggung jawab moral, tanggung jawab sosio-kultural, dan tanggung jawab lainnya kepada kepentingan peradaban yang lebih baik.

Berbagai perjalanan sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa keberadaan seorang subjek kreator telah berubah menjadi sosok yang sangat heroik di kalangan sosiokulturalnya pada masa itu hingga kini. Padahal sosok itu hanyalah menulis, tidak dengan tendensi yang revolusioner, provokatif, anarkis, hingga zionist. Yang dilakukan hanyalah semata-mata bentuk kepedulian terhadap realitas empirik yang kelompok tertentu menafikan, anonimeus, dan menganggap tidak bermakna kelompok lain, terutama kelompok minor dan lemah. Sebut saja Pakistan yang diilhami oleh karya-karya Iqbal. Pernahkah Iqbal secara terang-terangan mengajak dan menggalang kekuatan untuk terbentuknya negara Pakistan. Sebagai subjek kreator, Iqbal hanya melahirkan karya sastra. Setelah Pakistan lahir, apakah Iqbal menjadi sosok yang terlibat dalam berbagai percaturan tentang nasib Pakistan. Tidak signifikan!

Demikian pula yang dilakukan oleh seroang Khomeini di Iran. Dirinya hanya merekan pidato dari kejuauhan dan dikirimkan kepada kelompok tertentu di Iran. Siapa sangka, proses ini menjadi awal terjadinya revolusi di Iran yang menumbangkan Pahlevi yang sangat disegani di seantero bumi. Demikian pula J Herzon, seorang muda Yahudi yang merenungi nasib Yahudi di seluruh belahan bumi yang selalu dimusuhi, bahkan dibunuh. Dia hanya bercita-cita agar Yahudi memiliki tempat yang tetap, walaupun akhirnya menjelma menjadi zionist yang sangat mengganggu peradaban dewasa ini. Pada tingkat nasional dan lokal, tanggung jawab terhadap perbaikan peradaban muncul pada diri seorang Hamzanwadi di Lombok, dengan menjadi trigger atas realitas empirik masyarakat Sasak di Lombok pada

(5)

5

zamannya. Hamzanwadi melahirkan berbagai karya sastra selain misi pendidikan agama, sosial, dan dakwah Islam, didasari tanggung jawab, bukan tendensi tertentu seperti politik, dan sejenisnya. Buktinya, setelah proses penyadaran dilakukan, semua persoalan perdaban selanjutnya menjadi ranah publik secara demokratis. Soal sekali waktu Hamzanwadi terlibat dalam kancah politik, lebih sebagai instrumen tambahan untuk akselarasi visi melalui misi yang ada.

Secara reseptif, saya memahami pikiran SF melalui “Guru Dane” tidak ubahnya sebagaimana dialami oleh subjek kreator yang disebutkan di atas. Novel ini menggambarkan realitas sosial, nuansa batiniah, kultural, etos, pandangan hidup, dan muatan atas relasi masyarakat Sasak pada zamannya. Dari perspektif inspiring sangat historical, tidak salah juga kalau disebut novel ini sebagai novel sejarah. Tidak ada tendensi penghakiman terhadap perilaku masyarakat Sasak dalam sejarahnya sebagai masyarakat yang lemah, tidak mandiri dan suka berlindung di balik pihak lain, atau lempar batu sembunyi tangan. Menurut hemat saya, seorang SF sadar betul bahwa secara kodrati setiap manusia lahir dengan beraneka ragam kebaikan. Aneka ragam ketidakbaikan secara normatif hanya akan muncul sebagai akibat relasi kontekstual. Perilaku yang secara normatif berbeda dimungkinkan muncul bukan sebagai cita-cita, namun menjadi sebuah negative impact dari realitas aktual.

Secara futuristik, untuk maksud modernisasi peradaban, seorang SF ingin melihat sejarah sebagai sebuah kontinum yang bisa saja tampil sama dengan nilai berbeda. Semua sejarah dengan berbagai entitasnya adalah baik, dan yang berbeda adalah kontinuitasnya. Ada entitas sejarah yang baik untuk ditiru, dan ada entitas sejarah yang baik untuk tidak ditiru. Dalam kasus kedua diperlukan adanya modernisasi nilai sejarah untuk kepentingan peradaban. Demikian kira-kira yang ditawarkan oleh SF melalui “Guru Dane”. Masyarakat Sasak boleh tersinggung, boleh marah, dan bahkan boleh meragukan dasar sejarah inspirasi novel ini. Tetapi tidak selesai

(6)

6

sampai di sana. Tanggung jawab berikutnya adalah, what next? Cukup dengan tersinggung, puas setelah marah dan ragu?

Kompleksitas kehidupan saat ini dan ke depan semakin kompleks dan membutuhkan multikesadaran. Masih banyak tokoh di era dan di konteks kita saat ini yang suka meniru perilaku tokoh-tokoh dalam “Guru Dane”, hanya saja bentuknya mungkin berbeda. Tugas kita sebagai pribadi adalah melakukan proses modernisasi sehingga sejarah itu tidak terulang dalam bentuk yang sama tetapi muncul sebagai hasil dari proses perbaikan peradaban. Jika setiap pribadi menyadarinya dengan berbagai instrumen modernisasi peradaban; pendidikan, agama, politik, hukum, sosial, budaya, dan lainnya, niscaya modernisasi peradaban untuk semua akan terbangun. Kira-kira demikian pikiran SF, walalupun SF sendiri tidak menyadari maksud itu, karena tanggung jawabnya sebagai subjek kreator hanya memotret realitas sejarah masa lalu dalam bahasa masa kini melalui konteks kesusasteraan.

C. Tanggung Jawab Akademik

Subjek kreator sama dengan kapasitas unik lainnya seperti pemimpin dalam berbagai konteks dan kapasitas, tidak didik melainkan dilahirkan. Belajar sastra di sekolah dasar, sekolah menengah hingga pendidikan tinggi tidak memiliki tendensi untuk melahirkan para sastrawan atau para subjek kreator sastra (penyair, novelis, cerpenis, atau dramawan), melainkan melahirkan para terdidik yang memiliki kesadaran bahwa dunia sastra adalah suatu dunia selain dunia-dunia lain yang bertanggung jawab membangun kebenaran dan kebaikan peradaban manusia melalui substansi humaniora secara artistik. Pikiran-pikiran bahwa belajar sastra akan melahirkan para subjek kreator semata-mata akan menjauhkan para pembelajar dari dunia kesusasteraan karena tidak semua memiliki kodrat kelahiran yang sama. Tidak menjadi subjek kreator, selanjutnya tidak menjadikan kita stagnan dalam menggeluti dunia sastra. Jika itu yang terjadi

(7)

7

kita menjauhkan diri dari satu dunia dan instrumen kebaikan dan kebenaran hidup untuk modernisasi peradaban manusia.

Pada bagian awal tulisan ini saya sampaikan bahwa karya sastra adalah entitas komunikasi yang diafan, interpretable, dan multiperspektif. Untuk memahami keberadaan sastra sebagai dunia dan instrumen kebaikan dan kebenaran hidup untuk modernisasi peradaban manusia, diperlukan dunia-dunia lain, seperti filsafat, bahasa (lingual dan supralingual), sosiologi, antropologi, religi, teknologi, matematika, logika, dan perspektif lain yang mungkin berelasi dengan sastra. Saya merasakan, kecenderungan kita sedikit alergi terhadap dunia sastra, selain karena salah kaprah memahami tendensi belajar sastra untuk semata-mata melahirkan kreator sastra, kita juga memiliki berbagai keterbatasan perspektif lain sebagai interdisipliner ilmu sastra. Bagaimana kita memahami bisa memahami karya-karya Khairil Anwar jika kita tidak memahami estetika ekspresif yang dipengaruhi filsafat eksistensialis dan realitas sejarah pergerakan kebangsaan? Bagaimana memahami karya-karya La Rose, jika tidak dipandu oleh pemahaman tentang ilmu-ilmu jiwa, karena La Rose adalah seorang psikolog, dan seterusnya. Tidak harus membaca birografi mereka, tetapi piranti-piranti itu akan muncul melalui simbol lingual yang membangun karyanya. Simbol lingual itulah yang membangun kreasi supralingual kita untuk melahirkan karya sastra baru dalam bentuk yang berbeda; analisis atau kritik literer maupun non liteter. Karena itu, sosiologi sastra, psikologi sastra, sastra bandingan (komparasi sastra), sastra dan religiusitas, filsafat sastra, dan interdisipliner lainnya dalam struktur kurikulum lembaga pendidikan menjadi sangat strategis untuk membangun multiperspektif tentang sastra. Posisi sastra di samping bahasa dalam program studi pendidikan bahasa dan sastra merupakan hubungan yang integratif, bukan entitas manasuka. Memahami sastra harus memahami bahasa karena performance karya sastra oleh subjek kreator menggunakan instrumen lingual secara supralingual. Pemahaman substansi secara supralingual membutuhkan disiplin lain,

(8)

8

karena tanggung jawab kemanusiaan subjek kreator ditampilkan melalui perspektif masing-masing.

D. Penutup

Dunia sastra adalah dunia yang unik, demikian pula entitas yang ada di dalamnya; subjek kreator, karya, dan tentu saja benficieries-nya. Sebagai ilmu, sastra adalah dunia yang mandiri, namun kemandiriannya merupakan kompleksitas relasional berbagai perspektif. SF telah mencoba menampilkan sosok tersebut melalui “Guru Dane”, atau karya-karya lain sebelum dan sesudahnya. SF telah tampil sebagai guru sejarah dalam bentuk yang lain. Menjelma menjadi hakim yang menyadarkan. Peneliti yang tidak deskriptif dan evaluatif, melainkan berekpresi secara supralingual. Kita bertanggung jawab atas kontinuitas sejarah, tetapi tanggung jawab itu mengandung substansi modernitas, bukan mengulangi dalam bentuk dan realitas yang sama. Akankah kita menjadi sosok dan karakter dalam “Guru Dane”? Jawaban ada pada nurani masing-masing. Terima kasih.

*disampaikan pada acara bedah novel “Guru Dane”, karya Salman Faris, diselenggarakan oleh BEM FKIP UNIVERSITAS MATARAM, Sabtu, 8 Oktober 2011 di Mataram.

Referensi

Dokumen terkait

Uji Toksisitas Subkronis Ekstrak Etanol Tali Putri (Cassytha filiformis L.) terhadap Fungsi

...V35 Figur 20 Vedlegg småskalaforsøk – Murstein forsøk 1 ...V36 Figur 21 Vedlegg småskalaforsøk – Murstein forsøk 2 ...V36 Figur 22 Vedlegg småskalaforsøk – Murstein forsøk

Tujuan penelitian ini adalah memetakan lokasi dan kapasitas dari informasi inventarisasi mata air di Kecamatan Cidahu, mengkaji variasi dari data deret waktu mata air yang

Sudiadnyana, Eka, Yudha dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu selama penulis menempuh studi di Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

“Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, argumentasi, serta interprestasi untuk memperoleh

Menurut Wardani, dkk (2003:1.4) penelitian tindakan kelas (PTK) adalah suatu penelitian yang dilakukan oleh guru atau seseorang tertentu di dalam kelas dengan tujuan

evaluasi formatif antara lain bertujuan untuk mengevaluasi bahan ajar (tujuan penelitian kedua) yang digunakan dengan melibatkan tiga kelompok ahli, yaitu ahli materi

Tingginya curah hujan akan membuat kelembaban tanah dan kadar air cukup tinggi (Tabel 3) dan akan berdampak pada terganggunya akar dalam proses penyerapan unsur