• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Perspektif Teori Struktural Giddens

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Perspektif Teori Struktural Giddens"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau resisten terhadap pemerintah kota Semarang bukannya tanpa sebab. Mereka melakukan perlawanan karena untuk mempertahankan tempat berdagang dan lapak demi menyambung hidup dan kehidupannya. Tindakan perlawanan tersebut tentu saja bukan tindakan individual, tetapi merupakan tindakan kolektif. Secara individual jelas mereka tidak akan berani melakukan perlawanan, karena sumber daya personal yang mereka punyai tidak dapat digunakan sebagai modal untuk melawan.

Untuk menganalisis bagaimana tindakan PKL berkaitan dengan perlawanan mereka terhadap pemerintah kota Semarang, akan dikaji substansi tindakan mereka secara individual maupun kolektif, dengan mengacu pada konsep agen dalam perspektif teori struktural dari Anthony Giddens. Tindakan PKL sebagai agen dalam struktur sosial juga akan dibahas menurut teori tindakan Weber dan Parsons. Setelah itu akan dikemukakan titik-titik simpul bahwa perlawanan atau resistensi PKL terhadap pemerintah kota Semarang merupakan tindakan rasional bertujuan.

A. Perspektif Teori Struktural Giddens

Analisis terhadap tindakan pedagang kaki lima (PKL) tidak menyangkut seluruh tindakan mereka, tetapi hanya tindakan perlawanan mereka terhadap kebijakan yang diambil Pemkot Semarang, yang telah menertibkan dan menggusur mereka dari tempat mereka berdagang dan menjalankan segala aktivitas

(2)

ekonomi lainnya. Yang ingin dilihat adalah bagaimana tindakan PKL sebagai agen dalam kerangka struktur sosial, sebagaimana teori struktural yang dikembangkan oleh Giddens.

Tindakan PKL bukan merupakan tindakan spontanitas, tetapi merupakan tindakan yang terjadi dalam suatu struktur sosial. Struktur sosial dimaksud adalah organisasi atau paguyuban internal yang dimiliki PKL dan organisasi eksternal yang menaungi aktivitas mereka, seperti PPKLS, LBH, dan lain-lain. Dalam perspektif teori struktural Giddens, ditegaskan pentingnya keseluruhan atau keutuhan sosial atas bagian-bagian atau aktor individual (Giddens 2009; Giddens 2010; Giddens 2011).

Tindakan PKL sebagai agen individual dapat dilihat dalam kerangka struktur sosial dalam perspektif strukturalisme Giddens. Itulah sebabnya, dapat dipahami bahwa aktivitas-aktivitas sosial, menurut perspektif teori ini tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan diciptakan terus-menerus oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor. Melalui aktivitas-aktivitas tersebut, para agen memproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas tersebut.

Dalam pemahaman Giddens, tindakan manusia sebagai agen, merupakan tindakan disengaja, yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas yang dilakukan dan jika diminta mampu mengelaborasi secara diskursif alasan-alasan tersebut. Semua aktor sosial mengetahui tentang kondisi dan akibat dari apa yang mereka kerjakan dalam kehidupan sehati-hari mereka (Sztompka 2004).

Tindakan aktor, menurut Giddens, terjadi dalam arus tindakan yang terus-menerus seperti halnya kesadaran (cognition). Refleksi atas tindakan manusia ini tertanam dalam monitoring terus-menerus dari tindakan manusia yang diharapkan juga diperlihatkan kepada orang lain. Monitoring

(3)

refleksif terhadap tindakan bergantung pada rasionalisasi dan dipahami sebagai suatu proses daripada keadaan. Hal itu inheren dalam kompetensi para agen.

Dalam teori strukturasi, tindakan bukan merupakan gabungan perbuatan-perbuatan. Monitoring refleksif, rasionalisasi, dan motivasi tindakan merupakan sederet proses yang melekat. Seperti halnya monitoring refleksif dan motivasi tindakan, rasionalisasi tindakan merujuk kepada kesengajaan sebagai proses. Rasionalisasi tindakan adalah upaya yang dilakukan oleh para aktor yang secara rutin mempertahankan suatu pemahaman teoretis yang terus menerus tentang aktivitas mereka (Giddens 2010:8). Rasionalisasi tindakan dalam keanekaragaman keadaan interaksi merupakan basis utama bagi orang lain dalam mengevaluasi kompetensi umum para aktor.

Dalam pandangan Giddens (2010), monitoring refleksif atas tindakan merupakan satu unsur tetap dari tindakan sehari-hari yang melibatkan tidak hanya perilaku si individu, tetapi juga perilaku dari individu-individu lain. Para aktor atau agen akan memonitor terus menerus arus aktivitas mereka dan berharap orang lain juga melakukan hal sama terhadap aktivitas mereka sendiri. Para aktor juga secara rutin memonitor aspek-aspek sosial dan fisik dari konteks di mana mereka bergerak.

Rasionalisasi tindakan para aktor dalam sistem tindakan tidak dipahami sebagai alasan-alasan bagi suatu tindakan tertentu, tetapi lebih pada kompetensi bahwa para aktor akan mampu menjelaskan sebagian besar tindakannya jika diminta. Visualisasi tentang rasionalisasi tindakan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

(4)

Gambar 55. Rasionalisasi Tindakan dari Giddens

Dalam gambar di atas, monitoring refleksif dan rasionalisasi tindakan memiliki perbedaan dilihat dari aspek motivasinya. Jika alasan-alasan merujuk pada dasar-dasar tindakan, motivasi mengacu pada keinginan-keinginan yang mendorongnya. Namun demikian, motif tidak dibatasi langsung oleh kesinambungan tindakan-tindakan seperti halnya monitoring refleksif atau rasionalisasinya. Motivasi mengacu pada potensi tindakan, bukan pada cara tindakan dilakukan terus menerus oleh agen bersangkutan (Giddens 2010). Motif-motif cenderung memiliki hubungan langsung dengan tindakan hanya dalam keadaan-keadaan yang relatif tidak lazim, situasi-situasi yang terputus dari rutinitas. Kebanyakan perilaku agen sehari-hari tidak didasarkan pada motivasi langsung.

Umumnya keberlangsungan kehidupan sehari-hari mengalir dari suatu tindakan yang disengaja. Namun demikian, ada juga tindakan yang memiliki konsekuensi yang tidak disengaja. Konsekuensi-konsekuensi tidak disengaja ini bisa secara sistematis memberikan umpan balik untuk menjadi konsekuensi-konsekuensi tidak terkenali dari tindakan selanjutnya. Agensi manusia hanya bisa ditetapkan berdasarkan maksud-maksud (Giddens 2010). Artinya, bahwa agar sebuah perilaku dapat dianggap sebagai tindakan, siapa pun yang melakukan harus memiliki maksud untuk melakukan tindakan tersebut. Jika tidak, maka perilaku tersebut hanya merupakan

(5)

respon reaktif saja. Hal ini masuk akal, karena terdapat sejumlah tindakan yang tidak bisa berlangsung kecuali jika si agen memang berkeinginan untuk melakukan tindakan tersebut. Misalnya konsep bunuh diri yang diintroduksi Durkheim. Bunuh diri tidak dapat dikatakan terjadi, kecuali apabila seseorang bermaksud untuk menimbulkan kematian bagi dirinya.

Seseorang yang menyeberang jalan secara sembrono, kemudian tertabrak mobil lalu meninggal, tidak bisa dikatakan sebagai tindakan bunuh diri, karena kejadian tersebut adalah kecelakaan meskipun diawali dari kesembronoan si korban. Ini adalah kejadian kecelakaan atau accident, yakni sebagai sesuatu yang menimpa orang yang celaka, bukan karena orang itu sengaja melakukan supaya dirinya ditabrak mobil. Agar suatu kejadian yang melibatkan manusia dapat dianggap sebagai contoh agensi, maka perlu ada persyaratan bahwa apa yang dilakukan oleh seseorang adalah disengaja berdasarkan deskripsi, kendatipun agen keliru mengenai deskripsi tersebut. Seseorang bisa melakukan sesuatu secara sengaja, meskipun sesuatu itu tidak seperti yang diharapkan.

Jika seseorang dengan sengaja menumpahkan kopi karena ia mengira kopi tersebut adalah teh, maka menumpahkan kopi tersebut sejatinya merupakan tindakan orang tersebut meskipun tidak dilakukan secara sengaja. Namun demikian, menumpahkan sesuatu dapat dikatakan sebagai kekhilafan di tengah-tengah tindakan seseorang yang hendak melakukan sesuatu yang berbeda. Freud mengatakan bahwa hampir semua perilaku khilaf seperti itu, memiliki motivasi tidak sadar (Giddens 2010).

Tindakan merupakan suatu proses berkesinambungan, yaitu suatu arus yang di dalamnya kemampuan introspeksi dan mawas diri yang dimiliki individu sangat penting bagi pengendalian terhadap tubuh yang biasa dijalankan para aktor

(6)

dalam kehidupan mereka sehari-hari (Giddens 2010). Seseorang acapkali melakukan banyak hal yang tidak ingin dilakukan, tetapi hal itu tetap terjadi. Seseorang bisa saja melakukan perbuatan yang tidak disengaja, meskipun hal itu tidak semata-mata ia yang melakukannya.

Si A bermaksud iseng meletakkan secara tidak pas secangkir kopi di atas lepek, sehingga B mengambil cangkir itu bisa dipastikan akan tumpah. B benar-benar mengambil cangkir tersebut dan tumpah karenanya. B tentu tidak sengaja menumpahkan cangkir tadi, karena posisinya memang dimungkinkan akan tumpah ketika diambil. Siapa yang menumpahkan? Jelas B yang bertindak menumpahkan cangkir tersebut, tetapi perbuatan A juga dipandang turut mengakibatkan tumpahnya cangkir.

Semua tindakan manusia dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis tindakan, yaitu tindakan disengaja dan tindakan yang tidak disengaja. Tindakan disengaja jelas maknanya, karena dilakukan untuk maksud-maksud tertentu. Orang membeli tiket pesawat Garuda untuk pergi ke Jakarta pada hari Senin, karena ada urusan tertentu, merupakan contoh dari tindakan disengaja. Apa arti melakukan sesuatu tindakan tidak disengaja? Giddens (2010) memberikan contoh sederhana mengenai hal ini. A menghidupkan lampu agar ruangan menjadi terang. Ternyata di dalam ruangan tersebut ada seorang pencuri dan ketahuan setelah lampu tersebut dihidupkan. Meskipun tindakan menghidupkan lampu disengaja oleh A, tetapi menghidupkan lampu yang memberitahukan keberadaan seorang pencuri bukanlah tindakan disengaja.

Untuk mengetahui apakah suatu tindakan itu disengaja atau tidak, Giddens (2010) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindakan disengaja adalah upaya menyifati sebuah tindakan yang diketahui atau diyakini oleh pelakunya akan memiliki kualitas atau hasil tertentu dan pengetahuan itu

(7)

dimanfaatkan si pelaku untuk memperoleh kualitas atau hasil tertentu. Dari pengertian tindakan disengaja ini, maka perilaku A menghidupkan lampu yang mengakibatkan si pencuri ketahuan berada di ruangan tersebut, tergolong sebagai tindakan tidak disengaja. Hal ini karena si pelaku tidak mengetahui kalau pencuri ada di dalam ruangan. Apakah jika si pencuri ketahuan lalu ditangkap polisi, merupakan konsekuensi yang disengaja dari tindakan A?

Menurut konsep Giddens, segala hal yang menimpa si pencuri setelah A menghidupkan lampu, termasuk konsekuensi tidak disengaja dari tindakan menghidupkan lampu karena A tidak mengetahui keberadaan si pencuri. Semakin jauh rentang waktu konsekuensi-konsekuensi dari konteks tindakan pertama, maka akan semakin kecil kemungkinan konsekuensi-konsekuensi itu disengaja. Anggapan ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dipunyai aktor dan daya kuasa dia untuk memobilisasinya.

Kadangkala perilaku manusia bersifat irasional, tetapi aktivitas yang irasional atau yang kelihatannya tahayul, bisa saja dipandang rasional. Menurut Merton, hal ini terutama terjadi pada aktivitas atau praktik-praktik yang sudah berlangsung cukup lama. Jika ditemukan bahwa ada fungsi laten di balik aktivitas atau praktik tertentu, seperangkat konsekuensi yang tidak disengaja yang mengiringi atau mempertahankan keterulangan aktivitas atau praktik tersebut, dapat dipastikan praktik tersebut tidak irasional (Giddens 2010).

Sebagai contoh, sebuah upacara dapat memiliki fungsi laten, berupa penguatan identitas kelompok dengan memberikan kesempatan rutin kepada setiap anggota kelompok yang tersebar untuk berkumpul dengan melakukan aktivitas bersama. Aktivitas-aktivitas sosial kelompok mengadakan upacara bersama ini, selain untuk mempertahankan identitas

(8)

kelompok juga untuk menjaga kelangsungan hidup (survival) mereka. Dalam konteks individu, relasi yang dibangun antara anggota kelompok yang satu dengan lainnya, ditengarai ada dorongan motivasional yang disengaja untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka.

Dalam relasinya dengan orang lain, aktor atau agen dalam bertindak harus mampu menggunakan secara terus menerus kekuasaan kausal, termasuk dalam memengaruhi kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain (Giddens 2010). Tindakan agen tergantung pada kemampuannya untuk memengaruhi keadaan atau peristiwa yang telah ada sebelumnya. Menurut Giddens (2010:23), seorang agen tidak lagi mampu berperan demikian apabila ia kehilangan kemampuan untuk memengaruhi orang lain. Kekuasaan agen dipahami dalam kaitannya dengan maksud atau kehendak, yakni sebagai kemampuan untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan atau dimaksudkan. Dalam pandangan Parsons, kekuasaan merupakan sebuah kepemilikan masyarakat atau komunitas sosial.

Kekuasaan berbeda dengan sumber daya, dan sebagaimana diungkapkan Giddens (2010) bahwa kekuasaan memang bukan sumber daya. Sumber daya itu sendiri merupakan sarana untuk menggunakan kekuasaan dalam sistem interaksi sosial. Dalam sistem sosial, kekuasaan mengandaikan adanya rutinisasi relasi kemandirian dan ketergantungan di antara para aktor atau kelompok dalam konteks interaksi sosial. Ketergantungan dalam keadaan tertentu dapat menawarkan sumber daya yang memberikan kemampuan kepada pengikut atau anggota kekompok untuk memengaruhi ketua atau pimpinan kelompok. Inilah yang oleh Giddens disebut dengan dialektika kendali dalam sistem sosial.

(9)

B. Perspektif Teori Tindakan Weber

Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya bahwa respon yang ditunjukkan PKL dalam menghadapi kebijakan penataan PKL oleh Pemkot bermacam-macam. Mereka yang ditertibkan dan digusur ada yang pasrah menerima nasib, bersedia pindah ke lokasi yang disediakan Pemkot, ada yang bersedia minggir tetapi setelah itu kembali ke lokasi berdagang (run and back), dan ada yang resisten tetap bertahan di lokasi di mana mereka melakukan aktivitas ekonomi sektor informal.

Dari hasil penelitian di tiga lokasi, yaitu di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, resistensi PKL yang merupakan respon terhadap kebijakan Pemkot, terdiri atas dua bentuk yaitu dengan perlawanan fisik (kekerasan) dan perlawanan nonkekerasan.

Perlawanan kekerasan (violence resistance) ditunjukkan dengan adu mulut, mendorong petugas, mempertahankan bangunan dan lapak yang akan dibongkar, menaiki begu, menghalangi pengemudi untuk menjalankan begu, dan menghadang petugas yang akan membongkar bangunan dan lapak PKL.

Perlawanan nonkekerasan (nonviolence resistance) diperlihatkan dalam bentuk melakukan demonstrasi damai, berorasi, lari dan kembali (run and back), membuat pamflet atau poster, membuat spanduk, dan mendirikan Posko Anti Penggusuran. Apa yang mereka lakukan merupakan tindakan kolektif dan terorganisasi. Tindakan PKL bukan merupakan tindakan spontanitas, tetapi merupakan tindakan yang terjadi dalam suatu struktur sosial, yaitu di bawah naungan organisasi atau paguyuban internal atau organisasi yang menaungi aktivitas mereka.

Weber (dalam Habermas 2009) memperkenalkan makna sebagai konsep tindakan dasar dan menggunakannya untuk

(10)

membedakan tindakan dari perilaku yang dapat diamati. Perilaku manusia, yang eksternal maupun internal, aktif maupun pasif, akan disebut tindakan manakala aktor melekatkan makna subjektif ke dalam perilaku tersebut. Teori tindakan Weber yang bersifat subjektif ini berbeda dengan teori tindakan Habermas yang bercorak komunikatif atau intersubjektif.

Dalam ruang sosial, konsep tindakan subjektif Weber tidak dapat diterima oleh Habermas, karena tindakan aktor tidak dipandang bermakna kalau hanya berdasarkan rasionalitas sang aktor. Itulah sebabnya, menurut Habermas (2009), model tindakan bertujuan harus diperluas dengan dua spesifikasi agar syarat bagi interaksi sosial terpenuhi. Pertama, suatu orientasi ke arah perilaku subjek lain yang bertindak. Kedua, suatu relasi refleksif orientasi tindakan resiprokal dari beberapa subjek yang bertindak. Meskipun demikian, Weber menyadari bahwa suatu tindakan akan mengandung makna sebagaimana dimaksud oleh seorang atau beberapa aktor, apabila tindakan tersebut menjelaskan perilaku orang lain dan orientasinya juga dipengaruhi oleh perilaku orang lain tersebut. Dalam bahasa Ricoeur, tindakan dimaknai sebagai pemenuhan-pemenuhan dan intervensinya dalam peristiwa publik dan pengejawantahan publik lainnya (Kaplan 2010).

Weber membagi tindakan manusia ke dalam empat aspek, yaitu tindakan rasional bertujuan, tindakan rasional bernilai, tindakan afektual, dan tindakan tradisional (den Doel 1988; Habermas 2009; Abercrombie, et al 2010).

Tindakan rasional bertujuan dicapai melalui harapan-harapan seperti keadaan objek-objek di dalam dunia eksternal atau perilaku orang lain. Harapan-harapan ini dijadikan seseorang sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan, serta dipertimbangkan dan diupayakan secara rasional berdasarkan keberhasilannya.

(11)

Tindakan rasional bernilai ditempuh melalui kepercayaan sadar, seperti etis, estetis, religius terhadap nilai intrinsik dan mutlak dari mode perilaku tertentu sebagaimana adanya dan terlepas dari apakah berhasil atau tidak.

Tindakan efektual atau emosional, diperoleh melalui kondisi afeksi atau emosional yang tengah dialami. Perasaan senang atau benci pada sesuatu dapat memicu tindakan seseorang.

Tindakan yang berada dalam situasi tradisional berupa pembiasaan praktik yang telah lama dilakukan.

Wolfgang Schluchter (dalam Habermas 2009) menyarankan bahwa tipologi tindakan Weber ini dapat direkonstruksi menurut unsur formal tindakan rasional bertujuan. Bagi Schluchter, seorang aktor bertindak secara rasional bertujuan ketika dia memilih tujuan dari suatu cakrawala konsekuensi nilai yang jelas dan mengorganisasi sarana-sarana yang sesuai dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang mungkin muncul. Cakupan hal-hal yang dipertimbangkan aktor dalam bertindak semakin menyempit. Dalam tindakan rasional bernilai, konsekuensi-konsekuensi yang dipilih dari makna subjektif lalu diikat dengan kontrol rasional. Dalam tindakan afektual, konsekuensi yang dijadikan pertimbangan adalah konsekuensi itu sendiri dan nilai-nilai yang ada. Dalam tindakan berbasis tradisi, konsekuensi yang dijadikan pertimbangan adalah tujuan. Versi resmi dari konsep tindakan Weber dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 15. Tipologi Resmi Tindakan Weberian Jenis-jenis Tindakan

menurut rasionalitas dari tertinggi hingga terendah

Makna Subjektif mencakupi elemen-elemen berikut.

Sarana Tujuan Nilai Konsekuensi

Rasionalitas bertujuan + + + +

Rasionalitas bernilai + + + -

Afektual + + - -

Tradisional + - - -

(12)

Dalam kajian konsep tindakan dalam versi tidak resmi, Weber (dalam Habermas 2009) menetapkan tindakan sosial pada level konseptual, dengan membedakan tindakan sosial dalam mekanisme koordinasi tindakan individu dan didasarkan pada kesepakatan normatif. Dalam mekanisme pertama, stabilitas relasi sosial dicapai melalui perbenturan posisi kepentingan secara faktual; sedangkan yang kedua, stabilitas interaksi sosial dicapai melalui pengakuan tambahan atas klaim validitas normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara normatif ditata ulang dengan menambahi validitas yang didasarkan pada kesepakatan, seperti keyakinan bahwa perilaku tertentu diwajibkan oleh hukum atau konvensi (Habermas 2009).

C. Perspektif Teori Tindakan Parsons

Parsons dengan mengutip Weber, menjelaskan bahwa tindakan seorang aktor merupakan tindakan rasional bertujuan atau tindakan normatif. Dalam kaitan ini, Parsons (dalam Habermas 2009) membedakan tindakan voluntaristik dan konsep normativis tentang tatanan. Dengan mengutip kata-kata Weber, Parsons mengatakan, “setiap refleksi mendalam tentang elemen-elemen hakiki dari tindakan bermakna yang dilakukan manusia, pada dasarnya dilakukan berdasarkan kategori tujuan dan sarana. Parsons mengambil struktur teleologis bertujuan yang terkandung dalam seluruh tindakan sebagai panduan dalam analisisnya tentang konsep tindakan sosial (Habermas 2009). Dalam model tindakan teleologis, aktor dipahami sebagai orang yang pada situasi tertentu menetapkan tujuan tertentu serta memilih dan menetapkan cara yang sesuai untuk mencapainya.

Tujuan dipahami Parsons sebagai hal-hal pada masa depan yang ingin diwujudkan oleh sang aktor (Habermas 2009).

(13)

Hal-hal yang mendasari keputusan aktor di antara berbagai pilihan sarana merupakan aturan dasar; sedangkan yang mendasari penetapan tujuan merupakan orientasi nilai dan norma. Keduanya dipadukan Parsons dalam suatu standar normatif. Dalam hal ini, tindakan dapat dianalisis sebagai orientasi tindakan yang dilakukan sang aktor dalam sebuah situasi tindakan.

Kerangka konseptual tindakan Parsons memiliki dua implikasi.

Pertama, model tindakan tidak hanya mengandaikan aktor memiliki kapasitas kognitif, tetapi juga menyarankan bahwa aktor dapat membuat keputusan yang dipandu secara normatif berkaitan dengan penetapan tujuan dan pemilihan sarana. Teori tindakan ini menurut Parsons termasuk tindakan voluntaristik.

Kedua, konsep Parsons tentang situasi mengandaikan bahwa sarana dan syarat yang terkait dengan orientasi tindakan ditafsirkan dari perspektif agen sendiri. Dalam hal ini, teori tindakan diletakkan pada konteks subjektivitas.

Hal ini juga diakui oleh Ricoeur, bahwa pribadi-pribadi merupakan tujuan dalam dirinya sendiri (Kaplan 2010). Dalam hal tindakan, Ricoeur juga memahami bahwa sebuah diri bukan fondasi mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu mampu berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan bertindak secara bertanggung jawab.

Dalam hal orientasi tindakan, Parsons melihat dua aspek penting.

Pertama, tindakan direpresentasikan sebagai proses pencapaian tujuan sembari mempertimbangkan standar normatif. Dalam aspek pencapaian tujuan, diperlukan upaya atau biaya yang berbuah hasil atau kepuasan.

(14)

Kedua, pertimbangan standar normatif berupa tindakan menjembatani kesenjangan antara wilayah yang sebenarnya dengan wilayah yang seharusnya, antara fakta dengan nilai, antara kondisi situasi tertentu dengan orientasi agen. Elemen normatif dari suatu tindakan menurut Parsons hanya dapat dicapai melalui serangkaian tindakan, sebab dengan tindakan, norma dapat direalisasikan sepenuhnya.

Untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana tatanan sosial muncul, Parsons mengkaji konsep Durkheim. Parsons menerima pandangan Durkheim bahwa tindakan para aktor hanya dapat dikoordinasi secara memuaskan berdasarkan norma-norma yang diakui secara intersubjektif. Parsons mengembangkan gagasan tentang sistem nilai yang mengandung imperatif moral, yang pada satu sisi terkandung dalam norma sosial dan di sisi lainnya terdapat pada motif aktor yang bertindak. Ketika diterapkan pada regulasi baku perbuatan dalam sejumlah kondisi yang relatif ajek, maka sistem nilai seperti itu terkandung dalam serangkaian aturan normatif (Habermas 2009).

Aturan-aturan tersebut tidak hanya menjadi tujuan dari perilaku spesifik dan mata rantai dari tujuan-tujuan tersebut, tetapi juga mengatur secara keseluruhan atau sebagian tindakan individu. Pada gilirannya, proses tersebut memerlukan kontrol atas perilaku internal. Individu konkret normal adalah individu yang memiliki disiplin secara moral. Ini artinya bahwa elemen-elemen normatif telah terinternalisasi dalam diri individu. Norma-norma yang semula mengekang individu, menurut Parsons berubah menjadi kewajiban moral. Subjektivitas tindakan individu Parsons ini menerapkan konsep moral yang telah dikembangkan oleh Durkheim.

Sejalan dengan Durkheim, Parsons merasa puas telah berhasil menemukan karakter dimensi normatif sebagai sikap di mana aktor yang bertindak dapat mematuhi atau melanggar

(15)

perintah-perintah yang mengikat. Dalam hal ini, aktor memiliki otonomi moral, yakni kebebasan untuk mematuhi suatu aturan. Otonomi atau otoritas moral sebagai suatu tatanan, sebuah istilah yang dipinjam dari Durkheim, dalam bahasa Weber disebut dengan legitimasi. Tindakan aktor yang otonom mengacu pada konsensus nilai dan menurut Parsons, tindakan tersebut pasti berorientasi pada tujuan. Tatanan ini mensyaratkan adanya tindakan berorientasi nilai-rasional. Parsons (dalam Habermas 2009) mengakui bahwa tatanan sosial kadang juga dibentuk melalui kompromi antara kepentingan individu yang saling bertumpang tindih. Sembari tetap memiliki kepentingan individunya, aktor menyelaraskan kepentingannya dalam suatu tindakan terkoordinasi dalam sebuah tatanan sosial yang absah.

Konsep tindakan Parsons, utamanya tindakan rasional bertujuan, ditafsirkan dalam kerangka alur utilitarian. Dalam pandangan Parsons, aktor berhadapan dengan suatu dunia objektif, berupa hal-hal yang terjalin dan ia memiliki pengetahuan empiris yang pasti tentang peristiwa dan situasi tempat ia berada. Empirisme mengasimilasikan subjek yang bertindak dan subjek yang merepresentasikan dan menilai. Asumsinya adalah aktor telah mengetahui fakta situasi tempat ia bertindak, syarat-syarat yang diperlukan dan sarana yang tersedia untuk merealisasikan tujuan-tujuannya. Parsons menyebut konsep tindakan ini sebagai tindakan rasional. Selanjutnya, menurut Parsons, keberhasilan tindakan bertujuan yang diorientasikan kepada fakta hanya diukur dari apakah tindakan tersebut mengarah pada tujuan atau tidak (Habermas 2009). Selain aturan dasarnya adalah peningkatan manfaat, norma lain dalam model tindakan rasional bertujuan adalah berkaitan dengan efektivitas sarana yang dipilih atau berhubungan dengan efisiensi intervensi yang dilakukan.

Konsep tindakan rasional bertujuan tidak menyediakan mekanisme yang digunakan oleh aktor untuk

(16)

mengkoordinasikan tindakan satu dengan lainnya. Parsons (dalam Habermas 2009) mengintroduksi juga konsep tindakan strategis, yang ia sebut dengan atomistik. Apabila aktor hanya berhadapan dengan dunia yang ada, keputusan aktor lain hanya relevan baginya dari sudut pandang keberhasilannya sendiri. Hubungan stabil antara para aktor hanya dapat terjadi ketika kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam relasi sosial saling melengkapi dan saling menopang.

Mengacu pada pandangan Hobbes, Parsons (dalam Habermas 2009) meyakini bahwa subjek atau aktor dibekali kemampuan untuk melakukan tindakan rasional bertujuan. Pencapaian kepentingan tiap-tiap individu menurut Hobbes akan terjebak pada perang untuk memperebutkan barang, karena hasrat dari tiap-tiap individu beranekaragam. Masing-masing aktor juga memandang bahwa keputusan setiap aktor lainnya merupakan sarana atau syarat untuk mewujudkan tujuan mereka sendiri.

Dalam hal ini, setiap orang berusaha untuk memengaruhi orang lainnya. Dalam interaksi ini muncul apa yang disebut dengan kekuasaan. Dalil rasionalnya adalah bahwa seluruh manusia pasti menginginkan kekuasaan atas sesamanya. Konsep kekuasaan ini menempati posisi sentral dalam analisis tatanan. Oleh karena masyarakat terperosok ke dalam perjuangan untuk memperoleh kekuasaan jangka pendek, maka tujuan akhir berupa keinginan bersama tidak akan pernah ada. Solusi yang ditawarkan Hobbes adalah adanya kontrak untuk menyerahkan kekuasaan kepada pihak yang memiliki kekuasaan mutlak (Habermas 2009).

Parsons menentang pandangan Hobbes tentang solusi berupa kontrak kekuasaan tersebut. Parsons yakin bahwa kontrak yang memberikan kepada penguasa tersebut tidak sejalan dengan konsep rasional bertujuan. Dua alasan berikut

(17)

menjadi pertimbangan Parsons menolak pandangan Hobbes tentang kontrak kekuasaan.

Pertama, realisasi kontrak biasanya dijalankan dengan menggunakan paksaan dan penipuan.

Kedua, paksaan dan penipuan tersebut tidak sesuai dengan hakikat rasional bertujuan yang lebih banyak bersifat persuasif. Berbeda dengan pandangan Hobbes yang memerlukan suatu kekuatan tertentu untuk membatasi perilaku alamiah manusia yang cenderung egois, Locke percaya bahwa setiap manusia memiliki kesetaraan dan kebebasan serta mereka memiliki kewajiban resiprokal untuk mengakui setiap orang dan mereka bersedia mengorbankan kepentingan sesaatnya. Sikap tunduk pada kekuasaan mutlak harus didasarkan pada konsensus normatif, bukan pada paksaan. Normalah yang menjadi pembatas tindakan aktor yang dikendalikan oleh kepentingan diri. Pembatasan tersebut berlangsung melalui orientasi terhadap nilai. Orientasi tindakan individu mengarah pada nilai yang mengikat. Dengan mengacu pada nilai-nilai atau kesepakatan normatif, maka tindakan bertujuan yang berorientasi pada nilai akan berjalan seiring dengan tatanan yang mengintegrasikan nilai.

Tatanan sosial yang dipahami Parsons merupakan struktur sosial. Dalam struktur sosial ini, suatu masyarakat dapat terorganisasi dalam hubungan-hubungan yang dapat diramalkan melalui pola perilaku yang berulang antarindividu dan antarkelompok. Sementara itu, sistem sosial sebagai bagian dari struktur sosial dipahami Parsons sebagai sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang memiliki motivasi, dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan situasi yang didefinisikan dan dimediasi dalam simbol bersama yang terstruktur secara kultural (Martono 2011:50).

(18)

Tidak semua sistem sosial dapat berfungsi dengan baik. Agar sistem sosial dapat bekerja dengan baik dalam kondisi stabil, maka ada empat fungsi terintegrasi yang harus dijalankan. Empat fungsi itu adalah adaptation atau adaptasi (A), goal attainment atau pencapaian tujuan (G), integration

atau integrasi (I), dan latent pattern maintenance atau pemeliharaan pola-pola laten (L) (Kinloch 2005). Keempat fungsi tersebut terkenal dengan singkatan AGIL.

Fungsi adaptasi dari sistem dilakukan dengan cara menyesuaikan diri dengan lingkungan sekaligus menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya. Fungsi adaptasi meupakan fungsi organisme atau sistem organis tingkah laku. Dalam fungsi pencapaian tujuan, sistem harus dapat mendefinisikan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi ini disebut juga fungsi kepribadian. Dalam hal integrasi, sistem harus mampu mengatur dan menjaga hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mampu menjalankan fungsi untuk memelihara pola, termasuk juga dalam memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan kultural. Fungsi yang terakhir dari sistem tersebut adalah pemeliharaan pola-pola laten.

D. Resistensi PKL sebagai Tindakan Rasional

Pandangan Giddens, Weber, dan Parsons mengenai tindakan aktor atau subjek individual tidak jauh berbeda. Mereka meyakini bahwa tindakan aktor dalam suatu aktivitas tertentu merupakan tindakan rasional atau tindakan rasional bertujuan. Tindakan aktor tersebut cenderung untuk mengejar kepentingan mereka masing-masing. Namun tindakan aktor tidak akan berlangsung jika tidak berada dalam suatu struktur sosial tertentu, di mana masing-masing aktor berinteraksi satu dengan lainnya.

(19)

Pedagang kaki lima (PKL) resisten terhadap Pemkot Semarang merupakan tindakan yang disadari dan memiliki tujuan, agar mereka tetap diizinkan berdagang di lokasi guna memenuhi keperluan hidup hidup sehari-hari. PKL seperti halnya kelas bawah lainnya sesungguhnya tidak memiliki keberanian melawan pemerintah atau negara, tetapi sebagaimana dikemukakan Paige, intervensi dari luar berpotensi menggerakkan kelas bawah dalam suatu bentuk perlawanan tertentu (Alisjahbana 2006). Dukungan dari PPKLS, LBH, dan organisasi lainnya, menguatkan nyali PKL melawan Pemkot. Semua itu mereka lakukan agar mereka dapat bekerja di tempat yang bagi mereka mudah untuk memperoleh penghasilan, sehingga mereka dapat menghidupi keluarganya. Dengan bekerja, kelangsungan hidup mereka dapat terjaga. Gambaran tentang bagaimana PKL resisten terhadap pemerintah dan apa tujuan mereka bertindak resisten dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 56. Tindakan PKL sebagai Tindakan Bertujuan

Tindakan PKL disadari dan bertujuan Resistensi PKL Kebijakan Pemerintah yang tidak akomodatif PKL Bertahan Hidup (Survive)

Dukungan dari Organisasi atau Lembaga Swadaya

(20)

Di Semarang terdapat dua tempat untuk menampung para pedagang kaki lima (PKL) yang bersedia dipindah atau direlokasi, yaitu di Kokrosono dan Pasar Waru, tetapi mengapa PKL menolak direlokasi atau menolak perubahan terhadap dirinya. Banyak aspek, faktor, atau alasan mengapa PKL tidak bersedia dipindah dan mereka melawan ketika digusur. Dari penelitian yang telah dilakukan, faktor-faktor yang membuat PKL menolak direlokasi atau melakukan perlawanan ketika digusur dan dipindah adalah (1) adanya pengalaman buruk ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah menikmati zona aman (comfort zone) di lokasi di mana mereka berdagang, (3) komunikasi yang buruk antara pihak pemkot dengan PKL, (4) PKL tidak terlibat secara fair dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, (5) PKL dikendalikan oleh sikap

self interest, (6) PKL khawatir di tempat baru akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, (7) PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang baru, (8) PKL merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi tersebut, (9) PKL merasa terancam pekerjaannya, (10) resiko di tempat baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika masih berada di lokasi semula.

Respon-respon dari yang ditunjukkan oleh PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, semuanya adalah untuk kepentingan bertahan hidup (survive) atau paling tidak untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Memang ada di antara PKL yang diteliti, tidak sekedar bertahan hidup. Di Kokrosono yang lokasinya tidak layak untuk berdagang, karena tempatnya berada di pinggir sungai, kumuh, kotor, dan bau ketika hujan, terdapat dua orang pedagang yang sukses menekuni pekerjaan sebagai pedagang kaki lima. Demikian pula, di Sampangan, ada seorang pedagang gado-gado yang cukup sukses secara ekonomi, meskipun ia mengalami penggusuran di tempat di mana ia berjualan. Pedagang kaki lima yang sukses juga ditemui di bundaran Simpang Lima. Namun demikian, sebagian besar

(21)

PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di Sampangan, Basudewo, Kokrosono, dan di tempat lainnya hidup sebagai PKL hanya cukup untuk bertahan hidup atau menjaga kelangsungan hidupnya.

Tindakan PKL melawan Pemerintah kota Semarang dapat dipahami dalam konteks tindakan individual dan tindakan kolektif. Dalam hal tindakan individual, konsep aktor atau agen dari Giddens dapat menjelaskan mengapa PKL bersikap resisten terhadap kebijakan yang diambil Pemkot. Sebagaimana dikatakan Giddens bahwa aktor atau agen memiliki kesadaran (kognitif) terhadap apa yang mereka lakukan, artinya mereka tahu apa yang akan dan telah dilakukan. Tindakan agen tersebut memang sengaja dilakukan, di dalamnya ada unsur kehendak dan kebebasan (Moya 1990). Tindakan tersebut merupakan tindakan rasional. Tindakan tersebut tentu sengaja dilakukan, tidak secara kebetulan. Masih adanya beberapa PKL yang nekat berdagang di Basudewo, di Kokrosono, dan beberapa tempat lainnya, menunjukkan bahwa para PKL memang sadar mengenai apa yang dilakukan, dan mereka pun siap menanggung resiko ketika harus ditertibkan petugas Satpol PP kota Semarang.

PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) tidak patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan rasional, karena apa yang mereka lakukan telah disadari betul, sebab jika mereka tidak melakukan perlawanan, mereka tidak bisa melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi keluarganya. Tindakan PKL tersebut juga disengaja dilakukan, karena mereka juga menyadari akan resiko yang akan ditanggungnya. Para PKL ini bertindak melawan pemerintah, karena memiliki alasan-alasan tertentu yang bagi mereka rasional, di antaranya mereka khawatir jika pindah di tempat baru akan kehilangan atau kekurangan pendapatan. Pak Haji Mustaqim merupakan salah satu contoh PKL Kokrosono liar

(22)

yang semula sudah pindah ke sentra PKL Kokrosono, tetapi karena dagangan sepi, pak Haji kembali berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Agar diizinkan berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat tersebut, pak Haji bersedia membayar kalau diperlukan. Ketika diwawancarai, pak Haji berujar: “membayar sepuluh juta pun saya mau pak, asalkan diperbolehkan berjualan di sini (tepi jalan)”. Hal ini juga diakui pak Mul, “kalau harus membayar…saya siap pak…asal boleh berdagang di sini”.

Sikap resisten dan tindakan PKL melawan pemerintah, dari sisi agen merupakan tindakan manusia yang di dalamnya terlekat makna subjektif (Weber) atau bersifat individual. Tindakan melawan, dalam arti tetap bertahan di lokasi untuk berjualan sebagaimana diperlihatkan PKL Kokrosono merupakan tindakan subjektif. Para PKL menggunakan taktik

run and back, merupakan contoh tindakan subjektif dan ini rasional bagi mereka.

Tipe tindakan rasional bertujuan Weber juga dapat menjelaskan mengapa PKL resisten terhadap Pemkot. Para PKL tetap bertahan di lokasi memang disengaja dengan tujuan agar Pemkot memperhatikan nasib dan masa depan PKL yang berjualan di tepi sungai, yakni dengan mendirikan tempat yang layak bagi mereka untuk berdagang, meski kenyataannya hal itu tidak sesuai dengan harapan para PKL. Pemkot tetap pada pendiriannya, yaitu menertibkan, menggusur, dan memindahkan PKL sebagaimana dialami PKL Basudewo. Tindakan melawan yang dilakukan PKL juga dapat dipahami dari aspek tindakan rasional bernilai dari Weber.

Para PKL tetap bertahan di lokasi untuk berjualan sadar betul bahwa apa yang mereka lakukan memang tidak benar, tetapi mereka juga mengakui bahwa mereka terpaksa harus berdagang di tempat tersebut karena selama ini dagangan mereka ramai dikunjungi pembeli dan jika pindah belum tentu

(23)

dagangannya laku. Kenikmatan pada zona aman (comfort zone) ketika berada di lokasi lama, membuat PKL bersikukuh bertahan di lokasi. Dalam hal tindakan kolektif, para PKL bertahan di lokasi karena tindakan mereka sudah terkoordinasi, seperti yang terlihat pada tindakan kolektif PKL Sampangan dan PKL Basudewo.

Adanya kesepakatan bersama (normatif) dari PKL untuk tetap bertahan di lokasi hingga tuntutan mereka dikabulkan Pemerintah kota, membuat tindakan individual PKL bertransformasi menjadi tindakan kolektif. Tindakan kolektif ini terwujud dalam bentuk menghalangi petugas yang akan menggusur mereka, memblokade jalan, pawai menuju Kantor Balaikota, dan berdemonstrasi. Kekuatan kolektif inilah yang membuat para individu PKL berani melawan dan tidak patuh terhadap kebijakan relokasi yang ditempuh oleh Pemkot Semarang.

Tindakan individual PKL juga dapat dipahami dalam konteks teori tindakan Parsons. Teori tindakan Parsons mirip dengan teori tindakan Weber, di mana aktor bertindak rasional, subjektif, dan cenderung mengutamakan kepentingan diri sendiri (self-interest). Parsons setuju dengan konsep tindakan rasional bertujuan dari Weber, di mana tindakan memiliki tujuan-tujuan tertentu dan mengandaikan adanya sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Para PKL bertindak melawan Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional bertujuan, karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya laku.

Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Semarang (PPKLS) dan membentuk organisasi intern PKL

(24)

seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti Lembaga Bantuan Hukum, Pattiro, Organisasi Mahasiswa, dan lain-lain. Organisasi dan jejaring yang dibangun PKL yang terkena kebijakan relokasi ini digunakan para PKL untuk mewujudkan tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi semula.

PKL Sampangan berhasil mewujudkan tujuannya, yakni tetap berdagang di lokasi semula, meskipun tempat berdagangnya sedikit bergeser ke arah selatan. PKL Basudewo bertahan di lokasi, hingga akhirnya pindah pada awal tahun 2011. PKL Kokrosono (liar) tidak pindah, tetap bertahan untuk berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Keberhasilan gerakan rakyat kecil ini sejalan dengan hasil temuan Roever (2005) yang menunjukkan bahwa rakyat miskin dalam situasi tertentu berhasil memobilisasi dan mendesakkan tuntutan mereka. Aktivitas PKL Basudewo yang masih berjalan hingga akhir Desember 2010 dan kegiatan kuliner PKL Sampangan yang masih berlangsung hingga kini merupakan contoh dari keberhasilan tindakan kolektif PKL.

Tindakan para PKL untuk tetap bertahan di lokasi di mana mereka berjualan sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan memang memerlukan upaya dan biaya yang tidak kecil (bagi ukuran PKL) seperti yang diperlihatkan oleh PKL Basudewo. Perjuangan PKL Basudewo selama dua tahun, yaitu tahun 2009 sampai dengan 2010 membutuhkan energi yang luar biasa dari para PKL, tidak hanya uang, tetapi tenaga, waktu, dan pikiran. Buah dari kerja keras itu adalah mereka tetap dapat bertahan berjualan di lokasi, di tengah-tengah ancaman preman dan tindakan kekerasan dari aparat pemerintah, seperti Satpol PP dan Kepolisian.

Sebagai aktor yang bertindak individual dalam kaitannya dengan posisinya sebagai pedagang yang cenderung

(25)

mengutamakan self-interest, tindakan para PKL juga dapat dikoordinasi berdasarkan norma-norma intersubjektif, yakni oleh paguyuban internal yang mereka bangun, seperti yang dimiliki PKL Basudewo. Sebagaimana dikemukakan Durkheim, bahwa dengan adanya paguyuban, ada imperatif moral dari sistem nilai bersama yang menegaskan adanya aturan normatif yang berfungsi mengontrol perilaku anggota PKL sebagai aktor.

Salah satu contoh dari nilai bersama yang disepakati para PKL adalah ketika PKL Basudewo bersepakat untuk tetap bertahan di lokasi. Dalam rapat yang diselenggarakan pada hari Minggu tanggal 23 Mei 2010, para PKL bersepakat untuk turun ke jalan menemui walikota Semarang pada tanggal 25 Mei 2010, dengan tujuan agar mereka diberi kesempatan untuk tetap dapat berdagang di Basudewo. Jumlah mereka yang berangkat turun ke jalan adalah 65 orang PKL, dengan didampingi beberapa orang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Untuk kepentingan aksi ini, PKL bersepakat membayar iuran sebesar Rp10.000,00 per orang. Para PKL yang ingin tetap dapat berdagang di Basudewo harus bersedia bergabung dan bekerja bersama dalam paguyuban yang telah mereka bentuk. Norma yang disepakati, di antaranya membayar iuran Rp10.000,00 setiap diadakan rapat, harus hadir jika diundang rapat, dan tidak berjualan pada saat mengadakan aksi ke jalan, merupakan norma yang seakan-akan mengekang hak individual PKL.

Rasa solidaritas terhadap perjuangan paguyuban PKL Basudewo, menyebabkan banyak anggota PKL yang turut bergabung dalam tindakan kolektif yang diinisiasi oleh paguyuban. Mereka merasa kewajiban tersebut tidak dipaksakan, tetapi merupakan kewajiban moral yang harus ditanggung bersama. Rapat PKL dalam rangka memperjuangkan tujuan untuk dapat berdagang di lokasi lama, telah dilakukan PKL Basudewo tidak kurang dari 20 kali selama tahun 2010-2011. Dari komitmen dan aktivitas PKL Basudewo

(26)

menunjukkan bahwa anggota PKL sebagai aktor individu dapat menyelaraskan kepentingannya dalam suatu tatanan sosial sebagaimana dikehendaki oleh paguyuban PKL Basudewo. Selaras dengan pandangan Parsons, PKL sebagai aktor menyadari apa yang mereka lakukan, yaitu bekerjasama untuk kepentingan bersama, agar PKL tetap diizinkan berdagang di lokasi yang selama ini mereka tempati.

Tindakan PKL dalam konteks individual juga dapat dipahami dari pandangan Ricoeur. Sebagaimana diungkapkan Ricoeur bahwa sebuah diri seorang subjek bukan fondasi mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu mampu berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan bertindak secara bertanggung jawab (Kaplan 2010). Pedagang kaki lima (PKL) dalam pandangan Ricoeur ini juga merupakan aktor yang mampu berbicara, meskipun kebanyakan pendidikannya tidak tamat SMA, dan bertindak untuk merealisasikan kebutuhannya.

Mereka berdagang di tempat terlarang, memang mereka akui salah, tetapi tidak ada pilihan lain bagi mereka selain berdagang meskipun harus menempati lokasi yang dilarang oleh ketentuan Peraturan Daerah. Mereka sudah memperhitungkan segala sesuatunya, termasuk ketika harus menerima resiko digusur dari tempat di mana mereka berjualan. Mereka sejatinya juga bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. PKL Sampangan misalnya, selesai berdagang pasti juga membersihkan kotoran dan sampah yang timbul akibat dari usaha perdagangan mereka. Demikian pula, yang dilakukan oleh PKL Basudewo dan Kokrosono. Apabila mereka diberi otonomi dan kepercayaan untuk mengelola aktivitasnya, tidak digusur dari tempatnya, atau bahkan didukung dengan dibuatkan tempat untuk berdagang yang layak, sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan bertanggung jawab terhadap apa-apa yang telah diberikan oleh pemerintah kepadanya.

(27)

E. Rangkuman

Kebijakan Pemkot Semarang merelokasi PKL dengan cara-cara represif, direspon PKL dengan tindakan resisten. Resistensi merupakan suatu sikap, respon atau reaksi yang dilakukan individu atau sekelompok individu untuk menolak, menentang, dan melawan setiap perintah, aturan, dan kebijakan pihak lain atau pihak yang memegang otoritas. Relokasi atau pemindahan ke lokasi baru bagi PKL merupakan sebuah ancaman akan posisi status quo mereka yang selama ini sudah dapat menikmati aktivitasnya sebagai PKL. Relokasi juga dipandang oleh PKL sebagai perubahan terhadap posisi dan prospek hidup mereka, yang belum tentu memberi jaminan dengan kepindahannya di tempat baru, mereka akan menikmati hidup lebih baik. Inilah yang menyebabkan para PKL bersikap resisten ketika ditertibkan, digusur, dan dipindahkan.

Faktor-faktor yang membuat PKL menolak direlokasi atau melakukan perlawanan ketika digusur dan dipindah adalah (1) adanya pengalaman buruk ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah menikmati zona aman (comfort zone) di lokasi di mana mereka berdagang, (3) komunikasi yang buruk antara pihak Pemkot dengan PKL, (4) PKL tidak terlibat secara fair dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, (5) PKL dikendalikan oleh sikap self interest, (6) PKL khawatir di tempat baru akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, (7) PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang baru, (8) PKL merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi tersebut, (9) PKL merasa terancam pekerjaannya, (10) resiko di tempat baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika masih berada di lokasi semula.

PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) tidak patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan rasional, sebagaimana pandangan Giddens, karena apa yang

(28)

mereka lakukan telah disadari betul. Jika mereka tidak melakukan perlawanan, mereka khawatir tidak bisa melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi keluarganya. Para PKL ini bertindak melawan pemerintah, karena memiliki alasan-alasan tertentu yang bagi mereka rasional, misalnya mereka khawatir jika pindah di tempat baru akan kehilangan atau kekurangan pendapatan. Para PKL bertindak melawan Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional bertujuan, sebagaimana diintroduksi Weber dan Parsons, karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya laku dan pembelinya tidak lari ke tempat lain.

Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima kota Semarang (PPKLS) dan membentuk organisasi intern PKL seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti LBH, Pattiro, Organisasi Kemahasiswaan, dan lain-lain. Organisasi dan jejaring yang dibangun PKL digunakan para PKL untuk mewujudkan tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi yang selama ini mereka gunakan untuk berdagang dan melakukan aktivitas ekonomi lainnya.

Gambar

Gambar 55. Rasionalisasi Tindakan dari Giddens
Gambar 56. Tindakan PKL sebagai Tindakan Bertujuan

Referensi

Dokumen terkait

Katup berfungsi untuk membuka dan menutup saluran hisap dan saluran buang.Tiap silinder dilengkapi dengan dua katup yang masing-masing adalah katup hisap dan katup

memberikan pengaruh berbeda sangat nyata dengan kontrol (tanpa FMA). Hal ini membuktikan bahwa masing-masing jenis FMA lebih mampu memberikan peranannya secara

Program Penulisan MASTERA diadakan pada setiap tahun bermula pada tahun 1997 sehingga 2015 (terkini) dalam rangka penyelarasan kerjasama serantau bagi pembinaan dan

Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan perangkap adalah ukuran atau jenis serangga yang akan ditangkap, kebiasaan keluar (siang atau malam hari), stadium perkembangan

menumbuhkan pertanyaan dari judul teks, dilanjutkan dengan membaca teks, kemudian masing-masing siswa menceritakan kembali teks yang telah dibaca sementara teman

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah, serta pertolongannya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ANALISIS

[r]

Apocynaceae) merupakan kedua jenis paling banyak dikonsumsi oleh kelelawar yaitu ada 16 dan 11 individu kelelawar secara berurutan. Kesamaan relung sumberdaya pakan kelelawar