• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

15 1. Tinjauan tentang Hubungan Kerja

Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan-kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan hubugan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Sehingga hubungan kerja itu terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh (Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dengan buruh/pekerja berdasarkan pada perjanjian kerja. Ikatan antara kedua belah pihak inilah yang disebut dengan hubungan kerja.

Sesuai dengan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja mempunyai beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut :

a. Pekerjaan

Unsur pekerjaan mempunyai arti bahwa buruh/pekerja mendapat pekerjaan bebas sesuai dengan apa yang diperjanjikan asal pekerjaan

(2)

tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketentuan umum yang berlaku.

b. Perintah

Unsur perintah merupakan unsur yang paling dasar dari suatu hubungan kerja. Sehingga dalam hal ini pengusaha berhak dan mempunyai kewajiban untuk memberikan perintah kepada buruh/pekerja. Unsur perintah ini menyebabkan kedudukan antara atasan dan bawahan antara pengusaha dan buruh/pekerja.

c. Upah

Upah merupakan unsur ketiga dalam hubungan kerja. Upah berdasarkan Pasal 1 angka 30 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak buruh/pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pihak pengusaha atau pemberi kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

2. Tinjauan tentang Buruh/Pekerja & Pengusaha a) Buruh/Pekerja

1) Pengertian Buruh/Pekerja

Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda, juga karena peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) menggunakan istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini disebur sebagai “Blue Collar”. Sedangkan orang-orang yang melakukan pekerjaan “halus” yang

(3)

tak pernah bergelut dengan pekerjaan-pekerjaan kasar seperti disebutkan di atas. Pemerintahan Hindia Belanda disebut dengan istilah “karyawan/pegawai” atau disebut dengan White Collar. Biasanya orang-orang yang termasuk White Collar ini adalah para pekerja (bangsawan) yang bekerja di kantor dan orang-orang Belanda dan Timur Asing lainnya (Lalu Husni, 2005:33). Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh khusus dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh. Semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak mempunyai perbedaan apapun.

Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu kongres FBSI II Tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan (Lalu Husni, 2005:34).

Bahkan diusahakan agar buruh mempunyai kedudukan yang seimbang dengan majikan. Sebagai contoh tidak dibedakannya antara buruh kasar dan buruh halus dapat kita lihat perumusan buruh dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dinyatakan bahwa : “Buruh adalah barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah” (H. Agusfian Wahab, 2010:40-41).

Buruh atau pekerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai pengertian orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(4)

dinyatakan bahwa buruh atau pekerja adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apa pun ini perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang (Lalu Husni, 2005:35). Sedangkan menurut Iman Soepomo, buruh adalah orang yang bekerja pada orang lain atau suatu badan dengan menerima upah, jadi suatu pekerjaan yang dilakukan dalam suatu hubungan yaitu hubungan kerja yang zakelijk (Iman Soepomo, 1988:22).

Sehingga dalam pengertian buruh/pekerja ini, dapat dikatakan bahwa buruh/pekerja tidak sama dengan tenaga kerja. Hal ini dikarenakan tenaga kerja mempunyai pengertian setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Dalam pengertian tersebut setiap orang dapat dikategorikan sebagai tenaga kerja, karena setiap orang yang melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat dikategorikan sebagai tenaga kerja. Sedangkan dalam pengertian buruh/pekerja dikatakan bahwa buruh/pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah pengertian tenaga kerja lebih luas dibandingkan dengan pengertian buruh/pekerja. Seseorang dapat dikatakan sebagai buruh/pekerja apabila dia melakukan suatu pekerjaan di dalam hubungan kerja guna untuk

(5)

menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (H. Agusfian Wahab, 2010:42).

2) Hak dan Kewajiban Buruh/Pekerja (a) Hak Buruh/Pekerja

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.

Sebagai seorang yang bekerja dalam hubungan kerja, bekerja kepada orang lain, buruh/pekerja mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh majikan atau pengusaha. Hak-hak terhadap buruh/pekerja ini juga sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan buruh/pekerja. Apabila dirinci, terdapat banyak hak-hak terhadap buruh/pekerja, akan tetapi disini penulis hanya akan menyebutkan beberapa hak-hak buruh/pekerja. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut :

(i) Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per)), Pasal 88 sampai dengan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah).

(ii) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesui bakat dan kemampuannya (Pasal 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

(iii) Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 3 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek).

(6)

(iv) Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan (Pasal 88-98 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

(v) Hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

(b) Kewajiban Buruh/ Pekerja

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kewajiban dapat diartikan sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan). Kewajiban merupakan hal yang harus dikerjakan atau dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Apabila kewajiban tidak dilakukan, seseorang akan mendapat hukuman atau sanksi bagi yang melanggarnya.

Hal tersebut di atas juga berlaku bagi buruh/pekerja yang mana buruh/pekerja juga mempunyai kewajiban terhadap perusahaannya yang mempekerjakannya. Apabila buruh/pekerja tidak melaksanakan kewajibannya secara otomatis dia akan mendapatkan suatu hukuman.

Apabila dirinci satu per satu, buruh/pekerja mempunyai banyak kewajiban. Dalam KUH Perdata dirinci tentang berbagai kewajiban dari buruh, yaitu :

(i) Buruh berkewajiban melakukan pekerjaan yang dijanjikan menurut kemampuannya dengan sebaik-baiknya;

(ii) Buruh berkewajiban melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya;

(iii) Buruh wajib taat terhadap peraturan mengenai hal melakukan pekerjaannya;

(7)

(iv) Buruh yang tinggal pada pengusaha, wajib berkelakuan baik menurut tata tertib rumah tangga pengusaha.

Sedangkan menurut FX. Djumialdji buruh/pekerja mempunyai kewajiban-kewajiban (FX. Djumialdji, 1987:59-63). Kewajiban-kewajiban buruh/pekerja tersebut sebagai berikut :

(i) Melakukan Pekerjaan

Menurut Pasal 1603 KUH Perdata, buruh wajib melakukan pekerjaan yang dijanjikan sesuai dengan batas-batas kemampuannya. sepanjang sifat dan luas pekerjaan yang harus dilakukan tidak diuraikan dalam perjanjian atau peraturan perusahaan, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan.

Buruh wajib melakukan pekerjaan itu sendiri dan tidak boleh diwakilkan ataupun diwariskan. Dengan kata lain melakukan pekerjaan adalah bersifat kepribadian (Persoonlijkheid). apabila buruh yang melakukan pekerjaan meninggal dunia, maka perjanjian kerja putus demi hukum dengan sendirinya. (ii) Mentaati Tata Tertib Perusahaan

Menurut Pasal 1603 huruf b KUH Perdata, buruh wajib mentaati peraturan-peraturan mengenai pelaksanaan pekerjaan dan peraturan-peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan tata tertib dalam perusahaan milik majikan yang diberikan kepadanya oleh atau atas nama majikan dalam batas peraturan perundang-undangan, perjanjian atau peraturan. (iii) Wajib Membayar Denda dan Ganti Rugi (iv) Bertindak Sebagai Buruh yang Baik

(8)

Dalam Pasal 1603 huruf d KUH Perdata disebutkan bahwa pada umumnya buruh wajib melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang buruh yang baik, dalam keadaan yang sama. (v) Mentaati Tata Tertib Rumah Tangga Majikan

(vi) Hal ini hanya berlaku bagi buruh yang bertempat tinggal pada majikan. Dalam Pasal 1603 huruf e KUH Perdata ditentukan bahwa buruh yang bertempat tinggal pada majikan, wajib bertingkahlaku sesuai dengan tata tertib rumah tangga majikan.

b) Pengusaha

(1) Pengertian Pengusaha

Sebagaimana halnya dengan istilah buruh. istilah majikan juga sangat populer karena perundang-undangan sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa majikan adalah “orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh”. Sama halnya dengan istilah buruh. istilah majikan juga kurang sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu di atas sebagai lawan atau kelompok penekan buruh. Antara buruh dan majikan secara yuridis mempunyai kedudukan yang sama karena merupakan mitra kerja. Oleh karena itu lebih tepat apabila disebut dengan pengusaha.

Sehubungan dengan hal tersebut, perundang-undangan yang lahir kemudian seperti Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Jamsostek, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan menggunakan istilah Pengusaha.

(9)

Dalam pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan mengenai pengertian Pengusaha, yaitu :

(a) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu usaha perusahaan milik sendiri;

(b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

(c) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Batasan pengusaha berbeda dengan pemberi kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pemberi kerja adalah orang-perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Adapun perusahaan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah :

(a) setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

(b) usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

(2) Hak dan Kewajiban Pengusaha

Kewajiban tidak hanya berlaku bagi buruh/pekerja saja, tetapi juga berlaku bagi pengusaha yang mana apabila kewajiban tersebut dilanggar akan mendapatkan sanksi pula.

(10)

Seperti yang tertera dalam Jurnal Internasional Impact of occupational health and safety on worker productivity: A case of Zimbabwe food industry yang merumuskan bahwa kebanyakan peraturan yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan kerja menyatakan bahwa majikan wajib memberikan lingkungan kerja yang aman dan buruh/ pekerja harus mengetahui bahaya yang timbul akibat pekerjaannya (Most Occupational Health And Safety (OHS) statutory instruments state that it is the employer’s obligation to provide a safe working environment for the workers. These regulations further clarify that it is the duty of the employer to disclose accident statistics and to keep appropriate records. An employee should be informed of the dangers that are eminent in their work) (P. Katsuro, C. T. Gadzirayi, Taruwona M and Suzanna Mupararano, 2010:2646).

Kewajiban pengusaha juga di atur dalam Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan juga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kewajiban-kewajiban pengusaha apabila dilihat dari KUH Perdata adalah sebagai berikut (H. M. N. Purwosutjipto, 1978: 44-45) :

(a) Pasal 1601 huruf a KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian perburuhan yang dibuat antara buruh/pekerja dengan majikan mengikat keduanya untuk suatu waktu tertentu. Oleh karena itu pengusaha wajib membayar upah kepada buruh/pekerja.

(b) Pasal 1601 huruf d KUH Perdata menyebutkan bahwa Pengusaha wajib menanggung biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan membuat perjanjian kerja yang tertulis.

(11)

Sedangkan kewajiban-kewajiban pengusaha apabila dilihat dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah sebagai berikut :

(a) Memperkerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan garis dan derajat kecacatan nya (Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);

(b) Pengusaha wajib memberikan/ menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja /buruh perempuan yang berangkat dan pulang pekerja antara pukul 23.00 s.d pukul 05.00 (Pasal 76 ayat (5) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);

(c) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja sebagaimana dijelaskan Pasal 77 ayat (1) s.d (4) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

(d) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh (Pasal 79 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);

(e) Pengusaha wajib memberikan kesempatan secukupnya kepada buruh/pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya (Pasal 80 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);

(f) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh orang) wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh mentri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan); (g) Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta

memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh;

(12)

(h) Untuk Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana di maksud dalam pasal 89 (Pasal 90 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);

(i) Pengusaha wajib membayar upah/pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 91 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Selain kewajiban, pengusaha juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi. Hak-hak pengusaha memang tidak secara khusus diatur dalam perturan perundang-undangan, akan tetapi bisa dilihat dari hubungan kerja dengan buruh/pekerja. Dalam hal ini, pengusaha berhak sepenuhnya atas hasil kerja buruh/pekerja dan diganti dengan imbalan berupa upah. Kemudian pengusaha juga berhak atas sikap hormat dari buruh/pekerja. Pengusaha juga berhak menjalankan peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama hingga menjalankan sanksi terhadp buruh/pekerja apabila terjadi pelanggaran disiplin maupun pelanggaran lainnya.

3. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Buruh/Pekerja Dalam Hal Keselamatan dan Kesehatan Kerja

a) Teori Perlindungan Hukum

Pada dasarnya manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang sejak lahir sudah memiliki hak-hak dasar yaitu hak untuk hidup, hak untuk dilindungi, hak untuk bebas dan hak-hak lainnya. Jadi, pada dasarnya setiap manusia memiliki hak untuk dilindungi termasuk dalam kehidupan bernegara. Dengan kata lain, setiap warganegara akan mendapat perlindungan dari negara. Dalam hal ini hukum sebagai sarana untuk mewujudkannya sehingga muncul teori perlindungan hukum. Perlindungan hukum adalah perlindungan akan

(13)

harkat dan martabat serta hak-hak asasi manusia berdasarkan ketentuan hukum oleh aparatur negara. Dengan begitu, perlindungan hukum merupakan hak mutlak bagi setiap warganegara dan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah, mengingat Indonesia adalah negara hukum.

Perlindungan hukum merupakan penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum (CTS. Kansil, 1989:102).

Terdapat beberapa teori perlindungan hukum yang diutarakan oleh para ahli, seperti Setiono (2004:3) yang menyatakan bahwa perlindungan hukum merupakan tindakan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum. Menurut Muchsin (2006:14), perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.

Menurut Satijipto Raharjo (2000:53), perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Sedangkan perlindungan hukum menurut Philipus, yaitu perlindungan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan

(14)

peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Philipus M. Hadjon juga menyatakan bahwa terdapat sarana perlindungan hukum yang dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: (1) Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif dengan tujuan mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.

(2) Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum (Philipus M. Hadjon, 1987:30).

(15)

Berdasarkan teroi-teori yang sudah diuraikan di atas, penulis menggunakan teori perlindungan hukum yang diutarakan oleh Philipus M. Hadjon. Teori perlindungan hukum tersebut yang paling relevan untuk Indonesia. Hal ini dikarenakan, dia menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat berupa tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Bersifat preventif artinya pemerintah lebih bersikap hati-hati dalam pengambilan dan pembuatan keputusan karena masih dalam bentuk tindakan pencegahan. Sedangkan bersifat represif artinya pemerintah harus lebih bersikap tegas dalam pengambilan dan pembuatan keputusan atas pelanggaran yang telah terjadi.

b) Perlindungan Hukum Terhadap Buruh/Pekerja Dalam Hal Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Secara yuridis Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. Sedangkan Pasal 6 mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik (Khakim, 2003:60).

Perlindungan buruh/pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntuan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu. Dengan demikian maka perlindungan pekerja ini mencakup :

(1) Norma Keselamatan Kerja : yang meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja bahan dan

(16)

proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan;

(2) Norma Kesehatan Kerja dan Heigiene Kesehatan Perusahaan : yang meliputi pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan tenaga kerja yang sakit; Mengatur persediaan tempat, cara dan syarat kerja yang memenuhi heigiene kesehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat kesehatan bagi perumahan pekerja;

(3) Norma Kerja : meliputi perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan waktu kerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja wanita, anak, kesusilaan ibadah menurut agama keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatan dan sebagianya guna memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat dan moral manusia;

(4) Kepada Tenaga Kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan/atau penyakit akibat pekerjaan, ahli warisnya berhak mendapat ganti kerugian.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Zainal Asikin (2002:76) mengklasifikasikan perlindungan pekerja menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :

(1) Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja

(17)

tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya;

(2) Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan mengembangkan kehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga; disebut juga sebagai kesehatan kerja;

(3) Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari alat kerja oleh bahan yang dolah atau dikerjakan perusahaan; disebut juga sebagai perlindungan keselamatan kerja.

Sedangkan dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikatakan bahwa buruh/pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas :

(1) Keselamatan dan Kesehatan Kerja; (2) Moral dan kesusilaan;

(3) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Menyadari sangat pentingnya perlindungan hukum terhadap buruh/pekerja, maka perusahaan dalam hal ini perlu mempunyai suatu regulasi tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Regulasi tersebut harus mampu untuk memberikan perlindungan hukum kepada buruh/pekerja dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja. Di sisi lain, buruh/pekerja merupakan aset yang penting bagi bagi perusahaan, pemerintah dan masyarakat.

(18)

4. Tinjauan Tentang Harmonisasi Peraturan

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2012:484) kata harmonis diartikan sebagai sesuatu yang bersangkut paut dengan harmoni, atau seia sekata; sedangkan kata “harmonisasi” diartikan sebagai pengharmonisan, atau upaya mencari keselarasan. Dalam penelitian ini kata harmonisasi juga digunakan sebagai upaya untuk mencari kesesuaian antara peraturan perundang-undangan.

Harmonisasi juga berhubungan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan perlu juga dipahami asas lex specialis derogat legi generali. Asas ini merujuk pada dua peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama, tetapi ruang lingkup materi muatan antara peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain (Peter Mahmud Marzuki, 2011:99). Perbedaan kata harmonisasi dengan kata sinkronisasi adalah pada peraturan perundang-undangan yang dikaji. Kata harmonisasi digunakan untuk mengkaji kesesuaian antara peraturan perundang-undangan secara horisontal atau yang sederajat dalam sistematisasi hukum positif (Endang Sumiarni, 2013:5). Kemudian terdapat pendapat dari Hans Kelsen yang menyatakan bahwa peraturan dapat disebut harmonis dan efektif dalam memberikan perlindungan hukum apabila terdapat kesesuaian antara peraturan satu dengan peraturan lainnya dengan menggunakan indikator kewajiban hukum dan sanksi (Hans Kelsen, 2007:73).

5. Tinjauan Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja apabila ditinjau dari segi keilmuan dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit kerja di tempat kerja. Secara umum, keselamatan dan kesehatan kerja adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan kerja tenaga kerja melalui upaya-upaya pencegahan kecelakaan

(19)

kerja dan penyakit akibat kerja (Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Sumber lain menyatakan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman, baik itu bagi pekerjaannya, perusahaannya, maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut. Keselamatan Dan Kesehatan Kerja juga merupakan suatu usaha untuk mencegah setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat, yang dapat mengakibatkan kecelakaan ( http://www.gajimu.com/main/pekerjaan-yanglayak/keselamatan-dan-kesehatan-kerja/pertanyaan mengenai; keselamatan-dan-kesehatan-kerja-di-indonesia-1 Diakses pada 17/10/2015 pukul 23.11 WIB). Sedangkan Hope Taderera (2012:100) berpendapat bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah a discipline dealing with the prevention of work related injuries and diseases, and the protection and promotion of the health of workers. It aims at the improvement of working conditions and environment.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja harus diterapkan dan dilaksanakan di setiap tempat kerja (perusahaan). Tempat kerja sendiri adalah setiap tempat yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur (Sendjun H. Manulang, 1995:83) :

a) Adanya suatu usaha, baik itu usaha yang bersifat ekonomis maupun usaha sosial.

b) Adanya sumber bahaya.

c) Adanya tenaga kerja yang bekerja di dalamnya, baik secara terus menerus maupun hanya sewaktu-waktu.

Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja dilakukan secara bersama-sama, baik oleh pimpinan perusahaan atau pengurus perusahaan beserta dengan seluruh buruh/pekerja yang bersangkutan. Pimpinan atau pengurus perusahaan dapt dibantu oleh petugas kesemalatan dan kesehatan kerja yaitu karyawan yang mempunyai pengetahuan atau

(20)

keahlian dibidang keselamatan dan kesehatan kerja, dan ditunjuk oleh pimpinan atau pengurus perusahaan.

Perusahaan bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan kerja buruh/pekerja di tempat kerja. Perusahaan mempunyai kewajiban dalam melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja. Kewajiban tersebut adalah sebagai berikut :

a) Terhadap pekerja yang baru bekerja, perusahaan berkewajiban : (1) Menunjukkan dan menjelaskan tentang :

(a) Kondisi dan bahaya yang dapat timbul di tempat kerja; (b) Semua alat pengaman dan pelindung yang diharuskan; (c) Cara dan sikap dalam melakukan pekerjaan.

(2) Memeriksa kesehatan baik fisik maupun mental tenaga kerja yang bersangkutan.

b) Terhadap pekerja yang telah atau sedang dipekerjakan, perusahaan berkewajiban :

(1) Melakukan pembinaan dalam hal pencegahan kecelakaan, penanggulangan kebakaran, pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan peningkatan usaha keselamatan dan kesehatan kerja pada umunya.

(2) Memeriksa kesehatan baik fisik maupun mental secara berkala. c) Menyediakan secara cuma-cuma semua alat pelindung diri yang

diwajibkan untuk tempat kerja yang bersangkutan bagi seluruh tenaga kerja.

d) Memasang gambar dan undang-undang keselamatan kerja serta bahan pembinaan lainnya di tempat kerja sesuai dengan petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja.

e) Melaporkan setiap peristiwa kecelakaan termasuk peledakan, kebakaran, penyakit akibat kerja yang terjadi di tempat kerja tersebut kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.

f) Membayar biaya pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja ke Kantor Perbendaharaan Negara setempat setelah mendapat penetapan

(21)

besarnya biaya oleh Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.

g) Mentaati semua persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja baik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun yang ditetapkan oleh pegawai pengawas.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja bukan saja tanggung jawab perusahaan saja, akan tetapi buruh/pekerja juga mempunyai kewajiban dalam rangka pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Kewajiban-kewajiban buruh/pekerja adalah sebagai berikut :

a) Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja.

b) Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan.

c) Memenuhi dan mentaati persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku di tempat kerja/perusahaan yang bersangkutan.

Selain kewajiban, buruh/pekerja mempunyai hak-hak dalam hal pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Hak-hak buruh/pekerja adalah sebagai berikut :

a) Meminta kepada pimpinan atau pengurus perusahaan tersebut agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan di tempat kerja/perusahaan yang bersangkutan.

b) Menyatakan keberatan melakukan pekerjaan bila syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat perlindungan diri yang diwajibkan tidak memenuhi persyaratan, kecuali dalam hal khusus ditetapkan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.

Keselamatan berasal dari bahasa Inggris yaitu kata ‘safety’ dan biasanya selalu dikaitkan dengan keadaan terbebasnya seseorang dari peristiwa celaka (accident) atau nyaris celaka (near-miss). Jadi pada hakekatnya keselamatan sebagai suatu pendekatan keilmuan maupun sebagai suatu pendekatan praktis mempelajari faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan dan berupaya mengembangkan

(22)

berbagai cara dan pendekatan untuk memperkecil resiko terjadinya kecelakaan (Syaaf, 2007:37).

Keselamatan kerja secara filosofi diartikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil budaya dan karyanya. Dari segi keilmuan diartikan sebagai suatu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Purnama, 2010:42).

Setiap perusahaan atau industri memiliki tingkat resiko kecelakaan yang berbeda-beda, namun setiap perusahaan selalu berusaha mencegah atau menghindari resiko tersebut. Anwar Prabu Mangkunegara (2009:161) mengemukakan bahwa: “Keselamatan kerja menunjukkan pada kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian ditempat kerja”. Pendapat lain dikemukakan oleh Daryanto (1993:146), yang mengemukakan bahwa: “Keselamatan kerja ialah selamatnya karyawan, alat-alat kerja dan perusahaan serta produksi dan daerah lingkungannya, sehingga perlu pada waktu karyawan bekerja, topi, helm pengaman, sarung tangan, kaca mata pengaman, masker pelindung muka”.

Sehingga dari pendapat yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan sehingga manusia dapat merasakan kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian terutama untuk para pekerja. Agar kondisi ini tercapai di tempat kerja maka diperlukan adanya keselamatan kerja.

Keselamatan kerja mempunyai unsur-unsur penunjang, agar dapat mewujudkan terciptanya keselamatan kerja di dalam perusahaan. Unsur-unsur penunjang tersebut adalah sebagai berikut :

a) Adanya unsur-unsur keamanan dan kesehatan kerja;

(23)

c) Teliti dalam bekerja;

d) Melaksanakan prosedur kerja dengan memperhatikan keamanan dan kesehatan kerja.

Keselamatan kerja sangat bertalian dengan kecelakaan kerja yaitu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja. Terjadinya kecelakaan kerja disebabkan karena dua golongan, yaitu faktor mekanis dan lingkungan (unsafe condition) serta faktor manusia (unsafe action) (Karina Z.S dan Erwin D.N, 2013:68). Kecelakaan kerja secara umum dapat diartikan sebagai suatu kejadian yang tak terduga sebelumnya dan tidak dikehendaki, yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas (Lalu Husni, 2005:136). Suatu kejadian atau peristiwa tertentu terjadi karena suatu sebab, demikian pula dengan kecelakaan kerja. Berikut terdapat 4 (empat) faktor yang menyebabkan kecelakaan kerja (Lalu Husni, 2005:136) :

a) Faktor manusianya

Faktor manusia ini dapat terjadi apabila buruh/pekerja tersebut tidak mempunyai cukup keterampilan dan mempunyai pengetahuan yang kurang. Misalnya buruh/pekerja tersebut lulusan Sekolah Tinggi Menengah (STM) tetapi ditempatkan di bagian tata usaha, maka dalam hal ini terdapat salah penempatan buruh/pekerja.

b) Faktor materialnya/bahannya/peralatannya

Misalnya bahan yang seharusnya terbuat dari besi, akan tetapi supaya lebih murah dibuat dari bahan lainnya sehingga dengan mudah dapat menimbulkan kecelakaan kerja.

c) Faktor bahaya/sumber bahaya

Faktor bahaya/sumber bahaya ini dibagi menjadi 2 (dua) penyebab, yaitu sebagai berikut :

(1) Perbuatan berbahaya; misalnya karena metode kerja yang salah, keletihan/kelesuan, sikap kerja yang tidak sempurna dan sebagainya.

(24)

(2) Kondisi/keadaan berbahaya; Dapat diartikan keadaan yang tidak aman dari mesin/peralatan-peralatan, lingkungan, proses, sifat pekerjaan.

d) Faktor yang dihadapi

Faktor yang dihadapi dapat berupa kurangnya pemeliharaan/perawatan mesin-mesin/peralatan-peralatan kerja sehingga tidak bisa bekerja dengan sempurna. Disamping ada sebabnya, maka suatu kejadian juga akan membawa akibat. Menurut Lalu Husni (2005:137), akibat dari kecelakaan industri ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

(1) Kerugian yang bersifat ekonomis, yaitu : (2) Kerugian yang bersifat non ekonomis

Selain faktor keselamatan, hal penting yang juga harus diperhatikan oleh manusia pada umumnya adalah faktor kesehatan. Kesehatan berasal dari bahasa Inggris ‘health’, yang dewasa ini tidak hanya berarti terbebasnya seseorang dari penyakit, tetapi pengertian sehat mempunyai makna sehat secara fisik, mental dan juga sehat secara sosial. Dengan demikian pengertian sehat secara utuh menunjukkan pengertian sejahtera (well-being). Kesehatan sebagai suatu pendekatan keilmuan maupun pendekatan praktis juga berupaya mempelajari faktor-faktor yang dapat menyebabkan manusia menderita sakit dan sekaligus berupaya untuk mengembangkan berbagai cara atau pendekatan untuk mencegah agar manusia tidak menderita sakit, bahkan menjadi lebih sehat (Mily, 2009:56).

Kesehatan kerja menurut Suma’mur (1989:1) adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan atau kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja atau masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik, mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit atau gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor–faktor pekerja dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum. Sedangkan

(25)

Moenir, A.S (1987:207) mengemukakan bahwa, “kesehatan kerja merupakan suatu usaha dan keadaan yang memungkinkan seseorang mempertahankan kondisi kesehatannya dalam pekerjaannya”. Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan pengertian kesehatan adalah suatu kondisi yang mengusahakan agar sejahtera baik secara fisik, mental, dan sosial dengan usaha-usaha tertentu untuk mewujudkannya. Dapat disimpulkan juga bahwa kesehatan kerja mengandung dua unsur yang penting yaitu mempertahankan derajat kesehatan dan tujuannya bekerja secara optimal serta kesehatan kerja adalah keadaan dimana tenaga kerja merasa aman dan nyaman, dengan kondisi dan kesehatan dan kepribadiannya, kebutuhan dan kesejahteraan hidupnya, keamanan karyawan saat bekerja (Indra Novri Setiawan, 2013:554).

Upaya kesehatan kerja bertujuan untuk melindungi pekerja atau buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya ditempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Dengan demikian tujuan kesehatan kerja adalah sebagai berikut (Lalu Husni, 2005:140) :

a) Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial.

b) Mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja.

c) Menyesuaikan tenaga kerja dengan pekerjaan atau pekerjaan dengan tenaga kerja.

d) Meningkatkan produktivitas kerja.

Kesehatan kerja berkaitan dengan sumber-sumber bahaya yang ada dalam perusahaan. Sumber-sumber bahaya ini dapat membahayakan buruh/ pekerja sehingga akan mengganggu kesehatan buruh/ pekerja itu sendiri. Sendjun H. Manulang (1995:89) membedakan sumber-sumber bahaya bagi kesehatan buruh/ pekerja menjadi 5 (lima) macam, yaitu :

(26)

a) Faktor fisik, yang dapat berupa : (1) Suara yang terlalu bising;

(2) Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah; (3) Penerangan yang kurang memadai;

(4) Ventilasi yang kurang memadai; (5) Radiasi;

(6) Getaran Mekanis;

(7) Tekanan udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah; (8) Bau-bauan di tempat kerja;

(9) Kelembaban udara; dan lain-lain b) Faktor kimia, yang dapat berupa :

(1) Gas/uap; (2) Cairan; (3) Debu;

(4) Butiran kristal dn bentuk-bentuk lain;

(5) Bahan-bahan kimia yang mempunyai sifat racun. c) Faktor biologis, yang dapat berupa :

(1) Bakteri virus;

(2) Jamur, cacing dan serangga;

(3) Tumbuh-tumbuhan dan lain-lain yang hidup/timbul dalam lingkungan tempat kerja.

d) Faktor faal, yang dapat berupa :

(1) Sikap badan yang tidak baik pada waktu bekerja;

(2) Peralatan yang tidak sesuai atau tidak cocok dengan tenaga kerja; (3) Gerak yang senantiasa berdiri atau duduk;

(4) Proses, sikap dan cara kerja yang monoton; (5) Beban kerja yang melampaui batas kemampuan. e) Faktor psikologis yang dapat berupa :

(1) Kerja yang terpaksa/dipaksakan yang tidak sesuai dengan kemampuan;

(27)

(3) Pikiran yang senantiasa tertekan terutama karena sikap atasan atau teman kerja yang tidak sesuai;

(4) Pekerjaan yang cenderung lebih mudah menimbulkan kecelakaan kerja.

6. Tinjauan Tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang kemudian disingkat menjadi SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Penerapan SMK3 ini secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, penerapan dari SMK3 ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

a) meningkatkan efek meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur dan terintegrasi;

b) mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh; serta

c) menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk mendorong produktivitas.

Penerapan SMK3 ini merupakan sesuatu hal yang wajib dilakukan oleh suatu perusahaan. Terdapat persyaratan dalam hal penerapan SMK3 ini, SMK3 wajib diterapkan bagi perusahaan yang mempekerjakan paling sedikit 100 (seratus) orang atau wajib diterapkan bagi perusahaan yang mempunyai tingkat potensi tinggi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Berdasarkan kewajiban tersebut, perusahaan diwajibkan melakukan penetapan

(28)

kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja, perencanaan keselamatan dan kesehatan kerja, pelaksanaan rencana keselamatan dan kesehatan kerja, pemantauan dan evaluasi kinerja keselamatan dan kesehatan kerja dan peninjauan dan peningkatan kinerja SMK3.

Dalam menerapkan SMK3, setiap perusahaan diwajibkan untuk membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). P2K3 adalah badan pembantu di tempat kerja yang merupakan wadah kerjasama antara pengusaha dan pekerja untuk mengembangkan kerjasama, saling pengertian dan partisipasi efektif dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja. P2K3 mempunyai tugas memberikan saran dan petimbangan baik diminta maupun tidak, kepada pengusaha atau pengurus mengenai masalah keselamatan dan kesehatan kerja. Selain itu perusahaan harus mempunyai Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang juga bertugas untuk melakukan pemeriksaan keselamatan dan kesehatan kerja serta memeriksa jalannya penerapan keselamatan dan kesehatan kerja berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sastrohadiwiryo (2005:75) menyatakan sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen yang mencakup struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, tata kelola/ prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan dalam hal pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, serta pemeliharaan kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja dengan tujuan mengendalikan risiko yang behubungan dengan kegiatan produksi/kerja untuk menciptakan tempat kerja yang aman, efisien dan produktif bagi pekerja maupun orang lain yang berada di dalam lingkungan tersebut.

7. Tinjauan Tentang Konsep Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Soedjadi (2000:14) memberikan pengertian konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau

(29)

penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (lambang bahasa). Sedangkan Singarimbun dan Effendi, menguraikan konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam merumuskan kita harus dapat menjelaskannya sesuai dengan maksud kita memakainya. Dari kedua definisi di atas, pengertian atau definisi konsep dapat disimpulkan bahwa konsep adalah sekumpulan gagasan atau ide yang sempurna dimana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap ekstensinya sehingga konsep membawa suatu arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama dan membentuk suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan.

Sama halnya dengan teori yang lain, keselamatan dan kesehatan kerja mempunyai konsep tersendiri. Seperti yang telah diketahui, keselamatan dan kesehatan kerja merupakan satu kesatuan yang memiliki definisi terpisah. Keduanya memiliki ruang lingkup yang mencakup proteksi terhadap buruh/pekerja sehingga dapat memberikan perlindungannya.

Menurut Suma’mur (1993:19) keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja memiliki sifat sebagai berikut :

a) Sasarannya adalah lingkungan kerja; b) Bersifat teknik.

Sedangkan kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja/ masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial dengan usaha preventif atau kuratif terhadap penyakit/ gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor

(30)

pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum. Konsep kesehatan kerja dewasa ini semakin banyak berubah, bukan sekedar “kesehatan pada sektor industri” saja melainkan juga mengarah kepada upaya kesehatan untuk semua orang dalam melakukan pekerjaannya (Suma’mur, 1976:27).

Menurut Abdul Rachmad (1990:48), ia menjelaskan ruang lingkup hyperkes yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Keselamatan dan kesehatan kerja diterapkan di semua tempat kerja yang di dalamnya melibatkan aspek manusia sebagai tenaga kerja, bahaya akibat kerja dan usaha yang dikerjakan;

b) Aspek perlindungan dalam hyperkes meliputi :

(1) Tenaga kerja dari semua jenis dan jenjang keahlian. (2) Peralatan dan bahan yang dipergunakan.

(3) Faktor-faktor Faktor-faktor lingkungan fisik, biologi, kimiawi, maupun sosial.

(4) Proses produksi.

(5) Karakteristik dan sifat pekerjaan. (6) Teknologi dan metodologi kerja

c) Penerapan Hyperkes dilaksanakan secara holistik sejak perencanaan hingga perolehan hasil dari kegiatan industri barang maupun jasa; d) Semua pihak yang terlibat dalam proses industri/perusahaan ikut

bertanggung jawab atas keberhasilan usaha hyperkes.

Kemudian menurut Iman Soepomo, ruang lingkup keselamatam dan kesehatan kerja dibagi menjadi dua bagian yaitu lingkup kesehatan kerja yang meliputi pekerja, waktu kerja, dan tempat kerja. Bagian yang kedua adalah lingkup keselamatan kerja (Melania Kiswandah, 2014:73). Konsep Iman Soepomo ini akan dipergunakan penulis untuk memudahkan dalam menganalisis penelitian yang dilakukan oleh penulis. Sehingga tidak menyebabkan penelitian dan analisis yang terlalu luas.

(31)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Premis Minor

1. Peraturan Perundang-undangan tentang K3 dalam rangka memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja

2. Kesesuaian Pelaksanaan kebijakan K3 di PT. DanLiris dengan

peraturan perundang-undangan yang ada

Premis Mayor (Peraturan Perundang-undangan): 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

5. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No: Per.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No: Per.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri

8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri

Penerapan Hukum

1. Perlindungan hukum bagi buruh/pekerja dalam peraturan perundang-undangan yang ada 2. Peraturan Keselamatan dan

Kesehatan kerja di PT. DanLiris

Konklusi

1. Peraturan K3 sudah atau belum memberikan perlindungan hukum terhadap buruh/pekerja

2. Pelaksanaan PKB dan kebijakan K3 di PT. DanLiris sudah sesuai atau belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada

(32)

Keterangan :

Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam menganalisis, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini, yakni mengenai penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka perlindungan terhadap buruh di PT. Dan Liris Kabupaten Sukoharjo. Peraturan perundang-undangan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu perwujudan dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang ditujukan untuk menjadi landasan dalam pelaksanaan bidang ketengakerjaan khususnya dalam hal Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur mengenai perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap buruh/pekerja, yang merupakan suatu kewajiban bagi perusahaan. Secara khusus, keselamatan dan kesehatan kerja di atur dalam Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-Undang tersebut mengatur mengenai perlindungan tenaga kerja dalam memperoleh jaminan perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Mengatur pula mengeanai hak dan kewajiban yang diperoleh baik pengusaha dan tenaga kerja. Proses produksi menggunakan mesin-mesin yang berteknologi tinggi dan potensi-potensi bahaya lain yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja PT. Dan Liris. Peraturan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang sudah ada seharusnya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap buruh/pekerja. Sehingga apabila peraturan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja diterapkan oleh perusahaan-perusahaan dalam bentuk Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Peraturan Perusahaan, perusahaan tersebut dapat memberikan perlindungan hukum bagi buruh/pekerja. Namun, dalam kenyataannya masih banyak perusahaan yang tidak memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap buruh/pekerja. terdapat juga perusahaan yang sudah membuat peraturan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap buruh/pekerja, akan tetapi dalam pelaksanaanya masih saja terdapat

(33)

hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan tersebut bisa berasal dari buruh/pekerja sendiri maupun berasal dari perusahaan yang kurang melaksanakan pengawasan.

Penulis dalam penelitian hukum ini memilih PT.Danliris sebagai lokasi penelitian dikarenakan PT.Danliris merupakan perusahaan besar yang bergerak di bidang tekstil dan garmen. Perusahaan yang bergerak dalam bidang garmen, mempunyai resiko yang tinggi dalam hal kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Oleh sebab itu, penulis ingin mengetahui penerapan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja di PT.Danliris sudah atau belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja. Serta untuk mengetahui apakah kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja telah mampu untuk memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja di Indonesia. Berdasarkan permasalahan tersebut kemudian penulis akan meninjau menggunakan peraturan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja.

Gambar

Gambar 1. Kerangka PemikiranPremis Minor

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian terhadap 37 responden, menunjukkan bahwa pengetahuan perawat tentang peran perawat UGD yang baik sejumlah 54%, sedangkan yang bersikap

Dari hasil pengujian terhadap 14 sampel minuman Ice Coffee Blended yang beredar di dua kelurahan yang ada di Kecamatan Samarinda Ulu yaitu Kelurahan Gunung

Observasi kelas juga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi siswa dan proses belajar mengajar di kelas, sehingga apabila pada saatnya

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir yang berjudul Broken Home

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pegawai PPPPTK Bisnis dan Pariwisata telah bekerja dengan baik namun masih dijumpai beberapa pegawai yang kinerjanya masih

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan kasih dan sayang-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa (1) karakteristik instrumen tes berkelanjutan pada pengukuran kemampuan koneksi matematis mencakup dua

1) Mengevaluasi daya tarik masing-masing segmen menggunakan variabel- variabel yang bisa mengkuantifikasi kemungkinan permintaan dari segmen (misalnya, tingkat pertumbuhan