• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN UMUM Perkembangan Larva Aktivitas Makan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBAHASAN UMUM Perkembangan Larva Aktivitas Makan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN UMUM

Perkembangan Larva

Larva bentuk-D pertama kali diamati umur 18–20 jam setelah menetas, kemudian pada umur 22 jam ditemukan larva yang bagian lambungnya sudah berwarna, sehingga diduga pada saat waktu itu sudah ada organ pencernaan dan larva pertama kali makan. Stadia ini merupakan masa kritis pertama dalam kehidupan larva, karena terjadi perubahan asupan pakan yaitu setelah cadangan makanan dari dalam habis (endogenous), maka dibutuhkan asupan pakan dari luar (eksogenous). Temuan yang hampir sama disampaikan Tanaka dan Kumeta (1981), larva P. maxima stadia bentuk-D terjadi pada umur 20 jam. Alagarswami et al. (1989) juga menemukan hal yang sama pada larva P. margaritifera yaitu setelah 20 jam larva mencapai stadia awal bentuk-D.

Perkembangan umbo terjadi melalui tiga tahap yaitu stadia umbo awal, umbo tengah (middle umbo) dan umbo akhir. Diantara stadia umbo tengah dan umbo akhir atau pada hari ke 16 ditemukan adanya bintik hitam (spot) pada bagian tengah larva dan biasa disebut “stadia eye-spot”. Pada larva P. fucata stadia eye-spot bekembang pada hari ke 15 dengan ukuran 190 x 180 µm (Alagarswami et al. 1987).

Stadia umbo akhir (pediveliger) dimulai dari hari ke 18–20, ditandai dengan mulai aktif mencari tempat untuk menempel. Pada stadia ini terjadi masa transisi dari kehidupan planktonis menjadi bentik (spat) dan merupakan masa kritis, karena jika tidak menemukan substrat untuk menempel, maka larva akan menunda masa planktonisnya, akhirnya akan turun ke dasar atau mati. Menurut CMFRI (1991), plantigrade merupakan stadia akhir kehidupan planktonis larva, dijumpai pada hari ke 20–22, ditandai dengan pertumbuhan awal cangkang disepanjang bagian tepi ventral, bentuknya tipis, transparan. Pada saat yang sama disekresikan benang-benang bisus untuk menempel.

Aktivitas Makan

Aktivitas makan larva P. maxima berlangsung sepanjang hari, dengan puncak konsumsi pada waktu pagi hari pukul 8.00 dan sore hari sekitar pukul 18.00 Kecenderungan larva untuk makan lebih banyak pada waktu pagi dan sore hari, diduga berkaitan dengan aktivitas metabolisme. Kisaran suhu pagi (pukul 8.00) dan

(2)

sore hari (pukul 18.00) diduga secara alami merupakan suhu optimum bagi kehidupan larva P. maxima sehingga laju metabolisme menjadi meningkat. Sebaliknya pada waktu malam hari (pukul 24.00–4.00) suhu air relatif rendah jika dikaitkan dengan aktivitas metabolisme, sehingga tingkat konsumsi pakan menurun dan persentasenya paling rendah jika dibandingkan dengan waktu makan yang lain. Ghiretti (1966) juga menyampaikan bahwa laju metabolisme moluska umumya berkaitan dengan suhu.

Spat menunjukkan pola aktivitas makan yang hampir sama dengan larva, yaitu mengkonsumsi pakan sepanjang hari, dengan puncak konsumsi pakan pada waktu pagi hari pukul 8.00 sampai 10.00 dan sore hari dari pukul 16.00 sampai 20.00. Walaupun secara kuantitatif puncak konsumsi pakan di sore hari (pukul 18.00) lebih rendah dibanding pagi hari (pukul 10.00), namun dilihat dari persentase jumlah pakan yang dikonsumsi masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan waktu makan sepanjang malam dan siang hari.

Menurut Brett (1997) dalam Keatomon and Baras (2001) konsumsi pakan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu, setelah mencapai puncak (optimum) kemudian mulai menurun, bahkan penurunan konsumsi pakan dapat terjadi secara dramatis utamanya pada suhu di atas optimal. Laju metabolisme terus menunjukkan peningkatan sampai pada batas suhu upper-thermal untuk pertumbuhan. Jelaslah bahwa suhu tinggi dapat menekan nafsu makan, sedangkan pada suhu optimum tingkat konsumsi dan efisiensi konversi pakan dapat maksimum.

Tingkat Konsumsi Pakan

Pengamatan terhadap tingkat konsumsi pakan harian larva P. maxima, menunjukkan, semakin besar ukuran larva maka konsumsi pakan makin meningkat. Peningkatan konsumsi pakan harian yang cukup tinggi terjadi dari stadia veliger bentuk-D (D1) sampai stadia umbo akhir (D14), namun sebaliknya pada stadia pediveliger (D20) konsumsi pakan mengalami penurunan sampai 6,81 %. Tingkat konsumsi pakan relatif tinggi pada awal stadia bentuk-D, diduga berkaitan dengan metamorfose dan masa transisi pakan larva. Metamorfose, utamanya dari stadia trokofore menjadi larva stadia bentuk-D (veliger) dan larva untuk pertama kali membutuhkan asupan pakan dari luar (eksogenous), karena cadangan makanan dari dalam (endogenous) sudah habis, sehingga membutuhkan energi yang sangat besar

(3)

dan ketersediaan energi hanya dapat diperoleh dari pakan. Alagarswami et al. (1989) meneliti P. margaritifera dan Gosling (2004) meneliti Crassostrea virginica, keduanya menemukan pencernaan larva sudah terbentuk pada awal stadia veliger larva bentuk-D saat berumur 24 jam. Untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan optimum, larva veliger planktotrofik sangat tergantung pada energi bersih yang berasal dari pakan fitoplankton (Bayne 1983).

Berdasarkan data aktivitas makan, tingkat konsumsi pakan, sintasan dan laju pertumbuhan, maka dibuatlah jadwal pemberian pakan untuk larva P. maxima sebagai berikut:

Pengamatan tingkat konsumsi pakan harian spat P. maxima menunjukkan bahwa semakin besar ukuran maka tingkat konsumsi pakannya makin menurun. Pendapat yang sama disampaikan Zeuthen (1947); Thorson (1936) dalam (Wilbur, 1964) bahwa laju metabolisme per unit berat badan ditemukan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya ukuran Mytilus sp dan hal ini juga ditemukan pada beberpa jenis bivalvia di perairan artik. Efisiensi makan bivalvia menurun manakala ukuran individu semakin bertambah besar (Wilbur, 1964).

Berdasarkan data aktivitas makan, tingkat konsumsi pakan harian, sintasan dan laju pertumbuhan, maka dibuatlah jadwal pemberian pakan spat P. maxima sebagai berikut:

(4)

Menurut Jeffrey et al. (1990) untuk memastikan kecukupan nutrisi dari pakan yang diberikan, maka dibiasakan memberikan pakan campuran (mixed diet) yang terdiri dari dua atau lebih spesies alga yang berbeda, misalnya pada stadia pasca larva (juvenil) diberikan tambahan pakan flagelata berukuran besar seperti Tetraselmis dan Chroomonas dan jenis diatom sentris lainnya. Dengan memberikan pakan campuran dapat dipastikan telah tersedia suatu komplemen yang lengkap dengan nutrisi.

Lebih lanjut diamati, spat yang diberi pakan dengan komposisi terdapat I. galbana menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan komposisi tambahan P. lutheri. Hal ini dipertegas lagi oleh pernyataan Helm and Laing (1987) walaupun I. galbana mengandung HUFA relative kecil tetapi tetap digunakan karena sebagai pemacu pertumbuhan. Menurut Napolitano et al. (1990) I. galbana mengandung 45 komponen lemak, dengan kandungan unsur utama termasuk saturated (14:0 dan 16:0), monounsaturated (16:1w7 dan 18:1w7), polyunsaturated (18:2w6, 18:4w3, 18:5w3, 22:5w6 dan 22:6w3) dan asam lemak (90 % dari total asam lemak). Penting untuk dicatat bahwa kandungan 22:6w3 (DHA) pada I. galbana sangat berlimpah, dengan nilai rata-rata mencapai 20 %, diikuti oleh 18:4w3 sebanyak 14 %. Salah satu ciri yang mencolok dari kandungan lemak I. galbana adalah adanya asam lemak yang tidak biasa ditemukan seperti 18:5w3 atau mengandung w3-PUFA (53,6 %).

Laju Metabolisme Larva

Sampai saat ini belum banyak publikasi yang berkaitan dengan metabolisme larva, khususnya pada larva tiram mutiara P. maxima. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui respon larva terhadap suhu dan salinitas yang berbeda, sehingga dapat diketahui jumlah energi yang dialokasikan serta tingkat konsumsi oksigen atau oksigen terlarut yang dibutuhkan, guna mengoptimalkan sintasan dan laju pertumbuhan.

Laju metabolisme rutin dapat ditentukan melalui pengukuran tingkat konsumsi oksigen. Pengukuran Metabolisme rutin ini dilakukan pada kondisi organisme tetap diberi pakan selama percobaan, atau masih diberi pakan sesuai jadwal sampai sebelum dilakukan pengukuran laju konsumsi oksigen (Affandi et al. 2008; Gosling 2004).

(5)

Alokasi energi terbesar yang digunakan untuk metabolisme rutin pada perlakuan suhu 28 oC dan salinitas 34 ‰ (BF) dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa sintasan dan pertumbuhan paling tinggi terjadi pada perlakuan tersebut dan terendah pada perlakuan suhu 26 oC dan salinitas 30 ‰ (AD). Pada perlakuan BF energi yang dibelanjakan mencapai 19,58–30,13 J/g/jam (4,67–7,20 C/g/jam), sedangkan pada perlakuan AD pembelanjaan energi lebih rendah yaitu 4,70–15,15 J/g/jam (1,12–3,62 C/g/jam).

Hasil pengamatan terhadap perkembangan stadia larva menunjukkan bahwa laju metabolisme menurun seiring dengan meningkatnya perkembangan stadia larva. Secara umum belanja energi terbesar terjadi pada stadia I dan terendah pada stadia III. Pernyataan yang mendukung disampaikan Vernberg (1972) dan Pechenik (1980), pada larva Nassarius obsoletus diamati mengalami penurunan konsumsi oksigen manakala berkembang atau mengalami metamorfose dari stadia berenang aktif berubah menjadi pediveliger yang mempunyai behavior berenang berputar-putar (crawling).

Menurut Gosling (2004) pada saat ini akan lebih bermanfaat melakukan pengkajian dengan melihat pengaruh kombinasi suhu dan salinitas terhadap pertumbuhan. Suhu dan salinitas berpengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan pertumbuhan awal larva P. imbricata (O’Connor and Lawler, 2004). Pada percobaan ini, sintasan dan pertumbuhan larva P. maxima nyata dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Suhu dan salinitas optimum untuk larva P. maxima adalah 28 oC dan 32–34 ‰ (P ≥ 0,05). Tingkat oksigen terlarut yang dibutuhkan selama masa stadia larva antara 4,8−5,5.

Laju Metabolisme Spat

Belanja energi tertinggi baik pada spat umur 25 hari (2,66–2,77 C/g/jam) maupun umur 35 hari (1,90–2,01 C/g/jam) terjadi pada perlakuan suhu 28 oC; salinitas 34 ‰; 32 ‰ ((P ≥ 0,05), sehingga sintasan dan pertumbuhan pada perlakuan tersebut paling tinggi. Tingkat oksigen terlarut yang dibutuhkan spat (D25−D35) antara 4,8−5,5. Menurut Goddard (1996), pada kondisi suhu dan salinitas optimum terjadi laju metabolisme maksimum, sehingga bisa dicapai sintasan dan laju pertumbuhan maksimum.

(6)

Dalam kajian ini belanja energi untuk metabolisme rutin spat P. maxima umur 35 hari lebih rendah jika dibandingkan umur 25 hari. Diduga, spat umur 25 hari lebih banyak membutuhkan energi karena masih berada pada masa transisi hidup sebagai bentik, sehingga harus memproduksi banyak bisus untuk menempelkan diri pada substrat. Sebaliknya pada umur 35 hari kondisinya relatif sudah lebih stabil, spat sudah menetap, jika ada produksi bisus hanya untuk mengimbangi pertambahan berat, sehingga membutuhkan energi lebih kecil.

Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya berpengaruh terhadap fungsi dan struktur invertebrata dalam air. Intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi dapat melindungi tubuh larva stadia veliger dari radiasi sinar ultra violet. Larva tiram mutiara bersifat fototaksis positif dan umumnya selama proses metamorfose menghendaki intensitas cahaya yang sesuai (CMFRI, 1991).

Pengamatan terhadap distribusi larva hari ke 2 menunjukkan, pada intensitas cahaya rendah (0, 200 lux) terlihat bergerombol di permukaan, membentuk lebih dari satu kelompok. Hari ke 5–7, massa larva mulai bergerak berputar-putar menyerupai angin puting beliung, kebiasaan tersebut berlangsung hingga hari ke 14−16. Pada intensitas cahaya 800 lux, larva menyebar dan menjauhi permukaan air. Pada intensitas cahaya 500 lux masih terdapat sekelompok masa larva kecil-kecil di bagian permukaan air. Menurut Gosling (2004), selama stadia larva-bivalvia bersifat planktonis dan benar-benar bersifat fototrofik dan sensitif terhadap cahaya. Namun cenderung bersifat shading-behavior atau menghindar dari cahaya langsung (Brusca, 1990).

Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa larva P. maxima menghendaki kondisi lingkungan pemeliharaan dengan intensitas cahaya rendah atau kurang dari 200 lux. Temuan ini dapat juga menjadi jawaban, mengapa sebagian besar hatchery tiram mutiara yang ada di Indonesia menggunakan disain bangunan tertutup atau ruangan gelap untuk pemeliharaan larva khususnya. Dipertegas lagi oleh pernyataan Alagarswami et al. (1987) dan CMFRI (1991) larva tiram mutiara P. fucata mempunyai preferensi konsisi lingkungan dengan pencahayaan rendah dan untuk memanipulasi lingkungan digunakan wadah pemeliharaan yang berwarna gelap dan

(7)

hasilnya larva menunjukkan perkembangan yang baik serta waktu penempelan lebih cepat.

Pada intensitas cahaya 0, 500 lux spat lebih banyak menempel pada kolektor bagian atas dan ada sebagian yang bergerombol di bagian kerangka kolektor sebelah atas. Pada intensitas cahaya 1.000 lux, spat banyak berada di bagian tengah kolektor, sedangkan pada intensitas cahaya 1.500 dan 2.000 lux hanya ditemukan sedikit spat yang menempel pada kolektor, sebagian besar spat menempel di bagian bawah kolektor dan dasar wadah.

Dalam percobaan ini intensitas cahaya optimum dicapai pada kisaran 500 lux, setelah melewati 1000–2000 lux jumlah penempelan spat semakin menurun. Disampaikan Bayne (1983); Gosling (2004) juvenil atau spat bivalvia umumnya besifat foto-negative. Winanto et al. (1987) menjumpai spat P. maxima menempel pada bagian bawah pelampung rakit budidaya tiram mutiara dan keramba ikan di perairan teluk Hurun Lampung. Spat P. maxima hidup menempel pada substrat yang keras di dasar perairan sampai kedalaman sekitar 10–75 m.

Berkaitan dengan pengaruh intensitas cahaya terhadap pigmentasi khususnya warna cangkang spat, sampai saat ini belum banyak dilakukan kajian terhadap fisiologi dan regulasi organ-organ pembawa pigmen atau organ pencahayaan pada moluska. Observasi pada warna dan karakteristik spektrum cahaya yang berpengaruh pada warna moluska juga masih terbatas (Nicol 1964). Cangkang spat P. maxima berwarna kuning pucat atau kuning kecoklatan, dan warna pada garis-garis radiernya bervariasi mulai dari coklat kemerahan, merah anggur atau hijau. Setelah dewasa warna-warna pada garis radier tersebut biasanya memudar (BBL 2001; Winanto 2004).

Pada beberapa sampel bivalvia juga ditemukan adanya karotinoid, hasil observasi menunjukkan bahwa kandungan karotin pada moluska berubah-ubah sesuai dengan musim (Fox 1966). Warna orange cerah pada kerang Mytilus californianus ditemukan oleh Scheer (1940), namun tidak ditemukan karotin tetapi berupa Xantophil yang jarang ditemukan. Diduga, pigmen warna gelap pada cangkang spat disebabkan oleh melanin, tetapi harus diingat tidak semua pigmen warna gelap dari invertebrata disebabkan melanine (Fox 1966; Wilbur and Saleuddin 1983).

(8)

Mengukur intensitas cahaya diduga lebih efektif pengaruhnya dibanding mengukur lama waktu panjang siang hari (ada cahaya), karena intensitas cahaya sepanjang pagi sampai sore berfluktuasi dipengaruhi kondisi lingkungan atau cuaca (Zhuang 2006). Melalui pengungukuran intensitas cahaya, maka dapat diketahui kebutuhan pencahayaan spat P. maxima, sehingga dapat dilakukan pemeliharaan di lab dengan manipulasi pencahayaan. Menurut Yang et al. (2000); Wu et al. (2002) ritme biologis makan bivalvia M. meritrix erat kaitannyanya dengan cahaya, suhu, ketersediaan pakan dan gerakan pasang surut air. Aktifitas makan M. meritrix dipengaruhi oleh panjang siang atau adanya cahaya. Zhuang (2006) menyampaikan, laju mencerna makanan berkaitan dengan metabolisme dan efektifitas metabolisme berkaitan erat dengan energi yang dihasilkan untuk pertumbuhan dan aktivitas biologis lainnya seperti mencari tempat untuk menempel atau tempat tinggal-menetap yang nyaman. Sejalan dengan pemikiran para ahli tersebut, hasil kajian ini juga menunjukkan adanya pengaruh nyata (P < 0,05) intensitas cahaya terhadap sintasan, pertumbuhan, dan jumlah penempelan spat. Dukungan juga disampaikan Gosling (2004) bahwa cahaya merupakan modulator pertumbuhan kerang. Jika menempatkan kerang (mussel) secara terus-menerus di tempat gelap, serta mengurangi pencahayaan atau pada fotopiriod ± 7 jam, maka perlakuan yang diberikan dapat berpengaruh siknifikan terhadap pertumbuhan dan biasanya dapat dilihat melalui peningkatan aktivitas makan.

Pemeliharaan Larva dan Spat pada Lingkungan Optimal

Menurut Gricourth et al. (2006) untuk memproduksi larva dan spat baik secara kualitas maupun kuantitas diperlukan kondisi lingkungan pemeliharaan yang optimal, seperti untuk pertumbuhan dan proses fisiologis yang mengatur organisme tetap dalam kondisi terkontrol. Setiap spesies hewan air mempunyai kisaran lingkungan optimum yang berbeda (Summerfelt 2007). Makna khusus bagi akuakultur, setiap spesies yang dibudidayakan mempunyai kisaran suhu optimum. Kisaran suhu optimum didefinisikan sebagai cakupan/rangkuman yang meliputi pemberian pakan dan tidak terdapat tanda-tanda behavior abnormal berkaitan dengan stres akibat suhu atau termal stress (Elliot 1981). Kisaran optimum dapat juga didefinisikan sebagai pertumbuhan optimum yang sempit (Goddard 1996).

(9)

Hasil dalam kajian ini juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Southgate dan Ito (1998) dengan menggunakan sistem partial-flow untuk mendapatkan kualitas air yang prima, sintasan larva P. margaritifera pada hari ke 7 sekitar 61 % dan sintasan larva stadia pediveliger 5 %. Studi yang sama dilakukan Alagarswami et al (1989) dilaporkan sintasan larva P. fucata stadia pediveliger 6,3 %. Informasi dari teknisi pembenihan tiram mutiara P. maxima pada P. T. Kyoko Shinju di Lampung, sintasan spat sampai umur 30–40 hari kira-kira 10–20 % (Komunikasi Pribadi, 2007). Menurut Taufiq (2009) sintasan spat P. maxima umur 30 hari di P.T. Autore Culture, Dompu Sumbawa antara 6–7 %.

Umur Pemindahan Spat

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa spat paling baik dipindahkan ke laut pada umur 40–50 hari pemeliharaan di lab, karena secara alami spat akan cepat beraklimatisasi dengan kondisi alam dan cangkangnya sudah relatif tebal untuk melindungi tubuh dari kondisi lingkungan. Sebaliknya pada umur 30 hari, canngkangnya masih tipis sehingga tidak tahan terhadap kondisi lingkungan di alam yang berfluktuasi. Alagarswami et al. (1987) melakukan pemeliharaan spat P. fucata di lokasi budidaya mulai ukuran 10–20 mm dan pernah juga melakukan pemindahan spat ukuran > 3 mm dengan menggunakan transportasi darat ke lokasi budidaya, dicatat mortalitas tinggi banyak terjadi pada spat yang dipindahkan ukuran < 3 mm (umur 35–40 hari). Sementara Rose and Baker (1994); Taylor et al. (1997) memindahkan spat P. maxima dari hatchery pada umur 45 hari dengan ukuran sekitar 3 mm (DV), spat dimasukkan ke dalam kantong dengan lebar mata jaring # 1 mm dan digantungkan pada long-line di kedalaman 2,5 m. Perusahaan budidaya mutiara P.T. Autore Culture, di Dompu Sumbawa memindahkan spat umur 30 hari ke laut, tetapi mortalitasnya cukup tinggi yaitu sekitar 92 % (Taufik, 2009).

Tingkat Kepadatan Spat

Tingkat kepadatan merupakan modulator pertumbuhan (Gosling 2004). Pada tingkat kepadatan yang tinggi akan terjadi kompetisi pakan dan ruang. Hasil percobaan menunjukkan bahwa sintasan dan pertumbuhan spat terbaik terjadi pada

(10)

kepadatan optimum 500 ekor/kolektor (20,83 spat per 100 cm2). Diduga pada kepadatan optimum kompetisi ruang dan pakan relatif kecil, sehingga spat dapat tumbuh dan berkembang lebih baik. Sebaliknya pada kepadatan tinggi seperti perlakuan 2.000 spat/kolektor, terjadi kompetisi pakan dan tempat yang lebih tinggi, sehingga hanya spat posisinya di atas dan aktif memfilter pakan dapat hidup dan tumbuh pesat, tetapi yang terhimpit atau di bagian bawah akan lambat tumbuh atau bahkan mati. Dalam penelitian Taylor et al. (1997) juga menemukan hal yang sama, yaitu pada kepadatan yang tinggi (≥ 25 individu per 100 cm2) individu saling melekat bersama membentuk kelompok atau bergerombol. Gerombolan yang saling melekat antara satu dengan lainnya semakin nyata pada tingkat kepadatan tinggi.

Jika ukuran kepadatan yang digunakan dalam kajian ini dikonversi sesuai dengan penelitian Taylor et al. (1997) yaitu kepadatan individu per 100 cm2, maka hasil kajian yang dilakukan hampir sama dengan penelitian Rose and Baker (1994) pada spat P. margaritifera dimana sintasan terbaik terdapat pada kepadatan 4 individu per 100 cm2 dan 25 individu per 100 cm2, namun kedua kepadatan tersebut tidak berbeda nyata.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai tingkat kepadatan pada setiap stadia dalam siklus hidup bivalvia, namun demikian hasil laju pertumbuhan yang diamati dapat berbeda tergantung pada spesies dan lingkungan pemeliharaan (Gosling, 2004).

Menurut Cote et al. (1993) hanya ada satu penjelasan bahwa tingkat kepadatan yang tinggi dapat mengurangi ketersediaan makanan per individu. Sebagai hipotesis alternatif adalah laju pertumbuhan menurun pada tingkat kepadatan tinggi, karena berkurangnya ruang (space); hal ini memicu meningkatnya kontak fisik antar individu, dengan lebih sering terjadi iritasi dan retraksi mantel atau penutupan cangkang, akibatnya nafsu makan jadi menurun.

Akhirnya, menyitir satu pernyataan menarik dari Abo dan Toda (2001), “The Ultimate Goal” dari budidaya tiram mutiara adalah apabila secara ekonomi dapat berjalan dan menghasilkan mutiara-mutiara dalam kuantitas besar dan kualitas tinggi. Jadi laju pertumbuhan dan sintasan bukanlah akhir dari segalanya, ini hanya salah satu faktor dan faktor yang paling penting adalah kontribusinya kepada ultimate goal dari budidaya mutiara itu sendiri.

(11)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDURE (SOP)

PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT TIRAM MUTIARA P. maxima

TAHAP I Pemeliharaan Larva HATCHERY Stadia 1 Stadia 2 SR = 70 %

• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, intensitas cahaya ≤ 200 lux, DO 5-6. • Pakan : Isochrysis galbana dan atau

Pavlova lutheri.

• Pemberian : 2 x 1 hari.

• Jumlah : 3700–7800 sel/ml. • Densitas larva: 3 ekor/ml

• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, Intensitas cahaya ≤ 200 lux, DO 5,5-6,5. • Pakan : I. galbana (50 %) + P. lutheri

(50 %).

• Pemberian : 2 x 1 hari.

• Jumlah : 7500–10000 sel/ml. • Densitas larva: 1–2 ekor/ml.

• Pemasangan kolektor : hari ke 16–17.

Stadia III SR = 57−70 % TAHAP II Pemeliharaan Spat Spat (D25) SR = 32 % Spat (D35) SR = 80−90 %

• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, intensitas cahaya 500 lux, DO 6-7, running water.

• Pakan : I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + Tetraselmis tetrathele (50 %). • Pemberian : 2 x 1 hari.

• Jumlah : 8900–19000 sel/ml. • Densitas spat : 1–2 ekor/cm2.

Spat (D90) TAHAP III

Pendederan dan Pembesaran

• Waktu pemindahan : hari ke 40–50.

• Densitas : 500 ekor/kolektor (20,83/100 cm2). • Kedalaman pemeliharaan : 3 m.

• Frekwensi perawatan : setiap 1–2 minggu. • Media : salinitas ≥ 32 ‰, suhu 28−29 oC, arus

25−30 cm/detik.

• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, intensitas cahaya ≤ 200 lux, DO 4,8-5,5. • Pakan : Isochrysis galbana.

• Pemberian : 2 x 1 hari.

• Jumlah : 2600–4200 sel/ml. • Densitas larva: 5 ekor/ml

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penyusunan skenario pem-belajaran khususnya pada aspek 1, 2 dan 4 guru melakukan revisi, dipandu oleh guru yang sudah mampu, dengan bimbingan pengawas

penelitian dengan metode diatas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

Ingatlah bahwa tag akan dicopy dari objek yang terpilih sebelumnya, jika Anda mengklik pada objek yang belum diberi tag dan kemudian objek yang belum diberi

Prn bekerja menjadi tukang corek (pekerja gambar) di UD Dedy Jaya sejak usaha dagang itu dirintis dan pernah bekerja di pertambangan, namun karena anak tunggal

Hal ini membuktikan bahwa pengguna sistem pakar lebih utama melihat pada kesederhanaan, kemudahan, penggunaan serta pemahaman terhadap aplikasi Expert System Builder (ESB) dan

Metode full costing merupakan metode penentuan kos produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja

Hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat pemahaman keluarga terhadap perencanaan pemulangan klien gangguan jiwa di ruang VIP dan kelas I Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau

bangunan bukan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (d) wajib disesuaikan dengan arahan pemanfaatan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang