• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ejuarini, Sumanto, B.Wibowo dan R.Matondang Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ejuarini, Sumanto, B.Wibowo dan R.Matondang Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKONOMI PEMBESARAN ITIK

DI DIY, JATIM DAN JABAR

(ECONOMIC ANALYSISOFDUCK REARING IN DIY, WEST JAVA AND EAST JAVA)

Ejuarini, Sumanto, B. Wibowo dan R. Matondang

Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

A study on the feasibility of duck (MA/AM and local duck) rearing in West Java, Yogyakarta (DIY) and East Java Provincies was conducted in 2000. A case study was done using survey method. Some farmers raising local ducks and cooperators raising commercial (MA/AM) ducks were interviewed. Both technical and economical data on the raising system were collected. The DOD ofcommercial duck in Cirebon (West Java), Blitar and Pasuruan (East Java) was distributed from Balitnak in the previous year, whereas the DOD of the local duck was owned by the farmers (DIY). Result showed that both intensive and semi intensive system of those duck rearing gave benefits to the farmers in various values depend up on the type and system of the duck rearing. There were three types of duck rearing: hatchery (DOD production), egg production and pullet production (raising growing duck). A hatchery of 100 eggs gave benefit of Rp.535,5W /10 periods /year; a hundred laying duck will give a benefit of Rp. 674,765/year in the semi intensive and Rp.365,975/year in the intensive system. Rearing 100 growing ducks from DOD to 35 days old gave a benefit of Rp.2,030,000/year, 35 days up to pullet gave Rp.1,018,023/2 periods/year (semi intensive) and Rp.629,230/2 periods/year (intensif). The capital needs for hatchery was Rp.373,000 for egg production was Rp.2,617,000 (semi intensive) and Rp.2,626,920 (intensive); growing ducks from DOD to 35 days old was Rp.718,750 from 35 days up to pullet was Rp.1,924,318 (semi intensive) and Rp.2,703,670 (intensive); from DOD up to pullet was Rp.1,568,068 (semi intensive) and Rp.2,382,385 (intensive). It was concluded thatraisingduck from DOD to 35 days oldgave better benefit than other duckrearing system.

Key words: economic, rearing, ducks

ABSTAAK

Studi mengenai analisis ekonomi pembesaran itik (MAJAM dan lokal) di Jawa Barat, DIY dan Jawa Timur telah dilakukan tahun 2000. Studi kasus dilakukan melalui survai terhadap beberapa responden pemelihara itik lokal dan kooperator itik niaga. Parameter yang diamati adalah faktor teknis dan ekonomi pada beberapa sistem usaha itik yang sedang berlangsung. Itik MA berasal dari distribusi DOD dari Balitnak tahun sebelumnya di beberapa petemak kooperator di Cirebon (Jabar), Blitar dan Pasuruan (Jatim) . Penelitian untuk itik lokal dilakukan di DIY. Ada 3 macam tipe usaha ternak itik yaitu pembesaran, penghasil telur dan penghasil bibit DOD. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa usaha temak itik rakyat baik yang dilakukan dengan sistem semi intensif maupun intensif telah memberikan keuntungan yang cukup menarik dengan nilai yang berbeda yaitu untuk jenis usaha penetasan telur dengan kapasitas 100 butir memberikan keuntungan Rp.535.500;/tahun /10 periode penetasan, untuk jenis usaha produksi telur dengan skala usaha 100 ekor induk memberi keuntungan Rp.674.765,/tahun untuk semi intensif dan Rp.365.975,/tahun untuk sistem intensif. Untuk usaha pembesaran itik dari DOD sampai umur 35 hari dengan sistem intensif memperoleh keuntungan Rp.2.030.000,/tahurV10 periode/100 ekor; untuk pembesaran itik dari 35 hari sampai siap telur memperoleh keuntungan bersih Rp.1.018.023,/tahurV2 periode (semi intensif)

(2)

dan Rp.407.547,/tahun/2 periode (intensif). Sementara untuk pembesaran dari DOD sampai siap telur diperoleh keuntungan Rp.1.699.864,- (semi intensif) dan Rp.629.230, (intensif). Modal awal untuk penetasan Rp.373.000,, untuk produksi telur Rp.2.617.000, (semi intensif) dan Rp.2.626.000, (intensif), untuk pembesaran dari DOD sampai 35 hari Rp.718.750, pembesaran dari 35 hari sampai siap telur Rp.1.924.318, (semi intensif) dan Rp.2.703.670, (intensif), sedangkan pembesaran dari DOD sampai siap telur Rp.1.568.068, (semi intensif) dan Rp.2.328.385; (intensif). Disimpulkan bahwa ternyata pola pembesaran itik dari DOD sampai umur 35 hari yang paling menguntungkan.

Kata kunci:ekonomi, usaha pembesaran, itik

PENDAHULUAN

Ternak itik di Indonesia merupakan salah satu ternak lokal penghasil telur dan daging (!enjan potensi yang cukup memadai dan juga merupakan komoditas penting bagi sumber pendapatan bagi petani kecil di pedesaan. Namun pemeliharaannya sebagian besar masih dilakukan secara tradisional yaitu dengan sistem gembala di sawah-sawah, dengan tingkat produktivitas yang rendah. Di lain pihak kebutuhan telur itik di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu sesuai dengan kemajuan ekonomi masyarakat dan pertambahan penduduk. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah banyak dilakukan, potensi itik lokal terutama itik Tegal, Mojosari dan Alabio cukup tinggi dengan populasi yang cukup besar. Usaha peternakan itik juga sudah berkembang di pedesaan di Indonesia, terutama untuk produksi telur konsumsi yang memberi kontribusi sekitar 22% dari total produksi nasional. Hasil pendamatan Diwyanto dkk (1996) menunjukkan bahwajumlah peternak itik sebagai usaha pokok telah meningkat dari 11,62% pada tahun 1979 menjadi 43% pada tahun 1995 di KabupatenIndramayu. Namunadanya krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997, harga sapronak meningkat secara tajam (terutama bahan untuk pakan konsentrat), menyebabkan produksi perunggasan mengalami kemerosotan secara drastis, terutama ayam ras.

Usaha perunggasan yang masih bertahan hidup pada masa krisis pada umumnya adalah yang masih menggunakan pakan yang tidak tergantung pada hasil pabrikan, di antaranya adalah ternak ayam buras dan itik. Di wilayah Yogyakarta ternak itik tampaknya juga dapat bertahan dan merupa-kan salah satu bentuk usaha ternak yang dapat menunjang pendapatan peternak. Informasi pada pelaku usaha ternak itik perlu diketahui untuk melihat potensi dan permasalahan. Sejak tahun 80an berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempelajari kinerja itik-itik lokal di Indonesia dan upaya peningkatannya baik dari aspek produksi maupun reproduksinya. Namun sampai saat ini belum ada spesifikasi yang jelas yang membedakan produksi bangsa-bangsa itik lokal di Jawa terutama di Daerah Yogyakarta karena selama ini pemasaran itik di daerah DIY dengan daerah lain di Jawa merupakan mata rantai yang tidak terpisah. Selama tiga tahun terakhir telah dilakukan penelitian tentang pembesaran itik secara terkurung untuk mendapatkan kinerja itik yang lebih baik dibanding sistem yang sudah ada.

(3)

Tulisan ini dimaksudkan untuk menginformasikan hasil dari beberapa penelitian tentang pembesaran itik dari berbagai jenis itik pada beberapa lokasi.

METODA PENELITIAN

Penelitian` untuk itik Mojosari dilakukan di desa Mojosari, untuk itik Persilangan Mojosari X Alabio di Kecamatan Ponggok, Blitar, Grati dan di Cirebon, sedang pengamatan untuk itik Turi dilakukan di daerah Bantul, DIY pada tahun 2000. Penelitian studi kasus ini dilakukan dengan metoda survai melalui wawancara dengan peternak itik terpilih, dilanjutkan dengan pengumpulan data teknis 'dan ekonomis melalui pengamatan langsung dan rekording di tingkat peternak, khususnya untuk itik niaga. Berdasarkan data teknis dan ekonomis, dilakukan analisis kelayakan usaha dari pemeliharaan masing-masing bangsa itik di setiap lokasi pengamatan.

Penentuan lokasi penelitian itik persilangan telah dikonsultasikan dengan IP2TP Yogyakarta untuk penelitian di DIY, dengan IP2TP Grati untuk penelitian di Jawa Timur, dan BPTP Lembang untuk penelitian di Jawa Barat. Waktu pelaksananan dimulai pada bulan Desember 1999. Hasil diskusi memberi-kan arahan lokasi untuk studi kasus adalah di wilayah Kabupaten Bantul dan Kulonprogo di DIY, Blitar dan Pasuruhan di Jatim dan Cirebon di Jawa Barat . Pelaku-pelaku usaha itik (pedagang, peternak, pembibitan/petelur, penetas dan kelompok peternak) di wilayah-wilayah tersebut (khususnya di DIY) diwawancarai dengan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan. Khusus untuk peternak calon kooperator ditekankan- pada skala ilmha pemilikan ternak itik yang besar (> 300ekor). Tujuan pengamatan--pada lokasi terpilih adalah untuk mengetahui potensi - permasalahan dan: prospek ternak itik setempat yang dianalisis dari segi teknis.. produksi` dal tatalaksana, keuntungan secara ekonomis (input dan-outpuf = aialisis) dan kelembagaan yang menunjang usaha ternak itik. Keterkattan. antara pelaku-pelaku agar bisnis itik dalam kondisi yang berkesinambungan secara baik juga akan dibahas.

Profil Usaha Itik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada umumnya usaha itik yang berkelanjutan bukanlah bentuk yang berdiri sendiri, melainkan terdapat saling ketergantungan antar pelaku bisnis usaha itik (Diagram -1). Ketergantungan antar pelakunya merupakan suatu subsistim usaha yang dapat diterjemahkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan, yaitu:

(4)

Hasil wawancara dengan peternak memberikan gambaran tentang usaha penetasan telur yaitu bahwa dengan modal Rp 373.000; untuk mesin tetas dengan kapasitas 100 butir diperoleh keuntungan sekitar Rp.535.500,/tahun dengan 10 kali penetasan.

Pola budidaya pembesaran itik

Untuk pembesaran itik dibagi dalam 2 kelompok, kelompok pertama pembesaran dari DOD sampai 35 hari yang dilakukan secara intesif memerlukan modal Rp.718.750,- dengan keuntungan Rp.2.030.000,- per tahun dengan 10 kali periode pembesaran untuk 100 ekor, sedangkan kelompok pembesaran kedua dari umur 35 hari sampai siap telur diperlukan modal Rp.1.924.318, yang dilakukan dua kali dalam setahun secara semi intensif memberikan pendapatan bersih sebesar Rp.1.018.023, sementara dengan cara intensif diperlukan modal sebesar Rp.2.703.670, dan memberikan keuntungan sekitar Rp.407.547,

Pola budidaya produksi telur

Pola ini dilakukan dengan cars semi intensif, untuk 100 ekor induk diperlukan biaya Rp.2.016.000,- dan memberikan keuntungan sebesar Rp. 674.765; per tahun, sementara dengan cara intensif diperlukan biaya Rp.2.626.920, dan memberikan keuntungan sebesar Rp.365.975,- dalam setahun.

Pola Pemasaran

(5)

Jenis Itik dan Lokasi Peternak

Jenis itik lokal yang banyak dipehhara oleh peternak di DIY pada umumnya adalah jenis itik Turi. Studi tentang usaha pemurniannya sedang dilaksanakan oleh IP2TP Yogyakarta bekerja sama dengan Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta (Yuwanto Tri, dkk., 1999) . Sedangkan pelaku-pelaku usaha itik tersebut banyak terdapat di Kabupaten Bantul, namun secara statistik populasi itik terbanyak di Kabupaten Sleman. Sedangkan di Blitar dan Pasuruan peternak tidak terlalu mengunggulkan salah satu jenis itik, yang penting bagi mereka adalah produksinya. Namun di wilayah tersebut jenis itik Mojosari merupakan jenis yang paling banyak ditemui. Hal ini mungkin karena kedekatan lokasi asal ternak tersebut. Sementara di Cirebon banyak didominasi oleh jenis itik Tegal dengan alasan yang sama. Tetapi pada umumnya mereka menganggap jenis itik daerah mereka lebih

unggul dari itik yang berasal dari daerah lainnya. Perkandangan

DOD pada umur antara 0 - 5 hari masih ditempatkan dalam kandang bambu beratap, berjarak dengan lantai tanah sekitar 50 cm dan dengan penerangan lampu listrik sekitar 20 Watt. Pada umur 16 hari hingga 25 hari ternak itik sudah diturunkan ke lantai tanah dalam kandang beratap. Itik umur > 25 hari hingga 35 hari mulai dilatih untuk diangon. Ini bertujuan agar kondisi itik nantinya sudah siap diangon apabila akan dijual pada umur 35 hari ke atas. Pengalaman peternak menyatakan bahwa apabila itik seumur ini tidak dilatih dahulu, maka apabila nanti langsung diangon dapat mengakibatkan lemah kakinya (lumpuh).

Sedangkan pada umur itik dara hingga siap telur ditempatkan di kandang yang umumnya terpisah dari bangunan rumah tinggal, bahkan ada yang berjarak cukup jauh sekitar 7 meter. Kandang itik dirancang sedemikian rupa sehmgga dalam lokasi kandang terdapat bagian yang terbuka dan beratap atau disebut atap tipe shade (Mutidjo 1995). Bagian yang terbuka dimaksudkan sebagai halaman sehingga mendapat sinar matahari langsung, dan bagian yang beratap berfungsi sebagai tempat berteduh pada siang maupun malam hari, kandang dibangun dalam satu deretan membujur yang terdiri dari beberapa petak yang antara petak terdapat yang jelas (berupa dinding) . Setiap petak mempunyai luas 24M2, yang diisi sebanyak 30 ekor, dengan ukuran panjang 6 meter dan lebar 4m, pada sisi panjang ini (6 m) yang 2,5 meter merupakan bagian yang beratap. Di dalam kandang dibuatkan 2 selokan searah lebar kandang sebagai tempat penampungan air untuk minum maupun mandi bagi itik yang ada didalamnya, adapun ukurannya adalah lebar ± 30 cm dengan kedalaman 25 cm. Air minum tersedia sepanjang hari yang berasal dari air sumur yang diangkut dengan bantuan tenaga mesin disel. Pengisian air dilakukan setiap hari (pagi ± jam 7) sehingga air bersih sebagai air minum dan mandi tersedia dengan sehat.

(6)

Sistem Pemeliharaan

Pola pemeliharaan itik di DIY clan Cirebon pada umumnya merupakan kombinasi cara diangon clan dikandangkan. Sangat jarang pemeliharaan itik yang di kandang terus menerus sejak DOD sampai bertelur, karena biasanya peternak hanya memelihara DOD secara intensif sampai umur 35 hari, clan kemudian dijual kepada pemelihara pembesaran itik yang biasanya melakukan pembesaran dengan cara diangon. Cara ini cenderung dilakukan karena adanya keterbatasan modal yang dimiliki.

Dibandingkan dengan sistem pemeliharaan tradisional, sistem pemeliharaan itik Mojosari secara intensif di Mojokerto memberikan beberapa kelebihan, di antaranya penghematan tenaga kerja yaitu hanya 9,2% dari biaya total. Sedangkan pada semi intensif mencapati 16,18% (Setioko, dkk. 1995). Pada sistem intensif ternak tetap berada di kandang, sehingga tenaga kerja hanya diperlukan pada waktu pemberian pakan clan minum. Keuntungan lain dari kedua cara tersebut adalah mortalitas rendah yaitu 12,91% pada sistem intensif clan 15,45% pada sistem semi intensif. Demikian juga dengan itik Mojosari X Alabio (MA) yang dipelihara secara intensif, tingkat mortalitas antara 2% - 8,5% . Pada umumnya kematian banyak terjadi pada umur kurang dari 1 bulan clan tingkat kematian terus menurun seiring dengan bertambahnya umur itik. Di Blitar, Grati clan Cirebon, pada awalnya, persentase kematian itik MA sebesar 3-7% clan menurun menjadi kurang dari 1 % hingga itik sampai dewasa (Sumanto, dkk. 1999), sementara kematian itik di daerah DIY berkisar antara 7-10% yang terjadi pada umur dibawah 35 hari (Sumanto dkk., 2000).

Bobot Badan Siap Telur clan Pemberian Pakan

Bobot badan itik Mojosari dari DOD hingga bertelur I mencapai 1473 gram/ekor pada umur 24 minggu. Bobot itik MA siap telur di Blitar antara 1700-1900 gram/ekor clan di Cirebon antara 1600 - 1800 gram/ekor (Sumanto dkk.,1999).

Pemberian pakan untuk itik MA berkisar antara 50 - 165 gram/ekor/hari yang ummnya disesuaikan dengan umur itik . Rataan kebutuhan pakan itik MA adalah 12,66 kg/ekor selama 22 minggu. Sedangkan di DIY pemberian pakan untuk pembesaran itik Turi hingga siap telur (26 minggu) yang di kandang terus menerus mencapai 18 kg, sementara untuk itik yang diangon hanya separuhnya . Kualitas clan kuantitas pakan yang diberikan bervariasi dari satu lokasi ke lokasi yang lain tergantung dari harga clan kemampuan finansial peternak. Itik Mojosari sampai umur 22 minggu mengkonsumsi pakan sebesar 14,3 kg (Wibowo, dkk 1999).

Tenaga Kerja

Pemeliharaan itik terkurung memerlukan tenaga kerja untuk pengelolaan dalam kesehariannya, yang terdiri dari tenaga keluarga atau tenaga di luar keluarga yang lazim disebut tenaga upahan. Adapun aktivitas

(7)

utamanya adalah penyiapan pakan (mencampur), mengangkut pakan dari gudang ke kandang itik, menyediakan air minum dan pengumpulan telur setiap pagi hari. Kegiatan utama yang perlu diperhatikan adalah pemberian pakan kekandang yang harus dapat diselesaikan dalam waktu cepat, agar ternak itik tidak mengalami stress akibat dari keterlambatan penyediaan pakan, karena kegiatan ini menimbulkan suasana gaduh di dalam kandang. Pemeliharaan ternak secara intensif dengan skala pemeliharaan berkisar 3000 ekor cukup diperlukan 2 orang tenaga, bahkan masih banyak waktu yang digunakan di luar kegiatan produksi. Setiap daerah mempunyai tarif harga tenaga kerja upahan yang berbeda, khusus di kecamatan Ponggok maka tenaga kerja dibayar sebanyak Rp 200 .000,- rupiah per orang per bulan, dengan dijamin makan siang pada skala pemeliharaan tersebut di atas.

ANALISIS BIAYA

(STUDI KASUS PEMBESARAN ITIK TURI DI DIY)

Biaya Usaha pembesaran itik

Usaha pembesaran itik secara terkurung pada umumnya kurang diminati oleh para peternak, karena dianggap usaha ini perlu dana yang besar dan untuk mendapatkan keuntungannya perlu waktu yang lama. Dengan sifat usaha yang demikian banyak peternak yang kurang mampu dalam penyediaan modalnya. Faktor lainnya adalah resiko usaha dianggap cukup tinggi. Usaha yang berkembang di peternak adalah usaha pembesaran itik dari DOD hingga umur 35 hari dan umur itik 35 hari hingga 6 bulan (umur bibit) . Usaha pembesaran itik hingga umur 35 hari umumnya dilakukan banyak di kandang, namun pemeliharaan itik lanjutan hingga umur bibit, peternak banyak melakukannya secara diangon.

Usaha Pembesaran Itik Turi DOD Hingga Umur 35 hari.

Pada umumnya skala kepemilikan usaha di peternakan rakyat adalah berkisar antara 150 - 300 ekor, namun yang umumnya adalah 200 ekor/peternak. Pada saat survai harga DOD di semua wilayah pengamatan masih berkisar antara Rp.2.500 - Rp.3.000/ekor. Umur DOD yang mulai dipelihara juga bervariasi antara 1 - 5 hari, ini tergantung dari persediaan yang diperoleh dari usaha penetasan telur atau pedagang DOD. Skala usaha lebih kecil (pemilikan kurang dari 100 ekor) banyak ditemui di wilayah DIY dan Grati, sementara di daerah Cirebon dan Brebes banyak ditemui skala usaha sedang (pemilikan antara 150 sampai 300 ekor), sedangkan di daerah Blitar sudah banyak ditemui usaha pemeliharaan itik dengan pemilikan yang cukup besar (lebih dari 1000 ekor). Pada umumnya peternak mengkhususkan diri dengan memilih salah satu usaha tertentu yaitu pembesaran, produksi telur atau penetasan, kecuali bagi peternak yang sudah mempunyai pemilikan

(8)

lebih dari 1000 ekor (usaha besar) seperti ditemui di daerah Blitar (Sumanto dkk, 1999) .

Analisis Ekonomi disajikan pada Tabel 1 .

Tabe11 . Biaya Usaha Pembesaran Itik Turi Umur hingga 35 hari di DIY

1. B/C 2. Pendapatan

sederhana usaha pembesaran itik umur 35 hari

1 .55 435.000

Biaya Usaha Pembesaran Itik Turi Umur 35 hari Hingga Umur Bibit di DIY Bentuk usaha yang sangat umum dilakukan peternak di hampir semua wilayah pengamatan adalah pola pembesaran itik dengan cara campuran yaitu kombinasi antara diangon clan dikurung, pada cara ini peternak hanya memberi ransum itik hanya sekitar separuh dari kebutuhan pakan itik. Biasanya itik diberi makan pada pagi hari kemudian dilepas, itik akan kembali ke kandang pada sore harinya. Pemeliharaan itik dengan cara clikurung terus dari umur 35 hari sampai umur siap bertelur memerlukan modal yang besar untuk pakan, karena peternak harus menyediakan semua kebutuhan pakan itik. Model pemeliharaan itik cara diangon memberi inclikasi bahwa jumlah pakan konsentrat yang diberikan pada ternak itik selama pemehharaan akan jauh menurun apabila dibandingkan dengan cara pemeliharaan terkurung

terus-menerus.

Skala usaha untuk pola itik diangon umumnya berkisar antara 100 - 200 ekor/pengangon, sedangkan skala usaha untuk pola terkurung dikandangkan selama pembesaran itik diperlukan jumlah persediaan modal cukup besar. Model terkurung untuk pembesaran itik tidak populer dilakukan oleh peternak di wilayah D.I. Yogyakarta clan scat survai hanya satu peternak dipmukan dengan skala usahanya sekitar 700 ekor. Hal serupa ditemui pula

Item Pengeluaran hingga 35 hari

( Rp) 1. Bibit 150 ekor 412.500 2. Pakan 328.125 3. Obat-obatan 25.000 4. Penyusutan kandang 20.000 Penerimaan 785.000 1. Penjualan itik 1 .220.625 Keuntungan

(9)

di daerah Cirebon, Brebes dan Grati. Sedangkan di daerah Blitar banyak ditemui peternak dengan skala pemeliharaan cukup besar. jenis itik yang dipelihara di daerah Cirebon dan Brebes umumnya itik Tegal, sedangkan di DIY banyak ditemui itik Mojosari di samping itik Turi.

Umur itik sebagai bibit umumnya sekitar 6 bulan dan harganya cukup bervariasi sekitar Rp.25.000 - Rp.29.000/ekor. Bervariasinya harga jual bibit karena besarnya pertumbuhan individu itik tidak sama, sehingga dari pengamatan secara fisik ternak, hal ini mudah dapat dibedakan.

Analisis ekonomi sederhana usaha pembesaran itik Turi umur 35 hari hingga umur bibit disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 . Biaya Usaha Pembesaran Itik Umur 35 Hari s/d Umur Bibit di DIY

Biaya Pembesaran Itik MA '" 1, 2 dari pakan cara terkurung

Biaya pembesaran itik MA siap telur (umur 22 minggu) mencapai RP 21 .000 per ekor di Blitar dan di Cirebon mencapai Rp. 18 .850/ekor . Keuntungan yang diperoleh peternak di Cirebon lebih baik dibandingkan dengan di Blitar yaitu masing-masing sebesar Rp. 6.150/eko r dan Rp.3 .900/ekor (Sumanto, dkk., 1999) . Sementara Wibo%vo dkk .(1995) mendapatkan biaya pakan itik Mojosari pada umur 22 minggu mencapai RP. 5 .100,- dengan harga pakan Rp.300,- dan harga jual itik Rp. 7.000,- per ekor . Di DIY . Untuk pembesaran dari DOD sampai umur bibit diperlukan biaya Rp.23.824,- per ekor, pada sistem intensif dan hanya Rp. 15.680,- per ekor pada sistem campuran antara terkurung dan diangon .

Item (Rp) Pola Angonan (Rp ) Pola Terkurung Pengeluaran 35 hari s/d umur bibit 0 a. Bibit 150 ekor (150 ekor x Rp.8.750) 1312.500 1312.500 b. Pakan 1 .221 .477* 2.442.953 c. Obat-obatan . 50.000 50.000 d. Penyusutan kandang 25.000 50.000 Penerimaan 2.608.977 3.855.453 a. Penjualan itik 150 x 0,93 x Rp.26.000/29.000 3.627.000 4.263.000 Keuntungan a . B/C 1.39 1 .10 b. Pendapatan 1 .018.023 407.547

(10)

Prospek Pengkajian dan Pengembangan Itik MA (Unggul)

Keberadaan itik unggul yang diperkenalkan di peternak dapat bertahan, apabila telah melalui beberapa proses pengkajian antara lain:

a. Kualitas dan produksi itik unggul paling tidak harus sama atau bahkan diharapkan lebih unggul dari jenis ternak yang ada dan disukai oleh peternak di lokasi tersebut, sehingga dapat diharapkan bahwa itik unggul lebih meng-untungkan bila ditinjau dari sisi ekonomi.

b. Pola pemeliharaan paling tidak bisa disamakan dengan kondisi itik lokal dan apabila diberi perlakuan yang dimodifikasi tidak banyak berubah kenerjanya.

KESIMPULAN

Sistem pembesaran itik dari DOD sampai umur bibit masih jarang dilakukan peternak, karena diperlukan modalawal yang cukup besar.

Biaya dan keuntungan dalam pemeliharaan itik masih cukup bervariasi, hal ini disebabkan karena peternak cukup tanggap dalam menekan biaya pakan.

Biaya pembesaran itik hingga siap telur berkisar antara Rp.18.850,- per ekor hingga Rp.23.824,- per ekor dan keuntungan peternak per ekor berkisar antara Rp.3.146,- hingga Rp.6.150,.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik.1999. Statistik Pertanian Indonesia. Badan Pusat Statistik .Jakarta

Dinas Peternakan Kabupaten Blitar. 1999. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Blitar.

Diwyanto,K., H.Prasetyo, P.Ketaren, A.R.Setioko, T.Susanti dan Sabrani 1997. Model Pengembangan Rakyat Terpadu Berorientasi Agribisnis: Komoditas Itik. Direktorat jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak.

Kabupaten Blitar Dalam Angka. 1998. Badan Pusat Statistik Kabupaten Blitar jawa Timur.

Murtidjo, B.A.,1995. Mengelola Itik Tenerbit Kanisius Yogyakarta.

Kantor Statistik Propinsi Yogyakarta (1998) . Propinsi DIY Dalam Angka 1997. Yogyakarta.

Kantor Statistik Kabupaten Kulon Progo (1998). Kabupaten Kulon Progo. Dalam Angka 1997. Kulon Progo

(11)

Kantor Statistik Kabupaten Bantul (1998) Kabupaten Bantul Dalam Angka 1997. Bantul.

Kantor Statistik Kabupaten Sleman (1998). Kabupaten Sleman Dalam Angka 1997. Sleman

Kantor Statistik Kota Madya Yogyakarta (1998). Kota Madya Yogyakarta Dalam Angka 1997. Yogyakarta.

Kantor Statistik Kabupaten Gunung Kidul (1998). Kabupaten Gunung Kidul Dalam Angka 1997. Wonosari

Setioko, A.R., S. Iskandar, T. Wijaya, D.Zaenudin, B.Wibowo, A.Lasmini, P. Setiadi, A.P.Sinurat, E.Basuno dan T. Susanti.1995. Studi Produk-Produk Inkonvensional Dari Berbagai Unggas Air Di Jawa, Bali dan Kalimantan Selatan. Laporan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor.

Sumanto, E. Juarini, B. Wibowo dan Ashari. 1999. Prioritas Wilayah Penyebaran clan Pengembangan Ternak di D.I. Yogyakarta. Bahan Tambahan Untuk Laporan Analisis Penyebaran dan Pengembagan Peternakan di D.I. Yogyakarta.(belum dipublikasikan).

Yuwanta Tri, Zuprizal, A Musofie, N. Kusumawardani dan S. Nugroho. 1999. Studi Potensi Genetik, Produksi dan Reproduksi serta Bahan Pakan Lokal Pada Itik Turi Sebagai Petelur. Abstrak pada Seminar Teknologi Spesifik Lokasi Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani dan Pelestarian Lingkungan, 2 Desember 1999 yang diselenggarakan oleh IMP, Universitas Wangsa Manggala dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

Gambar

Diagram 1. Keterkaitan Kegiatan Usaha Itik
Tabel 2 . Biaya Usaha Pembesaran Itik Umur 35 Hari s/d Umur Bibit di DIY

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pelaksanaan, hasil, dan pembahasan penelitian yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan (1) Aktivitas fisik dalam pembelajaran IPA dengan

Peraturan keselamatan, kesihatan, dan alam sekitar yang khusus untuk produk yang berkenaan. Bahan Aktif Produk Racun Perosak (Akta Racun Perosak 1974, Jadual Pertama, seperti

Polimer kondensasi terjadi dari reaksi antara gugus fungsi pada monomer yang sama atau monomer yang berbeda. Dalam polimerisasi kondensasi kadang-kadang disertai dengan terbentuknya

pengembangan kawasan. 3) Pengembangan sknario, adalah merupakan tahap perumusan hasil analisis dan menjelaskan langkah-langkah utama yang perlu dikembangkan untuk

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dalam penelitian ini akan dianalisis apakah PNS dan Pegawai Kontrak pada Dinas Perhubungan, Informasi dan Komunikasi Provinsi

Digital signature dapat diterapkan pada mekanisme approval proses workflow dokumen digital untuk meningkatkan keamanan isi hasil approval (confidentiality) serta

Pada persamaan (8) berkaitan dengan graf sistem penjadwalan yang sesuai dengan Gambar 5 yaitu, perpindahan kelompok praktikum kelas Sistem In- formasi Akuntansi ke