• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipelihara di berbagai tempat di Indonesia. Itik bali biasanya dipelihara untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipelihara di berbagai tempat di Indonesia. Itik bali biasanya dipelihara untuk"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Itik Bali

Itik bali (Anas sp.) adalah itik lokal yang berkembang di Pulau Bali dan Lombok. Itik bali mempunyai daya tahan hidup yang sangat tinggi sehingga dapat dipelihara di berbagai tempat di Indonesia. Itik bali biasanya dipelihara untuk penghasil telur. Seperti halnya itik tegal, itik bali dengan tanda bulu khusus juga mempunyai kemampuan produksi telur tertentu. Itik bali dengan warna coklat kekuningan (bulu sumi) merupakan itik bali yang paling produktif karena dapat menghasilan telur sekitar 153 butir/tahun (Suharno dan Amri, 2003). Lebih lanjut dikatakan itik bali berwarna bulu sumbian mampu menghasilkan telur sekitar 145 butir/tahun. Itik bali berbulu sikep mampu memproduksi 100 butir telur/tahun. Sementara itu itik bali berbulu putih dan kepala jambul, lebih banyak yang dijadikan sebagai itik hias atau itik untuk sesaji dalam upacara agama daripada dijadikan itik petelur.

Itik bali memiliki ciri-ciri khas yang membedakan itik bali dengan itik yang lain. Nurbudhi (1969) menggambarkan Itik bali mempunyai bola mata relatif besar menonjol dengan pupil hitam pekat dengan garis kurang terang berwarna coklat muda sampai kehitam–hitaman. Menurut Rasyaf (1982) itik bali mempunyai ciri-ciri badan langsing dan berdiri tegap, warna bulunya “sumi”, putih atau belang putih dan ada juga berwarna kuning keabu-abuan, lehernya panjang, sedangkan ekornya pendek dan hampir mendatar.

(2)

7 Berat badan itik bali yang jantan mencapai 1,8-2 kg dan yang betina bekisar antara 1,6-1,8 kg. Itik bali memiliki telur yang cukup banyak dan kulitnya berwarna putih kehijauan dengan berat 60-75 g per butir. Dengan keadaan seperti ini itik bali mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai itik dwiguna yaitu sebagai itik petelur atau diarahkan sebagai itik pedaging (Murtidjo, 1988). Itik bali mulai memasuki usia produktif pada umur sekitar 23-25 minggu namun itik ini tidak memiliki sifat mengerami telurnya.

2.2 Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk, demensi linier, dan komposisi tubuh seperti otot, lemak,tulang dan organ serta komponen-komponen kimia terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 1998). Pada umumnya semua makhluk hidup mengalami sebuah proses pertumbuhan begitupula yang terjadi pada ternak yang sudah pasti mengalami pertumbuhan. Menurut Tillman et al. (1991), pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran berat badan dan pertumbuhan yang cepat dicapai oleh ternak tergantung pada kemampuan tumbuh yang diwarisi oleh ternak tersebut (potensi genetik).

Menurut Wahju (1997) kecepatan pertumbuhan unggas dipengaruhi oleh strain, suhu lingkungan, jenis kelamin, energi metabolisme dan kadar protein ransum. Pertumbuan terjadi akibat interaksi antara faktor dalam (hereditas), dengan faktor luar (lingkungan). Faktor hereditas menentukan pertumbuhan maksimum, sedangkan faktor lingkugan termasuk suhu dan kelembaban udara hanya mendorong dalam mencapai berat maksimum. Hasil-hasil penelitian menunjukkan sekitar 70% produktivitas ternak termasuk diantaranya pertumbuhan

(3)

8 dan kemampuan produksinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan sedangkan 30 % dipengaruhi oleh faktor genetik (Siregar et al., 1980).

Pertumbuhan ternak secara normal terutama pertambahan beratnya akan mengikuti pola yang berkaitan dengan umur dan pola ini akan mengalami perubahan sesuai dengan jumlah ransum yang dikonsumsi (Crampton dan Haris, 1969). Pertumbuhan biasanya terjadi pada hewan yang masih muda dan pertumbuhan disebabkan oleh karena pertambahan besar ukuran dari tulang, jaringan dan organ-organ lainnya yang terdapat di dalam tubuh (Card dan Nesheim, 1972). Dilihat dari jenis kelaminnya, Soeparno (1998) menyatakan ternak jantan biasanya tumbuh lebih cepat pada umur yang sama dibandingkan ternak betina.

Fase pertumbuhan pada itik ada tiga fase yaitu; fase starter yang dimulai pada umur 0-2 minggu, fase grower dari umur 2-12 minggu, yang terakhir yaitu fase developer dari umur 12-24 minggu. Kecepatan pertumbuhan itik bali pada awal hidupnya lebih cepat terutama pada fase grower periode empat minggu sampai delapan minggu daripada setelah umur tersebut. Akibat dari pertumbuhan yang cepat maka tingkat protein yang dibutuhkan lebih tinggi setelah berumur delapan minggu (Warsiki, 1983). Kekurangan zat makanan pada saat pertumbuhan dapat menyebabkan itik terlambat mencapai dewasa kelamin sehingga itik tidak dapat berproduksi pada umur yang diharapkan (Murtidjo, 1988).

2.3 Karkas

Ternak itik merupakan ternak yang memiliki fungsi dwi guna yaitu sebagai penghasil telur dan daging. Ternak itik yang dipelihara dengan tujuan

(4)

9 sebagai penghasil daging harus memperhatikan kualitas karkas yang dihasilkan. Karkas ternak unggas adalah bagian tubuh unggas setelah dipotong dikurangi bulu, darah, jeroan, leher kepala dan kaki (Matram, 1984). Dalam produksi karkas terdapat bagian-bagian yang tidak termasuk karkas (non karkas) seperti kepala, leher, darah, bulu dan organ dalam (isi rongga dada dan perut).

Menurut Winter dan Funk (1960) karkas merupakan bagian dari tubuh hewan yang utama diperoleh setelah bagian dari tubuh yang kurang memberikan nilai ekonomis (hasil sampingan dari karkas) dihilangkan. Karkas adalah bagian tubuh unggas setelah dikurangi bulu, darah, jeroan, leher, kepala dan kaki. Bagian karkas unggas terdiri dari sayap, dada, paha dan punggung. Bagian sayap terdiri dari daging pada tulang radius, ulna, dan humerus dengan tulang-tulangnya, bagian dada terdiri dari tulang sternum dan daging yang melekat padanya, bagian paha terdiri dari bagian tulang pelvis ditambah daging yang melekat padanya terdiri dari thigh dan drumstick, serta punggung yaitu bagian yang memanjang dari pangkal leher sampai pada bagian pelvis dengan daging dan tulang yang menempel padanya (Swatland, 1984).

Berat karkas erat kaitannya dengan berat hidup ternak. Mulyadi (1983) menyatakan bahwa berat hidup akan mempengaruhi berat karkas. Unggas yang memiliki berat hidup yang tinggi cenderung memiliki berat karkas yang tinggi pula. Selain itu jenis kelamin juga mempengaruhi berat karkas, dimana unggas jantan mempunyai berat karkas yang lebih tinggi daripada unggas betina (Japp dan Jensen, 1950) disitasi oleh Sucahya (2015). Kualitas dan kuantitas ransum juga mempengaruhi berat karkas, semakin baik kualitas dan semakin banyak konsumsi ransum maka berat karkasnya semakin tinggi (Mulyadi, 1983).

(5)

10 Komposisi karkas terdiri dari komposisi fisik dan kimia. Komposisi fisik karkas terdiri dari komponen tulang, daging, lemak dan kulit. Semua jaringan ini akan tumbuh dengan kecepatan berbeda-beda sesuai dengan umur ternak tersebut. Komposisi kimia karkas terdiri dari air, protein, lemak dan abu (Soeparno, 1998).

Persentase karkas merupakan perbandingan berat karkas dengan berat hidup dikalikan 100% (USDA, 1977). Menurut Mulyadi (1983) faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah umur, waktu mencapai dewasa kelamin, berat badan, kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan, pertulangan dan tebal kulit serta isi saluran pencernaan. Secara umum persentase karkas itik jantan lebih besar daripada itik betina. Dalam menilai produksi ternak persentase karkas merupakan faktor yang sangat penting, karena persentase karkas berbanding lurus dengan berat badan, dimana semakin meningkat berat badan cenderung menghasilkan persentase karkas yang lebih tinggi (Resnawati dan Hardjosworo, 1976).

2.4 Non Karkas

Winter dan Funk (1960) menyatakan bahwa bagian-bagian non karkas terdiri dari kepala, leher, kaki, organ dalam, darah dan bulu. Bagian non karkas (offal) adalah bagian-bagian yang hilang pada waktu pemotongan dan pembersihan yang meliputi bulu, darah, kepala, leher, kaki, hati, empedal, usus halus, usus besar, tembolok, limpa dan jantung (Resnawati dan Hardjosworo, 1976).

Bagian non karkas atau offals terdiri dari bagian yang layak dimakan dan bagian yang tidak layak dimakan. Komponen-komponen yang tidak dimakan dapat diproses dan dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai ekonomi yang

(6)

11 cukup tinggi (Soeparno, 1998). Menurut Jull (1972), hasil pemprosesan dari unggas terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang dapat dikonsumsi manusia atau edible meliputi daging, lemak, giblet (hati, jantung dan empedal) dan bagian yang tidak dikonsumsi oleh manusia atau offal meliputi kepala, kaki, leher, usus, bulu, darah dan tulang. Bagian tubuh non karkas dipengaruhi oleh faktor pakan dan fisiologis ternak termasuk umur potong.

2.5 Ransum

Ransum adalah campuran beberapa bahan pakan yang diformulasi dan diberikan untuk mencukupi kebutuhan ternak selama 24 jam dengan cara pemberian yang dilakukan sekali atau beberapa kali sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan (Anggorodi, 1985). Ransum seimbang adalah ransum yang diberikan selama 24 jam yang mengandung semua zat nutrien dan perbandingan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi sesuai dengan tujuan pemeliharaan ternak (Chuzaemi, 2002). Nilai potensial suatu ransum antara lain ditentukan oleh komposisi kimia yang terkandung di dalamnya, harga, ketersediaan dan aspek pemberian ransum tersebut terhadap penampilan produksi ternak (Haroen, 1993).

Bahan baku pakan ternak berdasarkan asalnya terbagi menjadi dua golongan yaitu bahan baku asal tumbuh-tumbuhan dan hewan. Bahan baku asal tumbuh-tumbuhan dan ikutannya merupakan sumber karbohidrat serta diketahui banyak mengandung serat kasar. Bahan baku asal hewan mengandung protein asam amino lebih lengkap dan serat kasarnya lebih kecil sehingga umumnya sangat mudah dicerna bila di konsumsi ternak unggas. Untuk menyusun komposisi pakan unggas yang baik harus memperhitungkan kadar serat kasar. Komposisi pakan ternak unggas yang mengandung serat kasar tinggi akan

(7)

12 menyebabkan susah dicerna, dan hal ini menyebabkan ternak unggas berproduksi tidak optimal (Murtidjo, 1987).

Berdasarkan kelazimannya bahan pakan dibedakan menjadi 2 jenis yaitu: bahan pakan konvensional dan bahan pakan non konvensional. Bahan pakan konvensional adalah bahan baku yang sering digunakan dalam pakan yang biasanya mempunyai kandungan nutrisi yang cukup (misalnya protein) dan disukai ternak. Bahan pakan ini dapat berasal dari tanaman ataupun hewan, ikan, dan hasil sampingan industri pertanian. Contoh bahan baku ini yaitu; rumput, jagung, dedak, tepung ikan, dan bekatul. Bahan pakan non konvensional adalah bahan pakan yang tidak atau belum lazim dipakai untuk menyusun ransum. Bahan pakan ini berpotensi digunakan sebagai campuran pakan unggas karena tingkat ketersediaannya banyak diberbagai daerah. Bahan bahan ini ada yang mengandung antioksidan, nutrisi yang dimiliki harus diolah terlebih dahulu sebelum digunakan pada unggas. Bahan ini bisa berasal dari industri kimia, pertanian maupun hasil fermentasi. Contoh dari bahan baku ini yaitu urea, diamonium fosfat, isi rumen dan ragi (Anon, 2008).

Ransum adalah pakan jadi yang siap diberikan pada ternak yang disusun dari berbagai jenis bahan pakan yang sudah dihitung sebelumnya berdasarkan kebutuhan industri dan energi yang diperlukan (Anon., 2008). Lebih jauh dikatakan bahwa berdasarkan bentuknya ransum dibagi menjadi 3 jenis yaitu: mash, pellet dan crumble. Pemberian ransum pada itik yang dipelihara secara intensif dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan keadaan kering (dry mash feeding), dalam keadaan basah (wet mash feeding) dan dalam bentuk pellet.

(8)

13 Nutrien untuk itik terdiri atas protein, energi, vitamin dan mineral. Komponen utama penyusun ransum yang perlu diperhatikan adalah kandungan protein dan energinya. Protein berperan dalam menyusun sel, antibodi dan dan berbagai hormon di dalam tubuh (Tillman et al., 1991). Menurut Wahju (1997) protein berperan penting dalam pembentukan jaringan-jaringan tubuh hewan seperti urat daging, tenunan pengikat, kolagen, kulit, rambut, kuku serta paruh. Soeparno (1988) menyatakan energi ransum yang tinggi akan menghasilkan karkas yang lebih berat dan berlemak daripada yang energi rendah dalam kurun waktu tertentu. Peningkatan level energi ransum dapat berakibat penurunan persentase protein karkas dan kenaikan persentase lemak ginjal dan pelvik. 2.6 Biosuplemen

Biosuplemen merupakan suplemen yang mengandung mikroorganisme atau suplemen yang diproduksi dengan menggunakan mikroorganisme. Biosuplemen biasanya digunakan untuk pakan tambahan ternak unggas. Dalam pembuatan biosuplemen mikroba sangat berperan penting dalam memecah ikatan zat makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh tubuh ternak.

Limbah dan gulma tanaman pangan mempunyai potensi yang sangat besar untuk membantu meningkatkan produktivitas ternak. Selain itu, keberadaan limbah dan tanaman gulma juga cukup banyak. Akan tetapi, limbah dan tanaman gulma memiliki keterbatasan yaitu kadar serat kasar yang tinggi sehingga sulit dicerna oleh ternak itik. Salah satu cara/langkah yang dapat ditempuh dalam memanfaatkan limbah dan gulma adalah melalui aplikasi teknologi suplementasi.

(9)

14 Limbah isi rumen sapi bali merupakan salah satu limbah yang bisa dimanfaatkan sebagai alternatif untuk produksi biosuplemen dalam meningkatkan produktivitas ternak, mengingat limbah isi rumen sapi bali kaya akan nutrient available, enzim dan mikroba pendegradasi serat serta probiotik (Suardana et al., 2007; Mudita et al., 2009 dan 2012; Partama et al., 2012). Martin et al. (1999) menyatakan bahwa enzim-enzim pencerna karbohidrat di dalam isi rumen antara lain adalah amilase, xilanase, avicelase, α-Dglukosidase, α-L-arabinofuranosidase, β-D-glukosidase, dan β-D-xylosidase. Penelitian Budiansyah (2010) menyatakan bahwa di dalam isi rumen mengandung enzim selulase, xilanase, mannanase, amilase, protease, dan fitase yang mampu menghidrolisis bahan pakan lokal dan penambahan enzim isi rumen sapi lokal dalam pakan meningkatkan kecernaan ayam. Produksi biosuplemen berprobiotik dari limbah isi rumen sapi bali cukup potensial dikembangkan dalam pengembangan usaha peternakan itik rakyat berbasis limbah dan gulma tanaman pangan.

Pemanfaatan limbah rumen sebagai produk bioinokulan dan suplemen terbukti mampu meningkatkan kualitas dan kecernaan in vitro ransum berbasis limbah nonkonvensional (Mudita et al., 2009 dan 2010; Rahayu et al., 2012). Sanjaya (1995) menyatakan penggunaan isi rumen sapi sampai 12% dalam ransum mampu meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan serta menekan konversi pakan ayam pedaging. Hasil penelitian Mudita et al., (2009 dan 2010) menunjukkan pemanfaatan 5-20% limbah cairan rumen menjadi produk biosuplemen plus mampu menghasilkan biosuplemen dengan kandungan nutrien dan populasi mikroba tinggi. Pemanfaatan biosuplemen tersebut juga

(10)

15 mampu menurunkan kadar serat kasar, meningkatkan kadar protein dan kecernaan in vitro bahan kering dan bahan organik ransum asal limbah. Rahayu et al., (2012) mengungkapkan isi rumen kerbau, sapi dan/atau domba dapat dijadikan starter fermentasi kering melalui penambahan 30% dedak padi melalui proses inkubasi dan pengeringan terkendali dengan populasi total mikroba yang cukup tinggi. Sucahya (2015) menyatakan berat potong dan offal external (kepala, leher, kaki, darah dan bulu) itik bali jantan umur 8 minggu yang diberi ransum berbiosuplemen yang mengandung isi rumen sapi bali dari level 20%-80% dan ransum tanpa biosuplemen memberikan pengaruh yang sama.

Rayap (Termites sp) juga sangat potensial dimanfaatkan sebagai inokulan mengingat bahwa rayap mempunyai mikroba di dalam tubuhnya. Bakteri simbion rayap mempunyai kemampuan dalam mencerna pakan berserat seperti jerami padi, serat sawit dan rumput gajah. Akan tetapi kemampuannya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan sumber inokulan yang berasal dari mikroba cairan rumen dalam tingkat fermentasi dan kecernaan pakan berserat (Setianegoro, 2004). Purwadaria et al. (2003a,b dan 2004) menyatakan saluran pencernaan rayap mengandung mikroba (bakteri, kapang/fungi, dan protozoa), menghasilkan kompleks enzim selulase yaitu endo-β-D-1.4-glukanase/CMC-ase, aviselase, eksoglukanase dan β-D-14-glukosidase, dan enzim hemiselulase seperti endo-1,4-β-xilanase serta enzim β-D-1,4-mannanase. Puspitasari (2009) menyatakan bahwa isolat bakteri simbion rayap dapat berinteraksi dengan baik dengan isolat bakteri rumen dalam mendegradasikan bahan pakan sumber serat seperti rumput gajah, jerami padi dan serat sawit. Hal ini menunjukkan isolat

(11)

16 bakteri simbion rayap mampu beradaptasi pada kondisi mikroorganisme yang beragam seperti pada kondisi rumen.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis korelasi yang ditunjukkan mendapati hubungan di antara tahap kecerdasan emosi dengan motivasi kerja dalam kalangan kakitangan MARDI yang berada di Gred

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan .... III AKUNTABILITAS KINERJA

merupakan senyawa yang paling toksik dari semua pestisida yang digunakan. terhadap

Dengan demikian untuk menurunkan kadar besi dalam arang sekam padi dapat digunakan sebagai alternatif media filtrasi dalam pengolahan air. KESIMPULAN DAN SARAN

Motivasi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan. Pengaruh yang positif ini menunjukkan bahwa semakin baik persepsi responden

Sehingga, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perilaku konsumtif pada produk fashion, khususnya pada remaja yang bersekolah di SMA IIBS

Moradi, Delavar, and Moshiri (2013) assessed the sensitivity of OWA operator in earthquake vulnerability assessment. They found out that both optimistic

Requirements Annex 4 of STANDARD 100 by OEKO ‑ TEX® STANDARD 100 by OEKO ‑ TEX® EK 4 gereklilikleri Requirements Annex 6 of STANDARD 100 by OEKO ‑ TEX® STANDARD 100 by OEKO ‑