JENIS-JENIS PARASIT INTERNAL PADA FESES SAPI (Bos sp.) DI DESA LEMPUING KOTA BENGKULU
Santi Nurul Kamilah1, Dwi Ayu Wulandari2 1
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu 2
Program Studi S-1 Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu
ABSTRACT
Cows are one of the ruminant animals which have high economic value because they have various needs for human life. In Bengkulu many cattle farms are found, but this is not free from parasitic infections which have special disadvantages on very large cattle. The purpose of this study was to identification the types of parasites found in cow feces in the village of Lempuing Bengkulu. The research was conducted on 2 July-2 August 2018 at the UPTD Laboratory and Bengkulu Animal Health Clinic using three methods: the native method, the sedimentation method and the mammalian faecal sedimentation method with 3 faecal samples. In the native method no parasites were found containing worm eggs. In the method of sedimentation of cow feces (Bos sp.) obtained positive results of parasites containing worm eggs of Ascaris sp., Schistosoma sp. and Oesophagostomum sp. In the mammalian faecal sedimentation method, the presence of parasitic worm eggs Fasciola sp. and Paramphistomum sp.
Keywords : Internal parasite, worm eggs, cows fecal. PENDAHULUAN
Sapi yang tersebar di Indonesia merupakan hasil domestikasi (penjinakan) dari sapi jenis primitif. Sapi primitif dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu
Bos indicus, Bos taurus dan Bos sondaicus.
Sapi di Indonesia kebanyakan berasal dari persilangan antara Bos indicus dan Bos
sondaicus atau sapi keturunan banteng. Indonesia memiliki potensi pengembangan ternak sapi yang cukup baik. Perlu dukungan berbagai aspek penunjang terutama bakalan, pakan yang cukup, lingkungan dan iklim yang baik. Ternak sapi memiliki banyak manfaat yaitu
seekor atau sekelompok ternak sapi bisa mencukupi kebutuhan protein hewani, penghasil susu, tenaga penarik gerobak dan kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk (Rasyaf, 2005).
Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam kehidupan masyarakat, sebab dapat menghasilkan berbagai macam kebutuhan hidup manusia. Pembangunan peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian terus berkembang sehingga mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam pembangunan nasional (Rasyaf, 2005).
Pengembala sapi tidak hanya di lapangan rumput pada zaman sekarang, tetapi ada juga di tempat pembuangan akhir (TPA). Sapi yang digembalakan di TPA mendapatkan asupan makanan dari sampah organik yang terfermentasi akan ada efek samping yang kurang baik bagi kesehatan sapi. Terutama serangan parasit yang banyak hidup di tempat lembab. Pengembala di TPA dapat menyebabkan sapi terserang penyakit parasit terutama cacing. Telur cacing bisa ditemukan pada tempat lembab yang dibawa oleh siput dan lalat. Lalat yang hinggap akan menyebarkan telur cacing yang terbawa, sedangkan siput akan membawa telur cacing dalam bentuk serkaria dan ditempelkan pada rerumputan yang lembab (Akoso, 1996).
Infeksi parasit memiliki kerugian
khususnya cacing pada ternak di
Indonesia sangat besar. Akibat cacing
menyerap zat-zat makanan, menghisap
darah/cairan tubuh, atau makan jaringan
tubuh ternak. Cacing menyebabkan
kerusakan pada sel-sel epitel usus sehingga dapat menurunkan kemampuan usus dalam proses pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan serta produksi enzim-enzim yang berperan dalam proses pencernaan. Selain itu berkumpulnya parasit dalam jumlah besar di usus atau lambung ternak dapat
menyebabkan penyumbatan atau obstruksi
sehingga proses pencernaan makanan
terganggu(Akoso, 1996).
Penelitian jenis-jenis parasit internal pada sapi pengambilan sampel di desa Lempuing karena keadaan lingkungan dan kelembapan yang tinggi sehingga diduga adannya jenis telur sapi sistem pemeliharaan juga masih secara tradisonal dan kurangnya kesadaran pengembala untuk melakukan pengobatan secara rutin pada sapi yang
dipelihara. Ada penelitian sebelumnya,
pengambilan sampel di UPTD kandang limun tetapi semua sampel hasilnnya negatif
dikarenakan sapi dirawat dengan baik,
pengobatan secara rutin serta sistem
pemeliharaan sapi sudah intensif.
Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis parasit yang terdapat pada feses sapi di Desa Lempuing dengan menggunakan tiga metode yaitu metode natif, metode sedimentasi dan metode sedimentasi feses mamalia.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 2 Juli-2 Agustus 2018 di UPTD Laboratorium dan Klinik Kesehatan Hewan Bengkulu. Alat yang digunakan yaitu: timbangan, beaker glass ukuran 100 ml, pipet tetes,
batang pengaduk, saringan, penggerus, slide glass, mikroskop binokuler, plastik dan spidol permanen. Bahan yang digunakan yaitu feses sapi (Bos sp.), formalin 10% dan air.
Metode Natif:
Feses diambil menggunakan lidi dan diletakkan di atas slide glass dengan diberi sedikit air serta ditutup dengan menggunakan cover glass, kemudian diamati bawah mikroskop dengn perbesaran 10x10. Metode Sedimentasi:
Sampel feses ditimbang sebanyak 3 gram lalu dimasukkan ke dalam beker glass 100 ml dan ditambahkan air hingga 50 ml, lalu diaduk dengan menggunakan batang pengaduk hingga homogeny dan disaring dengan saringan dan dimasukkan dalam beaker glass lalu ditambahkan air hingga penuh. Larutan didiamkan selama lima menit, kemudian cairan bagian atas dibuang dan sisakan filtrat kurang lebih 10 ml, lalu ditambahkan air dalam beaker glass
hingga penuh dan diamkan selama lima menit, kemudian dibuang lagi cairan bagian atas dan sisakan 5 ml.Filtrat dituang dalam cawan petri dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x10.
Metode Sedimentasi Feses Mamalia: Sampel feses ditimbang sebanyak 3 gram lalu dimasukkan ke dalam beaker glass
100 ml dan ditambah air hingga 50 ml, lalu diaduk dengan menggunakan batang pengaduk hingga homogen. Suspensi disaring dengan saringan dan dimasukkan dalam beaker glass lalu ditambahkan air hingga penuh dan diamkan selama 5 menit, kemudian cairan bagian atas dibuang dan sisakan filtrat kurang lebih 10 ml dan ditambahkan air dalam beaker glass
hingga penuh dan diamkan selama 5 menit, kemudian dibuang lagi cairan bagian atas dan sisakan 5 ml. Filtrat dituang dalam cawan petri khusus dan ditambahkan 1 tetes methylene blue 1% selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10.
Tahap terakhir dari semua metode yaitu identifikasi jenis telur cacing dan morfologi dengan membandingkan gambar dari literatur dengan hasil yang didapat dari pengamatan menggunakan buku panduan dari keswan, dengan diukur panjang, lebar dan diameter jenis telur (Balai Veteriner, 2017).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil didapat dari kegiatan pemeriksaan telur cacing pada feses sapi (Bos sp.) dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan hasil jenis telur cacing yang ditemukan pada sampel feses sapi (Bos sp.) menggunakan metode natif terhadap tiga
sampel feses sapi dengan tiga kali pengamatan. Namun tidak ditemukan adanya telur cacing atau negatif pada semua sampel feses sapi yang di ambil dari Pantai Panjang Kota Bengkulu. Jenis telur cacing yang ditemukan pada sampel feses sapi (Bos sp.) dengan menggunakan metode sedimentasi umum ditemukan tiga jenis telur cacing yaitu Oesophagostomum sp.,
Ascaris sp., Schistosoma sp. (Tabel 2).
Jenis telur cacing yang ditemukan pada sampel feses sapi (Bos sp.) dengan menggunakan metode sedimentasi feses mamalia yaitu jenis telur Fasciola sp. dan
Paramphistomum sp., metode ini khusus
untuk melihat dua jenis telur cacing
Fasciola sp. dan Paramphistomum sp.
karena untuk melihat cacing hati pada sapi (Tabel 3).
Parasit adalah hewan yang hidupnya menempel pada hewan lain sehingga dapat merugikan hewan yang ditempeli (hospes). Kelompok parasit adalah semua jasad yang hidup di dalam atau di luar individu lain atau yang disebut sebagai induk semang, parasit yang hidup di luar atau di permukaan tubuh induk semang digolongkan ke dalam ektoparasit, sedangkan parasit yang hidup di dalam tubuh individu disebut endoparasit (Kurt, 1999).
Tabel 1. Hasil pengamatan identifikasi telur cacing dengan metode natif feses sapi (Bos sp.)
No Kode sampel Telur cacing Keterangan
Ada Tidak ada
1 S1 Tidak ditemukan telur cacing
2 S2 Tidak ditemukan telur cacing
3 S3 Tidak ditemukan telur cacing
Tabel 2. Hasil pengamatan identifikasi telur cacing dengan metode sedimentasi umum (Bos sp.)
No Jenis Telur Telur cacing
Hasil
pengukuran (µm) Kode sampel
Ada Tidak ada P L D
1 Schistosoma sp. 0,8 0,3 0,4 S1
2 Oesophagostomum sp 0,7 0,6 0,8 S3
3 Oesophagostomum sp 0,7 0,6 0,8 S3
4 Ascaris sp. 0,4 0,4 0,4 S3
Tabel 3. Hasil pengamatan identifikasi telur cacing dengan metode sedimentasi feses mamalia sapi (Bos sp.)
No Jenis telur Telur cacing
Hasil pengukuran
(µm) Kode sampel
Ada Tidak ada P L D
1 Paramphistomum sp. 0,15 0,5 0,6 S1 2 Fasciola sp. 0,12 0,10 0,8 S1 3 Fasciola sp. 0,12 0,5 0,8 S1 4 Schistosoma sp. 0,12 0,9 0,5 S2 5 Paramphistomum sp. 0,12 0,8 0,5 S2 6 Fasciola sp. 0,12 0,5 0,8 S3 7 Paramphistomum sp. 0,12 0,9 0,5 S3 8 Fasciola sp. 0,11 0,5 0,8 S3 9 Fasciola sp. 0,12 0,5 0,8 S3 Keterangan :
S1 : Sapi Bali dari sampel 1 P : panjang S2 : Sapi Bali dari sampel 2 L : lebar S3 : Sapi Bali dari sampel 3 D : diameter
Pengamatan mengenai jenis parasit internal pada feses sapi (Bos sp.) dilakukan dengan tiga metode yaitu metode natif, metode sedimentasi umum, dan metode sedimentasi mamalia. Metode natif digunakan untuk melakukan pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Metode sedimentasi umum digunakan untuk melihat jenis parasit dengan memperoleh filtrat hasil pemisahan kotoran dengan telur cacing pada feses, dan metode sedimentasi feses mamalia merupakan metode khusus untuk mengamati jenis
telur cacing Fasciola sp. dan
Paramphistomum sp.
Hasil pengamatan identifikasi telur cacing dengan metode natif pada feses sapi (Bos sp.) diperoleh hasil negatif dapat terlihat pada Tabel 1, hal ini dikarenakan pada metode natif hanya digunakan untuk mengamati jenis infeksi yang berat saja, sehingga pada metode ini jenis sapi yang terinfeksi ringan tidak terdeteksi telurnya, dan pada saat pembuatan preparat dengan metode natif ini terjadi ketebalan preparat sehingga tidak dapat di amati dengan jelas.
Tabel 4. Perbandingan gambar telur cacing dengan hasil pengamatan feses sapi (Bos Sp.) dari Pantai Panjang.
Kode sampel
Perbandingan bentuk telur cacing Telur Cacing Mengacu
pada Zulfikar (2017). Hasil Pengamatan
S1, S3 Schistosoma sp. Perbesaran 10x10 S1,S3 Fasciola sp. Perbesaran 10x10 S3 Ascaris sp. Perbesaran 10x10
Hasil pengamatan identifikasi telur cacing dengan metode sedimentasi pada feses sapi (Bos sp.) didapatkan tiga spesies telur cacing yaitu Ascaris sp., Schistosoma sp. dan Oesophagostomum sp. seperti Tabel 2. Hasil pengamatan identifikasi telur cacing dengan metode sedimentasi feses mamalia khusus untuk melihat dua jenis telur cacing Fasciola sp. dan
Paramphistomum sp. dari tiga sampel
yang digunakan hasilnya positif telur cacing tertera pada Tabel 3. Faktor penyebabnya adalah makanan dan lingkungan tempat sapi dipelihara. Perbedaan jenis telur cacing Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. yaitu bentuk
Fasciola sp. bulat dan inti sel berwarna
Paramphistomum sp. berbentuk lonjong
inti sel berwana putih bening (Balai Veteriner, 2017).
Kesehatan ternak dengan upaya pencegahan infeksi penyakit akibat cacing harus dilakukan. Salah satu cara mengetahui adanya telur cacing dengan identifikasi telur cacing dalam feses. Hal ini dilakukan untuk deteksi dini infeksi cacing terutama parasit pencernaan, dengan cara yang cepat, mudah dan efektif. Kecacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi menyebabkan kerugian ekonomi seperti penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, kulit, dan jeroan (Darmadja, 1980).
SIMPULAN
Hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan yaitu: tiga sampel feses sapi dari Desa Lempuing Provinsi Bengkulu pada metode natif tidak ditemukan parasit telur cacing, Dengan menggunakan Metode sedimentasi feses sapi (Bos sp.) didapatkan hasil positif parasit berupa telur cacing jenis Ascaris
sp., Schistosoma sp. dan
Oesophagostomum sp. Dengan
menggunakan Metode sedimentasi feses mamalia, hasilnya menunjukkan adannya
parasit telur cacing Fasciola sp. dan
Paramphistomum sp.
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B., T. 1996.Kesehatan Sapi. Yogyakarta. Kanisius.
Anonimous. 2005. A Review :Alternative
methods of controlling ruminant internal parasites.School of Biology
Sciences. University of Aberden. Edisi:25.
Balai Venteriner, 2017. Parasitologi Lampung: Dinas Perternakan dan
Kesehatan Hewan.
Darmadja, S, D, N, D 1980. Setengah
Abad Perternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali.
Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung.
Kurt. 1999. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam Volume. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.
Rasyaf. 2005. Memasarkan Hasil Peternakan. Cetakan II. Jakarta: Penebar Swadaya..