• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASKULINISASI IKAN CUPANG (Betta sp.) MENGGUNAKAN MADU ALAMI MELALUI METODE PERENDAMAN DENGAN KONSENTRASI BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MASKULINISASI IKAN CUPANG (Betta sp.) MENGGUNAKAN MADU ALAMI MELALUI METODE PERENDAMAN DENGAN KONSENTRASI BERBEDA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

97 MASKULINISASI IKAN CUPANG (Betta sp.) MENGGUNAKAN MADU ALAMI

MELALUI METODE PERENDAMAN DENGAN KONSENTRASI BERBEDA

Masculinization Betta Fish (Betta Sp.) Use Natural Honey Through Immersion Method with Different Concentration

M. Arrasyidin Lubis1, Muslim1*, Mirna Fitrani1 1

PS.Akuakultur Fakultas Pertanian UNSRI

Kampus Indralaya Jl. Raya Palembang Prabumulih KM 32 Ogan Ilir Telp. 0711 7728874 *

Korespondensi email : muslimbdaunsri@gmail.com

ABSTRACT

The use of natural honey in the process of Betta fish masculinization are expected to reduce the concentration of estrogen hormone and increase the testosterone. The purpose of this research is to determine the effect of natural honey to the percentage of the male betta fish by masculinization. This study has been conducted at the Aquaculture Laboratory, Faculty of Agriculture, Sriwijaya University. This study use a completely randomized design with 4 treatments and 3 replications. The treatment in this research was betta fish larvae aged 5 days that submersed on natural honey media with different concentration for 12 hours. The treatment were the addition of natural honey as much as 4 ml/L (P1), 5 ml/L (P2), 6 ml/L (P3), 7 ml/L (P4) and without natural honey addition as control (P0). Parameters observed consist of percentage of betta fish male, survival rate and quality of water. The result of this research shows that the addition of natural honey with difference concentration has significant effect to male betta fish percentage. Treatment P2 with concentration 5 ml/L is the best result, it produced 77.33% of male betta fish after immersion for 12 hours.

Keywords : Betta fish (Betta sp.), Masculinization, Natural honey

PENDAHULUAN

Pada umumnya, dalam kegiatan budidaya perikanan, untuk memproduksi ikan monosex jantan dapat dilakukan melalui teknik sex reversal dengan menggunakan hormon steroid (Utomo, 2008). Hormon steroid yang sering digunakan dalam teknologi sex reversal

adalah hormon sintetik seperti hormon

17α-metiltestosteron, estradiol-17β dan aromatase inhibitor (Ukhroy, 2008). Akan tetapi, hormon 17α-metiltestosteron memiliki efek samping karena dapat menyebabkan pencemaran, kerusakan hati pada hewan uji hingga menyebabkan kematian (Djihad, 2015). Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dicari bahan alami yang mengandung hormon steroid yang lebih mudah didapat dan

(2)

98 efektif untuk digunakan dalam teknik sex

reversal.

Salah satu bahan alternatif yang berpotensi sebagai pengganti hormon sintetik adalah madu. Beberapa penelitian penggunaan madu sebagai bahan maskulinisasi. Madu merupakan salah satu bahan alternatif yang aman dan ekonomis, madu mengandung chrysin

yang dapat berperan sebagai aromatase inhibitor (Haq, 2013). Chrysin merupakan salah satu bahan aktif yang terdapat dalam madu sehingga bersifat lebih alami.

Chrysin merupakan salah satu jenis flavonoid yang diduga sebagai salah satu penghambat dari enzim aromatase atau lebih dikenal sebagai aromatase inhibitor (Ukhroy, 2008). Penurunan konsentrasi estrogen oleh aromatase inhibitor mengakibatkan banyaknya hormon testosteron yang diproduksi sehingga mengarahkan kelamin ikan menjadi jantan (Sarida et al., 2010).

Sehubungan dengan tingginya permintaan ikan cupang jantan, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang metode maskulinisasi menggunakan bahan yang aman dan mudah didapat seperti madu alami.

Sehubungan dengan tingginya permintaan ikan cupang jantan, maka perlu dilakukan penelitian tentang metode maskulinisasi menggunakan bahan yang aman dan mudah didapat seperti madu alami. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan diketahui bahwa batas konsentrasi letalnya adalah 7 ml/L dengan lama waktu perendaman 12 jam. Sehingga selang konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0 ml/L (sebagai kontrol), 4 ml/L, 5 ml/L, 6 ml/L dan 7 ml/L.

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Dasar Perikanan, Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2016.

Bahan dan Metoda

Bahan dan Alat yang digunakan pada kegiatan penelitian ini disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Bahan dan Alat yang digunakan dalam penelitian

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Lubis, et al. (2017)

(3)

99

Bahan dan Alat Spesifikasi Kegunaan

Larva ikan cupang Umur 5 hari Ikan uji

Madu alami Berasal dari lebah liar Sumber hormon

Artemia sp. Nauplius instar (0,4-0,7 mm)

Kandungan protein 55-63%

Pakan alami larva ikan

Daphnia sp. Kandungan protein 70%* Pakan alami larva ikan

Tubifex sp. Kandungan protein 34%** Pakan alami larva ikan

Toples Volume 5 L Wadah perendaman larva

Akuarium Ukuran 25 x 25 x 25 cm3, berwarna bening

Wadah pemeliharaan larva

pH-meter Ketelitian 0,1 unit pH Mengukur pH air

Termometer Ketelitian 1oC Mengukur suhu

DO-meter Ketelitian 0,01 mg.L-1 Mengukur oksigen terlarut

Spuit suntik Volume 3 ml Mengukur volume madu

Asetokarmin Asam asetat 45%

Bubuk karmin

Mewarnai gonad ikan

Mikroskop Olympus CH20 Untuk mengamati gonad

Cawan petri Wadah pemindahan larva

Keterangan : *) Pangkey, 2009

**) Masrurotun et al., 2014

Metoda Penelitian

Metoda penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental (percobaan).

Rancangan Penelitian

Rancangan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah perendaman larva ikan cupang yang berumur 5 hari dengan madu alami dengan lama perendaman 12 jam.

Adapun dosis yang digunakan adalah sebagai berikut :

P0 = Kontrol (tanpa pemberian madu alami)

P1 = Konsentrasi madu alami 4 ml/L P2 = Konsentrasi madu alami 5 ml/L P3 = Konsentrasi madu alami 6 ml/L P4 = Konsentrasi madu alami 7 ml/L

Cara Kerja

Cara kerja dalam pelaksaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahap kegiatan, antara lain adalah:

Persiapan Wadah Pemeliharaan

(4)

100 Persiapan wadah pemeliharaan

dimulai dengan pembersihan akuarium berukuran 25x25x25 cm3, selanjutnya dilakukan pemasangan label perlakuan sesuai rancangan penelitian dan pengisian air dengan volume 10 L.

Ikan Uji

Pada penelitian ini ikan yang digunakan adalah larva ikan cupang yang berumur 5 hari yang diperoleh dari pemijahan alami.

Perendaman Larva

Proses perendaman larva dalam madu alami disesuaikan dengan perlakuan. Larva yang digunakan berumur 5 hari. Pada setiap masing-masing wadah diisi sebanyak 10 ekor larva per liter (Irmasari, 2012). Lama waktu perendaman 12 jam dan selama perendaman diamati kelangsungan hidupnya. Setelah 12 jam, larva dipindahkan pada wadah pemeliharaan.

Pemeliharaan Larva

Larva yang telah direndam, dipelihara di dalam akuarium berukuran 25x25x25 cm3 dengan volume air 10 liter selama 45 hari. Pemeliharaan larva diberi pakan alami berupa Artemia sp.,Daphnia

sp. dan Tubifex sp. secara ad libitum.

Artemia sp. diberikan untuk larva yang berumur 5-18 hari. Pada saat larva telah berumur 15 hari, pakan alami Daphnia

sp. mulai diberikan pada larva ikan bersamaan dengan Artemia sp. sampai larva berumur 18 hari. Setelah larva berumur 18 hari, pemberian pakan alami

Artemia sp. dihentikan dan hanya diberikan Daphnia sp. saja. Kemudian dilakukan pemberian pakan alami secara selang seling antara Daphnia sp. dengan

Tubifex sp. ketika larva sudah berumur 25 hari hingga dewasa. Hal ini dilakukan supaya larva ikan dapat beradaptasi dengan pergantian pakan yang diberikan. Pemberian pakan alami secara selang seling dilakukan untuk lebih menjamin keberhasilan pemeliharaan larva ikan, yakni Tubifex sp. diberikan pada pagi hari dan Daphnia sp. diberikan pada sore hari (Sugandy, 2001).

Identifikasi Kelamin Ikan

Identifikasi kelamin dilakukan dengan pengamatan secara morfologi karena tidak perlu membunuh hewan uji untuk melakukan pengamatan terhadap organ reproduksi. Cara ini ideal untuk ikan-ikan yang memiliki dimorfisme

(5)

101 yang jelas antara jantan dengan betinanya.

Beberapa jenis ikan hias seperti guppy, rainbow, cupang dan kongo mudah dibedakan antara jantan dengan betina berdasarkan morfologi tubuhnya (Zairin, 2002). Untuk ikan yang pertumbuhannya lambat, ukuran tubuh yang lebih kecil, sehingga secara morfologi sulit dibedakan antara ikan jantan dengan ikan betina maka dilakukan pemeriksaan gonad secara mikroskopis dengan metode pewarnaan asetokarmin.

Parameter Penelitian

Persentase Ikan Cupang Jantan

Pengukuran ikan cupang jantan dilakukan dengan membandingkan jumlah ikan jantan dengan jumlah ikan hidup pada akhir pemeliharaan. Rumus yang digunakan untuk menghitung persentase ikan jantan menurut Zairin (2002) sebagai berikut :

Persentase Kelangsungan Hidup Pasca Perendaman

Pengukuran kelangsungan hidup benih ikan dilakukan dengan membandingkan jumlah ikan hidup pada akhir pemeliharaan dengan jumlah ikan pada awal pemilaharaan. Rumus yang

digunakan untuk menghitung kelangsungan hidup menurut Effendie (2002) sebagai berikut :

Kualitas Air

Kualitas air yang diukur dalam penelitian ini adalah suhu, derajat keasaman dan oksigen terlarut (Disolved Oxygen). Pengukuran parameter tersebut dilakukan pada awal dan akhir pemeliharaan.

Analisis Data

Data yang diperoleh berupa persentase ikan cupang jantan, kelangsungan hidup yang dianalisis secara statistik menggunakan analisa sidik ragam (anova) dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila data menunjukkan berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut terkecil (BNT). Data kualitas air dianalisa secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase ikan cupang jantan

Pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa pengaruh perendaman larva ikan cupang dalam larutan madu dengan dosis 0

(6)

102 (kontrol), 4, 5, 6 dan 7 ml/L terhadap

persentase ikan cupang jantan masing-masing adalah 44.00%, 61.33%, 77.33%, 64.00% dan 52.00%. Persentase ikan cupang jantan tertinggi diperoleh pada perlakuan P2 yaitu sebesar 77.33%, sedangkan persentase ikan cupang jantan terendah diperoleh pada perlakuan P0 yaitu sebesar 44.00%. Data Persentase ikan cupang jantan dapat dilihat pada Tabel 1.

T

abel 1. Persentase ikan cupang jantan (%)

Perlakuan Ulangan Rerata (%) 1 2 3 P0 48 40 44 44 P1 56 60 68 61.33 P2 72 76 84 77.33 P3 60 68 64 64 P4 48 56 52 52

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan persentase ikan cupang jantan seiring dengan penambahan dosis madu sampai 5 ml/L. Namun terjadi penurunan persentase ikan cupang jantan pada penambahan dosis madu sebesar 6 ml/L dan 7 ml/L. Hal ini sesuai dengan pernyataan Zairin (2002), yang menyatakan bahwa terdapat

kecenderungan pada pemberian hormon dan dosis yang digunakan, yakni pemberian dosis yang terlalu rendah menyebabkan ikan menjadi steril, abnormalitas dan apabila dosis yang digunakan terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian pada ikan. Server (1999) dalam Sarida et al., (2010), juga menyatakan bahwa larva yang mengalami aktivitas aromatase rendah akan mengarah pada terbentuknya testis, sebaliknya larva yang mengalami aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarah pada pembentukan ovari. Dengan demikian, dibutuhkan dosis yang efektif untuk proses maskulinisasi, karna dosis efektif yang dibutuhkan tidak sama pada semua ikan. Menurut Piferrer dan Donaldson (1989) dalam Fariz (2014) bahwa dosis yang tinggi dan waktu perendaman yang terlalu lama juga akan bersifat paradoksial yaitu hasil yang diperoleh bukanlah peningkatan jumlah ikan jantan akan tetapi akan meningkatkan jumlah ikan betina.

Tingginya persentase ikan cupang jantan diduga karena masuknya chrysin

yang terkandung dalam larutan madu ke dalam tubuh ikan secara difusi pada saat perendaman. Kandungan chrysin juga akan menghambat aktivitas aromatase yang mengakibatkan kandungan testosteron lebih banyak dibandingkan dengan hormon

(7)

103 estradiol (Sarida et al., 2010). Dalam

proses steroidogenesis dalam sel, pembentukan estradiol dari konversi testosteron akibat adanya enzim aromatase akan terhambat karena adanya chrysin yang berperan sebagai aromatase inhibitor dan pada akhirnya proses steroidogenesis berakhir pada pembentukan testosteron yang akan merangsang pertumbuhan organ kelamin jantan dan menimbulkan sifat-sifat kelamin sekunder jantan (Ukhroy, 2008). Menurut Marti (2006) dalam Haq (2013), madu akan masuk secara difusi ke dalam peredaran darah dan mencapai organ target. Berdasarkan uji BNT, perlakuan P0 (kontrol) berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan P1, P2 dan P3, namun tidak berbeda nyata terhadap perlakuan P4. Perlakuan P1 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan P3 dan berbeda nyata dibandingkan perlakuan P2. Sedangkan perlakuan P2 berbeda nyata dibandingkan dengan semua perlakuan.

Selain mempunyai sifat teritorial tinggi, ikan cupang jantan juga bersifat parental care yang dapat dilihat ketika ikan jantan menjaga telur dan larva hingga ikan dapat berenang bebas. Secara morfologis, ikan cupang jantan memiliki perbedaan yang jelas dengan ikan betina (Dimorfisme seksual). Namun, selain melakukan pengamatan secara morfologis

terhadap perbedaan antara ikan jantan dengan ikan betina, pada penelitian ini dilakukan juga pengamatan gonad secara mikroskopis dengan pewarnaan gonad ikan menggunakan larutan asetokarmin. Pewarnaan gonad ikan dilakukan untuk melihat perbedaan jaringan antara gonad ikan cupang jantan dengan betina. Adapun hasil yang diperoleh dapat dilihat pada gambar.

Berdasarkan gambar yang diperoleh dari hasil pembedahan yang dilanjutkan dengan pengamatan, terdapat perbedaan yang sangat jelas antara gonad

(8)

104 ikan jantan dengan gonad ikan betina.

Gonad ikan jantan (atas) ditandai dengan adanya bakal sel sperma, sedangkan gonad ikan betina (bawah) ditandai dengan adanya bakal sel telur. Hal ini membuktikan bahwa pengamatan gonad secara mikroskopis menggunakan larutan asetokarmin memiliki akurasi tinggi dalam membedakan ikan jantan dengan ikan betina. Akan tetapi, metode ini bersifat merugikan secara ekonomi karena harus membunuh hewan uji. Masa diferensiasi yang dipengaruhi oleh testoteron terjadi pada awal perkembangan suatu individu. Zairin (2002), menyatakan bahwa pada kondisi normal, individu akan berkembang sesuai dengan fenotipe yang terekspresi dari genotipenya. Individu dengan genotipe XX akan berkembang menjadi betina, sedangkan individu dengan genotipe XY akan berkembang menjadi jantan dengan perbandingan 1:1 tanpa pengaruh dari luar.

Kelangsungan hidup selama perendaman

Persentase kelangsungan hidup larva ikan cupang selama perendaman berkisar antara 77.5% sampai 100%. Persentase kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan P0, dan P1, sedangkan persentase kelangsungan hidup

terendah diperoleh pada perlakuan P4 dengan dosis madu yang digunakan adalah 7ml/L. Adapun data kelangsungan hidup larva ikan cupang selama perendaman dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Kelangsungan hidup selama perendaman

Perlakuan Ulangan Rerata

(%) 1 2 3 P0 100,0 100,0 100,0 100,00c P1 100,0 100,0 100,0 100,00c P2 97,50 100,0 97,50 98,33c P3 92,50 85,00 87,50 88,33b P4 85,00 72,50 75,00 77,50a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis madu yang digunakan pada saat perendaman berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup larva ikan cupang. Semakin tinggi dosis yang digunakan mengakibatkan kelangsungan hidup larva ikan semakin rendah. Rendahnya nilai kelangsungan hidup selama perendaman diduga diakibatkan karena larutan madu dapat mengganggu proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh ikan. Priyono (2013), menyatakan bahwa kematian banyak terjadi pada masa larva yang diduga pada masa ini ikan

(9)

105 sangat rentan terhadap kematian akibat

penurunan kualitas air dan penyakit sehingga pada beberapa ulangan mengakibatkan larva terserang jamur yang mempunyai ciri seperti kapas.

Kelangsungan hidup selama pemeliharaan

Data persentase kelangsungan hidup larva ikan cupang pada akhir pemeliharaan pada masing-masing perlakuan adalah sebesar 100%. Data kelangsungan hidup larva ikan cupang dapat dilihat pada tabel 3

Tabel 3. Kelangsungan hidup selama pemeliharaan SR Pemeliharaan Ulangan Rerata (%) 1 2 3 P0 100 100 100 100 P1 100 100 100 100 P2 100 100 100 100 P3 100 100 100 100 P4 100 100 100 100

Berdasarkan hasil penelitian perlakuan yang diberikan menunjukkan respon kelangsungan hidup tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Berdasarkan analisa statistik menggunakan analisa sidik ragam (ansira) dengan tingkat kepercayaan

95% menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva ikan cupang pada perlakuan P0 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Tingginya kelangsungan hidup larva ikan cupang pasca perendaman sangat dipengaruhi oleh cara pemeliharaan atau perawatannya. Beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu cara pemberian pakan alami yang sesuai dengan bukaan mulut larva ikan, ketersediaan pakan dalam media pemeliharaan, penyifonan secara rutin untuk menjaga kebersihan air dari sisa pakan atau feses ikan. Fariz (2014), juga menyatakan bahwa semakin baik teknik pemeliharaan maka akan semakin baik juga kelangsungan hidupnya.

Kualitas air

Kualitas air merupakan faktor penting dalam budidaya ikan. Pada penelitian ini kualitas air yang diamati adalah pH, suhu dan oksigen terlarut yang diukur pada awal dan akhir pemeliharaan. Kualitas air yang baik adalah sesuai dengan kebutuhan biologis ikan atau masih berada dalam batas toleransi untuk ikan dapat bertahan hidup (Ukhroy, 2008). Data kualitas air pada awal pemeliharaan dan akhir pemeliharaan dapat dilihat pada tabel 4.4.

(10)

106 Tabel 4. Kualitas air awal dan akhir pemeliharaan

Perlakuan

Awal pemeliharaan Akhir pemeliharaan

Suhu (oC) pH (unit) DO (mg/L) SuhPu (oC) pH (unit) DO (mg/L)

P0 26-27 5,2-5,3 3,3-3,6 26-27 5,3-5,4 3,6-4,0

P1 26-27 5,2-5,3 3,3-3,6 26-27 5,2-5,5 3,3-3,8

P2 26-27 5,3-5,4 3,2-3,5 26-27 5,2-5,3 3,2-3,6

P3 26-27 5, 3-5,5 3,4-3,5 26-27 5,4-5,7 3,2-3,4

P4 26-27 5,2-5,4 3,4-3,6 26-27 5,3-5,5 3,6-3,7

Kebutuhan ikan akan oksigen mempunyai dua aspek yaitu kebutuhan spesies tertentu bagi lingkungan dan kebutuhan komsumtif yang tergantung keadaan pada metabolisme ikan (Soelistyowati et al., 2007). Oksigen terlarut merupakan kandungan oksigen yang terlarut di dalam air. Oksigen terlarut menjadi salah satu faktor penting yang harus diperhatikan demi kelangsungan hidup ikan yang dibudidaya. Kurangnya kadar oksigen terlarut dalam air akan berpengaruh negatif bagi ikan seperti stress, hypoxia, mudah terserang penyakit dan parasit bahkan dapat menyebabkan kematian massal.

Selain penambahan madu, suhu merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan proses maskulinisasi ikan. Seperti yang dinyatakan oleh Arfah et al., (2013),

bahwa suhu yang relatif tinggi akan memempengaruhi perkembangan gonad ikan menjadi jantan. Sebaliknya jika suhu relatif rendah maka akan berpengaruh terhadap pembentukan kelamin betina pada ikan. Pada suhu yang rendah ikan akan lebih mudah terserang jamur yang dapat menyebabkan kematian pada ikan. Kenaikan suhu pada rentang 23-29 oC dapat meningkatkan populasi ikan jantan. Adapun kisaran pH pada penelitian ini adalah 5,23-5,53 dan masih dalam batas toleransi untuk ikan cupang dapat bertahan hidup.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Maskulinisasi ikan cupang (Betta

sp.) menggunakan madu alami melalui metode perendaman dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap persentase ikan cupang jantan dan persentase kelangsungan hidup selama

(11)

107 perendaman, namun tidak berpengaruh

nyata terhadap persentase kelangsungan hidup pasca perendaman. Pada penelitian ini perlakuan P2 dengan dosis madu yang digunakan 5 ml/L menghasilkan persentase ikan cupang jantan tertinggi yaitu sebesar 77,33%.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan lama perendaman dan dosis madu yang lebih optimal sehingga menghasilkan persentase ikan cupang jantan dan kelangsungan hidup selama perendaman yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Arfah H., Soelistyowati DT dan Bulkini A. 2013. Maskulinisasi ikan cupang (Betta splendens) melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng (Pimpinella alpine). J. Akuakultur Indonesia. 12(2):144-149.

Bachtiar Y. 2004. Budidaya ikan hias untuk ekspor. Agromedia Pustaka. Bogor.

Damayanti AA., Sutesna W dan Wildan. 2013. Aplikasi madu untuk pengarahan jenis kelamin pada ikan nila (Oreochromis niloticus).

Depik, 2(2): 82-66.

Djihad NA. 2015. Pengaruh Lama Perendaman Larva Ikan Cupang (Betta splendens) Pada Larutan Tepung Testis Sapi Terhadap Nisbah Kelamin. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Fariz, MZA. 2014. Pengaruh konsentrasi

tepung testis sapi terhadap maskulinisasi ikan cupang (Betta splendens). Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Haq HK. 2013. Pengaruh lama waktu

perendaman induk dalam larutan madu terhadap pengalihan kelamin anak ikan gapi (poecilia reticulata). Jurnal perikanan dan kelautan. 4(3):117-125.

Irmasari. 2012. Pengaruh ekstrak tepung testis sapi dengan konsentrasi yang berbeda terhadap maskulinisasi ikan nila merah (Oreochormis sp.). Jurnal perikanan dan kelautan. 3(4):115-121.

Kurniasih T., Arifin Z.O dan Marizal. 2006. Feminisasi nila (gift),

Oreochromis sp. menggunakan hormon estradiol-17β. Jurnal

perikanan. 8 (1):74-80.

Kusuma SAF. 2009. Pemeriksaan kualitas madu komersial. Karya ilmiah

Universitas Padjadjaran,

Jatinangor. 05 Januari.

Mutsana L. 2001. Pengaruh Pemberian Hormon Estradiol-17β Secara Oral Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Cupang (Betta splendens Regan). Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(12)

108 Perkasa BE dan H. Gunawan. 2002. Solusi

Permasalahan Cupang. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rahmadiah T. 2013. Pengaruh Ekstrak

Daun-Tangkai Buah Terong

Cempoka (Solanum torvum)

Terhadap Persentase Ikan Mas Betina (Cyprinus carpio), Skripsi (tidak dipublikasikan). Universitas Sriwijaya, Indralaya.

Sarida M., Tarsim dan Barades E. 2010. Penggunaan madu dalam produksi ikan gapi jantan (Poecilia reticulata). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. 831-836.

Soelistyowati DT., Martatih E dan Arfah H. 2007. Efektifitas penggunaan madu terhadap pengarahan kelamin ikan gapi (Poecilia reticulata). J. Akuakultur Indonesia. 6(2):155-160.

Sugandy I. 2001. Budidaya Cupang Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Ukhroy N.U. 2008. Efektifitas Penggunaan Propolis Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Guppy

(Poecilia reticulata), Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Utomo B. 2008. Efektifitas Penggunaan

Aromatase Inhibitor dan Madu Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Gapi (Poecilia reticulata), Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yustina., Arnentis dan Ariani D. 2012.

Efektivitas tepung teripang pasir (Holothuria scabra) terhadap maskulinisasi ikan cupang (Betta splendens). Jurnal Biogenesis. 9(1):37-44.

Zairin Jr.M. 2002. Sex Reversal, Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta.

Gambar

Tabel 2. Kelangsungan hidup selama  perendaman

Referensi

Dokumen terkait

Pesatnya pertambahan penduduk, meningkatnya kebutuhan lahan dan komsumsi kayu untuk pembangunan dan perumahan, persaingan global dalam industri kehutanan dan

(2014) mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan karyawan mengalami burnout , hasilnya menunjukkan bahwa keadilan organisasi, ambiguitas peran, konflik peran, dan sinisme adalah

Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya pengaruh pemberian insentif dan bonus terhadap tingkat produktivitas kerja karyawan bank BPRS Bhakti Sumekar dengan menggunakan

Analisis biaya pada usaha jamur tiram putih di P4S Nusa Indah merupakan semua masukan yang terpakai atau dikeluarkan dalam produksi usaha jamur tiram putih seperti : biaya

cukup banyak dituturkan masyarakat Pandeglang. Oleh karena itu, Naskah- naskah Maca Syekh yang tersebar di Pandeglang juga diterjemahkan dalam dua bahasa tersebut

Kejadian bahwa Monsun sangat dominan mempengaruhi pola arus permukaan juga terjadi pada tahun 1998 (Juni 1998 – Desember 1998), ini dapat dilihat pada hasil simulasi

modern Hypermart Kudus. Mengetahui strategi pemasaran makanan tanpa label halal haram di pasar. modern Hypermart