ABSTRAK
ASEP BULKINI
. Maskulinisasi ikan cupang (Betta splendens) melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina). Dibimbing olehHARTON ARFAH
danDINAR TRI SOELISTYOWATI
.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina) dalam maskulinisasi ikan cupang hias (Betta splendens). Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dosis ekstrak purwoceng yaitu 10, 20, dan 30 µL/L, serta perlakuan 0 µL/L sebagai kontrol. Perlakuan diberikan terhadap 35 embrio melalui perendaman dalam ekstrak purwoceng saat memasuki fase bintik mata atau sekitar jam ke-28 setelah terjadi pembuahan. Proses perendaman dilakukan selama 8 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis ekstrak purwoceng 20 µL/L menghasilkan persentase ikan jantan sebesar 62,66%, lebih tinggi dari pada kontrol (45,91%), dan daya tetas telur sebesar 85,71%. Pada dosis yang lebih tinggi (30 µL/L) populasi ikan jantan menurun (39,72%), demikian pula dengan daya tetas telurnya (68,57%).
Kata kunci: Makulinisasi, ekstrak purwoceng, Betta splendens, perendaman embrio.
---
ABSTRACT
ASEP BULKINI
.
Masculinization of betta fish (Betta splendens) by immersion of embryos in the extract of purwoceng (Pimpinella alpina).Supervised by
HARTON
ARFAH
andDINAR
TRI
SOELISTYOWATI
.This study aimed to know the effect of extract of P. alpina for masculinization of Betta splendens. This research used the Completely Randomized Design with 3 treatments that were distinguished by doses of extract of P. alpina, those are 10, 20, and 30 µL/L, and 0 µL/L as control. The treatments are given to 35 embryos by immersion in extract of Pimpinella alpina when eye spots phase or about 28th hour after fertilization. The immersion process was done for 8 hours. The result showed that 20 µL/L dose of P. alpina’s extract produced male fish percentage 62,66%, it’s higher than control (45,91%), and hatching rate was 85,71%. At the higher dose (30 µL/L), male fish population and hatching rate went down with each value 39,72% and 68,57%.
1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Beberapa ikan hias memiliki perbedaan harga antara jantan dan betina, umumnya ikan jantan lebih tinggi harganya dibanding ikan betina. Hal ini disebabkan beberapa keunggulan yang dimiliki oleh ikan jantan baik dari morfologi atau warna yang menjadi nilai estetikanya. Salah satu jenis ikan hias tersebut adalah ikan cupang (Betta splendens). Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi ikan jantan adalah dengan melakukan maskulinisasi untuk mengarahkan ikan menjadi berkelamin jantan, sehingga nilai profitnya menjadi lebih tinggi.
Maskulinisasi sudah banyak dilakukan pada beberapa ikan hias dengan menggunakan bahan yang berbeda-beda. Maskulinisasi dilakukan dengan pemberian hormon androgen pada fase diferensiasi gonad pada ikan. Perubahan lingkungan yang dakibatkan pemberian hormon dari luar dapat menyebabkan rangsangan pada sistem syaraf ikan dan memacu pelepasan hormon gonadotropin untuk pembentukan gonad jantan. Fujaya dalam Martati (2006) menjelaskan bahwa perubahan lingkungan tersebut diterima oleh indra yang kemudian disampaikan ke sistem syaraf pusat. Setelah itu kemudian dikirim ke hipotalamus dan memerintahkan kelenjar hiposfisa untuk mengeluarkan hormon gonadotropin. Hormon ini lah yang kemudian dibawa oleh darah menuju gonad sebagai petunjuk untuk memulai pembentukan gonad jantan (testis)
2 Ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina) telah digunakan oleh Putra (2011) dalam pengarahan kelamin ikan nila (Oreochromis niloticus). Rata-rata persentase populasi ikan jantan yang dihasilkan dari perlakuan perendaman 10, 20, dan 30 ppm ekstrak purwoceng masing-masing sebesar 66,70%, 73,33% dan 68,88%. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan rata-rata persentase populasi ikan jantannya sebesar 52,20%. Keberhasilan tersebut disebabkan adanya pengaruh bahan aktif pada purwoceng yang bersifat fitoandrogen. Bahan aktif tersebut adalah stigmasterol dengan kandungan 5,38% dari keseluruhan tanaman.
Ekstrak tanaman purwoceng yang berhasil digunakan dalam maskulinisasi ikan nila (ikan konsumsi) dimungkinkan juga dapat digunakan dalam maskulinisasi ikan hias cupang. Sehingga tanaman ini dapat menambah jenis bahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pengarahan kelamin pada ikan.
Purwoceng merupakan tanaman asli Indonesia yang sudah lama dikenal sebagai obat herbal (Lampiran 1). Tanaman ini tumbuh di pegunungan dengan ketinggian 1800-3500 m di atas permukaan laut seperti di gunung Pangrango, Papandayan, Tangkuban Perahu (Jawa Barat), dataran tinggi Dieng (Jawa Tengah), dan gunung Bromo (Jawa Timur) (Heyne 1987 dalam Achmadi 2011). Tanaman ini termasuk ke dalam famili Apiaceae (Jones 1987 dalam Achmadi 2011). Ekstrak dari tanaman ini dapat berfungsi sebagai bahan afrodisiaka yang dapat meningkatkan aktifitas seksual (Achmadi 2011).
1.2 Tujuan
3
II. BAHAN DAN METODE
2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan dua ulangan, serta satu perlakuan kontrol. Perlakuan dibedakan berdasarkan dosis ekstrak purwoceng yang diberikan melalui perendaman embrio yaitu 10, 20, dan 30 µL/L, dan kontrol tanpa perlakuan.
2.2 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini terbagi ke dalam beberapa tahapan yaitu pembuatan ekstrak purwoceng, pemijahan induk, perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng, pemeliharaan ikan uji pascaperlakuan, dan pengamatan kelamin sekunder ikan secara visual.
2.2.1 Pembuatan Ekstrak Purwoceng
Tanaman purwoceng yang digunakan berasal dari Kebun Percobaan Gunung Putri, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Ballitro) Cianjur, Jawa Barat. Tanaman yang didapatkan sudah dalam keadaan kering. Purwoceng yang sudah kering tersebut kemudian ditumbuk sampai menjadi bubuk. Purwoceng yang telah bubuk direndam dalam pelarut metanol 70% dengan perbandingan 1:2. Campuran tersebut kemudian diaduk selama 3 jam dan didiamkan (maserasi) selama 24 jam. Selanjutnya campuran tersebut disaring untuk mendapatkan ekstrak yang akan digunakan (Putra 2011).
2.2.2 Pemijahan Induk
4 umurnya, cupang yang siap melakukan pemijahan adalah cupang yang sudah berumur lebih dari 5 bulan (Daelami 2001).
Pemijahan dilakukan dengan metode pemijahan alami, yaitu dengan memisahkan induk betina dan jantan terlebih dulu dalam satu akuarium. Induk jantan disimpan di akuarium dan induk betina dipisahkan dengan menggunakan wadah transparan dalam akuarium yang sama dengan induk jantan. Pemisahan induk dilakukan sampai induk jantan membuat busa-busa di permukaan air sebagai tanda siap memijah. Setelah induk jantan membuat busa-busa, induk betina kemudian disatukan dengan induk jantan dalam satu akuarium. Pemijahan terjadi saat induk jantan melingkarkan tubuhnya membentuk huruf U melilit induk betinanya.
Setelah proses pemijahan selesai, induk jantan dan betina dipindahkan ke dalam wadah yang berbeda. Telur yang dibuahi kemudian diangkat dan dipindahkan dalam toples kapasitas 1,5 liter untuk persiapan perlakuan.
2.2.3 Perendaman Embrio dalam Ekstrak Purwoceng
Perendaman dilakukan pada embrio saat fase bintik mata atau sekitar jam ke-28 setelah pemijahan berlangsung (Zairin 2002). Embrio direndam dalam larutan ekstrak purwoceng masing-masing dengan dosis 0, 10, 20, dan 30 µL/L selama 8 jam dalam toples yang berisi air sebanyak 1 liter. Jumlah embrio yang digunakan pada setiap perlakuan adalah 35 embrio. Ekstrak purwoceng yang akan dilarutkan terlebih dulu ditambah etanol 95% sebanyak 0,5 ml per dosis (Putra 2011) agar mudah larut dalam air. Pascaperlakuan, embrio dipindahkan ke dalam wadah pemeliharaan.
2.2.4 Pemeliharaan dan Pengamatan Ikan Uji
Embrio dipelihara dalam toples bervolume 1,5 liter dan diisi air 1 liter untuk pemeliharaan sampai menetas. Setelah menetas, pemeliharaan masih dilakukan di dalam toples 1,5 liter sampai larva berumur 1,5 bulan. Selanjutnya larva dipindahkan ke dalam akuarium berukuran 40 x 40 x 40 cm3. Selama pemeliharaan dalam toples dilakukan pergantian air 5-7 hari sekali.
5 salah satu bak di Kolam Percobaan Babakan. Pemberian air hijau dilakukan sampai hari keenam. Pakan yang diberikan pada hari ketujuh sampai hari ke-13 adalah pakan alami Artemia. Setelah itu diberikan pakan campuran pada hari diberikan pakan campuran Artemia dan Daphnia sampai hari ke-17. Selanjutnya pakan dapnia diberikan sampai akhir pemeliharaan yaitu pada hari ke-87. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari.
Pemeliharaan ikan uji dilakukan selama 87 hari sampai terlihat perbedaan fenotip kelamin sekunder ikan jantan dan betina. Ikan cupang jantan dapat dilihat dari warnanya yang cerah dan menarik, bagian perut ramping, serta sirip anal, punggung dan ekor yang memanjang. Sedangkan ikan cupang betina dapat dilihat dari warna yang pucat dan kurang menarik, perut gemuk, serta sirip anal, punggung dan ekor yang tidak melebar (Zairin 2002).
2.3 Parameter yang Diamati 2.3.1 Derajat Penetasan Telur
Derajat penetasan telur merupakan persentase dari perbandingan jumlah embrio yang menetas dengan jumlah embrio awal yang direndam. Derajat penetasan telur dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
2.3.2 Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup merupakan jumlah larva awal yang dihasilkan dari embrio yang menetas dan jumlah ikan akhir pemeliharaan.
2.3.3 Persentase Ikan Jantan
6 2.3.4 Bobot Rata-rata Akhir Ikan Uji
Pengukuran bobot rata-rata akhir ikan dilakukan dengan menimbang semua ikan pada akhir perlakuan dengan menggunakan timbangan digital.
2.3.5 Pengukuran Suhu Media
Kualitas air yang berhubungan dengan pengarahan kelamin adalah suhu. Pengukuran dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari dengan menggunakan termometer.
2.4 Analisis Data
7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Derajat Penetasan Telur
Hasil perhitungan derajat penetasan telur berkisar antara 68,67-98,57% (Gambar 1 dan Lampiran 2).
Gambar 1 Derajat penetasan telur ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak purwoceng melalui perendaman embrio
Berdasarkan Gambar 1 di atas ditunjukkan bahwa perlakuan kontrol (0 µL/L) memiliki nilai derajat penetasan telur terbesar dari semua perlakuan dengan nilai rata-rata 98,57% dan perlakuan dosis 30 µL/L memiliki nilai terkecil dari semua perlakuan dengan nilai rata-rata 68,57%. Sedangkan perlakuan dosis 10 dan 20 µL/L masing-masing sebesar 88.57% dan 85.71%.
3.1.2 Kelangsungan Hidup
Nilai rata-rata jumlah larva awal yang dihasilkan berkisar 24-34 ekor dan rata-rata jumlah ikan akhir berkisar 15-21 ekor (Gambar 2 dan Lampiran 2)
8 Berdasarkan Gambar 2 di atas ditunjukkan bahwa jumlah larva awal terbanyak ada pada perlakuan kontrol sebanyak 34 ekor. Sedangkan jumlah larva awal paling sedikit ada pada perlakuan 30 µL/L sebanyak 24 ekor. Sedangkan jumlah pada perlakuan 10 dan 20 µL/L masing-masing sebanyak 31 dan 30 ekor. Dari populasi larva awal yang berbeda tersebut didapatkan jumlah akhir ikan cupang terbanyak pada perlakuan 20 µL/L sebanyak 21 ekor dan jumlah akhir ikan cupang paling sedikit pada perlakuan 10 µL/L sebanyak 15 ekor. Sedangkan jumlah akhir ikan cupang pada perlakuan kontrol dan 30 µL/L masing-masing sebesar 18 dan 19 ekor.
3.1.3. Persentase Ikan Jantan
Nilai rata-rata persentase populasi ikan jantan berkisar 39,72-62,68 % (Gambar 3 dan Lampiran 2).
Gambar 3 Persentase ikan jantan pada maskulinisasi dengan ekstrak purwoceng melalui perendaman embrio
Berdasarkan Gambar 3 di atas ditunjukkan bahwa persentase populasi ikan jantan tertinggi terdapat pada perlakuan 10 dan 20 µL/L dengan nilai rata-rata masing-masing sebesar 62,68% dan 62,66%. Sedangkan persentase ikan jantan terendah justru ada pada perlakuan dosis tertinggi 30 µL/L dengan nilai rata-rata sebesar 39,72%. Perlakuan kontrol memiliki nilai rata-rata persentase ikan jantan sebesar 45,91%.
3.1.4 Bobot Rata-rata Akhir Ikan Uji
9 Gambar 4 Bobot rata-rata akhir ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak
purwoceng melalui perendaman embrio
Berdasarkan Gambar 4 diatas dapat dilihat bahwa bobot rata-rata akhir semua perlakuan memiliki nilai yang hampir seragam. Bobot rata-rata pada perlakuan 10 µL/L yaitu sebesar 0,07 gram, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 20, 30, dan 0 µL/L yaitu sebesar 0,06 gram (Lampiran 3).
3.2 Pembahasan
Persentase populasi ikan jantan tertinggi terdapat pada perlakuan 10 µL/L dan 20 µL/L (62,68% dan 62,66%). Nilai persentase populasi ikan jantan pada perlakuan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol dengan persentase populasi jantannya sebesar 45,91%. Kenaikan persentase ikan jantan pada perlakuan 10 dan 20 µL/L diduga dipengaruhi oleh bahan aktif yang terdapat dalam ekstrak purwoceng. Putra (2011) menyatakan bahwa dalam tanaman purwoceng terdapat senyawa fitoandrogen berupa stigmasterol sebanyak 5,38%. Gunawan (2002) menyatakan bahwa senyawa tersebut merupakan bahan baku untuk pembuatan hormon steroid.
10 66,70%, 73,33% dan 68,88%. Persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan nilai rata-rata sebesar 52,20%.
Persentase tertinggi populasi ikan cupang jantan yang telah dilakukan perendaman embrio dengan ekstrak purwoceng menunjukkan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian serupa menggunakan aromatase inhibitor. Wulansari (2002) menyatakan bahwa embrio cupang yang direndam selama 10 jam menggunakan aromatase inhibitor pada dosis 10, 20, dan 30 mg/liter menghasilkan persentase populasi ikan jantan masing-masing sebesar 25,33%, 32,63%, dan 36,89% dengan populasi ikan jantan pada perlakuan kontrol sebesar 22,22%.
Dosis perendaman 10 dan 20 µL/L ekstrak purwoceng pada ikan cupang dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan dosis yang lebih tinggi. Pada dosis 30 µL/L, persentase ikan jantan merupakan persentase terendah dari semua perlakuan termasuk kontrol dengan rata-rata 39,72%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis perendaman dalam kegiatan maskulinisasi ikan tidak selalu diikuti dengan peningkatan persentase populasi jantannya. Hal serupa juga terjadi pada ikan lele Amerika (Ictalurus punctatus) yang diberikan 17α-metiltestosteron untuk menghasilkan populasi jantan yang lebih banyak dibandingkan dengan betinanya. Akan tetapi hasil yang didapatkan dari pemberian hormon 17α-metiltestosteron ini adalah populasi ikan dengan 100% betina. Hal tersebut diduga juga disebabkan oleh dosis yang berlebih (Zairin 2002). Selain itu, diduga juga pada ikan lele Amerika memiliki suatu zat yang menyerupai enzim aromatase sehingga 17α -metiltestosteron yang masuk ke dalam tubuh ikan dikonversi terlebih dahulu menjadi estradiol-17ß dan berfungsi sebagai hormon tersebut. Seperti pada ikan lele Amerika, diduga pada ikan cupang juga memiliki enzim aromatase. Aromatase tersebut dapat mengkatalis androgen menjadi estrogen (Callard et al. 1990 dalam Wulansari 2002), sehingga produksi estrogen yang berlebih tersebut akan merangsang ikan pada pembentukan gonad betina.
11 ini perkembangan otak masih labil sehingga mudah untuk diarahkan (Martati 2006). Selain itu, pada fase bintik mata embrio dianggap telah kuat untuk menerima perlakuan (Zairin 2002), sehingga dapat mengurangi resiko gagal menetas.
Tave (1992) menjelaskan bahwa pada banyak ikan, fertilisasi terjadi secara eksternal. Sehingga diferensiasi jaringan atau organ termasuk gonad berlangsung di dalam air. Dalam proses perkembangannya pun mudah sekali terpengaruh oleh keadaan lingkungan. Proses diferensiasi kelamin pada ikan teleostei juga dinilai sangat labil (Francis 1992 dalam Pandian & Sheela 1995). Meskipun secara genotip jenis kelamin ikan sudah terbentuk saat terjadi proses fertilisasi, akan tetapi fenotipnya terbentuk seiring dengan proses perkembangan gonad (Tave 1992). Dengan demikian pengarahan kelamin ikan dapat dilakukan dengan pemberian hormon steroid pada fase tersebut. Prinsip inilah yang mendasari kegiatan maskulinisasi ikan cupang ini dan pada kegiatan pengarahan kelamin umumnya. Karena prosesnya yang labil dan bisa dipengaruhi oleh lingkungan, maka intervensi lingkungan memungkinkan untuk mendapatkan kelamin ikan yang diinginkan. Salah satunya dengan memberikan hormon steroid.
Peningkatan persentase populasi ikan jantan pada perendaman dengan dosis 10 dan 20 µL/L diduga karena bahan aktif dari purwoceng yang mempengaruhi proses diferensiasi gonad. Perubahan lingkungan yang diakibatkan perendaman ekstrak purwoceng menyebabkan rangsangan pada sistem syaraf ikan dan memacu pelepasan hormon gonadotropin untuk pembentukan gonad jantan. Fujaya dalam Martati (2006) menjelaskan bahwa perubahan lingkungan tersebut diterima oleh indra yang kemudian disampaikan ke sistem syaraf pusat. Setelah itu kemudian dikirim ke hipotalamus dan memerintahkan kelenjar hiposfisa untuk mengeluarkan hormon gonadotropin. Hormon inilah yang kemudian dibawa oleh darah menuju gonad sebagai petunjuk untuk memulai pembentukan gonad jantan (testis).
masing-12 masing sebesar 33%, 59,7%, 70,7%, dan 50,3% (Alfian 2003). Perendaman ikan gapi dengan menggunakan madu pada dosis 0, 20, 40, 60 mL/L memberikan perbedaan persentase populasi ikan jantan masing-masing sebesar 24,3%, 44,9%, 52,5%, dan 59,5% (Soelistyowati et al. 2007). Penggunaan T. terrestis dalam perendaman ikan gapi dengan dosis 0, 0,05, 0,1 dan 0,15 g/liter memberikan perbedaan persentase populasi ikan jantan masing-masing sebesar 36%, 53%, 52%, dan 72% (Cek et al. 2007). Serta penggunaan ekstrak testis sapi dalam perendaman larva nila pada dosis 1, 3, dan 5 mL/L memberikan persentase populasi ikan jantan yang berbeda masing-masing sebesar 68,9%, 75,6%, dan 85,6% (Iskandar 2010). Perbedaan peningkatan jumlah populasi ikan jantan pada setiap bahan yang digunakan disebabkan oleh jenis dan jumlah kandungan bahan aktif yang berbeda pada setiap bahannya, metode maskulinisasi yang digunakan, dan jenis ikan ujinya sendiri.
Keberhasilan terbaik kegiatan maskulinisasi pada ikan cupang adalah dengan perendaman hormon sintetik 17α-metiltestosteron pada dosis 20 mg/L. Pada perlakuan tersebut didapat persentase ikan jantan jantan sebesar 95,90% (Kholidin dalam Zairin 2002). Namun, penggunaan 17α-metiltestosteron saat ini sudah dilarang karena bahan tersebut bersifat karsinogenik bagi manusia dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan karena sulit terdegradasi secara alami (Contreras-Sancez et al. 2001 dalam Ariyanto et al. 2010). Sehingga penggunaan ekstrak purwoceng bisa dijadikan salah satu alternatif untuk kegiatan maskulinisasi ikan cupang meskipun hasil akhirnya belum sebaik penggunaan 17α-metiltestosteron.
13 Penggunaan ekstrak purwoceng pada maskulinisasi ikan cupang dinilai tidak memberikan efek negatif pada dosis yang tepat. Hal ini terlihat pada nilai derajat penetasan pada Gambar 1 yang menunjukkan nilai yang relatif tinggi. Perlakuan kontrol, 10, dan 20 µL/L menunjukkan nilai rata-rata derajat penetasan masing-masing sebesar 98,57%, 88,57%, dan 85,71%. Sedangkan nilai derajat penetasan pada perlakuan 30 µL/L terlihat lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga pada dosis yang berlebih, ekstrak purwoceng dapat memberikan efek negatif yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai derajat penetasan ikan cupang.
Penelitian ini dilakukan di laboratorium. Meskipun demikian, pada setiap perlakuan tidak diberikan kontrol lingkungan tambahan seperti penggunaan aerasi untuk menjaga kestabilan kelarutan oksigen dan penggunaan termostat untuk menjaga kestabilan suhu. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir kemungkinan faktor lain yang dapat mempengaruhi perubahan kelamin, terutama parameter suhu. Devlin & Nagahama (2002) menyatakan bahwa pada banyak ikan, tinggi rendahnya suhu dapat mempengaruhi pembentukan gonad menjadi jantan atau betina. Suhu yang tinggi cenderung mengarahkan ikan pada pembentukan gonad jantan (testis). Sebaliknya, suhu yang rendah cenderung mengarahkan ikan pada pada pembentukan gonad betina (ovari). Kenaikan suhu pada rentang 23-29 oC dalam sebagian banyak ikan dapat meningkatkan presentasi populasi ikan jantan dalam satu keturunan. Kestabilan suhu pada derajat yang tinggi 35 oC memberikan efek yang sangat kuat pada proses maskulinisasi ikan (Baras et al. 2000).
14 organ labirin mulai terbentuk dan sangat sensitif. Bahkan pada beberapa ikan organ tersebut tidak terbentuk sempurna. Hal itu dapat menyebabkan kematian pada ikan.
15
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Penggunaan ekstrak purwoceng dalam maskulinisasi ikan cupang hias halfmoon pada dosis 20 µL/L dapat meningkatkan persentase populasi ikan cupang jantan hingga 62,66% dibandingkan dengan perlakuan kontrol yaitu 45,91%. Pada dosis yang lebih tinggi persentase populasi ikan jantan cenderung menurun.
4.2 Saran
MASKULINISASI IKAN CUPANG (
Betta splendens
)
MELALUI PERENDAMAN EMBRIO
DALAM EKSTRAK PURWOCENG (
Pimpinella alpina
)
ASEP BULKINI
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
MASKULINISASI IKAN CUPANG (
Betta splendens
)
MELALUI PERENDAMAN EMBRIO
DALAM EKSTRAK PURWOCENG (
Pimpinella alpina
)
ASEP BULKINI
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
MASKULINISASI IKAN CUPANG (
Betta splendens
) MELALUI
PERENDAMAN EMBRIO DALAM EKSTRAK PURWOCENG
(
Pimpinella alpina
)
adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2012
Judul Skripsi : Maskulinisasi Ikan Cupang (Betta splendens) Melalui Perendaman Embrio dalam Ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpina)
Nama Mahasiswa : Asep Bulkini Nomor Pokok : C14080058
Disetujui,
Pembimbing I
Ir. Harton Arfah, M.Si. NIP. 19661111 199103 1 003
Pembimbing II
Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA NIP. 19611016 198403 2 001
Diketahui
Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. NIP. 19671013 199302 1 001
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Oktober 2012 di Laboratorium dan Kolam Percobaan Babakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menghaturkan penghargaan dan terima kasih kepada:
1. Orang tua tercinta, Ayahanda Saep (Alm.) dan Ibunda Imas, Kakak dan adik-adik tercinta, serta keluarga besar atas doa, kasih sayang, dan dukungannya 2. Ir. Harton Arfah, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I dan Dr. Ir. Dinar Tri
Soelistyowati, DEA selaku Dosen Pembimbing II atas bimbingan, doa, dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. 3. Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si. selaku Komisi Pendidikan S1 BDP dan Dr. Dedi
Jusadi selaku Dosen Penguji dalam Ujian Akhir Skripsi.
4. Dr. Dinamella Wahjuningrum selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala bimbingan akademik selama di BDP.
5. Keluarga besar BDP (dosen, pegawai TU, laboran dan teknisi) atas segala ilmu, bimbingan, bantuan, dan kebersamaan selama di BDP.
6. Melati, Fikri, Mayyanti, Wahyu, Titi, Pika, Erriza, Jihan, Jeanni, Retno atas segala bantuan dan semangat selama penulis menyelesaikan penelitian dan penyusunan tugas akhir.
7. Keluarga besar Pondok Sabar (Ojan, Dendi, Taqqin, Burhan, Aqil, Daus) dan tamu-tamu setianya atas kebersamaannya.
8. Keluarga besar BDP PATMO (45) atas kebersamaan dan kekeluargaan selama melaksanakan studi di BDP.
9. Pihak penyelenggara Beasiswa BUMN dan Beasiswa PPA/BBM atas bantuan materi selama menjadi mahasiswa IPB.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Bogor, Desember 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 21 Desember 1989 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari bapak bernama Saep (Alm.) dan ibu bernama Imas.
Pendidikan formal penulis ditempuh di MI Rancapaku, Padakembang, Tasikmalaya (1996-2002), MTs Al-Barokah Sindangsari, Padakembang, Tasikmalaya (2002-2005), dan SMA Islam Cipasung, Tasikmalaya (2005-2008). Tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan tingkat sarjana di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi pengurus di Badan Ekskutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan sebagai Staff PSDM (2009-2010) dan sebagai Wakil Ketua BEM (2010-2011), asisten mata kuliah Dasar-dasar Akuakultur (2010/2011 dan 2011/2012), Teknologi Produksi Plankton, Bentos, dan Alga (2011/2012), Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik (2012), dan Industri Perbenihan Organisme Akuatik (2012). Selama kuliah penulis mendapatkan beasiswa dari program Beasiswa PPA/BBM dan Beasiswa BUMN.
Penulis pernah melaksanakan magang Budidaya Ikan Hias dan Carp pada tahun 2009 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sukabumi, dan praktik kerja lapang pada tahun 2011 di Ben’s Fish Farm Bogor, Jawa Barat dengan judul “Pembenihan Ikan Bawal Air Tawar Colossoma macropomum di Ben’s Fish Farm Bogor”.
ABSTRAK
ASEP BULKINI
. Maskulinisasi ikan cupang (Betta splendens) melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina). Dibimbing olehHARTON ARFAH
danDINAR TRI SOELISTYOWATI
.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina) dalam maskulinisasi ikan cupang hias (Betta splendens). Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dosis ekstrak purwoceng yaitu 10, 20, dan 30 µL/L, serta perlakuan 0 µL/L sebagai kontrol. Perlakuan diberikan terhadap 35 embrio melalui perendaman dalam ekstrak purwoceng saat memasuki fase bintik mata atau sekitar jam ke-28 setelah terjadi pembuahan. Proses perendaman dilakukan selama 8 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis ekstrak purwoceng 20 µL/L menghasilkan persentase ikan jantan sebesar 62,66%, lebih tinggi dari pada kontrol (45,91%), dan daya tetas telur sebesar 85,71%. Pada dosis yang lebih tinggi (30 µL/L) populasi ikan jantan menurun (39,72%), demikian pula dengan daya tetas telurnya (68,57%).
Kata kunci: Makulinisasi, ekstrak purwoceng, Betta splendens, perendaman embrio.
---
ABSTRACT
ASEP BULKINI
.
Masculinization of betta fish (Betta splendens) by immersion of embryos in the extract of purwoceng (Pimpinella alpina).Supervised by
HARTON
ARFAH
andDINAR
TRI
SOELISTYOWATI
.This study aimed to know the effect of extract of P. alpina for masculinization of Betta splendens. This research used the Completely Randomized Design with 3 treatments that were distinguished by doses of extract of P. alpina, those are 10, 20, and 30 µL/L, and 0 µL/L as control. The treatments are given to 35 embryos by immersion in extract of Pimpinella alpina when eye spots phase or about 28th hour after fertilization. The immersion process was done for 8 hours. The result showed that 20 µL/L dose of P. alpina’s extract produced male fish percentage 62,66%, it’s higher than control (45,91%), and hatching rate was 85,71%. At the higher dose (30 µL/L), male fish population and hatching rate went down with each value 39,72% and 68,57%.
viii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 II. BAHAN DAN METODE ... 3 2.1 Rancangan Penelitian ... 3 2.2 Prosedur Penelitian ... 3 2.2.1 Pembuatan Ekstrak Purwoceng ... 3 2.2.2 Pemijahan Induk ... 3 2.2.3 Perendaman Embrio dalam Ekstrak Purwoceng ... 4 2.2.4 Pemeliharaan dan Pengamatan Ikan Uji ... 4 2.3 Parameter yang Diamati ... 5 2.3.1 Derajat Penetesan Telur ... 5 2.3.2 Kelangsungan Hidup ... 5 2.3.3 Persentase Ikan Jantan ... 5 2.3.4 Bobot Rata-rata Akhir Ikan Uji ... 6 2.3.5 Pengukuran Suhu Media ... 6 2.4 Analisis Data ... 6 III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7 3.1 Hasil ... 7 3.1.1 Derajat Penetasan Telur ... 7 3.1.2 Kelangsungan Hidup ... 7 3.1.3 Persentase Ikan Jantan ... 8 3.1.4 Bobot Rata-rata Akhir Ikan Uji ... 8 3.2 Pembahasan ... 9 IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 15
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Derajat penetasan telur ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak
purwoceng melalui perendaman embrio ... 7 2 Kelangsungan hidup ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak
purwoceng melalui perendaman embrio ... 7 3 Persentase ikan jantan pada maskulinisasi dengan ekstrak purwoceng
melalui perendaman embrio ... 8 4 Bobot rata-rata akhir ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak
x
DAFTAR LAMPIRAN
1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Beberapa ikan hias memiliki perbedaan harga antara jantan dan betina, umumnya ikan jantan lebih tinggi harganya dibanding ikan betina. Hal ini disebabkan beberapa keunggulan yang dimiliki oleh ikan jantan baik dari morfologi atau warna yang menjadi nilai estetikanya. Salah satu jenis ikan hias tersebut adalah ikan cupang (Betta splendens). Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi ikan jantan adalah dengan melakukan maskulinisasi untuk mengarahkan ikan menjadi berkelamin jantan, sehingga nilai profitnya menjadi lebih tinggi.
Maskulinisasi sudah banyak dilakukan pada beberapa ikan hias dengan menggunakan bahan yang berbeda-beda. Maskulinisasi dilakukan dengan pemberian hormon androgen pada fase diferensiasi gonad pada ikan. Perubahan lingkungan yang dakibatkan pemberian hormon dari luar dapat menyebabkan rangsangan pada sistem syaraf ikan dan memacu pelepasan hormon gonadotropin untuk pembentukan gonad jantan. Fujaya dalam Martati (2006) menjelaskan bahwa perubahan lingkungan tersebut diterima oleh indra yang kemudian disampaikan ke sistem syaraf pusat. Setelah itu kemudian dikirim ke hipotalamus dan memerintahkan kelenjar hiposfisa untuk mengeluarkan hormon gonadotropin. Hormon ini lah yang kemudian dibawa oleh darah menuju gonad sebagai petunjuk untuk memulai pembentukan gonad jantan (testis)
2 Ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina) telah digunakan oleh Putra (2011) dalam pengarahan kelamin ikan nila (Oreochromis niloticus). Rata-rata persentase populasi ikan jantan yang dihasilkan dari perlakuan perendaman 10, 20, dan 30 ppm ekstrak purwoceng masing-masing sebesar 66,70%, 73,33% dan 68,88%. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan rata-rata persentase populasi ikan jantannya sebesar 52,20%. Keberhasilan tersebut disebabkan adanya pengaruh bahan aktif pada purwoceng yang bersifat fitoandrogen. Bahan aktif tersebut adalah stigmasterol dengan kandungan 5,38% dari keseluruhan tanaman.
Ekstrak tanaman purwoceng yang berhasil digunakan dalam maskulinisasi ikan nila (ikan konsumsi) dimungkinkan juga dapat digunakan dalam maskulinisasi ikan hias cupang. Sehingga tanaman ini dapat menambah jenis bahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pengarahan kelamin pada ikan.
Purwoceng merupakan tanaman asli Indonesia yang sudah lama dikenal sebagai obat herbal (Lampiran 1). Tanaman ini tumbuh di pegunungan dengan ketinggian 1800-3500 m di atas permukaan laut seperti di gunung Pangrango, Papandayan, Tangkuban Perahu (Jawa Barat), dataran tinggi Dieng (Jawa Tengah), dan gunung Bromo (Jawa Timur) (Heyne 1987 dalam Achmadi 2011). Tanaman ini termasuk ke dalam famili Apiaceae (Jones 1987 dalam Achmadi 2011). Ekstrak dari tanaman ini dapat berfungsi sebagai bahan afrodisiaka yang dapat meningkatkan aktifitas seksual (Achmadi 2011).
1.2 Tujuan
3
II. BAHAN DAN METODE
2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan dua ulangan, serta satu perlakuan kontrol. Perlakuan dibedakan berdasarkan dosis ekstrak purwoceng yang diberikan melalui perendaman embrio yaitu 10, 20, dan 30 µL/L, dan kontrol tanpa perlakuan.
2.2 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini terbagi ke dalam beberapa tahapan yaitu pembuatan ekstrak purwoceng, pemijahan induk, perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng, pemeliharaan ikan uji pascaperlakuan, dan pengamatan kelamin sekunder ikan secara visual.
2.2.1 Pembuatan Ekstrak Purwoceng
Tanaman purwoceng yang digunakan berasal dari Kebun Percobaan Gunung Putri, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Ballitro) Cianjur, Jawa Barat. Tanaman yang didapatkan sudah dalam keadaan kering. Purwoceng yang sudah kering tersebut kemudian ditumbuk sampai menjadi bubuk. Purwoceng yang telah bubuk direndam dalam pelarut metanol 70% dengan perbandingan 1:2. Campuran tersebut kemudian diaduk selama 3 jam dan didiamkan (maserasi) selama 24 jam. Selanjutnya campuran tersebut disaring untuk mendapatkan ekstrak yang akan digunakan (Putra 2011).
2.2.2 Pemijahan Induk
4 umurnya, cupang yang siap melakukan pemijahan adalah cupang yang sudah berumur lebih dari 5 bulan (Daelami 2001).
Pemijahan dilakukan dengan metode pemijahan alami, yaitu dengan memisahkan induk betina dan jantan terlebih dulu dalam satu akuarium. Induk jantan disimpan di akuarium dan induk betina dipisahkan dengan menggunakan wadah transparan dalam akuarium yang sama dengan induk jantan. Pemisahan induk dilakukan sampai induk jantan membuat busa-busa di permukaan air sebagai tanda siap memijah. Setelah induk jantan membuat busa-busa, induk betina kemudian disatukan dengan induk jantan dalam satu akuarium. Pemijahan terjadi saat induk jantan melingkarkan tubuhnya membentuk huruf U melilit induk betinanya.
Setelah proses pemijahan selesai, induk jantan dan betina dipindahkan ke dalam wadah yang berbeda. Telur yang dibuahi kemudian diangkat dan dipindahkan dalam toples kapasitas 1,5 liter untuk persiapan perlakuan.
2.2.3 Perendaman Embrio dalam Ekstrak Purwoceng
Perendaman dilakukan pada embrio saat fase bintik mata atau sekitar jam ke-28 setelah pemijahan berlangsung (Zairin 2002). Embrio direndam dalam larutan ekstrak purwoceng masing-masing dengan dosis 0, 10, 20, dan 30 µL/L selama 8 jam dalam toples yang berisi air sebanyak 1 liter. Jumlah embrio yang digunakan pada setiap perlakuan adalah 35 embrio. Ekstrak purwoceng yang akan dilarutkan terlebih dulu ditambah etanol 95% sebanyak 0,5 ml per dosis (Putra 2011) agar mudah larut dalam air. Pascaperlakuan, embrio dipindahkan ke dalam wadah pemeliharaan.
2.2.4 Pemeliharaan dan Pengamatan Ikan Uji
Embrio dipelihara dalam toples bervolume 1,5 liter dan diisi air 1 liter untuk pemeliharaan sampai menetas. Setelah menetas, pemeliharaan masih dilakukan di dalam toples 1,5 liter sampai larva berumur 1,5 bulan. Selanjutnya larva dipindahkan ke dalam akuarium berukuran 40 x 40 x 40 cm3. Selama pemeliharaan dalam toples dilakukan pergantian air 5-7 hari sekali.
5 salah satu bak di Kolam Percobaan Babakan. Pemberian air hijau dilakukan sampai hari keenam. Pakan yang diberikan pada hari ketujuh sampai hari ke-13 adalah pakan alami Artemia. Setelah itu diberikan pakan campuran pada hari diberikan pakan campuran Artemia dan Daphnia sampai hari ke-17. Selanjutnya pakan dapnia diberikan sampai akhir pemeliharaan yaitu pada hari ke-87. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari.
Pemeliharaan ikan uji dilakukan selama 87 hari sampai terlihat perbedaan fenotip kelamin sekunder ikan jantan dan betina. Ikan cupang jantan dapat dilihat dari warnanya yang cerah dan menarik, bagian perut ramping, serta sirip anal, punggung dan ekor yang memanjang. Sedangkan ikan cupang betina dapat dilihat dari warna yang pucat dan kurang menarik, perut gemuk, serta sirip anal, punggung dan ekor yang tidak melebar (Zairin 2002).
2.3 Parameter yang Diamati 2.3.1 Derajat Penetasan Telur
Derajat penetasan telur merupakan persentase dari perbandingan jumlah embrio yang menetas dengan jumlah embrio awal yang direndam. Derajat penetasan telur dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
2.3.2 Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup merupakan jumlah larva awal yang dihasilkan dari embrio yang menetas dan jumlah ikan akhir pemeliharaan.
2.3.3 Persentase Ikan Jantan
6 2.3.4 Bobot Rata-rata Akhir Ikan Uji
Pengukuran bobot rata-rata akhir ikan dilakukan dengan menimbang semua ikan pada akhir perlakuan dengan menggunakan timbangan digital.
2.3.5 Pengukuran Suhu Media
Kualitas air yang berhubungan dengan pengarahan kelamin adalah suhu. Pengukuran dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari dengan menggunakan termometer.
2.4 Analisis Data
7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Derajat Penetasan Telur
[image:33.612.186.436.209.335.2]Hasil perhitungan derajat penetasan telur berkisar antara 68,67-98,57% (Gambar 1 dan Lampiran 2).
Gambar 1 Derajat penetasan telur ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak purwoceng melalui perendaman embrio
Berdasarkan Gambar 1 di atas ditunjukkan bahwa perlakuan kontrol (0 µL/L) memiliki nilai derajat penetasan telur terbesar dari semua perlakuan dengan nilai rata-rata 98,57% dan perlakuan dosis 30 µL/L memiliki nilai terkecil dari semua perlakuan dengan nilai rata-rata 68,57%. Sedangkan perlakuan dosis 10 dan 20 µL/L masing-masing sebesar 88.57% dan 85.71%.
3.1.2 Kelangsungan Hidup
Nilai rata-rata jumlah larva awal yang dihasilkan berkisar 24-34 ekor dan rata-rata jumlah ikan akhir berkisar 15-21 ekor (Gambar 2 dan Lampiran 2)
[image:33.612.171.456.541.680.2]8 Berdasarkan Gambar 2 di atas ditunjukkan bahwa jumlah larva awal terbanyak ada pada perlakuan kontrol sebanyak 34 ekor. Sedangkan jumlah larva awal paling sedikit ada pada perlakuan 30 µL/L sebanyak 24 ekor. Sedangkan jumlah pada perlakuan 10 dan 20 µL/L masing-masing sebanyak 31 dan 30 ekor. Dari populasi larva awal yang berbeda tersebut didapatkan jumlah akhir ikan cupang terbanyak pada perlakuan 20 µL/L sebanyak 21 ekor dan jumlah akhir ikan cupang paling sedikit pada perlakuan 10 µL/L sebanyak 15 ekor. Sedangkan jumlah akhir ikan cupang pada perlakuan kontrol dan 30 µL/L masing-masing sebesar 18 dan 19 ekor.
3.1.3. Persentase Ikan Jantan
Nilai rata-rata persentase populasi ikan jantan berkisar 39,72-62,68 % (Gambar 3 dan Lampiran 2).
Gambar 3 Persentase ikan jantan pada maskulinisasi dengan ekstrak purwoceng melalui perendaman embrio
Berdasarkan Gambar 3 di atas ditunjukkan bahwa persentase populasi ikan jantan tertinggi terdapat pada perlakuan 10 dan 20 µL/L dengan nilai rata-rata masing-masing sebesar 62,68% dan 62,66%. Sedangkan persentase ikan jantan terendah justru ada pada perlakuan dosis tertinggi 30 µL/L dengan nilai rata-rata sebesar 39,72%. Perlakuan kontrol memiliki nilai rata-rata persentase ikan jantan sebesar 45,91%.
3.1.4 Bobot Rata-rata Akhir Ikan Uji
[image:34.612.174.438.324.480.2]9 Gambar 4 Bobot rata-rata akhir ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak
purwoceng melalui perendaman embrio
Berdasarkan Gambar 4 diatas dapat dilihat bahwa bobot rata-rata akhir semua perlakuan memiliki nilai yang hampir seragam. Bobot rata-rata pada perlakuan 10 µL/L yaitu sebesar 0,07 gram, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 20, 30, dan 0 µL/L yaitu sebesar 0,06 gram (Lampiran 3).
3.2 Pembahasan
Persentase populasi ikan jantan tertinggi terdapat pada perlakuan 10 µL/L dan 20 µL/L (62,68% dan 62,66%). Nilai persentase populasi ikan jantan pada perlakuan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol dengan persentase populasi jantannya sebesar 45,91%. Kenaikan persentase ikan jantan pada perlakuan 10 dan 20 µL/L diduga dipengaruhi oleh bahan aktif yang terdapat dalam ekstrak purwoceng. Putra (2011) menyatakan bahwa dalam tanaman purwoceng terdapat senyawa fitoandrogen berupa stigmasterol sebanyak 5,38%. Gunawan (2002) menyatakan bahwa senyawa tersebut merupakan bahan baku untuk pembuatan hormon steroid.
[image:35.612.177.449.87.236.2]10 66,70%, 73,33% dan 68,88%. Persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan nilai rata-rata sebesar 52,20%.
Persentase tertinggi populasi ikan cupang jantan yang telah dilakukan perendaman embrio dengan ekstrak purwoceng menunjukkan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian serupa menggunakan aromatase inhibitor. Wulansari (2002) menyatakan bahwa embrio cupang yang direndam selama 10 jam menggunakan aromatase inhibitor pada dosis 10, 20, dan 30 mg/liter menghasilkan persentase populasi ikan jantan masing-masing sebesar 25,33%, 32,63%, dan 36,89% dengan populasi ikan jantan pada perlakuan kontrol sebesar 22,22%.
Dosis perendaman 10 dan 20 µL/L ekstrak purwoceng pada ikan cupang dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan dosis yang lebih tinggi. Pada dosis 30 µL/L, persentase ikan jantan merupakan persentase terendah dari semua perlakuan termasuk kontrol dengan rata-rata 39,72%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis perendaman dalam kegiatan maskulinisasi ikan tidak selalu diikuti dengan peningkatan persentase populasi jantannya. Hal serupa juga terjadi pada ikan lele Amerika (Ictalurus punctatus) yang diberikan 17α-metiltestosteron untuk menghasilkan populasi jantan yang lebih banyak dibandingkan dengan betinanya. Akan tetapi hasil yang didapatkan dari pemberian hormon 17α-metiltestosteron ini adalah populasi ikan dengan 100% betina. Hal tersebut diduga juga disebabkan oleh dosis yang berlebih (Zairin 2002). Selain itu, diduga juga pada ikan lele Amerika memiliki suatu zat yang menyerupai enzim aromatase sehingga 17α -metiltestosteron yang masuk ke dalam tubuh ikan dikonversi terlebih dahulu menjadi estradiol-17ß dan berfungsi sebagai hormon tersebut. Seperti pada ikan lele Amerika, diduga pada ikan cupang juga memiliki enzim aromatase. Aromatase tersebut dapat mengkatalis androgen menjadi estrogen (Callard et al. 1990 dalam Wulansari 2002), sehingga produksi estrogen yang berlebih tersebut akan merangsang ikan pada pembentukan gonad betina.
11 ini perkembangan otak masih labil sehingga mudah untuk diarahkan (Martati 2006). Selain itu, pada fase bintik mata embrio dianggap telah kuat untuk menerima perlakuan (Zairin 2002), sehingga dapat mengurangi resiko gagal menetas.
Tave (1992) menjelaskan bahwa pada banyak ikan, fertilisasi terjadi secara eksternal. Sehingga diferensiasi jaringan atau organ termasuk gonad berlangsung di dalam air. Dalam proses perkembangannya pun mudah sekali terpengaruh oleh keadaan lingkungan. Proses diferensiasi kelamin pada ikan teleostei juga dinilai sangat labil (Francis 1992 dalam Pandian & Sheela 1995). Meskipun secara genotip jenis kelamin ikan sudah terbentuk saat terjadi proses fertilisasi, akan tetapi fenotipnya terbentuk seiring dengan proses perkembangan gonad (Tave 1992). Dengan demikian pengarahan kelamin ikan dapat dilakukan dengan pemberian hormon steroid pada fase tersebut. Prinsip inilah yang mendasari kegiatan maskulinisasi ikan cupang ini dan pada kegiatan pengarahan kelamin umumnya. Karena prosesnya yang labil dan bisa dipengaruhi oleh lingkungan, maka intervensi lingkungan memungkinkan untuk mendapatkan kelamin ikan yang diinginkan. Salah satunya dengan memberikan hormon steroid.
Peningkatan persentase populasi ikan jantan pada perendaman dengan dosis 10 dan 20 µL/L diduga karena bahan aktif dari purwoceng yang mempengaruhi proses diferensiasi gonad. Perubahan lingkungan yang diakibatkan perendaman ekstrak purwoceng menyebabkan rangsangan pada sistem syaraf ikan dan memacu pelepasan hormon gonadotropin untuk pembentukan gonad jantan. Fujaya dalam Martati (2006) menjelaskan bahwa perubahan lingkungan tersebut diterima oleh indra yang kemudian disampaikan ke sistem syaraf pusat. Setelah itu kemudian dikirim ke hipotalamus dan memerintahkan kelenjar hiposfisa untuk mengeluarkan hormon gonadotropin. Hormon inilah yang kemudian dibawa oleh darah menuju gonad sebagai petunjuk untuk memulai pembentukan gonad jantan (testis).
masing-12 masing sebesar 33%, 59,7%, 70,7%, dan 50,3% (Alfian 2003). Perendaman ikan gapi dengan menggunakan madu pada dosis 0, 20, 40, 60 mL/L memberikan perbedaan persentase populasi ikan jantan masing-masing sebesar 24,3%, 44,9%, 52,5%, dan 59,5% (Soelistyowati et al. 2007). Penggunaan T. terrestis dalam perendaman ikan gapi dengan dosis 0, 0,05, 0,1 dan 0,15 g/liter memberikan perbedaan persentase populasi ikan jantan masing-masing sebesar 36%, 53%, 52%, dan 72% (Cek et al. 2007). Serta penggunaan ekstrak testis sapi dalam perendaman larva nila pada dosis 1, 3, dan 5 mL/L memberikan persentase populasi ikan jantan yang berbeda masing-masing sebesar 68,9%, 75,6%, dan 85,6% (Iskandar 2010). Perbedaan peningkatan jumlah populasi ikan jantan pada setiap bahan yang digunakan disebabkan oleh jenis dan jumlah kandungan bahan aktif yang berbeda pada setiap bahannya, metode maskulinisasi yang digunakan, dan jenis ikan ujinya sendiri.
Keberhasilan terbaik kegiatan maskulinisasi pada ikan cupang adalah dengan perendaman hormon sintetik 17α-metiltestosteron pada dosis 20 mg/L. Pada perlakuan tersebut didapat persentase ikan jantan jantan sebesar 95,90% (Kholidin dalam Zairin 2002). Namun, penggunaan 17α-metiltestosteron saat ini sudah dilarang karena bahan tersebut bersifat karsinogenik bagi manusia dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan karena sulit terdegradasi secara alami (Contreras-Sancez et al. 2001 dalam Ariyanto et al. 2010). Sehingga penggunaan ekstrak purwoceng bisa dijadikan salah satu alternatif untuk kegiatan maskulinisasi ikan cupang meskipun hasil akhirnya belum sebaik penggunaan 17α-metiltestosteron.
13 Penggunaan ekstrak purwoceng pada maskulinisasi ikan cupang dinilai tidak memberikan efek negatif pada dosis yang tepat. Hal ini terlihat pada nilai derajat penetasan pada Gambar 1 yang menunjukkan nilai yang relatif tinggi. Perlakuan kontrol, 10, dan 20 µL/L menunjukkan nilai rata-rata derajat penetasan masing-masing sebesar 98,57%, 88,57%, dan 85,71%. Sedangkan nilai derajat penetasan pada perlakuan 30 µL/L terlihat lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga pada dosis yang berlebih, ekstrak purwoceng dapat memberikan efek negatif yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai derajat penetasan ikan cupang.
Penelitian ini dilakukan di laboratorium. Meskipun demikian, pada setiap perlakuan tidak diberikan kontrol lingkungan tambahan seperti penggunaan aerasi untuk menjaga kestabilan kelarutan oksigen dan penggunaan termostat untuk menjaga kestabilan suhu. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir kemungkinan faktor lain yang dapat mempengaruhi perubahan kelamin, terutama parameter suhu. Devlin & Nagahama (2002) menyatakan bahwa pada banyak ikan, tinggi rendahnya suhu dapat mempengaruhi pembentukan gonad menjadi jantan atau betina. Suhu yang tinggi cenderung mengarahkan ikan pada pembentukan gonad jantan (testis). Sebaliknya, suhu yang rendah cenderung mengarahkan ikan pada pada pembentukan gonad betina (ovari). Kenaikan suhu pada rentang 23-29 oC dalam sebagian banyak ikan dapat meningkatkan presentasi populasi ikan jantan dalam satu keturunan. Kestabilan suhu pada derajat yang tinggi 35 oC memberikan efek yang sangat kuat pada proses maskulinisasi ikan (Baras et al. 2000).
14 organ labirin mulai terbentuk dan sangat sensitif. Bahkan pada beberapa ikan organ tersebut tidak terbentuk sempurna. Hal itu dapat menyebabkan kematian pada ikan.
15
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Penggunaan ekstrak purwoceng dalam maskulinisasi ikan cupang hias halfmoon pada dosis 20 µL/L dapat meningkatkan persentase populasi ikan cupang jantan hingga 62,66% dibandingkan dengan perlakuan kontrol yaitu 45,91%. Pada dosis yang lebih tinggi persentase populasi ikan jantan cenderung menurun.
4.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi P. 2011. Kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) terhadap kinerja reproduksi tikus putih (Rattus norvegicus) betina dara. Tesis. Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat. Institut Pertanian Bogor.
Alfian MZ. 2003. Pengaruh pemberian ekstrak kayu sandrego (Lunasia amara Blanco) terhadap produksi ikan cupang jantan (Betta splendens). Skripsi. Jurusan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Ariyanto D, Sumantadinata K, Sudrajat AO. 2010. Diferesiasi kelamin tiga genotype ikan nila yang diberi bahan aromatase inhibitor. J. Ris. Akuakultur, 5(2): 165-174.
Baras, E., Prignon, C., Gohoungo, G., Melard, C., 2000. Phenotypic sex differentiation of blue tilapia under constant and fluctuating thermal regimes and its adaptive and evolutionary implications. J. Fish Biol. 57, 210–223.
Bertha PD. 2012. pengaruh pemberian ekstrak purwoceng Pimpinella alpina Molk. melalui perendaman pakan terhadap spermatogenesis ikan lele jantan Clarias sp. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.
Cek S, Turan F, Atik E. 2007. The effects of gokshura, Tribulus terrestris on sex reversal of guppy, Poecilia reticulata. Pakistan Journal of Biological Sciences, 10(5): 718-725.
Daelami, D. 2001. Usaha Pembenihan Ikan Hias Air Tawar. Jakarta: Penebar Swadaya.
Devlin RH & Nagahama Y. 2002. Sex determination and sex differentiation in fish: an overview of genetic, physiological, and environmental influences. Aquaculture, 208: 191-364.
Gunawan D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri. Penebar Swadaya. Jakarta.
Martati E. 2006. Efektivitas madu terhadap nisbah kelamin ikan gapi (Poecilia reticulata Peters). Skripsi. Departemen Budidaya perairan. Institut Pertanian Bogor.
Iskandar. 2010. Efektivitas ekstrak tepung testis sapi dalam alih kelamin ikan nila, Oreochromis niloticus L. melalui teknik perendaman. Tesis. Ilmu Akuakulutur. Institut Pertanian Bogor.
17 Pandian TJ & Sheela SG 1995. Hormonal induction of sex reversal in fish.
Aquaculture, 138: 1-22.
Putra S. 2011. Maskulinisasi ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui perendaman dalam ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina). Tesis. Ilmu Akuakultur. Institut Pertanian Bogor.
Soelistyowati DT, Martati E, Arfah H. 2007. Efektifitas madu terhadap pengarahan kelamin ikan gapi (Poecilia reticulata Peters). Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(2): 155-160.
Tave D. 1992. Genetics for Fish Hatchery Managers. An AVI book.
Wulansari RS. 2002. Pengaruh aromatase inhibitor terhadap nisbah kelamin ikan betta (Betta sp.). Skripsi. Departemen Budidaya perairan. Institut Pertanian Bogor.
19
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tanaman Purwoceng
Sumber: www.pesonadieng.com
Lampiran 2. Data Parameter Utama Penelitian
Perlakuan ∑ embrio ∑ Larva
awal HR (%)
∑ Ikan akhir Jumlah Jantan Presentase jantan (%) Bobot rata-rata (gram)
A1 35,00 35,00 100,00 18,00 8,00 44,44 0,06
A2 35,00 34,00 97,14 19,00 9,00 47,37 0,06
Rata-rata 35,00 34,50 98,57 18,50 8,50 45,91 0,06
B1 35,00 33,00 94,29 19,00 10,00 52,63 0,06
B2 35,00 29,00 82,86 11,00 8,00 72,73 0,07
Rata-rata 35,00 31,00 88,57 15,00 9,00 62,68 0,07
C1 35,00 35,00 100,00 22,00 15,00 68,18 0,05
C2 35,00 25,00 71,43 21,00 12,00 57,14 0,06
Rata-rata 35,00 30,00 85,71 21,50 13,50 62,66 0,06
D1 35,00 25,00 71,43 18,00 8,00 44,44 0,06
D2 35,00 23,00 65,71 20,00 7,00 35,00 0,06
Rata-rata 35,00 24,00 68,57 19,00 7,50 39,72 0,06
Perlakuan STDEV HR
STDEV
∑ Larva awal
STDEV
∑ Ikan akhir
STDEV Jantan
STDEV Bobot
A (0 µL/L) 2,02 2,83 5,66 2,07 0,00
B (10 µL/L) 8,08 7,07 0,71 14,21 0,01
C (20 µL/L) 20,20 1,41 1,41 7,81 0,01
20 Lampiran 3. Data Pengukuran Bobot Akhir (gram)
A1 A2 B1 B2 C1 C2 D1 D2
0,17 0,11 0,11 0,08 0,09 0,07 0,12 0,15 0,11 0,12 0,04 0,04 0,04 0,06 0,15 0,04 0,05 0,08 0,04 0,04 0,05 0,04 0,11 0,04 0,09 0,05 0,12 0,14 0,07 0,07 0,05 0,06 0,04 0,06 0,18 0,10 0,06 0,04 0,05 0,04 0,10 0,04 0,07 0,05 0,04 0,12 0,05 0,06 0,04 0,08 0,04 0,08 0,13 0,04 0,04 0,05 0,07 0,03 0,08 0,04 0,04 0,04 0,04 0,07 0,04 0,04 0,06 0,05 0,04 0,07 0,06 0,08 0,08 0,08 0,06 0,08 0,04 0,10 0,05 0,08 0,04 0,04 0,04 0,08 0,05 0,05 0,06 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,05 0,04 0,07 0,04 0,05 0,04 0,04 0,04 0,05 0,04 0,05 0,07 0,05 0,05 0,05 0,04 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 0,06 0,04 0,06 0,04 0,04 0,04 0,06 0,07 0,04 0,04 0,04 0,04 0,11 0,04 0,04 0,04 0,09 0,04 0,04 0,04 0,04 0,07 0,04 0,09 0,07 0,04 0,11 0,04
Rata-rata bobot akhir (gram)
21 Lampiran 4. Data Pengamatan Suhu (oC)
Minggu
ke- Terkecil Terbesar
Rata-rata suhu pagi
Rata-rata suhu sore
1 25 30 26,33 29,50
2 25 30,50 25,50 29,93
3 24 30,50 25,64 30,00
4 25 31 26,17 29,86
5 24 30 25,33 30,00
6 25 30 26,00 29,75
7 24 28 25,00 27,67
8 26 29 26,00 29,00
9 24 30 25,71 29,71
10 25 30 26,00 29,71
11 23 32 24,75 30,14
MASKULINISASI IKAN CUPANG (
Betta splendens
)
MELALUI PERENDAMAN EMBRIO
DALAM EKSTRAK PURWOCENG (
Pimpinella alpina
)
ASEP BULKINI
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
16
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi P. 2011. Kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) terhadap kinerja reproduksi tikus putih (Rattus norvegicus) betina dara. Tesis. Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat. Institut Pertanian Bogor.
Alfian MZ. 2003. Pengaruh pemberian ekstrak kayu sandrego (Lunasia amara Blanco) terhadap produksi ikan cupang jantan (Betta splendens). Skripsi. Jurusan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Ariyanto D, Sumantadinata K, Sudrajat AO. 2010. Diferesiasi kelamin tiga genotype ikan nila yang diberi bahan aromatase inhibitor. J. Ris. Akuakultur, 5(2): 165-174.
Baras, E., Prignon, C., Gohoungo, G., Melard, C., 2000. Phenotypic sex differentiation of blue tilapia under constant and fluctuating thermal regimes and its adaptive and evolutionary implications. J. Fish Biol. 57, 210–223.
Bertha PD. 2012. pengaruh pemberian ekstrak purwoceng Pimpinella alpina Molk. melalui perendaman pakan terhadap spermatogenesis ikan lele jantan Clarias sp. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.
Cek S, Turan F, Atik E. 2007. The effects of gokshura, Tribulus terrestris on sex reversal of guppy, Poecilia reticulata. Pakistan Journal of Biological Sciences, 10(5): 718-725.
Daelami, D. 2001. Usaha Pembenihan Ikan Hias Air Tawar. Jakarta: Penebar Swadaya.
Devlin RH & Nagahama Y. 2002. Sex determination and sex differentiation in fish: an overview of genetic, physiological, and environmental influences. Aquaculture, 208: 191-364.
Gunawan D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri. Penebar Swadaya. Jakarta.
Martati E. 2006. Efektivitas madu terhadap nisbah kelamin ikan gapi (Poecilia reticulata Peters). Skripsi. Departemen Budidaya perairan. Institut Pertanian Bogor.
Iskandar. 2010. Efektivitas ekstrak tepung testis sapi dalam alih kelamin ikan nila, Oreochromis niloticus L. melalui teknik perendaman. Tesis. Ilmu Akuakulutur. Institut Pertanian Bogor.
17 Pandian TJ & Sheela SG 1995. Hormonal induction of sex reversal in fish.
Aquaculture, 138: 1-22.
Putra S. 2011. Maskulinisasi ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui perendaman dalam ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina). Tesis. Ilmu Akuakultur. Institut Pertanian Bogor.
Soelistyowati DT, Martati E, Arfah H. 2007. Efektifitas madu terhadap pengarahan kelamin ikan gapi (Poecilia reticulata Peters). Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(2): 155-160.
Tave D. 1992. Genetics for Fish Hatchery Managers. An AVI book.
Wulansari RS. 2002. Pengaruh aromatase inhibitor terhadap nisbah kelamin ikan betta (Betta sp.). Skripsi. Departemen Budidaya perairan. Institut Pertanian Bogor.
19
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tanaman Purwoceng
Sumber: www.pesonadieng.com
Lampiran 2. Data Parameter Utama Penelitian
Perlakuan ∑ embrio ∑ Larva
awal HR (%)
∑ Ikan akhir Jumlah Jantan Presentase jantan (%) Bobot rata-rata (gram)
A1 35,00 35,00 100,00 18,00 8,00 44,44 0,06
A2 35,00 34,00 97,14 19,00 9,00 47,37 0,06
Rata-rata 35,00 34,50 98,57 18,50 8,50 45,91 0,06
B1 35,00 33,00 94,29 19,00 10,00 52,63 0,06
B2 35,00 29,00 82,86 11,00 8,00 72,73 0,07
Rata-rata 35,00 31,00 88,57 15,00 9,00 62,68 0,07
C1 35,00 35,00 100,00 22,00 15,00 68,18 0,05
C2 35,00 25,00 71,43 21,00 12,00 57,14 0,06
Rata-rata 35,00 30,00 85,71 21,50 13,50 62,66 0,06
D1 35,00 25,00 71,43 18,00 8,00 44,44 0,06
D2 35,00 23,00 65,71 20,00 7,00 35,00 0,06
Rata-rata 35,00 24,00 68,57 19,00 7,50 39,72 0,06
Perlakuan STDEV HR
STDEV
∑ Larva awal
STDEV
∑ Ikan akhir
STDEV Jantan
STDEV Bobot
A (0 µL/L) 2,02 2,83 5,66 2,07 0,00
B (10 µL/L) 8,08 7,07 0,71 14,21 0,01
C (20 µL/L) 20,20 1,41 1,41 7,81 0,01
20 Lampiran 3. Data Pengukuran Bobot Akhir (gram)
A1 A2 B1 B2 C1 C2 D1 D2
0,17 0,11 0,11 0,08 0,09 0,07 0,12 0,15 0,11 0,12 0,04 0,04 0,04 0,06 0,15 0,04 0,05 0,08 0,04 0,04 0,05 0,04 0,11 0,04 0,09 0,05 0,12 0,14 0,07 0,07 0,05 0,06 0,04 0,06 0,18 0,10 0,06 0,04 0,05 0,04 0,10 0,04 0,07 0,05 0,04 0,12 0,05 0,06 0,04 0,08 0,04 0,08 0,13 0,04 0,04 0,05 0,07 0,03 0,08 0,04 0,04 0,04 0,04 0,07 0,04 0,04 0,06 0,05 0,04 0,07 0,06 0,08 0,08 0,08 0,06 0,08 0,04 0,10 0,05 0,08 0,04 0,04 0,04 0,08 0,05 0,05 0,06 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,05 0,04 0,07 0,04 0,05 0,04 0,04 0,04 0,05 0,04 0,05 0,07 0,05 0,05 0,05 0,04 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 0,06 0,04 0,06 0,04 0,04 0,04 0,06 0,07 0,04 0,04 0,04 0,04 0,11 0,04 0,04 0,04 0,09 0,04 0,04 0,04 0,04 0,07 0,04 0,09 0,07 0,04 0,11 0,04
Rata-rata bobot akhir (gram)
21 Lampiran 4. Data Pengamatan Suhu (oC)
Minggu
ke- Terkecil Terbesar
Rata-rata suhu pagi
Rata-rata suhu sore
1 25 30 26,33 29,50
2 25 30,50 25,50 29,93
3 24 30,50 25,64 30,00
4 25 31 26,17 29,86
5 24 30 25,33 30,00
6 25 30 26,00 29,75
7 24 28 25,00 27,67
8 26 29 26,00 29,00
9 24 30 25,71 29,71
10 25 30 26,00 29,71
11 23 32 24,75 30,14
RINGKASAN
AURISMARDIKA NOVESA. C34070097.
Pembiusan Ikan Bawal Air Tawar
(Colossoma macropomum) dengan Suhu Rendah Secara Bertahap dalam
Transportasi Sistem Kering. Dibimbing oleh
RUDDY SUWANDI
dan
AGOES
MARDIONO JACOEB
Permintaan bawal air tawar hidup di dalam maupun luar negeri semakin
meningkat. Penyimpanan bawal hidup tanpa media air merupakan suatu simulasi
transportasi sebelum dilakukan uji transportasi. Transportasi sistem kering adalah
pengangkutan ikan yang diberi perlakuan imotilisasi dengan metode tertentu
kemudian dikemas dan disimpan pada media non-air. Keunggulan sistem
transportasi ini yaitu meningkatkan kepadatan biota perairan yang akan diangkut
sehingga menekan biaya transportasi. Faktor suhu pembiusan ini memiliki
peranan penting karena dengan pemilihan suhu pembiusan yang tepat akan
menjamin tingkat kelulusan hidup bawal air tawar selama penyimpanan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode pembiusan secara
bertahap dan perubahan suhu dalam kemasan terhadap kelangsungan hidup bawal
air tawar (Colossoma macropomum) selama transportasi hidup sistem kering.
Penelitian ini melalui beberapa tahap diantaranya tahap persiapan
penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama. Persiapan penelitian
meliputi persiapan air yang akan digunakan dan persiapan media kemasan
(serbuk gergaji) serta persiapan bawal air tawar yang akan diberi perlakuan.
Penelitian pendahuluan yang dilakukan meliputi pengamatan aktivitas fisiologi
bawal pada berbagai suhu dan penetuan suhu pemingsanan terbaik. Perlakuan
pada penelitian utama meliputi pembiusan bawal dengan penurunan suhu secara
bertahap dan uji penyimpanan. Analisis data penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu faktor lama penyimpanan
dengan taraf 0, 3, 6, dan 9 jam sebanyak tiga kali ulangan dan faktor perubahan