• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maskulinisasi Ikan Pelangi (Iriatherina Werneri) Melalui Perendaman Embrio Dalam Ekstrak Tanaman Purwoceng (Pimpinella Alpina).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Maskulinisasi Ikan Pelangi (Iriatherina Werneri) Melalui Perendaman Embrio Dalam Ekstrak Tanaman Purwoceng (Pimpinella Alpina)."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

MASKULINISASI IKAN PELANGI (

Iriatherina werneri

)

MELALUI PERENDAMAN EMBRIO DALAM EKSTRAK

TANAMAN PURWOCENG (

Pimpinella alpina

)

ANNA NURKHASANAH

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Maskulinisasi Ikan

Pelangi (Iriatherina werneri) Melalui Perendaman Embrio dalam Ekstrak Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 2015

Anna Nurkhasanah

(4)

ABSTRAK

ANNA NURKHASANAH. Maskulinisasi Ikan Pelangi (Iriatherina werneri) Melalui Perendaman Embrio dalam Ekstrak Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina). Dibimbing oleh DINAR TRI SOELISTYOWATI dan ODANG CARMAN.

Ikan pelangi (Iriatherina werneri) jantan memiliki warna dan bentuk sirip yang indah, sehingga harga jualnya lebih tinggi dari betina. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan ekstrak tanaman purwoceng pada maskulinisasi ikan Iriatherina werneri melalui perendaman embrio. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan dosis ekstrak purwoceng (10, 20, dan 30 mg/L), kontrol positif (17α -metiltestosteron 25 mg/L), dan kontrol negatif (tanpa perendaman), masing-masing tiga ulangan. Prosedur perendaman dilakukan saat embrio bintik mata

selama 8 jam dalam kedua perlakuan ekstrak purwoceng dan 17α-metiltestosteron

(17α-MT). Pasca perendaman embrio ditetaskan dan dipelihara selama 50 hari yaitu sebelum identifikasi kelamin. Ekstrak purwoceng cukup efektif digunakan untuk maskulinisasi ikan I. werneri. Dosis 10-30 mg/L ekstrak purwoceng menghasilkan 57-67% ikan jantan (P>0,05). Nisbah kelamin jantan mengalami peningkatan 47-57% dari kontrol.

Kata kunci : Iriatherina werneri, purwoceng, Pimpinella alpina, 17α -metiltestosteron, maskulinisasi, perendaman

ABSTRACT

ANNA NURKHASANAH. Masculinization of Rainbowfish Iriatherina werneri by Immersion of Embryos in Purwoceng Extract Pimpinella alpina. Supervised by DINAR TRI SOELISTYOWATI and ODANG CARMAN.

Male rainbowfish (Iriatherina werneri)has a beautiful color and fin shape, it causes a higher market price than female rainbowfish. This research was conducted to examine the effect of purwoceng (Pimpinella alpina) extract on masculinization Iriatherina werneri through the immersion of embryos. Design of this research used a completely randomized design consist of three dose treatments of purwoceng extract (10, 20, and 30 mg/liter), positive control (25 mg/L 17α-methyltestosterone hormone), and negative control (without immersion) with three replications for each treatments. The immersion procedure was applied at eyed-stage embryos for 8 hours for both purwoceng extract and

17α-methyltestosterone (17α-MT) treatments. Posted-immersion the embryos were hatched and reared for 50 days, before sex identification. Purwoceng extract quite effectively used to masculinization of I. werneri. Dosage of 10-30 mg/L were produce 57-67% males (P>0,05). Sex ratio of male increased 47-57% to control.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Budidaya Perairan

MASKULINISASI IKAN PELANGI

Iriatherina werneri

MELALUI PERENDAMAN EMBRIO DALAM EKSTRAK

TANAMAN PURWOCENG

Pimpinella alpina

BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Maskulinisasi Ikan Pelangi (Iriatherina werneri) Melalui Perendaman Embrio dalam Ekstrak Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina)

Nama : Anna Nurkhasanah NIM : C14110030

Disetujui oleh

Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA Pembimbing I

Dr. Ir. Odang Carman, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Sukenda, MSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Maskulinisasi Ikan Pelangi (Iriatherina werneri) Melalui Perendaman Embrio dalam Ekstrak Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina)”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Maret hingga Mei 2015 di Kolam Percobaan Babakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Segenap rasa terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Kedua orang tua (bapak Achmad Zainuddin dan ibu Seswaty), kakak (Ika Dharmayanti dan Fitria Sari), dan saudara lainnya atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya.

2. Ibu Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Odang Carman, MSc selaku Pembimbing II atas segala masukan dan dukungannya selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Sri Nuryati, SPi, MSi selaku Komisi Pendidikan S1 BDP atas masukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Yuni Puji Hastuti, SPi, MSi selaku Dosen Penguji atas masukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Teman-teman tim penelitian Iriatherina : Ema, Wulan, Ari, Kak Herja, dan Kak Rodhi, serta teman-teman dan kakak-kakak penelitian di Kolam Percobaan Babakan: Winy, Hamzah, Dhani, Uswatun, Kak Yacha, dan Kak Fahrul.

6. Teman-teman kost-an Wisma Ananda : Nurul, Dessy, Vero, Anggun, Haqul, dan Kiki atas kebersamaan selama di Bogor ini.

7. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Ikan.

8. Anisa, Raelita, Fita, Gina, dan Ayu atas dukungan dan kebersamaannya. 9. Duga Family (Tiara, Yuyak, Afifia, Lilis, Ayu, dan Antin) atas

kebersamaan dan dukungannya.

10.Keluarga BDP 48 atas semangat, dukungan, dan motivasinya. 11.Keluarga besar Departemen Budidaya Perairan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, masyarakat, dan seluruh pihak yang membacanya.

Bogor, Agustus 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 2

Materi Uji 2

Rancangan Penelitian 3

Prosedur Penelitian 3

Parameter Uji 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Hasil 6

Pembahasan 8

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 12

LAMPIRAN 14

(10)

DAFTAR TABEL

1 Rancangan perlakuan maskulinisasi ikan pelangi melalui perendaman

embrio dalam ekstrak purwoceng 3

2 Jenis pakan alami yang diberikan selama pemeliharaan Ikan I. werneri 4 3 Parameter kualitas air pada pemeliharaan ikan I. werneri 4

DAFTAR GAMBAR

1 Derajat penetasan telur pada maskulinisasi ikan I. werneri melalui

perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng 6

2 Jaringan gonad ikan I. werneri jantan (a) dan betina (b) pada

pembesaran 60 x 6

3 Nisbah kelamin jantan pada maskulinisasi ikan I. werneri melalui

perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng 7

4 Tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri 50 hari pasca maskulinisasi melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng 7 5 Pertumbuhan panjang ikan I. werneri hari ke 35–50 pada maskulinisasi

melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng 8 6 Sirip dorsal ikan I. werneri yang ditumbuhi Piscinoodinium pillulare

pada pembesaran 60 x 10

7 Perbedaan morfologi pada ikan I. werneri jantan (a) dan betina (b) 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sampling Pertumbuhan Panjang Ikan I. werneri 14

2 Uji Lanjut Duncan 14

(11)

1

PENDAHULAN

Latar Belakang

Ikan pelangi (Iriatherina werneri) atau yang lebih dikenal dengan nama

Threadfin‟ atau „Featherfin‟ pertama kali ditemukan pada tahun 1973 oleh dua

orang akuakulturis dari Jerman. Ikan ini ditemukan pada perairan sawah di daerah pinggiran kota Merauke, Papua. Panjang tubuh maksimal I. werneri mencapai 5 cm, tetapi umumnya lebih banyak ditemukan berukuran 3 - 4 cm. Ikan I. werneri

dapat ditemukan di perairan yang bersih, aliran air tenang, perairan rawa, dan laguna dengan vegetasi yang berlimpah. Di alam, ikan ini hidup pada perairan dengan kedalaman 0,5 – 1,25 meter dengan kisaran suhu 22º - 30ºC dan pH 5,2 – 7,5 (Tappin 2011).

Bila dilihat dari morfologinya, ikan pelangi jantan memiliki bentuk tubuh dan warna yang lebih menarik daripada betina terutama pada bentuk siripnya. Sirip dorsal pertama pada ikan jantan berbentuk seperti kipas dan sirip dorsal kedua lebih panjang. Sirip anal ikan jantan juga lebih panjang seperti sirip dorsal kedua. Warna sirip dorsal pertama berwarna kemerahan dan sirip dorsal kedua berwarna hitam, sedangkan sirip pada ikan betina tidak berwarna (Roberts 1978; Tappin 201). Perbedaan morfologi tersebut menyebabkan I. werneri jantan lebih digemari dan memiliki harga jual yang lebih tinggi daripada betina, sehingga produksi monoseks jantan ikan I. werneri akan lebih menguntungkan.

Maskulinisasi pada ikan dapat dilakukan dengan cara mengarahkan atau membalikkan kelamin (seks reversal) pada masa diferensiasi kelamin berlangsung. Kelamin ikan masih belum definitif pada awal hidupnya, tetapi secara genetik susunan kromosom kelamin sudah ditentukan setelah pembuahan, homogametik (XX) atau heterogametik (WZ) pada ikan betina atau heterogametik pada ikan jantan (XY atau XWZ). Teknik seks reversal mengubah fenotipe ikan jantan atau betina tetapi tidak mengubah genotipenya (Zairin 2002).

Salah satu teknik seks reversal untuk menghasilkan monoseks jantan (maskulinisasi) dapat dilakukan dengan pemberian hormon atau bahan-bahan steroid androgen. Pemberiannya dapat dilakukan melalui oral (pemberian pakan) dan perendaman (immersion) (Zairin 2002). Metode pemberian hormon dipilih berdasarkan jenis bahan dan efektivitas dosis, serta jenis ikan target sesuai dengan masa diferensiasi. Metode perendaman dipilih karena bahan steroid dapat masuk ke dalam tubuh ikan dengan proses difusi. Perendaman pada ikan ovipar dapat dilakukan pada stadia embrio maupun larva. Perendaman embrio dilakukan pada fase bintik mata karena embrio dianggap telah kuat dalam menerima perlakuan, sedangkan perendaman fase larva dilakukan karena gonad masih labil sehingga mudah dipengaruhi rangsangan dari luar (Zairin 2002). Berdasarkan Arfah et al.

(2005), ikan ovovivipar (gapi) diduga mengalami masa diferensiasi kelamin sebelum lahir, maka perendaman dilakukan pada induk yang sedang hamil.

(12)

2

et al. 2002). Perendaman embrio bintik mata rainbow irian (Glossolepis incisus) dalam 25 mg/L 17α-MT selama 8 jam menghasilkan 86,8% ikan jantan (Pujiwati 1995 dalam Zairin 2002).

Bahan alternatif yang telah diuji dapat mengubah nisbah kelamin menjadi jantan adalah tanaman purwoceng (Pimpinella alpina). Tanaman purwoceng tumbuh di daerah gunung Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, Jawa Timur, Gunung Putri, Cipanas, dan Jawa Barat (Raharjo, Darwati, Shusena 2006). Tanaman ini berkhasiat obat sebagai afrodisiak, diuretik, tonik, dan mengandung senyawa kumarin (Roostika et al 2007; Widayat dan Soetarto 2012). Tanaman purwoceng mengandung senyawa fitosteroid yaitu senyawa stigmasterol sebanyak 5,38% dari total senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak purwoceng (Putra 2011). Stigmasterol merangsang pertumbuhan hormon androgen dalam tubuh. Penggunaan ekstrak purwoceng ini telah diuji pada maskulinisasi ikan nila (Oreochromis niloticus) (Putra 2011) dan cupang (Betta splendens) (Bulkini 2012; Cahyani 2014). Pada perendaman larva ikan nila dengan dosis 20 mg/L selama 8 jam menghasilkan 73,3% ikan jantan (Putra 2011), sedangkan pada perendaman embrio fase bintik mata ikan cupang dengan dosis 10µL/L selama 8 jam menghasilkan 62,68% ikan jantan, dan pada metode bioenkapsulasi melalui perendaman artemia dengan ekstrak purwoceng yang diberikan sebagai pakan larva ikan cupang dengan dosis 20 mg/L selama 24 jam menghasilkan 75% ikan jantan (Cahyani 2014).

Keunggulan penggunaan bahan steroid alami adalah ramah lingkungan dan aman terhadap biota. Tanaman purwoceng mengandung senyawa limonene, γ -himachalene, dan pristine yang berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh (Putra 2011). Senyawa-senyawa tersebut dapat berdampak positif terhadap kesehatan dan pertumbuhan ikan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dosis penggunaan ekstrak tanaman purwoceng untuk maskulinisasi ikan pelangi (Iriatherina werneri)

melalui perendaman embrio.

METODE

Materi Uji

Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk ikan I. werneri

dengan bobot ikan jantan 0,21±0,06 gram dan ikan betina 0,18±0,09 gram. Bahan untuk maskulinisasi yang digunakan adalah ekstrak tanaman (Lampiran 3)

(13)

3 Rancangan Penelitian

Skema penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan dosis ekstrak purwoceng untuk perendaman embrio I. werneri fase bintik mata dibandingkan dengan kontrol positif (17α-metiltestosteron), dan kontrol negatif (tanpa perendaman), masing-masing diulang sebanyak 3 kali (Tabel 1).

Tabel 1 Rancangan perlakuan maskulinisasi ikan pelangi melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng

Perlakuan Keterangan

A Perendaman dengan ekstrak purwoceng 10 mg/L B Perendaman dengan ekstrak purwoceng 20 mg/L C Perendaman dengan ekstrak purwoceng 30 mg/L D (kontrol positif) Perendaman dengan 17α-metiltestosteron 25 mg/L E (kontrol negatif) Perendaman tanpa ekstrak purwoceng dan 17α

-metiltestosteron

Setiap perlakuan dan ulangan digunakan embrio ikan pelangi fase bintik mata yaitu berumur ±63 jam pasca fertilisasi sebanyak 100 butir. Perendaman embrio dalam perlakuan maskulinisasi dilakukan selama 8 jam.

Prosedur Penelitian

Pemijahan Induk

Induk dipijahkan dengan perbandingan jantan dan betina 1:2 di akuarium pemijahan berukuran 30x30x30 cm serta dilengkapi dengan substrat berupa tali rafia sebagai tempat peneluran. Proses pemijahan berlangsung selama 7 jam. Pengangkatan substrat yang berisi telur dilakukan pada malam hari dan dilakukan penghitungan telur sesuai dengan jumlah telur yang dibutuhkan tiap perlakuan dan ulangan. Telur dimasukkan ke dalam wadah plastik bervolume 1 liter yang aerasi sebagai tempat inkubasi telur selama ±63 jam hingga mencapai fase bintik mata. Perendaman Embrio dalam Ekstrak Purwoceng

(14)

4

Pemeliharaan Larva Ikan Uji

Larva umur 1 hari setelah menetas diberi pakan tiga kali sehari secara ad libitum berupa pakan alami dengan 5 tahapan yang terdiri dari infusoria dikombinasi dengan rotifera dan artemia (Tabel 2).

Tabel 2 Jenis pakan alami yang diberikan selama pemeliharaan Ikan I. werneri

Hari ke- Jenis Pakan Alami

1 – 5 Infusoria

6 – 7 Infusoria dan rotifera

8 – 20 Rotifera

21 – 27 Rotifera dan artemia

28 – 50 Artemia

Penyifonan dilakukan setiap dua hari sekali dan pergantian air sebanyak 50% volume air. Sampling pertumbuhan dan panjang ikan dilakukan pada calon benih yaitu pada hari ke-35, hari ke-42, dan hari ke-50.

Identifikasi Kelamin

Identifikasi kelamin dilakukan dengan cara pengamatan gonad (Zairin 2002). Sampel ikan jantan dan betina yang telah dipelihara selama 50 hari dibedah dan diamati gonadnya untuk pengamatan fenotipe kelamin dengan metode asetokarmin. Sampel ikan yang dibedah berjumlah 30 sampel untuk setiap perlakuan. Gonad dicacah hingga halus di atas kaca preparat dan diberi beberapa tetes larutan asetokarmin. Kaca preparat ditutup dengan cover glass dan diamati dengan mikroskop. Bakal sperma yang terlihat di bawah mikroskop berupa titik kecil, sedangkan bakal telur berbentuk bulatan besar dengan inti di bagian tengahnya.

Pengukuran Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur adalah DO, pH, dan suhu. Pengukuran DO dan pH menggunakan DO meter dan pH meter yang diukur pada awal dan akhir pemeliharaan ikan, sedangkan suhu diukur menggunakan termometer yang diukur setiap hari (Tabel 3).

Tabel 3 Parameter kualitas air pada pemeliharaan ikan I. werneri

Parameter Satuan Kisaran Nilai Optimum

Suhu ºC 24 – 29 22 – 28 (Tappin 2011)

pH Unit 7,2 – 7,8 6,5 – 7,8 (Tappin 2011)

(15)

5 Parameter Uji

Derajat Penetasan Telur

Derajat penetasan telur adalah persentase telur yang menetas menjadi larva yang dihitung dengan membandingkan jumlah larva yang menetas dengan jumlah telur yang diinkubasi. Derajat penetasan telur dapat dihitung dengan rumus:

Derajat Penetasan Telur (%) =

Nisbah Kelamin Jantan

Nisbah kelamin jantan dihitung dengan membandingkan jumlah ikan jantan dengan jumlah ikan uji per perlakuan. Nisbah kelamin jantan dapat dihitung dengan rumus:

Kelamin Jantan (%) =

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup (TKH) adalah persentase jumlah ikan hidup pada akhir pemeliharaan dibandingkan dengan jumlah ikan pada awal pemeliharaan. Tingkat kelangsungan hidup dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

TKH (%) =

Keterangan:

TKH = tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = jumlah individu pada akhir perlakuan No = jumlah individu pada awal pemeliharaan Pertumbuhan Panjang Ikan Uji

Pengukuran panjang ikan uji dilakukan pada calon benih umur 35 – 50 hari dengan menggunakan jangka sorong digital, lalu dihitung juga pertumbuhan mutlak ikan.

Pengolahan dan Analisis Data

(16)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Derajat Penetasan Telur

Derajat penetasan telur ikan I. werneri pada berkisar antara 66% – 87,67% (Gambar 1). Pada perlakuan perendaman embrio dengan ekstrak purwoceng memiliki derajat penetasan rata-rata sebesar 74,67% - 87,67%, sedangkan perlakuan 17α-MT (kontrol positif) sebesar 66% dan kontrol negatif tanpa perendaman dalam ekstrak purwoceng 79,33%. Hasil derajat penetasan ikan I. werneri yang direndam menggunakan ekstrak purwoceng, 17α-MT, maupun tanpa keduanya menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Keterangan : A= ekstrak purwoceng 10 mg/L D= hormon 17α-MT 25 mg/L

B= ekstrak purwoceng 20 mg/L E= tanpa ekstrak purwoceng dan MT

C= ekstrak purwoceng 30 mg/L

Gambar 1 Derajat penetasan telur pada maskulinisasi ikan I. werneri melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng

Nisbah Kelamin Jantan

Berdasarkan hasil dari identifikasi gonad dengan metode asetokarmin, bakal sperma yang terlihat di bawah mikroskop berupa titik kecil sedangkan bakal telur berbentuk bulatan besar dengan inti di bagian tengahnya (Gambar 2).

a b

Keterangan : A. bakal sel sperma dan B. bakal sel telur

(17)

7 Hasil dari pengamatan gonad di atas diperoleh nisbah kelamin jantan ikan

I. werneri pada perlakuan ekstrak purwoceng berkisar antara 57% - 67% jantan, perlakuan 17α-MT 93% jantan dan kontrol negatif sebesar 10%. Seluruh perlakuan ekstrak purwoceng dan 17α-MT berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol negatif (Gambar 2 dan Lampiran 2). Nisbah kelamin jantan pada perlakuan 17α -MT (D) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan dosis purwoceng 10 mg/L (A) dan 20 mg/L (B). Namun perlakuan 17α-MT berbeda nyata dengan perlakuan ekstrak purwoceng dosis 30 mg/L (C) (P<0,05).

Keterangan : A= ekstrak purwoceng 10 mg/L D= hormon 17α-MT 25 mg/L

B= ekstrak purwoceng 20 mg/L E= tanpa ekstrak purwoceng dan MT

C= ekstrak purwoceng 30 mg/L

Tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri pada perlakuan ekstrak purwoceng berkisar antara 13% - 30%, sedangkan pada hormon 17α-MT dan kontrol negatif memiliki 24% (Gambar 3).

Keterangan : A= ekstrak purwoceng 10 mg/L D= hormon 17α-MT 25 mg/L

B= ekstrak purwoceng 20 mg/L E= tanpa ekstrak purwoceng dan MT

C= ekstrak purwoceng 30 mg/L

Gambar 4 Tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri 50 hari pasca maskulinisasi melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng

(18)

8

Pertumbuhan Panjang Ikan

Pertumbuhan panjang ikan I. werneri di-sampling dari hari ke-35 hingga hari ke-50 dengan selang seminggu sekali (Gambar 4 dan Lampiran 1).

Keterangan : A= ekstrak purwoceng 10 mg/L D= hormon 17α-MT 25 mg/L

B= ekstrak purwoceng 20 mg/L E= tanpa ekstrak purwoceng dan MT

C= ekstrak purwoceng 30 mg/L

Gambar 5 Pertumbuhan panjang ikan I. werneri hari ke 35–50 pada maskulinisasi melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng

Panjang ikan I. werneri mengalami peningkatan setiap minggu (Lampiran 1). Panjang pada sampling hari ke-35 menunjukkan nilai kisaran 12,19 - 13,09 mm. Selanjutnya panjang ikan pada sampling hari ke-42 menunjukkan kisaran 15,24 - 16,47 mm dan pada hari ke-50 menunjukkan kisaran panjang 15,95 - 17,06 mm. Pertumbuhan mutlak dari ekstrak purwoceng 10, 20, dan 30 mg/L berturut-turut sebesar 4,6 mm, 3,76 mm, dan 4,76 mm. Sedangkan pertumbuhan mutlak dari 17α-MT sebesar 3,96 mm dan kontrol sebesar 3,94 mm. Pertumbuhan ikan I. werneri pada perlakuan ekstrak purwoceng, 17α-MT, dan kontrol tidak berbeda nyata (P>0,05).

Pembahasan

(19)

9 Stigmasterol bekerja merangsang pertumbuhan hormon androgen dalam tubuh. Selain itu, pemeriksaan fitokimia dari ekstrak akar purwoceng mengandung senyawa saponin, fitosterol, alkaloid, dan oligosakarida. Senyawa saponin steroid merupakan bahan dasar industri pada produksi hormon seks. Berdasarkan senyawa yang terdapat dalam tanaman purwoceng, senyawa stigmasterol dan saponin steroid diduga dapat meningkatkan kualitas dan tingkah laku seksual jantan setelah mengkonsumsinya (Putra 2011; Taufiqqurrachman 1999). Oleh karena itu, kandungan senyawa stigmasterol dan saponin steroid pada tanaman purwoceng diduga dapat meningkatkan persentase ikan jantan melalui perendaman embrio selama 8 jam. Selain afrodisiak, tanaman purwoceng juga berkhasiat obat sebagai diuretik dan tonik (Roostika et al. 2007).

Pada perlakuan ekstrak purwoceng dosis 30 mg/L mengalami penurunan jumlah persentase ikan jantan dibandingkan dosis 10 dan 20 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa pada kegiatan maskulinisasi ikan, semakin tinggi dosis yang diberikan tidak selalu diikuti dengan semakin tinggi jumlah persentase ikan jantan yang dihasilkan. Hasil serupa juga dialami pada ikan rainbow trout yang diberi

hormon 17α-MT melalui pakan. Ikan yang diberi 17α-MT 0,5 mg/kg pakan menghasilkan persentase jantan sebesar 84,4%, sedangkan ikan yang diberi 17α -MT 500 mg/kg pakan hanya meningkatkan persentase jantan sebesar 2,6% (Yamazaki 1983). Penurunan nisbah kelamin jantan ini disebabkan oleh feedback

negatif dari penggunaan bahan yang berlebihan. Efek pada dosis tinggi penggunaan ekstrak purwoceng diduga karena terdapat senyawa dianethole yang berfungsi untuk merangsang hormon estrogen (Putra 2011). Rangsangan hormon estrogen ini menyebabkan terbentuknya gonad betina, sehingga hasil perlakuan dengan dosis 30 mg/L ekstrak purwoceng lebih banyak ditemukan ikan betina daripada ikan jantan.

Nisbah kelamin pada kontrol negatif ikan I. werneri hanya menghasilkan 10% ikan jantan. Persentase ikan jantan pada I. werneri ini cukup rendah. Bila dibandingkan dengan ikan cupang dalam sekali periode pemijahan dapat dihasilkan 40% jantan, sedangkan ikan nila dapat menghasilkan 30% jantan (Yustina et al. 2012; El-Greisy dan El-Gamal 2012). Berdasarkan data tersebut diduga persentase nisbah kelamin jantan ikan I. werneri di alam lebih rendah dibanding ikan lain. Selain itu ikan pada kontrol negatif jumlah ikan jantan lebih sedikit karena ikan tidak diberikan perlakuan ekstrak purwoceng maupun hormon 17α-MT. Sehingga diferensiasi kelamin ikan berkembang secara alami tanpa ada rangsangan hormon yang mengarahkan menjadi jantan maupun betina. Maka populasi ikan jantan pada kontrol negatif ini hampir menyerupai dengan jumlah ikan I. werneri jantan di alam.

(20)

10

Derajat penetasan telur ikan I. werneri berdasarkan hasil perlakuan dengan ekstrak purwoceng, hormon MT, maupun tanpa keduanya menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan Bulkini (2012), derajat penetasan telur ikan cupang melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng (10 µl/L, 20 µl/L, dan 30 µl/L) rata-rata sebesar 88,57% – 68,57%. Kandungan senyawa kumarin pada tanaman purwoceng bekerja sebagai antifungi (Widayat dan Soetarto 2012). Senyawa tersebut diduga dapat menghambat jamur yang tumbuh akibat telur mati pasca perendaman. Hal tersebut terlihat dari hasil derajat penetasan telur ikan I. werneri dengan ekstrak purwoceng berkisar antara 87,67% - 74,67%. Hasil berbeda ditunjukkan pada perlakuan perendaman menggunakan hormon 17α-MT. Derajat penetasan telur pada perlakuan perendaman dengan hormon 17α-MT 25 mg/L memiliki nilai paling rendah dari semua perlakuan purwoceng dan kontrol negatif. Hormon 17α-MT diduga bersifat toksik, sehingga banyak embrio yang mati pasca perendaman. Oleh karena itu hasil derajat penetasan telur dengan menggunakan 17α-MT menjadi lebih rendah.

Berdasarkan Tappin (2011), tingkat kematian ikan pelangi pada stadia larva sangat tinggi. Angka mortalitas tertinggi dapat mencapai 99,99% selama stadia awal larva. Kematian pada ikan ini dapat terjadi karena penanganan yang kurang baik saat larva baru menetas. Tubuh larva ikan I. werneri sangat kecil, rapuh, dan belum berkembang dengan sempurna. Bila pada stadia awal penanganan larva kurang baik akan menyebabkan angka mortalitas yang tinggi. Penggunaan ekstrak purwoceng dan hormon 17α-MT terhadap kelangsungan hidup pada ikan I. werneri mencapai 10–30 %. Hasil pengamatan yang didapat selama pemeliharaan, kematian ikan I. werneri terjadi karena indikasi dari serangan parasit. Kematian pada perlakuan 10 mg/L ekstrak purwoceng disebabkan oleh Piscinoodiniasis (velvet disease). Piscinoodiniasis disebabkan oleh dinoflagelata Piscinoodinium pillulare yang merupakan parasit yang menyerang bagian kulit, sirip, dan insang ikan (Williams dan Williams 1994). Penyakit ini menyebabkan ikan tidak nafsu makan, produksi mukus yang berlebihan, dan berenang tidak normal. Gambar 6 menunjukkan serangan Piscinoodiniasis pada sirip dorsal ikan I. werneri.

Gambar 6 Sirip dorsal ikan I. werneri yang ditumbuhi Piscinoodinium pillulare

pada pembesaran 60 x

Pertumbuhan ikan I. werneri tidak berbeda nyata pada perlakuan menggunakan ekstrak purwoceng, 17α-MT, maupun kontrol. Data yang didapat selama 50 hari pemeliharaan pertumbuhan panjang ikan yang di-sampling mulai hari ke-35 hingga ke-50 mencapai 3 – 4 mm. Sedangkan panjang ikan I. werneri

(21)

11 maupun betina. Seksual dimorfisme teridentifikasi pada perbedaan morfologi bentuk tubuh dan warna, terutama pada bagian sirip. Individu jantan memiliki sirip dorsal pertama yang berbentuk kipas dan sirip dorsal kedua yang lebih panjang (Gambar 7). Sirip anal pada ikan jantan juga lebih panjang seperti sirip dorsal kedua dan warna sirip dorsal pertama berwarna kemerahan, sedangkan sirip dorsal kedua berwarna hitam. Pada ikan betina siripnya tidak berwarna (Roberts 1978; Tapin 2011). Selama 50 hari pemeliharaan, perbedaan bentuk dan warna sirip belum terlihat.

a b

Gambar 7 Perbedaan morfologi pada ikan I. werneri jantan (a) dan betina (b) Penggunaan bahan untuk maskulinisasi harus efisien, aman, ramah lingkungan, mudah didapat, harga murah, dan praktis. Hormon 17α-MT secara efektif dapat menghasilkan 93% ikan I. werneri jantan dibandingkan dengan kontrol. Jumlah ikan jantan yang tinggi sangat menguntungkan petani karena harga jual ikan jantan lebih mahal daripada betina. Namun, dosis 17α-MT yang terlalu tinggi berdampak tidak ramah terhadap lingkungan dan dapat menyebabkan ikan steril atau fenomena penyimpangan (paradoks) (Zairin 2002). Bila dilihat dari segi harga ekstrak purwoceng memiliki harga yang lebih murah dibandingkan dengan hormon 17α-MT. Selain itu, ekstrak purwoceng mudah didapat dan ramah lingkungan. Berdasarkan efisiensi penggunaan bahan, dosis purwoceng 10 mg/L sudah dapat mengubah nisbah kelamin ikan I. werneri lebih dari 60% dibandingkan dengan kontrol (±10%) dan setara efektif dapat menggantikan 17α-MT. Penggunaan MT harus mulai dikurangi dan diganti dengan bahan alternatif dari bahan baku alami yang ramah lingkungan. Hormon steroid berbahan alami lebih baik diberikan dengan dosis rendah dan diberikan dalam jangka waktu panjang.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(22)

12

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk maskulinisasi ikan I. werneri

menggunakan ekstrak purwoceng dengan dosis tidak lebih dari 20 mg/L dan modifikasi lama perendaman untuk menghasilkan jantan yang lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Arfah H, Alimuddin, Sumantadinata K, Ekasari J. 2002. Seks Reversal pada ikan tetra kongo stadia larva. Jurnal Akuakultur Indonesia, 1(2) : 69-74.

Arfah H, Kadriah IAK, Carman O. 2005. Efek manipulasi hormon 17α -metiltestosteron pada berbagai variasi temperatur air terhadap rasio kelamin ikan gapi (Poecilia reticulata Peters). Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(1) : 37-40.

Bulkini A. 2012. Maskulinisasi ikan cupang (Betta splendens) melalui perendaman embrio dengan ekstrak tanaman purwoceng (Pimpinella alpina). [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Cahyani D. 2014. Maskulinisasi ikan cupang Betta splendens dengan ekstrak

tanaman purwoceng melalui perendaman artemia. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

El-Greisy ZA, El-Gamal AE. 2012. Monosex production of tilapia, Oreochromis niloticus using different doses of 17α-methyltestosterone with respect to the degree of sex stability after one year of treatment. Egyptian Journal of Aquatic Research,38: 59-66.

Putra S. 2011. Maskulinisasi ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui perendaman dalam ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Raharjo M, Darwati I, Shusena A. 2006. Produksi mutu simplisia purwoceng berdasarkan lingkungan tumbuh dan umur tanaman. Jurnal Bahan Alami Indonesia, 8(1) : 310-316

Roberts TR. 1978. An Ichthyological Survey of the Fly River in Papua New Guinea with Descriptions of New Species. Smithsonian Contributions to Zoology; no. 281. Smithsonian Institution Press. Washington.

(23)

13 Tappin AR. 2011. Rainbowfishes Their Care & Keeping in Captivity – Second

Edition. Art Publication.

Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina Molk. (purwoceng) dan akar Eurycoma longifolia Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar testosteron, LH, dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan Sprague Dawley. [Tesis]. Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.

Wahyuni S. 2010. Evaluasi karakter morfologi purwoceng (Pimpinella pruatjan

Molk.) generasi M2 hasil induksi mutasi sinar gamma di Cicurug dan Cibadak. [Skripsi]. Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Widayat T, Soetarto AES. 2012. Isolation of endophyc bacteria from purwoceng (Pimpinella alpina Kds.). Health Science Indones 3(1): 31-36.

Williams LB, Williams EH. 1994. Parasities of Puerto Rican Freshwater Sport Fishes. Sportfish Disease Project, Departemen of Marine Science, University of Puerto Rico. Puerto Rico.

Yamazaki F. 1983. Sex control and manipulation in fish. Aquaculture 33 : 329-354.

Yustina, Arnetis, Ariani D. 2012. Efektivitas tepung teripang pasir (Holothuria scabra) terhadap maskulinisasi ikan cupang (Betta splendens). Jurnal Biogenesis 9(1) : 37-44.

Zairin M. 2002. Seks Reversal : Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta.

Zairin M, Yunianti A, Dewi RRSPS, Sumantadinata K. 2002. Pengaruh lama

(24)

14

LAMPIRAN

Lampiran 1 Sampling Pertumbuhan Panjang Ikan I. werneri

PERLAKUAN D35 D42 D50

A 12.46 16.47 17.06

B 12.19 15.24 15.95

C 12.76 16.55 16.97

D 13.07 16.28 17.03

E 13.09 15.87 17.03

Lampiran 2 Uji Lanjut Duncan

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized

Residual

N 15

Normal Parametersa,,b Mean .0000000

Std. Deviation 1.17909059

Most Extreme Differences Absolute .163

Positive .132

Negative -.163

Kolmogorov-Smirnov Z .632

Asymp. Sig. (2-tailed) .819

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

DPt 2.306 4 10 .129

NISBAH_KELAMIN 2.194 4 10 .143

TKH .816 4 10 .543

(25)

15 ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

DPt Between Groups 835.733 4 208.933 1.536 .265

Within Groups 1360.667 10 136.067

Total 2196.400 14

NISBAH_KELAMIN Between Groups 1219.185 4 304.796 9.566 .002

Within Groups 318.637 10 31.864

Total 1537.822 14

TKH Between Groups .001 4 .000 .033 .998

Within Groups .095 10 .009

Total .096 14

PERTUMBUHAN Between Groups 1.258 4 .315 .222 .920

Within Groups 14.180 10 1.418

Total 15.438 14

NISBAH_KELAMIN

Duncana

PERLA

KUAN N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

5.00 3 3.3333

3.00 3 18.8900

1.00 3 21.1100 21.1100

2.00 3 22.2233 22.2233

4.00 3 31.1100

Sig. 1.000 .506 .065

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

(26)

16

Lampiran 3 Klasifikasi Tanaman Purwoceng

Klasifikasi purwoceng adalah sebagai berikut (Wahyuni 2010) : Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dycotiledonae

Famili : Apiaceae (Umbelliferae) Genus : Pimpinella

(27)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Oktober 1993 dari ayah Achmad Zainuddin dan ibu Muksinah (alm). Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara. Pendidikan yang ditempuh penulis yaitu, tahun 2005 lulus dari SDIT Meranti, tahun 2008 lulus dari SMP Negeri 10 Jakarta, tahun 2011 lulus dari SMA Negeri 1 Jakarta, dan pada tahun 2011 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SMNPTN Undangan dan diterima di Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik pada tahun ajaran 2013/2014 dan 2014/2015, asisten Industri Pembenihan Organisme Akuatik tahun ajaran 2015, dan Ikan Hias dan Akuaskap tahun ajaran 2015. Penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) periode 2012/2013 dan 2013/2014. Tahun 2013 penulis melakukan kegiatan magang di Balai Pengembangan Benih Ikan Air Tawar Singaparna (BPPBAT). Penulis melakukan kegiatan Praktik Lapangan Akuakultur di PT Arwana Indonesia, Cibubur pada tahun 2014. Selama di IPB penulis mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) periode 2013-2014.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Maskulinisasi Ikan Pelangi

Gambar

Tabel 3 Parameter kualitas air pada pemeliharaan ikan I. werneri
Gambar 1 Derajat penetasan telur pada maskulinisasi ikan I. werneri melalui
Gambar 3 Nisbah kelamin jantan pada maskulinisasi ikan I. werneri melalui
Gambar 5 Pertumbuhan panjang ikan I. werneri hari ke 35–50 pada maskulinisasi

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng ( Pimpinella alpina ) selama 1-13 hari kebuntingan memberikan peningkatan terhadap perkembangan tulang kepala anak tikus pada hari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus betina bunting yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng pada umur kebuntingan 13-21 hari juga memiliki pertambahan

Perlunya kajian lebih lanjut mengenai penggunaan ekstrak cabe jawa untuk maskulinisasi ikan guppy dengan menggunakan metode berbeda, juga pengamatan pada presentase kelamin jantan

Hipotesa dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak etanol purwoceng ( Pimpinella alpina ) pada tikus putih betina yang bunting selama 1-13 hari dapat mempengaruhi bobot ovarium

Identifikasi senyawa golongan tanin penotolan ekstrak etil asetat konsentrasi 25000 µg/ml pada KLT menggunakan fase diam silika gel F254 dan fase gerak n-heksan : etil asetat

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa ekstrak purwoceng yang diberikan dengan dosis 5 g/kg pakan berpengaruh nyata terhadap perkembangan tubulus seminiferus (p&lt;0,05),

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus betina bunting yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng pada umur kebuntingan 13-21 hari juga memiliki pertambahan

Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan memberikan peningkatan terhadap perkembangan tulang kepala anak tikus pada hari ke-42,