• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maskulinisasi Ikan Cupang Betta splendens dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng Pimpinella alpina Melalui Perendaman Artemia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Maskulinisasi Ikan Cupang Betta splendens dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng Pimpinella alpina Melalui Perendaman Artemia"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

MASKULINISASI IKAN CUPANG Betta splendens DENGAN

EKSTRAK TANAMAN PURWOCENG Pimpinella alpina

MELALUI PERENDAMAN ARTEMIA

DWI CAHYANI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Maskulinisasi Ikan Cupang Betta splendens dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng Pimpinella alpina

Melalui Perendaman Artemia” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Dwi Cahyani

(4)

ABSTRAK

DWI CAHYANI. Maskulinisasi Ikan Cupang Betta splendens dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng Pimpinella alpina Melalui Perendaman Artemia. Dibimbing oleh HARTON ARFAH dan ENI KUSRINI.

Ikan cupang Betta splendens jantan memiliki keindahan warna serta sifat yang agresif sehingga banyak diminati dan memiliki harga jual yang lebih tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji penggunaan ekstrak tanaman purwoceng dengan teknik perendaman artemia pada maskulinisasi ikan cupang. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dosis ekstrak tanaman purwoceng (20, 40, dan 60 mg/L), perlakuan 17α-methyltestosterone

(MT) 500 μg/L dan kontrol dengan masing-masing tiga ulangan setiap perlakuan. Artemia bervolume 100 mL diperkaya selama 24 jam melalui perendaman dan diberikan pada larva sejak berumur 4 hari setelah penetasan hingga 40 hari. Jenis kelamin ikan yang telah berumur 2 bulan diidentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak tanaman purwoceng 20 mg/L memberikan nisbah kelamin jantan (75,00%) dan kelangsungan hidup (86,67%) tertinggi bila dibandingkan dengan kontrol (40,00 % dan 77,78%) dan perlakuan dengan 17-α methyltestosterone (MT) 500 μg/L (62,50% dan 46,67%). Dengan demikian, ekstrak tanaman purwoceng dapat digunakan untuk maskulinisasi ikan cupang melalui perendaman artemia dengan dosis terbaik adalah 20 mg/L yang membuat nisbah kelamin jantan ikan cupang lebih tinggi dari kontrol.

Kata kunci: artemia, Betta splendens, ekstrak tanaman purwoceng P. alpina, maskulinisasi, perendaman.

ABSTRACT

DWI CAHYANI. Masculinization of Betta Fish Betta splendens with Extract of Purwoceng Pimpinella alpina through Artemia Immersion. Supervised by HARTON ARFAH and ENI KUSRINI.

Male betta fish (Betta splendens) has a beautiful color and aggressive characteristic it causes more attractive and has a higher market price. This research was conducted to determine the effect of using extract purwoceng through artemia immersion technique on masculinization of betta fish. This study used a compeletely randomized design consists of three dose treatments of extract purwoceng (20, 40, and 60 mg/L), 17α-methyltestosterone (MT) treatment (500 μg/L) and control with three replications for each treatments. The 100 mL volume of artemia was enriched for 24 hours through immersion and given to larvae since the age of 4 days after hatching until 40 days. Sex was identified at 2 months-old. The results showed that the extract purwoceng treatment 20 mg/L gave the highest rate of male ratio (75.00%) and survival rate (86.67%) compared with control (40.00% and 77.78%) and 17α-methyltestosterone (MT) 500 μg/L (62.50% and 46.67%) treatment. The conclusion was extract purwoceng can be used for masculinization of betta fish through artemia immersion with the best dose was 20 mg/L that made male sex ratio of betta fish higher than control.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Budidaya Perairan

MASKULINISASI IKAN CUPANG Betta splendens DENGAN

EKSTRAK TANAMAN PURWOCENG Pimpinella alpina

MELALUI PERENDAMAN ARTEMIA

DWI CAHYANI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Maskulinisasi Ikan Cupang Betta splendens dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng Pimpinella alpina Melalui Perendaman Artemia

Nama : Dwi Cahyani

NIM : C14100072

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Disetujui oleh

Ir. Harton Arfah, MSi Pembimbing I

Eni Kusrini, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr.Ir.Sukenda, MSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini yang berjudul “Maskulinisasi Ikan Cupang Betta splendens dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng Pimpinella alpina Melalui Perendaman Artemia”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2014 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BPPBIH) Depok dan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Berbagai pihak telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, Samino dan Rasminah atas do’a, dukungan, dan kasih sayangnya. Adikku tersayang Wahyu Saputro atas bantuan serta dukungannya.

2. Ir. Harton Arfah, MSi selaku Pembimbing I dan Eni Kusrini, MSi selaku Pembimbing II atas segala masukan dan dukungannya selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini.

3. Dr. Alimuddin S.Pi, MSc selaku Pembimbing Akademik dan Komisi Pendidikan S1 BDP atas bimbingan selama penulis menempuh pendidikan sarjana serta masukannya dalam penyusunan tugas akhir ini.

4. Dr. Ir. Muhammad Agus Suprayudi, MSi selaku Dosen Penguji dalam Ujian Akhir Skripsi.

5. Bu Erma, Bu Riani, Bu Yusni, Mas Asep, Pak Nian, dan staf BPPBIH Depok lainnya yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian.

6. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium PBI dan Genetika: Lilis, Haris, Fira, dan yang lainnya juga Mba Lina serta teman-teman penelitian di BPPBIH Depok: Aslia, Angel, dan Zulfa.

7. Teman-teman seperjuangan BDP 47 atas semangat, motivasi, dan kebersamaannya selama ini.

8. Indriyani Anggi Pramesti, S.Pi atas dukungan dan kebersamaannya di BDP. 9. Keluarga besar Departemen Budidaya Perairan.

10.Ricky Ramadhan, S.Pi yang telah memberikan dukungan, dorongan, bantuan, semangat, dan kebersamaannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Pihak penyelenggara beasiswa PPA/BBM atas bantuan materi selama penulis menjadi mahasiswa IPB.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis, ilmu pengetahuan, masyarakat, dan seluruh pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ... viii

DAFTAR GAMBAR ... …viii

PENDAHULUAN ... …...1

Latar Belakang ... …...1

Tujuan Penelitian ... …...2

METODE………. ... ...2

Rancangan Percobaan ... …...2

Prosedur Penelitian... …...3

Prosedur Analisis Data ... …...5

HASIL DAN PEMBAHASAN ... …...6

Hasil……… ... …...6

Pembahasan ... …...7

KESIMPULAN DAN SARAN ... ….10

Kesimpulan…. ... ….10

Saran……… ... ….10

DAFTAR PUSTAKA ... ….11

LAMPIRAN ... ….12

(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Rancangan perlakuan maskulinisasi ikan cupang dengan

ekstrak tanaman purwoceng……….. 2 2 Nilai suhu, pH, dan DO air pemijahan induk……… 3 3 Kisaran suhu, pH, dan DO air selama penelitian……….. 4

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Nisbah kelamin jantan ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak tanaman purwoceng melalui perendaman artemia..…….. 6 2 Kelangsungan hidup ikan cupang pada maskulinisasi dengan

ekstrak tanaman purwoceng melalui perendaman artemia..…….. 7 3 Jaringan gonad ikan cupang betina dan jantan pada pembesaran

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan cupang (Betta splendens) merupakan salah satu jenis ikan hias air tawar yang berasal dari Sumatera, Jawa, Thailand, Singapura serta Malaysia dan dikenal dengan nama dagang Siammese fighting fish (Lesmana dan Iwan 2007). Agresivitas ikan tersebut, terutama jantan, menjadi daya tarik tersendiri sehingga ikan cupang jantan lebih banyak diminati dan memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan betinanya. Oleh karena itu dalam dunia perdagangan, para pembudidaya ikan cupang berusaha menghasilkan populasi jantan yang lebih tinggi.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi jantan ikan cupang adalah melalui sex reversal dengan teknik maskulinisasi ikan. Metode sex reversal merupakan suatu teknologi untuk membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Teknik tersebut dapat dilakukan untuk memperoleh populasi monoseks jantan yang dapat mengubah fenotipe ikan tetapi tidak mengubah genotipenya (Zairin 2002). Salah satu caranya adalah dengan penggunaan hormon steroid pada ikan yang belum terdiferensiasi jenis kelaminnya (Pandian dan Kavumpurath 1994). Penggunaan hormon merupakan metode langsung yang dapat diterapkan dalam memperoleh populasi monoseks. Hormon biasanya digunakan pada awal kehidupan ikan (Zairin 2002). Salah satu bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai hormon steroid untuk melakukan maskulinisasi pada ikan, selain hormon 17α-methyltestosterone (MT) adalah purwoceng (Putra 2011) yang merupakan bahan alami.

Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman obat yang banyak tumbuh secara liar di kawasan Dieng pada ketinggian 2000 – 3000 m dpl. Tanaman tersebut juga tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Purwoceng mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tannin dan senyawa-senyawa lain seperti steroid, flavonoid, glikolisa, dan fenolik (Ma’mun,

et al. 2006).

Penggunaan ekstrak tanaman purwoceng untuk maskulinisasi telah dilakukan oleh Putra (2011) pada ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui perendaman larva dengan hasil tertinggi sebesar 73,3% pada dosis 20 mg/L dibandingkan kontrol (52,2%) dan pada penelitian Bulkini (2012) terhadap ikan cupang (Betta splendens) melalui perendaman embrio fase bintik mata diperoleh hasil nisbah jantan tertinggi (62,68%) pada dosis 10 μL/L dibandingkan dengan kontrol (45,91%). Hal itu disebabkan oleh adanya senyawa fitosteroid, berupa stigmasterol sebanyak 5,38% yang dikandung oleh purwoceng (Putra 2011) dan menunjukkan bahwa ekstrak tanaman purwoceng dapat dimanfaatkan sebagai bahan maskulinisasi pada ikan, salah satunya adalah ikan cupang.

(12)

2

perendaman maupun secara oral yaitu melalui pakan. Namun, penggunaan pakan buatan dalam budidaya ikan cupang belum banyak dilakukan karena segmen pemeliharaan larva, pembesaran, maupun induk masih bergantung pada penggunaan pakan alami.

Pakan alami merupakan makanan hidup bagi larva dan benih ikan yang mencakup fitoplankton, zooplankton, dan bentos serta berperan sebagai sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Selain itu, ukuran pakan alami yang relatif kecil (150 mikron – 1 mm) sesuai bukaan mulut larva (benih), tidak mencemari lingkungan, dan mengandung enzim yang berfungsi membantu pencernaan di usus larva atau benih yang belum berkembang alat pencernaannya. Jenis pakan alami yang biasa dimanfaatkan adalah artemia yang bersifat non selective filter feeder (penyaring tidak selektif) dalam mengambil makanan (Dewi 2010). Artemia menelan pakan secara utuh bahkan ukuran pakan dengan ukuran yang kira-kira sama dengan bukaan mulutnya sekitar 250 mikron (Djarijah 1995). Artemia juga merupakan jenis pakan hidup yang paling disenangi oleh larva. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan maskulinisasi ikan cupang secara oral melalui artemia yang direndam dengan ekstrak tanaman purwoceng sehingga pemberian ekstrak tanaman purwoceng ataupun hormon dimungkinkan dapat masuk ke dalam artemia dan lebih banyak diterima oleh larva karena larva mengonsumsi artemia hasil perendaman.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji penggunaan ekstrak tanaman purwoceng dengan teknik perendaman artemia pada maskulinisasi ikan cupang.

METODE

Rancangan Percobaan

Penelitian ini terdiri atas kontrol, satu kontrol positif (MT), dan tiga perlakuan ekstrak tanaman purwoceng, masing-masing dengan tiga kali ulangan. Rancangan perlakuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rancangan perlakuan maskulinisasi ikan cupang dengan ekstrak tanaman purwoceng melalui perendaman artemia.

Perlakuan Keterangan

Kontrol Artemia tanpa perendaman

MT Artemia direndam dengan larutan 17α-methyltestosterone (MT) 500 μg/L P20 Artemia direndam dengan larutan ekstrak tanaman purwoceng 20 mg/L P40 Artemia direndam dengan larutan ekstrak tanaman purwoceng 40 mg/L P60 Artemia direndam dengan larutan ekstrak tanaman purwoceng 60 mg/L

(13)

3

Prosedur Penelitian

Pembuatan Ekstrak Tanaman Purwoceng

Bubuk tanaman purwoceng (simplisia) ditimbang sebanyak 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditambah dengan 4,6 mL alkohol 70%. Campuran tersebut diaduk selama 3 jam dengan hotplate magnetic stirer

kemudian didiamkan selama 24 jam. Selanjutnya campuran disaring dengan kertas saring (Putra 2011). Ekstrak yang didapatkan diencerkan dengan 1 liter akuades lalu disimpan dalam lemari pendingin (-4⁰C) sebagai larutan stok.

Pembuatan Larutan Hormon 17α-methyletestosterone (MT)

Hormon 17α-methyletestosterone (MT) berbentuk bubuk berwarna putih ditimbang sebanyak 50 μg lalu dimasukkan ke dalam tabung mikro dan ditambah dengan 0,5 mL alkohol 70%. Campuran tersebut dihomogenisasi dengan vorteks. Selanjutnya larutan dituang ke dalam 100 mL akuades dalam botol kaca bervolume 150 mL lalu disimpan dalam lemari pendingin (-4⁰C) sebagai larutan stok.

Pemijahan Ikan Cupang

Pemijahan ikan cupang diawali dengan pemilihan induk jantan dan betina yang telah matang gonad. Indukan matang gonad yang telah dipilih selanjutnya ditimbang. Setelah itu, induk jantan dimasukkan ke dalam baskom plastik yang telah disiapkan dan diberi plastik bening berukuran 9,2 x 10,2 cm2 sebagai tempat induk jantan membuat sarang busa (bubblenest). Induk betina dimasukkan ke dalam baskom namun dipisahkan dengan wadah transparan. Setelah terbentuk

bubblenest induk betina disatukan dengan induk jantan dalam baskom. Keesokan harinya setelah pemijahan selesai, induk betina ditimbang sedangkan induk jantan dibiarkan menjaga telur-telurnya hingga menetas. Kualitas air meliputi suhu, DO, dan pH sebelum dan setelah pemijahan diukur (Tabel 2).

Tabel 2 Nilai suhu, pH, dan DO air pemijahan induk. Parameter

Siste artemia ditimbang sebanyak 7,5 gram lalu ditetaskan dalam 2 liter air bersalinitas 35 g/L sekitar 24 jam kemudian dipanen. Pemanenan dilakukan dengan menyifon artemia pada kolom air. Selanjutnya artemia dibagi ke dalam lima wadah berbeda masing-masing dengan volume 100 mL (kontrol), 99 mL (MT dan P20), 98 mL (P40), dan 97 mL (P60).

Perendaman Artemia dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng

(14)

4

Sehingga diperoleh volume perendaman pada masing-masing perlakuan adalah 100 mL. Artemia yang telah dicampur dengan larutan ekstrak tanaman purwoceng selanjutnya diaerasi kuat selama 24 jam. Setelah itu disaring dan diberikan sebagai pakan larva.

Perendaman Artemia dengan Larutan Hormon MT

Artemia hasil penetasan sebanyak 99 mL ditambah dengan 1 mL larutan hormon MT lalu diaerasi kuat selama 24 jam. Setelah itu disaring dan diberikan sebagai pakan larva.

Tahap Perlakuan

Perlakuan berupa artemia hasil perendaman dengan ekstrak tanaman purwoceng dan hormon MT diberikan pada larva sejak berumur 4 hari setelah menetas hingga 40 hari. Larva yang digunakan dalam perlakuan sebanyak 30 ekor per akuarium berukuran 15 x 15 x 20 cm3. Larva dengan kepadatan 30 ekor per akuarium dipelihara hingga berumur 17 hari. Saat larva berumur 18 hari dilakukan penjarangan dengan kepadatan larva berkisar 8 – 15 ekor per wadah untuk setiap perlakuan. Wadah yang digunakan berupa toples plastik bervolume 3,5 liter. Selanjutnya setelah larva berumur 27 hari dilakukan kembali penjarangan. Ikan dipelihara setiap ekornya di dalam wadah berbeda berupa gelas-gelas plastik bervolume 350 ml hingga akhir pemeliharaan. Pemberian pakan dilakukan 3 – 4 kali sehari sebanyak 2,5 – 5 mL setiap pemberian. Penyifonan dilakukan setiap 3 – 4 hari dan pengukuran kualitas air meliputi pH, suhu, dan DO dilakukan di awal, tengah, dan akhir masa pemeliharaan (Tabel 3).

Tabel 3 Kisaran suhu, pH, dan DO air selama penelitian.

Parameter Satuan Kisaran

Terendah

Identifikasi jenis kelamin dilakukan secara sekunder dan primer. Identifikasi sekunder dilakukan secara langsung dengan melihat perbedaan sirip, warna, dan bentuk badan pada saat ikan berumur 2 – 3 bulan (Zairin 2002). Ikan dari masing-masing perlakuan dan setiap ulangan diamati satu per satu sehingga diperoleh data nisbah kelamin berdasarkan identifikasi sekunder. Setelah itu dilakukan pula identifikasi primer yaitu melalui pengamatan gonad dengan sampel 10 ekor ikan jantan dan 10 ekor ikan betina (berdasarkan data identifikasi sekunder) yang diambil secara acak dari setiap perlakuan.

(15)

5

Prosedur Analisis Data

Data diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Office Excel 2007 lalu dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin antara jantan dan betina merupakan parameter utama yang menjadi indikator keberhasilan teknik sex reversal (Zairin 2002), dihitung dengan rumus sebagai berikut:

a. Jantan

Keterangan:

Jantan = nisbah ikan berjenis kelamin jantan (%) j = jumlah individu jantan (ekor)

T = jumlah individu yang diperiksa (ekor)

b. Betina

Keterangan:

Betina = nisbah ikan berjenis kelamin betina (%) b = jumlah individu betina (ekor)

T = jumlah individu yang diperiksa (ekor)

Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup atau Survival Rate (SR) merupakan jumlah ikan yang masih hidup setelah waktu tertentu, dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% 100

x No

Nt SR

Keterangan :

SR = Survival rate (%)

Nt = jumlah individu pada akhir perlakuan (ekor) No = jumlah individu pada awal perlakuan (ekor)

(16)

6

Nisbah kelamin jantan ikan cupang pada perlakuan dengan ekstrak tanaman purwoceng, hormon MT, dan kontrol pada identifikasi sekunder berkisar 61,54% – 71,43%, sedangkan pada identifikasi primer berkisar 40,00% – 75,00% (Gambar 1a). Berdasarkan Gambar 1a ditunjukkan bahwa nisbah kelamin jantan ikan cupang tertinggi secara sekunder dan primer masing-masing sebesar 71,43% (MT) dan 75,00% (P20). Nisbah kelamin jantan terendah berdasarkan Gambar 1a adalah 61,54% (P20) berdasarkan identifikasi sekunder dan 40,00% (kontrol dan P60) berdasarkan identifikasi primer.

(a)

(b)

Keterangan: P20= ekstrak purwoceng 20 mg/L P60= ekstrak purwoceng 60 mg/L P40= ekstrak purwoceng 40 mg/L MT= hormon MT 500 μg/L

(17)

7

Berdasarkan Gambar 1b ditunjukkan kisaran nisbah kelamin betina ikan cupang adalah 28,57% – 38,46% pada identifikasi sekunder, sedangkan pada identifikasi primer berkisar 25,00% – 60,00%. Nisbah kelamin betina tertinggi dan terendah masing-masing sebesar 60,00% (kontrol dan P60) dan 25,00% (P20) pada identifikasi primer. Berdasarkan identifikasi sekunder diperoleh nisbah kelamin betina tertinggi dan terendah adalah 38,46% (P20) dan 28,57% (MT).

Kelangsungan hidup

Kelangsungan hidup ikan cupang pada perlakuan ekstrak tanaman purwoceng berkisar 75,56% – 86,67%, sedangkan pada perlakuan kontrol dan hormon MT masing-masing bernilai 77,78% dan 46,67% (Gambar 2).

Berdasarkan Gambar 2 ditunjukkan bahwa kelangsungan hidup ikan cupang tertinggi adalah 86,67% pada perlakuan P20. Selanjutnya diikuti oleh kelangsungan hidup pada perlakuan P60, kontrol, dan P40 yang masing-masing nilainya adalah 78,89%, 77,78%, dan 75,56%. Sedangkan kelangsungan hidup terendah adalah 46,67% pada perlakuan hormon MT.

Keterangan: P20= ekstrak purwoceng 20 mg/L P60= ekstrak purwoceng 60 mg/L P40= ekstrak purwoceng 40 mg/L MT= hormon MT 500 μg/L

Gambar 2 Kelangsungan hidup ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak tanaman purwoceng melalui perendaman artemia.

Pembahasan

Kelangsungan hidup merupakan jumlah ikan yang masih hidup setelah waktu pemeliharaan tertentu. Tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan P40 dan P60 nilainya relatif sama dengan kontrol yaitu berkisar 75,56% – 77,78%. Sedangkan perlakuan P20 menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi yaitu 86,67%. Tingginya kelangsungan hidup pada perlakuan ekstrak tanaman purwoceng diduga karena adanya senyawa limonena, γ-himachalene, dan pristine dalam purwoceng yang berperan menambah daya tahan tubuh (Gunawan 2002) sehingga larva menjadi lebih kuat. Namun, tingkat kelangsungan hidup ikan pada perlakuan hormon MT 500 μg/L (46,67%) justru paling rendah nilainya. Hal tersebut diduga sebagai efek negatif dari penggunaan hormon MT. Serra et al.

(18)

8

vertebrata tingkat tinggi. Kejadian serupa juga diduga terjadi pada larva ikan cupang yang diberi artemia hasil perendaman dengan hormon MT karena perkembangan organnya pun belum sempurna. Efek negatif lain dari penggunaan hormon MT terhadap kelangsungan hidup juga terjadi pada sex reversal ikan gapi melalui teknik oral pada induk yang menyebabkan semua anak ikan gapi mengalami kematian sejak awal dilahirkan (Riani, et al. 2007). Penelitian Kirankumar dan Pandian (2002) juga menyebutkan bahwa kenaikan dosis penggunaan hormon MT menyebabkan kecacatan benih dan kematian setelah 2 – 3 hari perlakuan.

Selain mempengaruhi kelangsungan hidup, penggunaan hormon MT untuk perendaman artemia pada penelitian ini pun berpengaruh terhadap nisbah kelamin ikan cupang. Hasil identifikasi jenis kelamin ikan cupang secara sekunder dan primer menunjukkan nisbah kelamin jantan yang berbeda. Nisbah kelamin jantan hasil identifikasi sekunder menunjukkan bahwa perlakuan hormon MT memberikan hasil terbaik sebesar 71,43%. Selanjutnya diikuti oleh perlakuan P40, kontrol, P60, dan P20 yang masing-masing nilainya adalah 69,12%, 67,14%, 63,38%, dan 61,54%. Hasil tersebut menunjukkan nilai yang kisarannya tidak berbeda jauh antara kontrol, perlakuan hormon MT, dan perlakuan ekstrak tanaman purwoceng, sehingga dilakukan identifikasi primer yaitu dengan pengamatan gonad ikan dengan mengambil sampel acak dari setiap perlakuan agar nisbah kelamin yang diperoleh lebih akurat.

Nisbah kelamin jantan hasil identifikasi primer pada perlakuan hormon MT (62,50%) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan P60 (40,00%) namun lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan P20 (75,00%) dan P40 (65,00%).

1 2

Keterangan: a. bakal sel betina dan b. bakal sel jantan

Gambar 3 Jaringan gonad ikan cupang betina (1) dan jantan (2) pada pembesaran 400 x.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya peningkatan nisbah ikan cupang jantan pada perlakuan P20 dan P40 bila dibandingkan dengan kontrol, perlakuan P60, dan perlakuan hormon MT. Peningkatan nisbah kelamin tersebut diduga karena adanya pengaruh bahan aktif berupa senyawa fitoandrogen pada ekstrak tanaman purwoceng berupa stigmasterol sebanyak 5,38%. Stigmasterol mempunyai sifat yang sama dengan hormon androgen yang juga mempengaruhi nisbah kelamin jantan ikan nila menjadi lebih tinggi dengan nisbah sebesar 66,70%, 73,30%, dan 68,88% pada penggunaan ekstrak tanaman purwoceng (10,

(19)

9 20, dan 30 mg/L) bila dibandingkan dengan kontrol (52,20%) (Putra 2011). Rendahnya nisbah kelamin jantan hasil identifikasi primer pada perlakuan hormon MT bila dibandingkan dengan perlakuan P20 dan P40 diduga karena hormon MT yang diberikan dalam perendaman artemia dikonversi menjadi estradiol-17β di dalam tubuh artemia karena hormon MT merupakan hormon androgen yang dapat diaromatisasi (Zairin 2002). Nisbah kelamin jantan yang rendah pada perlakuan hormon MT juga diduga karena telah berkurangnya pengaruh hormon pada penggunaan jangka panjang seperti yang dikemukakan oleh Low et al. (1994)

dalam Piferrer dan Lim (1997). Penelitiannya mengenai sex reversal pada ikan gapi dengan hormon MT melalui moina dan pakan buatan menunjukkan bahwa 2 minggu setelah perlakuan dihasilkan ikan gapi berpenampakkan jantan. Namun, perlakuan yang dilanjutkan lebih dari 2 minggu membuat nisbah jantan menurun karena pengaruh hormon MT telah berkurang. Penurunan nisbah jantan ditandai dengan munculnya karakteristik betina ikan gapi berupa titik hitam di bagian abdominalnya.

Keberhasilan membuat populasi jantan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol terbukti dalam penelitian ini. Hasil dari penggunaan ekstrak tanaman purwoceng (20, 40, dan 60 mg/L) melalui perendaman artemia diperoleh populasi jantan (75,00%, 65,00%, dan 40,00%) dengan populasi jantan pada kontrol sebesar 40,00%. Sedangkan Bulkini (2012) menyatakan bahwa perendaman embrio ikan cupang pada ekstrak tanaman purwoceng dosis 10, 20, dan 30 μL/L selama 8 jam menghasilkan populasi ikan jantan masing-masing sebesar 62,68%, 62,66%, dan 39,72% dengan populasi ikan jantan pada perlakuan kontrol sebesar 45,91%. Kenaikan nisbah kelamin ikan jantan pada penelitian ini dibandingkan penelitian Bulkini (2012) diduga karena adanya pengaruh perbedaan metode dan lama waktu serta dosis perlakuan. Piferrer dan Lim (1997) menyebutkan bahwa terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam aplikasi sex reversal, yaitu (1) jenis steroid yang digunakan (androgen atau estrogen, bahan alami atau sintetik), (2) waktu awal perlakuan yang dihubungkan dengan tingkat diferensiasi kelamin, (3) dosis hormon, dan (4) lama perlakuan.

Artemia hasil pengkayaan sebagai pembawa hormon berperan dalam pencapaian hasil berupa tingginya nisbah kelamin jantan setelah perlakuan maskulinisasi ikan cupang. Artemia merupakan pakan alami hidup yang bersifat

non selective filter feeder dalam mengambil makanan (Dewi 2010). Sifat tersebut memungkinkan artemia menelan hormon yang diberikan lalu termakan dan tercerna oleh larva karena ukuran artemia sesuai dengan bukaan mulut larva dan artemia mengandung enzim yang berfungsi membantu pencernaan di usus larva atau benih yang belum berkembang alat pencernaannya. Selain itu, artemia juga merupakan jenis pakan hidup yang disenangi oleh larva sehingga pemberian ekstrak tanaman purwoceng ataupun hormon melalui artemia memungkinkan hormon menjadi lebih banyak diterima oleh larva (Zairin 2002). Penggunaan hormon melalui metode pakan pada waktu serta dosis yang tepat terbukti pada penelitian Pandian dan Kavumpurath (1994) yang dapat menghasilkan 100% populasi ikan cupang jantan dengan penggunaan hormon MT 15 mg/kg pakan selama 40 hari.

(20)

10

dengan nisbah kelamin jantan yang dihasilkan. Hasil identifikasi primer jenis kelamin menunjukkan bahwa populasi ikan jantan pada perlakuan ekstrak tanaman purwoceng (20, 40, dan 60 mg/L) menurun (75,00%, 65,00%, dan 40,00%) dengan semakin tingginya dosis yang diberikan. Hal serupa juga terjadi pada nisbah ikan cupang jantan pada maskulinisasi dengan ekstrak tanaman purwoceng melalui perendaman embrio. Dosis ekstrak tanaman purwoceng 10, 20, dan 30 μL/L berturut-turut menghasilkan populasi jantan masing-masing sebesar 62,68%, 62,66%, dan 39,72% (Bulkini 2012). Putra (2011) dalam penelitiannya mengenai maskulinisasi ikan nila dengan ekstrak tanaman purwoceng pun menyebutkan terjadinya penurunan nisbah kelamin jantan (73,30% menjadi 68,88%) pada dosis yang lebih tinggi (20 mg/L menjadi 30 mg/L). Penurunan nisbah kelamin jantan seiring dengan pertambahan dosis menunjukkan fenomena penyimpangan (paradoksial) yaitu pemberian androgen justru menghasilkan populasi betina lebih banyak (Zairin 2002).

Nisbah kelamin betina ikan cupang pada penelitian ini berbanding lurus dengan peningkatan dosis. Semakin tinggi dosis maka semakin tinggi populasi betinanya. Efek yang terjadi pada penggunaan ekstrak tanaman purwoceng dosis tinggi juga diduga terjadi karena adanya senyawa dianethole yang merangsang pembentukan hormon estrogen (betina) (Gunawan 2002). Hal tersebut dapat dilihat dari hasil yang menunjukkan bahwa maskulinisasi ikan cupang dengan perlakuan ekstrak tanaman purwoceng (20, 40, dan 60 mg/L) diperoleh populasi betina masing-masing sebesar 25,00%, 35,00%, dan 60%. Sedangkan pada perlakuan hormon MT diperoleh populasi betina sebesar 37,50% dan 60,00% betina pada kontrol.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak tanaman purwoceng dapat digunakan untuk maskulinisasi ikan cupang melalui perendaman artemia dengan dosis terbaik adalah 20 mg/L yang membuat nisbah jantan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol.

Saran

(21)

11

DAFTAR PUSTAKA

Bulkini, A. 2012. Maskulinisasi Ikan Cupang (Betta splendens) Melalui Perendaman Embrio dengan Ekstrak tanaman purwoceng (Pimpinella alpina) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Dewi, R. 2010. Pengaruh Dosis Aromatase Inhibitor Melalui Bioenkapsulasi

Artemia sp. Terhadap Keberhasilan Maskulinisasi Ikan Nila Merah

Oreochromis sp. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Djariah, A. S. 1995. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Gunawan, D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Kirankumar, S., Pandian, T.J. 2002. Effect on Growth and Reproduction of Hormone Immersed and Masculinized Fighting Fish Betta splendens. Jurnal. Jurusan Biologi. Universitas Madurai Kamaraj. India.

Lesmana, D. S., Iwan D. 2007. Budi Daya Ikan Hias Air Tawar Populer. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Ma’mun, Suhirman, S., Manoi, F., Sembiring, B.F., Tritianingsih, Sukmasari, M., Gani, A., Tjitjah, F., dan Kustiwa, D. 2006. Teknik Pembuatan Simplisia dan Ekstrak tanaman purwoceng. Laporan Pelaksanaan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

Pandian, T.J., Kavumpurath, S. 1994. Masculinization of Fighting Fish, Betta splendens Regan, Using Synthetic or Natural Androgens. Jurnal. Jurusan Biologi. Universitas Madurai Kamaraj. India.

Piferrer, F., Lim L.C. 1997. Application of Sex Reversal Technology In Ornamental Fish Culture. Jurnal Aquarium Science and Conservation,1(113-118).

Putra, S. 2011. Maskulinisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Melalui Perendaman dalam Ekstrak tanaman purwoceng (Pimpinella alpina) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Riani, E., Syamsu, K., Kaseno. 2007. Pemanfaatan Steroid Teripang sebagai Aprodisiaka Alami dan Untuk Mengembangkan Budidaya Perikanan (Udang Galah dan Ikan Hias). Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor.

(22)

12

LAMPIRAN

Contoh perhitungan nisbah kelamin jantan dan betina serta kelangsungan hidup ikan cupang.

a. Jantan sekunder

= = 67,14%

b. Jantan primer

= = 40,00%

c. Betina sekunder

= = 32,86%

d. Betina primer

= = 60,00%

e. Kelangsungan hidup

% 100

x No Nt

SR 100%

30 22

(23)

13

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Mei 1992. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Samino dan Rasminah. Penulis mengawali pendidikan di SDN Pabrik Gas 1 tahun 1998 – 2004. Melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 5 Bogor pada tahun 2004 – 2007 dan SMA Negeri 6 Bogor pada tahun 2007 – 2010.

Pada tahun 2010, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dan memilih Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM). Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi anggota Divisi Kewirausahaan HIMAKUA periode 2011/2012 dan Badan Pengurus Harian (BPH) HIMAKUA periode 2012/2013. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik periode 2013/2014 dan pernah mengikuti lomba Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didanai oleh Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI). Penulis juga merupakan penerima Beasiswa PPA/BBM dari Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Tabel 2 Nilai suhu, pH, dan DO air pemijahan induk.
Tabel 3 Kisaran suhu, pH, dan DO air selama penelitian.
Gambar 1 Nisbah kelamin jantan (a) dan betina (b) ikan cupang pada
Gambar 2 Kelangsungan hidup ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak tanaman purwoceng melalui perendaman artemia
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian maskulinisasi ikan nila dengan perendaman dalam ekstrak purwoceng diperoleh data utama berupa data persentase ikan nila jantan, kelangsungan hidup, dan

Pada penelitian ini perlakuan P3 dengan dosis ekstrak akar ginseng yang digunakan 3 mg/L menghasilkan persentase ikan cupang jantan tertinggi yaitu sebesar 95.05

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa ekstrak purwoceng yang diberikan dengan dosis 5 g/kg pakan berpengaruh nyata terhadap perkembangan tubulus seminiferus (p<0,05),

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpina, Molk.) yang diberikan melalui pakan terhadap perkembangan testis ikan lele (Clarias sp.)

Kesimpulan dari penelitian ini adalah perendaman ekstrak purwoceng pada induk guppy betina bunting dengan lama waktu perendaman yang berbeda memberikan pengaruh terhadap

Kelangsungan hidup larva ikan Cupang sebagaimana dosis madu pada penelitian ini memberikan hasil yang rendah dibanding dengan penelitian terdahulu, karena larva ikan

Hasil penga- matan secara sekunder dari ikan cupang hasil maskulinisasi ekstrak seledri di- ketahui ciri-ciri morfologi yaitu ikan cupang jantan memiliki ukuran tubuh

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, perendaman induk yang sedang bunting dalam larutan ekstrak purwoceng dosis 10 dan 20 mg/L menghasilkan kelahiran yang