• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENAKAR PEMBENTUKAN PROVINSI KHUSUS KEPULAUAN NATUNA ANAMBAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MENAKAR PEMBENTUKAN PROVINSI KHUSUS KEPULAUAN NATUNA ANAMBAS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MENAKAR PEMBENTUKAN PROVINSI KHUSUS KEPULAUAN NATUNA ANAMBAS

Achmad Ardiansyah, S.TP

Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Maritim Raja Ali Haji

LATAR BELAKANG

Pada tanggal 14 Desember 2021 yang lalu secara resmi telah dibentuk Badan Perjuangan Pembentukan Provinsi Khusus Kepulauan Natuna Anambas (BP3K2NA) oleh masyarakat Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas yang sekaligus menjadi tonggak dimulainya perjuangan pembentukan Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas yang ingin menjadi sebuah provinsi. Keinginan membentuk provinsi tersendiri yang terpisah dari Provinsi Kepulauan Riau telah lama digaungkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di sana dengan berbagai pendapat seperti rentang kendali (span of control) dengan pusat pemerintahan yang jauh di Tanjungpinang, pembangunan yang tidak merata oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, dan isu keamanan dengan Republik Rakyat Tiongkok yang semakin marak beberapa tahun terakhir ini. Terkait dengan pemerataan pembangunan, masyarakat Natuna dan Anambas berpendapat bahwa Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau kurang memberikan perhatian terhadap pembangunan di Natuna dan Anambas, sehingga geliat pembangunan kurang dirasakan masyarakat. Selain itu, angka pengangguran juga semakin meningkat dan perekonomian bergerak sangat lambat. Menurut mereka, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau hanya menfokuskan pembangunan di Batam, Tanjungpinang, dan Bintan. Adapun untuk isu keamanan, rongrongan dari RRT semakin marak terjadi selama beberapa tahun terakhir di Laut Natuna Utara berupa pencurian ikan, bahkan pihak RRT telah memprotes aktivitas pertambangan mineral Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif di Laut Natuna Utara sehingga semakin meimbulkan ketegangan antar kedua negara. Untuk itu, menurut mereka Natuna perlu dijadikan provinsi khusus dan diberikan perhatian lebih agar tidak dirongrong oleh Tiongkok. Sejauh ini, pemerintah pusat telah memberikan perhatian khusus terhadap Natuna dengan menjadikannya sebagai pangkalan militer tiga matra dan menyiapkan anggaran sebesar Rp12,5 Triliun untuk pengembangannya selama lima tahun ke depan. Namun, masyarakat Natuna Anambas merasa kurang puas jika daerahnya hanya dijadikan pangkalan militer saja melainkan ingin dijadikan provinsi khusus yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang besar bagi masyarakat.

(2)

Apapun argumentasi masyarakat Natuna dan Anambas untuk membentuk Provinsi Khusus merupakan fenomena era otonomi daerah di tanah air sejak bergulirnya reformasi 1998. Pemekaran daerah baru sangat marak dilakukan pasca reformasi dengan berbagai alasan seperti luas wilayah yang terlalu luas, konflik perbatasan, perbedaan suku dan agama, persoalan kesejahteraan dan ketimpangan ekonomi, bahkan karena kepentingan politik para elit di daerah. Menurut Ratnawati (2009), pemekaran daerah di era otonomi bahkan berubah menjadi seperti bisnis atau industri yang dilakukan secara besar-besaran. Proses pemekaran daerah yang dilakukan saat ini menurutnya sudah mengesampingkan pandangan rasional teori-teori desentralisasi yang seharusnya dilakukan ketika sebuah daerah akan dimekarkan seperti untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan demokrasi lokal, memaksimalkan akses publik ke pemerintah, mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya, menyediakan pelayanan publik sebaik dan seefisien mungkin. Menurut Rahmat Suaib (2020), gejala seperti itu biasa terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia di mana pemekaran wilayah dilakukan sering mengesampingkan prinsip idealisme atau setidaknya mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemekaran daerah dilakukan atas dasar kepentingan para elit politik dan pragmatisme baik di pusat maupun di daerah dengan mengatasnamakan kepentingan publik.

Menurut Rachim (2013), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat dua alasan yang melatarbelakangi maraknya fenomena pemekaran wilayah di indonesia diantaranya : Pertama, peningkatan kualitas pelayanan publik, di mana pendekatan ini beranggapan bahwa pelayanan melalui pemerintah daerah yang baru diasumsikan akan lebih efektif dan efisien dibandingkan derah induk, sesuai dengan kebutuhan lokal. Kedua, percepatan pertumbuhan ekonomi, pemekaran daerah diasumsikan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi lokal.

Menurut Suaib (2020), alasan utama untuk mewujudkan pemekaran daerah sebagaimana yang digembor-gemborkan adalah demi menghadirkan pelayanan publik yang lebih baik dan lebih dekat kepada unit-unit administrasi pemerintahan paling bawah. Para elit lokal yang berkepentingan dengan pemekaran, atas alasan sendiri-sendiri kemudian mengekspos, bahkan tak jarang sampai mengeksplorasi, segenap keluhan pelayanan publik dan pembangunan daerah, yang intinya membeberkan tidak efektifnya satu wilayah tertentu dilayani oleh unit pemerintahan yang sudah ada. Berdasarkan keluhan atau alasan itulah diargumentasikan perlunya pemekaran daerah.

(3)

Alasan menghadirkan pelayanan publik yang lebih dekat, lebih terjangkau dan diasumsikan otomatis akan lebih efektif dan efisien menjadi tujuan yang semestinya dari pemekaran daerah. Selama ini, umumnya pemekaran daerah diukur dari berjalannya fungsi pemerintahan daerah hasil pemekaran, terutama menyangkut pelayanan kepada masyarakat. Rakyat di daerah hasil pemekaran akan membandingkan situasi kondisi pra di daerah induk dan situasi kondisi pasca di daerah otonom baru. Sayangnya, evaluasi hasil pemekaran membeberkan situasi yang muram dari kinerja pemerintahan dan pembangunan terhadap masyarakat di 70 daerah hasil pemekaran. Di samping itu, proses pemekaran daerah adalah menguatnya politik identitas etnik dan religi serta maraknya wawasan kedaerahan yang sempit (Suaib, 2020)

Terkait dengan rencana pembentukan Provinsi Khusus Kepulauan Natuna Anambas, maka beberapa alasan yang dikemukan oleh masyarakat dan elit politik untuk melakukan pemekaran daerah sangat sesuai secara teoritis dengan konsep desentralisasi dan pemekaran daerah serta sejalan dengan hasil-hasil kajian yang pernah dilakukan. Terutama tujuan pembentukan Provinsi Khusus ini dianggap dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pelayanan publik. Namun, apakah pembentukan provinsi khusus ini merupakan obat mujarab untuk mencapai tujuan tersebut? Apakah terdapat opsi lain untuk mencapai tujuan tersebut selain melalui pembentukan Provinsi Khusus?

KONSEP PEMEKARAN DAERAH

Pemekaran daerah pada hakekatnya adalah membentuk satu wilayah menjadi beberapa wilayah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri. Istilah pemekaran daerah digunakan untuk menjelaskan bahwa satu daerah telah terbentuk menjadi daerah otonom yang mandiri. Dengan demikian, istilah pemekaran daerah tidak dapat dipisahkan dengan istilah otonomi daerah, karena pada prinsipnya otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Menurut ketentuan perundang-undangan, khususnya Pasal 33 Ayat 1 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pemekaran daerah adalah pemecahan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota untuk menjadi dua atau lebih daerah baru; atau penggabungan bagian Daerah dari Daerah yang bersanding dalam 1 (satu) daerah provinsi menjadi satu daerah baru. Jadi pada intinya

(4)

pemekaran daerah adalah membagi satu daerah ke dalam beberapa daerah yang bersifat mandiri (otonom).

Secara teoritis, pemekaran daerah pertama kali dikaji oleh (Tiebout et al., 1956) dalam artikelnya “A Pure Theory of Local Expenditure”, ia mengemukakan bahwa pemekaran daerah dianalogikan sebagai model ekonomi persaingan sempurna di mana pemerintah daerah memiliki kekuatan untuk mempertahankan tingkat pajak yang rendah, menyediakan pelayanan yang efisien, dan mengijinkan setiap individu masyarakat untuk mengekspresikan preferensinya untuk setiap jenis pelayanan dari berbagai tingkat pemerintah yang berbeda. Argumentasi Tiebout terhadap adanya pemekaran daerah, diantaranya:

1. Hubungan antara aparat pemerintah (baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) dan masyarakatnya lebih dekat dan para politisi lebih akuntabel kepada komunitas lokalnya ketika dalam unit yang kecil.

2. Dalam unit yang kecil, masyarakat dapat “vote with their feel”, seperti dalam memilih preferensi rasio pajak daerah dan penyediaan barang dan pelayanan publiknya.

3. Komunitas kecil biasanya lebih homogen sehingga lebih mudah mengimplementasikan kebijakan yang sesuai dengan preferensi sebagian besar masyarakatnya.

4. Pemerintah daerah yang kecil memiliki birokrasi yang ramping.

5. Pemekaran mendukung adanya persaingan antar pemerintah daerah dalam mendatangkan modal ke daerahnya masing-masing dimana hal ini akan meningkatkan produktifitas; dan

6. Pemekaran mendukung berbagai eksperimen/percobaan dan inovasi.

Menurut Arif Rosman Effendy dalam Santoso (2012), terdapat beberapa alasan mengapa pemekaran daerah menjadi pendekatan yang diminati dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu: Pertama, keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dalam wilayah kewenangan yang terbatas/terukur.

Pendekatan pelayanan melalui pemerintahan daerah yang baru ini diasumsikan akan lebih dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan pelayanan melalui pemerintahan daerah induk dengan cakupan wilayah pelayanan yang lebih luas.

Kedua, mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat melalui perbaikan kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal. Dengan dikembangkannya daerah baru yang otonom, maka akan memberikan peluang untuk

(5)

menggali berbagai potensi ekonomi daerah baru. Ketiga, penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan bagi-bagi kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan. Kenyataan politik seperti ini karena berbagai peluang ekonomi baru baik secara formal maupun informal menjadi lebih tersedia sebagai dampak ikutan pemekaran daerah.

METODE PENELITIAN

Penelitian yang akan penulis lakukan ini masuk dalam kategori penelitian kualitatif.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah telaah pustaka. Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa secara deskriptif kualitatif.

PEMBAHASAN

Pasca reformasi bergulir yaitu mulai tahun 1999 sampai tahun 2014, pemerintah telah membentuk 223 Daerah Otonom Baru yang terdiri dari 8 Provinsi, 181 Kabupaten, dan 34 Kota. Dengan bertambahnya Daerah Otonom Baru tersebut maka Indonesia memiliki 34 Provinsi, 415 Kabupaten, dan 93 Kota. Secara teoritis pemekaran daerah yang sudah dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia (khususnya di tingkat kabupaten/kota) seharusnya memiliki korelasi positif dengan peningkatan kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal.

Anggapan ini sangatlah logis, sebab ketika terjadi pemekaran wilayah, maka secara otomatis akan terjadi penambahan unit pemerintahan. Selanjutnya, jangkauan teritorial secara otomatis menjadi semakin pendek/dekat, sementara jumlah penduduk yang harus dilayani pun menjadi semakin sedikit. Dengan demikian, unit pemerintahan tadi semestinya lebih mampu memberikan pelayanan secara prima, sedangkan masyarakat memiliki akses yang lebih mudah/cepat terhadap proses pengambilan keputusan baik politis maupun administratif di daerahnya. Meskipun demikian, patut disadari bahwa logika di atas tidak selamanya bersifat linier. Artinya, asumsi bahwa "semakin banyak pemekaran wilayah dan semakin besar jumlah unit pemerintahan, maka semakin baik kehidupan sosial ekonomi", tidaklah berlaku secara mutlak. Hingga taraf tertentu, pembentukan daerah (otonom) baru yang kurang terkendali justru tidak memberikan dampak positif terhadap perbaikan sosial ekonomi masyarakat melainkan semakin menurun. Selain itu, pemekaran daerah yang ditujukan agar sumber-sumber ekonomi daerah dapat dikelola secara maksimal ternyata tidak dapat dikelola dengan baik oleh daerah. Pemekaran daerah juga banyak memunculkan

(6)

persoalan-persoalan baru yang seharusnya merupakan solusi dengan dibentuknya daerah otonom baru tersebut.

Menurut Rahmadani (2007), pemekaran daerah otonom telah menciptakan persoalan baru, yakni persoalan disparitas pembangunan yang tergambarkan melalui ketertinggalan daerah. Sebagaimana Perpres Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan Kepmen Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 0l/Kep/M-PDTIII/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal (Stranas PDT) yang telah menetapkan 199 daerah tertinggal ternyata 89 kabupaten diantaranya adalah daerah otonom hasil pemekaran sejak tahun 2000 hingga tahun 2004. Data ini menunjukan bahwa 45% dari jumlah daerah tertinggal, penyebabnya adalah pemekaran daerah otonom tersebut.

Berdasarkan hasil evaluasi Departemen Keuangan (Depkeu) terhadap 145 daerah otonomi baru menunjukkan bahwa sekitar 80% tidak berdampak positif, baik dalam konteks pelayanan publik maupun kesejahteraan masyarakat. Mayoritas (86%) sumber pendapatan APBD kabupaten/kota dan 53% APBD provinsi berasal dari dana perimbangan yang dialokasikan Depkeu. Sebagian besar alokasi APBD (58%) digunakan untuk belanja pegawai, sedangkan biaya pembangunan cuma 21% (Abas, 2018). Menurut Suaib (2020), hasil kajian beberapa lembaga, ahli-ahli, dan pengamat, pembentukan daerah otonom baru belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. 70-78% anggaran pemerintah daerah otonom baru hanya digunakan untuk belanja pegawai.

Dalam kasus lain pemekaran wilayah yang dilakukan di Papua sepertinya juga mengakibatkan semakin bertambahnya kantong-kantong kemiskinan yang baru. Pada saat awal masa pemekaran wilayah tersebut, tahun 2003, belum begitu banyak terlihat kantong- kantong kemiskinan yang kronis (di atas 40%). Kemiskinan hanya tersebar pada 6 kabupaten saja yakni Jayapura, Manokwari, Paniai, Biak Numfor, Yapen Waropen dan Nabire, dengan rata-rata sekitar 49.76%. Namun setelah banyak dilakukan pemekaran, keadaan di tahun 2009 menunjukkan jumlah kantong kemiskinan bertambah menjadi 10 kabupaten yang meliputi Kabupaten Supiori, Paniai, Kota Jayapura, Jayawijaya, Yahukimo, Biak Numfor, Waropen, Nabire, Tolikara dan Yapen Waropen, dimana secara merata masing-masing kabupaten tersebut mempunyai tingkat kemiskinan kurang lebih sekitar 48,45% (BPS Papua, 2010b). Secara keseluruhan, ada kecenderungan bahwa sepanjang pelaksanaan pemekaran

(7)

daerah jumlah penduduk miskin di Papua tidak banyak berubah dari tahun ke tahunnya berkisar diantara 37%, dan tetap paling tinggi di seluruh Indonesia (Riani & Pudjihardjo, 2012).

Fitrini et al. (2005) dalam Moses & Achmady (2020), menegaskan bahwa pemekaran membuka peluang untuk terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pemekaran wilayah, baik dana dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Di sisi lain, sebagai sebuah daerah otonom baru, pemerintah daerah dituntut untuk menunjukkan kemampuannya menggali potensi daerah. Hal ini bermuara kepada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang pada gilirannya menghasilkan suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi.

Pemekaran juga dianggap sebagai bisnis kelompok elit di daerah yang menginginkan jabatan dan posisi. Euforia demokrasi juga mendukung. Partai politik, yang memang sedang tumbuh, menjadi kendaraan kelompok elit ini menyuarakan aspirasinya, termasuk untuk mendorong pemekaran daerah.

Contoh kasus Provinsi Riau menunjukkan di mana terdapat 5 daerah otonom baru yang terbentuk pasca dilahirkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah. Kelima daerah otonom baru tersebut terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 53 Tahun 1999 tentang Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam. Daerah-daerah otonom baru tersebut adalah Kabupaten Pelalawan (pemekaran dari Kabupaten Kampar), Kabupaten Rokan Hulu (pemekaran dari Kabupaten Kampar), Kabupaten Rokan Hilir (Pemekaran dari Kabupaten Bengkalis), Kabupaten Siak (Pemekaran dari Kabupaten Bengkalis) dan Kabupaten Kuantan Singingi (Pemekaran dari Kabupaten Indragiri Hulu). Dari semua daerah otonom baru tersebut, hanya Kabupaten Siak satu-satunya daerah otonom baru yang berhasil dalam pemekarannya terutama dalam faktor kesejahteraan masyarakat. Sementara empat Daerah Otonom Baru (DOB) lainnya, yaitu; Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rohul, Kabupaten Rohil, dan Kabupaten Kuantan Singingi dinilai belum berhasil. Selisih positif antara IKE daerah Induk dan IKE DOB menunjukkan bahwa DOB telah berhasil dalam pemekaran. Sedangkan selisih negatif menunjukkan bahwa DOB belum berhasil dalam pemekaran. Dari data terlihat bahwa Kabupaten Siak adalah satu-satunya daerah otonom baru yang selisih nilai IKE nya positif.

Oleh karena itu, Kabupaten Siak dinyatakan sebagai daerah otonom baru yang berhasil dalam pemekarannya. Berbeda dengan 4 DOB lainnya yang menunjukkan selisih negatif. IKE DOB

(8)

justru lebih rendah dari pada IKE daerah induk. Oleh karena itu, keempat DOB tersebut dinyatakan belum berhasil dalam pemekarannya (Saputri, 2016).

Hasil studi yang dilakukan Bappenas-UNDP (2008) pada empat Wilayah Pulau-Pulau Besar, enam Provinsi dengan 72 Kabupaten/Kota yang di dalamnya terpilih 10 Kabupaten Induk, 10 Kabupaten DOB dan enam daerah kontrol menyimpulkan bahwa daerah-daerah pemekaran yang menjadi cakupan wilayah studi, secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol.

Bahkan setelah lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah otonom baru (DOB) juga secara umum masih tetap berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol.

Pertumbuhan ekonomi daerah otonom baru (DOB) lebih fluktuatif dibandingkan dengan daerah induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Memang pertumbuhan ekonomi daerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) menjadi lebih tinggi dari daerah-daerah kabupaten lainnya, namun masih lebih rendah dari daerah kontrol. Hal ini berarti, walaupun daerah pemekaran telah melakukan upaya memperbaiki perekonomian, di masa transisi membutuhkan proses, namun belum semua potensi ekonomi dapat digerakkan. Selanjutnya, meskipun terjadi pengurangan kemiskinan di seluruh daerah, terlihat bahwa pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB. Data menunjukkan bahwa penduduk miskin justru jadi terkonsentrasi di DOB. Dalam konteks yang lebih luas, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum dapat mengejar ketertinggalannya dari daerah induk, meski kesejahteraan DOB telah relatif sama dengan daerah-daerah kabupaten lainnya.

Dari hasil-hasil evaluasi maupun penelitian tentang pemekaran daerah yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pemekaran daerah bukan merupakan obat mujarab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahkan menjadi penyebab ketertinggalan dan menurunnya kesejahteraan di DOB. Keinginan para elit politik di daerah lebih dominan dalam mendorong terjadinya pembentukan DOB sebagaimana dikemukakan oleh sebagian penelitian. Oleh karena itu, rencana pembentukan Provinsi Khusus Natuna Anambas perlu dipertimbangkan lebih matang dan mendalam agar tidak mengalami bad practice seperti daerah lainnya. Kajian pembentukan Provinsi Khusus ini harus dilakukan secara cermat dengan memperhitungkan berbagai aspek sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Keinginan pembentukan Provinsi Khusus Natuna Anambas

(9)

haruslah merupakan keinginan seluruh elemen masyarakat dan bukan keinginan segelintir elit politik.

Pembentukan Provinsi Khusus Natuna Anambas meskipun telah mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat, namun diprediksi akan mendapatkan tantangan antara lain, Pertama masih belum dicabutnya moratorium pembentukan DOB sehingga memerlukan upaya ekstra keras untuk meyakinkan Pemerintah Pusat bahwa Provinsi Khusus Natuna Anambas memang memiliki nilai khusus untuk dibentuk. Berdasarkan pengalaman pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten Kundur membutuhkan perjuangan yang panjang untuk meyakinkan pembentukan DOB. Bahkan hingga saat ini pembentukan Kabupaten Kundur masih belum terwujud. Kedua, pembentukan Provinsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mensyaratkan minimal terdapat 5 (lima) Kabupaten untuk membentuk sebuah Provinsi. Sementara ini, Natuna Anambas hanya terdiri dari 2 Kabupaten, sehingga memerlukan penambahan 3 Kabupaten lagi dan ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Apabila diberlakukan kekhususan untuk pembentukan Provinsi Khusus Natuna Anambas, maka akan menimbulkan polemik dan kecemburuan dari daerah lain seperti Madura yang masih terkendala membentuk provinsi sendiri karena hanya terdiri dari 4 Kabupaten. Bahkan Madura pernah mengajukan judicial review terhadap Pasal 35 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur persyaratan jumlah Kabupaten tersebut. Ketiga, saat ini sedikitnya terdapat 325 usulan pembentukan DOB yang masuk ke Kementerian Dalam Negeri yang terdiri dari 55 usulan provinsi baru, 233 usulan kabupaten baru, dan 37 usulan kota baru. Besarnya jumlah usulan DOB yang masuk akan semakin meningkatkan selektifitas pembentukan DOB sehingga pengusul Provinsi Khusus Natuna Anambas harus bersaing cukup ketat dengan daerah lain.

Untuk itu, dibutuhkan argumentasi dan kajian yang sangat kuat agar dapat meyakinkan pemerintah pusat. Keempat, Pemerintah Pusat saat ini masih fokus membenahi DOB yang dianggap tidak berhasil mencapai tujuan pembentukannya. Karenanya, proses pembentukan DOB baru akan menambah masalah baru bagi pemerintah pusat karena akan menambah daftar jumlah daerah yang harus dibenahi. Kelima, keterbatasan anggaran pemerintah saat ini akan menjadi pertimbangan utama pembentukan DOB karena akan menambah beban APBN. Sebagai daerah dengan Pendapatan Asli Daerah yang relatif kecil, Provinsi Khusus Natuna Anambas akan sangat tergantung dengan fiskal pemerintah pusat. Padahal salah satu tujuan pemekaran daerah adalah untuk memandirikan daerah agar tidak terlalu bergantung

(10)

pada fiskal pemerintah pusat. Untuk itu, pengusul Provinsi Khusus Natuna Anambas harus mampu meyakinkan pemerintah pusat bahwa keberadaan Provinsi Khusus ini mampu mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah dan tidak membebankan pemerintah pusat.

Jika pembentukan DOB bukan merupakan obat mujarab, lalu bagaimana sebaiknya agar Natuna Anambas dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya ke depan? Untuk itu, menurut hemat penulis, sebaiknya masyarakat Natuna Anambas memperjuangkan daerahnya menjadi Kawasan Ekonomi Khusus atau kawasan strategis lainnya dengan memanfaatkan berbagai potensi alam yang dimiliki. Potensi ekonomi Natuna dan Anambas di bidang perikanan dan kelautan, pariwisata, pertanian, dan lain-lain sangatlah besar.

Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun sarana prasarana Provinsi Khusus akan lebih jauh efektif apabila diperjuangkan untuk membangun infrastruktur Kawasan Ekonomi Khusus atau kawasan strategis lainnya agar para investor tertarik berinvestasi di Natuna Anambas.

Anggaran tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas SDM Natuna Anambas yang relatif tertinggal dari daerah lainnya di Provinsi Kepulauan Riau.

Sebagai wilayah yang menjadi bagian dari koridor pengembangan ekonomi nasional dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Provinsi, mendorong implementasi kebijakan tersebut akan lebih efektif dari pada membentuk Provinsi Khusus. Namun, dalam hal ini peran Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sangat dibutuhkan untuk mendorong implementasi kebijakan tersebut. Bahkan menurut hemat penulis Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau perlu menyusun kebijakan berupa road map khusus pengembangan ekonomi Natuna Anambas plus Lingga agar dapat maju sejajar dengan daerah lainnya seperti Tanjungpinang, Batam, Bintan, dan Karimun yang telah menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dalam kerangka Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Dengan demikian, kondisi kesejahteraan yang rendah dan disparitas antar wilayah yang menjadi alasan untuk mendorong pembentukan DOB dapat dikurangi.

Bagaimanapun juga rencana pembentukan Provinsi Khusus Natuna Anambas telah pun dicanangkan melalui pembentukan Badan Perjuangan Pembentukan Provinsi Khusus Kepulauan Natuna Anambas (BP3K2NA). Keinginan pembentukan Provinsi Khusus Natuna Anambas sudah menjadi azam masyarakat dan elit politik di Natuna Anambas. Tulisan ini hanya mencoba menakar apakah terdapat opsi lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Natuna Anambas selain melalui pembentukan Provinsi Khusus ini. Kalau pun rencana ini akan dilanjutkan, semoga perjuangan pembentukan Provinsi Khusus ini dapat

(11)

diwujudkan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Masyarakat Natuna Anambas.

KESIMPULAN

Hasil evaluasi dan kajian telah membuktikan bahwa pembentukan DOB tidak selalu menjadi obat mujarab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik.

Bahkan menjadi penyebab ketertinggalan dan menurunnya kesejahteraan suatu daerah. Oleh karena itu, Badan Perjuangan Pembentukan Provinsi Khusus Kepulauan Natuna Anambas (BP3K2NA) perlu mengkaji dengan cermat rencana pembentukan Provinsi Khusus Natuna Anambas agar terhindar dari bad practice daerah lain akibat pembentukan DOB. Besarnya tantangan dan perjuangan yang harus dihadapi sebagaimana telah penulis kemukakan juga perlu menjadi perhatian apakah Pembentukan Provinsi Khusus Kepulauan Natuna Anambas ini memang diperlukan. Jika tidak, maka mendorong Natuna Anambas menjadi Kawasan Ekonomi Khusus atau kawasan strategis lainnya dengan memanfaatkan berbagai potensi yang dimiliki akan lebih efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Natuna Anambas.

DAFTAR PUSTAKA

Abas. (2018). Birokrasi Dan Dinamika Politik Lokal (Vol. 1). Jogjakarta : CV. Lontar Mediatama.

Bappenas-UNDP. (2008). Evaluation of The Proliferation of Administrative Region in Indonesia, 2001-2007. Indonesia : BRIDGE.

Moses, M., & Achmady, L. (2020). Pendekatan Pemekaran Wilayah, Prinsip Dan Filosofinya Untuk Tanah Papua. Jurnal Dinamis, 17(1), 60–80.

Rachim, R. (2013). Evaluasi Pemekaran Wilayah Kota Serang Ditinjau Dari Kinerja Ekonomi Dan Kinerja Pelayanan Publik Daerah. Semarang : Universitas Diponegoro.

Rahmadani, Y. (2007). Evaluasi Dampak Kebijakan Pemekaran Daerah di Indonesia Studi Daerah Pemekaran Kabupaten Solok Selatan. Jurnal Demokrasi, VI(2), 161–183.

Ratnawati, T. (2009). Pemekaran Daerah : Politik Lokal Dan Beberapa Isu Terseleksi.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Riani, I., & Pudjihardjo, M. (2012). Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap PendapatanPerkapita, Kemiskinan, Dan Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Papua.

Jurnal Bumi Lestari, 12(1), 137–148.

Santoso, L. (2012). Problematika Pemekaran Daerah Pasca Reformasi di Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum, 1(2), 267–286.

Saputri, R. A. (2016). Analisis Keberhasilan Pemekaran Daerah. Jurnal Demokrasi Dan Otonomi Daerah, 14(3), 157–162.

Suaib, R. (2020). Urgensi Pemekaran Daerah di Indonesia. Jurnal Government of Archipelago, 1(1), 34–44.

(12)

Tiebout, C. M., de Schweinitz, K., Eisner, R., Strotz, R., & Bailey, M. (1956). A Pure Theory Of Local Expenditures. Journal of Political Economy, 64(5), 416–424.

https://batam.tribunnews.com/2021/12/15/umar-natuna-jadi-ketua-badan-perjuangan- provinsi-khusus-kepulauan-natuna-anambas

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211114035754-20-720845/gerilya- masyarakat-natuna-anambas-mekar-jadi-provinsi/2

Referensi

Dokumen terkait

NIDN NAMA DOSEN

Klarifikasi dan pembuktian kualifikasi wajib dihadiri oleh direktur atau personil yang diberikan kuasa dengan menunjukkan surat kuasa serta membawa seluruh dokumen

melarutkan yang senyawa bukan atraksi elektrostatik yang jauh lebih kuat dalam kisi kristal ionik, yang dapat diatasi hanya dengan pelarut yang sangat polar... • Kalium

Tumbuhan paku yang telah diketahui kandungan metabolit sekundernya dan diantaranya merupakan metabolit sekunder yang berpotensi sebagai antibakteri adalah

1) Pendataan Sasaran Ibu Hamil (Baseline data); 2) Perencanaan kebutuhan tablet Fe (zat besi); 3) Pengadaan dan pendistrubusian tablet Fe; 4) Penggandaan Buku Pedoman dan Juknis;

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar status nutisi anak usia sekolah di desa Lamceu kecamatan Kuta Baro Aceh Besar berada pada kategori baik yaitu 23 orang

pendidik dan orang tua dapat menciptakan karakter jujur pada diri anak. sifat kedua yang dimiliki oleh seorang Rasul

Implikasi dari penelitian ini, yaitu bagi pemimpin perusahaan diharapkan lebih banyak menerapkan gaya kepemimpinan transformasional kepada bawahan dalam memimpin