Volume 1, Tahun I, No. 1, Agustus 2012 - 1
KAJI EKSPERIMENTAL SISTEM PENGERING HIBRID ENERGI SURYA-BIOMASSA UNTUK PENGERING IKAN
Muhammad Zulfri1, Ahmad Syuhada2, Hamdani3
1) Magister Teknik Mesin Pascasarjana Universyitas Syiah Kuala Banda Aceh
2,3)
Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
Abstrak: Salah satu metode memperpanjang umur simpan ikan adalah dengan cara menurunkan kadar air hingga di bawah 10% basis basah menggunakan sistem pengering. Proses pengeringan ikan secara alami mempunyai beberapa kekurangan seperti: waktu yang lama, perlu beberapa kali proses pembalikan dan kurang higienis. Sedangkan permasalahan pada alat pengering surya adalah kemampuan alat pengering untuk mengeringkan produk sangat dibatasi oleh fluktuasi radiasi surya.
Berdasarkan alasan tersebut pada penelitian ini telah dibuat prototipe alat pengering tipe rak yang memadukan energi surya dan biomassa. Sistem pengering yang dirancang untuk kapasitas 15 kg mempunyai komponen: kolektor surya plat datar, ruang pengering dan ruang pembakaran biomassa.
Dalam penelitian ini digunakan enam jenis ikan yaitu ikan bandeng, ikan gembung, ikan talang, ikan tenggiri dan ikan krapu. Dari pengujian yang dilakukan dengan berat ikan awal rata-rata 120 gram, didapatkan bahwa pengeringan menghasilkan penurunan berat menjadi 60 gram (50%) setelah dikeringkan selama 18 jam. Temperatur udara pengering dalam ruang pengering bevariasi antara 30 sampai 620C. Temuan lain adalah bahwa temperatur plat kolektor plat datar pada musim hujan hanya mencapai 54oC.
Kata Kunci: Pengering ikan, hibrid, energi surya-biomassa, kandungan air
Fluktuasi hasil panen dan tangkapan ikan laut yang sulit diprediksi merupakan sebagian dari masalah yang sering dihadapi para petani tambak dan nelayan tradisional di Aceh. Pada musim-musim tertentu, hasil panen sangat melimpah sehingga harga mengalami penurunan dan ikan yang tidak dapat dijual pun membusuk. Kendala akibat proses alam ini kemudian diatasi menggunakan metode pengeringan ikan sehingga sumber daya protein ikan dapat disimpah dalam waktu yang lebih lama. Secara umum, proses pengawetan menggunakan metode pengeringan tradisional memanfaatkan panas matahari. Penggunaan energi matahari memberikan keuntungan karena
energi panas yang digunakan murah dan berlimpah, namun demikian, kerugiannya antara lain panas matahari tidak terus- menerus ada sepanjang hari dan temperatur konstan tidak dapat diatur sehingga lama penjemuran sukar ditentukan.
Walaupun demikian, pemanfaatan energi panas matahari yang digunakan untuk proses pengeringan hasil-hasil perikanan masih menghadapi berbagai masalah, diantaranya adalah perubahan cuaca dan musim masalah lain yang dijumpai oleh petani tambak dan nelayan untuk kebutuhan pengering ikan yang berkapasitas besar dengan energi matahari membutuhkan lahan penjemuran yang besar. Sehingga untuk mengatasi hal ini
2 - Volume 1, Tahun I, No. 1, Agustus 2012
digunakanlah energi panas hasil pembakaran menggunakan bahan bakar lainnya. Sistem yang umum digunakan dalam teknologi pengeringan hasil perikanan memanfaatkan perpindahan panas secara konveksi melalui sirkulasi udara panas dari ruang bakar ke ruang pengering.
Hal ini mendasari dibuatnya satu unit sistem pengering tipe rak untuk pengering ikan menggunakan sumber energi surya dan biomassa. Penggunaan ruang pengering bertujuan menjaga produk pengering terhindar dari kontaminasi dengan debu, sedangkan penggunaan biomassa bertujuan untuk menjaga kelangsungan proses pengeringan berjalan kontinu pada saat energi surya tidak tersedia. Adapun inti dari penelitian ini adalah untuk melakukan kaji eksperimental terhadap sistem pengering hibrid yang memanfaatkan energi surya dan biomassa untuk proses pengeringan ikan. Adapun tujuan khusus penelitian ini untuk mengkaji proses pengeringan ikan dengan memanfaatkan energi terbarukan dan menguji sistem pengering ikan menggunakan proses pengeringan hibrid energi surya-biomassa.
TEORI PENGERING DAN TEKNOLOGI PENGERINGAN IKAN
Pengeringan adalah proses penghidratan, yang berarti menghilangkan air dari suatu bahan. Proses pengeringan atau penghidratan berlaku apabila bahan
yang dikeringkan kehilangan sebahagian atau keseluruhan air yang dikandungnya.
Proses utama yang terjadi pasca proses pengeringan adalah penguapan. Penguapan terjadi apabila air yang dikandung oleh suatu bahan teruap, yaitu apabila panas diberikan kepada bahan tersebut. Panas ini dapat diberikan melalui berbagai sumber, seperti kayu api, minyak dan gas, arang baru ataupun tenaga surya. Pengeringan juga dapat berlangsung dengan cara lain yaitu dengan memecahkan (Hasibuan, 2005).
Pengeringan atau dehidrasi bahan, berarti menghilangkan kandungan air dari bagian dalam bahan ke permukaan dan kemudian untuk menguapkan air ini dari permukaan bahan yang dikeringkan.
Pengeringan merupakan proses perpindahan panas dan massa yang kompleks serta sangat tergantung pada parameter eksternal seperti suhu, kelembaban dan kecepatan aliran udara;
sifat-sifat bahan yang dikeringkan seperti karakteristik permukaan (permukaan kasar atau halus), komposisi kimia (gula, pati, dll) struktur fisik (porosity, kerapatan dll);
ukuran dan bentuk produk (Vijay, 2011).
Laju pergerakan air dari dalam produk ke udara luar berbeda-beda menurut jenis produk dan sangat tergantung pada apakah bahannya bersifat higroskopis atau non- higroskopis. Material non-higroskopis dapat dikeringkan hingga pada tingkatan kelembaban nol sementara bahan higroskopis, seperti kebanyakan produk
Volume 1, Tahun I, No. 1, Agustus 2012 - 3 makanan, akan selalu memiliki kadar air
sisa. Kandungan air dalam bahan higroskopis bisa jadi merupakan kelembaban terikat (tetap) di dalam bahan, karena ditutup kapiler atau karena uap air terikat di dalam bahan karena adanya tegangan permukaan air. Ketika bahan higroskopis terkena udara, ia akan dapat menyerap kandungan air atau uap air malah melepaskan air tergantung pada kelembaban relatif udara. Keseimbangan Kandungan Air (Equilibrium Moistures Content = EMC) akan segera dicapai bila tekanan uap air dalam bahan menjadi sama dengan tekanan parsial air di udara sekitarnya. Oleh karena itu, EMC, menjadi faktor penting dalam pengeringan karena ia adalah kandungan air minimum dimana material dapat dikeringkan.
Tingkat pengeringan konstan untuk bahan non-higroskopis dan higroskopis adalah sama sementara periode tingkat penurunan sedikit berbeda. Untuk bahan non-higroskopik, dalam periode tingkat turun, tingkat pengeringan berjalan terus menurun kadar air sampai menjadi nol.
Dalam bahan higroskopis, periode tingkat jatuh mirip sampai air terikat benar-benar habis. maka lebih lanjut menurun dan beberapa air yang terikat dihilangkan, ini berlanjut sampai tekanan uap material menjadi sama dengan tekanan uap pengeringan udara. Ketika keseimbangan ini mencapai maka tingkat pengeringan menjadi nol.
Proses pengeringan ikan bertujuan menurunkan kadar air dalam tubuh ikan.
Tubuh ikan yang mengandung banyak air, menjadi media yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lain. Sehingga melalui penurunan kadar air, aktivitas bakteri akan terhambat dan proses pembusukan dapat dicegah. Menurut Afifah (2009), dua jenis sistem pengering yang sering digunakan yaitu pengering temperature rendah dan pengering temperature tinggi. Pengeringan temperatur rendah umum digunakan oleh masyarakat Eropa Utara dan sekitarnya, dimana suhu udara relatif rendah. Pada suhu dibawah 0oC aktivitas bakteri pembusuk mengalami hambatan, bahkan terhenti sama sekali. Pada temperatur yang lebih tinggi, yaitu antara 80 hingga 90ºC, aktivitas bakteri pembusuk, jamur, maupun enzim juga mengalami penghentian.
Beberapa variasi kedua cara diatas lazim dilakukan dalam bentuk penggunaan udara panas melalui mechanical dryer, menggunakan proses osmosa, menggunakan tekanan mekanis dan menggunakan panas seperti pada proses pengasapan dan perebusan.
Pada penerapan teknologi pengeringan ikan oleh masyarakat pesisir Aceh, masih sering dijumpai lalat dan debu selama prosesnya. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan alat pengering mekanis, namun penggunaan alat tersebut masih kurang menarik bagi pengolahan ikan asin, karena harus mengeluarkan biaya ekstra untuk listrik
4 - Volume 1, Tahun I, No. 1, Agustus 2012
dan kapasitasnya terbatas (Irianto, Soesilo, 2007). Pada dasaranya pengeringan ikan secara tradisional lazimnya masih belum memenuhi kaidah-kaidah persyaratan keamanan dan kesehatan makanan yang baik menurut good manufacturing produk (GMP), terutama pada saat pengeringan di tempat terbuka yang rawan terhadap penyakit dan gangguan lalat maupun hama binatang seperti tikus pada saat penyimpanan (Heruwati, 2002;
Afifah, 2009).
Proses pengeringan disebut juga sebagai 'konveksi yang diatur" (convection governed) atau pengeringan pada tingkat yang konstan. Namun, pada tahap tertentu, permukaan akan mulai mengering dan ini membentuk gradien kelembaban di dekat permukaan yang akan menyebabkan lebih banyak air untuk bergerak dari bagian dalam ikan ke permukaan. Air bergerak dalam ikan melalui kombinasi difusi cair, uap difusi, gerak molekular, dan osmosis.
Pada saat yang sama, garam dapat pindah ke ikan jika konsentrasi garam pada permukaan ikan lebih besar daripada yang
di dalam. Bersamaan dengan keringnya ikan akibat gerakan air ke permukaan interior, gradien konsentrasi air secara bertahap menurun. Dengan demikian kekuatan pendorong untuk memindahkan air menurun, dan tingkat pengeringan melambat. Bagian dari proses pengeringan ini disebut sebagai 'difusi yang diatur' atau 'penurunan tingkat pengeringan'.
Pengeringan akan berlanjut dengan kecepatan semakin menurun sampai kesetimbangan tercapai, dimana pada tahap ini ikan dikatakan telah mencapai 'kandungan air ekuilibrium' (Doe, 2002).
Pengeringan oleh radiasi matahari dapat dibagi menjadi dua kategori utama (Belessiotis, Delyannis, 2010) yaitu pengeringan secara langsung, atau pengeringan pada udara terbuka dan Pengeringan tak langsung atau convective solar drying. Metode pengeringan yang dipilih juga ikut menentukan mutu hasil produksi, karena masing-masing metode dapat memberikan dampak yang berbeda terhadap produk akhir (antara lain terhadap warna, aroma, rasa dan kualitas).
Untuk produk konsumsi langsung (ikan, daging, sayur-mayur dan buah), pengeringan secara langsung tidak dianjurkan kecuali pada kelompok buah- buahan yang memiliki kandungan gula yang tinggi (Belessiotis, Delyannis, 2010).
Proses pengeringan dapat dijelaskan dengan bantuan dari bagan psikometrik diatas. Jika udara tidak jenuh (misalnya Gambar 1: Pengeringan Ikan Tradisional
Volume 1, Tahun I, No. 1, Agustus 2012 - 5 suhu bola kering 30 °C dan suhu bola
basah adalah 20 °C) dan diizinkan untuk melewati materi dan jika tidak ada penggunaan panas eksternal, maka perbedaan antara panas udara dan bahan dapat dipertukarkan dengan panas laten penguapan air. Jalur yang ditempuh pada grafik psikometri akan menjadi 20 °C garis bola basah yang ditunjukkan oleh garis AB.
Selama proses ini, perubahan rasio kelembaban 0,0140 – 0,0104 yaitu sekitar 0,0036 kg uap per kg udara kering yang diserap. Jika menggunakan energi matahari, udara dipanaskan sampai 45 °C dengan kelembaban relatif 17 persen dan melewati materi yang dikeringkan Selama proses pengeringan, udara ini didinginkan secara adiabatik sepanjang 24 °C garis bola basah, sehingga rasio kelembaban akhir akan berada pada 0,0189. Karena itu, Kandungan air yang diuapkan dengan udara panas adalah 0,0075 kg uap per kg udara kering yang menguap hampir dua kali lipat air dibandingkan dengan ketika udara tidak panas.
Menurut Kamaruddin, A. (2003), Kadar air yang terkandung dalam produk dinyatakan dalam dua cara, yaitu basis basah dan basis kering. Kadar air basis basah dapat didefinisikan sebagai perbandingan massa air pada produk dengan massa total produk. Secara matematika kadar air basis basah ditulis sebagai berikut:
𝑀𝐶𝑤𝑏 =𝑀𝑜−𝑀𝑑
𝑀𝑑 ... (2.1) Sedangkan kadar air basis kering adalah massa air pada produk persatuan massa kering produk, dinyatakan dengan
𝑀𝐶𝑑𝑏 =𝑀𝑜−𝑀𝑑
𝑀𝑑 ... (2.2)
dimana: MCwb adalah kadar air basis basah [%], MCdb adalah kadar air basis kering [%], Mo adalah massa total produk [%] dan Md adalah massa produk tanpa air [%]
Hubungan kadar air basis basah dan basis kering di atas, secara matematika dapat dituliskan sebagai berikut:
1
1 1
db
wb MC
MC ... (2.3)
1
11
wb
db MC
MC ... (2.4)
Untuk keperluan pengujian atau eksperimen pengeringan, dimana massa produk diukur setiap saat, kadar air setiap saat dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut.
1 1
t o odb
tdb M
M MC MC
... (2.5)
t o owb
twb M
M
MC 1 MC
1
... (2.6)
Dimana MCtdb adalah kadar air basis kering pada waktu ke t [%], MCtwb adalah kadar air basis basah pada waktu ke t [%], MCodb adalah kadar air awal basis kering
6 - Volume 1, Tahun I, No. 1, Agustus 2012
[%], MCowb adalah kadar air awal basis basah [%], dan Mt adalah massa produk pada waktu ke t [%]
Untuk memperoleh kualitas pengeringan yang bagus, ada beberapa parameter yang harus dikontrol selama proses pengeringan, yaitu kecepatan aliran udara, temperatur udara pengering dan kelembaban relatif udara. Kecepatan aliran udara yang tinggi dapat mempersingkat waktu pengeringan. Kecepatan aliran udara yang disarankan untuk melakukan proses pengeringan antara 1,5–2,0 m/s (Kamaruddin, A. (2003) ). Disamping kecepatan, arah aliran udara juga memegang peranan penting dalam proses pengeringan. Arah aliran udara pengering yang sejajar dengan produk lebih efektif dibandingkan dengan aliran udara yang datang dalam arah tegak lurus produk.
Secara umum, temperatur udara yang tinggi akan menghasilkan proses pengeringan yang lebih cepat. Namun temperatur pengeringan yang lebih tinggi dari 50oC harus dihindari karena dapat menyebabkan bagian luar produk sudah kering, tapi bagian dalam masih basah.
Khusus untuk ikan, temperatur pengeringan yang dianjurkan antara 40–50
oC (Kamaruddin, A. (2003)). Pengeringan umumnya dilakukan pada kelembaban relatif yang rendah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kecepatan difusi air.
Kelembaban relatif yang rendah di dalam ruang pengering dapat terjadi jika udara pengering bersirkulasi dengan baik dari
dalam ke luar ruang pengering, sehingga semua uap air yang diperoleh setelah kontak dengan produk langsung dibuang ke udara lingkungan. Lama waktu pengeringan tergantung pada banyak faktor, antara lain ukuran dan ketebalan ikan, temperatur pengering, kelembaban relatif udara, kecepatan udara pengering dan total beban pengeringan.
Energi Pengeringan
Pada proses pengeringan ditandai adanya proses penguapan kadar air dari bahan yang dikeringkan. Untuk penguapan pada pengeringan ini diperlukan energi panas untuk penguapan kadar air, banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada banyak air yang akan diuapkan. Massa air yang hilang atau diuapkan dari produk mw [kg] dapat ditentukan dari persamaan :
mw = mp (Mi – Mf) /(100-Mf) ... (2.7)
Dimana mp[kg] adalah berat awal produk sebelum dikeringkan; Mi [%]
danMf [%] kandungan air awal, dan kandungan air akhir dalam produk.
Kelembaban relatif akhir ERH [%], dapat ditentukan menggunakan persamaan yang diusulkan oleh Kamaruddin yaitu :
aw = 1 - exp[-exp(0.914+0.5639lnM)]... (2.8) M = Mf/(100 - Mf) ... (2.9) ERH=100aw ... (2.10)
Volume 1, Tahun I, No. 1, Agustus 2012 - 7 Dimana aw adalah aktivitas air dalam
produk, dan M [kgw/kgs] berat produk basis kering. Besarnya energi panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air dalam
produk dapat ditentukan dari :
Q = mwhfg ... (2.11)