• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA ADAPTASI MANTAN NARAPIDANA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA ADAPTASI MANTAN NARAPIDANA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

POLA ADAPTASI MANTAN NARAPIDANA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

¹Wahyu Dwi Lestari, ²Dasim Budimansyah, ³Wilodati

Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia

wahyudwi218@gmail.com

Abstract : This research was motivated by negative stigma that is given to ex-convict and that has caused them to feel awkward when living in a society. In order to be accepted again, ex-convict need to undergo the process of adaptation in their environment. This study aims to discover the interaction, changes, impacts of the adaptation process, and the typology of adaptation of ex- convict. This study used qualitative approach. Data collection technique was conducted through observation, interview and documentation study. The findings of this study are: social interaction of ex-convict to change the stigma is achieved by being friendly and actively participating in community activities, positive changes after the period of custody is gaining increasing faith, being more sensitive to the community and staying away from bad habits. The impacts of adaptation include the changes of responses from families and neighbors, the loss of negative stigma, the emergence of roles in the society, and peaceful feeling in life. The differences in typologies of adaptation are influenced by family, neighborhood, criminal backgrounds, and the means to change the stigma.

Keywords: Adaptation, Ex-convict, Society

Abstrak : Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemberian stigma kepada mantan narapidana yang menimbulkan kecanggungan narapidana tersebut untuk bermasyarakat. Agar dapat diterima, mantan narapidana perlu melakukan adaptasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi, perubahan, dampak adaptasi, dan tipologi adaptasinya dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi.

Temuan penelitian ini, yaitu pertama, interaksinya untuk mengubah stigma dengan menunjukan sikap ramah dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Kedua perubahan positifnya yaitu bertambahnya keimanan, peka terhadap masyarakat dan meninggalkan kebiasaan buruknya.

Ketiga, dampak adaptasinya yaitu perubahan respon masyarakat, hilangnya stigma, memiliki peran, dan hidup tenang. Kelima, tipologi adaptasi dipengaruhi keluarga, lingkungan, kejahatan, dan cara mengubah stigma.

Kata Kunci : adaptasi, mantan narapidana, masyarakat

PENDAHULUAN

Mantan narapidana ialah seseorang yang pernah melakukan tindak kejahatan dan menyebabkan kerugian bagi masyarakat baik itu kerugian secara ekonomi, psikologis maupun sosial. Lembaga Pemasyarakatan adalah bentuk pidana penjara yang berfungsi sebagai wadah untuk belajar kembali (resosialisasi) bagi narapidana untuk mempersiapkan diri mereka baik secara fisik maupun mental untuk terjun kembali ke

masyarakat dengan baik serta dapat berperan wajar dengan masyarakat lainnya.

Laminatang (1984, hlm. 181) menyatakan bahwa:

Lembaga-lembaga pemasyarakatan bukan saja sebagai tempat untuk semata- mata memidana orang, tetapi sebagai tempat untuk membina dan mendidik orang-orang terpidana, agar mereka setelah selesai menjalankan pidananya, mempunyai kemampuan untuk

(2)

menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lembaga pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut, penjatuhan hukuman pidana kepada pelaku kejahatan sudah sepatutnya diberikan untuk membina dan mendidik kembali para pelaku kejahatan, sehingga mereka menyadari kesalahan yang mereka perbuat dan tidak mengulanginya kembali di kemudian hari.

Mantan narapidana memiliki harapan untuk dapat berinteraksi dan menjalani kehidupan yang lebih baik bersama masyarakat selepas masa tahanannya.

Namun, penerimaan kembali mantan narapidana oleh masyarakat bukanlah perkara mudah. Sebagai orang yang pernah melakukan kejahatan, tentu pemberian stigma negatif dari masyarakat menimbulkan ketakutan bagi mantan narapidana untuk berbaur kembali di tengah masyarakat.

Mantan narapidana sebagai orang yang pernah melakukan pelanggaran terhadap norma tentu tidak lepas dari perhatian masyarakat. Masyarakat tersebut yang masih menyimpan pertanyaan, apakah mantan narapidana tersebut sudah benar- benar berubah dari segala kesalahan masa lalunya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang akan menimbulkan pandangan atau stigma negatif dari masyarakat tempat mantan narapidana tersebut tinggal. Stigma negatif tersebut akan diberikan oleh masyarakat yang masih takut dan belum percaya akan perubahan mantan narapidana setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.

Stigma negatif dari masyarakat terhadap mantan narapidana mengakibatkan munculnya sikap pesimis bagi mantan narapidana. Seperti yang dipaparkan dalam jurnal If One Doesn’t Get You Another One Will”: Formerly Incarcerated Persons’

Perceptions of Discrimination oleh Thomas Lebel (2011) vol.20 no.10. Lebel (2011)

menyimpulkan jika “ada permasalahan sosial tentang stigma dan diskriminasi kepada tahanan, yaitu ketika kategori individu mencoba beradaptasi, maka yang ditemui ialah diskriminasi dan konsekuensi yang dihadapi ialah ketidakpercayaan, kebencian, dan permusuhan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ratusan tahanan dirilis setiap tahun dan mereka menemukan bahwa diri mereka diskriminasi.” Sikap pesimistis dapat memunculkan kecanggungan bagi mantan narapidana untuk menjalani kehidupan di masyarakat.

Rasa kecanggungan itu memungkinkan mantan narapidana kembali melakukan tindakan kejahatan karena mereka merasa ditolak oleh masyarakat. Walaupun demikian, tidak sedikit mantan narapidana yang mampu beradaptasi kembali di lingkungan masyarakat untuk mengubah stigma bahwa tidak semua mantan narapidana selalu menjadi orang jahat. Oleh karena itu, seorang narapidana seharusnya mampu beradaptasi kembali dengan masyarakat sekitarnya.

Adaptasi terhadap sosial dan budaya ialah salah satu proses sosial yang diperlukan dalam kehidupan sosial. Hal tersebut memungkinkan terjadinya interaksi sosial mantan narapidana baik dengan individu lain maupun dengan kelompok lain.

Adaptasi sosial adalah salah satu bentuk penyesuaian diri dalam lingkungan sosial.

Gerungan (2009, hlm. 59) mengungkapkan penyesuaian dapat bermakna:

Mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan atau bermakna mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan pribadi. Adaptasi sosial akan terjadi pada individu yang datang pada kelompok sosial yang berbeda dengan kondisi sosial daerah asalnya sehingga mengharuskannya melakukan adaptasi sosial untuk melakukan interaksi dengan kondisi

(3)

lingkungan kelompok sosial yang baru tersebut.

Sejalan dengan pendapat Gerungan tersebut, Azani (2012) dalam jurnal yang Gambaran Psychlogical Well-Being Mantan Narapidana vol 1, no. 1 mengenai enam dimensi dalam psikologi dari mantan narapidana selepas keluar dari lembaga pemasyarakatan. Azani (2012) menjelaskan bahwa “setiap mantan narapidana yang lepas menjalani masa tahanan akan mendapatkan tekanan secara psikologis dan memaksa mereka untuk berubah sertaberadaptasi dengan lebih baik lagi sebagai masyarakat.”

Memiliki kehidupan yang harmonis dan berhubungan baik dengan masyarakat adalah dambaan bagi setiap orang terutama mantan narapidana. Hal tersebut didambakan karena sejatinya sebagai makhluk sosial, mantan narapidana juga membutuhkan pengakuan atas keberadaannya di tengah masyarakat. Oleh karena itu, proses adaptasi yang baik di dalam masyarakat itulah yang nantinya akan mampu mengubah stigma negatif masyarakat terhadap mantan narapidana.

Banyak kasus kejahatan yang ada di dalam masyarakat, beberapa kasus yang dianggap sangat meresahkan diantaranya adalah pembunuhan, perampokan dan narkotika. Kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang dianggap sangat berbahaya dan sering terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Keterlibatan individu ke dalam kasus tersebut dapat memungkinkan penolakan dan pandangan negatif dari masyarakat. Hal itu karena semakin berat kasus kejahatan yang dilakukan individu maka semakin berat pula penerimaan dirinya di tengah masyarakat. Selain itu, perbedaan latar belakang kehidupan dan kasus kejahatan dari individu akan sangat memengaruhi mereka dalam beradaptasi.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul

“Pola Adaptasi Mantan Narapidana dalam Kehidupan Bermasyarakat”.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Pendekatan ini digunakan karena penelitian ini difokuskan pada adaptasi sosial mantan narapidana dan data yang bersumber dari pengamatan mantan narapidana dalam menyesuaikan diri di tengah masyarakat.

Data tersebut dideskripsikan dan digambarkan secara lebih jelas dan lebih spresifik, karena hanya memusatkan pada aspek-aspek tertentu, seperti bentuk interaksi, bentuk perubahan, dampak dari proses adaptasi serta tipologi perbedaan adaptasi dari mantan narapidana. Selain itu, pendekatan deskriptif kualitatif lebih efektif digunakan dalam penelitian ini, karena dalam teknik pengumpulan datanya efektif untuk mendapatkan data dari partisipan.

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 10 partisipan, yaitu tiga orang mantan narapidana, tiga orang pihak keluarga, tiga orang pihak tetangga dan satu orang anak kosan dari salah satu mantan narapidana sebagai partisipan tambahan.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pali Provinsi Sumatra Selatan, tepatnya di Kecamatan Talang Ubi. Pemilihan daerah penelitian karena daerah tersebut rawan tindak dengan kejahatan dan karakter masyarakat di daerah itu yang cenderung sedikit berani dan kasar.

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti meliputi observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan data reduksi (data reduction), penyajian data (data display), dan kesimpulan (conclusion drawing verification). Data yang diperoleh akan diolah dan dicek kebenaranya, peneliti melakukan pengecekan kebenaran data dengan cara memperpanjang waktu

(4)

penelitian, pengamatan terus-menerus, triangulasi, serta menggunakan bahan referensi dan melakukan member check.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk Interaksi Sosial Mantan Narapidana Sebagai Upaya dalam Mengubah Stigma Negatif di Lingkungan Masyarakat

Interaksi sosial yang dilakukan mantan narapidana sebagai upaya mengubah stigma negatif di dalam dirinya, yang meliputi pertama, menunjukan sikap ramah, penunjukan sikap ramah yang dilakukan oleh mantan narapidana dengan memberikan teguran atau sapaan ketika bertemu dengan tetangga dan bersikap lembut dan menghargai tetangga. Kedua, membantu tetangga yang sedang kesulitan, mantan narapidana selalu memberikan pertolongan kepada tetangga yang sedang mengalami kesulitan. Hal tersebut merupakan perwujudan dari bentuk kepedulian mantan narapidana kepada tetangga yang dianggap mantan narapidana sebagai keluarga terdekat ketika mengalami kesulitan atau musibah.

Ketiga, menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga dan tetangga, mengobrol bersama, saling berbagi dan berkeluh kesah merupakan cara yang dilakukan mantan narapidana di dalam kehidupan sehari-hari bersama keluarga maupun tetangga. Dengan menjalin komunikasi yang baik, mantan narapidana menjadi merasa dimengerti dengan keadaan yang dialami oleh diri mantan narapidana. Keempat, berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang ada di dalam masyarakat, mantan narapidana mencoba berinteraksi dengan bergaul dan membaur di dalam masyarakat. Cara yang dilakukan dalam upaya agar diterima kembali adalah dengan berpartisipasi dalam setiap kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan yang dilakukan seperti sholat berjamaah di masjid, menjadi guru mengaji, menjadi imam, khutbah, pengurus masjid, menghadiri setiap acara

seperti pernikahan, syukuran, dll. Kelima, menanggapi stigma negatif dengan bersikap biasa saja, memberikan respon atas pandangan tetangga dengan biasa saja, cuek, tetap percaya diri, menyadari kesalahan dan menunjukannya dengan sikap positif dari setiap kegiatan yang sudah dijalani.

Setiap manusia terlahir untuk hidup berkelompok dan bermasyarakat. Seperti yang diungkapkan Ahmadi (1975, hlm. 40) bahwa “hasrat hasrat yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat adalah hasrat sosial, hasrat untuk mempertahankan diri, hasrat berjuang, hasrat harga diri, hasrat meniru, hasrat bergaul, hasrat untuk mendapatkan kebebasan, hasrat untuk memberitahukan, hasrat tolong menolong dan simpati.” Berdasarkan kesembilan hasrat yang dipaparkan di atas, hal itulah yang sangat mendasari mantan narapidana untuk hidup damai dan berharap diterima kembali di tengah masyarakat. Mereka mencoba untuk melakukan proses adaptasi dengan menjalin interaksi yang baik bersama keluarga dan tetangga. Oleh karena itu, sejatinya setiap warga masyarakat menginginkan adanya pengakuan dan penerimaan atas dirinya di dalam suatu lingkungan masyarakat.

Adaptasi ulang untuk membersihkan nama baik bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan mantan narapidana. Menurut Schneider (dalam Febriansyah, 2015, hlm.

28) bahwa untuk adaptasi sosial, dapat dilakukan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

(1) menyadari dan menghargai hak-hak yang dimiliki orang lain di dalam lingkungan masyarakat;

(2) membangun persahabatan dengan orang lain dan mengembangkan persahabatan yang berlangsung untuk waktu yang lama;

(3) perlu adanya minat dan simpati untuk kebaikan orang lain;

(5)

(4) berbagi dan suka menolong yang merupakan syarat selain minat dan simpati; dan

(5) menghargai norma dan integritas dari hukum, tradisi, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Hak-hak yang dimiliki orang lain tentu menjadi syarat untuk dapat melakukan proses adaptasi. Hak-hak tersebut dapat diwujudkan dengan menghargai setiap pendapat masyarakat dan menunjukan sikap toleransi kepada warga masyarakat di lingkungan tempat tinggal mantan narapidana berada. Persahabatan dibangun dengan sesama warga sejatinya sangat penting dilakukan agar terjalin ikatan solidartias antar sesama warga masyarakat.

Dengan menjalin hubungan persahabatan secara baik, mantan narapidana diharapkan menjadi pribadi yang mampu diterima oleh lingkungan sosialnya.

Pada jurnal Problems, Needs, and Psychological State of Ex Convicts : A Qualitative Study in a Turkish Sampel oleh Georgul dan Erden (2015) vol.4 no.3 dikatakan jika masalah terbesar mantan narapidana ialah sikap mereka terhadap dirinya yang menganggap dirinya sendiri yang tidak berguna sehingga menjadi putus asa di tengah masyarakat. Selain itu, terjadi masalah psiko-sosial pada diri mereka.

Masalah tersebut seperti pengucilan sosial, pelabelan dan kerugian, seperti pengangguran, masalah ekonomi serta masalah perumahan yang dihasilkan dari pengangguran. Beberapa mantan narapidana mengungkapkan bahwa setelah mereka masuk ke dalam penjara, anggota keluarga mereka yang ditinggal banyak menemui masalah dan penyelesaiannya pun tidak dapat mereka selesaikan karena mereka tidak bisa memiliki komunikasi secara leluasa.

Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, tidak terjadi suatu masalah yang terlalu besar seperti dalam jurnal

tersebut. Sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang menginginkan hidup damai dan sejahtera, sehingga masyarakat dalam suatu wilayah di Indonesia memiliki ikatan solidaritas dan kekeluargaan yang kuat.

Ketika mantan narapidana keluar dari hukuman pidana, masyarakat sangat berperan penting merangkul dan mendekatkan diri dengan mantan narapidana, sehingga terjalin hubungan yang baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan saling menasehati dan memotivasi yang pada akhirnya akan memberikan kepercayaan diri kepada mantan narapidana untuk mencoba bergaul dan beradaptasi ulang di tengah masyarakat.

Pada penelitian ini, nampaknya penulis lebih sepakat dengan jurnal yang berjudul On the Value Integration of Successfully Reformed Ex-Convicts: A Comparison With Moral Exemplars oleh Jennifer Cole Wright, Heath Hoffmann and Olivia Coen. Vol 1 nomor 19 yang menyatakan bahwa kisah-kisah mantan narapidana terlihat dari masa lalu yang fokusnya pada keinginan untuk kekayaan materi, status/kekuatan sosial dan kegembiraan, saat ini berubah menjadi fokus pada membantu orang lain, keinginan untuk menyebarkan cinta universal dan penerimaan Tuhan, untuk membantu orang lain, seperti menghindari negativitas, kriminal dan penjara, model peran dan mencintai keluarga, keinginan untuk hidup layak , menginspirasi, mengagumkan kehidupan. Kemajuan diri mereka sendiri yang mereka inginkan untuk diri mereka sendiri dan untuk masa depan. Beberapa bahkan menolak julukan lama sebagai seorang mantan narapidana seakan ia mengatakan jika saya bukan orang itu lagi.

Terutama dalam fase transisi, peserta sering disebut untuk menghindari pengaruh negatif dan aktif mencari orang-orang yang positif untuk menghabiskan waktu bersama. Nilai- nilai yang hadir dalam tanggapan mereka

(6)

aktif ditampilkan dalam kehidupan mereka sekarang, keterlibatan mereka dalam gereja, dalam kelompok dukungan masyarakat, dan dalam reformasi penjara.

Kesepakatan tersebut disimpulkan melalui hasil obervasi dan wawancara dengan pihak keluarga dan tetangga yang melihat kemajuan terhadap diri mantan narapidana yang percaya diri dalam kegiatan kemasyarakatan untuk menjalin integritas bersama warga setempat. Selain itu, baik keluarga dan tetangga pun memberikan posisi atau peran yang tak akan terganti seperti menjadi seorang ayah, kakek, pengurus masjid dan tokoh masyarakat yang membuat mantan narapidana merasa memiliki tujuan hidup.

Bentuk Perubahan yang Terjadi Pada Mantan Narapidana Setelah Keluar dari Lembaga Pemasyarakatan

Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, mantan narapidana memiliki perubahan menuju ke arah positif.

Perubahan positif yang dilakukan mantan narapidana setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat berupa hal-hal berikut. Pertama, bertambahnya iman dan ketakwaan. Banyak mendapatkan ilmu agama ketika program kerohanian di dalam lembaga pemasyarakatan membuat ada suatu perbedaan dalam hal spiritual yang terdapat dalam diri mantan narapidana.

Selain menyadari akan dosa yang diperbuatnya di masa lalu, setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan para mantan narapidana terlihat lebih mantap dalam keagamaannya seperti rajin sholat berjamaah di masjid, menjadi guru mengaji, imam, dan khotib sehingga dipercaya menjadi pengurus masjid oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Kedua, lebih peka dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Sikap yang cuek merupakan sikap yang dulunya dimiliki oleh mantan narapidana. Namun, setelah mantan narapidana keluar dari

lembaga pemasyarakatan, mantan narapidana menunjukan perubahan dalam dirinya dengan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti selalu menghadiri acara pernikahan, syukuran, tahlilan dan gotong royong di lingkungan sekitar.

Perubahan tersebut diharapkan mampu memperlihatkan sisi positif mantan narapidana yang ingin berubah dan bergaul dengan masyarakat sehingga diterima dan diakui keberadaannya sebagai bagian dari warga setempat. Ketiga, menjauhi pergaulan dan kebiasaan di masa lalu. Lingkungan merupakan agen sosialisasi yang sangat erat kaitannya dalam pembentukan kepribadian seseorang. Mantan narapidana yang benar- benar menyadari dosa dan kejahatannya di masa lalu. Ia akan memilih untuk pergi meninggalkan masa lalunya yang dianggap suram. Mantan narapidana masih terus bergaul dengan rekan lamanya, hal tersebut memungkinkan mantan narapidana kembali ke jalan yang salah. Seharusnya yang dilakukan mantan narapidana ialah membuang masa lalu dan mencoba beradaptasi ulang dengan rekan masyarakat tempat tinggal yang memiliki energi untuk menjadikan mantan narapidana berprilaku positif pula.

Berbagai bentuk perubahan positif mantan narapidana tersebut dapat dikatakan sebagai buah hasil dari pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan ketika masih mendapatkan hukuman pidana.

Perubahan didukung oleh proses pembinaan dari kepolisian juga didukung oleh dukungan dari berbagai pihak seperti keluarga dan masyarakat tempat tinggal mantan narapidana. Sejalan dengan pengertian dari sistem pemasyarakatan yang dituangkan dalam pasal 2 ayat 2 UU no. 12 Tahun 1995 dalam Nurulaen (2012, hlm 38) menyatakan bahwa :

Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

(7)

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindakan pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Oleh karena itu, diharapkan masuknya mantan narapidana ke dalam lembaga pemasyarakatan sebagai upaya agar mantan narapidana mampu berubah, jera dan memperbaiki diri dengan berbagai program yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan.

Upaya-upaya tersebut dapat berupa berbagai kegiatan pengajian, salat berjamaah, siraman rohani dan kegiatan keagamaan lainnya di dalam lembaga pemasyarakatan.

Mantan narapidana tentunya memiliki kebiasaan yang sering dilakukan semasa masih hidup bebas sebelum masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan.

Berdasarkan data yang dihimpun dari informan, mantan narapidana memiliki kebiasaan buruk seperti minum minuman, menggunakan narkoba, mencuri, hingga berkumpul dengan rekan-rekan yang salah.

Dengan adanya pembinaan tersebut diharapkan terciptanya suatu energi baru dalam diri mantan narapidana agar menyadari kebiasaan buruk tersebut.

Hal tersebut sangat sejalan dengan jurnal yang berjudul Filsafat (Sistem) Pemasyarakatan oleh Sulhin (2010) vol.21 no.1&2 yang menyatakan sistem pemasyarakatan Indonesia yang menganut filosofi reintegratif pada dasarnya sangat adaptif terhadap koreksi yang berbasis di masyarakat. Pemasyarakatan memandang bahwa pembinaan tidak hanya dilakukan di dalam lembaga, namun memerlukan fase tertentu di mana narapidana berinteraksi dengan masyarakat hingga diintegrasikan kembali, meskipun masih dalam masa pidana. Interaksi dan reintegrasi adalah upaya yang dilakukan untuk memperbesar kemauan masyarakat untuk menerima kembali narapidana dan meminimalkan

stigma negatif, sehingga ketika bebas, mantan narapidana diharapkan dapat hidup kembali secara normal sebagai anggota masyarakat.

Dampak yang Terjadi Pada Mantan Narapidana Setelah Melakukan Adaptasi di dalam Lingkungan Masyarakat

Dampak yang terjadi setelah mantan narapidana melakukan adaptasi di dalam lingkungan masyarakat berdasarkan temuan penelitian, sebagai berikut. Pertama, erubahan respon dari keluarga. Keluarga yang awalnya merasa sedih, kecewa dan marah ketika melihat kasus kejahatan yang dilakukan oleh mantan narapidana perlahan berubah seiring proses adaptasi yang dilakukan individu dalam upaya mengubah stigma negatif dalam dirinya. Hingga saat ini seluruh pihak keluarga merasa sangat bahagia ketika melihat perubahan dan penerimaan diri yang dilakukan oleh mantan narapidana dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan beberapa keluarga tidak menyangka perubahan dan proses adaptasi anggota keluarganya di tengah masyarakat hingga saat ini. Kedua, hilangnya stigma negatif dari tetangga. Setelah mantan narapidana melakukan proses adaptasi dengan melakukan interaksi dan menjalin hubungan yang baik dengan tetangga baik melalui tegur sapa, sopan santun, serta tolong menolong, terlibatnya mantan narapidana dalam kegiatan kemasyarakatan dan penunjukan perubahan diri mengakibatkan stigma negatif di dalam masyarakat yang awalnya kuat perlahan mulai hilang. Hal tersebut karena masyarakat juga merupakan agen yang mampu menilai dan mengawasi individu yang berada di dalam bagian lingkungannya. Oleh sebab itu, dampak yang diberikan kepada mantan narapidana sebagai hasil dari proses adaptasi adalah penerimaan dirinya di tengah masyarakat dan dipercaya sebagai orang yang ingin berubah dari masa lalu. Ketiga, mantan

(8)

narapidana memiliki peran di dalam masyarakat. Mantan narapidana yang awalnya merupakan orang yang dianggap buruk di dalam masyarakat saat ini setelah beradaptasi memiliki perubahan. Perubahan tersebut berupa mantan narapidana sebagai tokoh masyarakat yang dituakan di daerah setempat. Mereka dianggap sebagai orang yang pernah makan asam garam kehidupan dan telah terlihat perubahannya dalam kehidupan. Perubahan yang ditunjukkan mereka membuat masyarakat percaya jika mantan narapidana merupakan orang yang mampu memberikan nasehat dan membantu mencarikan jalan keluar. Beberapa peran tersebut terlihat ketika saat ini mantan narapidana sering membawakan kata sambutan dalam acara pernikahan dan sering menjadi ketua dalam kegiatan kemasyarakatan seperti pernikahan dan acara lainnya. Selajutnya peran sebagai pengurus masjid juga merupakan bentuk keberhasilan mantan narapidana yang dipercayai oleh masyarakat dalam mengemban tugas dan tanggung jawab yang tidak semua orang mampu melakukannya.

Menjadi pengurus masjid dan tokoh masyarakat merupakan salah satu bentuk keberhasilan atas dampak mantan narapidana dalam beradaptasi di tengah masyarakat. Keempat, memiliki keleluasaan untuk hidup bermasyarakat. Masa lalu yang suram dan kesalahan dalam melanggar norma di masyarakat menjadikan mantan narapidana yang saat itu hidup tercengkam dengan rasa takut dan was-was ketika melakukan sesuatu hal di luar rumah.

Namun, saat ini mantan narapidana mengalami perubahan dan melakukan adaptasi di tengah masyarakat. Hasil yang mereka dapatkan ditunjukkan dengan adanya bentuk keleluasaan dalam bergaul.

Hal tersebut karena mantan narapidana sudah tidak merasa bersalah sehingga tidak ada sekat yang membatasi mantan narapidana untuk hidup bebas dan leluasa di

masyarakat. Kelima, memiliki pekerjaan yang tetap. Memiliki pekerjaan sama halnya dengan pemberian kepercayaan dari masyarakat kepada mantan narapidana yang dianggap memiliki prilaku yang baik setelah melakukan proses adaptasi.

Parsons (dalam Ritzer, 2012, hlm.

121) berpendapat ada empat subsistem yang menjalankan fungsi-fungsi utama dalam kehidupan bermasyarakat yaitu adaptation, goal attainment, intergration, dan lattent pattern mainteance. Keempat skema penting tersebut tidak memiliki batasan yang jelas, karena satu sama lain saling berkesinambungan. Mengenai fungsi untuk semua sistem tindakan, skema tersebut dikenal dengan skema AGIL, teori fungsionalisme struktural dalam menganalisis tindakan sosial. Keempat fase tersebut digambarkan dalam menganalisis tindakan sosial mantan narapidana berupa:

(1) Adaptation (Adaptasi) ialah sebuah sistem yang berfungsi menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem ini dimaksudkan setiap individu harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Berbagai dimensi permasalahan harus ada penyesuaian diri sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang keras, yang tidak dapat diubah (inflexible) yang datang dari lingkungan.

Sama halnya dengan seorang mantan narapidana yang mempunyai keharusan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternalnya. Dalam hal ini lingkungan eksternal tersebut berupa masyarakat yang memiliki adat, kebiasaan dan norma yang tidak dapat diubah begitu saja.

(2) Goal Attainment (Pencapaian Tujuan) ialah sebuah sistem yang berfungsi harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Dalam hal ini seorang mantan narapidana harus tetap berpegang pada tujuan utama

(9)

adaptasinya yaitu mengubah stigma negatif yang melekat pada dirinya setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.

(3) Integration (Integrasi) ialah sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian bagian yang menjadai komponennya. Sistem juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L). hal tersebut penting dilakukan agar suatu sistem sosial berfungsi secara efektif sebagai suatu kesatuan, harus ada paling kurang suatu tingkat solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamnya.

Masalah integrasi merujuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan dipertahankan.

Mantan narapidana harus memiliki ikatan emosional kepada masyarakat di dalam lingkungannya. Upaya tersebut agar terjalin integrasi antarsesama warga yang nantinya akan memunculkan solidaritas dan dapat diterimanya mantan narapidana oleh masyarakat.

(4) Latency (Latensi atau Pemeliharaan Pola) ialah sebuah sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Pada tahapan ini akan terciptanya suatu pola yang tetap menjadi ciri khas seperti halnya kekhasan suatu masyarakat di suatu wilayah. Mantan narapidana yang telah memahami pola dalam suatu masyarakat akan memudahkannya untuk beradaptasi dan berusaha mengikuti dan memelihara norma yang terdapat di dalam lingkungan masyarakat tempat dia berada.

Berdasarkan teori Parsons di atas, maka dapat dilihat jika mantan narapidana yang mampu beradaptasi secara baik akan

terus memelihara pola yang akan memengaruhinya dalam mengambil suatu tindakan sosial. Keharusan mantan narapidana dalam beradaptasi dengan mempunyai tujuan untuk mengubah stigma yang dilakukan dengan menunjukan integritasnya sebagai warga masyarakat.

Tentunya kebersamaan untuk mengikuti atau memelihara norma yang terdapat di lingkungan setempat akan membuat proses adaptasi dan penerimaan akan dirinya berjalan dengan cepat.

Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Fitriani (2015) mengenai pengungkapan diri mantan narapidana menyatakan bahwa dampak pengungkapan diri pada mantan narapidana, yaitu meningkatkan kesadaran diri, mengatasi perasaan takut, membangun hubungan yang lebih dekat dan mendalam, serta memecahkan berbagai konflik dan masalah interpersonal. Penulis sependapat dengan penelitian Fitrtiani (2015) yang menyatakan bahwa pengungkapan diri dapat memberikan efek yang baik dalam proses adaptasi mantan narapidana. Oleh karena itu, akan memudahkan mantan narapidana diterima oleh masyarakat tempat tinggalnya, sehingg berdampak pada keberhasilan mantan narapidana dalam beradaptasi.

Perbedaan Tipologi Adaptasi Antara Mantan Narapidana Kasus Pembunuhan, Perampokan dan Bandar Narkoba di dalam Masyarakat.

Perbedaan tipologi adaptasi antara mantan narapidana kasus pembunuhan, perampokan dan bandar narkoba, dipengaruhi oleh perbedaan faktor yang mendasar yang akan membedakan tipe adaptasinya, yaitu (a) perbedaan lingkungan pergaulan mantan narapidana; (b) perbedaan latar belakang tindak kejahatan; (c) perbedaan cara mengubah stigma; (d) perbedaan tanggapan keluarga dalam proses adaptasi; (e) perbedaan tanggapan tetangga

(10)

dalam proses adaptasi; dan (f) peran mantan narapidana setelah beradaptasi di dalam masyarakat

Schneider (dalam Febriansyah, 2015, hlm. 30) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat lima faktor yang memengaruhi adaptasi sosial individu, yaitu kondisi fisik, kepribadian, pendidikan, lingkungan, serta agama dan budaya. Dalam penelitian ini, faktor yang paling menonjol dalam perbedaan tipologi adaptasi dari mantan narapidana adalah faktor lingkungan. Baik berupa lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat yang menjadi tempat beradaptasi mantan narapidana.

Lingkungan keluarga merupakan tempat berlangsungnya sosialisasi primer bagi mantan narapidana. Selain itu, lingkungan keluarga juga merupakan lingkungan utama yang sangat penting yang memengaruhi mantan narapidana untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan budaya yang berada di sekitar lingkungan masyarakat. Unsur-unsur di dalam keluarga seperti interaksi antaranggota keluarga, peran sosial dalam keluarga, kekohesifan keluarga, dan gangguan dalam keluarga akan berpengaruh dalam penyesuaian dirinya di lingkungan sosial.

Lingkungan masyarakat juga menjadi faktor penting yang memengaruhi perkembangan adaptasi sosial. Konsistensi nilai-nilai, sikap, aturan, norma, moral, budaya, dan perilaku masyarakat akan diidentifikasi oleh individu yang berada dalam masyarakat, sehingga akan berpengaruh terhadap proses perkembangan adaptasi sosialnya. Dalam kenyataanya di kehidupan social, perilaku menyimpang terkadang dipengaruhi pula oleh kondisi lingkungan masyarakatnya.

Model adaptasi ini pertama kali dikembangkan oleh Sister Calista Roy yang mengembangkan konsep individu dan

proses. Roy (dalam Rasmun, 2004, hlm. 41) berpendapat sebagai berikut.

Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas kemampuan untuk beradaptasi. Pada dasarnya manusia memberikan repons terhadap semua rangsangan baik positif maupun negatif. Kemampuan beradaptasi manusia berbeda beda antara satu dengan lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun negatif.

Selain itu, setiap manusia juga mempunyai kemampuan yang digunakan untuk menjaga integritas fisik dan psikologis agar mampu beradaptasi secara baik. Seperti yang dikatakan Rasmun (2004, hlm. 43) yang membagi kemampuan tersebut ke dalam empat bagian, di antaranya:

(1) Fisik (Physiological), ialah adaptasi yang digunakan untuk tetap bersatunya fungsi sistem tubuh, berupa reaksi fisik terhadap adanya stressor yang masuk ke dalam tubuh, yakni adanya penolakan tubuh terhadap stressor, baik secara alami (reaksi imunitas), maupun yang dipelajari yaitu tindakan menghindar/berlindung menangkis untuk menolak/mengurangi stressor.

(2) Konsep Diri (Self Consept), ialah kemampuan yang menyangkut persepsi diri, yang melibatkan aktivitas mental dan pengungkapan perasaan diri. Konsep diri ada lima, di antaranya (a) identitas diri ialah hal yang berhubungan dengan ciri ciri yang dipersepsikan; (b) ideal diri adalah hal yang terkait dengan persepsi diri terhadap cita-cita, keinginan, harapan hidup yang dipersepsikan; (c) peran diri ialah persepsi terhadap peran dirinya di lingkungan sosial masyarakat misalnya; peran sebagai kepala keluarga, jabatan sosial di masyarakat, dll.; (d) gambaran diri ialah hal yang terkait

(11)

dengan persepsi dirinya terhadap keseluruhan bentuk fisik (tubuh) yang dipersepsikan; dan (e) harga diri ialah persepsi terhadap keberadaan nilai dirinya di dalam lingkungan sosial.

(3) Fungsi Peran (Role Function), adalah keseluruhan dari fungsi psikososial yang diperankan diberbagai peran dimasyarakat, keberadaannya sebagai kepala keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat Negara, dll. Peran- peran yang dimiliki individu, sehingga dapat menjaga integritas diri melalui proses adaptasi.

(4) Kemandirian (Interdependence), ialah keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam mencapai sesuatu.

Berdasarkan kedua hal diatas, maka dapat ditarik suatu benang merah yang menyatakan bahwa proses adaptasi sejatinya merupakan suatu penyesuaian yang harus serius dijalankan dari niat dalam hati pribadi individu bersangkutan. Konsep diri yang baik, kondisi fisik yang baik serta kemandirian yang baik akan memengaruhi proses adaptasi tersebut. Kemampuan individu menyesuaikan diri dapat dilihat dari mampu atau tidaknya individu dalam menerima rangsangan positif dan negatif dari berbagai aspek, dalam artian pengelolaan kondisi emosional. Karena sejatinya proses adaptasi merupakan proses yang harus menyeimbangkan antara kondisi fisik dan psikologis dari individu itu sendiri.

Pada salah satu jurnal Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Kecemasan Menghadapi Masa Pembebasan Pada Narapidana oleh Martha dan Annatagia (2014) vol.2 no.2 memberikan simpulan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah kecemasan narapidana dalam menghadapi masa pembebasan. Sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi maka semakin tinggi kecemasan narapidana dalam menghadapi

masa pembebasan. Dengan demikian hipotesis diterima. Menurut pandangan peneliti, agaknya untuk menganalisis tingkat kecerdasan emosi dari mantan narapidana tidak dapat dilihat secara sepintas dan dengan mudahnya. Perhitungan akan kecerdasan emosi seseorang membutuhkan tahapan dan proses untuk mengukurnya.

Maka agak sulit terlihat ketika sebagai orang awam yang melihat. Selain itu, berdasarkan karakter keseluruh mantan narapidana diketahui memang sejak sebelum mendapatkan hukuman pidana, mereka adalah orang orang yang memiliki emosi yang tinggi akan menanggapi berbagai respon. Berdasarkan hasil penelitian pula dikatakan jika semua mantan narapidana mempunyai kecemasan masing masing yang mereka rasakan.

Pada penelitian ini yang paling terlihat berbeda adalah antara karakter mantan narapidana pria dan wanita. Dalam proses adaptasinya, mantan narapidana pria lebih memiliki karakter kesamaan cara berinteraksi dan bersosialisasi. Kesamaan tersebut ditunjukkan dengan rutinitas salat ke masjid dan banyak aktif dalam kegiatan kemasyarakatan sehingga memudahkannya untuk beradaptasi. Sementara itu, sisi yang berbeda dari mantan narapidana wanita yang sedikit kurang memiliki peran setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Hal itu dikarenakan sebagai seorang wanita aktifitas yang dijalani lebih banyak di dalam rumah.

Ditambah lagi karakter keluarga dan lingkungan tempat tinggal mantan narapidana wanita memang sedikit berbeda dengan kedua mantan narapidana lainnya.

Oleh karena itu, tipologi perbedaannya sangat terlihat.

Sejalan dengan peneliti, berdasarkan penelitian dalam jurnal mengenai gambaran tingkat kecemasan pada warga binaan wanita menjelang bebas di lembaga pemasyarakatan wanita klas II A Bandung oleh Indriani, dkk (2015) vol.1 no.1

(12)

menyatakan jika warga binaan wanita menjelang bebas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Bandung hampir sebagian warga binaan memiliki tingkat kecemasan berat 38%. Kecemasan tersebut yang paling berat adalah kecemasan menghadapi masyarakat dan timbul ketidak yakinan atas penerimaan diri pada mantan narapidana selepas keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.

Berdasarkan analisis peneliti yang dihubungkan dengan jurnal diatas, memang tingkat kecemasan wanita berbeda dengan pria. Karena wanita memiliki perasaan yang lebih sensitif dan cenderung lebih mendengarkan apa yang dikatakan orang lain. Oleh karena itu, pada akhirnya memang sangat terlihat perbedaan menonjol antara mantan narapidana dalam tipologi adaptasinya.

SIMPULAN

Interaksi sosial mantan narapidana sebagai upaya mengubah stigma negatif ialah dengan cara berinterksi dengan masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan sikap yang ramah dengan tegur sapa, membantu tetangga yang sedang kesulitan, menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga dan tetangga, berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang ada di dalam masyarakat, menanggapi stigma negatif dengan bersikap biasa saja dengan percaya diri serta menunjukan perubahan sikap kepada masyarakat.

Perubahan positif mantan narapidana setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan adalah bertambahnya iman dan ketakwaan dengan rajin beribadah di masjid, lebih peka dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungannya, dan menjauhi pergaulan dan kebiasaan dimasa lalu seperti minum minuman, memakai narkotika, berguru ilmu hitam, dll.

Dampak proses adaptasi yang dilakukan oleh mantan narapidana

menghasilkan perubahan respon dari keluarga yang awalnya kecewa, marah dan sedih menjadi bahagia, bangga dan tidak menyangka. Hilangnya stigma negatif dari tetangga yang dahulunya sering membicarakan dibelakang, takut dan kaku, saat ini sudah biasa saja dan sangat akrab.

Memiliki peran di dalam masyarakat seperti menjadi pengurus masjid, guru mengaji, dan tokoh masyarakat yang pada intinya dapat dipercaya oleh masyarakat akibat perubahan yang terpercaya. Memiliki keleluasaan untuk hidup bermasyarakat dengan bebasnya bergaul bersama siapa saja tanpa ada rasa canggung dan tidak ada rasa was-was dalam berpergian karena sebelumnya mantan narapidana selalu cemas dan was-was ketika akan pergi meninggalkan rumah. Serta memiliki pekerjaan yang tetap karena perusahaan mempercayai akan potensi dan perubahan yang dimiliki mantan narapidana.

Pola adaptasi antara mantan narapidana kasus pembunuhan, perampokan dan bandar narkoba memiliki tipologi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tipologi tersebut dapat terlihat di antaranya melalui perbedaan lingkungan pergaulan mantan narapidana, perbedaan latar belakang tindak kejahatan, perbedaan cara mengubah stigma, perbedaan tanggapan keluarga dalam proses adaptasi, perbedaan tanggapan tetangga dalam proses adaptasi, dan peran mantan narapidana setelah beradaptasi di dalam masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN Buku :

Ahmadi, A. (1975). Pengantar Sosiologi.

Semarang: CV Ramadhani.

Gerungan, W.A. (2009). Psikologi Sosial.

Bandung: PT Refika Aditama.

Laminatang. (1984). Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: CV Armico.

(13)

Nurulaen, Y. (2012). Lembaga Pemasyarakatan Masalah dan Solusi:

Perspektif Sosiologi Islam. Bandung:

MARJA.

Rasmun. (2004). Stres, Koping dan Adaptasi. Jakarta: Sagung Setyo.

Ritzer, G. (2012). Teori Sosiologi (Dari Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Post Modern) – Edisi Kedelapan 2012. Yogyakarta:

Pustaka Belajar.

Jurnal :

Indriani, dkk. (2015). “Gambaran Tingkat Kecemasan pada Warga Binaan Wanita Menjelang Bebas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Bandung”. Volume 1, No 1

Jennifer, dkk. (2015). “On the Value Integration of Successfully Reformed Ex-Convicts: A Comparison With Moral Exemplars” Volume 1, No 19 Martha & Annatagia. (2014).“Hubungan

Kecerdasan Emosi dengan Kecemasan Menghadapi Masa Pembebasan Pada Narapidana.”

Volume 2, No 2.

Gorgul & Erden. (2015). “ Problems, needs and psychological state of exconvicts:

A qualitative study in a Turkish sample” Volume 4, No 3.

Lebel, T. (2011). “If One Doesn’t Get You Another One Will”: Formerly Incarcerated Persons’ Perceptions of Discrimination.” Volume 20, No 10.

Sulhin, I. (2010). “Filsafat (Sistem) Pemerintahan” Volume 7, No 1.

Skripsi :

Febriansyah, S.Y. (2015). Pola Adaptasi Sosial Budaya Kehidupan Santri Pondok Pesantren Nurul Barokah.

Skripsi:Universitas Pendidikan Indonesia.

Fitriani, Leonie. (2015). Pengungkapan diri mantan narapidana. Universitas Gunadarma

Referensi

Dokumen terkait

Berisi analisa desain dari objek penelitian, Strengthness (Kekuatan dan Kelebihan yang dimiliki dari objek yang di teliti) perbandingan dengan objek penelitian yang sudah ada

Nem az volt a kérdés, hogy adott diagnózis vagy terápia helytálló-e vagy sem, hanem az, hogy az adott diagnózis, terápia, vagy az orvos más értelmez ı eljárásai mit

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh current ratio, debt to equity, return on assets, dan earning per share terhadap dividend

Agar pembahasan mencapai sasaran sesuai dengan yang diharapkan serta menghindari terlalu luasnya ruang pembahasan, maka dalam penulisan skripsi ini membahas ruang

Nilai makespan optimum pada Kasus 1 yang didapatkan dengan cara enumeratif (menghitung semua alternatif penjadwalan yang dapat terjadi) sama dengan nilai makespan optimum

Technoromantism merupakan pemikiran siber urbanisme sosial kategori yang berpandangan simpatik, empatik dan sentimental kepada golongan yang lemah, terpinggir dan dipinggirkan

Pada penelitian sebelumnya, populasi S1 lebih virulen terhadap varietas Untup Rajab daripada populasi X1, meskipun dengan tingkat ketahanan yang lebih tinggi, yaitu skor 3

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum