• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI KEPALA DAERAH DITINJAU DARI FIQIH SIYASAH (PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU/XVII/2019)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI KEPALA DAERAH DITINJAU DARI FIQIH SIYASAH (PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU/XVII/2019)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI KEPALA DAERAH DITINJAU DARI FIQIH SIYASAH (PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

56/PUU/XVII/2019)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RIFQI AHMAD NAWAWI 11150430000054

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2020 M

(2)
(3)

ii

(4)
(5)

iv ASBTRAK

Rifqi Ahmad Nawawi. NIM 11150430000054. TINJAUAN YURIDIS PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI KEPALA DAERAH DITINJAU DARI FIQIH SIYASAH (PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU- XVII/2019)” Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020M/1442 H.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian pustaka yang bertujuan untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tentang Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai Kepala Daerah dan menganalisis pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVII/2019 dalam perspektif Fiqih Siyasah.

Skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode penelitian hukum normative melalui pendekatan perundang-undangan, kasus, dan perbandingan dalam pendekatan konseptual. Data penelitian ini dihimpun menggunakan metode dokumenter kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif analisis yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai obyek penelitian secara sistematis, faktual dan akurat mengenai kewenangan dari obyek penelitian dan dihubungkan dengan putusan terkait, selanjutnya dianalisis menggunakan teori hukum Islam yaitu, fiqih siyasah.

Hasil penelitian menyimpulkan, bahwa: pertama, Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 Mahkamah Konstitusi memiliki pertimbangan, diantaranya: (i) Pertimbangan filosofis (ii) Pertimbangan yuridis, dan (ii) Pertimbangan sosiologis. Pada putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan beberapa persyaratan tertentu. Kedua, pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 56/PUU- XVII/2019 yang membolehkan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah karena ia telah bertaubat dan telah membayar semua kesalahannya di masa lalu yaitu dengan dipidana penjara, hal tersebut sesuai dengan fiqih siyasah bahwa calon kepala daerah tidak disyaratkan tidak pernah melakukan tindak pidana tertentu.

Kata Kunci : Calon Kepala Daerah, Mantan Narapidana, Pemimpin, Hukum Positif, Syarat-syarat menjadi Pemimpin, Fiqh Siyasah

Pembimbing : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum.

Mufidah, S.H.I, M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1979 s.d. Tahun 2019

(6)

v

ٌيحرىا َِحرىا الله ٌسب KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur tak hentinya penulis sampaikan kepada Allah SWT.berkat rida, rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Mantan Narapidana Sebagai Kepala Daerah (Studi Komparatif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/Puu-Xvii/2019 Dan Hukum Islam)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Salawat dan salam senantiasa penulis mohonkan kepada Allah SWT semoga selalu tercurahan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada segenap keluarganya, sahabat-sahabatnya serta umatnya yang kokoh dan setia mengikuti ajarannya sepanjang zaman. Mudah-mudahan kita termasuk bagian umat beliau yang akan mendapatkan pertolongan di hari kiamat, amin.

Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa hasil penelitian ini selesai berkat bimbingan, dorongan, dan dukungan dari berbagai pihak.Banyak pihak yang sudah berkontribusi dan menjadi penyemangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Dengan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Karlie, M.A. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Ibu Siti Hanna, M.A. selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab, juga Bapak Hidayatullah, M.H. selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab. Terima kasih atas waktu, tenaga dan ilmu yang diberikan. Semoga kesehatan, kemudahan dan keberkahan selalu menyertainya.

3. Bapak Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. dan Ibu Mufidah, S.H.I., M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Inspirator bagi penulis. Terimakasih atas waktu, tenaga dan ilmu yang diberikan. Semoga kesehatan, kemudahan dan keberkahan selalu menyertainya.

4. Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M,Ag. selaku Dosen Pembimbing Akademik selama penulis menuntut ilmu di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

(7)

vi

5. Seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan ikhlas memberikan ilmunya kepada penulis;

6. Teristimewa untuk keluarga kecil penulis, Ayahanda Drs. Mahmudi Ruslan dan Ibunda Uum Nurhasanah, S.Pd. Terima kasih atas semua doa, pengorbanan, jerih payah, serta dukungan atas semua cita-cita dan impian penulis. Tiada kata yang pantas selain doa yang selalu penulis panjatkan, juga untuk saudara pernulis tersayang (Siti Lutfiah Mahmudah, S.Ag., Amar Muzassir Ruhainudin, Spd. Dan adik Mu’tasim Billah dan Imam Husnul Maab) yang selalu memberikan semangat dan doa untuk penulis dari kampung halaman tercinta. Semoga kesehatan dan keberkahan selalu menyertai semuanya;

7. Segenap keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, terima kasih atas pergerakan kalian, teruslah bergerak bersama, karena jalan kehidupan masih panjang, menunggu karya-karya hebat dari sang pejuang;

8. Segenap keluarga besar Alumni Mansyaul Huda 02 (KALIMASADA) Senori, terimakasih atas banyak sekali Ilmu yang tidak akan didapat jika hanya dirumah, teruslah menjadi penggerak keagamaan yang selalu mengedepankan Islam Ramah bukan Islam Marah.

9. Segenap keluarga besar Ikatan Mahasiswa Alumni Sunnatunnur (IKMAS) Senori, terimakasih atas lingkaran yang tidak pernah terputus, teruslah melingkar untuk tujuan- tujuan yang baik degan caranya masing-masing.

10. Teman-teman KKN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018, KKN Bumerang 082 Desa Karang Serang, Kec. Sukadiri (Yusuf, Vani, Nada, Ravika, Imran, Novia, Zen, Widay, Asrani, Afif, Yola, Anggi, Jimen, Mila, Alfi, Muaz dan Eva), Pasukan Mahasiswa Semesta (Wily Jabir, Zaki Cepot, Rizal Panjul, Najib, Yori, Iqbal Conan, Rausyan, Rizky Helboy, Almaz, Rezot, Tanzil, Lely, Aida, Euis, Aini, Wahyu Engkong dan Cak Roni), Pasukan Santri Semesta (Riza, Syaiful, Gus Rifai’, Cing Rohmat, Mad Guwo, Linda dan Rika), semoga kebaikan selalu menyertai semuanya;

11. Teman-teman angakatan 2015 Perbandingan Madzhabdan Hukum yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Bersama kalian hari-hari perkuliahan selalu menyenangkan, selamat berjuang menuju kehidupan yang sesungguhnya, menjadi masyarakat seutuhnya;

12. Mentor-mentor penulis selama masa-masa kuliah (Bang Ade Syamsul, Kak Azka, Bang Izat, Bang Sakino, Bang Adel, Bang Dede dan Bang Arif) yang telah mengajarkan banyak hal,

(8)

vii

semua bimbingan dan nasehat selalu penulis ingat, dengan segala hormat mentor-mentor penulis memang manusia hebat;

13. Teman Apartemen Bulet (Iqbal Maulana, Muammar Qadafi, Iqbal Ghifari) yang telah menjadi teman baik bagi penulis, yang mengajarkan kehidupan bukan lewat teori namun lewat laku diri;

14. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Jakarta, 17 Juli 2020 M 3 Syawal1441 H

Penulis

(9)

viii DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ASBTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Studi Review Terdahulu ... 6

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II PEMIMPIN DALAM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DALAM PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI KEPALA DAERAH A. Kepala Daerah ... 12

B. Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) ... 19

C. Mantan Narapidana ... 21

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XVII/2019 A. Tinjauan Umum tentang Mahkamah Konstitusi ... 38

B. Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 ... 43 BAB IV ANALISA PUTUSAN NOMOR 56/PUU-XVII/2019 TERHADAP HUKUM

ISLAM

(10)

ix

A. Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 56/PUU- XVII/2019 ... 62 B. Analisis Fiqih Siyasah Tentang Persyaratan Pencalonan Mantan Narapidan sebagai Kepala Daerah. ... 63 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 68 B. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA ... 64

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara Hukum (rechsstaat) bukan negara kekuasaan (machsstaast).Negara hukum (rechtstaat) adalah konsep berparadigma bahwa negara dan alat kekuasaannya (pemerintah) tak dibenarkan bertindak atas kekuasaannya saja, melainkan harus ditumpukan pada dasar kebenaran hukum yang telah dipositifkan ialah undang-undang yang paling dasar, ialah Undang-Undang Dasar.1 Ciri-ciri negara hukum (rechstaat) dintaranya: adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut, pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur) dan adanya keadilan demokrasi.2 Di samping itu, Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional.3

Kini, di era demokrasi hukum, hak asasi manusia terus berkembang pesat.Lantaran demokrasi adalah pemerintahan oleh, dari dan untuk rakyat maka menjadi jelas bahwa rakyat punya peranan penting untuk mengisi demokrasi. Partisipasi rakyat untuk mengisi demokrasi bisa saja terhenti yang sama artinya dengan menghilangkan negara demokrasi itu sendiri. Atas alasan itulah, demi menjamin keberlanjutan negara demokrasi, maka lahirlah satu bentuk lagi dari hak asasi manusia, yakni hak turut serta dalam pemerintah.

Hak pilih warga negar juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Konvean Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 25 ICCPR menentukan bahwa, setiap warga negara juga harus mempunyai hak dan kebebasan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan4

Konsepsi HAM (hak asasi manusia) dalam perkembangannya sangat terikat dengan konsepsi negara hukum.Dalam sebuah negara hukum sesungguhnya yang

1Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), h. 138.

2Moh. Mahfud M.D., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 28.

3 Miriam Budihardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: GramediaPustaka, 2009), h. 52.

4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International on Civil and Political

(12)

memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum sekaligus merupakan pelaksanaan karena konstitusi merupakan perwujudan perjanjian sosial tertinggi.5

Hak pilih warga negara mendapatkan jaminan dalam berbagai instrument hukum.

Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menentukan bahwa:6

1. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas;

2. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya;

3. Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara”. Dalam Pasal 43 yang menentukan bahwa:

“setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umu, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Hak politik warga negara adalah bagian dari hak-hak yang dimiliki oleh warga negara dimana asas kenegaraannya menganut asas demokrasi. Hak ini bahkan dikatakan sebagai perwujudan dari demokrasi, sehingga jika hak ini tidak ada dalam suatu Negara, maka negara tersebut tidak seharusnya dikatakan negara demokratis. Negara-negara yang menganut demokrasi, pada umumnya mengakomodir hak politik warganya dalam suatu penyelenggaraan pemilihan umum, baik itu bersifat langsung atau tidak langsung.

Pada pasal 28 huruf D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dalam hal pemilu, hak politik warga negara dalam pemilihan umum termasuk pemilihan kepala

5Jimly Asshidiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005), h. 152-162.

6 Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia”Hak Politik Warga Negara (Sebuah Perbandingan Konstitusi)”, dalam http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-danpuu/2941-hak-politik-warga-negara-sebuah- perbandingan-konstitusi.html, diakses pada 15 Desember 2019

(13)

daerah, yakni hak untuk memilih dan dipilih merupakan suatu hak asasi yang di jamin dalam UUD NRI Tahun 1945.

Kegiatan pemilihan umum (general elction) dan atau pilkada juga merupakan salah satu cara penyaluran hak asasi manusia yang sangat prinsipil yaitu hak untuk memilih dan di pilih sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 huruf D UUD NRI 1945. Ini artinya Negara menjamin setiap warga negarnaya untuk mendapatkan hak untuk duduk dalam pemerintahan baik Bupati, Walikota, Gubernur atau Presiden.

Banyak di antara calon yang gagal untuk tahap pencalonan, karena ada salah satu syarat yang tidak terpenuhi yaitu syarat tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah membunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

adanya syarat tersebut banyak diantara calon merasa haknya dirugikan oleh undang- undang tersebut, diantar calon yang merasa haknya dirugikan Misalnya Jumanto, yang merupakan mantan napi korupsi yang pada akhinya mempersoalkan frasa mantan terpidana korupsi. Pokok subtansi dari putusan tersebut yakni menetapkan bahwa Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (2) hurf d, dan lampiran Model B.3 Fakta Integritas sebagaimana yang diajukan oleh pemohon, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga peraturan ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku untuk umum.7

Pemilihan umum juga tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan pemerintah akan keabsahana kekuasaannya tetapi juga sebagai sarana rakyat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.8 Legalitas mantan narapidana sebagai kandidat yang akan turut serta dalam pemilihan kepadala daerah dan pemilihan umum sensitive dibicarakan.Itikad baik lembaga penyelenggara pemilu dalam menghasilkan calon terbaik dalam pemilihan kepada daerah dan pemilihan umum harus di dukung. Iktikad baik tersebut harus memperhatikansumber hukum yang berlaku demi tujuan hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.Legalitas narapidana sebagai kandidat tidak terlepas dari putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam beberapa

7Putusan MA No. 46 P/HUM/2018, h. 74.

8Affan Sulaeman, “Demokrasi, Partai Politik, Dan Pemilihan Kepala”, artikel dalam Jurnal Ilmu PemerintahanD CosmoGov, Vol.1 No.1, April 2015, h. 20

(14)

putusannya bersifat konstitusional bersyarat terhadap kandidat yang pernag dinyatakan bersalah melalu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Adanya putusan tersebut maka peluang mantan narapidana untuk mengikuti pencalonan sebagai kepala daerah terbuka lebar bagi siapapun. Pasca beberapa persoalan ini maka akan sangat menarik jika dibahas lebih terperinci dan mendalam perihal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah, apakah masih relevan atau masih rancu tentang peraturan atau undang-undang yang ada justru malah menimbulkan masalah baru jika dikaitkan dalam persepektif Islam.

Sebagai negara mayoritas muslim tentunya perlu melihat dan memahami bagaimana pandangan-pandangan atau konsep-konsep penyelesaian suatu permasalahan hukum dari kacamata hukum Islam itu sendiri. Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah, telah dipraktekakkan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi polotik negara. Pasca wafatnya Rasulullah SAW. Islam tampil dalam bentuk yang nyata sebagai instiusi negara.Dalam banyak hal, dapat ditemukan kenyataan-kenyataan sejarah yang menunjuk pada eksistensi negara. Terutama sejak berdirinya Daulah Bani Umayah hingga hancurnya Khilafah Turki Utsman.

Berdasarkan kenyataan sejarah yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke-21 M, umat Islam telah mempraktikan kehidupan politik yang begitu kaya dan beragam yang meliputi bentuk negara dan system pemerintahan. Lebih-lebih sejak terbebasnya dunia Islam dari kolonialisme Barat, dunia Islam telah mempraktikan system politik yang berbeda dengan masalalunya. Jika dilihat dari kenyataan sejarah, umat Islam telah mempraktikan bentuk negara kesatuan dan federal. Kedua bentuk negara tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi yang dihadapi.9

Pembahasan secara ekplisit mengenai peraturan negara ataupun hukum pemerintahan dalam Islam disebut Fiqh Siyasah. Siyasah adalah perbuatan kebijakan yang diwujudkan dalam peraturan, serta dilaksanakan dan diawasi untuk meraih sebanyak mungkin kemaslahatan (fathu adzri‟ah) dan selalu ditutup serta dihindarkan jalan-jalan yang mengarah kepada kemafsadatab (sadzu dzari‟ah).10

9Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah; Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), h. 198.

10 Satjipto Raharjo,Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 7.

(15)

Setelah dilihat dari sudut pandang Islam ternyata Indonesia telah melakukan Praktik yang relative hampir sama, akan tetapi dengan perkembangan yang sangat cepat Indonesia mengalami perubahan dan pengarus dari negara-negar Eropa dan Amerika yang menyebabkan berubahnya pola pemikiran dalam mengatur pemerintahan.

Hal ini akan muncul pertanyaan besar yaitu apakah dengan perkembangan dan pengaruh tersebut akan bertolak belakang dengan konsep Islam, sehingga menjadi pembahasan yang menarik apabila perpolikan di Indonesia dan hususnya terkait pencalonan mantan narapidan korupsi sebagai calon kepala daerah yang akan dibahas secara mendalam dan komprehensif dalam skripsi ini yang berjudu “Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai Kepala Daerah Ditinjau Dari Fiqih Siyasah (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019)”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang mengenai pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVII/2019, ada beberapa masalah yang diidentifikasi:

a. Perlunya relevansi mengenai persyaratan pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah menurut Fiqih Siyasah yang dikorelasikan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.

b. Adanya dimensi kepentingan yang besar dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah yang banyak menimbulkan keraguan terhadap kinerja pemerintahan.

c. Apa saja hak-hak mantan narapidana menurut Hukum Positif.

2. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih putusan Mahkamah Konstitusi sebagai objek penelitian. Mengingat banyaknya perkara yang diputus oleh Mahkamah Kontitusi tersebut, maka penulis melakukan pembatasan yakni hanya pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tentang diperbolehkannya mantan narapidana menjadi calon kepala daerah.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang ada, maka yang

(16)

akan menjadi rumusan masaah dalam penelitian kali ini adalah:

a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 Tentang Pencalonan Mantan Narapidan Sebagai Kepala Daerah.

b. Bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 Tentang Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai Kepala Daerah ditinjau dari Fiqih Siyasah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini diantaranya:

a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 Tentang Pencalonan Mantan Narapidan Sebagai Kepala Daerah.

b. Untuk mengetahui analisis fiqih siyasah terkait pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah dalam Tentang Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai Kepala Daerah.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan berguna baik dari segi teoritis atau praktis.

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan keilmuan tentang hukum positif ataupun hukum Islam khususnya terkait pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan berguna agar diterapkan dalam pemenuhan syarat calon mantan narapidana sebagai kepala daerah.Agar dijadikan pedoman atau pertimbangan dalam pemilihan umum.

D. Studi Review Terdahulu

Studi Review Terdahulu dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kajian dan pembahasan yang secara umum dan khusus membahas mengenai judul penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dibawah ini beberapa pembahasan yang ada kaitannya dengan

(17)

judul penelitian penulis.Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis bukanlah yang pertama membahas tentang Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai Kepala Daerah .Banyak tulisan ataupun karangan-karangan ilmiah yang membahas tentang tema tersebut, baik bercorak studi kasus (penelitian) ataupun literature (referensi).Berikut beberapa tinjauan umum atas bagian karya-karya penelitian mengenai Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai Kepala Daerah.

No. Nama Penulis/Judul/Tahun Subtansi Pembeda

1. Fahrul Rinaldi/ Pencalonan Mantan Narapidana Korupsi Sebagai Anggota Legislatif Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif (Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018)/ Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta/

Syariah dan Hukum/ 2019.

Skripsi ini menjelaskan tentang Pencalonan Mantan Narapidana Korupsi Sebagai Anggota Legislatif dalam Hukum Positif dan Hukum Islam, dengan menganilisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 yang membolehkan mantan narapidana korupsi menjadi anggota legislatif.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan hukum normatif, dimana penelitian ini bersifat deskriptif-analitis- komparatif. Hasil

Skripsi yang penulis bahas menitik beratkan pada semua mantan Narapidana dalam putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang ditinjau dari Hukum Positif dan Hukum Islam.

(18)

penelitian

menunjukan bahwa status hukum mantan narapidana korupsi dalam hukum Islam dan hukum Positif dapat menjadi calon anggota legislatif, serta pada Putusan Mahkamah Agung

Nomor 46

P/HUM/2018 sudah sesuai dengan Hukum Islam dan Hukum Positif.

2. Indar Dewi/ Hak Politik Narapidana Korupsi (Studi Komparatif Hukum Progresif dan Maqashid Al-Syariah)/

Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta/ Syariah dan Hukum/ 2019.

Skripsi ini

menjelaskan bahwa Hukum progresif yang memiliki asumsi dasar bahwa hukum dalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan Maqashid Al- Syariah merupakan tujuan dasar dalam pembentukan hukum Islam.

Hukum Progresif dan Maqashid Al-

Skripsi yang penulis bahas tidak menitik beratkan pada hukum progresif dan Maqashid Al- Syariah.

(19)

Syariah memiliki benang merah bahwa keduanya merupakan cara pandang atau paradigma yang meprioritaskan tujuan-tujuan hukum untuk terciptanya

kemaslahatan umat.

Penelitian inimerupakan penlitian yuridis normatif dengan pendakatan komparatif.

3. Muhammad Faqih/ Analisis Siyasah Dusturiyah Terhadap Pencalonan Mantan Narapidan Sebagai Kepala Daerah (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-

XIII/2015)/ Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya/ Syariah dan Hukum/ 2018.

Skripsi ini

menjelaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang membolehkan mantan narapidana mencalonkan sebagai kepala daerah dengan beberapa

persyaratan tertentu didasarkan adanya pertentangan pasal 7

Skripsi yang penulis bahas tidak menitik beratkan pada satu pandangan

maslahah mursalah.

(20)

huruf g dan pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah dengan pasal 1 ayat (1) dan (3), pasal 27 ayat (1), pasal 28C ayat (2) serta pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD NRI 1945;

dan Pertimbangan hakim dalam putusan tersebut sesuai dengan Maslahah Mursalah karena mantan narapidana juga termasuk umat dalam negara Islam yang harus

dilindungi hak- haknya, apabila ia bertaubat dengan sungguh-sungguh.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan hal yang pentingdalam penulisan skripsi ini, karena metode penelitian ini dapat menentukan langkah-langkah dari suatu penulisan .

1. Jenis Penlitian

(21)

Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini akan menkombinasikan pendekatan hukum normatif dengan studi kepustakaan (library research). Pendekatan hukum normatif, maksudnya adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pemilihan kepala daerah. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum yang tertulis dalam buku (law is written ini the book), maupun hukum yang dibuat melalui putusan pengadilan.11

2. Pendekatan Penelitian

Peter Marzuki mengemukakan bahwa di dalam penelitian hukum terdapat sejumlah pendekatan, yakni pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan (conseptual approach).12 Dari sudut pandang tersebut, penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan pendekatan komparatif, pendekatan kasus dan pendekatan perundang- undangan..

3. Sumber Data

Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa Al-Qur’an dan Al- Hadist, Undang-undang Pilkada Nomor 32 Tahun 2004, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVI/2019 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku, jurnal, hasil penelitian terdahulu, dan literatur lain yang berkaitan dengan pokok penelitian.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang sifatnya menjelasakan tentang bahan

11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h. 14

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Meida Group, 2008), h. 93

(22)

hukum primer dan sekunder, terdiri dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Istilah Hukum, dan Eksiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan studi pustaka.

Hal ini dilakukan dengan membaca, merangkum, dan menganalisis bahan-bahan hukum sebagaimana dijelaskan pada sumber data di atas, dengan dikorelasikan pada obyek penelitian.

5. Analis Data

Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sdemikian rupa dengan mendeskripsikan bahan-bahan hukum yang telah didapatkan sesuai dengan obyek penelitian, untuk menjawab persoalan-persoalan sebagaimana tergambar pada rumusan masalah.

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2017.”

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini, Penulis menyusun melalui sitematika penulisan yang terdiri dari lima bab, dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan perincian sebagai beriku:

BAB I.Bab ini menjelaskan pendahuluan yaitu latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II, pada bab ini penulis menjelaskan tentang Kepala Daerah dalam Islam, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), Mantan Narapidana dalam Hukum dan Hak- haknya.

BAB III, pada bab ini penulis menjelaskan tentang gambaran putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yaitu deskripsi putusan dan telaah poin penting dalam putusan ini.

(23)

BAB IV, pada bab ini penulis menjelaskan tentang analisis terhadap pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan analisis Fiqih Siyasah terkait persyaratan pencalonan mantan narapida sebagai kepala daerah.

BAB V, bab ini merupakan bab terakhir dari pembahasan ini, yaitu penulis menjelaskan tentang penutup yaitu kesimpulan dan saran-saran.

(24)

12 BAB II

PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI KEPALA DAERAH A. Tinjauan Umum Kepala Daerah

Pemimpin bearasal dari kata ”pimpin” (dalam bahasa Inggris; lead) berarti bimbingan dan tuntun. Dengan demikian, di dalamnya ada dua pihak yang terlibat, yaitu yang dipimpin dan yang memimpin. Setelah ditambah awalan “pe” menajdi pemimpin (dalam bahasa Inggris; leader), ia berarti orang yang menuntun atau membimbing.13

Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.14

Sedangkan dalam istilah Islam pemimpin dikonotasikan dengan kata khalifah, amir atau imamah. Khalifah adalah pengganti yaitu seseorang yang menggatikan tempat orang lain yang lain dalam beberapa persoalan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata khalifah yang berarti pengganti telah berkembang menjadi “titel atau gelar bagi pemimpin tertinggi masyarakat Muslim sebagai gelar yang berlebel agama”15 sesuai dengan firman Allah Swt, dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30:

بَهيِف ُدِسۡفُي ٍَِ بَهيِف ُوَع ۡجَتَأ ْآَٰىُىبَق ٗۖ ةَفيِيَخ ِض ۡرَ ۡلۡٱ يِف ٞوِعبَج يِِّّإ ِةَنِئَٰٓ َيََۡيِى َلُّبَر َهبَق ۡذِإَو ُِ ۡحََّو َءَٰٓبٍَِّدىٱ ُلِف ۡسَي َو

َُىََُي ۡعَت َلَ بٍَ ٌَُي ۡعَأ َٰٓيِِّّإ َهبَق َٗۖلَى ُسِّدَقَُّو َكِد ََۡحِب ُحِّبَسُّ

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Sejalan dengan tugas yang diemban, penguasa menggunakan kekuasaan politik yang dimilikinya berdasarkan prinsip pemusatan kekuasaan dan pertangungjawaban

13 Surahman Amin dan Ferry M Siregar, ”Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Al-Qura’an”, Studi Al- Quran, No. 1 (Oktober 2015), h. 27

14 Departemen Pendidikan Naisona, Kamus Besar Bahasa Indonesia,edisi III, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h.874

15 J.Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah; Ajaran dan Pemikiran, edisi I, cet. III (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997), h.44-49

(25)

dalam dirinya dan prinsip pemusatan kekuasaan. Seorang penguasa tidak dapat bertindak sendiri tanpa bermusyawarah dengan lembaga-lembaga yang terkait.

Al-Qur’an tidak memberikan petunjuk teknis bagaimana kepala pemerintahan dipilih.Juga Raulullah SAW tidak membicarakan atau menunjuk siapa yang menggantikannya dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sesudahnya.Ini dipandang sebuah isyarat bahwa persoalan kepemimpinan umat diserahkan agar diselesaikan sendiri oleh umat Islam dengan musyawarah.16

Kebutuhan manusia terhadap seorang pemimpin sangatlah besar, dan hal ini pula yang mendasari diciptakannya manusia sebagai khalifah dimuka bumi, seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Fatir ayat 39 sebagai berikut:

Artinya: Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.

Barangsiapayang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kagir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian belaka.

Selain itu dalam surat Al-Syura ayat 38 juga dijelaskan tentang anjuran untuk bermusyawarah dalam hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan umat Islam secara umum dan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.

Artinya: dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka manfkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.

Ayat di atas menganjurkan agar dalam segala urusan yang menyangkut umat agar senantiasa bermusyawarah dan menyampakn amanat kepada yang berhak menerimanya.Kehati-hatian dan selektif dalam memilih pejabat juga dilakukan oleh Umar bin Khathab yang pernah mengatakan “barang siapa yang mengangkat seorang untuk perkara kaum muslimin maka ia angkat orang tersebut karena cinta dan unsur kekerabatan maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul dan kaum muslimin”. 17

Al-Mawardi beranggapan bahwa prinsip pencalonan imam akan penggantinya telah diterima melalui konsesus dan kepemimpinan adalah sudah menjadi hak kaum

16 Abdul Mun’im Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 303

17Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah: Etika Politik Islam, Penerjemah: Rofi’ Munawar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 4

(26)

muslimin secara umum.18sementara Al-Ghazali berpendapat bahwa imam yang memperoleh dukungan dari ahl asy-syawkah harus diterima demi kepentingan pelaksanaan syari’ah dan keamanan internal dan eksternal negeri-negeri muslim,19 kenyataan bahwa para penguasa de facto tersebut tidak memiliki beberapa kualifikasi hukum yang dibutuhkan dapat ditoleransi demi kebutuhan praktis di masyarakat.

1. Sejarah pengangkatan Pemimpin dalam Islam

Mekanisme pengangkatan pempimpin dalam Islam, terutama pada asejarah awal perpolitikan berbeda-beda polanya. Seperti halnya Rasulullah menjadi pemimpin melalui kesepakatan yang alami. Hal ini berbeda pada masa setelah wafatnya Rasulullahm, yaitu pada masa Khulafa Al Rasyidin, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Pada masa ini mekanisme Pengangkatan pemimpin dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya:

a. Pada masa Abu Bakar, pengangkatannya sebagai khalifah (pemimpin) dilakukan melalui mekanisme pengangkatan langsung dan pembai’atan dengan

berlandasakan kesepakatan akan keutamaan beliau.

b. Pada masa Umar bin Khatab, pengangkatannya dilakukan melalui mekanisme pemberian wasiat oleh pendahulunya, tetapi terlebih dahulu dilakukan

pertimbangan dan musyawarah akan calon khalifah yang akan diberikan wasiat.

(al-Mawardi memberikan syarat dalam proses pengangkatan dengan cara pemberian wasia, yaitu dengan adanya kerelaan hati sang penerima wasiat).20 c. Pada masa Utsman bin Affan, pengangkatannya melalui mekanisme pemeilihan

oleh tim formatur yang terdiri dari 6 orang anggota yang ditetapkan oleh khalifah Umar sebelum ia wafat.

d. Pada masa Ali bin Abi Thalib, pengangkatannya melalui mekanisme pemeilihan karena revolusi (pemberontakan bersenjata), tetapi proses itu menurut Munawir

18Imam Al-Mawardi. Al-Ahkan Al-Sultaniyah; Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam,Penerjemah Fadli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2006), h. 10

19Mumtaz Ahmad, Masalah-maslah Teori Politik, Penerjemah: Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1996), h. 97

20 Al-Mawardi. Al-Ahkan Al-Sultaniyah; Sistem Pemerintahan Kahalifah Islam, terjemahan

Kahalifurrahman Fath dan Fathurrahaman dari Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Qitshi Press, 2004) h. 25

(27)

Djazuli jauh dari sempurna.21 Semasa kepemimpinanya, Ali memerintah selama lima tahun dan diakhiri kepemimpinanya ia terbunuh oleh para pemberontak.

e. Sedangkan pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas, pengakatnnya melalui mekanisme peralihan kukuasaan, Muawiyyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah menggantikan Ali bin Abi Thalib melalui perebutan kekuasaan. Sedangkan Yazid bin Muawiyyah, suksesi kepemimpinan terjadi melalui peristiwa kepada anak atau kerapat seperti lazimnya sistem monarki. Suatu sistem suksesi kepemimpinan yang sejatinya tidak sejalan dengan idealitas Islam. Pada masa pemerintahan tersebut, sistem demokrasi Islam mengalami pergantian sistem monarki (kerajaan).

2. Syarat-syarat Menjadi Kepala Daerah dalam Islam

Di dalam Islam, kepala daerah tidak dipilih oleh rakyat. Tetapi diangkat oleh kepala negara (khalifah). Imam al-Mawardi dalam kitabnya, Al Ahkam As Sulthaniyah membagi gubernur menjadi dua: pertama, gubernur yang diangkat dengan kewenangan khusus (imarah „ala as-shalata), kedua, gubernur dengan kewenangannya secara umum mencakup seluruh perkara (imarah ala as-shalat wal kharaj). Menurut al-Mawawrdi, syarat untuk menjadi gubernur tidak jauh berbeda dengan syarat yang ditetapkan untuk menjadi wakil khalifah (muawin tafwidh).

Sementara Muawin syaratnya sama dengan syarat menjadi khalifah. Jadi secara umum syarat menjadi gubernur sama dengan syarat menjadi kepala negara.

Perbedaanya hanya pada kekuasaan gubernur lebih sempit dibandingkan kekuasaan muawin tahwidh. Baik gubernur umum maupun gubernur khusus keduanya tidak boleh dijabat oleh orang kafir dan budak (bukan orang merdeka).22

Adapun syarat-syarat seorang pemimpin menurut beberapa ulama dan fuqaha diantarnya, Al-Mawardi, tokoh utama dari kalangan Qadi’ yang hidup pada abad pertengahan menyebutkan syarat utama bagi seorang pemimpin yaitu:23

a. Adil dalam arti yang luas;

b. Punya ilmu untuk dapat melakukan ijtihad di dalam menghadapi persoalan- persoalan dan hukum;

21 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Erlangga, ), h. 207

22 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, h.52

23Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas 1990), h. 59

(28)

c. Sehat pendengaran, mata dan lisannya supaya dapat berurusan langsung dengan tanggungjawabnya;

d. Sehat badan, sehingga tidak terhalang untuk melakukan gerak dan melangkah cepat;

e. Pandai dalam mengendalikan urusan rakyat dan kemaslahatan umum;

f. Berani dan tegas membela rakyat dan menghadapi musuh; dan g. Dari keturunan Quraisy.

Al-Ghazali, dalam beberapa bukunya secara ringkas juga membicarakan tentang syarat-syarat seorang pemimpin. Ia mengatakan, “Tidaklah diragukan bahwa menentukan seseorang untuk dijadikan imam sekedar menuruti selera tidaklah boleh.

Dia haruslah orang yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan seluruh orang yang ada”. Al-Ghazali kemudian menyebutkan syarat-syarat sebagai berikut;

merdeka, laki-laki, mujtahid, berwawasan luas, adil, baligh, dan tidak boleh wanita.24 Ibn Hisyam, ulama fiqih besar pada zamannya menyebut lima syarat yang harus ada pada diri seorang pemimpin. Syarat ini lebih sederhana dibandingkan dengan al-Mawawrdi, yaitu;25

a. Dari kalangan Qurasy,

b. Balig, merujuk pada sabda nabi, “Pena diangkat dari tiga golongan, anak-anak sampai dewasa, orang gila sampai sembuh, dan orang tidur sampai sadar”,

c. Laki-laki, dasar yang digunakan adalah sabda Rasulullah, “Tidak akan beruntuk suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan”, d. Muslim, karena Allah Swt. Berfirman “Allah tidak akan memberikan jalan kepada

orang kafir untuk (menguasai) kaum mukmin” (QS. An-Nisa’:141), dan

e. Paling menonjol di dalam masyarakatnya, mengetahui hukum-hukum agama, secara keseluruhan taqwa kepada Allah Swt, dan tidak diketahui berbuat fisik.

Ibn Khaldun, seorang kritikus yang tajam dan pembangun sosiologi juga mengetengahkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang menduduki jabatan sebagai seorang imam (pemimpin) yaitu;26

24Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, h. 59

25Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, h. 59

26Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, h. 59

(29)

a. Berilmu, karena ia menjadi pelaksana hukum Allah Swt. Ia harus mujtahid dan tidak bertaklid,

b. Adil, pemimpin adalah jabatan tertinggi, selain menduduki dan meliputi jabatan keagamaan juga jabatan politik di tengah-tengah umat dan negara,

c. Mempunyai kemampuan, adalah keberanian untuk menegakan hukum dan menghadapi musuh, ahli strategi dan pandai memobilisasi masyarakat, arif dan peka terhadap keadaan serta kuat di dalam mengendalikan politik,

d. Sehat badan seperti selamat dari buta, bisu, tuli dan peka serta selamat dari cacat mental seperti gila dan hilang akal.

Banyak sekali perbedaan pendapat mengenai syarat-syarat seorang pemimpin menurut para ulama atau fuqaha, akan tetapi jika ditarik benang merahnya maka kesemua syarat meliputi daiantarnya adalah:

a. Seorang pemimpin harus memiliki fisik yang ideal, artinya tidak cacat, sehat, baik jasmani maupun rohaninya. Sebagai ikhtiar untuk mendukung tugas dan tanggungjawabnya. Sehingga mobilitas berjalan dengan normal, lancar dan tidak terganggu oleh fisik.

b. Seorang pemimpin juga harus memiliki mental dan spritual yang baik, sehingga kualitas seorang pemimpin bisa dikategorikan jujur, adil dan terpercaya. Dan ia adalah seorang yang pastinya beriman dan bertaqwa, kualitas spritual pun tidak diragukan lagi, jadi hablum miallah dan hablum minannasnya pun sama-sama terjaga dengan baik dan sempurna.

c. Seorang pemimpin juga dituntut agar memiliki keahlian dan kemampuan, maksudnya ialah seorang pemimpin harus memiliki wawasan yang luas, berilmu, keterampilan dalam hal kepemimpinan, cerdas, kompeten, profesional dan bertanggungjawab.

3. Kewenangan dan Kedudukan Kepala Daerah dalam Islam

Kepala daerah mempunyai tugas dan otoritas tertentu, pengangkatnya ialah khalifah menyerahkan kepemimpinan suatu provinsi dan pengayoman seluruh rakyat yang ada didalamnya kepada seseorang, otoritasnya luas namun tugasnya terbatas.

Tugas-tugasnya adalah sebagi berikut:27

27 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, h.53

(30)

a. Mengeloola pasukan, meningkatkan kemampuan mereka dalam semua aspek, dan menentukan gajinya. Jika khalifah telah menetapkan gajinya maka penetapan gaji oleh khalifah itu berlaku.

b. Memutuskan hukum, mengangkat jaksa dan hakim.

c. Menarik pajak, memungut sedekah, mengangkat petugas pajak dan petugas sedekah, serta menentukan siapa saja yang berhak menerima sedekah.

d. Melindungi agama, mempertahankan tanah suci, dan menjaga agama dari upaya modifikasi dan konversi.

e. Menegakkan hudud (hukuman) dalam hak-hak Allah dan hak-hak manusia.

f. Menjadi imam dalam shalat jum’at dan shalat berjamaah, ia sendiri yang menjadi imamnya atau mewakilinya kepada orang lain.

g. Memberikan kemudahan kepada warganya yang hendak melakukan ibadah haji dan orang-orang yang tidak termasuk warganya hingga mereka bisa menunaikan ibadah haji dengan lancar.

Jika provinsinya berbatasan dengan daerah musuh maka ada tugas-tugas kedelapan, yaitu memerangi musuh-musuh yang ada disekitar wilayahnya, membagi rampasan perang kepada para tentara, dan mengambil seperlimanya untuk dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.28

Gubernur provinsi dibenarkan mengangkat menteri tanfidhi (pelaksana) untuk dirinya dengan atau tanpa persetujuan khalifah. Ia dibenarkan mengangkat menteri tafwidhi untuk dirinya kecuali atas persetujuan dan interuksi dari khalifah, karena menteri tanfidhi sifatnya hanya sebagi pembantu sedangkan menteri tafwidhi itu mempunyai otoritas luas.29

Jika menteri tafwidhi (plenipotentiary) yang mengangkatnya adalah gubernur provinsi maka ada dua kemungkinan, yaitu:30

a. Menteri tafwidhi mengankatnya atas seizin khalifah, dalam konteks ini menteri tafwidhi tidak dibenarkan memecat Gubernur Provinsi tersebut, atau memutasinya dari provinsi ke provinsi lainnya kecuali atas izin atau interuksi dari khalifah. Jika

28 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, h.53

29 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, h.53

30 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, h.53

(31)

meneteri tafwidhi dipecat dari jabatannya gubernur provinsi tetap menjabat sebagai gubernur provinsi.

b. Menteri tafwidhi dalam kapasitasnya sebagai wakil khalifah mengangkat gubernur provinsi tersebut, dalam konteks ini menteri tafwidhi dibenarkan memecat gubernur provinsi tersebut dan menggatikannya berdasarkan ijtihad dan pemikirannya untuk mencari yang terbaik.31

B. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Pemilihan Umum dalam negara demokrasi merupakan salah satu unsur yang sangat penting, karena salah satu para meter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilu yang dilaksanakan oleh negara tersebut.

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat.32 Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat tersebut adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilu. Jadi pemilu dalam arti sempit adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat.33

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.34 Sebagai suatu bentuk implementasi dari demokrasi, pemilu selanjutnya berfungsi sebagai wadah yang menyaring calon-calon wakil rakyat ataupun pemimpin negara yang memang benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk dapat mengatasmakan rakyat. Selain daripada sebagai suatu wadah yang menyaring wakil rakyat ataupun pemimpin nasional, pemilu juga dengan prinsip negara hukum (rechtstaat), karena melalui pemilu rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang berhak menciptakan produk hukum dan melakukan pengawasan atau pelaksanaan kehendak- kehendak rakyat yang digariskan oleh wakil-wakil rakyat tersebut. Hak asasi rakyat

31 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, h.53

32G. Sorense, Demokrasi dan Demokratisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 1.

33Mashudi, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilu di Indonesia Menurut UUD 1945, (Bandung, Mandar Maju, 1993), h. 2

34Pasal 1 ayat (1) Undasng-Undang Nomor 15 Tahun 2011

(32)

dapat disalurkan dengan adanya pemilu, dengan demikian juga halnya dengan hak untuk sama di depan hukum.35

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada dasarnya merupakan konsekuensi pergesaran konsep otonomi daerah. Pemilihan kepala daerah diatur pada Pasal18 (4) UUD 1945, dan pada era reformasi dan sterusnya pemilihan kepala daerah diatur lebih jelas dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undnag-undang Nomor 32 Tahun 2004 karena dianggap tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimulkan banyak kritikan. Berdasarkan Pasal 56 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih satu pasangan caln yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,36 dan pemilihan Kepala Daerah pertama dilaksanakan pada bulan Juni 2005 di Depok Jawa Barat.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung telah menjadi perkembangan baru dalam memahami “dipilih secara demokratis” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu jika UU No. 32 Tahun 2004 memberikan ruang yang luas terhadap pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Hal ini memang merujuk pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 itu.

Dalam persepektif sosiologis ada desakan sosial yang bergelora dan bergejolak ketika era reformasi yang menuntut adanya demokratisasi dan transparansi pemerintahan baik pusat maupun daerah. Salah satu wujud dari demokratisasi itu adalah dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Dengan demikian Kepala Daerah yang terpilih benar-benar representative, aspirasi rakyat lebih terakomodasi dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsung itu.37

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung tetap berjalan sampai saat ini. Diawali dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan diganti menjadi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemilihan secara langsung

35M. Mahfud, Didalam Buku Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta, Gama Media, 1999), h. 221- 222

36 M. Noor Aziz, Pengkajian Hukum Tentang Pemilihan Kepala Daerah, Jurnal Perpusatakaan Hukm Badan Pembina Hukum Nasional Tahun 2011, h. 49

37Loc. Cit, Tim Pengkajian Badan Pembinaan Hukum Nasional, h. 71

(33)

tetap dilakukan. Dasar hukum untuk Pemilihan Kepala Daerah saat ini adalah UU No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernurm Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Perbedaan yang membuat perubahan besar dalam sejarah pemilihan Kepala Daerah yaitu pada Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan: “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Artinya pada Pilkada serentak, Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia sesuai waktu yang telah di tetapkan KPU.

Pelaksaan secara serentak ini diharapkan anggaran biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk melaksankan Pilkada menjadi lebih minim. Maka keputusan untuk diterapkannya sistem Pemilu serentak mulai tahun 2015 dapat dijadikan momentum untuk penguat sistem pemerintahan serta dengan benar dimanfaatkan untuk konsolidasi demokrasi yang lebih produktif dan efisien serta penguatan sistem pemerintahan presidentil.38 C. Mantan Narapidana

Narapidana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dipahami sebagai orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana.39 Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal I Butir 7 tentang pemasyarakatan adalah terpidana yang sudah hilang kemerdekaan di lembaga permasyarakatan. Terpidana merupakan seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.40

Mr.R.A Koesnoen dalam buku yang berjudul “politik penjara nasional” pada halaman sembilan ia membahas soal penamaan “narapidana” ini. Olehnya dikatakan bahwa : Pidana penjara adalah pidana penjatuhan kemerdekaan. Menurut asal-usul kata penjara, berasal dari penjoro (Jawa) yang berarti tobat. Dipenjara berarti dibikin tobat.

Menurut politik penjara sekarang yang bertujuan memperbaiki nara-pidana tidak sesuai

38Jimly Asshidiqie, Pemilhan Umum Serentak dan Penguatan Sisten Pemerintahan, h. 2

39 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (KBBI)

40Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal I Butir 7 tentang pemsyarakatan

(34)

lagi, karena seorang nara-pidana mejadi baik karena dibikin tobat. Menurut pengalaman pun tidak dapat seorang betul-betul menjadi tobat.41

Menurut Yudobusono mantan narapidan adalah orang yang telah berbuat melanggar norma-norma yang berlaku dimasyarakat dan telah selesai melakukan sanksi atau hukuman yang telah dijalankannya dan di jat uhkan kepadanya.42 Sedangkan menurut Azani mantan narapidana adalah seseorang yang pernah dihukum dan menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan, namun sekarang sudah selesai menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.43

Suatu Perbuatan dinamai Jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau dekil) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain, harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus diperlihatkan dan dijunjung tinggi keberadaanya. Jadi yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut di anggap sebagai suatu Jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian tehadap pihak lain.44

Mantan Narapidana adalah orang yang dulu pernah melakukan perbuatan kejahatan/tindak Kriminal dan telah menjalani hukuman pidana. Dalam Islam orang yang pernah melakukan perbuatan tercela ataupun dosa itu dianggap sebagai cacat moral sehingga hak-haknya tidak bisa diperoleh secara penuh kecuali telah bertaubat, dan mengerjakan perbuatan baik sebagai penghapus dosa.45

Dalam konsep siyasah dusturiyah yang merupakan dari fiqh siyasah yang mencakup masalah perundang-undangan dan hak umat, dinegara Islam umat mencakup selurug rakyat baik Muslim maupun lafir zimmy, baik kaya maupun miskin, yang pejabat maupun bukan. Mereka semuanya mempunyai hak-hak yang harus dijamin,

41R.Achmad S. Soemardipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Indonesia, (Jakarta:

Percetakan Ekonomi) 1979, h.17

42Akhmad Nikhrawi Hamdi, Hak Eks Narapidana Menjadi Anggota Legislatif, Fisip, Jurnal as-Siyasah Universitas Islam Kalimantan MAB, Banjarmasin, vol. 1 No. 1. 2016, h. 29

43Effendi A. Mansyur. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusan Hukum HAM, cet pertama, Bogor, 2005

44Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). (Bandung: Pustakan Setia, 2000), h. 17

45Musyafiatun, Fiqih Siyasah Tentang Pencalonan Mantan Narapidan Korupsi, Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam, Vol. 4, Nomor 2, Oktober 2014: ISSN 2089-0109, h. 20

(35)

dihormati dan dilindungi oleh pemerinta. Termasuk hak-hak mantan narapidana yang sudah bertaubat dia juga berhak untuk mendapatkan perlindungan, jaminan atas hak-hak asasi dari pemerintah. 46

Ketika seorang yang pernah melakukan kejahatan kemudian ia bertaubat sungguh-sungguh yakni dengan tidak mengulang kembali kejahatan yang dulu pernah diperbuatanya, maka sesungguhnya kebaikain itu dapat menghapus dosa. Sebagaimana Ibnu Ma’ud menceritakan hadis nabi bahwa orang yang pernah melakukan dosa maka dapat dihapuskan dengan melakukan kebaikan yakni dengan menjalankan sholat pada pagi dan sore serta sebagian waktu malam.47

Dengan demikian mantan narapidana merupakan orang yang telah melewati masa hukuman atau sanksi yang diperoleh dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam kurun waktu tertentu di lembaga pemasyarakatan sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang telah dilakukan dan sudah mendapatkan kembali kemerdekaannya untuk kembali kedalam masyarakat. Sedangkan dalam Islam tidak membeda-bedakan dalam kedudukan, ras, agama maupun status sosialnya dalam masyarakat. Sehingga mantan narapidana maupun bukan mantan narapidana mempunyai hak-hak yang sama dalam pandangan Islam apabila ia benar-benar telah bertaubat.

1. Hak Mantan Narapidana

Dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM) sebenarnya dapat dilacak secara teologis lewat hubungan manusia, sebagai mahluk dengan penciptanya. Tidak ada manusia yang lebih tinggi daripada manusia lainnya. Hanya satu yang mutlak, yakni Tuhan Yang Maha Esa, keberadaannya sebagai prima facie, berkonsekuensi pada kerelatifan pengetahuan manusia.48

Setiap hak ditetapkan secara objektif maupun subjektif. Objektif maksudnya hak diberikan pada seseorang karena memang menjadi miliknya. Subjektif artunya, penetapan hak berhubungan dengan yang dimilikinya. Ia menjadi tuan dari apa yang

46 Musyafiatun, Fiqih Siyasah Tentang Pencalonan Mantan Narapidan Korupsi, h. 20

47Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ wal Marjan. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006), h.1072

48 Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.199

(36)

dimilikinya. Penetapan hak ini, juga berhubungan erat dengan urusan hukum dan bernegara. Hak ditetapkan secara objektif karena demikan adalah hukum kodratnya, sebagai manifestasi keadilan, dan ditetapkan secara subjektif sebagai konsekuensi dari penetapan hukum kodrat. Belakangan, hak yang ditetapkan secara subjektif ini, dikenal dengan istilah hak sipil dan warga negara.49

Hukum kodrat, dalam pandangan Aquinas adalah partisipasi mahluk rasional di dalam hukum abadi. Hukum yang disebutkan belakangan inilah yang paling utama dan menjadi asas dan keadilan hukum buatan manusia. Aquinas menyatakan, hukum positif yang tidak diturunkan dari hukum abadi tidak dapat mencerminkan keadilan.50

Dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 (1) menjelaskan makna Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan.51

Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri atas 106 pasal, secara rinci dibagi menjadi hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, pembatasan dan larangan.52

a. Hak Politik Mantan Narapidana

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat, yang memberikan kesempatan kepada seluruh

49E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, (Yogyajarta: Kanisius, 2002), h. 79-80

50E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, h. 96

51Undang-undang (UU) Tentang Hak Asasi Manusia, No. 39/1999, cet, Buku Biru, Jakarta, Januari: 2014

52Undang-undang (UU) Tentang Hak Asasi Manusia, No. 39/1999, cet, Buku Biru, Jakarta, Januari: 2014

(37)

warga negara untuk memilih wakil pemimpinnya secara demokratis demi peningkatan kesejahteraan. Sebagai landasan bagi penyelanggara Pemilu, Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 mengamantkan agar pemilu diselenggarakan lebih berkualitas dengan mengikutsertakan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil melalui suatu perundang-undangan.

Penyelenggaraan Pemilu dalam demokrasi dilakukan untuk mengisi jabatan politik baik legislatif maupun eksekutif. Jabatan politik merupakan jabatan yang paling terbuka. Dengan karakter yang terbuka ini, jabatan politik dapat diperebutkan oleh setiap warga negara tanpa melihat kualifikasi apapun dari orang tersebut. Satu-satunya syarat yang dapat menghantarkan dirinya untuk menduduki jabatan politik ini dukungan politik itu sendiri, baik dukungan politik dari wakil rakyat, birokrat yang lebih tinggi, maupun dari masyarakat.53

Kemudian perlu diketahui juga penegakan Hak Asasi Manusia, khususnya hak politik bagi mantan narapidana, bukan semata-mata kepentingan manusia sendiri, dalam arti sempit, yang lebih penting dari itu adalah diakuinya dan dihormatinya human dignty martabat kemanusiaan setiap manusia, tanpa membedakan strata sosial, status sosial, status politik, status hukum, etnik, agama, keyakinan politik, budaya, ras, golongan dan sejenisnya.54

Setiap warga negara yang telah menjalani masa hukuman (pidana penjara) berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sama artinya dengan warga negara lainnya yang dilahirkan dalam keadaan bersih, bebas, berharkat, dan bermartabat serta sederajat dimata hukum.

b. Partisipasi Mantan Narapidana dalam Pemilukada

Ikut sertanya mantan narapidan dalam Pemilukada serentak akan membuat kegaduhan di masyarakat, pasalnya terlibatnya mantan terpidana korupsi dalam

53Yeni Handayani, “Hak Mantan Narapidana Sebagai Pejabat Publik dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Rechts Vinding Online, (13 Oktober 2014).

54Akhmad Nikhrawi Hamdi, Hak Eks Narapidana Menjadi Anggota Legislatif, Fisip, Jurnal as-Siyasah Universitas Islam Kalimantan MAB, Banjarmasin, vol. 1 No. 1. 2016, h. 31

(38)

pemilukada akan berdampak kurang baik bagi calon Kepala Daerah atau masyrakat. Calon Kepala Daerah yang memiliki catatan hukum hitam dalam hukum, termasuk melakukan korupsi atau tindak kejahatan akan diragukan integritasnya oleh masyarakat. Seperti dikutip harian Kompas,sejumlah terpidana perkara korupsi yang baru dibebaskan kurang dari satu tahun lalu mendaftar untuk mengikuti Pilkada serentak yang digelar pada Desember 2015. Antara lain terjadi di Semarang dan Sulawesi Utara. Di Semarang Jawa Tengah, satu dari tiga pasangan calon yang mendaftar mengikuti Pilkada serentak adalah pasangan mantan Walikota Semarang, Soemarmo HS dan Zuber Safawi. Mereka diusung Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa. Soemarmo menjabat sebagai Walikota Semarang pada priode 2010-2012. 55

Berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidan Korupsi, dia bersama Seketari Daerah Kota Semarang dinyatakan terbukti menyuap anggota DPRD Kota Semarang untuk meloloskan beberapa program dalam APBD dan dihukum 1,5 tahun penjara. Mahkamah Agung lalu memperberat hukumannya menjadi 3 tahun penjara dan denda 50 juta. Soemarmo menyelaisaikan hukumannya pada September 2014

Sistem politik demokrasi dipilih karena demokrasi memberikan posisi penting bagi rakyat. Rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan negara melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih melali pemeilihan umum. Teori demokrasi konstitusional tida dapat lepas dari konsep demokrasi dan nomokrasi, karena kedua konsep tersebut saling berkonvergensi sehingga memunculkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan negara demokrasi berdasarkan hukum (constitutional democratic) atau yang disebut sebagai negara demokrasi konstitusional (constitutional democratce state).56

55 Nadia Ambarani, “KPK Anggap Mantan Terpidana yang Ikut Pilkada Kurang Dipercaya Rakyat, dalam http://nasional.kompas.com/read/2015/0730/11374921/KPK..Anggap.Mantan.Terpidana.yang.Ikut.Pilkada.Kurang.

Dipercaya.rakyat) diakses pada 5 Mei 2020

56 Bisarandi dkk, ”Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Demorasi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 9, Nomor 3, 2012, h. 538

Referensi

Dokumen terkait

c) Bahwa menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56 tahun 2019 tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

Karena ekonomi biaya tinggi ini pula negara kita kalah jika harus berkompetisi dalam hal investasi dengan negera-negara tetangga.Ekonomi biaya tinggi adalah proses ekonomi di

10.Peraturan Daerah Kabupaten Indragiri Hulunomor 18 tahun2008 tantangorganisasiperangkat Daerah pemerintahKabupaten Indragiri Hulu (lembaran Daerah Kabupaten Indragiri

Dilihat dari asal material batuannya, daerah Sambisari merupakan lahan yang sangat memungkinkan untuk memperoleh pasokan material dari Gunungapi Merapi, karena

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa proses berpikir dalam menyelesaikan soal raven test memiliki kemampuan pemahaman masalah yang

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dalam pembiayaan mura>bah{ah di BPRS Khasanah Ummat Purwokerto pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, BPRS

Tahapan penelitian meliputi: (1) pengumpulan dan penelaahan data sekunder berupa dokumen perencanaan daerah, studi/dokumen lingkungan yang telah ada, peta rupa

Foto hasil pengujian Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanol temu putih (Curcuma zedoaria) terhadap Mikroba Uji Trichophyton