6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pengertian Balita
1. Balita
Anak bawah lima tahun atau disebut balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun, atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu 12-59 bulan (Kementrian Kesehatan RI, 2015). Dalam buku Gizi Seimbang dalam Kesehatan Reproduksi (Balance Nutrition in Reproductive Health), balita dibedakan menjadi dua berdasarkan karakteristiknya yaitu anak lebih dari satu tahun sampai tiga tahun atau disebut batita dan anak usia lebih dari tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal dengan usia prasekolah (Irianto, 2014).
Masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting dan memerlukan atensi yang besar. Pada masa ini balita perlu memperoleh zat gizi dari makanan sehari-hari dalam jumlah tepat dengan kualitas terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan balita (Adriani dan Bambang, 2014). Asupan gizi dan pengeluarannya harus terjadi keseimbangan sehingga diperoleh status gizi yang baik. Baik buruknya status gizi balita dapat diukur melalui pemantauan Kartu Menuju Sehat (KMS) (Proverwati dan Wati, 2010).
B. Konsep Pediatric Tuina
1. Definisi Tuina
Pijat dikatakan sebagai terapi manipulatif yang diaplikasikan pada jaringan lunak pada tubuh yang digunakan sebagai pengobatan komplementer dan alternatif. Terdapat banyak manfaat dari pijat seperti meningkatkan sistem imunitas, mengaktifkan qi, memperlancar aliran darah, dan meningkatkan aliran qi sampai meridian (Gao et al., 2018). Qi merupakan energi vital yang mengalir di
dalam tubuh manusia secara teratur melalui sistem meridian. Qi juga diartikan sebagai bentuk bioenergi yang berfungsi untuk menghubungkan komunikasi antara seluruh organ tubuh, jaringan, dan sel serta komunikasi antara tubuh dan pikiran dan komunikasi antara tubuh dan lingkungan. Selama manusia dalam keadaan sehat, sirkulasi qi dalam keadaan seimbang dan harmoni maka dari itu pada orang sakit terjadi gangguan keseimbangan aliran qi (Ardian, 2005).
Tuina merupakan metode pijat tradisional Cina yang berarti “menekan dan
menggenggam”. Ini adalah bentuk metode pijat tradisional Cina yang diaplikasikan pada jaringan lunak. Terapi ini banyak digunakan pada beberapa penyakit termasuk nyeri persendian, kelemahan otot, bell’s palsy, permasalahan area perut dan penyakit Parkinson Disease (PD). Tuina tidak muncul dalam literatur Cina sampai Dinasti Ming (1368-1644 M) dimana tuina pertama kali disebutkan dalam sebuah buku tentang pediatri tuina. Tetapi bukan berarti tuina tidak dapat diterapkan pada orang dewasa seperti pada pasien anak-anak.
Kemudian di dinasti Ming (1368-1644 M) tuina pediatri menjadi bidang studi independen. Sekolah tuina pertama didirikan di Shanghai, Cina (Al-Bedah et al., 2017).
Dalam pengobatan tradisional Cina termasuk tuina terdapat teori mendasar yaitu teori meridian dan kolateral. Meridian dan kolateral terhubung dari bagian tubuh atas dan bagian tubuh bawah, bagian eksterior maupun interior, dan berbagai organ zang-fu. Zang-fu adalah sekumpulan organ yang menghasilkan dan mengatur aliran qi dalam tubuh. Lima organ zhang terdiri dari jantung, hati, limfa, dan ginjal dan enam organ fu adalah kantong empedu, perut, usus halus, usus besar, kantong kemih, dan san jiao atau disebut triple burner. Triple burner bertanggung jawab untuk pergerakan dan tranformasi berbagai zat padat maupun cair di seluruh sistem (Lanqing et al., 2013).
Pediatric Tuina tidak hanya dapat mengobati berbagai penyakit yang dapat
menyerang anak-anak tetapi dapat memberikan efek pencegehan terhadap penyakit serta pemeliharaan kesehatan. Terapi ini tidak membutuhkan peralatan khusus, obat-obatan dan injeksi, tidak memberikan efek samping yang berbahaya, dan mudah diterima oleh anak-anak. Praktik klinis telah membuktikan bahwa pediatric tuina efektif untuk penyembuhan penyakit pada anak-anak serta
pemeliharan kesehatan mereka. Perbedaan antara tuina untuk dewasa dan tuina untuk anak-anak dilihat dari teknik pemijatan, variasi akupoin, dan indikasi (Wei, 2004).
2. Efek Fisiologi Tuina
Konsep pengobatan tradisional Cina seperti akupuntur, akupresur, maupun tuina adalah pengaturan energi qi tetapi dalam dunia medis konsep pemerian pengobatan ini berdasarkan ilmu anatomi dan fisiologi tubuh yang bertujuan untuk merangsang fungsi sel dalam sistem organ seperti saraf dan otot (Adrian, 2020).
Pijat tradisional Cina adalah salah satu metode pengobatan yang berfungsi untuk
pencegahan dan peyembuhan suatu gangguan pada anggota tubuh. Hal ini telah dibuktikan bahwa pijat efektif untuk mengurangi penyakit terkait fungsi pencernaan (Gao et al., 2020).
Aliran qi berhubungan dengan sistem peredaran darah. Penelitian medis modern menyatakan kelainan pada aliran mikro adalah salah satu faktor utama dalam keseimbangan sistem peredaran darah. Manipulasi tuina yang diaplikasikan di permukaan tubuh dapat dialirkan ke dinding pembuluh darah. Tekanan yang diberikan memberikan efek perbaikan aliran darah di pembuluh darah besar maupun di pembuluh darah kecil menuju organ yang mengalami gangguan (Hongzhu et al., 2011).
Teori pijat tradisional Cina menjelaskan bahwa gerakan pijat yang dimulai dari meridian area anggota badan bagian distal ke arah proksimal dapat memulihkan fungsi dari sistem gastrointestinal. Efek dari hasil pengobatan ini mempengaruhi pada sistem saraf otonom dan psikologi anak. Pemberian pijatan berdampak pada meningkatnya aliran darah perifer, aktivasi sistem saraf otonom, dan saraf parasimpatik gastrointestinal mengalami peningkatan aktifitas yang akan memengaruhi kerja pada sistem pencernaan. Selain itu dengan menstimulasi titik lokal akupoin dengan manipulasi tuina dapat memengaruhi grup otot gastrointestinal, memperbaiki fungsi peristaltik, mengurangi residu lambung serta meningkatkan pencernaan. Stimulasi yang dilakukan secara terus menerus melalui pijat dapat memberikan efek panas lokal sehingga dapat meningkatkan sirkulasi darah area usus dan mengurangi kelainan pada sistem gastrointestinal (Gao et al., 2020).
Stimulasi pijat yang diberikan berdampak pada efektifitas pengosongan lambung. Salah satu mekanisme yang terdampak akibat stimulasi pijat ini adalah peningkatan motilitas gastrointestinal dan pelepasan hormon yang dapat meningkatkan penyerapan dan pencernaan makanan. Stimulasi taktil pada saat terapi dapat merangsang saraf eferen vagal yang menginervasi sistem pencernaan dan meningkatkan motilitas lambung. Selain itu stimulasi pada terapi ini dapat memperbaiki pergerakan anus sehingga terjadi pengosongan lambung dan gerak peristaltis yang baik yang akan berdampak pada konsistensi tinja yang dikeluarkan menjadi normal. Terapi pijat juga dapat meningkatkan sirkulasi darah dan aliran limfatik (Hyejeong et al., 2016)
3. Indikasi dan Kontraindikasi a. Indikasi
Secara umum, terapi tuina dapat digunakan secara luas pada berbagai penyakit. Tuina banyak digunakan untuk pengobatan tradisional Cina pada kasus ortopedi dan traumatologi sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi ini diterapkan terutama pada sistem muskuloskeletal. Tetapi terapi tuina telah berevolusi dan dapat diterapkan untuk pengobatan tradisional Cina dengan kasus seperti penyakit dalam, ginekologi, pediatri, neurologi, dan otolaringologi. Akhir-akhir ini tuina diaplikasikan untuk kontrol berat badan, kosmetologi, serta pemeliharaan kesehatan (Mingzhao, 2015).
Tabel 2.1 Indikasi Terapi Tuina (Mingzhao, 2015)
Bagian Indikasi
Sistem Muskuloskeletal Leher kaku
Cervical spondyloarthropathies Acute lumbar sprain
Sacroiliac joint semidislocation
Chronic lumbar muscle strain Lumbar vertebrae degeneration Lumbar disc disease
Subacromial bursitis
Tennis elbow dan golfer’s elbow Sciatic
Knee ligament injuries Penyakit Dalam Neurosis
Maag
Gastritis kronis Konstipasi dan diare Asma
Sakit kepala Flu
Hipertensi ringan obesitas
Ginekologi Disminore
Aminore
Pediatri Demam
Batuk
Gangguan pencernaan Muntah
Diare Malnutrisi
Myogenic torticollis
Capitulum radii subluxation
b. Kontraindikasi
Meskipun tuina efektif untuk mengatasi berbagai kondisi penyakit, terdapat laporan tentang tuina menyebabkan efek samping serius dari berbagai sindrom nyeri hingga kondisi uterus pecah dan penyumbatan perifer. Luka terbuka, pendarahan, fraktur, infeksi dan inflamasi kulit, penyakit hemoragik, cedera organ dalam, penyakit menular akut, penyakit kritis seperti diabetes melitus, penyakit jantung, otak, hati, dan ginjal. Oleh karena itu praktisi tuina wajib mengetahui situasi gawat darurat untuk mencegah adanya insiden yang merugikan (Mingzhao, 2015).
4. Teknik Dasar Tuina
Setiap pengobatan dengan modalitas memiliki teknik dasar untuk penggunaan yang efektif. Pada tuina memakai tiga teknik pemijatan yaitu yang pertama pijatan pada jaringan lunak dan menstimulasi akupoin pada sistem meridian. Meridian merupakan jalur aliran qi yang tersebar di seluruh tubuh. Teknik tuina termasuk gerakan mendorong (Tui) dan gerakan menggenggam (Na) pada jaringan lunak dan teknik lainnya seperti gerakan meremas (kneading), menggulung (rolling), menekan (pressing), mencubit (plucking atau picking-up), dan relaksasi atau pengenduran (Al-Bedah et al.,
2017). Teknik pediatric tuina diawali dengan pemijatan pada area wajah, setelah itu pada area ekstremitas atas setelah itu area anterior dan posterior tubuh berakhir pada pemijatan di area ekstremitas bawah. Durasi pemberian tuina tergantung pada jenis kondisi tertentu. Pada praktik klinis, teknik yang paling sering digunakan adalah gerakan mendorong dan meremas (Wei, 2004). Dosis yang digunakan dalam pemberian tuina dalam setiap sesi berdurasi 15-30 menit, disesuaikan dengan teknik yang digunakan dan durasi di setiap akupoin yang distimulasi. Selain itu penentuan dosis atau durasi dalam pemberian tuina dilihat dari umur pasien, kondisi fisik tubuh, dan jenis penyakitnya (Yuan et al., 2018).
5. Gerakan Tuina
Menurut Yulan et al (2019) gerakan tui na yang diaplikasikan pada anak dengan diare dijabarkan sebagai berikut :
a. Kai Opening Tianmen
Dua ibu jari terapis secara bergantian melakukan gerakan menekan dari hidung bagian atas ke arah tengah dahi. Dilakukan sebanyak 24 kali.
Gambar 2.1 Kai Opening Tianmen (Yulan et al., 2019)
b. Tui Pushing Kangong
Kedua ibu jari menekan dari arah tengah antara alis menuju ujung alis.
Dilakukan sebanyak 24 kali.
Gambar 2.2 Tui Pushing Kangong (Yulan et al., 2019)
c. Rou Kneading Taiyang
Ibu jari atau jari tengah melakukan pemijatan dengan gerakan memutar di area pelipis. Dilakukan sebanyak 24 kali.
Gambar 2.3 Rou Kneading Taiyang (Yulan et al., 2019)
d. An Pressing Zongjin
Ujung ibu jari ditempatkan di tengah lipatan pergelangan tangan lalu secara bertahap menekan dengan jeda dua detik setiap kali akan memberi tekanan selanjutnya. Dilakukan sebanyak 24 kali.
Gambar 2.4 An Pressing Zongjing (Yulan et al., 2019)
e. Fen Parting yin-yang
Ibu jari melakukan dorongan di area pergelangan tangan dengan arah berlawanan. Dilakukan sebanyak 24 kali
Gambar 2.5 Fen Parting yin-yang (Yulan et al., 2019)
f. Bu Reinforcing Pijing
Praktisi memegangi ibu jari anak dengan ibu jari kirinya dan jari telunjuk.
Lalu tekan ibu jari anak itu dengan ibu jari terapis sebelah kanan dengan gerakan melingkar. Dilakukan sebanyak 200 kali.
Gambar 2.6 Bu Reinforcing Pijing (Yulan et al., 2019)
g. Qing Clearing Ganjing
Praktisi melakukan gerakan mendorong pada jari telunjuk anak dari distal ke proksimal dengan ibu jari. Dilakukan sebanyak 200 kali.
Gambar 2.7 Qing Clearing Ganjing (Yulan et al., 2019)
h. Qing Clearing Xinjing
Praktisi melakukan gerakan mendorong pada jari tengah anak dari distal ke proksimal dengan ibu jari. Dilakukan sebanyak 200 kali.
Gambar 2.8 Qing Clearing Xinjing (Yulan et al., 2019)
i. Bu Reinforcing Feijing
Praktisi melakukan gerakan menekan searah jarum jam pada distal jari manis dengan ibu jari. Dilakukan sebanyak 200 kali.
Gambar 2.9 Bu Reinforcing Feijing (Yulan et al., 2019)
j. Rou Kneading Banmen
Praktisi melakukan gerakan memijat area thenar tangan dengan ibu jarinya.
Dilakukan 200 kali (Jianzhong & Bo, 2009).
Gambar 2.10 Rou Kneading Banmen (Yulan et al., 2019)
k. Qia Finger Nail Pressing Sihengwen
Praktisi menekan dengan kuat di area interphalang pertama dari jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking dengan kuku ibu jari (kuku dalam keadaan pendek). Dilakukan sebanyak 100 kali.
Gambar 2.11 Qia Finger Nail Pressing Sihengwen (Yulan et al., 2019)
l. Mo Rubbing abdomen
Praktisi melakuka gerakan menggosok searah jarum jam pada perut anak di sekitar pusar. Dilakukan selama 3-5 menit (Jianzhong & Bo, 2009).
Gambar 2.12 Mo Rubbing abdomen (Yulan et al., 2019)
m. Nie Pinching The Spine
Praktisi dengan ringan melakukan gerakan mencubit kulit sepanjang tulang belakang dengan ibu jarinya, telunjuk, dan jari tengahnya dari bawah sampai leher. Dilakukan sebanya 5-7 kali (Jianzhong & Bo, 2009).
Gambar 2.13 Nie Pinching The Spine (Yulan et al., 2019)
n. Anrou Pressing and Kneading Zusanli
Praktisi menekan dan memijat area bawah lutut dengan ibu jari. Dilakukan sebanyak 50 kali (Jianzhong & Bo, 2009).
Gambar 2.14 Anrou Pressing and Kneading Zusanli (Yulan et al., 2019)
o. Na Grasping Jianjing
Praktisi melakukan gerakan mengangkat sekaligus mencubit bagian punggung atas dengan ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah sebanyak 5 kali.
Gambar 2.15 Na Grasping Jianjing (Yulan et al., 2019)
p. Bu-reinforcing Dachang
Praktisi memegang tangan anak dengan tangan kirinya dan melakukan gerakan menekan pada bagian jari tengah anak dari distal ke proksimal dengan ibu jari kanan bagian lateral. Dilakukan sebanyak 300 kali.
Gambar 2.16 Bu Reinforcing Dachang (Yulan et al., 2019)
q. Tui Pushing Shangsanguan
Praktisi melakukan gerakan mendorong pada sisi lateral pergelangan tangan hingga ke lengan anak menggunakan jari telunjuk dan jari tengah.
Dilakukan 100 kali.
Gambar 2.17 Tui Pushing Shangsanguan (Yulan et al., 2019)
r. Tui Pushing Shangqijegu
Praktisi melakukan gerakan mendorong pada tulang ekor hingga punggung bawah. Dilakukan sebanyak 30 kali.
Gambar 2.18 Tui Pushing Shangqijegu (Yulan et al., 2019)
C. Frekuensi Buang Air Besar pada Anak
1. Pola dan Frekuensi Defekasi Anak
Buang Air Besar (BAB) atau defekasi merupakan salah satu aktivitas manusia bertujuan untuk membuang kotoran atau tinja setelah terjadi proses pencernaan. Tinja adalah sisa proses pencernaan yang tidak diserap oleh tubuh dan menjadi salah satu indikator penetapan diagnosa jika terjadi penyakit pada saluran
pencernaan. Pola defekasi pada anak tergantung pada fungsi sistem organ di dalam tubuh, susunan persarafan, asupan dan pola makan, serta usia anak. (Rochsitasari et al., 2011).
Pola buang air besar pada anak dipengauhi oleh faktor internal seperti fungsi organ dan sistem serabut saraf serta faktor eksternal yaitu pola makan dan usianya. Frekuensi defekasi pada bayi baru lahir lebih sering daripada bayi atau anak yang lebih tua dari usianya. Hal ini disebabkan karena organ dan enzim dalam tubuh belum sepenuhnya berfungsi secara optimal pada saat proses pencernaan.
Fungsi organ dan enzim akan terus berkembang seiring pertambahan usia (Tehuteru et al., 2001).
Penelitian pada 800 bayi baru lahir di tahun 1952 di Amerika Serikat menyatakan bahwa frekuensi defekasi rata-rata pada bayi berusia 1 hari sebanyak 1,5 kali dan terus meningkat seiring bertambahnya umur bayi dan mencapai puncaknya di usia 5 hari dengan frekuensi defekasi sebanyak 4,4 kali setiap harinya. Penelitian pada kelompok usia lebih besar yaitu 8-28 hari bahwa frekuensi defekasi sebanyak 2,2 kali sehari, usia 1-2 bulan sebanyak 1,8 kali sehari, dan usia 13-24 bulan sebanyak 1,7 kali perhari. Penelitian di Inggris pada tahun 1984 dengan sampel 350 anak berusia 1-4 tahun proses defekasi terjadi sebanyak 1-2 kali setiap harinya (Tehuteru et al., 2001).
Pada tahun 2013, terdapat penilitian yang membandingkan frekuensi defekasi dan konsistensi tinja bayi dengan usia 0-4 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif, Non Eksklusif, dan Susu formula selama 4 bulan. Hasil penelitian yang didapatkan adalah rata-rata frekuensi defekasi paling sering pada satu minggu pertama kemudian mengalami penurunan pada umur selanjutnya pada semua
kelompok jenis makanan. Terdapat perbedaan konsistensi tinja pada tiap kelompok jenis makanan. Kelompok ASI eksklusif konsistensi tinja cenderung lembek dan cair dibandingkan kelompok ASI non ekslusif dan susu formula.
Konsistensi tinja yang keras banyak ditemukan di kelompok susu formula (Rochsitasari et al., 2011).
D. Konsep Dasar Diare
1. Definisi Diare
Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan diare adalah suatu kondisi dimana frekuensi buang air besar seseorang lebih sering dari biasanya atau bisa dihitung tiga kali maupun lebih dalam sehari dengan kosistensi tinja lebih lembek atau cair bahkan hanya berupa air saja. World Gastroenterologi Organization (WGO) Global Guideline 2005 mengartikan diare akut sebagai abnormalitas pada konsistensi tinja setengah padat atau cair yang berlangsung kurang dari 14 hari.
2. Etiologi Diare
Penyebab diare akut pada anak dikelompokkan menjadi dua yaitu infeksi dan noninfeksi. Pada kasus noninfeksi dapat disebabkan karena alergi, defek anatomis, malabsorpsi, keracunan makanan, dan neoplasma. Pada kasus infeksi dapat disebabkan oleh bakteri , virus, maupun parasit. Prevalensi akibat dari diare akut tertinggi pada negara berkembang adalah bakteri dan parasit daripada akibat virus (Aman et al., 2015). Eschericia colli enterotoksigenic, Shigella sp, Campylobacterjejuni, dan Cryptosporidium sp adalah mikroorganisme penyebab diare pada anak terbanyak (Utami & Luthfiana, 2016).
3. Patofisiologi Diare
Virus atau bakteri masuk pada saluran pencernaan melalui makanan atau minuman yang dikonsumsi. Virus dan bakteri akan sampai di jaringan epitel usus halus dan menyebabkan infeksi yang berakibat rusaknya sel tersebut. Sel-sel yang telah rusak akan digantikan oleh yang baru sehingga fungsi sel-sel ini masih belum matang. Setelah itu vili-vili pada usus halus mengalami atrofi sehingga penyerapan cairan dan makanan tidak optimal. Penyerapan yang tidak optimal menyebabkan akumulasi cairan dan makanan terkumpul di usus halus dan tekanan osmosis usus akan meningkat sehingga cairan banyak tertarik ke lumen usus. Zat makanan dan cairan yang tidak dapat terserap tadi akan terdorong keluar melalui anus dan terjadilah diare (Utami & Luthfiana, 2016).
4. Gejala Diare
Feses berbentuk cair, peningkatan frekuensi defekasi meningkat sebanyak empat kali bahkan lebih dalam sehari, sering disertai muntah, lemas, demam, kehilangan nafsu makan, mual menjadi gejala awal dari diare yang disebabkan virus. Diare ini biasanya tidak terjadi dalam durasi yang lama sekitar 3-4 hari karena penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (Imanadhia et al., 2019).
5. Faktor Risiko Diare
Faktor risiko eksternal dari terjadinya diare antara lain pola hidup sehat dan bersih masyarakat seperti penyediaan sarana sanitasi yang buruk. Jurnal ilmiah berjudul “Faktor Risiko Diare Akut pada Balita” menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan karena 980 juta anak tidak mempunyai fasilitas toilet di rumahnya.
Jumlah rumah tangga yang tidak memiliki sanitasi dasar sekitar 69 juta orang dan 55 juta orang tidak mendapatkan fasilitas sumber air yang bersih. Faktor risiko terjadi angka kesakitan diare yang lainnya adalah food hygiene atau kebersihan
makanan, tempat penyimpanan makanan yang kurang bersih, dan mengkonsumsi air minum yang sudah tercemar. Terdapat juga faktor risiko internal seperti usia, pola hidup bersih tiap individu, asam lambung dan faktor kelainan pada sistem pencernaan (Hannif et al., 2011).