• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SAMPAH PASAR

Limbah atau sampah menurut Kristanto (2002) adalah buangan yang kehadirannya pada suatu waktu dan tempat tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Menurut Anonim (2010), sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah (waster) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya.

Sampah mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Adanya sesuatu benda atau bahan padat.

2. Adanya hubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan manusia. 3. Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi.

Menurut Suprihatin (1999) di dalam Nisandi (2007), berdasarkan asalnya sampah (padat) dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Sampah organik yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam, atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lainnya. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar sampah organik, termasuk sampah organik misalnya : sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah dan daun.

2. Sampah anorganik yaitu sampah yang berasal dari sumber daya alam tak terbaharui seperti mineral dan minyak bumi atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya: botol kaca, botol plastik, tas plastik dan kaleng.

Menurut Apriadji (1998), sampah bisa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Sampah Lapuk (Garbage)

Sampah golongan ini mmerupakan sisa-sisa pengolahan atau sisa-sisa makanan dari rumahtangga atau merupakan hasil samping kegiatan pasar bahan makanan, seperti pasar sayur-mayur. Contoh sampah lapuk adalah potongan-potongan sayuran yang merupakan sisa-sisa sortasi sayur-mayur di pasar, makanan sisa, kulit pisang, daun pembungkus, dan lain sebagainya.

2. Sampah Tak Lapuk dan Sampah Tak Mudah Lapuk (Rubbish)

Sampah golongan ini dikelompokkan menjadi dua jenis. Golongan pertama, sampah tak lapuk. Sampah jenis ini benar-benar tak lapuk secara alami, sekalipun telah memakan waktu bertahun-tahun. Contoh sampah tak lapuk adalah plastik, kaca, dan mika.

Golongan kedua, sampah tak mudah lapuk. Sekalipun sangat sulit lapuk, sampah jenis ini akan bisa lapuk perahan-lahan secara alami. Sampah jenis ini masih

(2)

4

dipisahkan lagi atas sampah tak mudah lapuk yang bisa terbakar, seperti kertas dan kayu, dan sampah tak mudah lapuk yang tidak bisa terbakar, seperti kaleng dan kawat. Gambar 1 menjelaskan skema sederhana pembagian sampah menurut Apriadji (1998).

Gambar 1. Skema pembagian sampah padat

Anonim (2010) menjelaskan sampah padat berdasarkan beberapa kriteria dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:

a. Berdasarkan zat kimia yang terkandung di dalamnya, sampah dibagi menjadi :

1. Sampah anorganik adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya logam atau besi, pecahan gelas, plastik, dan sebagainya.

2. Sampah organik adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya sisa-sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan dan sebagainya.

b. Berdasarkan dapat tidaknya dibakar :

1. Sampah yang mudah terbakar, misalnya kertas, karet, kayu, plastik, kain bekas, dan sebagainya.

2. Sampah yang tidak dapat terbakar, misalnya kaleng-kaleng bekas, besi atau logam bekas, pecahan gelas, kaca, dan sebagainya.

c. Berdasarkan karakteristik sampah :

1. Garbage yaitu jenis sampah hasil pengolahan atau pembuatan makanan, yang umumnya mudah membusuk dan berasal dari rumah tangga, restoran, hotel, dan sebagainya.

2. Rabish yaitu sampah yang berasal dari perkantoran, perdagangan, baik yang mudah terbakar seperti kertas, karton, plastik dan sebagainya maupun yang tidak mudah terbakar, seperti kaleng bekas, klip, pecahan kaca, gelas,dsb.

3. Ashes (abu) yaitu sisa pembakaran dari bahan-bahan yang mudah terbakar, termasuk abu rokok.

Sampah (refuse)

Sampah lapuk (garbage). Contoh : sisa sayuran, makanan sisa

Sampah tak lapuk dan sampah tak mudah lapuk (Rubbish)

Sampah tak lapuk. Contoh : palstik, kaca, mika

Sampah tak mudah lapuk

Sampah tak mudah lapuk yang bisa terbakar. Contoh : kertas, kayu

Sampah tak mudah lapuk yang tak bisa terbakar. Contoh : kaleng, kawat

(3)

5

4. Sampah jalanan (street sweeping) yaitu sampah yang berasal dari pembersihan jalan yang terdiri dari campuran bermacam-macam sampah, daun-daunan, kertas, plastik, pecahan kaca, besi, debu dan sebagainya.

5. Sampah industri yaitu sampah yang berasal dari industri atau pabrik-pabrik.

6. Bangkai binatang (dead animal) yaitu bangkai binatang yang mati karena alam, ditabrak kendaraan atau dibuang orang.

7. Bangkai kendaraan (abandoned vehicle) adalah bangkai mobil, sepeda, sepeda motor, dan sebagainya.

8. Sampah pembangunan (construction waste) yaitu sampah dari proses pembangunan gedung, rumah, dan sebagainya, yang berupa puing-puing, potongan-potongan kayu, besi, beton, bambu, dan sebagainya.

Terkait dengan sampah, Anonim (2010) menjelaskan beberapa dampak sampah terhadap manusia dan lingkungan.

a. Dampak Terhadap Kesehatan

Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menimbulkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut:

1. Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. Penyakit demam berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.

2. Penyakit jamur juga dapat menyebar (misalnya jamur kulit).

3. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnya masuk ke dalam pencernaan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan atau sampah.

4. Sampah beracun, telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan akumulator.

b. Dampak Terhadap Lingkungan

Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas-cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak. c. Dampak Terhadap Keadaan Sosial Dan Ekonomi

1. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat, seperti bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.

2. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.

3. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).

(4)

6

4. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan

memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain.

5. Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika sarana penampungan sampah kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan.

Menurut Hartono (2009), limbah pertanian memiliki 2 potensi yang bertolak belakang, yaitu potensi yang menguntungkan dan potensi yang merugikan bagi manusia. Limbah tersebut berpotensi memberikan nilai tambah ekonomi pada masyarakat jika dikelola dengan baik. Namun limbah tersebut juga akan menjadi masalah jika tidak dilakukan pengelolaan dengan baik atau bahkan tidak dikelola. Menurut Anonim (2002), sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah organik seperti sisa daun, sisa sayuran, kulit buah lunak, dan sisa makanan.

Hambali et al. (2007) menjelaskan secara garis besar sampah dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu anorganik, organik, dan khusus. Sampah organik berasal dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan, kegiatan rumah tangga dan kegiatan lainnya. Hambali et al. (2007) melanjutkan penjelasannya, penanganan dan pengelolaan sampah di perkotaan baru 11.25% sampah diangkut oleh petugas, 63.35% sampah ditimbun atau dibakar, 6.35% sampah dibuat kompos, dan 19.05% sampah dibuang ke sungai atau sembarang tempat. Penanganan di pedesaan sekitar 19% sampah diangkut oleh petugas, 54% sampah ditimbun dan dibakar, 7% sampah dibuat kompos dan 20% dibuang ke sungai dan sembarang tempat. Gambar 2 menunjukkan grafik pengelolaan sampah di perkotaan maupun di pedesaan sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

(5)

7

Gambar 2. Grafik pengelolaan sampah di perkotaan dan pedesaan

Jika dilihat cara pengelolaan sampah saat ini, baik itu di perkotaan atau di pedesaan keduanya masih belum memberikan manfaat yang banyak, hanya sekitar 7.00-6.34% saja penggunaannya digunakan untuk kompos. Sebagian besar sampah ditimbun dan dibakar, hal ini berpotensi memberikan dampak negatif seperti pencemaran lingkungan baik itu akibat lindi ataupun emisi gas akibat pembakaran sampah. Padahal menurut Hardyanti dan Sutrisno (2007), biomassa adalah energi alternatif paling siap untuk diolah menjadi sumber energi yang jumahnya banyak dan berada di sekitar kita dan ramah lingkungan. Tumbuh-tumbuhan, sampah organik, dan kotoran hewan dapat menghasilkan biogas yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi pengganti minyak, gas, kayu bakar, dan batu bara.

Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup (2008), jika dilihat dari komposisinya, sampah di Indonesia didominasi oleh bahan organik sebesar 65%, kertas 13%, plastik 11%, dan kayu 3%, sisanya adalah tekstil, karet, logam, gelas, dan keramik masing-masing sebesar 1%. Berbeda dengan Alvarez dan Liden (2007), menjelaskan bahwa karakteristik sampah buah-buahan dan sayuran didominasi oleh kadar air yang tinggi. Penjelasan mengenai karakeristik dan komposisi kandungan dari sampah buah-buahan dan sayuran lebih lengkapnya disajikan dalam Tabel 1.

(6)

8

Karakteristik Nilai Kadar Air (%) Kadar Abu (%) TS (%) VS (%) Phosphorous (% of TS) Potasium (% of TS) pH 87.30 0.80 12.70 11.90 0.20 1.60 4.9

Sumber : Alvarez dan Liden (2007)

2.2 FERMENTASI MEDIA PADAT

Fermentasi terjadi sebagai hasil metabolisme anaerobik, dimana mikroba dapat mencerna glukosa sebagai bahan baku energi tanpa oksigen, sebagai hasilnya hanya sebagian glukosa yang dipecah dengan menghasilkan sejumlah kecil energi, karbondioksida, air, dan produk akhir metabolisme lainnya. Produk akhir ini termasuk sebagian besar asam laktat, asam asetat, dan etanol serta sejumlah kecil asam organik menguap lainnya, alkohol, dan ester dari alkohol tersebut (Buckle et al. 1987).

Fermentasi berarti disimilasi anaerobik senyawa-senyawa organik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme atau ekstrak dari sel-sel tersebut, dan disimilasi adalah proses perubahan senyawa subtrat (yang merupakan sumber energi bagi organisme) atau senyawa-senyawa di dalam sel seperti glikogen dan ATP (yang merupakan cadangan energi) menjadi senyawa yang tingkat energinya lebih rendah, sedemikian rupa hingga energi dibebaskan dalam proses ini (Sa’id, 1987). Winarno dan Fardiaz (1980) di dalam Nurmalis (2008) pada proses fermentasi terjadi pemecahan karbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida (CO2). Namun banyak proses yang disebut fermentasi tidak selalu menggunakan subtrat karbohidrat sebagai media fermentasi yang menghasilkan alkohol dan CO2 saja. Selain karbohidrat, protein dan lemak dapat juga dipecah oleh mikroba atau enzim tertentu untuk menghasilkan asam amino, asam lemak dan zat-zat lainnya. Menurut Riadi (2007), fermentasi “solid state” adalah metode menumbuhkan mikrorganisme di kondisi yang kandungan airnya terbatas tanpa memiliki aliran air yang mengalir bebas.

Menurut Bapat et al. (2006) di dalam Prasetio (2010) fermentasi berdasarkan proses kerjanya dibagi menjadi 3, yaitu batch, feed batch, dan kontinyu. Proses fermeentasi batch (tertutup) adalah fermentasi yang selama proses berlangsungnya tidak terjadi penambahan subtrat. Fermentasi feed batch merupakan proses fermentasi dengan penambahan nutrien pada interval waktu tertentu dan tak ada media yang dipindahkan. Fermentasi kontinyu adalah proses fermentasi dengan penambahan nutrien atau media secara terus-menerus dan produknya dipindahkan secara bersamaan.

Menurut Haq dan Soedjono (2009) penguraian bahan-bahan organik menjadi biogas dibagi menjadi 4 tahap, yaitu :

1. Tahap Hidrolisa

Grup mikroorganime hidrolytic mengurai senyawa organik komplek menjadi molekul-molekul sederhana dengan rantai pendek, senyawa tersebut diantaranya adalah glukosa, asam amino, asam organik, ethanol, karbon dioksida dan hidrokarbon yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan energi bagi bakteri untuk melakukan fermentasi. Proses

(7)

9

hidrolisis dikatalis oleh enzim yang dikeluarkan oleh bakteri seperti selullase, protase, dan lipase.

2. Tahap Acidogenesis

Tahap hidrolisis segera dilanjutkan oleh pembentukan asam pada proses acidogenesis. Pada proses ini, bakteri acidogenesis mengubah hasil dari tahap hidrolisis menjadi bahan organik sederhana (kebanyakan dari rantai pendek, keton, dan alkohol).

3. Tahap Acetogenis (Tahap Pembentukan Asam)

Pada tahap ini terjadi pembentukan senyawa asetat, CO2 dan hidrogen dari molekul-molekul sederhana yang tersedia oleh bakteri aceton penghasil hidrogen.

4. Tahap Methanogenesis (Tahap Pembentukan Methan)

Pada tahap ini terjadi pembentukan gas methan dari senyawa asetat, ataupun hidrogen dan CO2 oleh bakteri methanogen. Bakteri methanogen adalah bakteri anaerob yang pertumbuhannya lebih lambat dari pada bakteri yang ada pada tahap satu dan dua. Bakteri ini sangat tergantung pada bakteri lainnya pada tahap sebelumya untuk menghasilkan nutrien dalam bentuk yang sesuai.

Berikut reaksi kimia yang terjadi selama proses pembentukan biogas dilihat dari beberapa bahan yang berbeda (Thahir et al. 2009):

a. Karbohidrat

(C6H10O5)x + x H2O → x(C6H12O6) ... 1

C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 ... 2

2CH3CH2OH + CO2 → 2 CH3COOH + CH4 ... 3

CH3COOH → CH4 + CO2 ... 4

b. ...

Lemak

(8)

10

c. ... Protei

n

2.3 FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PROSES FERMENTASI

Proses fermentasi mengacu pada berbagai reaksi dan interaksi yang terjadi diantara bakteri metanogen dan non-metanogen serta bahan yang diumpankan ke dalam digester sebagai input. Ini adalah phisio-kimia yang kompleks dan proses biologis yang melibatkan berbagai faktor dan tahapan bentuk (Wahyuni, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi biogas antara lain adalah ukuran partikel, kadar air, Rasio C/N, suhu, pH, waktu tinggal di dalam digester.

1. ... Ukuran Partikel

Bahan yang berukuran kecil akan lebih cepat terdegradasi dalam proses fermentasi anaerobik karena memiliki luas permukaan yang lebih banyak dibanding dengan bahan yang berukuran besar. Menurut Mshandete et al. (2006) Degradasi dan potensi produksi biogas dari limbah berserat dapat secara signifikan meningkat dengan perlakuan awal yaitu memperkecil ukuran partikel.

2. ... Kadar Air Dekomposisi bahan organik oleh bakteri dalam proses fermentasi anaerobik sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam bahan. Selain membantu dalam proses hidrolisis bahan, air juga dibutuhkan oleh semua jenis bakteri untuk keperluan hidupnya (Price and Paul, 1981).

(9)

11

Wahyuni (2009) menjelaskan bahwa hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen yang terdapat pada bahan organik dinyatakan dalam terminologi rasio karbon/nitrogen (C/N). Apabila rasio C/N sangat tinggi, nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metan sampai batas persyaratan protein dan tak lama bereaksi ke arah kiri pada kandungan karbon pada bahan. Sebagai akibatnya, produksi metan akan menjadi rendah. Sebaliknya apabila rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan bebas dan akan terakumulasi dalam bentuk amoniak (NH4). NH4 akan menigkatkan derajat pH bahan dalam digester. pH lebih tinggi dari 8.5 akan mulai menunjukan akibat racun pada populasi bakteri metan. Menurut Sahidu (1983) produksi biogas akan optimum jika C/N bahan isian adalah 30:1.

4. ... Suhu

Biogas bisa diproduksi pada rentang suhu yang cukup besar yaitu 4-60oC. Hanya saja bakteri akan menghasilkan lebih banyak lagi biogas dalam kondisi suhu yang optimum untuk hidupnya. (Price and Paul, 1981) Semakin tinggi temperatur reaksi juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang. Kebanyakan digester dioperasikan fermentasinya pada kondisi mesopilik yaitu pada rentang temperatur 30-40°C. Metanogenesis dapat juga terjadi pada suhu rendah, yaitu 4°C. Laju produksi gas akan naik 100-400% untuk setiap kenaikan temperatur 12°C pada rentang temperatur 4-25°C. Mikroorganisme yang berjenis thermophilic lebih sensitif terhadap perubahan temparatur daripada jenis mesophilic. Pada temperatur 38°C, jenis mesophilic dapat bertahan pada perubahan temperatur ± 2,8°C. Untuk jenis thermophilic pada suhu 49°C, perubahan suhu yang dizinkan ± 0,8°C dan pada temperatur 52°C perubahan temperatur yang dizinkan ± O,3°C.

5. ... pH

Bakteri penghasil biogas sangat sensitif terhadap perubahan pH. Nilai pH optimum untuk pertumbuhan bakteri metanogen ada pada kisaran pH normal yaitu berkisar antara pH 6.8-8 (Sahidu, 1983). Bakteri non-metanogenik tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH dan masih dapat hidup pada kisaran pH 5-8.5 (Price and Paul, 1981). Menurut Wahyuni (2009) derajat keasaman (pH) di dalam digester merupakan fungsi waktu di dalam digester tersebut. Pada tahap awal proses fermentasi, asam organik dalam jumlah besar diproduksi oleh bakteri pembentuk asam, sehingga akibatnya pH di dalam digester bisa mencapai dibawah 5. Kemudian proses pencernaan berlangsung, dan nilai pH berangsur normal seiring dengan pembentukan NH4 hasil dari penguraian nitrogen.

6. ... Waktu Tinggal Di Dalam Digester

Waktu tinggal atau lama proses adalah jumlah hari bahan yang dimasukkan di dalam digester selama proses fermentasi anaerobik berlangsung. Setiap bahan memiliki waktu tinggal yang berbeda-beda. Sebagai contoh untuk kotoran sapi diperlukan 20-30 hari sampai bisa memproduksi biogas (Wahyuni, 2009). Selain itu waktu tinggal juga tergantung suhu, di atas suhu 35oC atau suhu lebih tinggi, waktu tinggal akan semakin cepat.

Engler et al. (2000) menjelaskan beberapa kondisi fermentasi anaerob yang optimum yaitu suhu mesofilik 35oC, suhu termofilik 54 oC, pH 7-8, waktu retensi 10-30 hari dan kondisi lainnya sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2.

(10)

12

Parameter Nilai Suhu Mesofilik 35 oC Termofilik 54 oC pH 7 – 8

Waktu retensi 10 – 30 hari Laju pembebanan 0,15 – 0,35 kg VS/m3/hari Hasil Biogas 4,5 – 11 m3/kg VS Kandungan Metana 60 – 70 %

Sumber : Engler et al. (2000)

2.4 BIOGAS

Biogas merupakan salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui serta dapat dijadikan sebagai sumber energi alternatif untuk menggantikan bahan bakar minyak bumi dan gas alam (Utami et al. 2010). Menurut Hambali et al. (2007), biogas didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik (seperti kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur) difermentasi atau mengalami proses metanasasi. Sahidu (1983) mendefinisikan gas bio sebagai suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen (anaerobic process).

Secara garis besar kandungan biogas didominasi oleh gas metan yang memiliki kandungan 55-75%, karbon dioksida 25-45% dan gas lainnya. Penjelasan mengenai komposisi biogas disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kandungan biogas

Jenis Gas Jumlah

Methana CH4 55 – 75 % Karbon Dioksida CO2 25 – 45 % Karbon Monoksida CO 0 – 0,3 % Nitrogen N2 1 – 5 % Hidrogen H2 0 – 3 % Hidrogen Sulfida H2S 0,1 – 0,5 % Oksigen O2 Sedikit

Sumber : Karellas et al, 2010

Sebagaimana sumber energi pada umunya, biogas juga memiliki panas jenis tertentu. Besarnya kalor yang terkandung dalam biogas tergantung besarnya kandungan gas metan di dalaamnya. Kesetaraan bahan bakar biogas dengan sumber energi lainnya dijelaskan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Kesetaraan biogas dengan bahan bakar lain (1 m3 biogas)

Sumber Energi Kesetaraan

Elpiji Minyak Tanah Minyak solar Bensin 0,46 kg 0,62 liter 0,52 liter 0,80 liter

(11)

13

Gas kota Kayu bakar 1,50 m3 3,50 kg Sumber : Wahyuni, 2009

Nilai kalori biogas tergantung pada komposisi metana dan karbondioksida, dan kandungan air di dalam gas. Gas mengandung banyak kandungan air akibat dari temperatur pada saat proses, kandungan air pada bahan dapat menguap dan bercampur dengan metana. Pada biogas dengan kisaran normal yaitu 60-70% metana dan 30-40% karbondioksida, nilai kalori antara 20-26 J/cm3 (Meynell, 1976). Kandungan metana dalam biogas juga dipengaruhi oleh jenis bahan yang digunakan pada proses fermentasi anaerobik. Tabel 5 menyajikan potensi yield biogas yang dihasilkan dari beberapa jenis bahan yang berbeda. Jumlah biogas yang dihasilkan yaitu sebesar 180-940 liter perkilogram TS dengan kadar metan dan waktu tinggal di dalam reaktor yang bervariasi bergantung pada jenis bahan yang digunakan.

Tabel 5. Produksi biogas dan waktu tinggal dari berbagai bahan Bahan Produksi biogas (L/kg TS*) Kadar Metana dalam Biogas (%) Waktu Tinggal (hari) Pisang (buah dan daun)

Rumput

Jagung (batang secara keseluhan) Jerami (dicacah)

Tanaman rawa Kotoran ayam Kotoran domba Kotoran sapi

Sampah (fraksi organik)

940 450-530 350-500 250-350 380 300-450 180-220 190-220 380 53 55-57 50 58 56 57-70 56 68 56 15 20 20 30 20 20 20 20 25

Gambar

Gambar 1 menjelaskan skema sederhana pembagian sampah menurut Apriadji (1998).
Gambar 2. Grafik pengelolaan sampah di perkotaan  dan pedesaan
Tabel 4. Kesetaraan biogas dengan bahan bakar lain (1 m 3  biogas)  Sumber Energi  Kesetaraan  Elpiji  Minyak Tanah  Minyak solar  Bensin  0,46 kg  0,62 liter 0,52 liter 0,80 liter
Tabel 5. Produksi biogas dan waktu tinggal dari berbagai bahan  Bahan  Produksi biogas (L/kg TS*)  Kadar Metana  dalam Biogas (%)  Waktu  Tinggal  (hari)  Pisang (buah dan daun)

Referensi

Dokumen terkait

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh

Salah satu penelitian yang mengembangkan pendekatan System Utility menjadi satu alat untuk mengevaluasi sistem yaitu dengan menggabungkan enam sudut pandang tersebut terhadap

Misalnya pada saat seorang ibu dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan yang terkait dengan menurunnya prestasi anak di sekolah maka seorang ibu peran

Sedangkan Kirk dan Miller (Moleong, 2000:3), mendefenisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

Based on the results of the calculation of the correlation coefficient between x1 and x2 is equal to 0.51 and the coefficient of determination r2 = 0.26 this means that the

Dengan demikian penentuan harga yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Pamekasan tidak dilarang dalam Islam, hanya saja penentuan harga yang dituangkan dalam pasal 13

Sampel yang disentrifugasi dengan kecepatan tinggi dan gaya sentrifugal menyebabkan komponen yang lebih besar dan lebih berat akan terendap di dasar tabung yang