• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Teori ekologi Urie Bronfenbrenner menyatakan bahwa keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Teori ekologi Urie Bronfenbrenner menyatakan bahwa keluarga"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teori ekologi Urie Bronfenbrenner menyatakan bahwa keluarga merupakan konteks mikrosistem yang paling dekat dengan kehidupan anak (Santrock, 2007). Kedekatan tersebut menjadikan keluarga sebagai salah satu penentu yang penting dalam perkembangan anak, diantaranya menurut Andayani dan Koentjoro (2012) bahwa keluarga memiliki peran yang penting dalam proses sosialisasi. Proses sosialisasi diantaranya dapat dilakukan melalui pengasuhan atau parenting.

Menurut Lestari (2012) pengasuhan anak bertujuan untuk peningkatan atau pengembangan kemampuan anak, yang mana hal tersebut perlu didasari oleh rasa kasih sayang. Hal senada juga dikemukakan oleh Kurniadarmi (2010), bahwa sebagai pelaksana, keluarga wajib memberikan pengasuhan yang baik serta kasih sayang sebagai faktor penting yang diperlukan anak untuk menjadi pribadi yang berkembang dengan sehat dan optimal. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut hendaknya pengasuhan anak merupakan tanggung jawab orangtua sebagai sosok yang paling dekat dengan kehidupan anak.

Menurut Pleck (dalam Andayani & Koentjoro, 2012), peran pengasuhan anak merupakan bagian dari tugas domestik, yang mana hal tersebut berkaitan dengan peran mengurus rumah tangga dan mengurus keluarga. Tugas domestik selama ini merupakan tugas yang identik dihubungkan dengan peran perempuan atau peran ibu. Dancer (1993) mengatakan bahwa di dalam keluarga dengan pandangan tradisional, istri berperan sebagai homemaker yang bertugas

(2)

mengasuh anak, melayani suami, serta mengurus rumah tangga, sedangkan suami berperan sebagai breadwinner atau pencari nafkah bagi keluarga. Hal ini menjadikan posisi seorang istri atau ibu sangat penting dalam perkembangan kehidupan anak dikarenakan tugas pengasuhan anak dibebankan pada sosok ibu.

Seiring dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, muncul pandangan terhadap kesetaraan gender serta tuntutan ekonomi yang besar sehingga terjadi perubahan dalam melihat peran perempuan dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Perubahan tersebut diantaranya menyertakan perempuan dalam peran mencari nafkah atau breadwinner.

Menurut analisis data dari Pew Research Center (dalam National Geographic Indonesia, 2013) terjadi peningkatan sebesar 40% pada ibu-ibu yang bekerja dari keseluruhan ibu rumah tangga di Amerika Serikat yang mempunyai anak dibawah 18 tahun jika dibandingkan dengan tahun 1960 yang hanya sebesar 11%. Hasil Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (2012) juga menunjukkan bahwa persentase perempuan yang bekerja di perkotaan diketahu sebesar 44,74% dan di pedesaan sebesar 51,10%, sementara persentase perempuan yang menganggur di perkotaan sebesar 3,93 % dan di pedesaan sebesar 3,02%.

Peningkatan ini juga terjadi di hampir sebagian besar wilayah di Indonesia, satu diantaranya terjadi di kota Manado. Menurut Badan Pusat Statistik di kota Manado tahun 2012 (dalam Effendy, 2013) terdapat sebanyak 63.474 ribu perempuan bekerja dari total angkatan kerja sebanyak 180.182 ribu.

Penelitian Effendy (2013) menambahkan juga dengan melaporkan bahwa rata- rata perempuan di kota Manado menghabiskan waktu lebih dari 200 jam/ bulan

(3)

dalam pekerjaan. Fenomena ini sebagaimana dikemukakan oleh Puspitawati (2012) dapat mengakibatkan peningkatkan jumlah keluargan dengan tipe dual- earner (dua orang bekerja dalam keluarga).

Sekaran (Hammer, Allen, & Grigsby, 1997) mendefinisikan dual-earner couple adalah gambaran pasangan yang keduanya sama-sama bekerja serta sama-sama mengurus kehidupan rumah tangga. Marshall (1998) menjelaskan dengan istilah yang hampir sama yaitu dual-career marriage yang menurutnya merupakan gambaran pernikahan dimana kedua pasangan suami dan istri bersama-sama mengejar karir atau bekerja. Davis dan Risman (2003) juga menjelaskan bahwa tipe keluarga dual-earner merupakan bentuk keluarga dimana terdapat perubahan dalam pelaksanaan peran pencari nafkah yang dulunya merupakan peran suami namun sekarang telah melibatkan sosok istri, atau dapat dikatakan bahwa di dalam keluarga dengan tipe dual-earner kedua pasangan dalam rumah tangga bersama-sama berperan mencari nafkah untuk memperoleh penghasilan yang diperlukan oleh keluarga.

Thompson dan Walker (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa adanya keluarga dengan tipe dua pencari nafkah atau dual-earner tentu saja membawa keuntungan dalam kehidupan rumah tangga, diantaranya dengan peningkatan ekonomi dan hubungan yang lebih setara antara suami dan istri dalam meningkatkan harga diri. Selain keuntungan yang diperoleh dari keluarga dengan tipe dual-earner terdapat juga kerugian, secara khusus hal tersebut dialami oleh anak baik secara langsung maupun tidak langsung. Myrdal dan Klein (1956) menyebut kerugian atau dampak negatif secara tidak langsung pada anak adalah melalui “peran ganda” yang diemban oleh ibu.

(4)

Peran ganda yang diemban oleh ibu dapat berpengaruh kepada performansi dalam menjalankan perannya yang lain baik secara kuantitas maupun kualitas. Menurut Sarbin (dalam Lindzey & Aronson, 1985), peran ganda juga akan membuat seorang perempuan mengalami konflik peran, yaitu situasi dimana seseorang menjalankan dua peran atau lebih secara bersamaan, dan apabila harapan peran yang satu bertentangan dengan harapan peran yang lain.

Kerugian atau dampak negatif lainnya dapat ditunjukkan melalui penelitian Lee, Vernon-Feagan, Vazquez dan Kolak (2003) pada 36 keluarga dual-earner yang menunjukkan bahwa ibu yang bekerja memiliki tingkat tekanan peran yang signifikan lebih tinggi dari pada suami (ayah). Tekanan tersebut diasosiasikan dengan waktu kerja di luar rumah, sosialisasi dengan anak, konflik keluarga dan tingkat kerepotan sehari-hari. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lundberg dan Hellstrom (2002) juga menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja memiliki tingkat stres yang tinggi. Ditambahkan oleh Andayani dan Koentjoro (2012) bahwa istri yang berperan ganda akan mengalami kelelahan fisik akibat dua peran yang dijalankan.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Andayani dan Koentjoro (2012) bahwa kelelahan kerja dapat menyebabkan orangtua khususnya ibu menjadi kurang bersahabat dengan anak, menjadi kasar serta menuntut anak untuk patuh. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi bagaimana bentuk pengasuhan yang diberikan seorang ibu kepada anak, khususnya jika hal tersebut dialami pada masa perkembangan usia dini (early childhood).

Masa usia dini atau kanak-kanak awal (early childhood) merupakan bagian dari tahapan perkembangan yang penting dalam rentang kehidupan seseorang. Hurlock (1972) menyebutkan masa usia dini dimulai dari akhir masa

(5)

bayi, yaitu usia 2 sampai usia 6 tahun yang ditandai dengan kemampuan untuk mengontrol lingkungannya dan memulai penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Pendapat lainnya, diantaranya Montesorri (dalam Hurlock, 1978) menekankan bahwa masa usia dini dimulai ketika anak berusia 3 sampai 6 tahun, yang juga disebut sebagai masa sensitif atau masa peka untuk menerima rangsangan. Menurut Bijou (dalam Hurlock, 1978) periode awal perkembangan ini merupakan masa yang paling penting dari keseluruhan tahap perkembangan kehidupan seorang individu karena pada masa ini diletakkannya dasar struktur perilaku kompleks yang dibangun sepanjang kehidupan individu. Santrock (2002) juga menjelaskan bahwa setiap pengalaman yang terjadi pada anak dalam masa usia dini merupakan tahapan awal dari kehidupan individu yang nantinya akan menentukan sikap, nilai, kepribadian serta perilaku individu di masa mendatang.

Studi yang dilakukan oleh National Institute of Child Health and Human Development menunjukkan bahwa pengasuhan yang dilakukan pada masa kanak-kanak awal atau masa usia dini berhubungan dengan “Children Functioning” (Belsky dalam Levina & Munsch, 2011). Oleh sebab itu, perlakuan yang diberikan orangtua dalam pengasuhan pada masa usia dini berpengaruh kepada perkembangan anak pada tahap perkembangan selanjutnya.

Bukti bagaimana perkembangan anak usia dini mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya dapat ditunjukkan dalam catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Afrianti & Ruqoyah, 2012) yang mengungkapkan bahwa pada kuartal pertama tahun 2012, terjadi sebanyak 2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak usia sekolah (mulai dari SD hingga SMA) atau tahap perkembangan setelah masa usia dini. Hal ini menunjukkan bahwa

(6)

perkembangan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan secara khusus akan mempengaruhi tahap perkembangan anak selanjutnya.

Solusi agar dampak peran ganda ibu tidak mempengaruhi perlakuan yang diberikan kepada anak, oleh beberapa ahli antara lain Andayani dan Koentjoro (2012) adalah dengan model pengasuhan bersama atau coparenting antara ayah dan ibu. Dijelaskan lebih lanjut oleh Andayani dan Koentjoro bahwa coparenting atau pengasuhan bersama merupakan bentuk pengasuhan yang ideal bagi perkembangan anak, karena anak akan mendapatkan stimulasi dari kedua belah pihak orang tua yang mana kedua orangtua memiliki karakteristik pengasuhan yang berbeda, sehingga anak akan kaya dengan pengalaman yang diberikan dari kedua orangtuanya. Perkembangan anak juga akan lebih optimal dengan adanya keterlibatan ayah dan ibu secara bersama-sama dibandingkan dengan pengasuhan yang dilakukan “sendiri-sendiri” baik oleh ayah ataupun ibu.

Keterlibatan ayah yang ditempatkan bersama dengan ibu dalam pengasuhan anak juga akan bermanfaat secara langsung maupun tidak langsung bagi anak. Secara tidak langsung ditunjukkan diantaranya lewat hasil penelitian Morrill, Ippolito, Hines, Mahmood dan Córdova (2010) yang menemukan bahwa kesatuan coparenting dapat memprediksi kesehatan pernikahan. Pernikahan yang sehat dan berkualitas dapat mempengaruhi proses-proses yang lain didalam keluarga, diantaranya proses pengasuhan anak (Lestari, 2012). Sedangkan manfaat secara langsung dengan terlibatnya ayah dalam pengasuhan anak, menurut Lamb (1981) yaitu berdampak pada perkembangan anak yang lebih baik. Ayah yang memberikan waktu secara kuantitas dan kualitas bersama ibu untuk mengasuh anak akan berdampak positif bagi perkembangan anak dimasa mendatang. Penelitian longitudinal yang

(7)

dilakukan oleh Koestner, Franz dan Weinberge (dalam Santrock, 2007) menemukan bahwa keterlibatan ayah dalam membesarkan anak pada usia 5 tahun merupakan penentu empati terkuat bagi laki-laki dan perempuan pada usia mereka 31 tahun. Penelitian senada juga menunjukan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak akan berdampak pada hasil positif dan negatif anak di sekolah (Newland, Chen, Hui-Hua & Coyl-Shepherd, 2013); perkembangan psikis serta perkembangan sosial anak yang mana berkaitan dengan rendahnya level depresi anak serta tindakan bermasalah yang dilakukan anak (Formoso, Gonzales, Barrera, Dumka & Larry, 2007); serta penyesuaian diri saat remaja (Leidy, Schofield, Miller, Parke, Coltrane, Braver, Cookston, Fabricius, Saenz &

Adams, 2011). Allen dan Daly (2007) juga menyimpulkan bahwa seorang ayah yang terlibat di dalam pengasuhan anak dapat memberikan pengaruh yang positif kepada perkembangan kognitif, emosional, sosial, serta dapat membantu menurunkan perkembangan negatif pada anak.

Berdasarkan alasan ini maka peneliti melakukan preliminary untuk mengetahui keterlibatan ayah pada pengasuhan anak usia dini di keluarga dual- earner, yaitu sebagai berikut:

 Wawancara yang dilakukan kepada tiga orang ibu bekerja di kota Manado

yang memiliki anak berusia kurang dari 7 tahun pada tanggal 11 September, 13 September dan 15 September 2014, dengan tujuan untuk mengetahui tanggapan para ibu yang bekerja terhadap peran ganda yang dijalankan selama ini. Kesimpulan yang diperoleh melalui wawancara adalah bahwa ketiga ibu merasa kerepotan dan kelelahan dalam melakukan peran ganda. Ibu B mengungkapkan bahwa terkadang dirinya

(8)

merasakan kelelahan dan bahkan stres jika apa yang dikerjakannya terlalu banyak dan kadang dirinya sempat berpikir:

“kiapa kita pe karja kong banya bagini dang?”. (mengapa pekerjaan saya banyak sekali seperti ini?).

 Observasi dilakukan di Paud & TK Providensia Kota Manado, Sulawesi

Utara pada tanggal 12 Januari 2015, yang bertujuan untuk mengetahui keterlibatan ayah pada anak di sekolah sebagaimana dalam teori ekologi Broefenbreuner yang menyatakan bahwa sekolah merupakan konteks mikrosistem dalam perkembangan kehidupan anak. Disamping itu juga sekolah dipakai sebagai konteks untuk mengukur keterlibatan ayah pada pengasuhan anak usia dini dikarenakan melalui pengamatan peneliti di lapangan bahwa saat ini telah banyak orangtua yang mengikutkan anak usia dini pada pendidikan baik itu formal maupun non-formal seperti kelompok bermain atau PAUD sehingga peneliti memilih sekolah sebagai tempat observasi. Adapun indikator keterlibatan ayah mengacu pada Allen dan Daly (2007) yaitu interaksi secara kuantitas maupun kualitas.

Kuantitas interaksi dapat ditunjukkan melalui jumlah keterlibatan ayah baik mengantarkan maupun menjemput anak di sekolah. Kualitas interaksi dapat dilihat dengan ekpresi hangat, senang serta antusias saat berinteraksi dengan anak. Indikator keterlibatan ayah juga ditambahkan melalui pandangan McBride, Schoppe, dan Rane (2002), dan Palkovits (dalam Sanderson & Thompson, 2002), yaitu: (1) interaksi yang penuh dengan kehangatan, adanya afeksi saat bersama anak, dan (2).

menghadirkan diri sebagai sosok pelindung bagi anak. Observasi dilakukan oleh tiga orang observer yang dibantu oleh satu orang guru,

(9)

dengan waktu observasi pada pagi hari (saat anak berangkat kesekolah), dan pada siang hari (saat anak pulang sekolah). Adapun hasil observasi yaitu:

Kuantitas Keterlibatan:

Jumlah keterlibatan ayah dalam aktivitas mengantar dan menjemput anak di sekolah pada tanggal 12 Januari 2015, diketahui sebagai berikut: (1).

untuk PAUD, sebanyak 5 orang ayah (16,67%) dari 30 orang anak yang terhitung mengantar dan menjemput anak di sekolah, dan (2). untuk TK, sebanyak 35 ayah (25%) dari 140 anak yang terhitung mengantar dan menjemput anak di sekolah.

Kualitas Keterlibatan:

Berdasarkan observasi yang dilakukan di sekolah serta wawancara kepada satu orang guru, diperoleh bahwa: (1). kurangnya inisiatif ayah untuk menjadi sosok pelindung bagi anak, hal tersebut ditunjukkan dengan perilaku saat mengantarkan, dan menjemput anak di sekolah yang mana masih terdapat ayah yang terkadang tidak turun dari kendaraan (motor atau mobil), sehingga petugas keamanan sekolah, atau guru piket yang menjemput dari kendaraan serta mengantarkan anak sampai ke area sekolah., (2). kurangnya kehangatan atau afeksi yang positif pada saat mengantar dan menjemput anak, hal ini ditunjukkan dengan ekspresi saat mengantar dan menjemput anak yaitu kurangnya ekpresi gembira atau senang, kurang hangat, kurang berkomunikasi, dan terkadang terkesan terburu-buru.

 Wawancara yang dilakukan kepada tiga orang ayah yang bekerja sebagai PNS di Kota Manado pada tanggal 3, 4, dan 5 Januari 2015

(10)

tentang: (1) kuantitas interaksi setiap hari dengan anak, sebagaimana salah satu aspek yang dikemukakan oleh Lamb, Pleck, Charnov dan Levine (1985) yaitu paternal interaction yang mengacu kepada kontak langsung antara seorang ayah dengan anak melalui kegiatan-kegiatan bersama dengan anak., serta (2) pandangan ayah tentang peran pengasuhan anak yang mana menurut beberapa peneliti pandangan tentang pengasuhan anak berpengaruh terhadap keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan anak (Lailatusshifa, dalam Andayani &

Koentjoro, 2012). Hasil yang diperoleh dari wawancara adalah sebagai berikut:

a. para ayah merasa memiliki sedikit waktu berinteraksi bersama anak khususnya pada hari-hari kerja seperti senin-jumat, hal ini sebagaimana diutarakan oleh Bapak A:

“kalo kita ketemu anak sekitar 4-5 jam sehari, apalagi kalo pagi kita jarang skali mo ketemu soalnya kita harus berangkat pagi-pagi karena ta pe rumah dengan kantor agak jauh jadi kadang klo berangkat ta pe anak belum bangun. kalo so pulang kantor kadang masih bisa bermain 2-3 jam deng anak mar kadang le kalo so talalu lalah kita suruh de pe mami jo yang temani pa dia”. (saya ketemu anak sekitar 4-5 jam dalam 1 hari, apalagi kalau pagi saya jarang sekali bisa ketemu dengan anak karena saya harus berangkat ke kantor pagi-pagi karena jarak dari rumah ke kantor agak jauh jadi terkadang saat berangkat ke kantor anak belum bangun tidur. kalau sudah pulang kerja kadang masih dapat bermain dengan anak sekitar 2-3 jam tetapi kalau terkadang kalau sudah kelelahan saya menyuruh ibunya yang temani anak bermain).

b. pandangan tentang pengasuhan anak menunjukkan bahwa ketiga ayah telah sepakat bahwa pengasuhan anak merupakan peran dari ayah dan ibu sebagai orangtua, namun salah satu jawaban dari seorang ayah menunjukkan adanya ketidakyakinan tentang kapasitas dirinya dalam mengasuh anak sehingga menurutnya pengasuhan anak sebaiknya

(11)

dilakukan lebih banyak oleh ibu, dan peran ayah hanya sebatas membantu saja.

Bapak C: “kalo pengasuhan tugas orang tua, kita deng ta pe maitua, mar komang kalo bisa istri jo yang lebe banyak, karena dorang lebe tahu tentang anak, torang suami kurang mo bantu-bantu saja”. (Kalau pengasuhan anak itu adalah tugas orang tua, saya dengan istri, tetapi sebaiknya kalau bisa istri yang lebih banyak, karena mereka (istri) yang lebih tahu tentang anak, suami nanti bantu bantu saja).

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan preliminary yang dilakukan yaitu bahwa (1). Ibu yang menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga dan berperan juga dalam mencari nafkah merasakan kesulitan dalam hal fisik maupun psikisnya., (2). keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak masih dirasakan kurang maksimal, baik secara kuantitas maupun kualitas. Kesimpulan ini sesuai dengan laporan Andayani (Andayani & Koentjoro, 2012) dalam penelitiannnya bahwa saat ini para ayah masih cenderung mengambil jarak dari anak-anaknya. Ayah lebih sibuk dengan aktivitas di luar rumah dan sedikit sekali berinteraksi dengan anak-anaknya. Lebih lanjut dikatakan juga bahwa terdapat dugaan bahwa nilai serta keyakinan ayah tentang konsep pengasuhan anak yang mana merupakan tugas seorang ibu yang menyebabkan para ayah tidak terlibat maksimal dalam pengasuhan anak.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi ayah untuk terlibat pada pengasuhan anak, faktor tersebut diantaranya konsep tentang peran gender yang diyakini seorang ayah. Menurut William dan Best (1990) peran gender merupakan pandangan normatif tentang bagaimana seharusnya hubungan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kaitannya dengan budaya yang ada.

Ditambahkan oleh Bjorklund dan Bee (2009) bahwa peran gender menunjukkan apa yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam suatu budaya pada

(12)

masa lalu. Oleh sebab itu peran gender sangat dekat dengan pandangan budaya tertentu tentang apa yang laki-laki maupun perempuan seharusnya perankan.

Masyarakat Minahasa (salah satu suku di Manado, Sulawesi Utara) pada umumnya telah memiliki pandangan yang setara antara hak laki-laki dan perempuan termasuk juga dalam keluarga. Istilah yang dikenal untuk menggambarkan hal tersebut antara lain “sana sende” atau “kasende” yang artinya satu tempat makan atau istilah yang lebih popular dengan pernyataan bahwa “sepiring kita bersama”, yang menunjukkan adanya penerimaan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan (Siwu, 2004), serta mapalus, yang mana menurut Adam (1976) artinya adalah tolong menolong dalam segala macam pekerjaan. Masyarakat Minahasa pada dasarnya telah menghargai posisi perempuan sebagai istri, mitra, partner serta pelengkap dalam suatu keluarga, hanya saja dalam hal peran yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam pengasuhan anak masih dibedakan.

Dalam kehidupan rumah tangga istri memiliki peran sebagai pengurus rumah tangga, sebagai ibu, sebagai pendamping suami, sedangkan suami merupakan pemimpin atau kepala keluarga/ rumah tangga, sebagai ayah, dan sebagai teman hidup dari ibu. Graafland (1991) memapaparkan bahwa salah satu budaya orang Minahasa yang lampau tentang kelahiran serta prosesi- prosesi adat pada saat kelahiran anak, seperti foso (artinya: menurunkan anak) hanya memberikan kewenangan pada istri atau ibu dari anak yang dilahirkan untuk terlibat, selain itu prosesi-prosesi lainnya yang berhubungan dengan anak juga hanya melibatkan ibu. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sejak awal kelahiran anak, peran ayah memang tidak banyak berhubungan dengan anak.

Segala urusan tentang anak banyak di emban oleh ibu, dibandingkan ayah.

(13)

Seiring adanya perkembangan pengetahuan dalam masyarakat maka muncul perubahan cara pandang terhadap peran gender yang tidak lagi melihat perbedaan peran secara kaku. Hal ini dipaparkan oleh Scanzoni dan Scanzoni (1981), serta Larsen dan Long (dalam Beere, 1990), yaitu dengan adanya peran gender egaliter. Peran gender egaliter tidak melihat adanya pembagian tugas atau peran yang kaku antara laki-laki dan perempuan tetapi memberikan perlakuan yang sejajar atau sederajat. Laki-laki menghargai minat serta kepentingan perempuan sama pentingnya dengan minat laki-laki, menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumah tangga serta memutuskan masalah yang dihadapi dalam rumah tangga secara bersama- sama.

Seorang ayah yang memiliki sikap terhadap peran gender egaliter akan mempengaruhi dirinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan domestik, salah satunya dalam kegiatan pengasuhan anak. Sebagaimana Pleck (1997) dalam ulasannya yang mengungkapkan bahwa seorang ayah yang memiliki sikap egaliter tentang peran gender menunjukan keterlibatannya dalam merawat anak.

Collins (2004) juga melaporkan bahwa sikap ayah terhadap peran jenis (sex-role) atau peran gender berhubungan dengan tanggung jawab ayah kepada anak dengan moderator adalah status pekerjaan istri. Penelitian lain yang dilakukan oleh Saraff dan Srivastava (2010) juga menemukan bahwa ekpektasi seorang suami terhadap peran gender dapat mempengaruhi keterlibatan dirinya dalam pengasuhan anak. Oleh sebab itu, sikap terhadap peran gender merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.

Faktor lainnya yang juga berperan mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak adalah faktor efikasi ayah dalam melakukan tugas

(14)

pengasuhan atau efikasi diri paternal. Menurut Bandura (dalam Desjardin, 2005) efikasi diri orangtua (parental self-efficacy) didefinisikan sebagai perkiraan- perkiraan yang dipersepsi oleh orang tua tentang kompetensinya dalam melakukan peran pengasuhan, serta keyakinan pada kemampuannya untuk melaksanakan tiap tugas pengasuhan. Ditambahkan oleh Unger dan Waudersman (Coleman & Karraker, 1998) bahwa efikasi diri orang tua dalam pengasuhan anak berhubungan dengan berbagai macam keterampilan pengasuhan, seperti keterampilan untuk responsif, keterampilan dalam memberikan stimulasi, serta kemampuan untuk tidak menggunakan hukuman dalam pengasuhan. Bukti dari pengaruh efikasi diri paternal mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dapat ditunjukkan melalui beberapa penelitian, diantarnya oleh Kwok, Ling, Leung dan Li (2013) yang menemukan bahwa efikasi diri ayah merupakan prediktor dari keterlibatannya dalam pengasuhan anak. Jacobs dan Kelley (2006) juga membuktikan dalam penelitiannya bahwa keyakinan akan kemampuan dalam peran pengasuhan (fathering self-efficacy) dapat memprediksi persentase waktu, serta tanggung jawab ayah pada anak. Selain itu, efikasi diri paternal juga dapat berfungsi sebagai faktor penghubung atau mediator bagi faktor lainnya kepada keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Hal ini ditunjukan lewat penelitian yang dilakukan Abdullah (2009) yang membuktikan bahwa efikasi diri paternal dapat menjadi mediator bagi hubungan antara persepsi suami atas dukungan dari istri dengan keterlibatan suami dalam pengasuhan anak usia kanak-kanak awal.

Lebih lanjut, peran efikasi diri yang dimiliki ayah bukan hanya dapat mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, namun efikasi diri ayah sekaligus mempengaruhi perkembangan anak. Hal ini sebagaimana

(15)

dibuktikan secara empiric dalam penelitian Junttila, Vauras dan Laakkonen (2007) bahwa efikasi diri orangtua yang diukur baik pada ayah maupun pada ibu dapat berhubungan dengan kemampuan sosial anak, serta kemmapuan kognitif anak (yang dimediasi oleh kemampuan sosial). Dapat dikatakan bahwa efikasi diri paternal merupakan faktor penting yang juga dapat mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sehingga nantinya anak dapat mempengaruhi perkembangan anak.

Dalam teori perilaku terencana atau theory of planned behavior yang dikemukakan oleh Ajzen (1988), niat dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu (1) sikap terhadap perilaku yang bersangkutan (attitudes toward the behaviour), (2) norma subjektif (subjective norm), serta (3) kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control). Proses kerja dari ketiga faktor ini dalam menghasilkan perilaku adalah bahwa semakin tingginya sikap dan norma subjektif terhadap perilaku, dan semakin besarnya kontrol perilaku yang dirasakan maka akan semakin kuat niat untuk melakukan perilaku yang bersangkutan. Pandangan yang muncul kemudian, yang dikemukakan oleh Fishbein dan Cappella (dalam Ajzen, 2002) menyatakan bahwa self-efficacy dinilai sama dengan kontrol perilaku yang dirasakan dalam model integratif.

Konsep self-efficacy digunakan sebagai kontrol perilaku yang dirasakan, yang mana hendak mempersepsikan kemudahan atau kesulitan dari perilaku tertentu, yang mana hal ini terkait dengan kontrol terhadap keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghambat kinerja perilaku. Melalui teori perilaku terencana yang dikemukakan oleh Ajzen (1988) ini dapat dikatakan bahwa niat serta perilaku seorang ayah untuk terlibat di dalam pengasuhan anak usia dini dipengaruhi oleh faktor sikap terhadap peran gender (yang dipengaruhi

(16)

norma subjektif tentang peran gender), dan efikasi diri, dalam hal ini adalah efikasi diri paternal.

Disamping kedua faktor ini faktor lainnya yang juga ikut mempengaruhi adalah karakteristik struktur jam kerja, sebagaimana hasil preliminary yang dilakukan menunjukkan bahwa struktur jam kerja ayah mempengaruhi keterlibatan dirinya dalam pengasuhan anak. Penelitian yang dilakukan oleh Aldous, Mulligan dan Bjarnason (1998) juga melaporkan bahwa struktur jam kerja dapat mempengaruhi keefektifan ayah dalam pengasuhan anak. Oleh karena itu dalam penelitian ini karakteristik struktur jam kerja ayah ditentukan berdasarkan karakteristik pekerjaan yang memiliki jam kerja tetap, salah satunya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), dimana jam kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) diantaranya diatur pada pasal 3 ayat (11) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

Apakah sikap terhadap peran gender dan efikasi diri paternal berperan dalam

memperdiksi keterlibatan ayah pada pengasuhan anak usia dini di keluarga dual-earner?

C. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sikap terhadap peran gender dan efikasi diri paternal dalam memprediksi keterlibatan ayah pada pengasuhan anak usia dini di keluarga dual-earner.

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

(17)

1. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu psikologi perkembangan dan psikologi sosial khususnya dalam memberikan bukti empiris tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan keterlibatan ayah pada pengasuhan anak, selain itu melalui penelitian ini diharapkan juga dapat mendorong lebih banyak lagi penelitian-penelitian yang mengkaji seputar tema pengasuhan anak.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi bagi para praktisi di bidang keluarga, psikologi, pendidikan, serta orang-orang yang menaruh perhatian pada dunia anak untuk dapat memberikan penyuluhan pada orang tua tentang pentingnya keterlibatan ayah pada pengasuhan anak khususnya anak usia dini.

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Secara umum, kontribusi sikap terhadap peran gender serta efikasi diri paternal pada keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti.

Berikut ini dipaparkan beberapa penelitian yang dilakukan berhubungan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, diantaranya sebagai berikut:

a. Penelitian Jacobs dan Kelley (2006) dengan judul Predictors of Paternal Involvement in Childcare in Dual-Earner Families with Young Children bertujuan untuk menguji variabel pekerjaan dan variabel keluarga pada keterlibatan ayah dalam tiga area, yaitu: interaksi langsung antara ayah dengan anak, tanggung jawab, serta aksesibilitas dengan anak. Subjek penelitian adalah sejumlah 119 pasangan suami-istri yang bekerja (dual earner), tinggal serumah dengan anak kandung yang berusia satu sampai

(18)

empat tahun, serta anak dititipkan di Daycare berlisensi di Virginia Tenggara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keyakinan pada peranan dalam pengasuhan serta variabel struktur (jam kerja ayah dan pekerjaan para ibu) memprediksi tanggung jawab ayah. Persentase waktu yang dihabiskan ayah sebagai pengasuh utama anak diprediksi oleh variabel struktur (jam kerja ibu) dan variabel keyakinan (keyakinan seorang laki-laki dalam peran pengasuhan atau self efficacy ayah dalam pengasuhan). Keterlibatan ayah dan aksesibitas tidak dapat diprediksi dari konstruk mana pun.

b. Penelitian Collins (2004) dengan judul Husbands at Home: Determinants of Paternal Involvement in Single-Earner and Dual-Earner Families bertujuan untuk menguji hubungan antara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keterlibatan suami (penyesuaian dalam hubungan perkawinan, sikap peran jenis, dukungan sosial yang dirasakan, kompetensi pengasuhan yang dirasakan, status pekerjaan istri dan sikap peran jenis istri) dengan tiga level keterlibatan suami dalam pengasuhan anak usia prasekolah (interaction, accessibility, dan responsibility). Subjek penelitian berjumlah 94 pasangan suami dan istri yang memiliki anak usia 3- 5 tahun, dengan pembagian karakteristik, yaitu 44 adalah keluarga dual-earner dan 50 adalah keluarga single earner. Dengan menggunakan analisis regresi hirarki ditemukan bahwa karakteritik perkawinan, jam kerja istri, dan sikap peran jenis istri berkontribusi pada tiga level keterlibatan suami dalam pengasuhan anak.

Status pekerjaan istri memoderasi hubungan dukungan sosial yang dirasakan dan sikap peran jenis suami (ayah) dengan level tanggung jawab dalam pengasuhan. Dukungan sosial yang dirasakan suami berkontribusi signifikan kepada level interaksi dalam pengasuhan, yang ditambahkan melalui

(19)

karateristik pernikahan dan karakteristik istri. Karakteristik suami berkontribusi kepada tanggung jawab pengasuhan dengan melalui dukungan dari kaakteristik pernikahan, karakteristik istri, dan variabel dukungan sosial.

Status pekerjaan istri memoderasi hubungan antara dukungan sosial yang dirasakan suami dengan akses dalam pengasuhan suami (ayah).

c. Penelitian Abdullah (2009) dengan judul peran persepsi suami atas dukungan dari istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak usia anak-anak awal, dengan efikasi diri paternal sebagai mediator bertujuan untuk menguji peran persepsi suami atas dukungan dari istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak usia kanak-kanak awal dengan mediator efikasi diri paternal. Subjek penelitian berjumlah 206 orang ayah yang memiliki anak usia kanak-kanak awal dan tinggal serumah dengan anak dan istri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efikasi diri paternal mampu menjadi mediator yang baik untuk menjelaskan peran persepsi suami atas dukungan dari istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak usia kanak-kanak awal.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti belum menemukan penelitian yang lebih menekankan pada sikap terhadap peran gender dan efikasi diri paternal dalam memprediksi keterlibatan ayah pada pengasuhan anak usia dini dalam keluarga dual-earner.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku merokok remaja adalah orang tua... keluarga konservatif akan lebih sulit untuk terlibat dengan rokok atau

Bab ini berisikan pembahasan yang berisi tentang landasan teori yang berkaitan dengan tema yang diangkat, pertama yaitu pengertian anak usia pra sekolah, perkembangan

Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan menguraikan salah satu dari teori konseling individual yaitu mengenai teori RET (Rational Emotive Therapy) yang dikemukakan

Penelitian mengenai pola perilaku sedentari pada anak usia sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta masih belum banyak diteliti, oleh karena itu penulis merasa perlu

Peserta didik yang menempuh keahlian pekerja sosial diharapkan dapat memiliki keterampilan khususnya terkait pendampingan pengasuhan anak meliputi; pengasuhan dalam

Dengan kondisi yang demikian maka penelitian mengenai perilaku dan sikap kru kapal terhadap pelaksanaan kepatuhan ISM Code berdasarkan teori perilaku terencana

Nilai materialistik pada individu yang compulsive buying, dan bahwa secara signifikan perbedaan jenis kelamin dan faktor usia yang telah diamati, dikatakan bahwa semakin banyak

Setelah program berjalan dan dilakukan evaluasi, diketahui bahwa pengetahuan dan perilaku memberikan ASI eksklusif pada bayi hingga usia 6 bulan memiliki proporsi lebih