• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PADA LANSIA HIPERTENSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PADA LANSIA HIPERTENSI"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PADA LANSIA HIPERTENSI

SKRIPSI

ARIZKO JOEWANA PUTRA 201710230311283

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2021

(2)

SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PADA LANSIA HIPERTENSI

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Disusun Oleh:

Arizko Joewana Putra 201710230311283

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2021

(3)
(4)

i

(5)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya yang dilimpahkan penulis dapat menyelesaikan penelitian

“Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Untuk Mengurangi Kecemasan Pada Lansia Hipertensi” ini, sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam prosesnya, penulis juga banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang berlimpah kepada:

1. Bapak Muhammad Salis Yuniardi, M.Psi., Pd.D., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Ibu Diana Savitri Hidayati, S.Psi., M.Psi. selaku dosen wali kelas E-2017.

3. Ibu Hudaniah, S.Psi., M.Si. selaku Pembimbing 1 dalam memberikan arahan serta waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

4. Ibu Dian Caesaria Widyasari, S.Psi., M.Sc. selaku Pembimbing 2 yang memberikan dukungan, arahan, serta waktu nya kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

5. Ayah dan Ibu, yang selalu menyelipkan nama penulis dalam setiap doa-doanya. Hal ini merupakan kekuatan terbesar bagi penulis untuk terus memiliki motivasi dalam perkuliahan dan proses skripsi ini

6. Temanku Erinda dan Melano yang telah bersedia menjadi volunteer serta kak Ririn selaku terapis dalam penelitian ini sehingga pelaksanaan kegiatan dapat berjalan dan terselesaikan dengan baik.

7. Teman-temanku dari kelas psikologi E angkatan 2017

8. Ibu Ninuk yang memberikan curahan kasih sayang serta tidak pernah lepas mendoakan penulis agar selalu diberikan kelancaran dan kemudahan dalam menyelesaikan penelitian ini.

Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 19 Juli 2021

Penulis, Arizko Joewana Putra

(6)

iii DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

LANDASAN TEORI ... 5

Kecemasan ... 5

Faktor Pencetus ... 5

Faktor Predisposisi ... 5

Gejala Kecemasan ... 6

Terapi SEFT ... 7

Dasar Terapi SEFT ... 8

Aspek Kunci dalam SEFT ... 8

Keterkaitan antar variabel ... 9

Hipotesa ... 9

METODE PENELITIAN ... 9

Rancangan Penelitian ... 9

Subjek Penelitian ... 10

Variabel dan Instrumen Penelitian. ... 11

Prosedur dan Analisa Data ... 11

HASIL PENELITIAN... 12

DISKUSI ... 15

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 17

REFERENSI ... 18

LAMPIRAN ... 20

(7)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Respon Timbulnya Gangguan Kecemasan ... 6

Tabel 2. Rancangan Penelitian ... 10

Tabel 3. Karakteristik subjek ... 10

Tabel 4. Tingkat Kecemasan Pre Test, Post Test, dan Follow Up. ... 13

Tabel 5. Uji Asumsi ... 13

Tabel 6. Post Hoc Test ... 14

(8)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian ... 21

Lampiran 2. Surat Keterangan Plagiasi ... 22

Lampiran 3. Surat Verivikasi Hasil Penelitian ... 23

Lampiran 4. Informed consent ... 24

Lampiran 5. Uji Normalitas Kecemasan dan Tekanan Darah ... 26

Lampiran 6. Blueprint GAS ... 27

Lampiran 7. Tabulasi Pretest ... 29

Lampiran 8. Tabulasi Posttest ... 29

Lampiran 9. Tabulasi Followup ... 30

Lampiran 10. Lembar Observasi ... 31

Lampiran 11. Modul Intervensi ... 33

Lampiran 12. Informed Consent ... 43

Lampiran 13. Foto Kegiatan ... 45

(9)

1

SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PADA LANSIA HIPERTENSI

Arizko Joewana Putra

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang arizkoputra@gmail.com

ABSTRAK

Gangguan kecemasan adalah gangguan psikologis yang paling sering dialami oleh orang berusia 65 tahun keatas atau lansia. Kecemasan merupakan suatu kondisi ketidakberdayaan neurotik, perasaan terancam, tidak matang dalam bertindak, merasa tidak berdaya menghadapi tuntutan kehidupan yang dialami oleh individu. Selain itu, kondisi penyerta lansia yang mengalami kecemasan adalah masalah hipertensi yang secara otomatis mengaktifkan sistem saraf simpatik, meningkatnya cardiac output, kontraksi pada saluran darah, dan meningkatkan tekanan darah arteri. Terapi SEFT merupakan suatu teknik terapi relaksasi berdasarkan keseimbangan energi psikologi yang dapat digunakan untuk penyembuhan gangguan kognitif, psikis, maupun fisik. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efektivitas pemberian terapi SEFT untuk menurunkan tingkat kecemasan pada lansia yang menderita hipertensi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain One-group pretest-posttest design dan penambahan follow up satu bulan pasca terapi. Subjek pada penelitian ini berjumlah delapan subjek dengan tingkat kecemasan ringan hingga berat disertai hipertensi. Instrumen yang dipakai ialah Geriatric Anxiety Scale (GAS) untuk mengukur kecemasan. Menggunakan analisis Repeated Measure Anova, hasil penelitian menunjukkan terapi SEFT efektif menurunkan tingkat kecemasan secara signifikan selama proses penerapan terapi (p = 0.002, ω² = 0.253), tetapi efek penurunan kecemasan tidak menetap sebulan setelah terapi berakhir.

Kata kunci: Kecemasan, Hipertensi, Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)

Anxiety disorders are a part of psychological disorders that are often experienced by elderly aged 65 years and over. Anxiety is a condition of neurotic powerlessness, feeling threatened, immature in acting, feeling powerless to face the demands of life experienced by individuals.

The physical comorbidity of the anxious elderly is hypertension which automatically activates the sympathetic nervous system, increasing cardiac output, contraction of blood vessels, and arterial blood pressure. SEFT therapy is a therapeutic technique to treat cognitive disorders, psychic, and physically using the psychological energy approach. This study aimed to investigate the effectiveness of SEFT therapy in reducing anxiety levels among the elderly with hypertension. This study is an experimental study with One-group pretest-posttest design and a one-month follow-up post-therapy. A total of eight elderly with hypertension and mild to severe levels of anxiety participated in this study. The Geriatric Anxiety Scale (GAS) was used to measure the anxiety level. Based on the Repeated Measure Anova, the findings showed a significantly lower level of anxiety after receiving SEFT therapy (p = 0.002, ω²= 0.253).

However, the change in anxiety level has not lasted.

Keywords: Anxiety, Hypertension, Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)

Orang yang berusia diatas 60 tahun atau biasa disebut lanjut usia (lansia) rentan mengalami berbagai macam gangguan psikologis. Pada usia tersebut, gangguan psikologis yang paling umum terjadi pada lansia adalah gangguan kecemasan. Yusuf (2009) menyebutkan cemas

(10)

2

merupakan kondisi ketidakberdayaan neurotik, perasaan terancam, tidak matang, merasa kesulitan dalam menghadapi tuntutan kehidupan, dan tekanan yang dialami dalam hidupnya.

Bandelow & Michaelis S (2017) mengungkapkan bahwa kecemasan adalah gangguan psikologis yang sangat universal serta berhubungan dengan tipe penyakit berat lainnya. Hingga saat ini gangguan kecemasan, depresi, dan demensia tetap menjadi gangguan mental yang sering dialami seseorang saat usia tua diatas 65 tahun.

PENDAHULUAN

Heningsih (2014) menyebutkan prevalensi gangguan kecemasan khususnya di negara berkembang seperti Indonesia pada lansia sebanyak 50%. Di Indonesia, terdapat sekitar 39 juta jiwa dari 238 juta jiwa penduduk mempunyai permasalahan terkait kecemasannya. Kecemasan ditimbulkan karena adanya sumber ancaman yang meliputi gangguan terhadap kebutuhan pangan, perlakuan orang lain atas diri, kebutuhan seks, dan merasa bahwa keselamatan dirinya sedang terancaman seperti kehilangan integritas diri, tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain dan ketidaksesuaian pemikiran diri dengan lingkungan nyata (Suliswati, 2010). Lansia seharusnya hidup damai dan sejahtera dengan menikmati hasil jerih payah serta pencapaiannya pada masa muda. Namun pada kenyataannya, sering ditemui lansia yang mengalami cemas akan kondisinya saat ini seperti misal perekonomian yang melemah serta perubahan- perubahan biologis yang terjadi pada dirinya (Pramana, 2016).

Gangguan kecemasan yang dialami oleh lansia memiliki gejala antara lain adalah perasaan khawatir yang tidak rasional terhadap kejadian yang belum tentu terjadi, insomnia, perasaan sensitif dan mudah emosi, sering mengeluh dan takut akan penyakit kronis yang akan menimpa dirinya serta sering mengalami rasa panik terhadap suatu permasalahan. Selain gejala psikologis, menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, lansia yang mengalami kecemasan akan mengalami kondisi penyerta berupa peningkatan tekanan darah atau hipertensi, serta berpengaruh terhadap konsentrasi yang akan meningkatkan berbagai resiko kesehatan lainnya serta dapat mengganggu sistem imun tubuh (Maryam, 2012).

Hipertensi adalah suatu kondisi peningkatan tekanan darah seseorang yang berada diatas normal. Standar di Indonesia, seseorang bisa dikatakan mengalami hipertensi apabila mempunyai tekanan darah sama dengan atau lebih dari 140/90 mmHg. Hipertensi merupakan ancaman yang serius serta menjadi salah satu dari sepuluh penyakit kronis pada lansia.

Hipertensi merupakan faktor primer untuk penyakit kardiovaskular serta kematian pada lansia.

Lewis et. al yang dikutip dari (Dewi, 2019) menjelaskan bahwasannya penyakit hipertensi dikatakan menjadi “silent killer” karena seringkali timbul tanpa disertai tanda-tanda serius, tetapi secara tiba-tiba menjadi parah dan mengakibatkan komplikasi di organ tubuh lain.

Bura (2018) pada penelitiannya menyatakan adanya keterikatan terjadinya gangguan kecemasan dengan penderita hipertensi. Secara umum, gangguan kecemasan meningkat diiringi dengan peningkatan tekanan darah. Hal ini dikarenakan terjadinya resisten pada aktivitas saraf simpatik, sistem vaskular, model hemostasis, aktivitas plasma renin, serta gula dalam aliran darah di tubuh. Pertama, gangguan kecemasan terjadi saat tekanan darah meningkat dalam jangka yang pendek, kecemasan pada hal ini merupakan sebuah dampak dari white coat hypertension, yaitu jenis hipertensi yang disebabkan karena seseorang mengalami stres yang disebabkan berada pada kondisi medis tertentu serta merupakan tanda-tanda yang umum terjadi. Kedua, kecemasan terjadi disebabkan sistem renin angiotensin saling terhubung serta mengalami peningkatan sampai angiotensin II. Kecemasan jangka panjang bisa disebabkan oleh variabilitas vascular serta resistensi vaskuler persisten yang mengarah pada peningkatan tekanan darah atau hipertensi. Ketiga, beberapa penelitian eksperimen menerangkan bahwa

(11)

3

individu yang mempunyai gangguan kecemasan akan menunjukkan gejala psikologis yang berasal dari aktivitas simpatik, dan gangguan kecemasan mampu menstimulasi kegiatan arus keluar saraf simpatik dan reflek vasovagal.

Rozanski (dalam Pan et al, 2015) mengatakan bahwa saat seseorang yang mempunyai hipertensi mengalami kecemasan, secara otomatis akan terjadi peningkatan cardiac output, mengaktifkan sistem saraf simpatik, kontraksi saluran darah, serta meningkatnya tekanan darah.

Gejala tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi tubuh dan perubahan- perubahan biologis yang dapat memicu lansia merasakan takut yang tidak rasional serta mengalami kecemasan sebagai bentuk respon awal terhadap penyakit yang diderita (Brunner &

Suddarth, 2006). Kecemasan yang dialami oleh lansia akan diekspresikan melalui beberapa respon seperti respon fisik, sikap, kognitif, serta afektif. Respon fisik seperti tekanan darah meningkat atau bahkan menurun, sesak nafas, sulit berpikir realistis, gugup, mual, gelisah, sulit tidur, dan gangguan perkemihan. Respon sikap yang ditunjukan oleh seseorang dengan gangguan kecemasan seperti gelisah, badan kaku, mudah terkejut, bicara terburu-buru dan menarik diri dari lingkungan. Respon kognitif seperti sulit mengingat, kurang tanggap bila disuruh membuat memberikan penilaian, berpikir lambat, mudah bingung, serta takut terhadap kematian. Serta respon afektif seperti mudah terusik, pemarah, tegang, sensitif serta selalu waspada (Stuart, 2016).

Apabila kecemasan yang dialami lansia tidak segera diatasi dengan baik, maka akan menimbulkan dampak negatif bagi individu tersebut seperti akan menarik diri dari lingkungan, mengumpat, tidak mau berkomunikasi, hiperaktif, menangis tanpa alasan yang jelas, bicara berlebihan, bahkan bertindak agresif dengan menyerang orang lain menggunakan kalimat yang tidak pantas juga secara fisik (Brunner & Suddarth, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2017) mengungkapkan bahwa tingkat stres dan kecemasan dengan hipertensi pada lansia memiliki korelasi yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitiannya, jika tingkat stres serta kecemasan yang dialami lansia meningkat maka kejadian hipertensi yang mereka alami juga meningkat. Wei & Wang (2016) mengemukakan temuan serupa bahwa sekitar 12% orang yang menderita hipertensi mempunyai tanda-tanda kecemasan. Kecemasan merupakan salah satu faktor risiko hipertensi pada lansia sehingga perlu tindakan yang tepat untuk mengatasi gangguan kecemasan.

Menurut pandangan ilmu psikologi konvensional, untuk mengatasi permasalahan psikologi seseorang dapat dilakukan melalui pendekatan kognitif dan psikoanalisa. Klien akan diminta mengingat pengalaman masa lalunya (seringkali proses ini menyakitkan secara psikologis), menelusuri alam bawah sadar dan meluruskan cara berpikir dalam menyikapi trauma masa lalu.

Proses terapi tersebut biasa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Berbeda dengan teori tersebut, cabang ilmu energi psikologi menyatakan benar bahwa ingatan atau pengalaman masa lalu seseorang dapat menyebabkan gangguan psikologis, namun proses ini tidak berjalan secara langsung, melainkan terdapat proses antara atau yang disebut dengan

“Disruption of Body Energy System”. Terganggunya sistem energi inilah yang sebenarnya secara langsung menyebabkan gangguan emosi (Zainuddin, 2009).

Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) adalah sebuah teknik pengembangan dari EFT (Emotional Freedom Technique) yang diperkenalkan pertama kali oleh Ahmad Faiz Zainuddin pada akhir tahun 2005. Teknik ini menggabungkan unsur energi psikologi dan unsur spiritual.

Ritta Hag dan Rodney Woulfe yang menjadi pakar EFT berkata bahwa teknik SEFT lebih

(12)

4

efektif dibanding teknik EFT. Terapi SEFT merupakan suatu teknik terapi yang dapat digunakan sebagai penyembuhan gangguan kognitif, psikis, maupun fisik. Dalam terapi SEFT terdapat 15 teknik yang mendasarinya, yaitu: Neuro- Linguistic Programming (NLP), Systemic Desesitization, Psychoanalisa, Logotherapy, Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR), Sedona Method, Ericksonian Hypnosis, Provocative Therapy, Suggestion &

Affirmation, Creative Visualization, Relaxation & Meditation, Gestald Therapy, Energy Psychology, Powerful Prayer, serta Loving-Kindness Therapy.

Teknik relaksasi seperti SEFT didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis serta parasimpatis terbukti mampu menghambat stres dan kecemasan yang dialami seseorang sehingga tekanan darah tetap stabil, sebagai akibatnya proses relaksasi akan menjadikan seseorang merasa rileks dan tenang. Pada proses autoregulasi, teknik relaksasi mampu menurunkan tekanan darah dengan ditandainya penurunan denyut jantung serta Total Peripheral Resistance (Corwin, 2009).

Pelaksanaan terapi SEFT sekilas mirip dengan relaksasi, klien diminta duduk santai serta tenang mendalami perasaan sakitnya secara bertahap hingga rasa sakitnya semakin berkurang. Selain menggunakan pendekatan psikis dan emosional, SEFT juga dilakukan melalui pendekatan fisik, yaitu dengan melakukan ketukan ringan (tapping) pada titik-titik tertentu di tubuh klien.

Dengan melakukan stimulasi seperti melakukan ketukan secara ringan pada beberapa titik acupoint di tubuh, maka energi negatif akan lenyap dan secara otomatis gangguan yang dialami akan hilang (Feinstein & Ashland dalam Syah 2017). Pada SEFT terdapat metode tapping atau melakukan ketukan ringan pada titik acupoint. Church (2009) mengatakan saat proses tapping, proses perjalanan sinyal neurotransmitter ke otak mengalami peningkatan yang menyebabkan hypothalamic-pituitary-adrenal Axis (HPA axis) menurun, akibatnya produksi hormon adrenalin dan kortisol berkurang sehingga mengurangi tingkat kecemasan seseorang. Hal yang menjadi kunci atas keberhasilan terapi ini adalah aspek religiusitas klien, yaitu adanya perasaan khusyuk, syukur, pasrah, ikhlas serta keyakinan atas persoalan yang sedang dihadapi dapat diatasi oleh klien.

Penelitian awal yang dilakukan oleh Syah (2017) mengenai terapi SEFT untuk mengurangi kecemasan pada lansia di panti sosial Kabupaten Jombang memberikan bahwa sebelum dilakukannya terapi SEFT sebagian besar subyek mempunyai tingkat kecemasan ringan serta menunjukkan tanda-tanda seperti kehilangan kontrol diri, takut dihakimi orang lain, mudah marah, mengalami kesulitan berkonsentrasi, serta berkurangnya ketertarikan terhadap sesuatu yang disenangi. Tetapi sesudah diterapkannya terapi SEFT taraf kecemasan yang dialami lansia relatif menurun menjadi taraf normal dengan nilai signifikansi (p = 0,000) dimana nilai p sign

< 0,005. Penelitian lain yang membahas terkait SEFT dilakukan oleh Adawiyah (2016) yang berjudul Terapi SEFT Untuk Menurunkan Tingkat Stres Akademik Pada Siswa SMA di Pondok Pesantren menunjukkan perubahan signifikan dengan skor Z = -3.141 dan P = 0.002 (p < 0.05) yang berarti terapi SEFT mampu menurunkan tingkat stres akademik pada siswa SMA di pondok pesantren.

SEFT bisa dikatakan sebagai terapi relaksasi baru, sehingga harus banyak diujicobakan serta diterapkan dalam dunia pendidikan melalui penelitian untuk mengumpulkan bukti ilmiah efektifitas SEFT. Sesuai uraian di atas, didapat rumus persoalan yaitu apakah Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) mampu serta efektif untuk menurunkan kecemasan pada lansia yang menderita hipertensi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil dan keefektifan terapi SEFT untuk menurunkan tingkat kecemasan pada lansia yang menderita

(13)

5

hipertensi. Penelitian ini bermanfaat sebagai model intervensi pada lansia untuk menurunkan tingkat kecemasannya yang bisa diterapkan di berbagai pondok lansia atau panti sosial lansia agar kehidupan dan kesehatan mentalnya pada masa tua berkualitas serta sebagai studi literatur yang membahas terkait keefektifitasan terapi SEFT.

LANDASAN TEORI Kecemasan

Kecemasan diambil dari kata anxious, yang berarti penyempitan atau pencekikan. Cemas adalah bentuk respon emosi yang tidak memiliki suatu objek yang spesifik (Schwartz, 2000).

Kecemasan adalah bentuk negatif emosional seseorang yang ditandai dengan adanya bentuk ketegangan di tubuh, seperti berkeringat, jantung berdetak kencang, serta kesulitan bernapas.

Stuart (2016) mengartikan kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak spesifik, tidak menentu serta tidak berdaya menghadapi sesuatu hal. Senada dengan pendapat Stuart, Kartini Kartono (1989) berkata bahwa cemas adalah suatu bentuk ketakutan dan khawatir berlebih terhadap hal-hal yang tidak jelas objeknya. Kecemasan hampir mirip dengan rasa takut, yang menjadi pembeda adalah bahwa kecemasan memiliki fokus penekanan yang kurang jelas, sedangkan ketakutan umumnya berupa respon terhadap hal yang dianggap mengancam individu secara pribadi.

Faktor Pencetus

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab dari timbulnya gangguan kecemasan, dan faktor yang bisa mempengaruhi bertambah atau berkurangnya tingkat kecemasan seseorang.

Stuart menyebutkan faktor pencetus timbulnya kecemasan adalah biologis, psikologis, dan sosial budaya. Timbulnya kecemasan dari faktor biologis seperti permasalahan kesehatan tubuh yang secara fisik mengganggu individu, ditimbulkan oleh penyakit yang diderita maupun fungsi motorik ditandai dengan kemampuan beraktivitas yang semakin menurun. Ketika kesehatan fisik seseorang terganggu, secara otomatis kemampuan seseorang dalam mengatasi ancaman penyakit lainnya juga akan terganggu sehingga menimbulkan rasa cemas di seseorang terkait dengan kesehatan dirinya. Kemudian faktor psikologis berupa bentuk ancaman yang dari asal luar individu yang bisa menyebabkan terjadinya kecemasan seperti kehilangan seseorang yang dicintainya, bercerai dengan pasangan, dan permasalahan dunia kerja. Sedangkan bentuk ancaman dari dalam diri yang bisa mengakibatkan gangguan kecemasan di individu seperti hubungan interpersonal dalam rumah tangga yang kurang harmonis, kurang menguasai kiprah menjadi seseorang pasangan, serta self control yang kurang baik. Status sosial ekonomi seseorang dapat menjadi stimulan terjadinya gangguan kecemasan. Seseorang yang memiliki kekuatan ekonomi menengah ke atas akan sulit mengalami kecemasan daripada orang yang mempunyai kekuatan ekonomi kelas menengah kebawah. Secara tidak langsung, hal tersebut berpengaruh terhadap pergaulan sosial serta diketahui bahwa hubungan sosial seseorang yang memiliki tingkat ekonomi tinggi lebih berkualitas sehingga presentasi terjadinya kecemasan pada seseorang terkait status ekonomi menengah ke atas lebih rendah.

Faktor Predisposisi

Selain faktor pencetus timbulnya gangguan kecemasan di seseorang, ada faktor predisposisi atau faktor yang mempengaruhi individu terkait cara mengatasi gangguan kecemasan sehingga mampu mengurangi atau justru menambah tingkat kecemasan yang dialami individu tersebut.

Faktor tersebut dari asal faktor biologis, psikologis, dan sosial budaya. Faktor biologis berkaitan dengan ekspresi emosi seseorang, struktur anatomi di dalam otak, serta adanya pengaruh neurotransmitter yang bisa mengakibatkan terjadinya kecemasan pada seseorang. Terdapat tiga jenis neurotransmitter yang berhubungan dengan anatomi otak yang dapat mempengaruhi kecemasan seseorang yaitu norepinefrin, serotonin dan Gamma-Aminobutyric Acid (GABA).

Pada faktor psikologis, teori psikodinamika mengatakan faktor yang mempengaruhi kecemasan

(14)

6

pada seseorang adalah terjadinya konflik emosional id dan superego. Sedangkan Suliswati (dalam Donsu, 2017) mengungkapkan bentuk ketegangan yang menjadi stimulan terjadinya kecemasan pada seseorang diantaranya ialah tragedi masa lalu yang kemudian membuat trauma individu tersebut, penyelesaian konflik emosional yang kurang baik, serta self concept yang terganggu. Pada lingkup sosial budaya, adanya salah satu atau beberapa anggota keluarga yang memiliki riwayat gangguan kecemasan akan mempengaruhi bentuk coping individu dalam bereaksi terhadap konflik terkait cara mengatasi gangguan kecemasan yang dialami.

Gejala Kecemasan

Indikasi serta gejala kecemasan pada setiap individu berbeda, Hawari (2001) menyebutkan secara umum gejala yang paling sering ditunjukkan oleh seseorang ketika mengalami kecemasan meliputi gangguan kognitif berkaitan dengan konsentrasi dan daya ingat; gangguan pada pola tidur seperti insomnia, tidur tidak nyenyak, serta sering mengalami mimpi buruk;

gejala psikologis seperti rasa khawatir berlebih, berprasangka buruk terhadap suatu hal, takut terhadap pikirannya sendiri, mudah tersinggung, gelisah, dan mudah terkejut; gejala somatik seperti rasa nyeri pada tulang dan persendian, jantung berdebar, pusing, gangguan pencernaan, tangan berkeringat, serta gangguan perkemihan.

Sedangkan Stuart (2016) menyebutkan bahwa seseorang yang mengalami gangguan kecemasan akan muncul berbagai respon pada aktivitas fisik, perilaku, dan kognitif serta afektif. Berikut tabel rinci mengenai respon-respon tersebut:

Tabel 1. Respon Timbulnya Gangguan Kecemasan

Respon Timbulnya Kecemasan (Stuart, 2016)

Respon.Fisik 1) Sistem kardiovaskuler.seperti mengalami perubahan tekanan darah yang tidak stabil, denyut nadi melemah

2) Sistem pernafasan seperti merasakan sesak nafas, nafas terengah- engah

3) Sistem gastrointestinal seperti,gangguan pada pencernaan meliputi mual, diare, serta kehilangan nafsu makan

4) Sistem .neuromuskuler seperti sering sakit kepala dan insomnia 5) Sistem traktus urinarius seperti selalu merasakan ingin buang air.

6) Kulit seperti.keluar keringat dingin secara tiba-tiba, kulit gatal, serta wajah kemerahan.

Respon.Perilaku Sulit untuk duduk diam, badan gemetar, mudah terkejut, berbicara cepat dan tidak jelas, menarik diri dari lingkungan serta menghindari ketika ada masalah.

Respon.Kognitif Sulit berkonsentrasi, daya ingat menurun, sulit memberi penilaian, lamban berpikir, tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat Respon.Afektif Bersifat agresif, emosional, gelisah, khawatir hal-hal buruk menimpa,

perasaan bersalah serta malu

Terdapat beberapa jenis gangguan kecemasan. Freud membedakan kecemasan dalam tiga jenis, yaitu kecemasan neurosis, kecemasan moral, dan kecemasan realistik. Kecemasan neurosis adalah rasa cemas yang timbul sebagai efek adanya ancaman dari sesuatu hal yang tidak jelas.

Kecemasan neurosis lebih mengarah pada rasa cemas terhadap konsekuensi yang kemungkinan didapat apabila id dilakukan. Kecemasan neurosis terjadi akibat terjadinya konflik antara elemen kepribadian ego dan superego. Kecemasan ini muncul akibat adanya keraguan atas

(15)

7

keyakinan bahwa sesuatu hal adalah benar secara moral. Kecemasan moral bisa dikatakan sebagai rasa takut terhadap suara-suara yang timbul dalam hati secara naluriah. Contoh kecemasan moral dalam sebuah realitas seperti individu pernah pernah melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan norma moral sehingga mendapatkan hukuman dan merasa khawatir akan mendapat hukuman serupa apabila melakukannya lagi. Kecemasan realistik merupakan perasaan yang tidak menyenangkan serta tidak jelas yang mengarah pada kemungkinan terhadap bahaya itu sendiri yang berasal dari luar individu tersebut.

Stuart (2016) membagi tingkat kecemasan menjadi empat, yaitu cemas ringan, cemas sedang, cemas berat, dan tingkat panik. Cemas ringan terjadi ketika seseorang mengalami ketegangan hidup. Ketika seseorang mengalami tingkat kecemasan ringan maka akan meningkatkan kewaspadaan, lapang persepsi, kemampuan panca indera serta kemampuan kognitif yang lebih baik daripada sebelumnya. Dengan demikian, jenis kecemasan ringan menjadikan individu termotivasi untuk belajar dan mengembangkan kreativitasnya. Cemas sedang ditandai dengan individu lebih memfokuskan pikiran pada hal yang dianggapnya penting dan mengesampingkan hal lain. pada tingkat ini lapang persepsi individu mengalami proses selektif serta terjadi penyempitan namun masih dapat fokus pada beberapa objek dengan arahan yang tepat. Kecemasan berat menyebabkan lapang persepsi individu turun secara drastis. Pada tingkat ini, seseorang cenderung fokus terhadap sesuatu yang menurutnya jelas serta mengesampingkan objek lain. Hal tersebut dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan rasa cemas yang dialaminya, dan pada tingkatan ini seseorang memerlukan arahan khusus untuk fokus pada objek lain. Kemudian pada tingkat panik yang identik dengan rasa takut dan teror yang dialami.

Kepanikan menyebabkan ketidakmampuan pada beberapa orang untuk melakukan sesuatu dengan benar bahkan dengan metode yang sederhana. Kepanikan menyebabkan kepribadian seseorang menjadi terganggu, meningkatkan sistem motorik seseorang, menurunnya minat untuk melakukan hubungan sosial, penyimpangan persepsi moral, dan berpikir irasional.

Gangguan kecemasan terjadi sebagai manifestasi alami dari penyakit lain yang diderita seperti epilepsi, hipoglikemia, asma, migraine, tirotoksikosis, dan disfungsi organ tubuh. Sehingga kecemasan timbul sebagai respon terhadap stres, termasuk dalam situasi ketidakpastian yang tinggi, misalnya ketika seseorang menderita penyakit somatik, menjalani rawat inap, atau saat menunggu hasil laboratorium (Stein, 2006). Gambaran manifestasi klinis kecemasan pada usia tua ditandai dengan adanya gangguan kognitif, reaksi-reaksi afektif seperti ketakutan dan disforia, dan manifestasi somatik dari kecemasan seperti sesak napas atau takikardia (Cryan, 2011). Studi tentang hubungan antara kecemasan dan gangguan kognitif menunjukkan bahwa pada beberapa pasien, kecemasan bukan merupakan faktor risiko penurunan kognitif, tetapi lebih mencerminkan respon seseorang, cemas tentang keterbatasan kemampuan kognitifnya yang semakin meningkat.

Terapi SEFT

Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) adalah sebuah terapi berbasis energi psikologi yang dikombinasikan dengan kekuatan spiritual yang didalamnya terdapat sejumlah teknik ketukan (tapping) pada titik meridian tubuh sambil berdoa pada Tuhan (Zainuddin, 2009). SEFT merupakan pengembangan dari terapi psikologi EFT. Sehingga acuan dasar dalam SEFT mirip dengan EFT yaitu energi psikologi dengan memadukan unsur doa, keikhlasan, kepasrahan dan spiritualitas. Penambahan kekuatan spiritual dalam terapi SEFT mampu menghasilkan hasil yang berlipat ganda pada EFT (Zainuddin, 2009). Kekuatan spiritual bertujuan untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Frankl (2009) menjelaskan bahwa

(16)

8

seseorang yang ingin sembuh dari permasalahan psikologis dan ingin bahagia maka seseorang perlu memaknai suatu kejadian dalam hidup yang dihadapi dengan sisi positif seperti memaknai dari sudut pandang spiritualitas. Spiritualitas merupakan unsur dominan dalam menentukan suatu kebahagiaan seseorang. Tahapan di dalam SEFT seperti set up, tune in, dan tapping sebagai pembelajaran untuk individu agar bersikap ikhlas dan pasrah terkait permasalahan yang dihadapi serta menyerahkannya kepada Tuhan. Dengan begitu, melalui terapi SEFT seseorang akan terbebas dari persoalan psikologis seperti gangguan kecemasan sehingga mampu mencapai kebahagiaan dalam hidup.

Dasar Terapi SEFT

Acuan dasar dari SEFT adalah energi psikologi yang merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang memiliki prinsip serta teknik yang berfokus pada sistem energi di tubuh untuk mengatasi permasalahan psikologis yang berkaitan dengan kondisi pikiran, emosi, dan perilaku seseorang agar lebih baik. Asumsi dari teori energi psikologi yaitu bahwa pada setiap tubuh manusia terdapat sebuah sistem energi yang berperan mengontrol seluruh sistem fisik maupun psikis manusia yang terdiri dari beberapa unsur yaitu chi, beberapa titik acupoint yang berada di tubuh manusia yang berfungsi sebagai inti pembentuk energi dan menyuplai ke seluruh sel pada tubuh seseorang, serta jalur meridian tubuh sebanyak 365 jalur sebagai tempat mengalirnya chi. Menurut teori energi psikologi, permasalahan atau suatu gangguan baik fisik maupun psikis pada seseorang terjadi dikarenakan pembuluh meridian tempat mengalirnya chi terhambat oleh energi negatif. Sehingga, ketika seseorang mengalami gangguan psikis seperti kecemasan berarti terdapat suatu hambatan pada jalur meridian oleh energi negatif.

Terdapat dua versi dalam terapi SEFT, yang pertama yaitu terapi SEFT dapat dilakukan secara ringkas dan yang kedua dilakukan secara lengkap. Keduanya memiliki tahapan yang sama, perbedaannya hanya terdapat pada tahap yang ketiga yaitu tapping. Dimana pada versi ringkas proses tapping hanya.dilakukan pada 9 titik acupoint, sedangkan pada versi lengkap proses tapping dilakukan pada 18 titik acupoint. Berikut tahapan dalam melakukan SEFT (Zainuddin, 2009):

1. Set-up. Pada tahap ini klien diminta mengidentifikasi permasalahannya dan berdoa sambil menekan titik sore spot (terletak dibagian dada atas) atau karate chop (titik pada tangan) dengan mengingat mengingat persoalan yang dihadapi. Tujuan dari tahap ini adalah menetralisir energi negatif yang ada pada tubuh. Adapun susunan dalam melakukan set up yaitu mengucap kalimat seperti “Ya Allah, meskipun saya sering merasa kesepian karena saya hidup sendiri, saya ikhlas, saya berserah padaMu sepenuhnya”.

2. Tune-in. Dimana klien diminta membayangkan peristiwa yang membangkitkan emosi negatif yang ingin dihilangkan sambil mengulang kata pengingat yang menggambarkan emosi negatif. Biasanya diambil dari kalimat set up seperti “Saya sangat kesepian karena hidup sebatang kara” sembari membayangkan kejadian tersebut.

3. Tapping. Pada tahap ini, terapis melakukan ketukan ringan dengan dua ujung jari telunjuk dan jari tengah pada titik acupoint sebanyak kurang lebih tujuh kali ketukan.

Selama proses tapping klien terus melakukan hal yang sama ketika tune-in yaitu membayangkan kejadian yang memunculkan emosi negatif serta berdoa secara khusyuk seperti “Ya Allah saya ikhlas, saya pasrah padaMu”. Ketika titik acupoint diketuk beberapa kali aliran energi di tubuh akan kembali normal dan seimbang sehingga secara otomatis permasalahan psikologis maupun fisik klien akan ternetralisir. Tahap tapping diakhiri dengan menghirup udara melalui hidung lalu menghembuskannya secara perlahan melalui mulut sambil mengucap syukur.

Aspek Kunci dalam SEFT

(17)

9

Terdapat lima aspek kunci keberhasilan terapi SEFT yaitu aspek yakin, syukur, kekhusyukan subjek, aspek keikhlasan subjek atas permasalahan atau kondisi saat ini, serta aspek pasrah atau berserah diri kepada Tuhan terkait kesembuhannya (Zainuddin, 2009). Selama proses terapi berlangsung, khususnya saat melakukan set-up, pengguna SEFT harus berkonsentrasi penuh serta khusyuk berdoa pada Tuhan dengan rendah hati. Rasa yakin mencakup keyakinan pada Maha KuasaNya Tuhan dan Maha Sayangnya Tuhan pada diri sendiri. Seseorang perlu memiliki rasa syukur terhadap apa yang ia miliki dan banyak hal lain dalam hidup yang masih baik dan sehat. Aspek khusyuk sangat penting selama terapi berlangsung dan menjadi kunci utama agar memperoleh hasil yang diinginkan. Maka dari itu selama proses terapi berlangsung subjek ditekankan untuk menghilangkan pikiran lain dan berkonsentrasi penuh terhadap kalimat yang diucapkan saat melakukan set up. Yang selanjutnya adalah ikhlas menerima rasa sakit yang dialami baik secara fisik maupun psikologis dengan sepenuh hati. Perasaan ikhlas menerima rasa sakit yang dialami juga sebagai jembatan permohonan ampunan atas segala dosa yang pernah dilakukan sebelumnya sehingga hati kembali suci. Saat seseorang memberontak, menolak rasa sakit yang dialami maka akan sulit untuk mencapai kesembuhan. Yang ketiga adalah pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan dan yakin bahwa permasalahan yang dialami ada dalam genggamanNya maka pikiran menjadi damai serta jiwa menjadi tenang.

Keterkaitan antar variabel

Berdasarkan kajian teoritis sebelumnya terdapat keterkaitan antar variabel penelitian. Brunner

& Suddarth (2006) menyatakan bahwa lansia yang memiliki riwayat hipertensi menunjukkan gejala fungsi beberapa organ tubuhnya menurun serta mengubah status sehat menjadi sakit.

Pada saat itu, lansia menunjukkan respon awal terhadap penyakit yang diderita seperti rasa khawatir berlebihan dan cemas. Menurut Nugroho (2008) kecemasan pada lansia dapat terjadi ketika tidak mampu menemukan solusi untuk permasalahan psikologis maupun perubahan kondisi fisik yang terjadi sehingga emosi menjadi tertekan dan menyebabkan berkumpulnya energi negatif didalam tubuh.

Cabang ilmu energi psikologi menyatakan gangguan psikologis atau penyakit yang dialami oleh seseorang disebabkan karena pembuluh meridian tempat mengalirnya chi yang terdapat hambatan oleh energi negatif. SEFT secara langsung berurusan dengan gangguan sistem energi tubuh melalui penerapan metode tapping atau ketukan pada titik meridian tubuh di sepanjang jalur meridian dengan fokus terapi yaitu memperbaiki gangguan sistem energi tubuh melalui pendekatan spiritual serta energi psikologi. Melalui metode tapping tersebut, lansia akan merasa lebih rileks karena ketukan yang berulang dalam kondisi psikologis yang lebih khusyuk, bersyukur, pasrah dan ikhlas kepada Tuhan. Kombinasi ketukan relaksasi dan berserah diri kepada Tuhan akan menetralisasi energi negatif atau rasa sakit yang ada dalam tubuh dan menjadikan pikiran menjadi positif sehingga gangguan kecemasan yang dialami oleh lansia dapat teratasi melalui terapi SEFT (Zainuddin, 2009).

Hipotesa

Teknik Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) mampu serta signifikan mengurangi tingkat kecemasan pada lansia hipertensi.

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

(18)

10

Pada penelitian ini peneliti menggunakan desain penelitian eksperimen yaitu One-group pretest-posttest design serta penambahan follow up. Penambahan follow up yang dilakukan satu bulan pasca terapi ditujukan untuk mengetahui seberapa efektif terapi SEFT mampu mengurangi kecemasan subjek sehingga landasan untuk membuat komparasi tingkat kecemasan subjek saat sebelum, sesudah, dan ketika satu bulan pasca terapi diberikan perlakuan lebih optimal. Dalam desain ini, subjek diberikan pretest (tes awal) sebelum diberikan perlakuan. Dilanjut memberi perlakuan kepada subjek dan diakhiri dengan pemberian post test (tes akhir) dan follow up terkait dengan tingkat kecemasan subjek.

Tabel 2. Rancangan Penelitian

O1 X O2 O3

Keterangan:

O1 : Pengukuran tingkat kecemasan/pretest.

X : Perlakuan dalam bentuk terapi SEFT O2 : Pengukuran tingkat kecemasan/ posttest

O3 : Pengukuran tingkat kecemasan/ bentuk follow up Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini merupakan seseorang yang berusia 60 tahun keatas atau lansia.

Pengambilan subjek menggunakan purposive sampling.yaitu lansia yang memiliki riwayat hipertensi ditunjukkan dengan skor tekanan darah sama dengan atau diatas 140/90 mmHg, mampu berkomunikasi dengan baik, bersedia berpartisipasi dalam penelitian, serta memiliki tingkat kecemasan ringan hingga berat. Selanjutnya subjek dengan tingkat kecemasan diatas yang diukur menggunakan skala pengukuran kecemasan Geriatric Anxiety Scale (GAS) dan dimintai kesediaannya untuk berpartisipasi sebagai subjek penelitian dengan mengisi informed consent.diperoleh data sebanyak 11 subjek, dimana terdapat 3 subjek yang gugur dikarenakan tidak memenuhi kriteria penelitian sehingga sampel yang tersisa sebanyak 8 orang. Data karakteristik subjek akan dirangkum dalam tabel dibawah ini:

Tabel 3. Karakteristik subjek

Nama Gender (L/P)

Usia Pekerjaan Pend. Terakhir Agama

S 1 P 73 Petani Sekolah Dasar Islam

S 2 P 75 Petani Sekolah Dasar Islam

S 3 P 60 Petani Sekolah Dasar Islam

S 4 P 73 Petani Sekolah Dasar Islam

S 5 P 63 Petani Sekolah Dasar Islam

S 6 P 63 Petani Sekolah Dasar Islam

S 7 P 69 Petani Sekolah Dasar Islam

S 8 P 67 Petani Sekolah Dasar Islam

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada penelitian ini kedelapan subjek berjenis kelamin perempuan berusia 60 sampai 75 tahun. Laka (2018) mengungkapkan perempuan memiliki hubungan sosial yang lebih luas dan lebih erat dengan lingkungan serta memiliki sensitifitas lebih terhadap emosinya dibandingkan laki-laki sehingga perempuan rentan

(19)

11

mengalami kecemasan. Selain itu, teknik kontrol konstansi dilakukan pada karakteristik gender, pekerjaan, pendidikan terakhir dan agama subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini.

Variabel dan Instrumen Penelitian.

Variabel dalam penelitian ini yaitu terapi SEFT sebagai variabel bebas (X) dan Kecemasan sebagai variabel terikat (Y). SEFT yang menjadi variabel X merupakan terapi yang diberikan pada lansia sebagai bentuk perlakuan pada penelitian eksperimen. Terapi SEFT merupakan salah satu terapi psikologi berbasis energi psikologi yang dikombinasikan dengan kekuatan spiritual yang didalamnya terdapat sejumlah teknik ketukan (tapping) pada titik meridian tubuh sambil berdoa pada Tuhan (Zainuddin, 2009). SEFT merupakan pengembangan dari terapi psikologi EFT. Sehingga acuan dasar dalam SEFT mirip dengan EFT yaitu energi psikologi dengan memadukan unsur doa, keikhlasan, kepasrahan dan spiritualitas. Terapi SEFT terdiri dari tiga sesi utama yaitu set up, tune in, dan tapping. Pada penelitian ini, terapis menggunakan versi SEFT secara lengkap yaitu melakukan teknik tapping pada 19 titik acupoint sehingga hasil yang didapat lebih maksimal.

Sedangkan kecemasan sebagai variabel Y merupakan kondisi perasaan prihatin, gelisah, tidak terarah, ketakutan terhadap kenyataan atau persepsi terhadap ancaman yang tidak diketahui secara spesifik (Stuart, 2016). Gambaran manifestasi klinis kecemasan pada usia tua ditandai dengan adanya gangguan kognitif, reaksi-reaksi afektif seperti ketakutan dan disforia, dan manifestasi somatik dari kecemasan seperti sesak napas atau takikardia (Cryan, 2011).

Alat ukur untuk mengukur kecemasan dalam penelitian ini adalah skala kecemasan Geriatric Anxiety Scale (GAS). Peneliti memilih alat ukur tersebut karena item dalam GAS dirancang khusus untuk mengukur kecemasan pada lansia. GAS dibuat berdasarkan gejala kecemasan dalam manual diagnostik dan statistik gangguan mental pada lansia yang cukup lengkap. Skala GAS secara khusus mengukur gejala kecemasan somatik, afektif, dan kognitif dimana gejala tersebut merupakan gejala kecemasan yang terjadi pada lansia. (Yochim, et al., dalam Syah, 2017). Dalam skala tersebut terdapat 25 item yang mengacu pada riwayat gejala yang terjadi pada lansia sejak satu minggu sebelumnya hingga saat ini. Alat ukur GAS menggunakan skala likert untuk pengerjaannya dimana masing-masing pertanyaan dari skala GAS memiliki empat poin yang menunjukkan skor 0 (tidak pernah), 1 (pernah), 2 (jarang), 3 (sering).

Selain menggunakan skala GAS, peneliti menggunakan modul SEFT yang sebelumnya dilakukan uji coba kepada satu subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian. Dari uji coba yang telah dilakukan maka nantinya akan memperoleh hasil apakah instruksi-instruksi yang ada di dalam modul dapat dipahami dengan mudah. Apabila sekiranya sulit dipahami maka akan dilakukan perbaikan dan penyederhanaan konten serta instruksi agar lebih mudah dipahami.

Prosedur dan Analisa Data

Pada penelitian ini, terdapat tiga prosedur utama penelitian, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan analisis

Persiapan. Peneliti melakukan pendalaman materi melalui kajian teoritik. Pendalaman materi berupa mempersiapkan alat ukur yang akan dipakai dengan menggunakan alat ukur GAS dari penelitian serupa serta telah memperoleh persetujuan dari peneliti sebelumnya untuk menggunakan alat ukur tersebut. Selanjutnya peneliti melakukan pengambilan data di lapangan

(20)

12

untuk mengidentifikasi subjek serta proses screening kepada subjek. Peneliti menggunakan teknik purposive sampling dengan beberapa kriteria diantaranya adalah seseorang yang berusia 60 tahun keatas atau lansia, memiliki kemampuan komunikasi yang baik, termasuk kategori hipertensi atau memiliki tekanan darah sama dengan atau lebih dari 140/90 mmHg, memiliki tingkat kecemasan ringan hingga tinggi, serta bersedia mengikuti kegiatan penelitian hingga selesai. Peneliti kemudian menyebarkan skala pada lansia yang sesuai dengan karakteristik subjek untuk mengukur tingkat kecemasannya. Untuk subjek yang mengalami kesulitan mengerjakan skala, akan dibantu oleh volunteer dalam penelitian ini.

Pelaksanaan. Setelah mendapatkan subjek yang sesuai dalam penelitian ini, peneliti menerapkan terapi SEFT kepada subjek sebagai bentuk perlakuan pada penelitian eksperimen ini. Sebelum dilakukannya terapi SEFT, subjek diminta untuk mengkonsumsi air mineral yang cukup agar terhindar dari resiko dehidrasi karena hal tersebut dapat menyebabkan hasil dari proses terapi menjadi kurang optimal. Setiap subjek kemudian diberikan perlakuan dengan mengikuti prosedur SEFT yaitu set up, tune in, dan tapping. Saat proses set up subjek diminta untuk duduk rileks dan mengucapkan kalimat set up,sambil menekan titik sore spot yang terletak di bagian dada atas yaitu yang jika ditekan terasa agak sakit. Pada proses tune in, subjek diminta untuk memikirkan dan membayangkan secara spesifik hal yang menjadi pencetus timbulnya kecemasan yang ingin dihilangkan sambil berdoa kepada Tuhan. Kemudian yang terakhir adalah proses tapping, yaitu memberikan stimulus dengan cara mengetuk ringan menggunakan dua ujung jari pada beberapa titik acupoint sebanyak kurang lebih tujuh kali ketukan, sambil membayangkan kejadian yang memunculkan emosi negatif serta berdoa secara khusyuk. Proses terapi diakhiri dengan menarik nafas melalui hidung dan dihembuskan melalui mulut secara perlahan sambil mengucap kalimat syukur sesuai kepercayaan subjek. Satu minggu setelah proses terapi tersebut selesai, subjek akan diberikan skala GAS sebagai bentuk lembar post test pada penelitian ini. Kemudian pada satu bulan berikutnya peneliti memberikan skala GAS kembali sebagai bentuk follow up terhadap hasil terapi yang telah dilakukan sebelumnya.

Tahap terakhir yaitu analisa. Peneliti melakukan analisis hasil yang didapatkan dari pengisian skala GAS oleh subjek. Analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berkaitan yaitu terapi SEFT dan kecemasan. Data-data yang telah diperoleh ketika melakukan pretest, post test dan follow up kemudian diinput dan diolah menggunakan JASP untuk dilakukan uji normalitas data. Setelah mengetahui data yang diperoleh bersifat normal kemudian peneliti melanjutkan analisis uji analisis repeated measure anova untuk mengetahui hasil dari eksperimen yang telah dilakukan.

HASIL PENELITIAN

Berikut akan dipaparkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 10 April hingga 22 Mei 2021:

(21)

13

Tabel 4. Tingkat Kecemasan Pre Test, Post Test, dan Follow Up.

Waktu pengukuran

Tingkat Kecemasan

Berat Mean Sedang Mean Ringan Mean Normal Mean

Pre-test 1 59.00 6 44.83 1 20.00

Post-test 2 41.00 4 29.50 2 12.50

Follow up 1 60.00 5 44.20 2 29.00

Descriptive

RM Factor 1 Mean SD N

Pretest Post test Follow up

43.500 12.000 8 28.125 11.874 8 42.375 11.211 8

Berdasarkan data dari tabel diatas diketahui bahwa saat sebelum dilakukan eksperimen, tingkat kecemasan yang mendominasi merupakan tingkat kecemasan sedang yang dialami oleh 6 subjek, 1 subjek dengan tingkat kecemasan ringan, dan 1 subjek dengan tingkat kecemasan berat. Setelah subjek mendapat perlakuan dan mengisi lembar post test, tingkat kecemasan sebagian besar subjek berada pada tingkat ringan yaitu sebanyak 4 subjek, pada tingkat kecemasan sedang terdapat dua subjek, dan pada taraf normal sebanyak 2 subjek. Sedangkan pada tahap follow up sebanyak 5 subjek berada pada tingkat kecemasan sedang, 2 subjek di tingkat kecemasan ringan, serta 1 subjek berada pada tingkat kecemasan berat. Berdasarkan data deskriptif setelah terapi SEFT, kecemasan subjek berada pada level paling rendah (M = 28.125; SD = 11.874) dan berbeda signifikan dengan sebelum (M = 43.5; SD = 12) dan satu bulan sesudah terapi SEFT (M = 42. 375; SD = 11.211).

Tabel 5. Uji Asumsi Test of Sphericity.

Mauchly’s

W Approx.X² dfSphericity p- value

Greenshouse- Geisser ε

Huynh- Feldt ε

Lower Bound ε

RM Factor 1 0.259 8.109 2 0.017 0.574 0.614 0.500

Berdasarkan uji asumsi diatas nilai p-value menunjukkan skor < 0.05 (p = 0.017) artinya asumsi sphericity tidak terpenuhi, maka peneliti menggunakan Greenhouse-Geisser correction. Hasilnya adalah dibawah ini:

(22)

14 Within Subjects Effects

Cases Sphericity Correction

Sum of

Squares df Mean Square F p ω²

RM Factor 1 None

1175.250 ᵃ 2.000 ᵃ 587.625 ᵃ 18.251

< .001 ᵃ 0.253 Greenhouse-

Geisser 1175.250 1.149 1023.150 18.251 0.002 0.253

Huynh-Feldt 1175.250 1.229 956.535 18.251 0.002 0.253

Residuals None 450.750 14.000 32.196

Greenhouse-

Geisser 450.750 8.041 56.059

Huynh-Feldt 450.750 8.601 52.409 Note. Type III Sum of Squares

ᵃ Mauchly's test of sphericity indicates that the assumption of sphericity is violated (p < .05).

Tes Mauchly’s sphericity menunjukkan hasil yang signifikan, maka dari itu digunakan Greenhouse-Geisser correction. Dari perhitungan analisis diatas, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kecemasan subjek dengan skor F (1175.250, 450.750) = 18.251, p = 0.002, ω² = 0.253.

Tabel 6. Post Hoc Test

Post Hoc Comparisons - RM Factor 1

Mean Difference SE T p bonf p holm

Level.1 Level.2 15.375 2.837 5.419 < .001 < .001

Level.3 1.125 2.837 0.397 1.000 0.698

Level.2 Level.3 -14.250 2.837 -5.023 < .001 < .001 Note. P-value adjusted for comparing a family of 3

Tes post hoc menggunakan Holm correction menunjukkan kecemasan mengalami perubahan.

Pada tahapan pretest-posttest kecemasan mengalami penurunan (Mdifference = 15.375, p <

0.001) dan pada tahapan posttest-follow up tingkat kecemasan subjek naik lagi (Mdifference = -14.25, p < 0.001)

(23)

15 DISKUSI

Penanganan gangguan kecemasan dapat dilakukan menggunakan berbagai metode yaitu dengan farmakoterapi, fitoterapi, serta terapi kognitif. Saat ini, untuk penanganan gangguan kecemasan pada pasien usia lanjut yang sering dijumpai adalah dengan penggunaan obat-obatan seperti benzodiazepine, trazodone, buspirone, pregabalin, antipigabalin, antihistamine, dan propanolol (Ougrin, 2011). Pemberian obat tersebut mampu memberikan hasil yang cepat.

Kecemasan yang dialami oleh pasien berusia 60 tahun keatas atau lansia tentunya perlu mempertimbangkan risiko ketergantungan dan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler lain pada lansia yang mengalami gangguan kecemasan (Levin, 2019). Pada lansia, penggunaan metode terapi kognitif cenderung menunjukkan keunggulan dibandingkan metode penggunaan obat (Hall, 2016).

Terapi SEFT merupakan suatu teknik terapi berbasis energi psikologi yang dapat digunakan untuk penyembuhan gangguan kognitif, psikis, maupun fisik. Sehingga berpotensi mampu untuk menurunkan tingkat kecemasan seseorang. Hal ini dikarenakan di dalam terapi SEFT subjek mendapat ketukan (tapping) pada titik meridian tubuh sepanjang jalur meridian tubuh yang dipadukan dengan unsur spiritualitas subjek yang mampu menghilangkan energi negatif dari tubuh seseorang seperti gangguan kecemasan (Feinstein & Ashland dalam Syah 2017).

Melalui tahapan terapi SEFT yang dimulai dengan set up dan tune in yang menyiapkan kondisi psikologis subjek untuk mengidentifikasi penyebab gangguan kecemasan sehingga fokus untuk berkonsentrasi terhadap hal tersebut. Dua tahapan ini membantu subjek menemukan permasalahan terkait dengan gangguan kecemasan yang ia alami, seperti yang terjadi pada beberapa subjek pada penelitian kali ini yang menyadari bahwa gangguan kecemasan yang dialami terkait dengan kondisi fisik yang semakin melemah, gangguan kesehatan seperti sakit punggung, hubungan sosial dengan teman dan keluarga yang kurang optimal, rasa kesepian serta khawatir terhadap kondisi di masa tua yang mengakibatkan timbulnya gejala hipertensi disertai dengan kecemasan. (Zainuddin, 2009).

Keseluruhan subjek mengalami gangguan kecemasan yang disebabkan terkait kesehatan fisik di usia tua. Stuart (2016) menyebutkan seseorang yang.memiliki gangguan pada kesehatan fisik akan berpengaruh terhadap kemampuannya dalam hal mengantisipasi ancaman penyakit lain sehingga dapat menimbulkan rasa cemas pada seseorang terkait kesehatannya. Sedangkan terdapat dua subjek yang mengalami gangguan kecemasan selain disebabkan faktor biologis juga disebabkan oleh faktor psikologis dimana subjek tersebut tinggal sendiri dirumah dan jauh dari anak serta kerabat sehingga menimbulkan perasaan kesepian serta takut akan kematian mendadak yang disebabkan oleh hipertensi yang dialaminya. Selain faktor biologis dan psikologis, gangguan kecemasan pada subyek juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan pekerjaan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Napitupulu (2019) menyatakan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang mudah mengalami cemas disebabkan minimnya pengetahuan tentang kecemasan dan cara mengatasinya. Tuntutan ekonomi seseorang juga dapat menyebabkan stres dan cemas. Hal tersebut disebabkan karena petani akan lebih banyak menghabiskan waktu di sawah atau ladang serta akan kembali ke rumah untuk istirahat atau melakukan pekerjaan lainnya untuk menyambung kebutuhan hidupnya dibuktikan sebanyak 20 responden (46,5%) di penelitiannya gangguan kecemasan dialami oleh petani.

Penelitian ini bertujuan mengetahui hasil serta keefektifan pemberian terapi SEFT untuk menurunkan tingkat kecemasan pada lansia yang menderita hipertensi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memperoleh hasil bahwa terapi Spiritual Emotional Freedom

(24)

16

Technique (SEFT) mampu menurunkan tingkat kecemasan pada keseluruhan subjek secara signifikan. Tingkat kecemasan yang dialami kedelapan subjek sebelum dilakukan terapi SEFT bervariasi mulai dari tingkat kecemasan ringan hingga berat disertai tekanan darah tinggi.

Setelah pemberian terapi SEFT, tingkat kecemasan subjek relatif menurun pada tingkat kecemasan normal hingga cemas sedang diikuti penurunan tekanan darah yang signifikan. Hal ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syah (2017) yang menunjukkan adanya penurunan tingkat kecemasan pasca pemberian terapi SEFT secara signifikan. Dari penelitian tersebut, sebanyak 23 subjek (71, 9%) mengalami penurunan tingkat kecemasan hingga tingkat normal. Dalam pelaksanaan, terapis melakukan ketukan (tapping) pada titik acupoint yang berhubungan dengan gangguan kecemasan yang dialami subjek dengan penambahan unsur spiritualitas didalamnya. Dengan begitu maka energi negatif dalam tubuh akan lenyap dan secara otomatis gangguan yang dialami akan hilang (Feinstein & Ashland dalam Syah 2017). Saat proses tapping berlangsung, proses perjalanan sinyal neurotransmitter menuju otak mengalami peningkatan yang mengakibatkan menurunnya hypothalamic- pituitary-adrenal Axis (HPA axis), akibatnya produksi hormon adrenalin dan kortisol berkurang sehingga tingkat kecemasan seseorang menurun (Church, 2009).

Namun, setelah satu bulan pasca terapi peneliti melakukan follow up kepada subjek dan didapatkan hasil tingkat kecemasan keseluruhan subjek kembali meningkat yang diikuti oleh peningkatan tekanan darah pada keenam subjek. Anwar (2009) menyatakan mayoritas penderita gangguan kecemasan dan stres akan diikuti dengan tekanan darah tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Uswandari (2017) menyatakan kejadian kecemasan memberikan sumbangan efektif terhadap kejadian hipertensi pada lansia sebesar 7, 07%.

Peningkatan kecemasan pada subjek disebabkan diantaranya oleh faktor kesehatan fisik, psikologis, dan sosial ekonomi subjek. Permasalahan kesehatan fisik pada seseorang merupakan suatu keadaan yang mengganggu individu secara nyata, disebabkan penyakit yang diderita maupun fungsi motorik ditandai dengan kemampuan beraktivitas yang semakin menurun. Permasalahan disfungsi motorik seperti sakit punggung, asam urat, nyeri dada yang dialami subjek merupakan keadaan yang secara fisik mengganggu individu dan menjadikannya menjadi salah satu faktor kecemasan kembali meningkat. Hal tersebut didukung oleh penelitian terdahulu oleh Laka (2018) yang menyatakan hasil bahwa kebanyakan lansia yang menderita hipertensi mengakibatkan menurunnya kemampuan motorik, diantaranya fungsi peredaran pada pembuluh darah terganggu serta berbagai faktor penyebab termasuk gangguan kecemasan.

Permasalahan psikologis yang berkaitan dengan hubungan sosial subjek yang semakin menurun dan adanya rasa kesepian menjadikan gangguan kecemasan yang dialami rentan meningkat.

Hal ini sejalan dengan pendapat Suliswati (dalam Donsu, 2017) yang menyebutkan terdapat beberapa ketegangan hidup yang dapat menimbulkan kecemasan seperti pengalaman traumatis individu, mengalami permasalahan emosional, dan adanya gangguan terhadap self concept individu tersebut.

Faktor predisposisi yang mempengaruhi keberhasilan SEFT sehingga terjadi ketidakstabilan tingkat kecemasan subjek ketika dilakukan follow up, yaitu yang pertama ialah perlawanan psikologis subjek dimana subjek masih cenderung mengkhawatirkan serta berpikir berlebihan terhadap hal-hal buruk yang akan menimpanya, yang kedua adalah subjek kurang fokus terhadap penyelesaian salah satu aspek yang menjadi pencetus timbulnya kecemasan, serta penerapan terapi SEFT yang membutuhkan orang lain yang lebih berpengalaman untuk menerapkan terapi secara rutin di rumah karena disaat orang lain yang melakukan terapi SEFT

(25)

17

kepada subjek maka energi yang ada pada kedua orang tersebut akan terhubung dan terjadi interaksi diantara keduanya sehingga energi positif pada tubuh subjek menjadi meningkat.

Selain faktor diatas, ada beberapa hal yang menjadikan terapi SEFT kurang efektif menurunkan tingkat kecemasan subjek pada penelitian ini yaitu subyek tidak khusyuk saat melakukan terapi dimana aspek khusyuk menjadi salah satu aspek kunci dalam keberhasilan SEFT. Penerapan terapi SEFT yang hanya satu kali dilakukan menjadi salah satu faktor penyebab kecemasan subyek kembali meningkat ketika proses followup. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Dr. Joaquin Andradae yang menerapkan sebuah energy therapy pada subjek dengan gangguan kecemasan berat sebanyak 12 sesi menunjukkan perubahan tingkat kecemasan semakin menurun secara signifikan dilihat menggunakan alat ukur objektif kecemasan digilized electroencephalogram (Zainuddin, 2009).

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan hasil penelitian, didapat kesimpulan bahwa terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) efektif menurunkan tingkat kecemasan secara signifikan pada lansia hipertensi. Hasil uji analisis menggunakan Repeated Measure Anova dengan skor p = 0.002.

Namun perubahan tingkat kecemasan tidak bertahan lama dimana tingkat kecemasan subjek kembali meningkat satu bulan setelah selesai rangkaian terapi.

Implikasi dari penelitian ini adalah terapi SEFT dapat digunakan sebagai alternatif untuk menurunkan tingkat kecemasan pada lansia yang dapat diterapkan di rumah secara mandiri atau oleh pengurus panti sosial lansia secara berkala sebagai upaya menjaga kesehatan mental lansia.

Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang memiliki topik penelitian terkait metode SEFT. Mempertimbangkan lingkungan dan kondisi psikologis subjek penelitian untuk lebih khusyuk, ikhlas, bersyukur, pasrah, serta yakin agar hasil yang didapatkan lebih efektif saat menjalani terapi SEFT. Sedangkan, saran untuk peneliti selanjutnya adalah menggunakan desain eksperimen dengan kelompok kontrol atau kelompok eksperimen yang diberi terapi lain sehingga dapat melakukan komparasi yang lebih meyakinkan terhadap efektivitas terapi SEFT. Mengontrol ketat karakteristik subjek, seperti jenis kelamin, status sosial, dan berbagai aspek lainnya. Melakukan kontrol ketat dengan melakukan pengkondisian lingkungan subjek ketika melakukan proses terapi agar subjek berkonsentrasi secara penuh, dan melakukan kontrol ketat terhadap variabel eksternal yang dapat mempengaruhi hasil eksperimen serta melakukan lebih dari satu kali sesi terapi agar hasil yang didapat menjadi lebih optimal,

(26)

18 REFERENSI

Alfie, J., & Cuffaro, P. (2019). Hypertension in the Elderly. Encyclopedia of Biomedical Gerontology.

Anwar, M. S. (2018). Terapi SEFT Untuk Mengurangi Stres Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar di Tulungagung. Tulungagung: IAIN Tulungagung.

Aronow, W. S. (2020). Managing Hypertension in the elderly: What’s new? American Journal of Preventive Cardiology, 141. doi:https://doi.org/10.1016/j.ajpc.2020.100001

Bandelow, B., & Michaelis, S. (2017). Treatment of anxiety disorders. Dialogues in Clinical Neuroscience, 19 . No. 2 .

Brunner, &. S. (2006). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bura, A. E. (2018). Gambaran Tingkat Kecemasan Pada Lansia Dengan Hipertensi di Puskesmas Nita Kabupaten Sikka NTT. Skripsi, Universitas Hasanuddin, Fakultas Keperawatan, Makassar.

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Cryan, J. F. (2011). The age of anxiety: role of animal models of anxio-lytic action in drug discovery. Br J Pharmacol, 164 (4), 1129-1161. doi:10.1111/j.1476-5381.2011.01362.x Dewi, N., & Purnomosidi, F. (2019). The Role Of Depression, Anxiety, and Stress Against

Hypertension In The Elderly. Psycho Idea, 17 No.2.

Dinas Kesehatan Provisi Jawa Timur. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012. Surabaya.

Donsu, J. T. (2017). Psikologi Keperawatan. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Hall, J., Kellett, S., Berrios, R., Bains, M., & Scott, S. (2016). Efficacy of cognitive behavioral therapy for generalized anxiety disorder in older adults: sys- tematic review, meta- analysis, and meta-regression. Am J Geriatr Psychiatry., XXIV (11), 1063-1073.

Hawari, D. (2001). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta: FKUI.

Heningsih. (2014). Sejahtera Diusia Senja. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hernandorena, I., Bailly , H., Piccoli , M., Beunardeau , M., Cohen , A., & Hanon , O. (2018).

Arterial hypertension in the elderly. Geriatric, 54–56. doi:https://doi.org/10.1016/j.

lpm.2018.11.011

Kartono, K. (1989). Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung: Mandar Maju.

Kemenkes RI. (2016). Profil Kesehatan RI 2015. Jakarta.

Levin, O., Chimagomedova, A. S., & Arefieva, A. (2019). Anxiety disorders in old age. Journal of Neurology and Psychiatry. S.S. Korsakov, v. 119, no. 6, 113-118.

doi:https://doi.org/10.17116/jnevro2019119061113

Linden, M., & Haupt, M. L. (2014). Linden M, Schermuly-Haupt ML. Definition, assessment and rate of psychotherapy side effects. World Psychiatry, XIII (3), 306-309.

doi:https://doi.org/10.1002/wps.20153

Gambar

Tabel 1. Respon Timbulnya Gangguan Kecemasan
Tabel 2. Rancangan Penelitian
Tabel 4. Tingkat Kecemasan Pre Test, Post Test, dan Follow Up.
Tabel 6. Post Hoc Test

Referensi

Dokumen terkait

Kedua jenis isolat bakteri mampu menghasilkan Indole Acetic Acid (IAA) tanpa menggunakan L- trytofan sebagai prekursor pada media pertumbuhannya.. Escherichia coli

Abdul Wahab Chasbullah Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya: PT Duta Aksara Mulia, Cet.. Fase keempat adalah perjuangan menuju independensi. Usaha-usaha yang dilakukan

Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa

Menurut penelitian yang sudah dilakukan, populasi gajah yang ada di Sumatera Utara hanya terdapat di daerah yang berbatasan dengan propinsi Riau di sebelah selatan dan

Analisis Daya Dukung Habitat dan Pemodelan Dinamika Populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus): Studi Kasus Di Kawasan Seblat Kabupaten Bengkulu

Analisis kandungan total fenolik, flavonoid dan tanin, penentuan aktivitas penangkal radikal bebas menggunakan metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhidrazil) dan metode

Timur lokasi prospeksi yang dipilih adalah Kambaratu dan sekitarnya yang secara admin- istratif berada di wilayah Kecamatan Haharu dan Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur

Jurnal Vektor Penyakit (Balai Litbang P2B2