• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Student-Teacher Relationships Terhadap Tipe-tipe School Engagement pada Siswa SMP 'Z' Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Student-Teacher Relationships Terhadap Tipe-tipe School Engagement pada Siswa SMP 'Z' Kota Bandung."

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

iii

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian “Pengaruh Student-Teacher Relationships terhadap Tipe-Tipe School Engagement pada siswa SMP „Z‟ Kota Bandung” bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh Student-Teacher Relationships (Pianta, 1999) terhadap tipe-tipe School Engagement (Fredricks, 2004) di SMP „Z‟ Kota Bandung.

Alat ukur School Engagement yang digunakan dibuat oleh Stefanus dan rekan (2013), diadaptasi untuk siswa SMP. Alat ukur Student-Teacher Relationships diterjemahkan dari alat ukur Pianta (1999), diadaptasi untuk diberikan pada siswa. Divalidasi ulang menggunakan SPSS 19 dengan rentang validitas dan reliabilitas Conflict 0.339-0.738 dan 0.835, Closeness 0.364-0.687 dan 0.808, Dependency 0.306-0.424 dan 0.515, Behavioral Engagement 0.303-0.627 dan 0.840, Emotional Engagement 0.305-0.683 dan 0.838, Cognitive Engagement 0.331-0.743 dan 0.888.

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara Student-Teacher Relationships terhadap ketiga tipe School Engagement pada siswa SMP „Z‟ Kota Bandung. Dari hasil perhitungan uji statistik regresi linear, pengaruh Student-Teacher Relationships pada tipe Behavioral Engagement sebesar 0.344, Emotional Engagement sebesar 0.421 dan pada tipe Cognitive Engagement sebesar 0.233, ketiganya menunjukkan nilai signifikansi ρ-value 0.000. Jadi ketika siswa mempersepsikan bahwa relasi mereka dengan guru Closeness, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap keterlibatan siswa SMP „Z‟ secara Behavioral, Emotional, dan Cognitive.

(2)

iv

Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

The study "Effects of Student-Teacher Relationships to Types of School

Engagement in junior high school students 'Z' Bandung" aims to gain an overview of

the influence of Student-Teacher Relationships (Pianta, 1999) to the types of School

Engagement (Fredricks, 2004) in SMP 'Z' Bandung.

School Engagement measuring instrument used was made by Stefanus and

colleagues (2013), adapted for junior high school students. Measuring instrument

Student-Teacher Relationships translated from the measuring instrument Pianta

(1999), adapted to be given to the students. Revalidated using SPSS 19 with the range

of validity and reliability of Conflict 0.339-0.738 and 0.835, Closeness 0.364-0.687

and 0.808, Dependency 0.306-0.424 and 0.515, Behavioral Engagement 0.303-0.627

and 0.840, Emotional Engagement 0.305-0.683 and 0.838, Cognitive Engagement

0.331 -0.743 and 0.888.

Based on the research results, it was concluded that there are significant

between the Student-Teacher Relationships of the three types of School Engagement

in junior high school students 'Z' Bandung. From the calculation of linear regression

statistical test, Student-Teacher Relationships influence on the type of Engagement

for 0.344 Behavioral, Emotional Engagement for 0.421 and on the type of Cognitive

Engagement of 0.233, all three showed significant value ρ-value of 0.000. So when students perceive that their relationships with teachers closeness, then it will affect

the involvement of junior high school students 'Z' in Behavioral, Emotional, and

Cognitive.

For further research, it is advisable to explore further on the relationship

between the types of School Engagement thus seen how the relationship between the

three. For principals suggested doing teacher training to improve the ability to relate

(3)

vii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN………...………..……….…… ii

ABSTRACT………..……….. iii

ABSTRAK………..……...……… iv

KATA PENGANTAR………...……..…. v

DAFTAR ISI………...…..… vii DAFTAR TABEL………..……..… xiii

DAFTAR BAGAN………..………..………...……. xiv

DAFTAR LAMPIRAN……….………….……. xv

BAB I PENDAHULUAN………..………….. 1

1.1 Latar Belakang Masalah………..……….…..….…. 1

1.2 Identifikasi Masalah………..……….……...… 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian…...………. 9

1.3.1 Maksud Penelitian……….……...… 9

1.3.2 Tujuan Penelitian……….…….…….……. 9

1.4 Kegunaan Penelitian……….………... 9

1.4.1 Kegunaan Teoretis………... 9

1.4.2 Kegunaan Praktis………... 10

(4)

viii

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi Penelitian..………....…...…. 21

1.7 Hipotesis Penelitian………...… 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………...… 22

2.1 Student-Teacher Relationships………... 22

2.1.1 Definisi Student-Teacher Relationships ………...… 22

2.1.2 Dimensi-Dimensi dalam Student-Teacher Relationships..……... 23

2.1.2.1 Conflict………….………... 23

2.1.2.2 Closeness………..…………... 23

2.1.2.3 Dependency...….. 23

2.1.3 Faktor yang Memengaruhi Student-Teacher Relationships……... 24

2.1.3.1 Individu:Faktor Demografi,Psikologis,Perkembangan….. 24

2.1.3.2 Proses Pertukaran Informasi: Feedback Siswa-Guru... 24

2.1.3.3 Pengaruh Eksternal………..………... 25

2.2 Attachment………... 25

2.2.1 Definisi Attachment………...…….… 25

2.2.2 Attachment Anak: Perkembangan Ikatan Attachment………….... 26

2.2.2.1 Secure Attachment……….... 27

2.2.2.2 Insecure Attachment: Avoidant, Ambivalent……… 28

2.3 School Engagement………..…...………..…... 29

2.3.1 Definisi School Engagement ……….….... 29

(5)

ix

Universitas Kristen Maranatha

2.3.2.1 Behavioral Engagement……….……. 30

2.3.2.2 Emotional Engagement………..….…… 30

2.3.2.3 Cognitive Engagement………...… 31

2.3.3 Faktor yang Memengaruhi School Engagement………..……...… 32

2.3.3.1 School-Level Factors………... 32

2.3.3.2 Classroom Context………... 33

2.3.3.2.1 Dukungan Guru……….…….… 33

2.3.3.2.2 Teman Sebaya……….……... 34

2.3.3.2.3 Struktur Kelas………...… 36

2.3.3.2.4 Dukungan Kemandirian………. 36

2.3.3.2.5 Karakteristik Tugas……… 37

2.3.3.3 Individual Needs……….… 38

2.3.3.3.1 Kebutuhan Relasi………...……… 38

2.3.3.3.2 Kebutuhan Otonomi………...… 38

2.3.3.3.3 Kebutuhan Kompetensi……….……. 39

2.4 Perkembangan Remaja... 39

2.4.1 Definisi Remaja………...…...… 39

2.4.2 Perkembangan Kognitif Remaja...………...…… 40

2.4.2.1 Pemikiran Sensorimotor………...…. 40

2.4.2.2 Pemikiran Pre-Operasional………..…..……. 41

(6)

x

Universitas Kristen Maranatha

2.4.2.4 Pemikiran Operasional Formal………..……... 42

2.4.2.4.1 Pemikiran Operasional Formal Awal & Akhir…….… 44

2.4.3 Perkembangan Emosi Remaja………..…..… 45

2.5 Pendidikan………...…... 45

2.5.1 Konsep Pendidikan……….……...…. 45

2.5.2 Tujuan Pendidikan……….………….. 46

2.5.3 Sekolah Menengah Pertama………...……….…….…... 47

BAB III METODE PENELITIAN………...…..…………... 49

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian………... 49

3.2 Bagan Rancangan Penelitian………...……. 49

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional……….……… 50

3.3.1 Variabel Penelitian………...…..….... 50

3.3.2 Definisi Operasional……….…..……... 50

3.3.2.1 Student-Teacher Relationships………....…... 50

3.3.2.2 School Engagement………..…..… 51

3.4 Alat Ukur……….……..……..… 51

3.4.1 Alat Ukur Student-Teacher Relationships………... 51

3.4.2.Alat Ukur School Engagement... 54

3.4.3. Data Pribadi ………..…... 57

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur…………..…….…….…..… 57

(7)

xi

Universitas Kristen Maranatha

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur……….……...….. 58

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel……….….……….... 59

3.5.1 Populasi Sasaran……….… 59

3.5.2 Karakteristik Sampel..……….……….……..… 60

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel………...….…….….…… 60

3.6 Teknik Analisis Data………..…. 60

3.7 Hipotesa Statistik……….…………..…. 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………....…. 63

4.1 Gambaran Responden………..…..…. 63

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………….….... 63

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan………… 64

4.2 Hasil Penelitian……….... 64

4.2.1 Kontribusi Student-Teacher Relationships terhadap Tipe School Engagement……….…. 64

4.2.1.1 Kontribusi Student-Teacher Relationships terhadap Behavioral Engagement………..……..… 64

4.2.1.2 Kontribusi Student-Teacher Relationships terhadap Emotional Engagement……….……… 65

4.2.1.3 Kontribusi Student-Teacher Relationships terhadap Cognitive Engagement………..…….….…. 65

(8)

xii

Universitas Kristen Maranatha

4.2.3 Gambaran Tipe School Engagement………..…….…... 66

4.3 Pembahasan Hasil………...…... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….…… 73

5.1 Kesimpulan………..…… 73

5.2 Saran………...…. 74

5.2.1 Saran Teoritis………..……… 74

5.2.2 Saran Praktis………..…………... 74

DAFTAR PUSTAKA……….…..….. 75

DAFTAR RUJUKAN……….…….….…...….... 76

(9)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

3.1 Item Alat Ukur Student-Teacher Relationships Scale ………..…... 52

3.2 Sistem Penilaian Kuesioner Student-Teacher Relationships Scale……..…… 53

3.3 Tipe, Indikator, dan No. Item School Engagement………...…. 55

3.4 Sistem Penilaian Kuesioner School Engagement………...…...… 56

4.1 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………..…..…..….. 63

4.2 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan………..….… 64

(10)

xiv

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

(11)

xv

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kisi-kisi Kuesioner Student-Teacher Relationships Scale Lampiran 2 Kisi-kisi Kuesioner School Engagement

Lampiran 3 Hasil Output SPSS Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 4 Tabel Jumlah Item Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 5 Lampiran Kuesioner Student-Teacher Relationships Scale Lampiran 6 Lampiran Kuesioner School Engagement

(12)

1

Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh bagaimana kualitas pendidikan yang ada dalam sebuah negara. Selain itu, wakil presiden Republik Indonesia periode 2009-2014, Boediono menyatakan bahwa pendidikan memiliki peranan besar dalam pembangunan suatu bangsa (Kompas, 27 Agustus 2012). Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia. Oleh karena itu, upaya pembangunan bangsa semestinya memberikan prioritas tertinggi pada perkembangan institusi pendidikan.

UU No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional mengatakan bahwa:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

(13)

2

Universitas Kristen Maranatha dalam mencari guru yang berkualitas sebagai sumber daya, perubahan kurikulum yang harus disesuaikan sekolah, serta peningkatan fasilitas sekolah yang memadai. Sekolah harus berupaya agar proses pendidikan dan pembelajaran berjalan dengan baik sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas. Tentunya upaya dalam peningkatan mutu pendidikan nasional bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah semata, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh pihak terkait mulai dari menteri pendidikan, yayasan pendidikan, kepala sekolah, guru, staff administrasi, dan siswa. Pemerintahan secara khusus menteri pendidikan memiliki peran yang besar dalam pengupayaan perkembangan pendidikan nasional di Indonesia.

Upaya pemerintah dalam mengembangkan pendidikan nasional mencakup aspek yang luas baik dari segi pendidik yang menjalani tanggung jawabnya sebagai guru maupun sistem pendidikan yang diterapkan di dalamnya. Upaya peningkatan melalui sistem pendidikan terlihat melalui adanya perubahan kurikulum yang terus-menerus direvisi kembali agar menjadi lebih baik. Perubahan kurikulum terbaru yakni kurikulum 2013 hingga saat ini masih terus mengalami penyesuaian dengan berbagai institusi pendidikan yang menjalaninya.

Kurikulum 2013 dibuat berdasarkan konteks „anak zaman‟. Konteks „anak

zaman‟ yang dimaksudkan disini ialah penyesuaian yang harus disadari oleh dunia

(14)

3

Universitas Kristen Maranatha siswa untuk memiliki keterampilan menganalisis secara kritis, memilih secara bijak, serta diharapkan dapat mengambil keputusan bagi hidupnya dengan tepat (Paul Suparno. Kompas, 29 September 2012). Kurikulum baru ini berbasis karakter dan menuntut siswa untuk lebih aktif. Demikian pula dengan penerapan kurikulum di SMP. Siswa akan dituntut untuk lebih aktif dalam kelas dan guru hanya berperan sebagai fasilitator, misalnya setiap anak diminta oleh guru kelasnya untuk mencari materi yang mengenai suatu topik yang berikutnya akan dipresentasikan di depan kelas. Selain itu pendekatan yang digunakan pada kurikulum baru juga berbeda, yakni mengedepankan kreativitas, observasi, dan siswa diajak untuk berpikir, menganalisa, dan bertanya (Mohammad Nuh, Antara. Kompas, 29 Juli 2013). Aplikasi dari Kurikulum 2013 yang lebih menuntut keaktifan siswa di kelas, mengedepankan kreativitas berpikir, menganalisa, dan bertanya berkaitan dengan tipe-tipe yang tercakup dalam School Engagement.

School Engagement adalah seberapa besar usaha siswa melibatkan dirinya di

dalam aktivitas akademik dan non-akademik yang meliputi keterlibatan siswa secara behavioral, emotional serta cognitive engagement (Fredricks, 2004). Seorang siswa

(15)

4

Universitas Kristen Maranatha dalam kelas, serta menunjukkan antusiasme dalam proses kegiatan belajar mengajar sehingga memungkinkan terjadinya situasi kelas yang aktif dan kondusif. Siswa yang terlibat secara cognitive, akan menunjukkan upaya dan kerja kerasnya ketika belajar sehingga tercipta kreativitas berpikir, siswa yang terlibat secara kognitif akan menganalisa suatu permasalahan yang terjadi, dan usaha untuk bangkit ketika menghadapi kegagalan. Keterlibatan siswa secara behavioral, emotional, dan cognitive tersebut merupakan tipe dari School Engagement. Dalam School

Engagement terdapat beberapa faktor yang memengaruhi Engagement siswa.

Faktor yang memengaruhi School Engagement diantaranya ialah Classroom Context. Salah satu unsur dalam Classroom Context terdapat dukungan guru.

Dukungan guru dalam Classroom Context memerlihatkan pengaruhnya terhadap tipe-tipe School Engagement dan terwujud dalam bentuk relasi interpersonal (Fredricks, 2004). Relasi interpersonal yang dibangun dalam kelas antara guru dan siswa pada tahun-tahun awal sekolah dapat diasosiasikan dengan penilaian guru terhadap behavioral engagement siswa (Birch & Ladd, 1997; Valeski & Stipek, 2001). Selain

itu dukungan guru juga terwujud dalam bentuk dukungan akademis (Fredricks, 2004). Relasi interpersonal antara guru dan siswa yang terwujud dalam dukungan akademis dapat disebut Student-Teacher Relationships.

Student-Teacher Relationships adalah komunikasi terbuka, dukungan

(16)

5

Universitas Kristen Maranatha dan Dependency. Dimensi Conflict akan menunjukkan relasi guru-siswa yang negatif dan penuh konflik. Siswa yang memiliki relasi Conflict dengan gurunya akan cenderung sering bermasalah dengan guru serta cenderung berperilaku buruk yang tidak terduga. Dimensi Closeness menunjukkan seberapa sering siswa merasakan afeksi dan kehangatan dari gurunya. Siswa yang Closeness dengan gurunya memiliki komunikasi terbuka sehingga tidak ragu untuk mengungkapan perasaan yang dirasakannya. Sedangkan dimensi Dependency antara guru dan siswa akan menunjukkan perilaku sangat bergantung pada guru. Siswa yang Dependent akan menunjukkan kepercayaan yang berlebihan terhadap gurunya serta sering meminta bantuan untuk hal-hal kecil, sekalipun mereka dapat melakukannya sendiri. Suatu penelitian di bidang pendidikan juga memfokuskan kualitas dari Student-Teacher Relationships sebagai faktor mediasi yang signifikan untuk prestasi siswa (DeTeso,

2011).

Lynch & Cicchetti (1992) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa siswa-siswi yang dilaporkan memiliki relasi yang Closeness dengan gurunya akan lebih engaged secara akademis. Dengan kata lain siswa yang Closeness terhadap gurunya

akan lebih terlibat secara akademis dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. National Research Council (NRC, 2004) melaporkan bahwa relasi adalah suatu

mekanisme yang melatarbelakangi proses perkembangan dari keterlibatan. Engagement adalah proses dari relasi yang menggambarkan cognitive, emotional,

(17)

6

Universitas Kristen Maranatha 2000; Dornbusch, Glasgow, & Lin, 1996; Eccles, Lord, & Midgley, 1991). Kedua hal inilah yang turut mewarnai dunia pendidikan dan perkembangannya. Demikian pula halnya dengan SMP „Z‟ Kota Bandung yang bergerak dalam dunia pendidikan.

SMP „Z‟ Kota Bandung merupakan salah satu sekolah swasta yang memiliki

Visi menjadi wadah pelayanan masyarakat dan bangsa dalam bidang pendidikan. Visi ini ditunjang oleh Misi sekolah yakni dengan mengembangkan intelektualitas peserta didik guna memberi bekal bagi peserta didik ke jenjang yang lebih tinggi. Saat ini SMP „Z‟ menerapkan sistem kurikulum 2013 yang ditetapkan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan. Oleh karena itu siswa dituntut untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar di kelas. Perlu diakui, bahwa beberapa guru SMP „Z‟ masih perlu beradaptasi dengan penerapan kurikulum baru ini. Beberapa guru menyatakan bahwa penerapan sistem kurikulum 2013 ini sukar karena banyak yang harus disiapkan oleh guru sendiri juga berat bagi siswa yang harus menjalaninya. Namun demikian, hingga saat ini kurikulum 2013 tetap dijalankan oleh sekolah sesuai ketetapan. Fakta lain yang unik dari hasil survey peneliti pada SMP „Z‟ melalui observasi dan wawancara dengan guru dan siswa didapati adanya kedekatan relasi antara siswa dan guru.

Terdapat iklim relasi yang dekat. Dekat dalam arti siswa dan guru dapat saling bertegur sapa selayaknya teman, namun tetap dalam batas wajar dan sopan. Selain itu, sebanyak kurang lebih 15 orang siswa yang diwawancarai menyatakan senang bersekolah di SMP „Z‟ karena guru ramah dan baik. Relasi tersebut ditunjukkan dari

(18)

7

Universitas Kristen Maranatha BlackBerry Messenger, dan sebaliknya guru banyak memiliki kontak media sosial murid yang diajarnya. Selain itu, guru juga seringkali memberi dukungan semangat belajar seperti ketika siswa menuliskan status „malas belajar‟ ataupun mengeluhkan banyaknya tugas/ ulangan dan mengingatkan mengenai tugas sekolah pada siswa melalui kontak media sosial tersebut. Salah seorang guru wali kelas menyatakan bahwa dalam pengalamannya menggunakan media sosial cukup efektif untuk mendorong siswa belajar dan kontrol terhadap kegiatan siswa di luar jam sekolah. Seorang anak yang memiliki prestasi sangat rendah, suatu kali diingatkan dan dikontrol oleh wali kelas dengan menggunakan media sosial BlackBerry Messenger. Selama setengah semester diberlakukan demikian dan pada akhir semester ternyata mengalami peningkatan dari segi nilai dan prestasi siswa.

Seorang guru Bimbingan Konseling (BK) SMP „Z‟ menyatakan bahwa

hubungan lewat media sosial dan relasi yang baik dengan siswa ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui masalah dan karakteristik siswa. Dengan mengetahui hal tersebut, maka guru BK akan dengan mudah menangani siswa dalam bidang akademis, dukungan emosi, serta kelancaran proses konseling. Pada saat di sekolah, guru juga seringkali menyapa, bersenda gurau dengan siswa ketika waktu istirahat atau pulang sekolah (Student-Teacher Relationships Closeness).

(19)

8

Universitas Kristen Maranatha membawa buku pelajaran, terlambat datang ke sekolah, jalan-jalan dalam kelas (behavioral engagement). Hasil suvei pada 30 orang siswa bervariasi, ada yang menyatakan bahwa perilaku yang biasa dilakukan dalam kelas ngobrol dengan teman, main atau mengerjakan hal lain (disengaged secara behavioral), ada yang bertanya pada guru bila tidak mengerti, atau berupaya untuk tanya pada teman yang mengerti, belajar sedapat mungkin untuk hasil terbaik (cognitive engagement), merasa bosan berada dalam kelas pada pelajaran tertentu (emotional disengagement). Berdasarkan hasil survei pada 20 siswa SMP „Z‟ didapati 19 diantaranya menyatakan bahwa relasi

yang dekat antara guru dan siswa merupakan hal yang penting. Menurut beberapa siswa, adanya relasi antara guru dan siswa yang dekat akan menciptakan suasana belajar mengajar yang nyaman maupun ketika berada di sekolah. Hasil survei kepada beberapa guru tersebut menyatakan bahwa terdapat variasi antara engagement siswa di kelas.

Melihat adanya variasi engagement siswa dan iklim relasi yang terdapat di SMP „Z‟ Kota Bandung, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

(20)

9

Universitas Kristen Maranatha

1.2Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui seberapa kuat pengaruh Student-Teacher Relationships terhadap tipe-tipe School Engagement di SMP „Z‟ Kota Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran mengenai Student-Teacher Relationships serta gambaran mengenai tipe-tipe School

Engagement di SMP „Z‟ Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran tentang derajat pengaruh Student-Teacher Relationships terhadap tipe-tipe School Engagement di SMP „Z‟ Kota Bandung.

1.4Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

Memberikan informasi mengenai pengaruh Student-Teacher Relationships

(21)

10

Universitas Kristen Maranatha  Memberi masukan bagi peneliti selanjutnya yang berminat melakukan

penelitian mengenai Student-Teacher Relationships dan tipe-tipe School Engagement baik di tingkat yang sama maupun berbeda.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberi informasi kepada guru-guru SMP „Z‟ mengenai derajat pengaruh

Student-Teacher Relationships siswa terhadap tipe-tipe School Engagement.

Informasi ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi pihak guru dan sekolah di SMP „Z‟ dalam rangka mencapai prestasi studi yang optimal

melalui penerapan kedua variabel tersebut.

 Memberi informasi kepada kepala sekolah di SMP „Z‟ mengenai gambaran

Student-Teacher Relationships yang ada di sekolah dan kaitannya dengan

tipe-tipe School Engagement siswa. Informasi ini dapat digunakan untuk menetapkan metode belajar dalam kelas dan pendekatan pada siswa di sekolah untuk proses kegiatan belajar mengajar yang kondusif.

 Memberi informasi kepada siswa mengenai pentingnya keterlibatan siswa di

(22)

11

Universitas Kristen Maranatha

1.5Kerangka Pikir

Siswa-siswi SMP „Z‟ berada pada tahap perkembangan remaja awal. Meskipun situasi budaya dan sejarah membatasi kemampuan untuk menentukan rentang usia remaja, Amerika dan kebanyakan budaya lain sekarang ini menyatakan bahwa masa remaja dimulai antara usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun. Santrock (2003) mendefinisikan remaja sebagai suatu fase kehidupan manusia yang berada pada transisi masa perkembangan antara masa anak dan masa dewasa. Masa transisi perkembangan tersebut mencakup adanya perubahan biologis, kognitif, dan emosional.

Perubahan secara biologis terjadi dalam tubuh berupa perubahan hormon dan perubahan bentuk tubuh yang dapat diamati. Perubahan kognitif, dimana terjadi perkembangan dari tahap pemikiran operasional konkret menuju ke tahap pemikiran operasional formal. Dalam pemikiran operasional formal remaja berpikir secara lebih abstrak daripada pemikiran operasional konkret. Misalnya mereka mampu membayangkan situasi rekaan, dugaan atas suatu kejadian, dan mencoba mengolahnya dengan pemikiran logis. Sedangkan perubahan emosi remaja awal merupakan masa ketika seringnya emosi tinggi dan rendah terjadi. Dalam Santrock (2003), Hall menggambarkan remaja sebagai masa kekacauan emosional storm-and-stress. Misalnya siswa yang terlihat bersemangat belajar di kelas, namun dalam

(23)

12

Universitas Kristen Maranatha Siswa-siswi SMP „Z‟ dalam proses kegiatan belajar setiap harinya berinteraksi dengan lingkungan sekolah baik dengan teman sebaya, staff administrasi, maupun guru yang mengajar. Adanya interaksi yang dibangun ini sangat memungkinkan siswa untuk melakukan komunikasi terbuka antara siswa dan guru yang disebut Student-Teacher Relationships. Student-Teacher Relationships adalah komunikasi terbuka, dukungan emosional, dan dukungan akademik yang ada antara siswa dan guru (Pianta, 1999). Siswa yang memiliki relasi yang dekat dengan gurunya akan cenderung lebih berani dalam mengungkapkan perasaannya sehingga guru dapat memberikan dukungan baik secara emosional maupun dukungan akademik ketika siswa bertanya saat menghadapi kesulitan belajar. Student-Teacher Relationships terdiri dari tiga dimensi yakni Conflict, Closeness, dan Dependency.

Dalam perhitungan alat ukur Student-Teacher Relationships sendiri, Pianta (2001) menggabungkan ketiga dimensi menjadi satu kesatuan yang menghasilkan skor total Student-Teacher Relationships. Setelah didapat skor total, Pianta menyatakan bahwa semakin tinggi skor Student-Teacher Relationships Scale akan menghasilkan relasi yang semakin positif yakni diwarnai dengan Closeness. Sebaliknya semakin rendah skor Student-Teacher Relationships Scale akan menghasilkan relasi yang semakin negatif yang diasumsikan bahwa relasi tersebut didominasi oleh Conflict dan Dependency.

(24)

13

Universitas Kristen Maranatha dan penuh konflik. Siswa yang Conflict dengan guru akan cenderung melawan guru dengan tidak memperhatikan guru yang mengajar, serta cenderung berperilaku buruk yang tidak terduga seperti mengganggu teman yang sedang mengerjakan tugas dan membuat kekacauan di kelas. Siswa SMP „Z‟ yang memiliki Conflict yang tinggi dengan guru juga cenderung akan memandang guru dengan penuh kemarahan seperti merasa kesal ketika diberi tugas tambahan, serta mengakibatkan terkurasnya perasaan emosional dan ketidak percayaan terhadap guru.

Dimensi Closeness mempunyai pengertian seberapa sering siswa SMP „Z‟ merasakan afeksi, kehangatan, dan komunikasi terbuka dengan guru tertentu. Siswa yang Closeness dengan guru memiliki komunikasi terbuka sehingga tidak ragu untuk mengungkapan perasaan yang dialaminya, misalnya ketika siswa sedang mengalami masalah dengan teman sebayanya ataupun ketika siswa menghadapi kesulitan dalam bidang akademis. Siswa SMP „Z‟ yang memiliki Closeness tinggi merasa bahwa guru adalah pribadi yang baik, siswa SMP „Z‟ memandang guru sebagai pendukung atau pemberi support ketika siswa menjalani tugas tanggung jawabnya selama di sekolah ataupun kesulitan belajar, dan siswa SMP „Z‟ menjadikan guru sebagai sumber pemberi kenyamanan, misalnya ketika siswa menghadapi masalah relasi dengan teman sebayanya.

Dimensi ketiga, yakni Dependency mempunyai pengertian seberapa sering siswa SMP „Z‟ merasa sangat bergantung pada guru tertentu. Siswa yang Dependent

(25)

14

Universitas Kristen Maranatha meyakini sepenuhnya mengenai apa yang dikatakan dan diperbuat oleh guru sehingga siswa memercayainya tanpa mengkaji ulang. Siswa SMP „Z‟ yang memiliki Dependency tinggi juga akan menunjukkan kecenderungan untuk bereaksi berlebihan

ketika harus berpisah dengan guru, misalnya siswa merasa iri ketika guru menghabiskan waktu dengan siswa lain dan lebih memperhatikan siswa lain.

Dalam pendidikan, Student-Teacher Relationships memengaruhi keterlibatan siswa selama proses kegiatan pembelajaran di sekolah (Lynch & Cicchetti, 1992). Keterlibatan siswa di sekolah disebut sebagai School Engagement, yang memiliki pengertian seberapa besar usaha siswa SMP „Z‟ untuk melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan secara behavioral, emotional serta cognitive (Fredricks, 2004). Dalam penelitian ini keterlibatan siswa secara behavioral, emotional, dan cognitive merupakan tipe-tipe dari School Engagement.

Tipe Behavioral Engagement memiliki pengertian yang menunjukkan tingkah laku siswa SMP „Z‟ yang positif, terlihat dari perilaku berpartisipasi aktif dalam

(26)

15

Universitas Kristen Maranatha seperti membolos, tidak mengerjakan tugas akademik seperti pekerjaan rumah maupun latihan-latihan soal yang diberikan guru, dan terlambat datang ke sekolah maupun pada saat kegiatan ekstrakulikuler.

Tipe Emotional Engagement, mencakup reaksi afektif siswa SMP „Z‟ terhadap sekolah, guru, maupun teman sebayanya. Siswa yang terlibat secara emosi merasa tertarik pada saat proses kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Mereka akan menghargai proses belajar, senang terhadap pelajaran yang disampaikan guru, antusias dalam mengikuti kegiatan di kelas ataupun pada saat ekstrakulikuler, memiliki hubungan sosial yang baik, senang terhadap guru maupun teman sebaya, serta merasa dirinya merupakan bagian penting dari sekolah. Sebaliknya, siswa yang kurang terlibat secara emosi menunjukkan perilaku yang mudah bosan di kelas, tidak bersemangat, mudah menyerah pada materi yang kurang dimengerti, tidak antusias, memiliki relasi yang kurang baik dengan guru ataupun teman sebaya, merasa cemas, takut, sedih terhadap sekolah, serta merasa sekolah merupakan sebuah beban berat yang harus dipikulnya.

Tipe Cognitive Engagement, mencakup kegiatan pembelajaran mandiri siswa, membaca literatur dan instruksi pembelajaran, tujuan pencapaian dan regulasi diri. Siswa SMP „Z‟ yang terlibat secara kognisi akan berusaha keras ketika menghadapi

(27)

16

Universitas Kristen Maranatha keterampilan yang dimiliki, berusaha mencapai lebih dari yang diharapkan, serta berupaya dalam mencari strategi belajar yang sesuai. Sebaliknya, siswa yang kurang terlibat secara kognitif akan menghindari tugas yang diberikan, mudah menyerah pada saat menghadapi masalah atau kesulitan, mudah terdistraksi saat proses belajar, memelajari materi dengan minim tanpa ada keinginan untuk berupaya lebih dalam mencari pengetahuan, dan cenderung bersikap apatis dalam kelas.

Student-Teacher Relationships yang terjalin antara siswa dan guru akan

menghasilkan relasi yang positif bila didominasi dengan Closeness atau menghasilkan relasi yang negatif ketika relasi dengan guru yang terjalin penuh Conflict dan Dependency dalam kegiatan pembelajaran di kelas dan di sekolah.

Student-Teacher Relationships yang Closeness dengan guru berpengaruh terhadap

keterlibatan siswa (Lynch & Cicchetti, 1992) dan dalam penelitian ini dispesifikan pada tipe-tipe School Engagement, pertama dari tipe Behavioral Engagement. Ketika Student-Teacher Relationships siswa SMP „Z‟ Closeness dengan guru, maka secara behavioral siswa akan menunjukkan perilaku yang positif. Perilaku tersebut dapat

berupa kepatuhan pada aturan dan norma yang berlaku dalam kelas guru, juga tidak adanya perilaku disruptif seperti lalai dalam mengerjakan tugas ataupun membuat masalah dalam kelas, dan siswa berusaha menyenangkan guru.

Selain itu, siswa SMP „Z‟ juga akan memiliki daya tahan, konsentrasi, usaha,

(28)

17

Universitas Kristen Maranatha siswa SMP „Z‟ di kelas bersikap aktif dalam menanyakan pertanyaan dan memberikan kontribusi nyata dalam diskusi kelas. Kepatuhan pada aturan dan norma yang berlaku dalam kelas, tidak adanya perilaku disruptif, daya tahan, usaha, atensi, dan aktif bertanya merupakan contoh dari keterlibatan siswa secara behavioral.

Student-Teacher Relationships yang terjalin dengan guru juga berpengaruh

terhadap tipe Emotional Engagement. Ketika siswa menghayati Student-Teacher Relationships yang Closeness, siswa dapat melakukan komunikasi terbuka dengan

guru, siswa juga merasakan afeksi dan kehangatan dengan guru tertentu. Siswa secara emotional siswa akan merasa tertarik dan senang ketika mengikuti pelajaran bersama

dengan guru. Selain itu siswa juga akan merasa diri sebagai bagian atau merasa penting berada dalam kelas serta menghargai akan keberhasilan yang dicapainya dalam pelajaran tersebut.

Student-Teacher Relationships yang terjalin dengan guru juga berpengaruh

terhadap tipe Cognitive Engagement. Ketika siswa menghayati Student-Teacher Relationships yang Closeness, adanya komunikasi yang terbuka antara guru dan

(29)

18

Universitas Kristen Maranatha dalam diskusi kelas dan mengupayakan untuk dapat mencari pemecahan masalah dengan gurunya ketika menghadapi persoalan sulit

Demikian pula sebaliknya apabila Student-Teacher Relationships yang terjalin dengan guru negatif, yakni didominasi oleh Conflict dan Dependency. Ketika siswa SMP „Z‟ memiliki Student-Teacher Relationships yang negatif dengan guru,

maka secara behavioral siswa akan menunjukkan perilaku negatif. Ketika Student-Teacher Relationships didominasi oleh Conflict, perilaku siswa tersebut dapat berupa

perilaku yang bermasalah seperti melawan guru dengan tidak mengerjakan tugas yang diinstruksikan, melanggar peraturan yang telah dibuat. Seringkali siswa SMP „Z‟ juga merasa lelah. Hal ini akan berdampak pada keterlibatan siswa secara

behavioral, siswa akan menunjukkan perilaku disruptif seperti alpa (bolos), lalai

dalam mengerjakan tugas, dan membuat masalah. Relasi negatif antara guru dan siswa yang didominasi Dependency juga memungkinkan siswa SMP „Z‟ merasa sangat bergantung dengan guru, yang akan memengaruhi keterlibatan siswa secara behavioral. Misalnya siswa meminta penjelasan ulang materi sekalipun sebenarnya

siswa tersebut sudah memahami materi tersebut, siswa juga menunjukkan perilaku kecenderungan untuk bereaksi berlebihan ketika harus berpisah dari guru, atau bertanya mengenai materi yang sudah dimengerti.

(30)

19

Universitas Kristen Maranatha siswa akan bermasalah dengan guru seperti memandang guru dengan penuh kemarahan, tidak senang berada dalam kelas pada saat pelajaran berlangsung yang mengakibatkan terkurasnya perasaan emosional dalam diri siswa. Hal ini memungkinkan secara keterlibatan emotional siswa merasa tidak suka dengan sekolah dan guru, serta merasa bosan dengan pekerjaan yang harus dilakukannya dalam kelas. Selain itu siswa yang memiliki relasi negatif didominasi oleh Dependency juga memungkinkan siswa untuk merasa sangat bergantung dengan

guru. Hal ini akan berdampak pada keterlibatan siswa secara emotional seperti perasaan suka terhadap sekolah dan guru yang berlebihan, serta perasaan senang yang berlebihan ketika berada di sekolah.

Student-Teacher Relationships yang terjalin juga akan berpengaruh terhadap

tipe Cognitive Engagement. Ketika siswa SMP „Z‟ menghayati dirinya memiliki Student-Teacher Relationships negatif yang didominasi Conflict, maka secara

cognitive siswa akan memiliki daya juang yang rendah dan tidak mengupayakan

coping positif ketika mengahadapi kegagalan. Selain itu siswa yang memiliki

Student-Teacher Relationships negatif didominasi Dependency juga memengaruhi

engagement siswa secara cognitive yang memungkinkan siswa untuk cenderung

(31)

20

Universitas Kristen Maranatha

1.1 Bagan Kerangka Pikir

Siswa SMP „Z‟ Kota Bandung

Student-Teacher Relationships positif: Dimensi: Closeness

Student-Teacher Relationships negatif: Dimensi: Conflict, Dependency

Tipe-Tipe School Engagement

Behavioral Engagement

Emotional Engagement

Cognitive Engagement Guru SMP „Z‟

Kota Bandung

(32)

21

Universitas Kristen Maranatha

1.6Asumsi Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa:

1. Student-Teacher Relationships di SMP „Z‟ antara siswa dan guru terdiri dari tiga dimensi yaitu Conflict, Closeness, dan Dependency.

2. School Engagement siswa SMP „Z‟ dilihat melalui tiga tipe yang tercakup yaitu behavioral, emotional dan cognitive engagement.

3. Keterlibatan siswa di sekolah yang menunjukkan siswa engaged atau disengaged dipengaruhi oleh Student-Teacher Relationships yang terjalin

antara siswa dan guru.

1.7Hipotesis Penelitian

1. Terdapat pengaruh Student-Teacher Relationships terhadap Behavioral Engagement di SMP „Z‟ Kota Bandung.

2. Terdapat pengaruh Student-Teacher Relationships terhadap Emotional Engagement di SMP „Z‟ Kota Bandung.

(33)

73

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan mengenai hasil analisis

dan pengolahan data 133 siswa SMP “Z” Kota Bandung beserta saran bernilai teoritis

dan praktis yang terarah sesuai hasil penelitian.

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai pengaruh Student-Teacher Relationships terhadap tipe School Engagement pada siswa SMP “Z” Kota Bandung maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Student-Teacher Relationships memiliki pengaruh sebesar 0.344 terhadap tipe Behavioral Engagement pada siswa SMP “Z” Kota Bandung.

2. Student-Teacher Relationships memiliki pengaruh sebesar 0.421 terhadap tipe Emotional Engagement pada siswa SMP “Z” Kota Bandung.

3. Student-Teacher Relationships memiliki pengaruh sebesar 0.233 terhadap tipe Cognitive Engagement pada siswa SMP “Z” Kota Bandung.

(34)

74

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

Penelitian ini memiliki kekurangan, maka peneliti memandang perlu mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

5.2.1 Saran Teoritis

1. Dapat dipertimbangkan untuk melakukan penelitian lain bekenaan dengan variabel yang mempengaruhi School Engagement untuk melihat gambaran dan besar pengaruhnya terhadap School Engagement.

2. Bagi peneliti lain dapat mengeksplorasi lebih jauh mengenai keterkaitan antar tipe-tipe School Engagement sehingga dapat terlihat bagaimana hubungan satu tipe dengan yang lainnya.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi kepala sekolah, agar dapat melakukan pembinaan guru untuk meningkatkan kemampuan berelasi dengan siswa, cara mendukung dan memotivasi siswa belajar.

2. Bagi guru, agar memperlengkapi diri mengenai cara mengajar dalam bentuk diskusi atau tanya jawab, memberi soal-soal latihan, membiasakan siswa membaca buku terlebih dahulu sebelum menjelaskan agar siswa lebih banyak dilibatkan dalam proses belajar.

(35)

75

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

DeTeso, Jeffrey A., Ed.M. 2011. Student-Teacher Relationships As Predictors of reading comprehension gains in 2nd grade. Columbia: Columbia University. Fredricks, Jennifer A., Phyllis C. Blumenfeld, Alison H. Paris. 2004. School

Engagement: Potential of the Concept, State of the Evidence. Review of Educational Research Vol 74. USA: SAGE Publications.

Hamre, Bridget K., Robert C. Pianta. Student-Teacher Relationships. University of Virginia.

Lisa, Friedenberg. 1995. Psychological Testing : Design, Analysis and Use. Needham Heights Massachusetts: A Simon & Schuster.

Pianta, Robert C., PhD. 2001. STRS Student-Teacher Relationships Scale Professional Manual. Psychological Assessment Resources, Inc.

Riley, Philip. 2011. Attachment Theory And The Teacher-Student Relationship. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group.

Santrock, John W.. 2003. Adoelscence 6th. Jakarta: Erlangga.

Sarjono, Haryadi, Winda Julianita. 2013. SPSS vs LISREL Sebuah Pengantar, Aplikasi untuk Riset. Jakarta: Salemba Empat.

Setyawan, Sigit. 2013. Guruku Panutanku. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius. (Hal. 96-97).

Siregar, Syofian, Ir., M.M. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

(36)

76

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Boediono, editor: Caroline Damanik. Pendidikan Kunci Pembangunan. 27 Agustus 2012. Kompas.com (diunduh 6 Maret 2014)

Nuh, Mohammad, Antara. Kurikulum 2013. 29 Juli 2013. Jakarta: Kompas. Paul Suparno. Kurikulum 2013. 29 September 2012. Jakarta: Kompas.

Pedoman penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III.Februari 2009. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Soedijarto. Konsep Ki Hajar Relevan dengan Pendidikan Nasional. 10 Januari 2014. Bandung: Pikiran Rakyat.

Stefanus, Denny. 2014. Skripsi: Hubungan persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan school engagement di SMA “X” kota Bandung. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

WA Rosidah, 2012. Perhatian Orangtua pada pendidikan anak di sekolah dasar. Universitas Negeri Yogyakarta. (http://eprints.uny.ac.id/9397/3/bab%202%20-10712251005.pdf) (diunduh 2 Mei 2014)

Referensi

Dokumen terkait

al., (2014), parental struture memiliki empat komponen yaitu clear and consistent rules and expectation berkaitan dengan aturan dan harapan yang jelas dan konsisten

1) Basic need satisfaction pada siswa SMP “X” Bandung berdasarkan pada pemenuhan terhadap tiga kebutuhan dasar, yaitu need for autonomy, need for competence, dan need for

Dari faktor internal yang memengaruhi penyesuaian sosial di sekolah, peneliti akan menyoroti lebih dalam pada masalah emosi, karena beberapa anak tidak mampu

Siswa SMA kelas XII yang memiliki derajat self-efficacy belief yang tinggi akan yakin mampu bertahan dan tidak mudah menyerah saat dihadapkan pada kesulitan, misalnya

cenderung prestasi belajarnya akan baik. Sebaliknya siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar akan nampak tidak senang, tidak tertarik dan kurang menampakkan

Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah

- Siswa yang pemalu tidak akan bersedia memaparkan apa yang diperintahkan oleh guru, atau banyak siswa yang kurang aktif. - Tidak semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk

Ketika orang tua memberikan autonomy support pada anak yang terdiri dari penerimaan terhadap sudut pandang anak, dukungan untuk pemecahan masalah yang