ITUAL TOLAK BALA BENCANA ALAM PADA ETNIK KARO DI DESA SIGARANG-GARANG KECAMATAN NAMAN TERAN
KABUPATEN KARO
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Antropologi
Oleh :
Nova Br Sembiring 311 31 220 33
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL
ABSTRAK
Nova Br Sembiring, Nim : 311 31 220 33, Ritual Tolak Bala Bencana Alam Pada Etnik Karo di Desa Sigarang-Garang Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. Program Studi Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan
Penelitian ini mengenai ritual tolak bala bencana alam pada etnik Karo di desa Sigarang-Garang Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui latar belakang upacara ritual tolak bala oleh etnik Karo di desa Sigarang-garang, mengetahui makna ritual tolak bala, mengetahui proses upacara tolak bala yang dilakukan etnik Karo di Sigarang-garang.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) dengan teknik observasi dan wawancara. Informan ditentukan secara purposive sampling. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sibaso dua orang, kepala desa satu orang, masyarakat yang ikut dalam melaksanakan ritual tolak bala tujuh orang dan masyarakat yang mengetahui pelaksanaan ritual tolak bala 11 orang.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa warga desa sigarang-garang melakukan ritual tolak bala yang dilatarbelakangi oleh meletusnya gunung Sinabung. Ritual tolak bala dilakukan karena ada anggapan bahwa gunung Sinabung meletus terkait dengan prilaku warga dan wisatawan yang merusak lingkungan sekitar gunung yang dihuni roh-roh halus. Misalnya prilaku warga yang memindahkan batu nini karo yang dianggap para guru sibaso atau dukun sebagai tempat pemujaan terhadap penghuni gunung sinabung ke pinggiran kolam. Ritual tolak bala tersebut mengandung makna adanya keinginan penduduk menjaga keselarasan budaya dengan lingkungan alam tempat tinggalnya. Etnis Karo meyakini bahwa alam dan lingkungan selain sebagai tempat hunian manusia, juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk lainnya yang hidup bebas. Proses ritual dimulai dengan musyawarah oleh para guru sibaso untuk menentukan bentuk acara, waktu dilakukan, dan persiapan acara. Pada saat pelaksanaan dilakukan pertama mengangkat batu nini karo ke tempatnya semula, lalu acara menari bersama dan erpangir.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ritual tolak bala bencana gunung sinabung memiliki makna untuk mengingatkan warga desa sigarang-garang akan tradisi penghormatan kepada nenek moyang dan menjaga keselarasan budaya dan lingkungan alam
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan Kasih
KaruniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Program Studi
Pendidikan Antropologui Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. Dalam memenuhi
persyaratan, maka penulis telah menyusunnya dengan judul “ritual tolak bala bencana alam pada
etnik Karo di Desa Sigarang-garang Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo”.
Dalam penyusunan skripsi ini, tentunya melibatkan berbagai pihak. Dengan ketulusan
hati, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya serta dukungan yaitu
kepada :
1. Pimpinan Universitas Negeri Medan, Bapak Rektor Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd.
dan juga Pimpinan Fakultas Ilmu Sosial Unimed, Bapak Dekan Dr. H. Restu, M.S
2. Pimpinan Progam Studi Pendidikan Antropologi, FIS Unimed, Dra. Puspitawati,
M.Si. Demikian juga dengan dosen pembimbing akademik saya, Ibu Dra. Trisni
Andayani, M.Si, dan juga dosen pembimbing skripsi saya, Bapak Drs. Payerli
Pasaribu, M.Si, dan Bapak Waston Malau, MSP dan Bapak Erond Litno Damanik,
M.Si sebagai penguji skripsi saya, dan Bapak/Ibu para dosen yang mengajar di Prodi
Pend. Antropologi. Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs.
Tumpal Simarmata, M.Si dan Ibu Murni Eva Rumapea, M.Si karena telah
memberikan dukungan moral yang sangat berharga dalam kehidupan saya.
3. Kepada orang tua saya, Bapak R.Sembiring dan Ibu D. Br Purba, serta kepada adikku
Imelda Br Depari, Aprianta Depari, Angel br Depari, Kila H. Tarigan Silangit dan
Tarigan Silangit, serta kepada keluarga besar Sembiring Depari di Namo Landur,
Kec, Namorambe yang telah memberikan semangat agar terselesaikannya kuliah
saya. Terima kasih atas doanya. Sehat ras mejuah-juah kita kerina.
4. Ucapan terima kasih kepada Kepala Desa Sigarang-garang Bapak Drs. Syarifudin
Sitepu beserta perangkat atas diijinkannya penelitian dan memberikan data desa, serta
para warga yang menjadi informan dalam penelitian. Secara khusus kepada informan
kunci saya Bapak Rusli Sitepu dan Sentosa Sitepu terima kasih.
5. Kepada abangda, Lamhot Turnip, S.Pd. terima kasih telah memberikan motivasi sejak
saya berada di bangku perkuliahan. Atas dukungan sangat berharga sehingga telah
berhasil saya menyelesaikan pendidikan di Unimed.
6. Sahabat saya JJM Crew, Morina Br Ginting, Lisna Perodika Br Barus, Lydia Claranta
Br Barus, Andini Nur F. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan stambuk
2011 secara keseluruhan, khususnya Ateng Nainggolan, Suraman Leo, Luhut Sinaga,
Firmando Banjarnahor, Roy Masda, Salpinus Purba, dan Rafael Sinaga. Terima kasih
atas dukungan teman-teman dalam organisasi IMKA, khususnya kepada Bg Arif
S.Ginting, S.Pd. Bg Mora H.S. Munthe, Bg Mesakh A. Surbakti, S.Pd. Terima kasih
kepada teman-teman seperjuangan di masa PPL SMAN 2 Kabanjahe. Terima kasih
juga kepada Flen saya Lestari Br Manalu, Soni Septian Sitepu, Okstraviani Br
Pakpahan, Devi Susanti Br Ginting.
Penulis berharap tulisan ini bermanfaat kepada semua pihak yang membacanya baik
untuk tujuan pemahaman maupun untuk penelitian lebih lanjut. Meskipun demikian, penulis
menyadari masih jauh dari kesempurnaan oleh sebab itu penulis juga berharap agar diberikan
Daftar Tabel
1. Tabel 1 : Sarana dan Prasarana ...36 2. Tabel 2: Posko Pengungsian tahun 2010...40 3. Tabel 3 : Posko Pengungsian tahun 2013...47 4. Tabel 4: hari baik dalam kalender etnis karo untuk melakukan upacara
Daftar Lampiran
1. Foto-Foto Hasil Penelitian 2. Pedoman Wawancara 3. Daftar Informan 4. Kalender Etnik Karo 5. Peta
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang Masalah
Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada karena ada masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud kebudayaan adalah adat istiadat sedangkan kebudayaan adalah wujud nyata dari aktivitas dari adat istiadat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Dalam masyarakat tradisional, kegiatan mengaktifkan kebudayaan itu antara lain diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan upacara tradisional yang menjadi sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah dimantapkan lewat transformasi (pewarisan) tradisi. Salah satu tradisi yang masih sering dilakukan oleh kelompok etnik di berbagai daerah adalah acara ritual.
Demikian halnya etnik Karo, terdapat berbagai bentuk upacara berupa ritual yang berhubungan dengan kepercayaan religius. Menurut Bangun (2004:41) menyatakan walaupun masyarakat Karo telah secara resmi telah dimasuki ajaran agama seperti agama Kristen Protestan, Islam, Katolik, namun masih ditemui pada pemeluk agama tersebut adanya keterikatan kepada kepercayaan tradisionalnya, seperti kepercayaan roh-roh nenek moyang dan benda-benda yang dianggap keramat.
yang dianggap mempunyai kekuatan gaib yang berdiam di suatu tempat dan mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Berkaitan dengan ritual tersebut yang merupakan kepercayaan pada hal-hal yang gaib dapat membantu atau bahkan menghambat aktivitas yang harus diketahui. Kepercayaan seperti magi merupakan bentuk perwujudan dari usaha masyarakat dalam menundukkan alam. Untuk dapat menundukkan alam ini selalu dibarengi dengan magi dan ritual dalam rangka berhubungan dengan sakral di sekitar gunung. Kedudukan magi dan ritual yang dikategorikan sebagai ranah sakral dan gaib tidak dapat dicerna dengan logika, karena itulah diperlukan pendekatan lain yang lebih aplikatif. Magi mengurusi masalah-masalah yang diabaikan sains atau yang tentangnya sains tidak dapat dipergunakan.
Upacara ritual ini mengandung konsep kepercayaan terhadap adanya kekuatan alam yang dilakukan sebagai usaha berdasarkan tradisi nenek moyang dalam mempercayai kekuatan gaib yang tujuannya untuk mencarai jalan terbaik dalam meneruskan hidup sehari-hari agar dijauhkan dari segala mara bahaya.
Pada awalnya masyarakat tidak mengira bahwa Gunung Sinabung termasuk gunung yang aktif dan berbahaya untuk lingkungan sekitarnya. Yang diketahui oleh masyarakat bahwa Gunung Sinabung tersebut adalah gunung yang tidak aktif lagi karena telah pernah meletus ribuan tahun yang lalu, oleh sebab itu dianggap tidak berbahaya dan tidak menjadi ancaman seperti saat ini. Karena dalam pemikiran masyarakat tidak akan meletus lagi dan sebelumnya juga tidak ada tanda-tanda akan meletus dalam beberapa waktu kemudian.
Bagi etnik Karo yang berdomisili di sekitar Gunung Sinabung khususnya desa Sigarang-garang tidaklah semata-mata sebagai bencana alam biasa. Tetapi terkait dengan adanya kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang membuat gunung tersebut meletus. Salah satu reaksi masyarakat terhadap letusan Gunung Sinabung adalah dengan menggelar acara ritual.
Acara ritual untuk memohon kepada yang dianggap berkuasa atas Gunung Sinabung dilakukan disaat situasi dan kondisi masyarakat sekitar Gunung Sinabung sebelum mengungsi ke kota Kabanjahe. Acara semacam ritual tersebut sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh masyarakat Karo di Sigarang-garang memang dianggap sebagai sebuah tradisi.
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam lagi terkait tentang ritual tolak bala pada etnik Karo di desa Sigarang-garang.
1.2.Identifikasi Masalah
a. Latar belakang dilaksanakannya ritual tolak bala di desa Sigarang-garang. b. Pelaksanaan ritual tolak bala terkait meletusnya Gunung Sinabung. c. Makna ritual tolak bala pada etnik Karo di desa Sigarang-garang. d. Perangkat upacara ritual tolak bala dan pelaksanaannya.
e. Ritual tolak bala bencana alam pada etnik Karo di desa Sigarang-garang.
1.3. Pembatasan Masalah
Untuk mendapatkan data yang lebih mendalam dari banyaknya masalah yang teridentifikasi, maka saya membatasi masalahnya pada ritual tolak bala bencana alam pada etnik Karo di Desa Sigarang-garang Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.
1.4. Rumusan masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
a. Apa latar belakang upacara ritual tolak bala oleh etnik Karo di desa Sigarang-garang? b. Apa makna ritual tolak bala oleh etnik Karo di desa Sigarang-garang?
c. Bagaimana proses upacara tolak bala dilakukan?
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui latar belakang upacara ritual tolak bala oleh etnik Karo di desa Sigarang-garang.
b. Untuk mengetahui makna ritual tolak bala oleh etnik Karo di desa Sigarang-garang. c. Untuk mengetahui proses upacara tolak bala yang dilakukan oleh etnik Karo di desa
Sigarang-garang.
1.6.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
a. Kegunaan teoritis : hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah penelitian yang memperkaya khasanah Antropologi terutama antropologi agama yang spesifikasinya adalah ritual dalam memahami etnik Karo tentang ritual tolak bala.
b. Kegunaan praktis : menambah informasi dan pengetahuan masyarakat Karo dalam hal ritual tolak bala terhadap bencana alam dalam kaitannya membina hubungan sosial maupun pelestarian alam.
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku :
Agus, Bustanuddin. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Akhirul, Tengku. 2012. Upacara Ritual Masyarakat Melayu Pesisir. Tesis. Pasca Sarjana Unimed
Bangun, Pajung. 2004. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia dalam Koentjaraningrat. Jakarta: Djambatan
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Dhavamony, Mariasusai. 1973. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius
Frazer, J.G. 2001. Animisme Agama. Dalam Daniel L. Pals. Seven The Theories Of Religious. Alih Bahasa Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam
Gintings, E. P. 1999. Religi Karo, Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru. Kabanjahe: Abdi Karya
Gultom, Ibrahim. 2002. Eksistensi Budaya Ritual di Indonesia. Makalah yang Disampaikan Pada Seminar Agama dan Kebudayaan di Berastagi. Kerjasama Departemen Sosial Sumatera Utara dan NAD
Gultom, Ibrahim. 2010. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara Havilland, William A. 1993. Antropologi Edisi 2. Jakarta: Erlangga
Koentjaraningrat. 1981. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia Koentjaraningrat. 1985. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II, (cetakan 2007). Jakarta: Universitas Indonesia Press
Moleong, Lexi. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya
Muhaimin, A. G. 2001. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Prinst, Darwan. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis
Simanjuntak, BA. 2008. Jurnal Antropologi Sumatera. Medan: Unimed Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Lembaga penerbit FE: UI
Tarigan, Sarjani. 2012. Mutiara Hijau Budaya Karo. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia Vreden berg, Jacob. 1980. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Yushar. 2007. Kepercayaan Magi dan Ritual Masyarakat Nelayan Melayu Labuhan Deli. Tesis. Pasca Sarjana Unimed.
Sumber Internet:
http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=etnik&varbidang=all&vardialek=all&varragam =all&varkelas=all&submit=kamus/2015/02/24, 10.00
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan :
1. Latar belakang dilakukannya ritual tolak bala pada masyarakat desa Sigarang-garang adalah :
Ritual tolak bala bencana Gunung Sinabung sebagai permohonan maaf karena masyarakat sekitar tidak menghargai dan menghormati alam gaib yang ada di Gunung Sinabung. Masyarakat maupun pengunjung terlalu ceroboh atau bertingkah tidak baik ketika di sekitar Gunung Sinabung. Kealfaan warga Desa Sigarang-garang melakukan ritual ke pemandian umum pancur pitu di desa Sigarang-garang. Ritual yang sebelum tahun 2005 tetap dilakukan, namun setelah tahun 2005 tidak lagi dilakukan ritual oleh warga. Dugaan beberapa dukun (Guru sibaso) bahwa digesernya batu nini Karo telah membangkitkan amarah penghuni Gunung Sinabung, sehingga bentuk kemarahan itu adalah meletusnya Gunung Sinabung.
2. Proses dilakukannya ritual tolak bala bencana Gunung Sinabung yakni :
Guru sibaso yang dilibatkan dari beberapa desa berkumpul di desa Sigarang-garang.
mempersembahkan rokok, sirih,jeruk purut, supaya pengangkatan batu nini Karo dengan lancar dapat dipindahkan ke posisi semula.
Pemindahan batu nini Karo tidak berjalan mulus atau tahap pertama gagal dipindahkan. Kemudian pemindahan batu nini Karo dilakukan terlebih dahulu permohonan maaf oleh pemilik kolam yakni Bapak Sentosa Sitepu beserta istri. Suara musik, nyanyian dan tarian turut mengantarkan batu nini Karo yang diangkat dengan beko. Batu nini Karo pun diberikan minyak wangi, rokok oleh kaum laki-laki dan sirih oleh kaum perempuan. Setelah acara pemindahan selesai, dilakukan acara erpangir (membasuh diri). Percikan air yang telah diracik dari beberapa perangkat ritual seperti jeruk purut, bunga-bungaan dan mantra oleh sang guru sibaso.
Setelah acara memindahkan batu dan menari bersama selesai, maka disepakati agar pada acara ritual sekali lagi dalam waktu yang belum ditentukan akan dipersembahkan kambing putih kepada penghuni Gunung Sinabung juga sebagai permohonan maaf karena pada saat ini belum ada biaya untuk membeli kambing putih tersebut sebagai persembahan.
3. Makna dilakukannya ritual Gunung Sinabung yaitu :
tertentu. Budaya Karo yang sejak dahulu mengenal beragam acara ritual untuk tujuan tertentu kembali diaktifkan atau diingatkan pentingnya ritual melalui bencana Gunung Sinabung ini.
5.2. Saran
Adapun yang menjadi saran saya adalah agar masyarakat desa Sigarang-garang senantiasa memiliki sikap ekstra hati-hati bilamana ada tanda atau gejala akan meletusnya Gunung Sinabung. Bahwa terkait ritual tolak bala, maka alangkah baiknya agar untuk kedepannya jika dilakukan ritual tolak bala disosialisaikan dengan baik dan penuh pertimbangan dari berbagai pihak.
Masyarakat desa Sigarang-garang khususnya masih menginginkan agar dilakukan kembali acara ritual mempersembahkan satu ekor kambing putih, namun akibat keterbatasan biaya sehingga belum terlaksana. Oleh sebab itu kepada pemerintah daerah agar mempertimbangkan permohonan warga sekitar Gunung Sinabung.
Saran kepada Pemerintah Daerah Karo, bahwa ritual tolak bala bukan hanya dilakukan pada saat bencana Gunung Sinabung. Namun, jauh sebelum adanya agama yang diakui pemerintah, berbagai ritual telah ada bagi masyarakat Karo. Dan ritual tersebut menjadi kekayaan budaya Karo yang seyogianya pemerintah memberikan ruang untuk melestarikan ritual dengan pertimbangan agar ritual dilakukam dengan dasar melestarikan budaya Karo.