• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali T2 752012015 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali T2 752012015 BAB V"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

72 BAB V

PENUTUP

5.1.Kesimpulan dan Refleksi

Tradisi penguburan yang dilakukan dan tetap terus dipelihara serta dijaga merupakan

tradisi turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Trunyan. Kebudayaan Bali yang pada

umumnya mengenal “Ngaben” yaitu perlakuan terhadap jenazah dengan diupacarakan

dan dibakar berbeda dengan di Desa Trunyan ini, mayat hanya diletakan di atas tanah, ini

merupakan suatu kebudayaan yang terus dijaga dan dilestarikan oleh warga Desa

Trunyan. Pengertian dan pemahaman akan adanya kehidupan sesudah kematian juga

dimiliki oleh warga Desa Trunyan. Selain tradisi ini berbeda dengan Bali Daratan, di

dalamnya juga terkandung nilai yang dipandang sakral dan suci bagi kehidupan

masyarakat. Tradisi ini mempersatukan anggota masyarakat Trunyan.

Masyarakat Trunyan dalam tradisi penguburan membedakan perlakuan terhadap

orang meninggal, karena dalam kehidupan masyarakat meyakini dan membedakan akan

adanya yang disakralkan dan masuk dalam wilayah profan bahasa Durkheim dan Eliade.

Pembedaaan perlakuan terhadap orang meninggal dalam tradisi penguburan masyarakat

Trunyan dipengaruhi karena adanya tempat penguburan yang disakralkan oleh

masyarakat setempat. Kuburan utama atau Sema Waya yang dipercayai oleh masyarakat

merupakan kuburan suci di mana disitu hadir dan hidup dewa, dan leluhur masyarakat

Trunyan yang memberikan pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Semua benda,

(2)

73 Trunyan sehingga masuk dalam wilayah yang sakral, dilakukan dan dimasukan dalam

bagian itu karena semuanya dipengaruhi oleh kekuatan dan kuasa yang besar ada di luar

kekuatan manusia yang bagi Eliade masuk dalam wilayah profan. Semua hal yang

dianggap profan bagi Eliade menjadi suatu yang sakral dalam kehidupan masyarakat

Trunyan terlebih dalam Tradisi penguburan dan memperlakukan jenazah, sehingga orang

yang meninggal dalam keadaan tidak bercacat-cela dianggap sebagai orang yang

meninggal dalam keadaan suci, sehingga masuk dalam wilayah sakral dan untuk itu

dalam hal penguburan ada tempat, waktu dan benda-benda yang disakralkan dalam

masyarakat untuk suatu upacara kematian. Ketika ada yang meninggal dalam keadaan

bercacat-cela maka bagi masyarakat ini hanyalah sesuatu yang biasa sehingga masuk

dalam wilayah yang profan.

Semua hal adalah bagian dari ciptaan-Nya adalah yang profan bagi Eliade,

sehingga yang sakral hanyalah yang Ilahi, yang bersifat transenden. Tapi bagi Durkheim

yang sakral adalah semua yang berhubungan dengan kepentingan bersama suatu

kelompok masyarakat, sementara yang profan adalah semua yang berhubungan dengan

kepentingan individu. Pembedaan dibuat bukan untuk membedakan tetapi justru untuk

mengagungkan kesepakatan bersama yang merekatkan dan mempersatukan.

Semua yang disakralkan oleh masyarakat Trunyan adalah untuk kepentingan

menciptakan suatu keselaran, serta kehidupan bersama yang harmonis dalam suatu

masyarakat. Termasuk dalam segi kehidupan, yang profan adalah kepentingan individu,

tidak ada aturan yang berarti ketika tindakan yang dilakukan adalah demi kepentingan

individu (contoh sex). Dalam kehidupan masyarakat Trunyan fungsi sakral juga bukan

(3)

74 yang disakralkan karena diperuntukkan untuk yang dianggap sakral, sehingga fungsi

sakral disini juga mempunyai kekuatan mengikat suatu komunitas dalam hal

penyembahan kepada yang dianggap suci, mempunyai kekuatan, kuasa, yang melebihi

kekuatan manusia biasa, yaitu yang Ilahi.

Tradisi adalah bagian dari kehidupan masyarakat yang berbudaya untuk itu suatu

tradisi tetap terus dipelihara dan dijaga. Inilah yang dilakukan oleh masyarakat Trunyan

Bali dalam rangka memelihara dan menjaga suatu tradisi, yang dipercayai merupakan

warisan dari para nenek moyang sejak zaman awal desa tersebut ada.

5.2 Saran

- Bagi pemerintah desa dan petua adat kiranya dapat terus memelihara, menjaga, serta

melestarikan tradisi yang ada di desa Trunyan Bali yang sangat unik, dan bahkan

aneh yang tidak dapat ditemukan di daerah-daerah yang lain.

- Pelestarian tradisi yang ada akan mengundang para wisatawan baik dari dalam dan

luar negeri yang akan memberikan dampak untuk peningkatan ekonomi masyarakat

Trunyan.

- Memberitakan kepada masyarakat umum bahwa ritual pemakaman di Desa Trunyan

Referensi

Dokumen terkait

Makna yang terkandung dari tradisi Lamporan diantaranya adalah makna tradisi Lamporan dalam bidang religi/ agama yaitu sebagai ritual untuk menjaga desa dari segala

M anusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesama manusia dan membutuhkan orang lain dalam kehidupan bersama sehingga terjadi

adalah sebuah proses yang telah berlangsung dalam kehidupan bergereja tapi masih merupakan sesuatu yang dianggap tabu/kotor

Tradisi dalam pengertian sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat (Coomans, 1987:

Masyarakat Toraja memiliki budaya unik yang disebut ma’nenek, sebuah ritual yang mungkin aneh bagi orang lain, namun oleh mereka yang memelihara tradisi ini diyakini sebagai

hal-hal yang sangat mereka percayai dalam sejarah suci dalam waktu yang profan.. Mitos membuka bagi mereka suatu sejarah suci serta diwujudkan secara

Posisi tradisi “Piring Nazar” dalam Pendidikan Agama Kristen bagi keluarga sangat penting, karena telah menjadi salah satu bentuk atau metode pembelajaran untuk

Kepada masyarakat Desa Traji pada khususnya dalam prosesi tradisi Suran. sendang Sidukun hendaknya harus tetap mempertahankan sistem