• Tidak ada hasil yang ditemukan

SNFP UM 2016 NOVIKA LESTARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SNFP UM 2016 NOVIKA LESTARI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Penerapan Etnosains dalam Pembelajaran Fisika

NOVIKALESTARI

Pascasarjana Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Negeri Yogyakarta E-mail: novika.lestarii@gmail.com

ABSTRAK: Etnosains adalah pengetahuan sains yang diperoleh dengan meneliti sains yang terdapat dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Indonesia memiliki potensi daerah yang beraneka ragam khususnya kebudayaan. Potensi daerah yang mengandung unsur kebudayaan umumnya mempunyai penalaran khusus yang diturunkan turun temurun dari nenek moyang. Sebagian penalaran tersebut dapat dijelaskan secara sains. Oleh karena itu, kebudayaan memiliki potensi menjadi bahan ajar yang konstektual. Di era globalisasi, pendidikan memiliki peran penting dalam menjaga kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat atau daerah. Globalisasi dapat menghilangkan identitas suatu kelompok masyarakat di suatu daerah, bahkan dapat menghilang identitas suatu bangsa. Makalah ini menyajikan salah satu upaya yang mungkin dapat dilakukan pendidik sains (khususnya fisika) di Indonesia untuk menjaga kebudayaan daerah dalam menghadapi MEA 2016. Secara berturut-turut dibahas tentang: peran potensi daerah dalam pendidikan, etnosains dalam pembelajaran fisika dan cara mengembangkan bahan ajar fisika berbasis etnosains. Diharapkan dapat membantu usaha pemerintah untuk merevitalisasi identitas bangsa dengan cara memperkenalkan kebudayaan kepada generasi muda dengan cara mengi1ntegrasikannya dalam pembelajaran fisika. Manfaat yang lain semoga dapat sekaligus membantu pendidik fisika mengembangkan sebuah bahan ajar yang memuat potensi daerah ataulocal contentyang memadai.

Kata Kunci: etnosains, bahan ajar fisika, local content, dan MEA

PENDAHULUAN

Era globalisasi merupakan tantangan bagi seluruh negara berkembang seperti negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dampaknya negara-negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Brunai, Filipina, Singapura, Kamboja, Laos, Nyanmar, Vietman dan Thailand membentuk suatu wadah yang dikenal dengan nama Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Tujuan dibentuknya MEA adalah menjaga kestabilan ekonomi negara- negara yang menjadi anggotanya dengan menjadikan kawasan negara anggotanya sebagai pasar tunggal. Aktifitas keluar masuknya barang dan jasa di negara-negara tersebut akan semakin mudah. Akibatnya tidak hanya meningkatkan ekspor dan impor suatu negara, namun juga terbuka lebarnya bursa tenaga kerja antarnegara tesebut. Tenaga kerja lokal yang dianggap kurang terampil akan digantikan dengan tenaga kerja dari luar. Perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai agar warga Indonesia tidak menjadi pembantu di negaranya sendiri. Oleh karena itu, Indonesia harus memposisikan dirinya sejajar dengan negara-negara ASEAN lainnya.

(2)

Tahun 2003 yang menyatakan bahwa keragaman budaya dan lingkungan merupakan salah satu pokok yang perlu diperhatikan dalam menyusun kurikulum pendidikan Indonesia.

Peran pendidikan dalam membangun pembelajaran berbasis potensi daerah belum maksimal. Permasalahan utama disebabkan pembelajar kurang memiliki kesadaran akan kekayaan daerahnya. Masih ditemukan peserta didik yang tidak mengetahui potensi daerahnya sendiri (Wahyudi, 2014). Masuknya budaya asing juga menyebabkan tergerusnya budaya-budaya yang berasal dari nenek moyang. Parahnya ada generasi muda yang menolak tegas budaya nenek moyangnya tersebut (Herimanto & Winarno, 2010: 34). Akibatnya pemerintah menekankan agar dalam menyusun kurikulum harus disesuaikan dengan potensi daerahnya. Namun, pada pelaksanaannya pembelajaran potensi daerah dijadikan sebagai mata pelajaran khusus dari kurikulum pembelajaran. Mata pelajaran tersebut dikenal umum sebagai muatan lokal. Obanya (2005) menyatakan untuk siswa sekolah menengah pembelajaran berbasis potensi daerah sebaiknya diintegrasikan dalam disiplin ilmu secara implisit. Hasil yang ingin diperoleh dari pendidikan sekolah menengah adalah meningkatkan kecakapan hidup. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pembelajaran berbasis etnosains.

Etnosains berasal dari bahasa Yunani yaitu enthos (bangsa) dan logos (pengetahuan) (Werner & Fenton, 1970:537). Etnosains bermakna pengetahuan sains yang diperoleh dengan meneliti sains yang terdapat dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Pengetahuan etnosains mengintegrasikan antara dua pandangan yaitu emik dan etik (House, et al, 2004: 19, Morris,1999). Pengetahuan asli yang dikemukakan masyarakat disebut emik, sedangkan penalaran dari ahli sains tentang kebudayaan itu disebut etik. Pengetahuan berbasis etnosains bermafaat dalam menghasilkan pandangan baru dalam mengelola proses pembelajaran. Alhasil,pembelajaran etnosains dapat menjadikan lingkungan sekitar sebagai sarana pembelajaran yang efektif. Pembelajaran dianggap efektif jika sesuai yang diharapkan baik waktu maupun ketercapaian dari siswa.

Fisika merupakan cabang ilmu sains yang mempelajari gejala-gejala alam dan dampak yang ditimbulkannya. Proses dari gejala alam yang berulang-ulang mengakibatkan munculnya pengetahuan yang hanya berdasarkan pada penalaran-penalaran dari suatu kelompok masyarakat atau disebut emik. Hasil dari penalaran-penalaran ini kemudianditurunkan secara turun temurun oleh nenek moyang. Hasil penalaran ini tidak dapat dipandang sebagai mitos belaka karena sebagian penalaran ini ada yang dapat dijelaskan secara sains, dan ada pula yang belum dapat dijelaskan secara sains. Penalaran yang dapat dijelaskan secara sains akan berpotensi sebagai sumber dan sarana belajar yang bersifat konstektual.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini berupa studi literatur tentang peranan potensi daerah dalam pendidikan, etnosains dalam pembelajaran fisika dan metode-metode yang digunakan dalam mengembangkan bahan ajar fisika berbasis etnosains. Kajian literatur berasal dari analisis deskriptif terhadap jurnal-jurnal yang relevan dengan pembelajaran etnosains. Hasil analisis deskriptif tersebut kemudian diinterprestasikan menjadi panduan dalam mengembangkan pembelajaran dan menyusun bahan ajar berbasis etnosains dalam pembelajaran fisika.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peran Potensi Daerah dalam Pendidikan

(3)

ini ternyata dapat dijelaskan secara sains. Pada pukul 19.00 sampai 22.00 kinerja organ lambung akan menurun melemah yang menyebabkan lambung sulit untuk mencerna makanan. Akibatnya pada jam tersebut, perlu mengurangi jumlah makanan yang sulit dicerna tubuh seperti makanan yang banyak mengandung gula dan serat. Meskipun dapat dijelaskan secara ilmiah, pembelajaran yang berasal dari pengetahuan lokal jarang diperkenalkan dalam pembelajaran formal.

Pengetahuan lokal berasal dari penalaran dan ide-ide dari masyarakat lokal tentang kehidupan sehari-hari termasuk budaya tradisional, nilai, kepercayaan dan pandangan dunia (Dei, 1993). Pengetahuan ini juga dimaknai kumpulan pengetahuan, praktik dan representasi yang menggambarkan hubungan makhluk hidup dengan satu sama lain dan dengan lingkungan fisik mereka, adaptif dan telah turun temurun oleh transmisi budaya (Berkes et al 2000). Mozzocchi (2006) juga menerangkan pengetahuan lokal diartikan pengembangan konsep lingkungan yang menekankan karakter simbiosis manusia dan alam. Dengan demikian, disimpulkan bahwa pengetahuan lokal memiliki karakteristik yaitu pengetahuan ini tertanam dalam komunitas tertentu tersebut, bersifat kontekstual terikat, tidak percaya pada nilai-nilai individualis, tidak membuat dikotomi subjek atau objek dan membutuhkan komitmen untuk konteks lokal tidak seperti pengetahuan barat yangnilai mobilitas dan melemahkan akar lokal (Banuri & Apffel-Marglin, 1993: 10-18). Kelebihan pengetahuan lokal dibandingkan pengetahuan barat yaitu sifatnya yang holistik, fungsional dan adaptif terhadap perubahan lingkungan sosial dan alam, dan telah diturunkan turun temurun selama ribuan generasi (Rist & Dahdous, 2006). Fakta inimenjadikan pengetahuan lokal sebagai batu pijakan beberapa tren konvergen dari pemikiran sosial sain dan pengembangan dalam pelaksanaannya (Agrawal,1995).

Dampak pembelajaran berbasis pengetahuan lokal masih cukup minim. Hal ini disebabkan pembelajaran berbasis pengetahuan lokal dianggap rendah dibandingan format pembelajaran berbasis barat (Quigley, 2009). Adanya perbedaan antara sistem pengetahuan lokal dan ilmiah sering membuat benturan budaya yang serius bagi siswa lokal yang memiliki perbedaan pandangan dunia, budaya, dan bahasa pada kelasnya (Aikenhead, 2009). Alhasil, pembelajaran yang memuat ruang lingkup lintas budaya sulit dipahami oleh peserta didik (McKinley, 2007). Pembelajaran yang berasal dari pengetahuan lokal dapat dijadikan alternatif dalam mengatasi permasalahan tersebut. Faktanya penerapan pengetahuan lokal baik budaya maupun bahasa dapat membantu peserta didik dalam memahami pembelajaran dan mempertahankan identitasnya (Lee, 2001). Akibatnya, pengembangan kurikulum sains berbasis pengetahuan lokal dalam memahami fenomena fisik menjadi tantangan bagi praktisi pendidikan (Aikenhead & Elliott, 2010).

Etnosains dalam Pembelajaran Fisika

Pembelajaran etnosains menjadi isu hangat yang dikemukaan oleh ahli pendidikan untuk menjaga potensi kebudayaan yang dimiliki suatu daerah. Etnosains merupakan disiplin lintas ilmu yang menghubungkan antropologi atau budaya manusia dengan pembelajaran sains. Etnosains menjanjikan etnografi baru dalam memajukan antropologi budaya (Sturtevant, 1964). Elizabet (1973) mengklaim bahwa budaya dipandang dari "dalam ke luar dan bukan dari luar ke dalam" (Tyler, 1969: 20), dan juga memberikan kerangka logis untuk studi dan interpretasi budaya aturan perilaku tertentu dan tanggapan keberagaman budaya. Beberapa cabang yang termasuk dalam etnosains seperti etnoastronomi (Fabianm, 2001), etnoklimatologi (Orlove, Chiang, & Cane, 2002), dan etnofisika (Abonyi & Okafor, 2014). Pembelajaran ini bertujuan merekonstruksi pengetahuan kebudayaan dan kearifan lokal dari pengetahuan barat.Pembelajaran ini sangat fleksibel dan berguna dalam menggabungkan penelitian dasar dan terapan ilmiah (Dahdouh-Guebas, 2006).

(4)

etnosains dapat meningkatkan nilai suatu bangsa di dunia global. Kurangnya perhatian dari generasi muda Indonesia menyebabkan pemerintah khawatir akan hilangnya identitas bangsa. Upaya pemerintah dalam revitalisasi identitas bangsa dapat didukung dengan pembelajaran yang berbasiskan etnosains. Pembelajaran berbasis etnosains menjadi tren baru dalam mengembangkan masyarakat yang mampu membuat keputusan dalam menyelesaikan masalah sehari-hari.

Etnosains dalam fisika dimaknai sebagai sebuah hasil dari proses analisis prinsip fisika yang terkandung dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Misalnya hasil kajian etnosains dari kebudayaan masyarakat penglipuran Bali. Suastra (2005) melakukan kajian tentang berbagai topik sains asli yang ada pada masyarakat tersebut. Ditemukan 11 topik kajian yang dapat dijelaskan secara sains seperti penggunaan pasak yang terbuat dari batang bambu dalam membuat sambungan. Bagi masyarakat setempat tujuan pembuatan pasak tersebut adalah meminimalisir pasak patah saat terjadi guncangan gempa dan penggunaan bambu sebagai bahan bakunya agar pasak dapat bertahan pada udara lembab. Analisis sains atau analisis pembelajaran barat menyebutkan bahwa sambungan pasak dapat berfungsi sebagai sendi engsel yang berakibat saat terjadi gempa pasak hanya akan bergeser dan penggunaan bambu untuk mengatisipasi korosi yang diakibatkan udara lembab.

Ada enam teori dalam membangun pembelajaran berbasis etnosains (Cheng, 2002). Keenam teori tersebut yaitu Theory of Tree (teori menanam pohon), Theory of Birdcage (teori memelihara burung dalam sangkar), Theory of Crystal (teori mengasah batu mulia), Theory of DNA (teori DNA), Theory of Amoeba (teori cara hidup amuba), serta Theory of Fungus (teori cara hidup jamur). Pembelajaran jenis Theory of Tree didasarkan pada nilai-nilai lokal dan aset budaya tetapi menyerap pengetahuan global yang cocok dan teknologi untuk mendukung pengembangan masyarakat lokal dan individu sebagai warga setempat; Pemilihan pengetahuan global dalam instruksi tergantung pada kebutuhan masyarakat setempat dan preferensi budaya. Pembelajaran Theory of Crystal mengidentifikasi kebutuhan inti dan nilai-nilai lokal sebagai benih dasar untuk mengakumulasi mereka pengetahuan global yang relevan dan sumber daya untuk pendidikan; Pemahaman struktur pengetahuan lokal adalah dasar yang diperlukan bagi siswa untuk mengakumulasi pengetahuan dan kebijaksanaan global. ), Theory of Birdcage menerapkan kerangka kerja lokal dengan batas-batas ideologi yang jelas dan norma-norma sosial untuk desain kurikulum sehingga semua kegiatan pendidikan dapat memiliki fokus lokal jelas ketika manfaat dari paparan pengetahuan global yang luas dan input. Theory of DNA menerangkan pembelajaran harus sangat selektif baik pengetahuan lokal dan global dengan tujuan untuk memilih unsur-unsur terbaik dari mereka. Theory of Amoeba beban budaya dan nilai-nilai lokal dapat diminimalkan dalam desain kurikulum dan pengajaran dalam rangka untuk membiarkan siswa harus benar-benar terbuka untuk pembelajaran global. Theory of Fungus memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi dan mempelajari secara menyeluruh pengetahuan global yang berharga dan diperlukan untuk perkembangan mereka sendiri. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang memuat norma-norma ketimuran yang tinggi. Selain itu, peran teknologi modern masih sulit untuk masuk pada kelompok-kelompok masyarat tertentu. Dengan demikian, Indonesia masih menerapkanTheory of Birdcagedalam menerima budaya global.

(5)

1. Mengetahui sejarah, metode, prinsip dan perkembangan dari pembelajaran fisika. 2. Menguasai kompetensi, prinsip dan konsep yang dasar dari pembelajaran fisika. 3. Memiliki kemampuan pedagogik dalam mengajarkan fisika.

4. Memiliki keyakinan bahwa pengetahuan yang diajarkannya tersebut valid. 5. Memperhatikan keragaman manusia, bahan dan teknik atau sumber pendidikan. 6. Menghidari kelompok dominan.

7. Menghindari adanya unsur dogmatis dan moralis.

8. Menghidari membuat kesimpulan seluruh kebudayaan berdasarkan satu unsur budaya (langsung dan umum).

Ada lima hal yang dapat diangkat dalam pembelajaran berbasis etnosains yaitu pemikiran historis dari masyarakat dalam mengatur alam, istilah khusus setiap kelompok masyarakat, penalaran holistik pada berbagai sektor pengetahuan dan teknologi, pemikiran yang dinamis konsep dari konsep budaya serta bahan yang bermanfaat pada pembangunan budaya (Weber et al., 1995). Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam menerapkan pembelajaran ini (Abonyi, Achimugu & Adibe, 2014) yaitu:

1. Merancang jaringan dari campuran konsep fisika dengan integrasi terhadap pengetahuan lokal yang tepat dan kaitan yang melintasi batas-batas antara pengetahuan lokal dan barat.

2. Pengembangan bahan ajar pembelajaran untuk pembelajar berdasarkan konsep asli, praktek dan produk.

3. Membangun ruang kelas dengan fokus utama pada kewirausahaan lokal untuk tujuan perbaikan dan internasionalisasi.

4. Pengenalan bahan ajar pendidikan sains multibahasa untuk memfasilitasi akses dan pemanfaatan pengetahuan lokal terhadap budaya dan memastikan hubungan antar keduanya.

Dengan demikian, peran guru sebagai pendidik perlu mengetahui prinsip-prinsip yang perlu dilakukan sebelum mengintegrasikan sains dalam pembelajaran serta melakukan tahapan-tahapan rinci dalam mengintegrasikan pembelajaran ini.

Mengembangkan Bahan Ajar Fisika Berbasis Etnosains

Bahan ajar merupakan kumpulan konten yang perlu dipelajari oleh siswa baik berbentuk cetak atau yang difasilitasi oleh pengajar untuk mencapai tujuan tertentu (Dick, Carey & Carey, 2009: 230). Ada tiga hal yang mendasari perlunya pengembangan bahan ajar yaitu tuntutan kurikulum, karakteristik siswa dan kesulitan belajar siswa (Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, 2008: 8-9). Esu, Enukoha & Umoren dalam Ogbondah (2008: 17) menyatakan fungsi bahan ajar meliputi: (1) menerangkan konsep; (2) meningkatkan peran siswa; (3) membantu guru dalam menjelaskan teori; (4) memperluas pengetahuan siswa. Hal-hal perlu diperhatikan dalam menyusun bahan ajar yaitu: (1) memahami standar isi dan standar kompetensi lulusan, silabus, program semeter, dan rencana pelaksanaan pembelajaran; (2) mengidentifikasi jenis materi pembelajaran berdasarkan pemahaman terhadap poin (1); (3) melakuan pemetaan materi; (4) menetapkan bentuk penyajian; (5) menyusun struktur (kerangka) penyajian; (6) membaca buku sumber; (7) mendraf (memburam) bahan ajar; (8) merevisi (menyunting) bahan ajar; (9) mengujicobakan bahan ajar; dan (10) merevisi dan menulis akhir (finalisasi).

Berikut salah satu metode yang dapat digunakan dalam merancang bahan ajar berbasis etnosains.

1. Melakukan analisis terhadap konsep fisika dari sains lokal dan barat yang tidak mengandung moralis dan dogmatis dari kelompok sekaligus tidak mengadung kesimpulan yang digeneralisasikan.

(6)

3. Menyusun perangkat pembelajalan beserta strategi yang tepat diterapkan dalam bahan ajar fisika.

4. Menyusun kerangka atau draf bahan ajar fisika. Melakukan revisi terhadap draf yang telah dibuat. KESIMPULAN

Makalah ini menyajikan penerapan etnosains dalam pebelajaran fisika. Berdasarkan kajian tersebut diketahui pembelajaran etnosains baik diterapkan disekolah karena membantu peserta didik mengembangkan potensi diri dan lingkungannya. Dampak tidak langsung yang diperoleh yaitu membantu pemerintah dalam merevitalisasi identitas bangsa, Pembelajaran etnosains dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran dan bahan ajar.

DAFTAR RUJUKAN

Abonyi, O. S., Achimugu, L., & Njoku, M. I. A. (2014). Innovations in Science and Technology Education: A case for ethnoscience based science classrooms. International Journal of Scientific and Engineering Research, 5(1), 52-56.

Aikenhead, G. (2001).Integrating Western and Aboriginal sciences: Cross-cultural science teaching. Research in Science Education, 31(3), 337-355.

Aikenhead, G. S., & Elliott, D. (2010). An emerging decolonizing science education in Canada. Canadian Journal of Science, Mathematics and Technology Education, 10(4), 321-338.

Agrawal, A. (1995). Dismantling the divide between indigenous and scientific knowledge. Development and change, 26(3), 413-439.

Banuri, T., & Apffel Marglin, F. (1993). Who will save the forests? Knowledge, power and environmental destruction. United Nations University.

Berkes, F., Colding, J., & Folke, C. (2000). Rediscovery of traditional ecological knowledge as adaptive management. Ecological applications, 10(5), 1251-1262.

Cheng, Y. C. (2001). Fostering Local Knowledge & Wisdom in Globalized Education. In International Journal of Education Management.

Dei, G. J. (1993). Sustainable development in the African context: Revisiting some theoretical and methodological issues. Africa Development/Afrique et Développement, 97-110.

Herimanto & Winarno. (2010). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

House, R. J., Hanges, P. J., Javidan, M., Dorfman, P. W., & Gupta, V. (Eds.). (2004).Culture, leadership, and organizations: The GLOBE study of 62 societies. Sage publications.

Lee, O. (2001).Culture and language in science education: What do we know and what do we need to know?.Journal of Research in Science Teaching,38(5), 499-501.

McKinley, E. (2007). Indigenous Students. Handbook of research on science education, 1, 199.

Morris, I. (1999).Archaeology and gender ideologies in early archaic Greece.Transactions of the American Philological Association (1974-), 129, 305-317.

Obanya, P. A. I. (2005, December). Culture-in-education and Education-in-Culture. In Fifth conference of African Ministers of Culture (pp. 10-14).

(7)

Orlove, B., Chiang, J., & Cane, M. (2002). Ethnoclimatology in the Andes A cross-disciplinary study uncovers a scientific basis for the scheme Andean potato farmers traditionally use to predict the coming rains. American Scientist, 90(5), 428-435. Quigley, C. (2009).Globalization and Science Education: The Implications for Indigenous

Knowledge Systems. International Education Studies, 2(1), 76-88.

Rist, S., & Dahdouh-Guebas, F. (2006). Ethnosciences A step towards the integration of scientific and indigenous forms of knowledge in the management of natural resources for the future. Environment, Development and Sustainability, 8(4), 467-493.

Suastra, I. W. (2005). Merekonstruksi Sains Asli (Indigenous Science) dalam Upaya Mengembangkan Pendidikan Sains Berbasis Budaya Lokal di Sekolah. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 38(3), 377-396.

Sturtevant, W. C. (1964). Studies in ethnoscience. American Anthropologist,66(3), 99-131.

Tyler, D. D. (1969). Evidence of a phosphate-transporter system in the inner membrane of isolated mitochondria. Biochemical Journal, 111(5), 665-678.

Wahyudi, A. 2014. Implementasi Sekolah Berbasis Kearifan Lokal Di SD Negeri Sendangsari Pajangan. Skripsi: tidak diterbitkan.

Weber, S., & Mitchell, C. (1995).That's funny, you don't look like a teacher!: Interrogating images and identity in popular culture (No. 3). Psychology Press.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

dapat mengkonsumsi ice cream yang terbuat dari susu sapi dikarenakan adanya laktosa pada susu sapi tersebut Pemanf:1atan sari kacang hijau sebagai bahan baku ice

Menyediakan perlindungan terhadap kerosakan akibat kemalangan pada kepingan kaca atau kerosakan pada papan tanda yang dipasang ke atas bangunan diinsuranskan di dalam premis

3. Nilai wajar yang digunakan hanya mencakup aset, sedangkan nilai wajar liabilitas masih minim dan sulit diidentifikasi dari laporan keuangan. Untuk itu, diusulkan kepada

Atas dasar inilah, penelitian ini dilakukan, yaitu untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara sistem KBK dan non-KBK yang sedang

Nilai heritabilitas untuk tetua jantan kacang panjang hitam putih (KP) terhadap KTu.KP menunjukkan bahwa sebagian besar sifat kuantitatif yang diamati memiliki nilai

Insight in learning adalah suatu proses belajar mengajar yang diawali dengan proses trial-error, tetapi dari peristiwa tersebut akhirnya dicapai suatu pemahaman.. Insight in

Hutan primer yang dibuka menjadi kebun kelapa sawit tetap memiliki jumlah jenis paku-pakuan yang banyak namun demikian komposisi tumbuhan paku pada kebun kelapa sawit

Setelah melakukan pemilihan gambar, editing gambar menggunakan software adobe photoshop dengan menggunakan elemen pada desain visual, maka penulis mendapatkan desain