DAFTAR ISI
A. Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 20
B. Self Concept Matematis ... 26
C. Pembelajaran Eksplorasi ... 31
D. Pembelajaran Konvensional ... 36
E. Teori Belajar yang Mendukung ... 38
D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 47
1. Tes Pengetahuan Awal Matematis ... 47
2. Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 49
3. Skala Self Concept Matematis ... 60
4. Lembar Wawancara ... 64
F. Teknik Analisis Data ... 65
1. Analisis Data Kuantitatif ... 66
2. Analisis Data Kualitatif ... 66
G. Tahapan Penelitian ... 74
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 75
A. Hasil Penelitian ... 75
1. Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 76
2. Self Concept Matematis ... 102
3. Hubungan antara Kemampuan Berpikir Logis dan Self Concept Matematis ... 107
B. Pembahasan ... 110
1. Model Pembelajaran ... 110
2. Pengetahuan Awal Matematis ... 119
3. Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 121
4. Self Concept Matematis ... 124
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI ... 126
A. Kesimpulan ... 126
B. Implikasi ... 128
C. Rekomendasi ... 129
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pengembangan kemampuan berpikir matematis telah menjadi perhatian utama dalam pembelajaran matematika di Indonesia saat ini. Bahkan di negara maju seperti Jepang, Australia, Inggris dan Amerika pengembangan kemampuan berpikir matematis menjadi isu utama dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Wijaya, 2012: 16). Di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2006 tentang Standar Isi (Permendiknas, 2006: 346) disebutkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam mempelajari masalah, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
kedua dan kelima yang sangat berkaitan dengan kemampuan berpikir logis dan
self concept.
Persiapan-persiapan untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis tersebut dapat dilakukan melalui latihan membuat keputusan dan kesimpulan dari suatu permasalahan atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien dan efektif. Selain itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan cara berpikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada kegiatan bernalar, keterampilan dalam penerapan matematika, dan pembentukan sikap percaya diri siswa.
Namun tujuan ideal pembelajaran matematika menurut Permendiknas di atas tidak diikuti dengan kenyataan di sekolah. Berdasarkan hasil Video Study yang dilakukan oleh Shadiq (2007: 2) ditemukan bahwa ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan selama mengajar, waktu yang digunakan siswa untuk problem solving hanya 32% dari seluruh waktu di kelas.
Pendapat tersebut sejalan dengan temuan Ashari (Shadiq, 2007: 2) yang menyatakan bahwa karakteristik pembelajaran matematika saat ini lebih mengacu pada tujuan jangka pendek (lulus ujian baik ujian lokal maupun nasional), sehingga tujuan yang ingin dicapai guru adalah agar siswa lulus ujian, bukan tujuan yang diamanatkan oleh tujuan mata pelajaran matematika seperti yang disebutkan dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2006.
Selain itu, materi yang disampaikan oleh guru kurang membumi (kurang mendalam), lebih fokus pada kemampuan prosedural dan low order thinking
skills, sehingga siswa tidak biasa dalam mengerjakan soal-soal atau permasalahan
yang tidak rutin. Komunikasi yang terjadi di kelas cenderung satu arah, monoton, dan pertanyaan yang diajukan oleh guru kurang melacak pengetahuan yang dimiliki oleh siswa.
Kedua pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Turmudi (2010: 7) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika selama ini disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja
sehingga derajat “kemelekatannya” juga sangat rendah, akibatnya siswa cepat
lupa dan akibat lanjutannya adalah rendahnya hasil pencapaian siswa.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa proses pemerolehan pengetahuan tidak diperoleh oleh siswa, melainkan hasil transfer dari guru. Sebagaimana pendapat Bodner (Fadjar, 2010: 12) “…. Knowledge is constructed as the learner strives to
seorang guru ke otak siswanya. Setiap siswa harus membangun pengetahuan itu di dalam otaknya sendiri-sendiri.
Proses pembelajaran matematika seperti yang diungkapkan di atas, jelas lebih banyak menekankan aspek prosedural (doing) daripada aspek berpikir (thinking). Hal tersebut bertentangan dengan apa yang diungkapkan oleh Riedesel (Suryadi, 2010) bahwa belajar berpikir matematis merupakan hal yang lebih penting dari sekedar belajar matematika secara prosedural. Apa yang diajarkan di sekolah lebih banyak berkaitan dengan keterampilan prosedural tetapi kurang menekankan pada aspek mengapa demikian dan apa kesimpulannya.
Dengan kata lain basis pemahaman dalam belajar hanya berupa hafalan saja (memorizing), bukannya penalaran dan kemampuan berpikir sebagai basis pemahaman. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mukhayat (2004) yang menyatakan bahwa belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas berpikir siswa dan mengandung akibat buruk pada perkembangan mental dan kognitif siswa.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hendra (Hanum dkk, 2010: 8), mengungkapkan bahwa pada rasionalnya matematika diajarkan karena matematika melatih siswa berpikir dan berargumentasi. Tidak hanya mengasah fungsi otak kiri, yaitu berpikir logis, analitis, kritis, detail, runtut, berurutan dan sistematis, tetapi juga mengasah fungsi otak kanan, seperti berpikir alternatif, eksploratif dan kreatif, serta kemampuan desain dan optimasi. Melalui matematika, siswa dapat pula dibiasakan bekerja efisien, selalu berusaha mencari jalan yang lebih sederhana dan lebih singkat (tanpa mengurangi keefektifannya, juga cermat, dan ketat dalam berargumentasi).
Ditinjau dari kemampuan berpikir matematis, berpikir logis merupakan aspek kemampuan berpikir yang harus dikembangkan selain kemampuan berpikir lainnya seperti berpikir kritis, kreatif, analisis dan sistematis. Kemampuan berpikir logis sangat diperlukan siswa untuk memahami suatu permasalahan matematis, karena dalam pemecahan masalah matematis terdapat langkah-langkah yang terkadang hanya dapat dilakukan dengan logika.
Selain itu, kemampuan berpikir logis memungkinkan seseorang untuk menolak jawaban cepat dan mudah, seperti “Saya tidak tahu” dan atau “Ini terlalu
sulit”, dengan memberdayakan orang tersebut untuk mempelajari lebih dalam
proses berpikir dan memahami lebih baik metode yang digunakan untuk pada suatu solusi.
tidak rutin itu akan memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberdayakan segala kemampuan yang dimilikinya atau menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Kemampuan penalaran dan berpikir logis dalam pembelajaran matematika perlu dikembangkan karena dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan dalam matematika, yaitu dari yang hanya sekedar mengingat kepada kemampuan pemahaman (Sumarmo, 1987; Mukhayat, 2004). Hal yang sama dikemukakan oleh Audiblox (2006), “logical thinking: helping children to become smarter.”
Mencermati uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir logis matematis merupakan bagian penting dari pemecahan masalah matematika. Sedangkan pemecahan masalah merupakan esensi dari proses belajar-mengajar matematika seperti yang tercantum dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan yang menyatakan bahwa inti dari proses pembelajaran matematika adalah pemecahan masalah. Oleh karena itu, pembelajaran matematika yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir logis tersebut menjadi sangat penting untuk dilakukan dan dikembangkan oleh guru matematika.
“Academic self concept refers to individual’s knowledge and perceptions about
themselves in a academic achievement situations”.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diartikan bahwa self concept akademik mengacu pada pengetahuan individu dan persepsi tentang diri mereka sendiri dalam situasi pencapaian akademik. Hal ini sejalan dengan pendapat Reyes (Tan, dan Yates, 2007) yang mendefinisikan self concept akademik sebagai “A person’s perception of self with respect to achievement in school”.
Self concept merupakan hasil dari interaksi sosial melalui proses
internalisasi dan pengorganisasian pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi personal terhadap lingkungan sosial dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang yang dianggap teladan bagi individu tersebut. Artinya konsep diri terbentuk melalui pengalaman individu dalam berhubungan dengan orang lain. Oleh karena pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya. Sudah menjadi suatu kondisi yang alami bahwa setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda.
Dalam proses pembelajaran matematika dibutuhkan self concept yang positif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai, karena konsep diri berkorelasi dengan prestasi, motivasi, dan tujuan pribadi (Herniati, 2011:17). Sedangkan menurut Fink (Burns, 1993) menyatakan bahwa terdapat perbedaan
self concept antara siswa yang tergolong overachiever dan underachiever. Siswa
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Walsh (Burns, 1993), juga menunjukkan bahwa siswa-siswa yang tergolong underachiever mempunyai self
concept yang negatif, serta memperlihatkan beberapa karakteristik kepribadian; 1)
mempunyai perasaan dikritik, ditolak, dan diisolir; 2) melakukan mekanisme pertahanan diri dengan cara menghindar dan bahkan bersikap menentang; 3) tidak mampu mengekspresikan perasaan dan perilakunya.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas, jelas bahwa self concept dan prestasi belajar matematika siswa mempunyai hubungan yang erat. Siswa yang berprestasi tinggi cenderung memiliki konsep diri yang berbeda dengan siswa yang berprestasi rendah. Siswa yang berprestasi rendah akan memandang diri mereka sebagai orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kurang dapat melakukan penyesuaian diri yang kuat dengan siswa lain dan cenderung memandang orang lain sebagai lingkungan yang tidak dapat menerimanya.
Siswa yang memandang dirinya negatif, pada gilirannya akan menganggap keberhasilan yang dicapai bukan karena kemampuan yang dimilikinya, melainkan lebih karena faktor kebetulan. Lain halnya, dengan siswa yang memandang dirinya positif, akan memandang keberhasilan sebagai hasil kerja keras dan karena faktor kemampuannya.
Self concept dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran yang
concept yang positif siswa dapat berhasil dalam mengerjakan tugas-tugas yang
berkaitan dengan matematika.
Dalam penelitian ini, selain dari aspek pembelajaran dan aspek psikologis, aspek pengetahuan awal matematis (PAM) siswa juga dijadikan sebagai fokus dalam penelitian ini. Hal itu terkait dengan pemerolehan pengetahuan baru yang sangat ditentukan oleh pengetahuan awal (prior knowledge) siswa, apabila pengetahuan awal siswa baik maka akan berakibat pada pemerolehan pengetahuan yang baik pula. Hal tersebut bersesuaian dengan teori konstruktivisme yang berpandangan bahwa belajar merupakan kegiatan membangun pengetahuan yang dilakukan sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki sebelumnya (Shadiq, 2009).
Berdasarkan teori tersebut di atas, siswa akan lebih mudah dalam mengkonstruksi pengetahuan baru apabila pengetahuan baru tersebut berkaitan dengan pengetahuan sebelumnya atau memiliki asosiasi dengan pengalamannya. Selain itu terkait dengan efektivitas implementasinya pada proses pembelajaran. Tujuannya yaitu untuk melihat apakah implementasi kegiatan eksplorasi dapat merata di semua kategori PAM siswa atau hanya kategori PAM tertentu saja. Jika merata di semua PAM, maka penelitian ini dapat digeneralisir bahwa implementasi pembelajaran eksplorasi cocok diterapkan untuk semua level kemampuan.
beberapa hasil penelitian berikut. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Suryadi (2005) yang menemukan bahwa siswa SMP di kota dan kabupaten Bandung mengalami kesulitan dalam kemampuan mengajukan argumentasi serta menemukan pola dan pengujian bentuk umumnya.
Begitu pula hasil laporan survey Internasional berkaitan dengan kemampuan siswa SMP di Indonesia yaitu Trends in International Mathematics and Science
Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assessment (PISA)
menyebutkan bahwa kemampuan siswa SMP Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin (masalah matematis) sangat lemah, siswa belum mampu mengembangkan kemampuan berpikir logisnya secara optimum dalam mata pelajaran di sekolah, proses pembelajaran matematika belum mampu menjadikan siswa mempunyai kebiasaan membaca sambil berpikir dan bekerja (Wardhani dan Rumiati, 2011: 57).
Fakta-fakta di atas masih relevan dengan keadaan pada tahun-tahun sebelumnya seperti yang diungkapkan oleh Sumarmo (1987) bahwa siswa masih banyak mengalami kesukaran dalam pemahaman relasional dan berfikir derajat kedua, artinya siswa mengalami kesukaran dalam tes penalaran deduktif dan induktif. Selain itu, menurut (Wahyudin, 1999) satu dari lima kelemahan yang ditemukan adalah siswa kurang memiliki kemampuan nalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan atau soal-soal matematika.
pembelajaran yang diyakini dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis matematis siswa adalah dengan pembelajaran eksplorasi.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses yang menyebutkan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran harus dilaksanakan sebagai berikut:
“Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan
sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi”
(Permendiknas, 2007).
Kegiatan eksplorasi menawarkan kesempatan kepada para siswa untuk memperluas pengetahuan mereka menggunakan proses dan keterampilan serta menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan pengalaman belajarnya untuk memecahkan masalah dengan cara melibatkan siswa dalam proses pemecahan masalah. Selain itu, melalui kegiatan eksplorasi siswa dapat menemukan proses matematika sedemikian rupa sehingga siswa mengalami sendiri, mampu menciptakan suatu hipotesis (conjecture), selanjutnya mencari jawaban untuk
conjecture yang siswa buat melalui kegiatan pengamatan dan penyelidikan
(Turmudi, 2009: 3).
Selain itu berdasarkan pendapat Magoulas dan Cocea (2008) lingkungan pembelajaran eksplorasi merupakan karakteristik pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswa dan biasanya sesuai dengan ranah yang berhubungan dengan solusi majemuk yang dapat diperoleh, dimana eksplorasi merupakan bagian yang penting untuk memahami karakteristik-karakteristik tersebut.
Berikut merupakan hasil penelitian terdahulu yang membahas tentang penerapan pembelajaran eksplorasi dan penelitian mengenai kemampuan berpikir logis siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Saragih (2011: 220) yang menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir logis yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pembelajaran matematika realistic dan kelompok kecil secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa.
Sedangkan berdasarkan temuan dari Pelita (2011: 127) menemukan bahwa peningkatan keterampilan berpikir logis siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif menggunakan Video-Based Learning secara signifikan lebih tinggi dibandingkan siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif tanpa menggunakan Video-Based Learning serta peningkatan rata-rata N-gain tertinggi pada aspek variable controlling dan terendah pada aspek correlational
proportional.
dimanipulasinya dan dihubungkan dengan pengalaman yang dimiliki siswa sebelumnya.
Melihat pada proses pembelajaran eksplorasi erat sekali hubungannya dengan kemampuan menarik kesimpulan (generalisasi) dari masalah-masalah yang ada secara logis. Maka dari itu penelitian ini dimaksudkan untuk menerapkan pembelajaran eksplorasi dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis matematis dan self concept siswa sekolah menengah pertama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa dan (b) pengetahuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah)?
2. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (eksplorasi dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa? 3. Apakah self concept matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran
4. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan berpikir logis dan self concept matematis siswa setelah mendapatkan pembelajaran eksplorasi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menelaah peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
2. Mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa ditinjau dari pengetahuan awal matematis siswa.
3. Mengkaji ada tidaknya interaksi antara pembelajaran (eksplorasi dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis matematis.
4. Mengkaji self concept matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi dan pembelajaran konvensional.
5. Mengkaji hubungan antara self concept dan kemampuan berpikir logis matematis siswa pada kelas yang menggunakan pembelajaran eksplorasi. 6. Mengkaji dan mendeskripsikan karakteristik siswa dalam pembelajaran
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai bahan pertimbangan alternatif pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis matematis serta self concept matematis siswa.
2. Memberikan informasi tentang pengaruh pembelajaran dengan pembelajaran eksplorasi terhadap kemampuan berpikir logis matematis siswa SMP.
3. Memberikan informasi tentang pengaruh pembelajaran dengan pembelajaran eksplorasi terhadap self concept matematis siswa SMP. 4. Sebagai bagian dari upaya pengembangan bahan ajar dalam pembelajaran
matematika.
5. Sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar dan motivasi belajar siswa.
E. Definisi Operasional
Untuk memperoleh kesamaan pandangan dan menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah atau variabel yang digunakan, berikut ini akan dijelaskan pengertian dari istilah atau variabel-variabel tersebut.
1. Kemampuan Berpikir Logis Matematis (KBL)
kesimpulan yang benar. Terdiri dari kemampuan analogi, penalaran proporsional dan penalaran probabilitas.
a. Kemampuan analogi adalah kemampuan dalam menentukan kesamaan hubungan dalam suatu pola bilangan atau gambar.
b. Kemampuan penalaran proporsional adalah kemampuan dalam menentukan dan membandingkan rasio, serta menyelesaikan permasalahan proporsi atau rasio dengan berbagai macam strategi.
c. Kemampuan penalaran probabilitas adalah kemampuan dalam menentukan besarnya kemungkinan (peluang) terjadinya suatu kejadian.
2. Self Concept Matematis
Dalam penelitian ini self concept yang akan diukur terdiri dari 2 dimensi, yaitu: dimensi keyakinan dan dimesi sikap.
a. Keyakinan terhadap kemampuan diri, mengenai pandangan siswa terhadap kemampuan matematika yang dimilikinya.
b. Sikap mengenai kemampuan diri, mengenai pandangan siswa tentang pembelajaran matematika yang ideal bagi dirinya.
3. Pembelajaran Eksplorasi
a. Tahap Penyajian Masalah Eksplorasi
1) Penyampaian tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dari kegiatan pembelajaran eksplorasi.
2) Penyajian masalah eksplorasi dan penyampaian aturan-aturan pembelajaran yang mendorong siswa tertarik untuk memecahkan masalah eksplorasi dan tertarik untuk melakukan kegiatan eksplorasi. b. Tahap Pengumpulan Data/Informasi
1) Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok dan memberikan lembar aktivitas siswa.
2) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan eksplorasi melalui permasalahan matematis yang diajukan.
c. Tahap Analisis Data
1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat dan menguji dugaan atas permasalahan tersebut.
2) Siswa mempresentasikan hasil diskusinya. d. Tahap Penyimpulan
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional bila ditinjau dari: (1) keseluruhan siswa dan (2) pengetahuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah).
2. Terdapat interaksi antara pembelajaran (eksplorasi dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah) siswa dalam peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa.
3. Self concept matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi
lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. 4. Terdapat asosiasi antara self concept matematis dan kemampuan berpikir
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment atau eksperimen semu yang terdiri dari dua kelompok penelitian yaitu kelas eksperimen (kelas perlakuan), kelas ini merupakan kelompok siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran eksplorasi dan kelompok kontrol (kelas pembanding) adalah kelompok siswa yang pembelajarannya tidak menggunakan pembelajaran eksplorasi (konvensional). Pertimbangan penggunaan desain penelitian ini adalah bahwa kelas yang ada sudah terbentuk sebelumnya, dan pembentukan kelas baru akan menyebabkan kekacauan jadwal pelajaran serta mengganggu efektivitas pembelajaran di sekolah. Sehingga tidak dilakukan lagi pengelompokan secara acak.
Dengan demikian untuk mengetahui adanya perbedaan kemampuan berpikir logis matematis siswa terhadap pembelajaran matematika dilakukan penelitian dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2005: 52) berikut: Kelas Eksperimen : O X O
Kelas Kontrol : O O
Keterangan:
O : Pre-test atau Post-test kemampuan berpikir logis X : Pembelajaran Eksplorasi
Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh implementasi model pembelajaran eksplorasi terhadap kemampuan berpikir logis dan self concept matematis siswa maka dalam penelitian ini dilibatkan faktor kategori pengetahuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah).
B. Subyek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 1 Labuan Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten tahun ajaran 2012/2013. Berdasarkan peringkat sekolah SMP Negeri 1 Labuan termasuk dalam klasifikasi sekolah sedang, sehingga kemampuan akademik siswanya heterogen dan dapat mewakili siswa dari tingkat kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Pemilihan siswa SMP sebagai subyek penelitian didasarkan pada pertimbangan tingkat perkembangan kognitif siswa SMP masih pada tahap peralihan dari tahap operasi konkret ke operasi formal sehingga sesuai untuk diterapkannya pembelajaran eksplorasi. Sedangkan sampel penelitiannya adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Labuan.
C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian merupakan suatu kondisi yang dimanipulasi, dikendalikan atau diobservasi oleh peneliti. Penelitian ini mengkaji tentang implementasi pembelajaran matematika di kelas VII SMP dengan pembelajaran eksplorasi untuk melihat pengaruhnya terhadap pengembangan kemampuan berpikir logis dan self concept siswa terhadap matematika. Penelitian ini juga membandingkan perlakuan antara pembelajaran eksplorasi dan pembelajaran konvensional.
Variabel kontrol yang juga menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah kategori pengetahuan awal matematis (PAM) siswa yaitu kategori tinggi, sedang dan rendah. Kelompok PAM siswa adalah tingkat kedudukan siswa yang didasarkan pada hasil skor dari tes PAM dalam satu kelas. Siswa yang hasil skornya berada pada sepertiga bagian atas diasumsikan sebagai siswa berkemampuan tinggi. Siswa yang berada pada sepertiga bagian tengah merupakan siswa berkemampuan sedang, dan yang berada pada sepertiga bagian bawah adalah siswa berkemampuan rendah.
Berdasarkan uraian di atas, maka variabel penelitian melibatkan tiga jenis variabel yakni variabel bebas yaitu pembelajaran eksplorasi dan pembelajaran konvensional, sedangkan variabel terikat yaitu kemampuan berpikir logis dan self
concept matematis siswa serta variabel kontrol yaitu kategori pengetahuan awal
D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan dua jenis instrumen, yaitu tes dan non tes. Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari seperangkat soal tes untuk mengukur pengetahuan awal matematis siswa, dan kemampuan berpikir logis. Sedangkan instrumen dalam bentuk non tes yaitu skala
self concept siswa, pedoman wawancara dan bahan ajar. Berikut ini merupakan
uraian dari masing-masing instrumen yang digunakan. 1. Tes Pengetahuan Awal Matematis (PAM)
Pengetahuan awal matematika siswa adalah kemampuan atau pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung. Pemberian tes pengetahuan awal matematis siswa bertujuan untuk mengetahui pengetahuan siswa sebelum pembelajaran dan untuk memperoleh kesetaraan rata-rata kelompok eksperimen dan kontrol. Selain itu tes PAM juga digunakan untuk penempatan siswa berdasarkan pengetahuan awal matematisnya.
Pengetahuan awal matematika siswa diukur melalui seperangkat soal tes dengan materi yang sudah dipelajari di SD, terutama materi kelas IV – VI SD. Tes ini berupa soal pilihan ganda dengan empat pilihan jawaban terdiri dari 20 butir soal. Penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal dilakukan dengan aturan untuk setiap jawaban benar diberi skor 1, dan untuk setiap jawaban salah atau tidak menjawab diberi skor 0.
kriteria pengelompokkan pengetahuan awal matematika siswa berdasarkan skor rerata ( ) dan simpangan baku (SB) sebagai berikut:
PAM ≥ + SB : Siswa Kelompok Tinggi – SB ≤ PAM < + SB : Siswa Kelompok Sedang
PAM ≤ – SB : Siswa Kelompok Rendah
Dari hasil perhitungan terhadap data pengetahuan awal matematis siswa, diperoleh = 34,86 dan SB = 15,34, sehingga kriteria pengelompokkan adalah sebagai berikut.
Siswa kelompok tinggi, jika: skor PAM ≥ 50,20 Siswa kelompok sedang, jika: 19,52 ≤ PAM < 50,20
Siswa kelompok rendah, jika: skor PAM ≤ 19,52
Tabel 3.1 berikut menyajikan banyaknya siswa yang berada pada kelompok atas, tengah, dan bawah pada masing-masing kelas eksperimen dan kontrol.
Tabel 3.1
Banyaknya Siswa Berdasarkan Kategori PAM
Kelompok Pembelajaran Total
Eksplorasi Konvensional
Tinggi 6 6 12
Sedang 24 24 48
Rendah 5 5 10
Total 35 35 70
dengan aspek-aspek pengetahuan awal matematis dan dengan materi matematika SD. Sedangkan untuk mengukur validitas muka, pertimbangan didasarkan pada kejelasan soal tes dari segi bahasa dan redaksi.
Selain itu juga, perangkat soal tes PAM ini terlebih dahulu diujicobakan secara terbatas kepada lima orang siswa di luar sampel penelitian. Tujuan dari uji coba ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa dan memperoleh gambaran apakah butir-butir soal dapat dipahami oleh siswa. berdasarkan hasil uji coba terbatas, ternyata diperoleh gambaran bahwa semua soal tes dipahami dengan baik. Kisi-kisi soal, perangkat soal, dan kunci tes PAM selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran A.
2. Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis
Tes kemampuan berpikir logis matematis disusun dalam bentuk uraian. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Frankel dan Wallen (Suryadi, 2005) yang menyatakan bahwa tes berbentuk uraian sangat cocok untuk mengukur
higher level learning outcomes.
pemberian tes pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suatu perlakuan dalam hal ini pembelajaran eksplorasi dan pembelajaran konvensional terhadap kemampuan berpikir logis matematis siswa.
Tes kemampuan berpikir logis dibuat untuk mengukur kemampuan berpikir logis matematis siswa kelas VII mengenai materi yang sudah dipelajarinya. Adapun rincian indikator kemampuan berpikir logis yang akan diukur adalah sebagai berikut.
Tabel 3.2
Deskripsi Indikator Kemampuan Berpikir Logis Matematis
Variabel Indikator Aspek yang diukur
Berpikir 2. Menyelesaikan permasalahan proporsi
atau rasio dengan berbagai macam strategi.
Penalaran Probabilitas
1. Menentukan besarnya kemungkinan (peluang) terjadinya suatu kejadian.
Untuk memperoleh data kemampuan berpikir logis matematis, dilakukan penskoran menggunakan skor rubrik yang dimodifikasi dari Saragih (2011), disajikan pada Tabel 3.3
Tabel 3.3
Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis
Skor Kriteria
3 Jawaban benar, alasan benar
2 Jawaban benar, alasan salah
1 Jawaban salah, alasan benar
Sebelum tes kemampuan berpikir logis matematis digunakan dilakukan uji coba dengan tujuan untuk mengetahui apakah soal tersebut sudah memenuhi persyaratan validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda. Soal tes kemampuan berpikir logis matematis ini diujicobakan pada siswa kelas VIII-A SMPN 1 Labuan yang telah menerima materi bilangan bulat dan pecahan. Tahapan yang dilakukan pada uji coba tes kemampuan berpikir logis matematis sebagai berikut:
a. Analisis Validitas Tes
Menurut Arikunto (2006: 168), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkatan kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Validitas instrumen diketahui dari hasil pemikiran dan hasil pengamatan. dari hasil tersebut akan diperoleh validitas teoritik dan validitas empirik.
1) Validitas Teoritik
Validitas teoritik untuk sebuah instrumen evaluasi menunjuk pada kondisi bagi sebuah instrumen yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan teori dan aturan yang ada. Pertimbangan terhadap soal tes kemampuan berpikir logis yang berkenaan dengan validitas isi dan validitas muka diberikan oleh ahli.
Validitas muka dilakukan dengan melihat tampilan dari soal itu yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya dan tidak salah tafsir. Jadi suatu instrumen dikatakan memiliki validitas muka yang baik apabila instrumen tersebut mudah dipahami maksudnya sehingga testi tidak mengalami kesulitan ketika menjawab soal.
Sebelum tes tersebut digunakan, terlebih dahulu dilakukan validitas muka dan validitas isi instrumen oleh para ahli yang berkompeten. Uji coba validitas isi dan validitas muka untuk soal tes kemampuan berpikir logis matematis dilakukan oleh 3 orang penimbang. Untuk mengukur validitas isi, pertimbangan didasarkan pada kesesuaian soal dengan kriteria aspek-aspek pengetahuan awal matematika siswa dan kesesuaian soal dengan materi ajar matematika SMP kelas VII, dan sesuai dengan tingkat kesulitan siswa kelas tersebut. Untuk mengukur validitas muka, pertimbangan didasarkan pada kejelasan soal tes dari segi bahasa dan redaksi.
baik. Kisi-kisi soal, perangkat soal, dan kunci tes kemampuan berpikir logis matematis tersebut, selengkapnya ada pada Lampiran A.
2) Validitas Empirik Butir Tes
Validitas empirik adalah validitas yang ditinjau dengan kriteria tertentu. Kriteria ini digunakan untuk menentukan tinggi rendahnya koefisien validitas alat evaluasi yang dibuat melalui perhitungan korelasi produk momen dengan menggunakan angka kasar (Arikunto, 2003: 72) yaitu:
r xy = −
( ) ( ) { 2– )2 { 2− ( )2}
Keterangan :
rxy = Koefisien validitas butir tes
X = Skor pada butir soal tertentu
Y = Skor total
N = Jumlah subyek
Menurut (Suherman, 2001: 136) klasifikasi koefisien validitas sebagai berikut:
Tabel 3.4
Klasifikasi Koefisian Validitas Koefisien Validitas Interpretasi
0,80 < rxy ≤ 1,00 Sangat tinggi 0,60 < rxy≤ 0,80 Tinggi 0,40 < rxy ≤ 0,60 Cukup 0,20 < rxy≤ 0,40 Rendah
Selanjutnya uji validitas tiap item instrumen dilakukan dengan membandingkan thitung dengan nilai kritis ttabel (nilai tabel). Tiap item tes dikatakan
valid apabila pada taraf signifikasi �= 0,05 didapat thitung ≥ ttabel. Untuk
pengujian signifikansi koefisien korelasi pada penelitian ini digunakan uji t sesuai pendapat Sudjana (2005) dengan rumus sebagai berikut:
t = �−2
1− 2
Keterangan:
: koefisien korelasi product moment pearson
n : banyaknya siswa
Setelah instrumen dinyatakan memenuhi validitas isi dan validitas muka, kemudian soal tes kemampuan berpikir logis matematis tersebut dujicobakan secara empiris kepada 44 orang siswa kelas VIII-A SMP Negeri 1 Labuan. Tujuan uji coba empiris ini adalah untuk mengetahui tingkat reliabilitas dan validitas butir soal tes. Data hasil uji coba soal tes serta validitas butir soal selengkapnya ada pada Lampiran B. Perhitungan validitas butir soal menggunakan software Anates
V.4 For Windows. Untuk validitas butir soal digunakan korelasi product moment
Tabel 3.5
Menurut Suherman (2001: 156) ketentuan klasifikasi koefisien reliabilitas
Untuk mengetahui instrumen yang digunakan reliabel atau tidak maka dilakukan pengujian reliabilitas dengan rumus alpha-croncbach dengan bantuan program Anates V.4 for Windows. Pengambilan keputusan yang dilakukan adalah dengan membandingkan rhitung dan rtabel. Jika rhitung > rtabel maka soal reliabel,
sedangkan jika rhitung≤ rtabel maka soal tidak reliabel.
Hasil perhitungan selengkapnya ada pada Lampiran B. Berikut ini merupakan hasil ringkasan perhitungan reliabilitas.
Tabel 3.7 Reliabilitas Tes
Kemampuan Berpikir Logis Matematis rhitung rtabel Kriteria Kategori
0,85 0,304 Reliabel Sangat Tinggi
Maka untuk α = 5% dengan derajat kebebasan dk = 42 diperoleh harga rtabel
0,304. Hasil perhitungan reliabilitas berdasarkan tabel 3.7 di atas diperoleh rhitung
c. Analisis Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran adalah bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal tes (Arikunto, 2006: 207). Tingkat kesukaran pada masing-masing butir soal dihitung dengan menggunakan rumus:
= +
+
Keterangan:
TK = Tingkat Kesukaran
= Jumlah skor kelompok atas = Jumlah skor kelompok bawah
= Jumlah skor ideal kelompok atas = Jumlah skor ideal kelompok bawah
Menurut Suherman (2001: 170) klasifikasi tingkat kesukaran soal sebagai berikut:
Tabel 3.8
Klasifikasi Tingkat Kesukaran Kriteria Tingkat Kesukaran Klasifikasi
TK = 0,00 Soal Sangat Sukar
0,00 TK 0,3 Soal Sukar 0,3 TK ≤ 0,7 Soal Sedang 0,7 TK ≤ 1,00 Soal Mudah
TK = 1,00 Soal Sangat Mudah
Tabel 3.9
Dari hasil uji coba instrumen di atas diperoleh 3 soal dengan kriteria tingkat kesukaran mudah yaitu soal nomor 1a, 4a dan 10a. Ini berarti semua siswa kelompok atas maupun kelompok bawah menjawab ketiga butir soal tersebut dengan benar. Kondisi ini terjadi karena soal tersebut terlalu mudah, sehingga semua siswa yang rendahpun bisa menjawabnya dengan benar. Untuk kriteria tingkat kesukaran sedang sebanyak 11 soal, yaitu soal nomor 1b, 2, 3, 4b, 5, 6, 7, 8, 9, 10b, 11, 12, 13 dan 14. Ini berarti sebagian siswa kelompok atas maupun bawah dapat menjawab benar butir-butir soal tersebut. Untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B.
d. Analisis Daya Pembeda
pembeda item dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya angka indeks diskriminasi item. Rumus yang digunakan untuk menentukan daya pembeda adalah:
��
=
−Keterangan:
DP = Daya pembeda
= Jumlah skor kelompok atas = Jumlah skor kelompok bawah
= Jumlah skor ideal kelompok atas
Menurut Suherman (2001: 161) klasifikasi interpretasi daya pembeda soal sebagai berikut:
Tabel 3.10
Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis Kriteria Daya Pembeda Interpretasi
DP ≤ 0,00 Sangat Jelek 0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek 0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,40 < DP ≤ 0,70 Baik 0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik
Tabel 3.11
Dari tabel di atas, didapat daya pembeda dengan klasifikasi cukup sebanyak 2 soal yaitu soal nomor 1a dan 10a, klasifikasi baik sebanyak 2 soal yaitu 4a dan 10b, sedangkan untuk klasifikasi sangat baik sebanyak 10 soal yaitu nomor 10b, 2, 3, 4b, 5, 6, 7, 8, 9, 11, dan 12. Hal tersebut menunjukkan bahwa soal-soal tersebut sudah bisa membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.
3. Skala Self Concept Matematis
Skala self concept matematis ini memuat pernyataan-pernyataan menyangkut keyakinan terhadap kemampuan diri dan sikap mengenai kemampuan diri. Butir pernyataan self concept matematis terdiri atas 23 item dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pilihan jawaban netral (ragu-ragu) tidak digunakan untuk menghindari jawaban aman dan mendorong siswa untuk melakukan keberpihakan jawaban. Skala ini diberikan kepada siswa sesudah pelaksanaan pembelajaran.
Sebelum instrumen ini digunakan, dilakukan uji coba empiris dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan uji coba terbatas pada tiga orang siswa di luar sampel penelitian. Tujuan dari uji coba ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa dan sekaligus memperoleh gambaran apakah pernyataan-pernyataan dari skala self concept matematis dapat dipahami oleh siswa. Dari hasil uji coba terbatas, ternyata diperoleh gambaran bahwa semua pernyataan dapat dipahami dengan baik oleh siswa.
berdasarkan distribusi jawaban responden dengan metode MSI (Methode of
Succesive Interval).
Dengan menggunakan metode ini bobot setiap pilihan (SS, S, TS, STS) dari setiap pernyataan dapat berbeda-beda tergantung pada sebaran respon siswa. Proses perhitungan menggunakan bantuan perangkat lunat MS Excel for Windows
2007. Dari hasil uji coba, proses perhitungan validitas butir pernyataan dan skor
masing-masing pilihan skala self concept matematis secara lengkap terdapat pada Lampiran B.
a. Analisis Validitas Skala Self Concept Matematis
Perhitungan validitas butir item pernyataan menggunakan software SPSS
17.0 For Windows. Untuk validitas butir item pernyataan digunakan korelasi
product moment dari Karl Pearson, yaitu korelasi setiap butir item pernyataan
dengan skor total. Apabila rhitung≥ rtabel maka item pernyataan dikatakan valid atau
nilai Signifikansi Korelasi kurang dari α (0,05), dengan rtabel sebesar 0,339.
Berikut hasil validitas butir item pernyataan skala self concept matematis disajikan pada Tabel 3.12 berikut.
Tabel 3.12
P12 0,533 0,001 Valid Dipakai
Berdasarkan tabel hasil uji validitas di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 20 item pernyataan valid, dan 3 item pernyataan tidak valid. Untuk pernyataan yang tidak valid direvisi untuk selanjutnya digunakan kembali untuk mengukur self
concept matematis.
b. Analisis Reliabilitas Skala Self Concept Matematis
Untuk mengetahui instrumen yang digunakan reliabel atau tidak maka dilakukan pengujian reliabilitas dengan rumus alpha-croncbach dengan bantuan program SPSS 17.0 For Windows. Pengambilan keputusan yang dilakukan adalah dengan membandingkan rhitung dan rtabel. Jika rhitung > rtabel maka soal reliabel,
sedangkan jika rhitung≤ rtabel maka soal tidak reliabel.
Hasil perhitungan selengkapnya ada pada Lampiran B. Berikut ini merupakan rekapitulasi hasil perhitungan reliabilitas.
Tabel 3.13
Reliabilitas Skala Self Concept Matematis rhitung rtabel Kriteria Kategori
Maka untuk α = 5% dengan derajat kebebasan dk = 34 diperoleh harga rtabel
0,339. Hasil perhitungan reliabilitas berdasarkan tabel 3.13 di atas diperoleh rhitung
sebesar 0,826. Artinya soal tersebut reliabel karena 0,85 > 0,304 dan termasuk kedalam kategori sangat tinggi. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa skala
self concept matematis telah memenuhi karakteristik yang memadai untuk
digunakan dalam penelitian. 4. Pedoman Wawancara
Wawancara dilakukan setiap akhir pembelajaran dan pada akhir penelitian. Wawancara ini selain berguna untuk mengevaluasi akhir dari penelitian juga berguna untuk merefleksikan setiap pembelajaran yang telah dilakukan terutama berkaitan dengan berbagai aktivitas siswa yang dilakukan, dan kesulitan-kesulitan siswa dalam pembelajaran. Aktivitas ini dilakukan untuk mengeliminasi ketidaksesuaian rencana pembelajaran dengan implementasi pada saat pembelajaran. Sedangkan untuk wawancara akhir penelitian, wawancara dilakukan untuk menggali setiap perasaan, sikap dan minat siswa terhadap pembelajaran terhadap dampak dari seluruh pembelajaran yang telah dilakukan. 5. Pengembangan Bahan Ajar
matematis siswa. Pokok bahasan dipilih berdasarkan alokasi waktu yang telah disusun oleh guru peneliti. Setiap pertemuan memuat satu pokok bahasan yang dilengkapi dengan lembar aktivitas siswa. Lembar aktivitas siswa memuat soal-soal latihan menyangkut materi-materi yang telah disampaikan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui tes pengetahuan awal matematika, tes kemampuan berpikir logis, skala self concept dan lembar wawancara. Data yang berkaitan dengan pengetahuan awal matematis dikumpulkan melalui tes sebelum pembelajaran pertama dimulai, untuk data kemampuan berpikir logis matematis siswa dikumpulkan melalui pre-test dan
post-test, data yang berkaitan dengan self concept siswa dikumpulkan melalui
penyebaran skala self concept siswa sedangkan data mengenai aktivitas pembelajaran di kelas dikumpulkan melalui lembar wawancara.
F. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Untuk itu pengolahan terhadap data yang telah dikumpulkan, dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
1. Analisis Data Kualitatif
menyimpulkan kriteria, karakteristik serta proses yang terjadi dalam pembelajaran.
2. Analisis Data Kuantitatif
Data-data kuantitatif diperoleh dalam bentuk hasil uji instrumen, data
pre-test, post-pre-test, N-gain serta skala self concept siswa. Data hasil uji instrumen
diolah dengan software Anates Versi 4.1 untuk memperoleh validitas, reliabilitas, daya pembeda serta derajat kesukaran soal. Sedangkan data hasil pre-test,
post-test, N-gain dan skala sikap self concept siswa diolah dengan bantuan program
Microsoft Excel dan software SPSS Versi 17.0 for Windows.
a. Data Hasil Tes Kemampuan Berpikir Logis
Hasil tes kemampuan berpikir logis matematis digunakan untuk menelaah peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Selanjutnya dilakukan pengolahan data berdasarkan kategori pengetahuan awal matematis atas, tengah dan bawah pada siswa yang mendapat pembelajaran eksplorasi.
Data yang diperoleh dari hasil tes kemampuan berpikir logis matematis diolah melalui tahapan sebagai berikut:
1) Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran yang digunakan.
3) Menentukan skor peningkatan kemampuan berpikir logis matematis dengan rumus N-gain ternormalisasi (Meltzer, 2002) yaitu:
Normalized gain = posttest score− � � − � t score
maximum possible score− � � − � t score
Hasil perhitungan N-gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi sebagai berikut:
Tabel 3.14
Klasifikasi Gain Ternormalisasi Besarnya N-gain (g) Klasifikasi
g ≥ 0,70 Tinggi
0,30 ≤ g < 0,70 Sedang
g < 0,30 Rendah
4) Melakukan uji normalitas untuk mengetahui kenormalan data skor pre-test,
post-test dan N-gain kemampuan berpikir logis matematis menggunakan uji
statistik Kolmogorov-Smirnov.
Adapun rumusan hipotesisnya adalah:
H0: Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Ha: Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak
Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α =0,05), maka H0 diterima.
5) Menguji homogenitas varians skor pre-test, post-test dan N-gain kemampuan berpikir logis matematis menggunakan uji Levene. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:
H0: Variansi skor pre-test, post-test dan N-gain kedua kelas homogen
Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak
Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α =0,05), maka H0 diterima.
6) Setelah data memenuhi syarat normal dan homogen, selanjutnya dilakukan uji kesamaan rataan skor pre-test dan uji perbedaan rataan skor post-test dan N-gain menggunakan uji-t yaitu Independent Sample T-Test. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:
(a) Skor pre-test kemampuan berpikir logis
H0: Tidak terdapat perbedaan skor pre-test kemampuan berpikir logis
matematis siswa yang mendapat pembelajaran eksplorasi dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Ha: Terdapat perbedaan skor pre-test kemampuan berpikir logis
matematis siswa yang mendapat pembelajaran eksplorasi dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
(b) Skor Post-test kemampuan berpikir logis
H0: Tidak terdapat perbedaan skor post-test kemampuan berpikir logis
matematis siswa yang mendapat pembelajaran eksplorasi dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Ha: Terdapat perbedaan skor post-test kemampuan berpikir logis
(c) Skor N-gain kemampuan berpikir logis
H0: Peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang
mendapat pembelajaran eksplorasi sama dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Ha: Peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang
mendapat pembelajaran eksplorasi lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak
Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α =0,05), maka H0 diterima.
7) Melakukan uji perbedaan rataan skor N-gain kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapat pembelajaran eksplorasi dan pembelajaran konvensional berdasarkan kategori pengetahuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah). Uji statistik yang digunakan adalah uji analysis
of variance (ANOVA) dua jalur dilanjutkan dengan uji Tamhane (varians
tidak homogen) untuk melihat letak perbedaanya.
H0: Peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapat
Ha: Peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapat
pembelajaran eksplorasi lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional bila ditinjau dari pengetahuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah).
Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak
Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α =0,05), maka H0 diterima.
8) Melakukan uji perbedaan interaksi antara pembelajaran (eksplorasi dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis siswa (tnggi, sedang, dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis matematis dengan uji analysis of variance (ANOVA) dua jalur dengan interaksi. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:
H0: Tidak Terdapat interaksi antara pembelajaran (eksplorasi dan
konvensional) dan pengetahuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa.
Ha: Terdapat interaksi antara pembelajaran (eksplorasi dan konvensional)
dan pengetahuan awal matematis (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa.
Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak
b. Data Skala Self Concept
Penentuan skor skala self concept menggunakan MSI (Methode of Succesive
Interval) untuk mengubah data ordinal menjadi data interval. Data skor skala self
concept yang diperoleh diolah melalui tahap-tahap berikut:
1) Hasil jawaban untuk setiap pertanyaan dihitung frekuensi setiap pilihan jawaban.
2) Frekuensi yang diperoleh setiap pertanyaan dihitung proporsi setiap pilihan jawaban.
3) Berdasarkan proporsi untuk setiap pertanyaan tersebut, dihitung proporsi kumulatif untuk setiap pertanyaan.
4) Kemudian ditentukan nilai batas untuk Z bagi setiap pilihan jawaban dan setiap pertanyaan.
5) Berdasarkan nilai Z, tentukan nilai densitas (kepadatan). Nilai densitas dapat dilihat pada tabel ordinat Y untuk lengkungan normal standar. 6) Hitung nilai skala/ scale value/ SV untuk setiap pilihan jawaban dengan
persamaan sebagai berikut:
SV =
(kepadatan batas bawah −kepadatan batas atas )(daerah di bawah batas atas−daerah di bawah batas bawah )
7) Langkah selanjutnya yaitu tentukan nilai k, dengan rumus:
k= 1 + .
9) Sesudah data ordinal ditransfromasikan menjadi data interval, selanjutnya dilakukan pengujian prasyarat kenormalan dan homogenitas.
10) Melakukan uji normalitas untuk mengetahui kenormalan data skala self
concept matematis menggunakan uji statistik Shapiro Wilk.
Adapun rumusan hipotesisnya adalah:
H0: Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal
Ha: Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak
Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α =0,05), maka H0 diterima.
11) Menguji homogenitas varians skor pre-test, post-test dan N-gain kemampuan berpikir logis matematis menggunakan uji Levene. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:
H0: Variansi skor skala self concept matematis kedua kelas homogen
Ha: Variansi skor skala self concept matematis kedua kelas tidak homogen
Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak
Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α =0,05), maka H0 diterima.
12) Setelah data memenuhi syarat normal dan homogen, selanjutnya dilakukan uji perbedaan rataan skor skala self concept menggunakan uji-t yaitu
H0: Self concept matematis siswa yang mendapat pembelajaran eksplorasi
sama dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Ha: Self concept matematis siswa yang mendapat pembelajaran eksplorasi
lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak
Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α =0,05), maka H0 diterima.
c. Hubungan antara Self Concept dan Kemampuan Berpikir Logis
Matematis
Setelah data skala self concept matematis ditransformasikan dengan MSI sehingga data self concept matematis berubah menjadi data interval, sehingga kedua variabel tersebut termasuk data interval. Sehingga bisa dilakukan uji korelasi Pearson antara self concept dan kemampuan berpikir logis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi. Adapun hipotesis yang dujikan adalah sebagai berikut:
H0: Tidak terdapat asosiasi antara self concept dan kemampuan berpikir logis
matematis siswa.
Ha: Terdapat asosiasi antara self concept dan kemampuan berpikir logis matematis
siswa.
Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak
G. TAHAP PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan Juni 2012 tahun ajaran 2012/2013. Penelitian dibagi ke dalam beberapa tahapan sebagai berikut.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan penelitian meliputi tahap-tahap penyusunan proposal, seminar proposal, studi pendahuluan, penyusunan instrumen penelitian, pengujian instrumen dan perbaikan instrumen.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Tahap pelaksanaan penelitian meliputi tahap implementasi instrumen, implementasi pembelajaran dengan pembelajaran eksplorasi, serta tahap pengumpulan data.
3. Tahap Penulisan Laporan
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian serta pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian sebagaimana yang diuraikan pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi dari hasil-hasil penelitian tersebut.
A. Kesimpulan
1. Secara keseluruhan penerapan model pembelajaran eksplorasi dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis matematis dan dapat mengembangkan self concept matematis siswa.
2. Peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran eksplorasi lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional.
3. Kemampuan berpikir logis matematis siswa sesudah pembelajaran dengan kegiatan eksplorasi mengalami peningkatan kualitas, dari kualitas rendah menjadi sedang. Hal ini terlihat dari skor yang dicapai siswa pada pre-test masih sangat rendah, selanjutnya mengalami peningkatan pada post-test. 4. Peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapatkan
5. Peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional, bila ditinjau dari kategori pengetahuan awal matematis sedang.
6. Peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi sama dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional, bila ditinjau dari kategori pengetahuan awal matematis rendah.
7. Peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa kelompok tinggi yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional lebih baik daripada siswa kelompok sedang dan kelompok rendah yang mendapatkan pembelajaran ekploratif dan pembelajaran konvensional.
8. Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran (eksplorasi dan konvensional) dan pengetahuan awal matematika (tinggi, sedang, dan rendah) siswa dalam peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa.
9. Self concept matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran eksplorasi
lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. 10. Self concept matematis siswa baik yang mendapatkan pembelajaran
concept matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional
termasuk kategori sedang.
11. Terdapat asosiasi yang signifikan antara self concept matematis dan kemampuan berpikir logis matematis setelah mendapatkan pembelajaran eksplorasi.
B. Implikasi
Mengacu pada hasil-hasil penelitian sebagaimana yang diungkapkan di atas, maka implikasi dari hasil-hasil tersebut diuraikan berikut ini.
1. Penerapan pembelajaran eksplorasi dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran di jenjang SMP dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir logis matematis dan self concept matematis siswa.
2. Penerapan pembelajaran eksplorasi direspon dengan baik, oleh sebab itu model pembelajaran ini dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam merubah paradigma pembelajaran yang berorientasi teacher centered menjadi student centered.
3. Penerapan model pembelajaran eksplorasi direspon dengan baik oleh siswa, sehingga dipandang berpotensi untuk mengubah cara pandang siswa bahwa belajar matematika bukan belajar tentang rumus tetapi belajar memahami matematika dari masalah yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. 4. Penerapan model pembelajaran eksplorasi yang dikelola dengan baik oleh
siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan sedang dalam mengembangkan kemampuan matematis dan nilai-nilai afektif.
5. Penerapan model pembelajaran eksplorasi meningkatkan interaksi antar siswa dan antara siswa dengan guru, dapat mengembangkan keyakinan siswa dalam belajar.
C. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian di atas, diajukan beberapa saran sebagai berikut.
1. Pembelajaran eksplorasi hendaknya menjadi alternatif model pembelajaran bagi guru SMP khususnya dalam meningkatkan kemampuan berpikir logis dan self concept matematis siswa.
2. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran eksplorasi sebaiknya diterapkan untuk semua kategori baik siswa tinggi, sedang dan rendah dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir logis matematis siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
3. Untuk menerapkan pembelajaran dengan pembelajaran eksplorasi, sebaiknya guru membuat sebuah skenario dan perencanaan yang lebih baik, sehingga pembelajaran eksplorasi dapat diterapkan pada semua kategori pengetahuan awal matematis siswa.
5. Agar pembelajaran eksplorasi tidak asing bagi siswa dan mudah diterapkan, sebaiknya dari mulai tingkat sekolah dasar sudah mulai diperkenalkan dengan memilih materi yang sesuai dengan karakteristik strategi pembelajaran eksplorasi. Dan jika perlu, untuk jenjang sekolah dasar pembelajaran ini lebih disederhanakan agar dapat diterapkan dengan mudah sesuai dengan karakteristik siswa di jenjang sekolah dasar.
6. Bagi guru yang akan menerapkan pembelajaran eksplorasi perlu memperhatikan hal-hal berikut:
a. Agar pengetahuan prasyarat dapat dimiliki oleh siswa, guru hendaknya memberikan remediasi kepada siswa dengan kemampuan rendah, sehingga ia dapat terlibat secara aktif dalam kerja kelompok.
b. Guru hendaknya memilih materi mana yang tepat untuk disampaikan melalui pembelajaran eksplorasi, karena tidak semua materi cocok untuk disampaikan dengan pembelajaran ini.
DAFTAR PUSTAKA
American Dictionary Online. [Online]. Tersedia: http://dictionary.reference.com/. [17 Mei 2012].
Arikunto, S. (2003). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. __________. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Audiblox. (2006). Logical Thinking: Helping Children to Become Smarter. [Online]. Tersedia: http://www.audiblox.com/math_problems.htm. [16 Maret 2012].
Burns, R. B. (1993). Konsep Diri, Teori, Pengukuran dan Perilaku, Alih Bahasa: Edy. Jakarta: Arcan.
Depdiknas. (2003). Standar Penilaian Buku Pelajaran Matematika. Jakarta: Pusat Perbukuan.
Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan Peserta Didik; Panduan Bagi Orang
Tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA.
Bandung: Resmaja Rosdakarya.
Edwards, S. L., Watson, J., Nash, R., & Farrell, A. (2005). Supporting explorative learning by providing collaborative online problem solving (COPS) environments. Proceedings of the OLT-2005 Conference: Beyond delivery
(pp. 81-89). Brisbane, Australia, Retrieved January 15, 2010. [Online].
Tersedia:http://eprints.qut.edu.au/archive/00002146/. [8 November 2012]. Fadjar, S. (2010). Aplikasi Teori Belajar. Yogyakarta: Depdiknas Dirjen PMPTK
P4TK Matematika.
Ferla, J., Valcke, M., & Cai, Y. (2009). Academic Self Efficacy and Academic Self Concept: Reconsidering Structural Relationship. Journal of Learning
and Individual differences. [Online]. Tersedia: jamiesmithportfolio.com/
[8 November 2012].
Gourgey, A. F. (1982). Development of a Scale for the Measurement of
Self-Concept in Mathematics. New York University: Educational Resources
Information Center (ERIC).
Hanum, F., Murti, R. C., & Rahmadona, S. (2010). Implementasi Model
Pembelajaran Sosiokultural di Sekolah Dasar di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Artikel Laporan Hasil Hibah Kompetitif Penelitian Strategis
Herniati, H. (2011). Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, Motivasi Belajar dan
Prestasi Belajar Siswa SMA pada Berbagai Model Pembelajaran.
[Online]. Tersedia: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/52928. [16 Mei 2012].
Hurlock, E. B. (1978). Developmental Psychology. Edisi 4. New Delhi: Tata Mc Graw Hill.
Jong, T. dan Njoo, M. (1993). Exploratory Learning with a Computer Simulation for Control Theory: Learning Process and Instructional Support. Journal of
Research in Science Teaching. Vol. 30, No 8, PP. 821-844. [Online].
Tersedia: http://doc.utwente.nl/26419/1/K26419__.PDF. [8 November 2012]. Magoulas, G. dan Cocea, M. (2008). Identifying Strategies in User’s Exploratory
LLearning Behaviour for Mathematical Generalisation. Journal of
Technology Enhanced Learning. [Online]. Tersedia:
http://www.dcs.bbk.ac.uk/~gmagoulas/AIED09.pdf. [8 November 2012].
Matlin, M. W. (1994). Cognition. Forth Worth: Harcourt Brace College Publishing.
Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible "Hidden Variable" in Diagnostic Pretest Scores. American Journal of Physics. v70 n12 p1259-68
Dec 2002. [Online]. Tersedia: www.physics.iastate.edu/-per/doc/AJP-Dec-(2010). The Development of Student’s Mathematics Self-Concept in Relation to Gender: Different Countries, Different Trajectories?. Journal
of Research on Adolescence, 20(2), Volume 482-506. [Online]. Tersedia:
http://users.monash.edu.au/~hwatt/articles/Nagy_etal_JRA2010.pdf. [6 Juni 2012].
Otrina, M. (2010). Peningkatan Pemahaman Matematik dan Berpikir Logis
dengan Menggunakan Metode Improve pada Siswa SMP. Tesis Magister