• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Arsitektural dalam Kajian Arkeologis Permukiman Tradisional Bali. I Nyoman Widya Paramadhyaksa 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pendekatan Arsitektural dalam Kajian Arkeologis Permukiman Tradisional Bali. I Nyoman Widya Paramadhyaksa 1"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Pendekatan Arsitektural dalam Kajian Arkeologis Permukiman Tradisional Bali I Nyoman Widya Paramadhyaksa1

e-mail: paramadhyaksa@yahoo.co.jp Abstrak

Permukiman tradisional Bali beragam karakter dan perwujudannya. Permukiman yang banyak berlatar kultur alam dan budaya Bali ini telah lama ada dan tumbuh berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Berdasarkan hasil telaah pustaka dan studi observasi, teridentifikasikan ada beberapa tipe permukiman tradisional yang ada di Bali, seperti permukiman yang berdasar pada karakter lokasinya, pada masa berdirinya, pada pola desanya, dan pada karakter masyarakat penduduknya. Permukiman tersebut masing-masing memiliki corak tersendiri sesuai dengan karakter yang melatarbelakanginya. Permukiman tradisional Bali atau dapat disebutkan sebagai desa-desa tradisional ini sesungguhnya juga banyak memuat dan menyuguhkan berbagai materi yang menarik dicermati dan layak dijadikan sebagai bahan kajian bagi para peneliti dan akademisi. Desa-desa tradisional ini juga dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi beberapa disiplin ilmu, seperti antropologi, sejarah, arkeologi, arsitektur, dan tata ruang wilayah. Tulisan ringkas ini berisikan tentang gambaran pendekatan arsitektural yang dapat digunakan dalam melakukan kajian arkeologis terhadap perwujudan permukiman-permukiman tradisional Bali tersebut. Ada banyak materi amatan yang dapat dicermati berkenaan dengan aspek keruangan suatu desa tradisional Bali, seperti aspek tata ruang desanya dalam skala makro; aspek tata zona suatu area dalam lingkungannya yang berskala meso; dan aspek-aspek keruangan yang berskala mikronya, seperti tata bangunan, denah, dan ragam hias bangunan. Tulisan ini menunjukkan adanya relasi yang kuat dan kesetaraan peran antara pendekatan arsitektural dan arkeologi dalam upaya memahami berbagai komponen dalam perwujudan tata ruang dan bangunan desa tradisional Bali itu.

Kata kunci: pendekatan arsitektural, kajian arkeologi, permukiman tradisional Bali, kesetaraan.

1. Pengantar

Dalam wilayah Pulau Bali terdapat banyak permukiman tradisional Bali dengan berbagai macam karakter dan perwujudannya. Permukiman tradisional Bali tersebut lazimnya lebih dikenal dengan nama desa-desa tradisional Bali yang pada umumnya banyak bercorak kultur budaya Hindu Bali. Berdasarkan pada hasil telaah pustaka dan studi observasi, telah teridentifikasikan ada beberapa tipe permukiman tradisional di Bali. Desa-desa tersebut secara garis besarnya dapat dikelompokkan berdasarkan pada (a) karakter lokasinya; (b) masa berdirinya; (c) pola tata ruang desanya; dan (d) karakter masyarakat penduduknya. Desa-desa tradisional tersebut masing-masing memiliki corak tersendiri sesuai dengan karakter maupun sejarah yang melatarbelakanginya. Secara fisik keruangannya, desa-desa tradisional Bali sesungguhnya juga banyak memuat berbagai materi yang menarik dicermati dan layak dijadikan sebagai bahan kajian bagi para peneliti dan akademisi. Desa-desa tradisional ini juga dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan penelitian bagi para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, seperti antropologi, sejarah, arkeologi, arsitektur, dan tata ruang wilayah.

Khusus berkenaan dengan aspek keruangannya, perwujudan desa-desa tradisional Bali tersebut pada intinya juga dapat dicermati secara arkeologi, arsitektural, maupun secara keduanya secara bersama.

Ada beberapa aspek yang bisa dibahas berkenaan tata ruang dan tata bangunan dalam wilayah desa-desa tradisional itu. Beberapa aspek yang dapat dicermati antara lain berkenaan dengan: pola desa; orientasi desa; tata zonasi wilayah desa; elemen-elemen di area pusat desa; elemen sakral dan profan desa; tipologi bangunan; serta perwujudan tata bangunan

1Pengajar di Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana

1

(2)

dalam wilayah desa tradisional tersebut. Nilai kesejarahan yang termuat dalam tata ruang dan elemen-elemen bangunan dalam wilayah desa tradisional ini lazimnya dapat dicermati dengan disiplin ilmu arkeologi, tentunya ditopang dengan beberapa macam pendekatan yang dapat "diperkaya" dari disiplin ilmu ruang dalam konteks yang lebih kekinian, yaitu arsitektur. Tulisan ringkas ini mengulas tentang gambaran pendekatan-pendekatan utama secara arsitektural yang dapat digunakan sebagai ilmu bantu dalam proses melakukan kajian secara arkeologis terhadap wujud-wujud tata ruang dan elemen dalam wilayah permukiman tradisional Bali itu. Aspek yang dapat ditelaah sebagai materi amatan dalam kajian arsitektur- arkeologi tata ruang desa secara garis besarnya dapat diklasifikasikan sebagai (a) pola ruang wilayah desa dalam skala makro; (b) tata zona suatu area dalam lingkungannya yang berskala meso; dan (c) berbagai aspek tata ruang dan bangunan yang berskala mikro, seperti wujud bangunan, denah, serta seni ragam hias bangunan.

2. Metode Penelitian

Tulisan ini disusun berdasarkan dua macam metode penelitian yang khususnya ditempuh dengan tujuan untuk mengumpulkan data, informasi, dan hasil-hasil penelitian yang pernah atau dapat dijalankan dengan menerapkan pola analisis dan pendekatan secara arsitektur dan arkeologi. Secara garis besarnya, metode penelitian yang ditempuh dalam penyusunan tulisan ini adalah (1) studi pustaka sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan melakukan studi terhadap literatur, rekaman hasil-hasil penelitian, dan data instansional yang berkenaan dengan topik kajian permukiman tradisional Bali secara arsitektur-arkeologi; (2) observasi lapangan yang dijalankan bertujuan untuk melihat dan merekam langsung data-data lapangan yang terkait topik tulisan ini. Data yang diperoleh selanjutnya diklasifikasikan dan dipaparkan secara deskriptif beserta dengan wujud penerapannya pada tata ruang permukiman tradisional Bali.

3. Tinjauan Pustaka

Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang hasil tinjauan pustaka tentang beberapa teori yang lazim digunakan dalam penelitian kerauangan.

a. Ruang Sakral dan Profan

Eliade mendefinisikan ruang sakral sebagai suatu ruang yang bersifat “nyata” dan dilingkupi oleh satu area atau medan nirrupa. Ruang sakral ini lazimnya menjadi semacam arah orientasi bagi ruang-ruang lainnya.Manusia yang menghuni area di dunia tengah (midland) berada di antara dunia luar yang berkarakter “tidak terkendali” dan area dunia dalam yang berkarakter sakral itu.Kedua tipe ruang ini senantiasa digambarkan memiliki tingkatan kualitas kesucian yang selalu diperbaharui dengan berbagai macam rangkaian prosesi ritual yang bernilai sakral.Kegiatan ritual ini mengambil suatu tempat dalam area suatu ruang sakral dan menjadi satu-satunya untuk dapat berpartisipasi dalam area kosmos yang sakral dan dapat membersihkan dunia profan itu kembali (2002: 14).Ruang sakral lebih bersifat kokoh serta bermakna, sementara ruang-ruang lainnya yang berkarakter profan cenderung bersifat kacau dan tanpa makna. Manusia tradisional lazimnya tidak mampu hidup secara nyaman dalam suasana lingkungannya yang profan, karena dalam kondisi ini mereka cenderung akan menjadi tidak mampu mengorientasikan dirinya.

b. Orientasi dan Hirarkhi Ruang

Orientasi dapat diartikan sebagai pandangan yang mendasari pemikiran.Dalam ilmu kearsitekturan, orientasi sering kali dimaknai sebagai arah hadap atau sikap dalam perilaku meruang secara sakral dan profan dari suatu komunitas dalam suatu tatanan lingkungan

2

(3)

permukiman. Secara tradisional tata ruang permukiman tradisional pada umumnya akan ditata dengan berorientasi ke arah gunung, laut, dan lintasan matahari terbit-terbenam.

Hirarki tata ruang dapat diartikan sebagai suatu prinsip tata zonasi atau pendaerahan yang didasarkan pada konsep bahwa setiap zona memiliki tata nilai dan tingkatan-tingkatan tersendiri sesuai dengan kedudukannya. Semakin tinggi kedudukan atau tata nilai zonasi tersebut maka semakin terbatas pula akses bagi komunitas lain untuk dapat memasukinya.

Zonasi-zonasi yang bersifat inti lazimnya akan ditempatkan di area inti suatu permukiman, dikelilingi oleh area-area dengan hirarki yang lebih bernilai rendah. Tata ruang dan zonasi suatu desa atau wilayah ditata sedemikian rupa agar satu zonasi tetap dapat berhubungan dengan zonasi lainnya yang memiliki tingkat hirarki lebih rendah atau lebih tinggi.Pandangan ini selanjutnya melahirkan pandangan tradisional tentang zonasi inti permukiman yang bersifat sakral yang sangat selektif untuk dapat dimasuki orang umum dan zonasi publik yang bersifat profan dan paling profan yang berada di luar zona-zona sakral itu.Hirarki tata ruang juga memuat pandangan yang bersifat universal dan dapat berlaku di mana pun.Wujud penerapannya cenderung beragam sesuai karakter lokasi geografis, iklim, maupun budaya setempat.

c. Kajian Tafsiran Makna Wujud Arsitektur

Tafsiran makna merupakan salah satu metode analisis yang banyak diterapkan dalam kajian makna karya-karya seni, arsitektur, dan arkeologi. Metode penelitian semacam ini lazimnya dikenal dengan nama metode hermenetik. Metode ini pada dasarnya menitikberatkan pada fokus kajian berupa penafsiran pada makna yang termuat pada benda- benda seni maupun produk budaya, seperti lukisan, arca, seni arsitektur, karya-karya sastra, serta berbagai tinggalan arkeologis.

Dalam kajian tafsiran makna seperti ini, seorang peneliti akan berupaya menjelajahi makna tafsir yang terdekat yang termuat pada objek yang ditelitinya. Dalam kajian penafsiran ini, sang peneliti akan menjalankan beberapa macam pendekatan yang diharapkan dapat membantu menemukan makna tafsir terdekat dan holistik dari objek yang ditelitinya. Dalam rangka memperoleh pemahaman makna yang sejati terhadap sebuah simbol, tentunya dibutuhkan juga gambaran pemahaman awal tentang ilustrasi pandangan hidup kelompok para penggunanya.Makna suatu benda ataupun fenomena kultural adalah bersifat plural sekali. Kebenaran dalam pemaknaannya akan lebih diandalkan pada kemampuan penelaah dalam melakukan kajian fiksi persuasif, secara relativitas, dalam pandangan lokal, plural, serta tafsiran (Endraswara, 2006: 148).

d. Semiotika Arsitektur

Perwujudan arsitektur memuat berbagai macam sistem tanda yang mengandung banyak makna bahasa.Dalam pandangan ini arsitektur dianalogikan sebagai unsur-unsur pembentuk bahasa.Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa berbagai elemen arsitektur seperti jendela, pintu, maupun elemen atap dapat dianalogikan sebagai beberapa kata yang apabila digabungkan dapat membentuk suatu kalimat yang memiliki arti.Gabungan berbagai elemen arsitektur dapat memberi arti “ruang” maupun fasade bangunan.Pandangan ini berlaku seterusnya sehingga suatu ruang dapat dianalogikan sebagai kalimat, suatu bangunan dengan paragraf, dan suatu kompleks permukiman lingkungan binaan dapat disetarakan sebagai sebuah narasi.

Gagasan ini selanjutnya melahirkan beberapa macam pendekatan dalam ilmu semiotika arsitektur.Ada dua buah model semiotika yang populer dalam ilmu arsitektur, yaitu pendekatan semiotika versi Charles Sanders Pierce, serta pendekatan semiotika milik Ferdinand de Saussure. Pierce mengkategorisasikan objek tanda dalam ilmu arsitektur dalam tiga macam tanda, yaitu tanda yang bersifat indeks, ikon, dan simbol. Tanda indeks

3

(4)

mempunyai makna yang berkaitan langsung dengan penandanya. Tanda ikon lebih dimaknai karena adanya kemiripan antara penanda dan apa yang direpresentasikannya. Tanda simbol dapat dimaknai berkat adanya suatu konvensi yang sudah disepakati oleh komunitas penggunanya(Zoest, 1993: 27).

Pendekatan semiotika versi Saussure lebih menekankan pada bagaimana suatu sistem tanda itu bisa eksis. Pendekatan ini dikenal juga dengan nama pendekatan semiotika yang bersifat strukturalis. Objek atau elemen arsitektur dapat dimaknai sebagai tanda (sign), yang memuat unsur menandakan (signifier) dan unsur ditandakan (signified)(Silverman, 2014:

197).Signifier dan Signified secara bersama membentuk suatu elemen sign yang juga memuat makna sesuai referent yang telah dipahami secara umum. Satu contoh yang dapat dikemukakan adalah bangunan gerbang kori agung yang diartikan sebagai sign, memuat (a) signifier berupa elemen struktur dan konstruksi bangunan itu sendiri; serta (b) signified sebagai bangunan pintu masuk ke dalam suatu area pekarangan. Dalam hal ini referent-nya:

jalan masuk.

e. Tipomorfologi

Tipologi merupakan studi yang mengeluas tentang tipe dari suatu kelompok objek yang memiliki kesamaan karakter khas struktur secara formal yang sama. Melalui studi tipologi juga dapat diperoleh gambaran tentang adanya keragaman dan keseragaman dari suatu kelompok objek.Dalam bidang arsitektur, tipologi dapat diartikan sebagai suatu hasil elaborasi dari berbagai wujud arsitektur yang tersusun atas klasifikasi berdasarkan fungsi, wujud dasar, maupun langgam bangunan yang termuat padanya.

Disebutkan ada tiga macam tingkatan dalam menyusun tipologi suatu wujud arsitektur.

Pertama dengan cara menetapkan gambaran bentuk dasar dari objek-objek arsitektural yang dikaji. Kedua dengan cara menetapkan karakter-karakter dasar yang termuat dalam setiap bentuk dasar pada objek arsitektural tersebut. Ketiga, berusaha menemukan gambaran proses perkembangan yang terjadi pada bentuk dasar itu dari awal hingga sampai pada terbentuknya wujud seperti saat ini.

Dalam bidang kajian arsitektur juga dikenal adanya istilah tipomorfologi.Moudon (1994) mengemukakan bahwa tipomorfologi dalam bidang arsitektur merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk mengungkapkan gambaran struktur fisik maupun keruangan suatu wujud arsitektur. Pendekatan ini merupakan suatu metode kajian gabungan dari studi tipologi yang mengulas tentang tipe wujud arsitektur dan studi morfologi yang membahas tentang bentuk dan proses perkembangan suatu bentuk (Cavallo, dkk. 2014: 61).

f. Aspek Humanisme dalam Arsitektur

Dalam kajian kearsitekturan lazimnya terdapat suatu kajian yang berlatar pada aspek humanis atau aspek manusia sebagai pengguna bangunan atau ruang tersebut.Dalam kajian kearsitekturan lazimnya terdapat tiga aspek kajian yang berlatar aspek humanistik, yaitu aspek antropometri, ergonomi, dan perilaku.

(1) Antropometri dan Argonomi

Istilah antropometri tersusun dari gabungan kata antropos yang berarti manusia dan metri yang berarti ukuran atau dimensi.Gabungan kata ini membentuk arti baru dari kata antropometri sebagai suatu cabang ilmu yang membahas segala hal yang berkaitan dengan aspek pengukuran bagian anatomi manusia. Cabang ilmu ini lazimnya diterapkan dalam upaya memperoleh gambaran perbedaan yang berlaku pada setiap individu, suatu komunitas, etnis, dan lain sebagainya.

Antropometri mengulas tentang dimensi bagian anatomi manusia. Data yang diperoleh selanjutnya akan dimanfaatkan dalam merancang suatu tata ruang dan sistem kerja untuk 4

(5)

mempermudah proses pemakaian, keamanan, serta kenyamanan dalam beraktivitas(Kruft, 1994: 52). Antropometri dalam konteks ini juga dapat didefiniskan sebagai ilmu tentang gambaran relasi yang terjadi antara struktur serta fungsi bagian tubuh manusia dan wujud peralatan dan perabotan yang dipergunakan manusia dalam beraktivitas. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi dimensi tubuh manusia, yaitu (a) usia; (b) gender; (c) etnis; (d) latar sosial-ekonomi; dan (e) posisi tubuh (gestur).

Berkenaan dengan bidang kajian arsitektur, ada dua macam tipe data antropometri yang lazim diterapkan, yaitu antropologi struktural dan antropologi fungsional.Antropometri Struktural antara pengukuran anatomi manusia dalam kondisi diam dan dan diukur secara linier pada bagian permukaan tubuh.Tubuh manusia diukur dalam kondisi posisi standar tegak diam secara sempurna. Dimensi bagian tubuh yang dapat diukur dalam posisi diam ini antara lain berupa ukuran berat badan; tinggi badan dalam sikap berdiri, duduk, tidur, maupun jongkok; ukuran kepala; ukuran tinggi maupun panjang lutut; panjang lengan; dan lain sebagainya. Antropometri fungsional merupakan pengukuran fisik manusia pada saat bergerak atau beraktivitas. Pengukuran ini memperhatikan setiap detail gerakan yang terjadi saat seorang manusia maupun subjek observasi melakukan aktivitasnya. Antropometri fungsional bersifat dinamis dan membutuhkan studi komparasi berdasarkan emosi dan tafsiran situasi (lihat gambar 1).

Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari tentang batasan-batasan yang dimiliki manusia secara anatomik dan psikis dalam menjaga interaksi dengan elemen-elemen lain dalam lingkungan yang berkaitan dengannya (lihat gambar 2). Dalam istilah yang lebih sederhana, ergonomi dapat diartikan sebagai faktor kenyamanan kerja atau kenyamanan dalam beraktivitas (Karwowski, 2001: 1664).

Gambar 1: Antropometri pada Dipan Bangunan Tradisional Bali

Gambar 2: Aspek Ergonomi pada Dipan Bangunan Tradisional Bali

(2) Arsitektur dan Perilaku Manusia

Keberadaan setiap individu manusia tidak dapat dilepaskan dari ruang dan lingkungan tempatnya berada.Pola aktivitas dan perilaku manusia juga berkaitan dan ditentukan oleh kondisi lingkungan di sekitarnya.Dalam konteks ini lingkungan tentunya memiliki peranan yang sangat penting dalam mengendalikan dan membentuk sifat dan pola perilaku manusia.

a. Behavior Setting

Dalam pengetahuan arsitektur dan perilaku dikenal istilah behavior setting yang oleh Roger Barker dan Herbert Wright digambarkan sebagai wujud kombinasi stabil antara aspek aktivitas dan tempat beraktivitas yang memuat ciri-ciri sebagai berikut.

Ketinggian dipan dirancang sesuai dengan ukuran tubuh manusia dalam posisi

Ditempatkan sesuai posisi ruas tubuh manusia pada saat dalam posisi tidur

5

(6)

1. Adanya aktivitas secara berulang-ulang yang membentuk suatu atau lebih pola perilaku (standing pattern of behavior) yang bersifat ekstra individual, tergantung jumlah dan karakter kombinasi pelakunya.

2. Tata ruang atau tata lingkungan memiliki kelengkapan tertentu yang berkaitan dengan pola perilakunya;

3. Adanya suatu relasi kuat antara aspek aktivitas dan tempat beraktivitasnya;

4. Aktivitas dilaksanakan pada suatu periode waktu yang tertentu.

Suatu gambaran pola perilaku berjalan secara bersamaan berdasarkan: (a) perilaku emosional;

(b) perilaku untuk menyelesaikan masalah; (c) aktivitas motorik; (d) interaksi antarpersonal;

dan (e) manipulasi objek (Kloos, dkk. 2012: 149).

Behavior setting memiliki struktur internalnya masing-masing. Hal ini disebabkan karena setiap orang atau kelompok akan berperilaku berbeda-beda sesuai peranannya masing- masing. Struktur behavior setting dapat dibedakan berdasarkan figur pengendali aktivitas yang terjadi.Barker menyebutkan daerah yang posisi pengendali dalam suatu setting perilaku sebagai performance zone.Perlu diingat bahwa tidak semua setting perilaku mempunyai suatu performance zone yang dapat dibedakan secara arsitektural.

b. Batas Behavior Setting

Batasan suatu behavior setting dapat ditetapkan pada zona atau masa di mana atau saat perilaku tersebut tidak berlangsung.Batas behavior setting yang ideal merupakan sebuah dinding jelas dan masif. Dinding batas perilaku ini tentunya merupakan sebuah elemen batas akhir bagi suatu setting yang sekaligus merupakan batas awal bagi setting perilaku lainnya.

Batas suatu behavior setting yang tidak jelas akan menyebabkan ketidak jelasan pemisahan aktivitas dalam suatu pola perilaku yang kompleks.

c. Privasi

Privasi merupakan suatu tingkatan interaksi yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi tertentu. Tingkatan privasi yang diharapkan ini berdasar pada tingkatan keinginan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Privasi dapat diartikan juga sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol tingkatan interaksi dengan pihak lain sesuai yang diinginkan (Kent, 1993: 51).

d. Ruang Personal

Ruang personal dapat diartikan sebagai berikut (Sammut, dkk, 2013: 52).

1. Ruang personal adalah batas-batas ruang yang bersifat tidak terlalu jelas antara satu orang dan orang lain.

2. Ruang personal berkaitan dengan karakter personal diri sendiri.

3. Ruang personal bersifat dinamis sebagai upaya manusia keluar dari sebagai suatu perubahan kondisi emosional.

4. Pelanggaran suatu ruang personal milik orang lain akan dapat mengakibatkan kecemasan seseorang hingga menimbulkan sebuah perkelahian.

5. Ruang personal berkaitan langsung dengan jarak dan posisi antarmanusia: saling berhadapan, membelakangi, atau searah.

e. Teritorialitas

Menurut Holahan, teritorialitas dapat diartikan sebagai suatu pola prilaku yang berhubungan dengan kepemilikan atau hak seseorang secara pribadi atau berkelompok atas sebuah area geografis tertentu. Teritori ini mencangkup pada aspek personalisasi serta pertahanan terhadap segala gangguan dan ancaman dari dunia luar. Menurut Altman, individu

6

(7)

atau kelompok yang tinggal di suatu daerah dapat mengontrol daerah yang ditinggali oleh dia atau kelompoknya (Laurens, 2005: 162-165).

Ada empat macam elemen ciri-ciri adanya teritorialitas, yaitu (a) adanya bukti kepemilikan atau hak dari suatu tempat; (b) adanya elemen personalisasi atau penandaan teritori; (c) adanya hak mempertahankan diri dari gangguan luar; (d) adanya upaya pengaturan beberapa fungsi, kebutuhan dasar, psikologis, kepuasan kognitif, dan kebutuhan estetika.

Ada tiga macam tingkatan teritori menurut Altman, yaitu:

1. Teritorial Primer

Teritori ini dimiliki dan digunakan secara khusus oleh pemiliknya. Adanya pelanggaran teritori primer ini akan berakibat pada timbulnya perlawanan dari pemiliknya.

Ketidakmampuan dalam mempertahankan teritori primer ini akan berdampak pada terjadinya masalah serius psikologis pemiliknya, berkenaan dengan harga diri dan identitas.

2. Teritori Sekunder

Teritori ini lebih fleksibel pemakaiannya. Mekanisme pengontrolannya tetap dilakukan secara perorangan, akan tetapi dapat dipergunakan oleh kelompoknya atau orang-orang yang berkepentingan kepada kelompok itu.

3. Teritori Umum

Teritori umum dapat dipergunakan oleh orang-orang dengan tetap mengikuti tata aturan yang berlaku lazim dalam masyarakat di mana teritori itu berada.Pada umumnya teritori umum dimanfaatkan secara sementara saja.

4. Permukiman Tradisional Bali

Permukiman tradisional Bali beragam karakternya.Keberadaannya tersebar di seluruh pelosok Pulau Bali dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Permukiman tersebut lazimnya dikenal sebagai desa-desa tradisional yang bercorak kultur Hindu Bali dan kebudayaan praHindu lainnya. Dalam area desa-desa tradisional tersebut pada umumnya terdapat beberapa macam zona peruntukan sesuai dengan jenis dan fungsi ruang terbuka dan bangunan yang terdapat di dalam area itu. Beberapa zonasi yang terdapat dalam area permukiman tradisional Bali tersebut terdapat area-area utama seperti area sakral berupa zona bangunan suci desa dan ruang terbuka yang disakralkan warga desa; area permukiman yang terdiri dari bangunan perumahan warga, pasar, bangunan umum balai desa, dan ruang terbuka publik; area pekuburan adat milik desa; dan daerah tegalan atau sawah sebagai area usaha penduduk.

Secara garis besar desa-desa tradisional Bali tersebut dapat dikelompokkan atas dua aspek utama, sebagai berikut.

a. Tipologi Desa Tradisional Berdasarkan atas Corak Budaya Keruangannya

Secara garis besarnya dapat disebutkan ada dua macam desa tradisional Bali sesuai masa berdirinya, yaitu Desa Bali Kuno dan Desa Bali Pertengahan.Desa Bali Kuno adalah desa tradisional Bali yang diperkirakan berdiri pada masa Bali Kuno yang berlangsung sekitar sekitar abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-14.Banyak desa yang tergolong kelompok ini berdasarkan bukti-bukti temuan yang ada diperkirakan sudah berdiri sejak zaman megalitik atau zaman prasejarah.Desa-desa yang mempunyai tinggalan tradisi megalitik ditandai adanya tinggalan benda-benda berupa batu-batu besar yang disakralkan dalam wilayah desa tersebut. Beberapa desa yang tergolong desa ini adalah Desa Sembiran, Desa Tenganan, dan beberapa desa lain di Bali. Rumah tradisional cenderung tersusun atas beberapa masa bangunan yang kecil dan sederhana.Tapak rumah tinggal ditata dengan menerapkan konsep dikotomik; ulu teben.Desa yang tergolong kelompok ini pada umumnya menganut pola desa linear.Lintasan-lintasan jalan yang membentuk pola lingkungan disesuaikan dengan transis 7

(8)

lokasi kemiringan dan lereng-lereng alam.Beberapa punggung bukit juga menjadi orientasi bersama bagi permukiman tersebut.Tempat suci bersama dan tempat-tempat suci pemujaan di masing-masing keluarga ditempatkan di bagian yang lebih tinggi atau ke arah orientasi bersama.Lokasi yang berlereng ke beberapa arah menjadikan orientasi tempat suci tidak hanya ke arah kaja dan kangin (Anonim, 1986: 13-14).Pola desa tradisional masyarakat Bali Aga cenderung mengambil bentuk pola sumbu aksis linear atau ada ruang plaza di tengah permukiman.

Desa Bali Pertengahan banyak tertata berdasarkan konsep Hindu Majapahit yang banyak berkembang di Bali pada pertengahan abad ke-14 hingga abad ke 17.Konsepsi-konsepsi Hindu Majapahit telah diadopsi sedemikian rupa sehingga menjadi konsep yang lebih membali dan sejalan dengan tradisi budaya dan alam Bali yang sudah ada sejak dahulu kala.Tata ruang dan tata bangunan sudah ditata dengan memuat konsepsi kosmogoni dan kosmologi Hindu. Desa yang bercorak kultur Hindu Majapahit menerapkan konsep pempatan agung sebagai pola utama desa. Elemen pempatan agung ini lazimnya berada di pusat desa dan dikitari oleh bangunan-bangunan utama desa lainnya.Desa yang termasuk kelompok ini menjadi konsep kaja-kelod dan kangin-kauh sebagai sumbu orientasi tata ruang desa yang bernilai sakral-profan. Tapak bangunan lazimnya juga sudah ditata dengan berpedoman pada konsepsi sangamandala yang membagi area tapak atas sembilan petak (mandala) sesuai tingkatan kesuciannya.

Dalam disiplin ilmu arsitektur, masih dikenal satu kelompok desa tradisional lainnya, yaitu Desa Tradisional Bali Modern.Desa yang tergolong kelompok ini dapat didefinisikan sebagai desa tradisional yang sudah banyak berkembang mengikuti zamannya. Desa ini masih tetap menganut pola dan konsep tata ruang tradisional Bali, akan tetapi pada beberapa aspek keruangannya sudah terdapat beberapa jenis bangunan umum maupun bangunan penduduk yang tergolong modern, seperti bangunan kantor kepala pemerintahan, balai budaya, pasar modern, dan sebagainya. Lazimnya, desa yang tergolong kelompok ini adalah desa-desa yang pada awalnya merupakan desa tradisional yang selanjutnya berkembang menjadi ibu kota-ibu kota pemerintahan atau desa-desa wisata. Area rumah tinggal penduduk juga sudah dilengkapi dengan bangunan-bangunan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan masa kini, seperti ruang tamu, kamar tidur, dan ruang makan.

b. Tipologi Desa Tradisional Berdasarkan Atas Karakteristik Lokasinya

Berdasarkan karakteristik lokasinya, dapat dikemukakan adanya tiga jenis desa tradisional Bali, yaitu desa tradisional di daerah pegunungan, desa tradisional di daerah dataran, dan desa tradisional di daerah pesisir.

(1) Desa tradisional Bali di daerah pegunungan

Desa tradisional di daerah pegunungan pada umumnya tumbuh dan berkembang dari sebuah desa yang berlatar kultur perladangan atau kehidupan penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan di sekitar wilayah danau. Pola desanya cenderung mengikuti transis wilayah pegunungan yang berlereng-lereng, sehingga tata ruang desa yang terbentuk cenderung menganut pola desa linear.Bangunan rumah tinggal penduduk pada umumnya dirancang tertutup untuk menjaga penghuni dari hawa dingin di wilayah pegunungan. Elemen tungku api merupakan elemen penting yang pada umumnya ditempatkan menyatu dengan ruang-ruang tidur yang tentunya membutuhkan kehangatan dan kestabilan suhu ruang.

(2) Desa tradisional Bali di daerah dataran

Desa tradisional di daerah dataran cenderung diidentikkan dengan desa-desa yang menganut pola cathus patha atau pempatan agung.Pandangan ini sesungguhnya tidak sepenuhnya benar, mengingat ada juga desa-desa dataran yang tidak menganut pola desa itu

8

(9)

sepenuhnya.Desa-desa terbangun di daerah dataran yang landai yang memungkinkan diterapkannya konsep tata ruang yang berpola pempatan agung itu.

Desa tradisional Bali di wilayah dataran pada masa lalunya lazimnya dihuni oleh komunitas penduduk yang berprofesi sebagai petani.Dalam wilayah desa ini terdapat area persawahan yang pada umumnya berada pada zona terluar desa, mengitari zona permukiman penduduk desa.Pada area inti desa terdapat pempatan agung yang berdekatan dengan bangunan puri (kediaman bangsawan), pasar, lapangan desa, balai desa, dan kompleks pura utama desa.

(3) Desa tradisional Bali di daerah pesisir

Desa tradisional Bali di daerah pesisir identik sebagai wilayah hunian para nelayan atau petani garam tradisional Bali.Pola desa ini pada umumnya disesuaikan dengan karakter wilayah daratan yang berdekatan dengan area pantai itu. Di samping memiliki tata ruang yang sama seperti area permukiman tradisional Bali pada umumnya. Desa-desa yang termasuk kelompok ini juga memiliki area tepian pantai yang difungsikan sebagai tempat berbagai aktivitas nelayan, utamanya adalah sebagai area penambat perahu nelayan tradisional Bali (jukung).Dalam wilayah desa tradisinal pesisir ini lazimnya terdapat bangunan pura segara sebagai bangunan suci pemujaan untuk penguasa laut.

5. Aspek-aspek Arkeologis pada Permukiman Tradisional Bali

Berkenaan dengan permukiman tradisional Bali, sesungguhnya ada sangat banyak materi kajian arsitektur-arkeologis yang dapat dijadikan sebagai fokus amatan dan studi.Akan tetapi, ada kalanya akibat belum banyaknya teori maupun pendekatan yang bersifat keruangan yang digunakan, menyebabkan hasil kajian yang diperoleh belum menjadi begitu mendalam dan holistik.Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang beberapa materi kajian arsitektur- arkeologis dalam tiga tingkatan ruang yang dapat dijadikan sebagai materi studi.Pemaparan ditata dalam bentuk tabel yang menyertakan juga dengan gambaran data yang dibutuhkan pada kondisi eksisting desa dan teori keruangan yang sekiranya dapat dijadikan sebagai teori pendukung kajian yang dilakukan.

a. Kajian keruangan berskala makro

Kajian ini lebih terfokus membahas tata ruang desa secara keseluruhan.

Tabel 1. Kajian Keruangan Berskala Makro

No Aspek kajian Kondisi eksisting lapangan Teori yang digunakan 1. Orientasi desa Arah hadap bangunan

Arah sakral dan prosesi ritual

Orientasi ruang Sakral-Profan 2. Hirarki ruang desa Zonasi tata ruang desa

Fungsi-fungsi bangunan Elemen penanda

Elemen pembatas

Hirarkhi tata ruang Elemen penanda Semiotika arsitektur 3. Pola tata ruang desa Ruang inti desa

Persebaran bangunan dan ruang terbuka yang setara

Hirarkhi ruang desa Tipologi bangunan Sakral-profan

Kosmologi tradisional 4. Teritorialitas desa Peruntukan zona desa

Jarak antardesa

Teritori komunal Elemen penanda teritori

Berdasarkan pemaparan yang tertera pada tabel 1, dapat dijelaskan satu topik kajian bahwa dalam pola tata ruang suatu desa, memang dibutuhkan data-data berkenaan ruang inti

9

(10)

desa, ruang-ruang pendukung, serta persebarannya.Kajian selanjutnya dilakukan dengan dukungan terori keruangan tentang hirarki tata ruang desa, tipologi bangunan, teori sakral profan, dan konsepsi kosmologi tradisional.Hasil kajian yang diperoleh dapat menunjukkan adanya pola radius penempatan/persebaran bangunan yang setipe secara teratur dengan fungsi inti berada di tengah area permukiman, dan fungsi terendah berada di area paling luar permukiman.

b. Kajian keruangan berskala meso

Kajian keruangan yang dilakukan dalam strata keruangan ini lazimnya lebih difokuskan pada suatu area tertentu dalam wilayah suatu desa, seperti area pusat desa, area jalan utama desa, area ruang publik, dan area penerima.

Tabel 2. Kajian Keruangan Berskala Meso

No Aspek kajian Kondisi eksisting lapangan Teori yang digunakan 1. Konsepsi area Arah hadap bangunan

Arah sakral dan prosesi ritual

Orientasi ruang Sakral-Profan Kosmologi 2. Fungsi area Pola aktivitas warga

Durasi waktu

Behavior setting Elemen penanda Semiotika arsitektur 3. Pola aktivitas Pola aktivitas warga

Elemen pendukung aktivitas Tipologi civitas

Peta perilaku Behavior setting Elemen ruang 4. Tata zonasi

lingkungan meso

Pola aktivitas Pola tata ruang

Zonasi ruang Orientasi ruang 5. Tata ruang terbuka Gambaran eksisting tata

ruang terbuka

Fungsi dan pola aktivitas warga

Dimensi

Elemen ruang terbuka Elemen penanda teritori Ruang komunal

Dengan pola pemikiran yang sama seperti berlaku untuk kajian pada tabel 1, maka akan diperoleh hasil kajian berskala meso tentang tata ruang terbuka desa yang menunjukkan bahwa ada elemen-elemen ruang luar yang terlihat kurang bermakna akan tetapi sesungguhnya berperan sebagai semacam elemen penanda teritori dan pembatas setting pada saat ruang terbuka tersebut difungsikan warga.

c. Kajian keruangan berskala mikro

Kajian keruangan berskala mikro lebih terfokus pada aspek-aspek keruangan yang berdimensi kecil, seperti wujud bangunan, wujud ruang, ragam hias, material bangunan, dan elemen struktur bangunan.

Tabel 3. Kajian Keruangan Berskala Mikro

No Aspek kajian Kondisi eksisting lapangan Teori yang digunakan 1. Zonasi tapak rumah Fungsi bangunan

Dimensi masing-masing bangunan

Orientasi ruang Sakral-Profan Kosmologi 2. Dimensi tembok

batas

Pola aktivitas penghuni Interaksi antartetangga Ukuran fisik penghuni

Behavior setting Elemen penanda Semiotika arsitektur

10

(11)

Antropometri 3. Material bangunan Bahan

Fungsi bangunan

Ergonomi Antropometri 4. Ragam hias Wujud ragam hias

Fungsi bangunan pengguna

Semiotika Kosmologi Analogi arsitektur 5. Organisasi ruang Fungsi ruang

Hubungan antarruang Pola aktivitas

Behavior setting

Elemen penanda teritori Ruang personal

Teritorialitas

Sejalan dengan pola analisis yang sama seperti berlaku untuk kajian pada tabel 1 dan tabel 2, maka diperoleh hasil kajian berskala mikro tentang adanya variasi tembok pembatas pekarangan rumah yang menunjukkan bahwa elemen-elemen pembatas tersebut memang dirancang dengan ketinggian yang sedemikian rupa sesuai dengan pertimbangan kebutuhan penghuni dan interaksi antara penghuni dan tetangganya.

Pemaparan yang dikemukakan sebelumnya bukanlah merupakan cara yang mutlak baku untuk dijalankan. Peneliti arkeologi yang mengkaji aspek keruangan tentunya tetap diharapkan dapat lebih jeli melihat permasalahan lapangan; fleksibel dalam mencari cara dalam meneliti; memilih dan memilah teori pendukung; serta tentunya metode analisis yang tepat sesuai permasalahan yang diangkat.

6. Simpulan

Kajian yang disusun dalam bentuk tulisan singkat ini sekaligus menunjukkan adanya relasi antara disiplin ilmu arsitektur dalam mendukung kajian-kajian yang bersifat arkeologis.

Melalui berbagai macam pendekatan penelitian dan penerapan metode riset yang tepat, serta didukung adanya pemahaman yang kuat dari sang peneliti sendiri, maka dapat dipastikan hasil kajian keruangan yang diperoleh terhadap suatu objek studi yang bernilai arkelogi akan dapat menghasilkan temuan yang kaya dan mengungkap esensi sejati dari ruang secara lebih mendalam dan komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Cavallo, R. S. Komossa, dan N. Marzot. 2014. New Urban Configurations. London: IOS Press.

Eliade, Mircea. 2002. Sakral Dan Profan. Nuwanto (Terj.). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Endraswara, Suwandi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Karwowski, Waldemar. 2001. International Encyclopedia of Ergonomics and Human Factors, Volume 3. London: CRC Press.

Kent, Susan. 1993. Domestic Architecture and the Use of Space: An Interdisciplinary Cross- Cultural Study. London: Cambridge University Press.

Kloos, Bret, Jean Hill, Elizabeth Thomas, Abraham Wandersman, Maurice J. Elias. 2012.

Community Psychology: Linking Individuals and Communities. London: Cengage Learning.

Kruft, Hanno-Walter. 1994. History of Architectural Theory. New York: Princeton Architectural Press.

Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur & Perilaku Manusia. Jakarta: Grasindo.

11

(12)

Silverman, Hugh J. 2014. Cultural Semiosis: Tracing the Signifier. London: Routledge, Taylor & Francis Group.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya (penerjemah: Ani Soekowati). Yayasan Sumber Agung, Jakarta.

12

(13)

Pendekatan Arsitektural dalam Kajian Arkeologis

Permukiman Tradisional Bali

I Nyoman Widya Paramadhyaksa

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana

Fakultas Sastra, Universitas Udayana

28 Maret 2016

(14)

Dalam wilayah Pulau Bali terdapat banyak permukiman tradisional Bali dengan berbagai macam karakter dan perwujudannya. Permukiman tradisional Bali tersebut

lazimnya lebih dikenal dengan nama desa-desa tradisional Bali yang pada umumnya banyak bercorak kultur budaya Hindu Bali.

PENDEKATAN ARSITEKTURAL DALAM KAJIAN ARKEOLOGIS PERMUKIAN TRADISIONAL BALI

Ada beberapa aspek yang bisa dibahas berkenaan tata ruang dan tata bangunan dalam wilayah desa-desa tradisional itu. Beberapa aspek yang dapat dicermati antara lain berkenaan dengan: pola desa; orientasi desa;

tata zonasi wilayah desa; elemen-elemen di area pusat desa; elemen sakral dan profan desa; tipologi bangunan; serta perwujudan tata bangunan dalam wilayah desa tradisional tersebut.

Nilai kesejarahan yang termuat dalam tata ruang dan elemen-elemen bangunan dalam wilayah desa tradisional ini lazimnya dapat dicermati dengan disiplin ilmu arkeologi, tentunya ditopang dengan beberapa

macam pendekatan yang dapat "diperkaya" dari disiplin ilmu ruang dalam

konteks yang lebih kekinian, yaitu arsitektur.

(15)

Tulisan ini disusun berdasarkan dua macam metode penelitian yang khususnya ditempuh dengan tujuan untuk mengumpulkan data, informasi, dan hasil-hasil penelitian yang pernah atau dapat dijalankan dengan menerapkan pola analisis

dan pendekatan secara arsitektur dan arkeologi.

METODE PENELITIAN

(16)

Ruang Sakral dan Profan

Eliade mendefinisikan ruang sakral sebagai suatu ruang yang bersifat

“nyata” dan dilingkupi oleh satu area atau medan nirrupa. Ruang sakral ini lazimnya menjadi semacam arah orientasi bagi ruang-ruang lainnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Orientasi dan Hirarkhi Ruang

Orientasi dapat diartikan sebagai pandangan yang mendasari pemikiran. Dalam ilmu kearsitekturan, orientasi sering kali dimaknai sebagai arah hadap atau sikap dalam perilaku meruang secara sakral dan profan dari suatu komunitas dalam suatu tatanan lingkungan permukiman.

Hirarki tata ruang dapat diartikan sebagai suatu prinsip tata zonasi atau pendaerahan yang didasarkan pada konsep bahwa setiap zona memiliki tata nilai dan tingkatan-tingkatan tersendiri sesuai dengan kedudukannya.

1

2

(17)

Kajian Tafsiran Makna Wujud Arsitektur

Tafsiran makna merupakan salah satu metode analisis yang banyak diterapkan dalam kajian makna karya-karya seni, arsitektur, dan arkeologi. Metode penelitian semacam ini lazimnya dikenal dengan nama metode hermenetik.

Dalam kajian tafsiran makna seperti ini, seorang peneliti akan berupaya menjelajahi makna tafsir yang terdekat yang termuat pada objek yang ditelitinya.

TINJAUAN PUSTAKA

Semiotika Arsitektur

Perwujudan arsitektur memuat berbagai macam sistem tanda yang mengandung banyak makna bahasa. Dalam pandangan ini arsitektur dianalogikan sebagai unsur-unsur pembentuk bahasa.

Gagasan ini selanjutnya melahirkan beberapa macam pendekatan dalam ilmu semiotika arsitektur. Ada dua buah model semiotika yang populer dalam ilmu arsitektur, yaitu pendekatan semiotika versi Charles Sanders Pierce, serta pendekatan semiotika milik Ferdinand de Saussure. Pierce mengkategorisasikan objek tanda dalam ilmu arsitektur dalam tiga macam tanda, yaitu tanda yang bersifat indeks, ikon, dan simbol. .

3

4

(18)

SEMIOTIKA ARSITEKTUR

Ikon Indeks Simbol

(19)

Tipomorfologi

Tipologi merupakan studi yang mengeluas tentang tipe dari suatu kelompok objek yang memiliki kesamaan karakter khas struktur secara formal yang sama. Melalui studi tipologi juga dapat diperoleh gambaran tentang adanya keragaman dan keseragaman dari suatu kelompok objek.

TINJAUAN PUSTAKA

Aspek Humanisme dalam Arsitektur

Dalam kajian kearsitekturan lazimnya terdapat suatu kajian yang berlatar pada aspek humanis atau aspek manusia sebagai pengguna bangunan atau ruang tersebut. Dalam kajian kearsitekturan lazimnya terdapat tiga aspek kajian yang berlatar aspek humanistik, yaitu aspek antropometri, ergonomi, dan perilaku

5

6

(20)

Istilah antropometri tersusun dari gabungan kata antropos yang berarti manusia dan metri yang berarti

ukuran atau dimensi. Gabungan kata ini membentuk arti baru dari kata antropometri sebagai suatu cabang

ilmu yang membahas segala hal yang berkaitan dengan aspek pengukuran bagian anatomi manusia.

ANTROPOMETRI DAN ERGONOMI

Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari tentang batasan-batasan yang dimiliki manusia secara

anatomik dan psikis dalam menjaga interaksi dengan elemen-elemen lain dalam lingkungan yang

berkaitan dengannya.

(21)

ARSITEKTUR DAN PERILAKU MANUSIA

Behavior Setting .

Batas Behavior Setting Privasi

Ruang Personal

(22)

PETA PERILAKU

(23)

PETA PERILAKU DAN PRIVASI

(24)

PERMUKIMAN TRADISIONAL

BALI

(25)

Tipologi Desa

Tradisional Berdasarkan atas Corak Budaya

Keruangannya

Secara garis besarnya dapat disebutkan

ada dua macam desa tradisional Bali

sesuai masa berdirinya, yaitu Desa Bali

Kuno dan Desa Bali Pertengahan. Desa

Bali Kuno adalah desa tradisional Bali

yang diperkirakan berdiri pada masa

Bali Kuno yang berlangsung sekitar

sekitar abad ke-8 hingga pertengahan

abad ke-14.

(26)

Pura Desa

Lapangan Pasar

Desa/Pek en Bale Banjar/

Wantilan

Pura Puseh

Puri

Pura Dalem

Kuburan/

Setra

Permukiman Penduduk Permukiman

Penduduk

Permukiman Penduduk

Permukiman Penduduk

Kangin Gunung/

Kaja

Laut/

Klod Kauh

Pempatan agung

Desa Bali Pertengahan banyak tertata berdasarkan konsep Hindu Majapahit yang banyak berkembang di Bali pada

pertengahan abad ke-14 hingga

abad ke 17.

(27)

Tipologi Desa Tradisional Berdasarkan atas Karakteristik Lokasinya

Desa tradisional Bali di Daerah Pegunungan

Desa tradisional Bali di daerah dataran

Desa tradisional Bali di daerah pesisir

1

3

2

(28)

Aspek-aspek Arkeologis

pada Permukiman Tradisional Bali

Kajian keruangan berskala makro

No Aspek kajian Kondisi eksisting lapangan Teori yang digunakan

1. Orientasi desa Arah hadap bangunan

Arah sakral dan prosesi ritual

Orientasi ruang Sakral-Profan

2. Hirarki ruang desa Zonasi tata ruang desa Fungsi-fungsi bangunan Elemen penanda

Elemen pembatas

Hirarkhi tata ruang Elemen penanda Semiotika arsitektur

3. Pola tata ruang desa Ruang inti desa

Persebaran bangunan dan ruang terbuka yang setara

Hirarkhi ruang desa Tipologi bangunan Sakral-profan

Kosmologi tradisional

4. Teritorialitas desa Peruntukan zona desa Jarak antardesa

Teritori komunal

Elemen penanda teritori

(29)

Pura Desa

Lapangan Pasar

Desa/Pe ken Bale Banjar/

Wantilan

Pura Puseh

Puri

Pura Dalem

Kuburan/

Setra

Permukiman Penduduk Permukiman

Penduduk

Permukiman Penduduk

Permukiman Penduduk

Kangin Gunung/

Kaja

Laut/

Klod Kauh Pempatan agung

Aspek yang bisa dilihat: Kosmologi, Orientasi, hirarkhi, zonasi, teritori desa

(30)

Aspek-aspek Arkeologis

pada Permukiman Tradisional Bali

Kajian keruangan berskala meso

No Aspek kajian Kondisi eksisting lapangan Teori yang digunakan

1. Konsepsi area Arah hadap bangunan

Arah sakral dan prosesi ritual

Orientasi ruang Sakral-Profan Kosmologi

2. Fungsi area Pola aktivitas warga

Durasi waktu

Behavior setting Elemen penanda Semiotika arsitektur 3. Pola aktivitas Pola aktivitas warga

Elemen pendukung aktivitas Tipologi civitas

Peta perilaku Behavior setting Elemen ruang 4. Tata zonasi lingkungan meso Pola aktivitas

Pola tata ruang

Zonasi ruang Orientasi ruang 5. Tata ruang terbuka Gambaran eksisting tata ruang terbuka

Fungsi dan pola aktivitas warga Dimensi

Elemen ruang terbuka Elemen penanda teritori Ruang komunal

(31)
(32)

Aspek Meso Elemen Arsitektur-Perilaku

(33)

Aspek-aspek Arkeologis

pada Permukiman Tradisional Bali

Kajian keruangan berskala mikro

No Aspek kajian Kondisi eksisting lapangan Teori yang digunakan

1. Zonasi tapak rumah Fungsi bangunan

Dimensi masing-masing bangunan

Orientasi ruang Sakral-Profan Kosmologi 2. Dimensi tembok batas Pola aktivitas penghuni

Interaksi antartetangga Ukuran fisik penghuni

Behavior setting Elemen penanda Semiotika arsitektur Antropometri

3. Material bangunan Bahan

Fungsi bangunan

Ergonomi Antropometri

4. Ragam hias Wujud ragam hias

Fungsi bangunan pengguna

Semiotika Kosmologi Analogi arsitektur

5. Organisasi ruang Fungsi ruang

Hubungan antarruang Pola aktivitas

Behavior setting

Elemen penanda teritori Ruang personal

Teritorialitas

(34)

diperoleh hasil kajian berskala mikro tentang adanya variasi tembok pembatas

pekarangan rumah yang menunjukkan bahwa elemen-elemen pembatas tersebut

memang dirancang dengan ketinggian yang sedemikian rupa sesuai dengan

pertimbangan kebutuhan penghuni dan interaksi antara penghuni dan

tetangganya

(35)

Contoh lain tentang ragam hias:

(36)

Simpulan

Kajian yang disusun dalam bentuk tulisan singkat ini sekaligus

menunjukkan adanya relasi antara disiplin ilmu arsitektur dalam

mendukung kajian-kajian yang bersifat arkeologis. Melalui

berbagai macam pendekatan penelitian dan penerapan metode

riset yang tepat, serta didukung adanya pemahaman yang kuat

dari sang peneliti sendiri, maka dapat dipastikan hasil kajian

keruangan yang diperoleh terhadap suatu objek studi yang

bernilai arkelogi akan dapat menghasilkan temuan yang kaya dan

mengungkap esensi sejati dari ruang secara lebih mendalam dan

komprehensif.

(37)

Terima Kasih

Gambar

Tabel 1. Kajian Keruangan Berskala Makro
Tabel 2. Kajian Keruangan Berskala Meso

Referensi

Dokumen terkait

kondensat. Macam-macam Bahan Kimia Untuk Pengolahan Air Ketel dan Fungsinya Tujuan utama pemakaian bahan-bahan kimia ini adalah sebagai berikut. a) Mengubah komponen pembentuk

Semen seng fosfat sebagai basis digunakan dalam kekentalan yang tinggi dan bentuk lapisan yang relatif tebal untuk menggantikan dentin yang sudah rusak dan untuk

tegakan pada areal kerja M Terdapat Dokumen Pelaksanaan Timber Cruiising Intensitas 100 % Terhadap Potensi Hasil Hutan Kayu Untuk Pembukaan Lahan Seluas 2.419 Ha di

Foth (1995) mendefisinisikan kesuburan tanah sebaga i kualitas yang memungkinkan suatu tanah untuk menyediakan unsur -unsur hara yang memadai baik dalam jumlah maupun imbangannya

Sidiq Manajemen, namun dari hasil uji hipotesis yang telah dilakukan melalui program SPSS menunjukan hasil bahwa sistem pengembangan karir terhadap motivasi berprestasi karyawan

The first six chapters discuss, in details, how the adoption of artificial intelligence would advance the cyber threat intelligence in several contexts, i.e., in static malware

Tabel nilai rikkes II digunakan untuk menyimpan data hasil pemeriksaan kesehatan tahap II, tabel ini akan berhubungan dengan tabel kelainan untuk menentukan status kesehatan

Berdasarkan hubungan pengetahuan penderita TB Paru dengan kepatuhan berobat di RS Siloam Palembang hasil uji statistik didapat nilai P (p Value ) = 0,01, berarti lebih