• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) 2.1.1 Pengertian DAS

Berdasarkan UU No.7 tahun 2004 daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang mempunyai satu kesatuan dengan sungai dan anak–anak sungainya, dalam fungsinya untuk menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke satu outlet (danau atau laut) secara alami sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Dengan pengertian yang lebih kurang sama, Webster (1976) dalam rauf (2011) mendefenisikan DAS sebagai sebuah wilayah yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jatuh diatasnya menuju sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan, pemisah topografi ialah punggung bukit. Di bawah tanah juga terdapat pemisah bawah tanah berupa batuan. Sebuah DAS merupakan kumpulan dari beberapa sub DAS yang lebih kecil. Ukuran dan bentuk DAS dengan sendirinya berbeda antara satu dengan lainnya.

Pendefinisian DAS dalam konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara. Dephut (2001), menjelaskan konsep daur hidrologi DAS bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air

(2)

larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran. Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari: manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan system ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal.

Faktor penyebab kerusakan Derah Aliran Sungai (DAS) dapat ditandai dengan menurunnya kemampuan menyimpan, manampung, dan mengalirkan air hujan yang jatuh dipermukaan DAS, sehingga dapat menyebabkan tingginya laju erosi lahan dan debit dari sungai – sungainya. Adapun faktor utama penyebab kerusakan DAS adalah penutupan vegetasi lahan permanen/hutan yang mengalami kerusakan/kehilangan, pemanfaatan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, tidak tepatnya penerapan teknologi pengelolaan lahan di kawasan DAS (Sinukaban, 2007 dalam Hutapea.S, 2012), kerusakan DAS ini umumnya disebabkan oleh tangan manusia yang berada pada DAS tersebut.

Ada tiga perbedaan aspek dari suatu fungsi hutan dalam ekosistem DAS, yaitu pohon, tanah, dan lansekap (landscape). Vegetasi hutan berfungsi mengintersepsi air hujan, namun laju transpirasi yang tinggi mengakibatkan

(3)

perbandingan dengan jenis vegetasi non-irigasi lainnya. Tanah hutan memiliki lapisan seresah yang tebal, kandungan bahan organik tanah, dan jumlah makro porositas yang cukup tinggi sehingga laju infiltrasi air lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian. Dari sisi lansekap, hutan tidak peka terhadap erosi karena memiliki filter berupa seresah pada lapisan tanahnya. Hutan dengan karakteristik tersebut di atas sering disebut mampu meredam tingginya debit sungai pada saat musim hujan dan menjaga kestabilan aliran air pada musim kemarau.

2.1.2 Kesatuan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai

Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, geologi yang mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS, aktivitas yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi kondisi DAS bagian tengah dan hilir. Batas DAS secara administratif hanya dapat tercakup dalam satu kabupaten hingga melintas batas provinsi dan negara. Suatu DAS yang sangat luas dapat terdiri dari beberapa sub DAS yang kemudian dapat dikelompokkan lagi menjadi DAS bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian hilir. Fungsi dari setiap sub DAS tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, DAS bagian hulu dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah dengan lanskap pegunungan dengan variasi topografi, mempunyai curah hujan yang tinggi dan sebagai daerah konservasi untuk

(4)

mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen sistem aliran airnya.

Kedua, DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.

Ketiga, DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan yang relatif landai dengan curah hujan yang lebih rendah. Semakin ke hilir, mutu air, kontinuitas, kualitas dan debit akan semakin berkurang kualitasnya dibandingkan dengan DAS bagian hulu. Hal ini terjadi karena badan air di hulu tercemari oleh kegiatan-kegiatan manusia baik domestik maupun industri, sehingga badan air di bagian hilir mengalami kondisi dan kualitas yang kurang baik. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat

(5)

mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan.

2.1.3 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan manusia. Prinsip dasar dalam pengelolaan DAS yaitu “satu DAS, satu perencanaan, satu pengelolaan”. Dengan prinsip ini pengelolaan DAS dilakukan dengan pendekatan ekosistem dengan asas keterpaduan, kemanfaatan, kelestarian, dan keadilan (Sumampouw et al. t.t, 2009).

Pengelolaan DAS menurut Dephut (2001) adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Mengacu pada penelitian Citanduy, pengelolaan DAS dalam konteks yang lebih luas dipandang sebagai suatu sistem sumberdaya, satuan pengembangan sosial ekonomi dan satuan pengaturan tata ruang wilayah yang dijalankan berdasarkan prinsip konservasi sumberdaya (resources sustainability) yang mengandung makna keterpaduan antara prinsip produktivitas dan konservasi sumberdaya (sustainability = productivity + conservation of resources) dalam mencapai tujuan-tujuan pengelolaan DAS (Dephut, 2008). Tujuan-tujuan pengelolaan DAS tersebut meliputi:

(6)

1. Lahan yang produktif dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukungnya;

2. DAS yang mempunyai tutupan vegetasi tetap yang memadai dan aliran (debit) air sungai stabil dan jernih tanpa ada pencemaran air;

3. Kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif para pihak termasuk masyarakat di dalam pengelolaan DAS semakin lebih baik;

4. Kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

Ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS sebagaimana dinyatakan oleh (Dephut 2008) meliputi:

1. Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan;

2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan;

3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi);

4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air;

5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS.

Menurut Abdul Rauf, 2011 program – program pengelolaan DAS yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas lahan di suatu DAS sebaiknya tidak mengabaikan perlunya menerapkan praktek pengelolaan DAS yang berwawasan

(7)

lingkungan. Di lain pihak, aktivitas pengelolaan DAS untuk menurunkan laju erosi dan sedimentasi serta permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya air dan tanah, seharusnya tidak mengabaikan pentingnya peranan DAS bagian hulu yang dapat meningkatkan pendapatan manusia yang menghuni DAS yang mampu mendapatkan sumber daya yang berwawasan lingkungan.

Pada umumnya sebagian besar petani di daerah aliran sungai menerapkan kegiatan becocok tanam bersifat multiguna, dengan adanya kegiatan tersebut, maka pemanfaatan DAS yang bercrikan multiguna melibatkan komoditas yang mereka butuhkan, seperti makanan ternak, tanaman pangan dan obat, kayu untuk bangunan, dan kayu bakar., sasaran pengelolaan DAS untuk tujuan multiguna adalah melakukan pengelolaan sumber daya pada tuingkat yang paling menguntungkan baik pengelolaan jangka pendek maupun jangka panjang.

Sasaran pengelolaan DAS yang ingin dicapai pada dasarnya adalah:

a. Terciptanya hidrologi DAS secara optimal.

b. Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat.

c. Tertanya suatu kelembagaan formal dan informal dari masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS dan konservasi tanah

d. Adanya suatu kesadaran dari masyarakat dalam hal pengelolaan DAS secara berkelanjutan

e. Terwujudnya suatu pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.

(8)

2.2 Erosi

2.2.1 Pengertian Erosi

Menurut rauf.A, 2011 erosi merupakan peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari satu tempat ke tempat lain oleh media alami. Media alami yang berperan adalah air dan angin erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan yang jatuh diatas tanah.

Proses erosi dapat ditinjau dari tiga proses yang berurutan yaitu pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan sedimentasi (sedimentation) (Suripin, 2002). Tiga tahapan erosi adalah tahap pelepasan dari massa tanah, tahap pengangkutan oleh media yang erosive seperti aliran air dan angin, dan tahap pengendapan yang terjadi pada kondisi aliran yang melemah.

Erosi juga dapat disebut pengikisan atau pengelupasan yang merupakan proses penghanyutan oleh kekuatan air dan angin, baik yang berlangsung secara alamiah maupun akibat perbuatan manusia. Pengertian yang lain juga menyebutkan bahwa erosi adalah hilangnya bagian – bagian tanah yang berpindah akibat air atau angin dari suatu tempat ke tempat yang lainnya.

Dari pengertian erosi diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa erosi merupakan suatu proses hilangnya atau pengelupasan pada top soil kulit bumi akibat faktor alam maupun organisme. Di alam terdapat dua penyebab utama yang aktif dalam proses erosi yaitu air dan angin, tetapi akibat aktifitas manusia di alam ini, maka manusia juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi terjadinya

(9)

proses erosi ini. erosi alamiah dapat terjadi karena adanya proses pembentukan tanah yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Sedangkan erosi akibat aktivitas manusia disebabkan oleh terkelupasnya lapisan permukaan tanah bagian atas akibat kegiatan manusia melakukan cara bercocok tanam yang tidak di dasarkan kaidah konservasi tanah serta kegiatan manusia dalam hal pembangunan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah.

Dua peristiwa utama erosi, yaitu pelepasan dan pengangkutan merupakan penyebab erosi tanah yang penting. Dalam proses erosi, pelepasan butir tanah mendahului peristiwa pengangkutan, tetapi pengangkutan tidak selalu diikuti oleh pelepasan. Agen pelepasan tanah yang penting adalah tetesan butir hujan yang jatuh di permukaan tanah. Tetesan air hujan akan memukul permukaan tanah, mengakibatkan gumpalan tanah menjadi butir-butir yang lebih kecil dan terlepas.

Butir-butir tanah yang terlepas tersebut sebagian akan terlempar ke udara (splash) dan jatuh lagi di atas permukaan tanah, dan sebagian kecil akan mengisi pori-pori kapiler tanah, sehingga akan menghambat proses infiltrasi (Arsyad, 2010).

Ada beberapa macam erosi yang dikenal dalam kamus konservasi tanah dan air, yaitu erosi geologi merupakan suatu erosi yang terjadi sejak permukaan bumi terbentuk yang menyebabkan terkikisnya batuan sehingga terjadinya bentuk morfologipermukaan bumi seperti sekarang ini. Erosi normal (erosi alami) adalah suatu proses terangkutnya bagian tanah yang terjadi secara alami, erosi alami ini terjadi dengan laju yang lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal sehingga memungkinkan dapat mendukung pertumbuhan vegetasi lahan secara

(10)

normal. Kemudian erosi dipercepat adalah terangkutnya suatu tanah dengan laju yang jauh lebih cepat dari erosi normal sehingga dapat menimbulkan kerusakan tanah lebih cepat, hal ini dikarenakan perbuatan manusia menghilangkan tumbuhan penutupan suatu lahan.

Aliran permukaan akan terjadi apabila air hujan yang masuk ke dalam tanah telah melampaui kapasitas infiltrasinya. Aliran tersebut mula-mula laminer, tetapi lama-kelamaan berubah menjadi turbulent karena pengaruh permukaan tanah yang dilaluinya. Turbulensi aliran ini digunakan untuk melepas lagi butir-butir tanah dengan cara mengangkat dari massanya dan menggulingkan butir – butir tanah tersebut, serta terjadi pula penggemburan butirbutir tanah dari masanya oleh butir- butir tanah yang terkandung dalam aliran permukaan. Aliran permukaan lama- kelamaan akan berkurang sejalan dengan berkurangnya curah hujan. Oleh karena itu, kemampuan pengangkutannya akan menyusut, dan pada suatu saat saja akan berhenti. Dalam keadaan inilah terjadi pengendapan butir-butir partikel tanah yang merupakan proses akhir terjadinya erosi.

Ada beberapa jenis erosi tanah yang disebabkan oleh air hujan yang umum dijumpai di daerah tropis, yaitu:

1. Erosi percikan (splash erosion)

Erosi percikan (splash erosion) adalah proses terkelupasnya partikel-partikel tanah sebagain atas oleh tanaga kinetic air hujan bebas atau sebagai air lolos. Tenaga kinetik tersebut ditentukan oleh dua hal, massa dan kecepatan jatuhan air. Tenaga kinteik bertambah besar dengan bertambahnya besar diameter air hujan dan jarak

(11)

antara ujung daun penetes (driptips) dan permukaan tanah (pada proses erosi di bawah tegakan vegetasi). Oleh karena itu, air lolos dari vegetasi dengan ujung penetes lebar memberikan tenaga kinetik yang besar, sehingga meningkatkan kecepatan air lolos sampai ke permukaan tanah.

2. Erosi Kulit (sheet erosion)

Erosi Kulit (sheet erosion) adalah erosi yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan air larian (runoff). Tipe erosi ini disebabkan oleh kombinasi air hujan dan air larian yang

mengalir ke tempat yang lebih rendah. Berdasarkan sumber tenaga penyebab erosi kulit, tenaga kinetis air hujan lebih penting karena kecepatan air jatuhan lebih besar, yaitu antara 0,3 sampai 0,6 m/dt (Schwab et al., 1981). Tenaga kinetik air hujan akan menyebabkan lepasnya partikel-partikel tanah dan bersama-sama dengan pengedapan sedimen di atas permukaan tanah, menyebabkan turunnya laju infiltrasi karena pori- pori tanah tertutup oleh kikisan partikel tanah. Bentang lahan dengan komposisi lapisan permukaan tanah atas yang rentan/lepas terletak di atas lapisan bawah permukaan yang solid merupakan bentang lahan dengan potensi terjidinya erosi kulit besar. Besar kecilnya tenaga penggerak terjadinya erosi kulit ditentukan oleh kecepatan dan kedalaman air larian.

3. Erosi alur (rill erosion)

Erosi alur (rill erosion) adalah pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh aliran air larian yang terkonsentrasi di dalam saluran-saluran air. Hal ini terjadi ketika air larian masuk ke dalam cekungan

(12)

permukaan tanah, kecepatan air larian meningkat dan akhirnya terjadilah transpor sedimen. Dalam hubungannya dengan faktor-faktor penyebab erosi ditegaskan bahwa tipe erosi ini terbentuk oleh tanah yang kehilangan daya ikat partikel-partikel tanah sejalan dengan meningkatnya kelembapan tanah di tempat tersebut.

Kelembapan tanah yang berlebihan akan mengakibatkan tanah longsor. Bersama dengan longsornya tanah, kecepatan air larian ini mengangkut sedimen hasil erosi dan ini menandai awal dari terjadinya erosi parit.

4. Erosi parit/selokan (gully erosion)

Erosi parit/selokan membentuk jajaran parit yang lebih dalam dan lebar dan merupakan tingkat lanjutan dari erosi alur. Erosi parit dapat diklasifikasikan sebagai parit bersambungan dan parit terputus-putus. Erosi parit terputus dapat dijumpai di daerah yang bergunung. Erosi tipe ini biasanya diawali oleh adanya gerusan yang melabar di bagian atas hamparan tanah miring yang berlangsung dalam waktu relatif singkat akibat adanya air larian yang besar. Kedalaman erosi parit ini menjadi berkurang pada daerah yang kurang terjal. Erosi bersambungan berawal dari terbentuknya gerusan – gerusan permukaan tanah oleh air larian ke arah tempat yang lebih rendah dan cendrung berbentuk jari – jari tangan.

2.2.2 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Erosi

Adapun beberapa faktor yang mepengaruhi erosi adalah:

1. Iklim

Pada daerah tropis faktor iklim yang paling besar pengaruhnya terhadap laju erosi adalah hujan. Jumlah dan intensitas hujan di Indonesia umumnya lebih tingi

(13)

dibandingkan dengan negara beriklim sedang. Besarnya curah hujan menentukan kekuatan dispersi, daya pengangkutan dan kerusakan terhadap tanah (Arsyad, 2010).

Intensitas dan besarnya curah hujan menentukan kekuatan dispersi terhadap tanah.

Jumlah curah hujan rata-rata yang tinggi tidak menyebabkan erosi jika intensitasnya rendah, demikian pula intensitas hujan yang tinggi tidak akan menyebabkan erosi bila terjadi dalam waktu yang singkat karena tidak tersedianya air dalam jumlah besar untuk menghanyutkan tanah. Sebaliknya jika jumlah dan intensitasnya tinggi akan mengakibatkan erosi yang besar.

2. Tanah

Tanah merupakan faktor penting yang menentukan besarnya erosi yang terjadi. Faktor-faktor tanah yang berpengaruh antara lain adalah ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar baik oleh pukulan air hujan maupun limpasan permukaan dan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan melalui perkolasi dan infiltrasi.

Kepekaan atau ketahanan tanah terhadap erosi berbeda-beda sesuai dengan sifat fisik dan kimia tanah. Perbedaan ketahanan ini umumnya dinyatakan dalam nilai erodibilitas tanah. Semakin tinggi nilai erodibilitas tanah, semakin mudah tanah tersebut tererosi. Secara umum tanah dengan debu yang tinggi, liat yang rendah dan kandungan bahan organik sedikit mempunyai kepekaan erosi yang tinggi. Nilai erodibilitas suatu tanah ditentukan oleh ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar dan kemampuan tanah menyerap air (infiltrasi dan perkolasi). Ketahanan tanah menentukan mudah tidaknya massa tanah dihancurkan, sedangkan infiltrasi dan

(14)

perkolasi mempengaruhi volume limpasan permukaan yang mengikis dan mengangkut hancuran masa tanah.

Sifat-sifat tanah yang penting pengaruhnya terhadap erosi adalah kemampuannya untuk menginfiltrasikan air hujan yang jatuh serta ketahanannya terhadap pengaruh pukulan butir-butir hujan dan aliran permukaan. Tanah dengan agregat yang stabil akan lebih tahan terhadap pukulan air hujan dan bahaya erosi.

Kapasitas infiltrasi tanah sangat dinamis, dapat berubah atau diubah oleh waktu atau pengolahan tanah.

Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, dan sifat lapisan bawah tanah. Tanah dengan kandungan liat yang tinggi sukar tererosi, karena liat memiliki kemampuan memantapkan agregat tanah.

Struktur tanah mempengaruhi besarnya erosi, tanah-tanah yang berstruktur granuler lebih terbuka dan akan menyerap air lebih cepat daripada tanah yang berstruktur masif. Demikian pula peranan bahan organik penting terhadap stabilitas struktur tanah, karena bahan organik tanah berfungsi memperbaiki kemantapan agregat tanah, memperbaiki struktur tanah dan menaikkan daya pegang air tanah.

Sifat lapisan bawah tanah yang menentukan kepekaan erosi adalah permeabilitas.

3. Topografi

Topografi diartikan sebagai tinggi rendahnya permukaan bumi yang menyebabkan terjadi perbedaan lereng. Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Erosi akan meningkat dengan bertambahnya panjang lereng pada intensitas hujan tinggi,

(15)

tetapi erosi akan menurun dengan bertambahnya panjang lereng pada intensitas hujan yang rendah. Unsur lain yang berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman, dan arah lereng.

Bentuk lereng juga berpengaruh terhadap erosi. Bentuk lereng dibedakan atas lereng lurus, lereng cembung, lereng cekung dan lereng kompleks. Lereng lurus dicirikan oleh kemiringan yang seragam pada seluruh bagian lereng. Lereng cembung semakin curam ke arah lereng bawah, sedangkan lereng cekung semakin landai ke arah lereng bawah. Lereng yang cembung umumnya tererosi lebih besar daripada lereng cekung.

Perbedaan aspek lereng menimbulkan perbedaan besarnya erosi yang terjadi karena perbedaan penyinaran matahari dan kelembaban. Untuk daerah tropis, aspek lereng tidak terlalu menyebabkan perbedaan erosi yang besar karena matahari berada hampir tegak lurus dari permukaan.

4.Vegetasi

Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, mempengaruhi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap porositas tanah, transpirasi yang mengakibatkan keringnya tanah.

Hutan atau padang rumput yang tebal merupakan pelindung tanah yang efektif terhadap bahaya erosi. Tanaman yang tinggi biasanya menyebabkan erosi yang lebih besar dibandingkan tanaman yang rendah, karena air yang tertahan oleh

(16)

tanaman masih dapat merusak tanah pada saat jatuh di permukaan tanah. Selain mengurangi pukulan butir-butir air hujan pada tanah, tanaman juga berpengaruh dalam menurunkan kecepatan aliran permukaan dan mengurangi kandungan air tanah melalui transpirasi.

5. Manusia

Manusia dapat mencegah dan mempercepat terjadinya erosi, tergantung bagaimana manusia mengelolahnya. Manusialah yang menentukan apakah tanah yang dihasilkannya akan merusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara lestari. Banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan mempertahankan dan merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijaksana sehingga menjadi lebih baik dan dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

Pembuatan terras, penanaman secara berjalur, penanaman atau pengolahan tanah menurut kontur, perlindungan tanah dengan mulsa adalah kegiatan manusia yang dapat menurunkan erosi. Di lain pihak, penanaman searah lereng, perladangan dan penggunaan lahan tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan meningkatkan bahaya erosi. Pengolahan tanah menurut kontur secara umum mengurangi erosi secara efektif terutama bila terjadi hujan lebat dengan intensitas sedang sampai rendah. Pembuatan teras berfungsi mengurangi panjang lereng sehingga kecepatan aliran permukaan bisa dikurangi dan memungkinkan penyerapan air oleh tanah lebih besar, akibatnya erosi menjadi berkurang. (Arsyad, 2010).

(17)

2.3 Metode USLE Sebagai Model Pendugaan Erosi

Pendugaan erosi adalah suatu prediksi besarnya erosi yang dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, topografi dan penggunaan lahan. Untuk kepentingan praktis nilai faktor erosi dapat mengacu pada penelitian dan penerapan rumus empiris yang telah dilakukan di Indonesia, yaitu dengan menggunakan persamaan umum kehilangan tanah USLE (Universal Soil Loss Equation) oleh Wischemeier & Smith (1978) dalam Suripin, 2002. Keunggulan dari metode ini adalah suatu metode pedugaan erosi yang mudah dikelola, relatif sederhana, layak digunakan di daerah tropis dan jumlah parameter yang relatif sedikit dibandingkan dengan metode lainnya yang lebih kompleks parameternya, seperti metode GUEST perlu mengetahui pelepasan butir – butir hujan serta volume aliran permukaan dan metode AGNPS yang memerlukan validasi untuk penerapannya di daerah tropis.

USLE adalah suatu model erosi yang di rancang untuk memprediksi rata – rata erosi jangka panjang dari erosi lembar atau alur dibawah keadaan tertentu. USLE dikembangkan di National Runoff and Soil Loss Data Centre yang didirikan pada tahun 1954 oleh the Science And Education Administration, Amerika Serikat Purdue.

Proyek – proyek penelitian federal dan Negara bagian menyumbangkan lebih dari 10.000 petak tahun data erosi dan aliran permukaan untuk analisis statistic (Wischeimier & Smith, 1978 dalam Suripin, 2002).

Persamaan USLE dapat dinyatakan sebagai berikut : P x C x LS x K x R

E= (2.1)

(18)

Dimana:

E = jumlah tanah hilang (ton/ha/tahun), R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata K = indeks erodibilitas tanah

LS = indeks panjang dan kemiringan lereng C = indeks pengelolaan tanaman

P = indeks upaya konservasi tanah/lahan

2.3.1 Erosivitas Hujan (R)

Kemampuan hujan untuk menimbulkan ataupun menyebabkan erosi pada suatu wilayah dikatakan erosivitas hujan. Faktor penentunya antara lain intensitas hujan, diameter butir-butir hujan, kecepatan jatuhnya butir hujan dan faktor kecepatan angin.

Berdasarkan data curah hujan bulanan maksimum, faktor erosivitas hujan (R) dapat dihitung dengan mempergunakan persamaan Lenvain dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI, Nomor: P. 32/MENHUT-II/2009 sebagai berikut:

36 ,

) 1

( 21 ,

2 m

m Rain

R = (2.2)

Untuk memperoleh nilai R dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

=

= 12m 1Rm

R (2.3) Dimana:

R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata, Rm = Jumlah curah hujan bulanan,

(19)

(Rain)m = curah hujan bulanan (cm).

2.3.2 Erodibilitas Tanah (K)

Erodibilitas Tanah adalah tingkat kepekaan suatu jenis tanah terhadap erosi.

Kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas) tanah dapat didefinisikan sebagai mudah tidaknya suatu tanah tererosi. Erodibilitas tanah dapat juga dikatakan mudah tidaknya tanah untuk dihancurkan oleh kekuatan jatuhnya butir-butir hujan atau oleh kekuatan aliran permukaan. Erodibilitas alami tanah merupakan sifat kompleks yang tergantung pada laju infiltrasi tanah dan kapasitas tanah untuk bertahan terhadap penghancuran agregat (detachment) serta pengangkutan oleh hujan dan aliran permukaan.

Erodibilitas tanah dipengaruhi oleh banyak sifat-sifat tanah, yakni sifat fisik, mekanik, hidrologi, kimia, reologi/litologi, mineralogi dan biologi, termasuk karakteristik profil tanah seperti kedalaman tanah dan sifat-sifat dari lapisan tanah.

Erodibilitas bukan hanya ditentukan oleh sifat-sifat tanah, namun ditentukan pula oleh faktor-faktor erosi lainnya yakni erosivitas, topografi, vegetasi, fauna dan aktivitas manusia. Suatu tanah yang memiliki erodibilitas rendah mungkin akan mengalami erosi yang berat jika tanah tersebut terdapat pada lereng yang curam dan panjang, serta curah hujan dengan intensitas yang tinggi. Sebaliknya tanah yang memiliki erodibilitas tinggi, kemungkinan akan memperlihatkan gejala erosi ringan atau bahkan tidak sama sekali bila terdapat pada lereng yang landai, dengan penutupan vegetasi baik, dan curah hujan dengan intensitas rendah.

(20)

Tabel 2.1 Nilai K untuk berbagai jenis tanah

Orde Sub Orde Great-Group K

Inceptisols (EPT)

Andepts

Dystrandepts 0,320 Eutrandepts 0,250 Hydrandepts 0,320 Tropepts Dystropepts 0,073 Eutropepts 0,073 Aquepts Tropaquepts 0,251 Entisols

(ENT)

Aquents

Hydraquents 0,168 Sulfaquents 0,168 Tropaquents 0,214 Fluvents Troplofluvents 0,215

Sumber : Rauf,2011 dan BPDAS Wampu – Ular – Padang, 2013

2.3.3 Kemiringan Lereng (LS)

Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Unsur lain yang mungkin berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. Semakin miring suatu lahan dan semakin panjang lereng maka erosi akan semakin besar.

Evaluasi garis kontur dari peta DEM-SRTM (Digital Elevation Model-Shuttle Radar Topographic Mission) akan menghasilkan peta kemiringan lereng yang

dianalisis menggunakan perangkat lunak Global Mapper Versi 11.0 dan ArcView 3.3. Dalam pembuatan nilai indeks panjang dan kemiringan lereng (LS) ini hanya ditentukan berdasarkan kemiringan lereng saja (slope). Adapun nilai LS untuk berbagai macam bentuk kelerengan ditentukan pada tabel di bawah ini:

(21)

Tabel 2.2 Nilai LS untuk variasi kemiringan lereng

No

Kemiringan rata- rata

Nilai LS

1 0 - 8% 0,4

2 > 8 % - 15 % 1,4 3 > 15 % - 25 % 3,1 4 > 25 % - 45 % 6,8

5 > 45 % 9,5

Sumber: Arsyad (1989) dan Asdak (1995) dalam Jayusri, 2012

2.3.4 Faktor Tutupan Lahan (C) dan Konservasi Tanah (P)

Faktor C ditunjukan sebagai angka perbandingan yang berhubungan dengan tanah hilang tahunan pada areal yang bervegetasi dengan areal yang sama, jika suatu areal kosong dan ditanami secara teratur, maka niilai faktor C berkisar antara 0,001 pada hutan tak terganggu hingga 1,0 pada tanah kosong yang tidak ditanami.

penentuan Indeks tutupan lahan ini ditentukan dari peta tutupan lahan (landcover) dan keterangan tutupan lahan pada peta sebagai satuan lahan ataupun data yang langsung diperoleh dari lapangan.

Faktor konservasi tanah (P) merupakan tindakan pengawetan yang meliputi usaha-usaha untuk mengurangi erosi tanah yaitu secara mekanis maupun biologis / vegetasi. Nilai P ditentukan berdasarkan tabel indeks konservasi tanah yang dilakukan. Pada kondisi tidak ada usaha pengendalian erosi, diberikan nilai P sama

(22)

dengan 1 dan kurang dari 1 untuk penggunaan lahan dengan penangan secara mekanis (Segel dan Putuhena, 2005 dalam Hasibuan. R, 2009). Indeks penutupan lahan (C) dan Indeks pengolahan lahan atau tindakan konservasi tanah (P) dapat digabung menjadi faktor CP. Tabel di bawah ini menunjukkan Nilai CP untuk berbagai faktor penggunaan lahan.

Tabel 2.3 Nilai CP untuk berbagai faktor penggunaan lahan No Jenis Tata Guna Lahan CP

1 Belukar Rawa 0.010

2 Rawa 0.010

3 Semak/Belukar 0.300

4 Pertanian Lahan Kering Campur 0.190 5 Pertanian Lahan Kering 0.280

6 Perkebunan 0,500

7 Pemukiman 0.950

8 Hutan Lahan Kering Sekunder 0,010 9 Hutan Mangrove Sekunder 0.010 10 Hutan Rawa Sekunder 0.010

11 Hutan Tanaman 0.050

12 Sawah 0,010

13 Tambak 0.001

14 Tanah Terbuka 0.950

Sumber: - Asdak.C, 1995, Rauf, 2011, dan BPDAS WUP, 2013

(23)

Model pendugaan potensi erosi dapat dilihat dari besaran erosi yang dinyatakan dalam jumlah tanah yang hilang dalam ton perhektar pertahun (ton/ha/thn) yang dapat dihitung dengan formula USLE. Tabel 2.4 menunjukkan potensi erosi yang diklasifikasikan telah diusulkan oleh Rauf (2011) seperti berikut ini.

Tabel 2.4 Klasifikasi Erosi Tanah

Kelas Besaran Erosi

(ton/ha/tahun) Keterangan

1 < 15 Sangat

Rendah

2 15 – 60 Rendah

3 60 – 180 Sedang

4 180 – 480 Berat

5 > 480 Sangat Berat Sumber : Abdul Rauf (2011)

2.3.5 Penentuan Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

Teknik pelaksanaan pemetaan TBE dilakukan dengan cara menumpang tindihkan peta kelas erosi (USLE) dan peta kedalaman solum tanah, maka diperoleh sebaran solum tanah yang paling besar dari suatu lahan dan tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan peraturan yang diberikan oleh Menteri Kehutan Republik Indonesia nomor : P.32/MENHUT – II/2009.

Menurut peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Kedalaman tanah merupakan kedalaman tanah efektif yang mencakup tanah pedologis serta batuan

(24)

lapuk, rempah vulkanik dan endapan penutup lainnya. Klasifikasi kedalaman tanah yang akan digunakan diberikan pada tabel 2.5 yang menggambarkan kelas solum tanah dengan deskripsi dan besaran kedalaman tanah yang sesuai dengan kelasnya, semakin dalam solum tanah, maka semakin baik kemampuan tanah dalam menahan erosi tanah.

Tabel 2.5 Klasifikasi Kedalaman Tanah/Solum Tanah

Kelas Deskripsi

Kedalaman Tanah (cm)

0 Dalam > 90

1 Cukup Dalam 60 – 90

2 Cukup Dangkal 30 – 60

3 Dangkal 15 – 30

4

Sangat Dangkal

10 – 15

5 Dangkal Sekali < 10

Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia tahun 2009

Menurut peraturan menteri Kehutanan tahun 2009, bahwa berdasarkan kedalaman tanah efektif (solum tanah) dan klasifikasi tingkat besaran erosi pada suatu unit lahan dapat menentukan tingkat bahaya erosi (TBE) yang memberikan batasan toleransi erosi unit lahan yang masih dapat diizinkan berkisar < 10 ton/ha/tahun, tabel 1.5 memperlihatkan kriteria tingkat bahay erosi (TBE) berdasarkan solum tanah tabel berikut ini.

(25)

Tabel 2.6 Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Erosi Kelas Bahaya Erosi (ton/ha/tahun) Solum Tanah I (<15) II (15-60) III (60-

180)

IV (180-480) V (>480)

Dalam (>90) SR R S B SB

Sedang (60-90) R S B SB SB

Dangkal (30-60) S B SB SB SB

Sangat dangkal (<30) B BS SB SB SB

Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia tahun 2009

Keterangan :

Kelas : 0 – SR : Sangat Ringan 1 – R : Ringan

2 – S : Sedang 3 – B : Bahaya

4 – SB : Sangat Bahaya

2.4 Metode Pengeloaan Daerah Aliran Sungai (DAS) 2.4.1 Metode Konservasi Tanah

Dari komponen – kompenen faktor USLE, adapun komponen yang dapat di kendalikan sebagai usaha pencegahan erosi adalah faktor tutupan lahan (C), faktor konservesi tanah (P), dan faktor topografi (LS), sedangkan komponen erodibilitas tanah (K) umumnya dianggap konstan kendatipun dapat pula berubah tergantung dari perubahan struktur tanah. Perubahan yang lazim terjadi disebabkan oleh aktifitas pengolahan dan pengelolaan lahan seperti aktivitas reklamasi tanah-tanah yang kurus. Dalam hal ini perlu pula disadari bahwa pencegahan erosi secara total adalah

(26)

tidak mungkin dan bahkan dianggap tidak perlu oleh karenanya hal yang dianggap realistik adalah menjaga agar besarnya erosi masi diambang batas.

Mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah adalah cara yang paling efektif dan ekonomis dalam usaha mencegah terjadinya dan meluasnya erosi permukaan pemahaman mekanisme terjadinya erosi sangatlah penting sebagai pengetahuan awal untuk melaksanakan program konservasi tanah. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:

a. Menghindari praktek bercocok tanam yang bersifat menurunkan permeabilitas tanah

b. Mengusahakan agar permukaan tanah sedapat mungkin dilindungi oleh vegetasi berumput atau semak selama dan serapat mungkin

c. Menghindari pembalakan hutan penggembalaan ternak yang berlebihan didaerah dengan kemiringan lereng terjal

d. Merencankan dengan baik pembuatan jalan didaerah rawan erosi atau tanah longsor sehingga aliran air permkaan tidak mengalir ke selokan-selokan ditempat yang rawan tersebut

e. Menerapkan teknik-teknik pengendalian erosi di lahan pertanian dan mengusahakan peningkatan laju infiltrasi.

Dengan memahami proses dan mekanisme terjadinya erosi, suatu tindakan konservasi tanah dapat dilaksanakan dengan mamfaat langsung menurunkan laju erosi. Beberapa usaha yang dapat dirancang antaran lain untuk:

a. Mencegah erosi percikan akibat curahan air hujan langsung

(27)

b. Meningkan kekasaran permukaan tanah untuk menurunkan kecepatan aliran air permukaan

c. Memperpendek panjang lereng dan mengurangi kemiringan lereng, dan dengan demikian mereduksi kekuatan aliran permukaan

d. Memperbesar laju infiltrasi air hujan sehingga dapat memeperkecil jumlah dan kecepatan air larian.

e. Mencegah terkonsentrasinya aliran permukaan membentuk saluran-saluran air yang kondusif terhadap tebentuknya erosi parit.

Faktor tindakan konservasi tanah dan air adalah seluruh bentuk tindakan pengelolaan yang ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan sehingga kegiatan usaha pengelolaan lahan terutama wilayah pertanian dapat dilakukan secara berkelanjutan. Tabel Berikut ini merupakan nilai faktor P berbagai aktivitas konservasi tanah:

Tabel 2.7 Tindakan Khusus Konservasi Tanah Pada Lahan DAS No Tindakan Khusus Konservasi Tanah Nilai

P

1 Terras Bangku :

Kontruksi Baik 0,04

Kontruksi Sedang 0,15

Kontruksi Kurang Baik 0,35

Kontruksi Tradisional 0,40

2 Strip Tanaman Rumput Bahia 0,40

3 Pengolahan Tanah dan Penanaman Menurut Garis

Kontur:

Kemiringan 0% - 8% 0,50

Kemiringan 9% - 20% 0,75

Kemiringan 20% 0,90

4 Tanpa Tindakan Konservasi 1,00

Sumber: Arsyad, 2010

(28)

2.4.2 Metode Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan dalam DAS

Dalam pengelolaan suatu DAS dikenal istilah Payment of Enviromental Service (PES) sebagai suatu transaksi sukarela dimana jasa lingkungan harus dibayar

oleh kurang lebih satu perusahaan pemanfaat dari jasa lingkungan kepada kurang lebih satu penyedia jasa lingkungan di suatu kawasan DAS (Abdul Rauf, 2011), pembayaran jasa lingkungan oleh perusahaan pemanfaat jasa lingkungan merupakan insentif yang diharapkan mampu mendorong pemeliharaan/perubahan/perbaikan lingkungan dalam jangka panjang. Beberapa Negara maju diberbagai benua telah merealisasikan pembayaran jasa lingkungan dan di Indonesia telah ada yang dipelopori oleh PT. Karakatau Steel di serang Banten (DAS Cidanau). Proses pembayaran jasa lingkungan dilakukan dengan cara kontrak antara pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan yang diawali negoisasi untuk masa/priode tertentu dengan memungkinkan dilakukan negoisasi kembali pada akhir priode.

Di Republik Rakyat Cina (RCC), program konversi pertanian lahan miring yang bertujuan mengurangi erosi tanah, kontrak untuk merubah lahan pertanian dan lahan kering (barren lands) yang ditetapkan hingga lebih 50 tahun. Kontrak dapat diwariskan atau ditransfer dan dapat diperpanjang setelah masa berlakunya habis, program ini menjadi perhatian secara luas karena dapat menghasilkan keuntungan ekonomi dan social secara bagi petani yang bersukarela berpartisipasi. Petani bersukarela merubah ketidaksesuaian penggunaan lahannya seperti lahan pertanian dengan kemiringan lereng yang tinggi diubah menjadi hutan dan padang rumput dengan konpensasi petani mendapatkan pembayaran untuk setara pembelian beras

(29)

atau mendapatkan beras bersubsidi (Sun and Liqiao, 2006 dalam Abdul Rauf, 2011).

Sedangkan di Indonesia sendiri telah dilakukan kontrak pembayaran jasa lingkungan berjangka pendek dilakukan oleh PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) di DAS Cidanau.

PT. KTI membayar jasa lingkungan untuk jenis jasa pemanfaatan sumber daya air (water resources) sebagai perusahaan penjernihan air untuk keperluan air baku bagi

perusahaan induknya PT. Krakatau Steel dan perusahaan air yang membutuhkan air bersih di wilayah tersebut, serta untuk sumber air konsumtif bagi warga kota cilegon serang Banten. Pembayaran jasa lingkungan dilakukan dengan landasan sukarela (Voluntary) yang disalurkan melalui Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC).

Pada tahun 2005 – 2006 PT. KTI membayar jasa lingkungan sebesar Rp.

175.000.000 per tahun sehingga total selama dua tahun sebesar Rp. 175.000.000 per tahun sehingga total selama dua tahun sebesar Rp. 350.000.000. pada tiga tahun berikutnya (2007 – 2009) PT. KTI meningkatkan nilai pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp. 200.000.000 per tahun, sehingga total pembayaran selama tiga tahun ini sebesar Rp. 600.000.000. dengan demikian selama lima tahun (2005 – 2009), PT.

KTI telah melakukan pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp. 950.000.000.

Forum komunikasi DAS Cidanau (FKCD) sebagai perantara penerima jasa lingkungan melakukan negosiasi dengan kelompok tani calon penerima (penyedia) jasa lingkungan. Hasil negosiasi dan kesepakatan FKDC dengan kelompok tani penerima (penyedia) jasa lingkungan (seller) sebagai berikut:

a. Kelompok Tani menerima pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp.

1.200.000,- per hektar per tahun dengan masa kontrak 5 tahun.

(30)

b. Kelompok tani wajib menanam dan mempertahankan (tidak menebang) sedikitnya 500 pohon/hektar pada tahun pertama dari 200 pohon/hektar pada akhir tahun ke lima.

c. Apabila salah satu anggota kelompok melanggar ketentuan yang telah disepakati, maka seluruh anggota kelompok tidak akan menerima pembayaran jasa lingkungan yang sudah jatuh tempo (tanggung renteng).

Pembayaran jasa lingkungan oleh PT. KTI ternyata memberikan dampak positif, diantaranya:

a. Kelompok tani menanam dan mempertahankan tegakan pohon melampaui jumlah yang disyaratkan. Kelompok Tani Karya Muda di Desa Citaman misalnya, menanam dan mempertahankan tegakan pohon sebanyak 14.500 batang. Sedangkan kelompok Tani Maju Bersama di Desa Cibojong menanam dan mempertahankan tegakan pohon sebanyak 13.500 batang b. Kelompok Tani mengembangkan usaha berbasis kelompok dengan

melakukan pembenahan jaringan air bersih dan menyepakati tata kelola air bersih dengan menggunakan kas kelompok yang dibangun dari kesepakatan anggota untuk dipotong sebesar 5% dari pembayaran jasa lingkungan yang diterimanya.

Dampak keberhasilan pemanfaatan pembayaran jasa lingkungan ini, pada pertengahan 2010 telah ditandatangani kembali Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan untuk priode ke dua selama 5 tahun (2010 – 2014) antara PT. KTI dengan Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC).

(31)

2.5 Endapan lahan dan Sedimen Sungai Akibat Erosi 2.5.1 Endapan lahan (Deposition Areas)

Menurut Foster dan Meyer (1977) dalam Jain,K.M, 2010 menyatakan bahwa erosi sebagai penyebab timbulnya sedimentasi yang disebabkan oleh air terutama meliputi proses pelepasan (detachment), penghanyutan (transportation), pengendapan (deposition), dan sedimentasi dari partikel-partikel tanah yang terjadi akibat tumbukan air hujan dan aliran air.

Proses sedimentasi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : a. Proses sedimentasi secara geologis

Sedimentasi secara geologis merupakan proses erosi tanah yang berjalan secara normal, artinya proses pengendapan yang berlangsung masih dalam batas- batas yang diperkenankan atau dalam keseimbangan alam dari proses degradasi dan agradasi pada perataan kulit bumi akibat pelapukan.

b. Proses sedimentasi yang dipercepat

Sedimentasi yang dipercepat merupakan proses terjadinya sedimentasi yang menyimpang dari proses secara geologi dan berlangsung dalam waktu yang cepat, bersifat merusak atau merugikan dan dapat mengganggu keseimbangan alam atau kelestarian lingkungan hidup. Kejadian tersebut biasanya disebabkan oleh kegiatan manusia dalam mengolah tanah. Cara mengolah tanah yang salah dapat menyebabkan erosi tanah dan sedimentasi yang tinggi.

Proses pengangkutan sedimen (sediment transport) dapat diuraikan meliputi tiga proses sebagai berikut :

(32)

a. Pukulan air hujan (rainfall detachment) terhadap bahan sedimen yang

terdapat diatas tanah sebagai hasil dari erosi percikan (splash erosion) dapat menggerakkan partikel – partikel tanah tersebut dan akan terangkut bersama-sama limpasan permukaan (overland flow).

b. Limpasan permukaan (overland flow) juga mengangkat bahan sedimen yang terdapat di permukaan tanah, selanjutnya dihanyutkan masuk kedalam alur-alur (rills), dan seterusnya masuk kedalam selokan dan akhirnya ke sungai.

c. Pengendapan sedimen, terjadi pada saat kecepatan aliran yang dapat mengangkat (pick up velocity) dan mengangkut bahan sedimen mencapai kecepatan pengendapan (settling velocity) yang dipengaruhi oleh besarnya partikel-partikel sedimen dan kecepatan aliran.

Menurut Meyer dan Wischmeier,1969 dalam Jain Kumar, 2010 menyatakan bahwa angkutan sedimen itu sama dengan besaran erosi tanah yang terjadi pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tergantung pada kapasitas angkutan sedimen yang akan mengaliri erosi tersebut, sehingga Meyer dan wischmeier menggambarkan proses pengaliran erosi tanah dari hulu menuju hilir dengan bantuan grid – grid di setiap sub DAS yang berakhir pada outlet dibagian hilir yang terdekat dengan sungai. Penggambaran grid tersebut diperlihatkan pada gambar 2.1 berikut ini.

(33)

Gambar 2.1 Skema penyajian grid dari suatu DAS (Jain,K.M, 2010)

Penyaluran sedimen dari hulu DAS hingga hilir DAS (Outlet) dilakukan dengan pemberian grid – grid di luasan DAS yang akan di tinjau, dengan membuat homogenitas besaran erosi pada masing – masing grid, selanjutnya di buatkan alur angkutan sedimen dri grid hulu menuju grid hilir yang berikutnya. Proses angkutan erosi tanah ini berdasarkan kapasitas angkutan sedimen dari suatu grid.

Kapasitas angkutan sedimen merupakan kemampuan suatu aliran untuk mengalirkan butiran tanah akibat erosi dari suatu daerah ke daerah lainnya berdasarkan dengan jenis vegatasi yang akan dilalui aliran tersebut serta pengaruh kemiringan lerengnya.

Verstraten, dkk 2007 dalam Jain,K.M, 2010 memberikan suatu persamaan untuk memprediksi rata – rata kapasitas angkutan sedimen di suatu lahan adalah sebagai berikut:

44 , 1 44 , 1

i si i TC

i K RK A S

TC = i (2.4)

(34)

Dimana:

KTCi = koefisien kapasitas angkutan sedimen (kg/m2 i = iterasi tiap grid

/tahun)

Si = sebaran kemiringan lereng.

Koefisien vegetasi berdasarkan jenis kelas vegetasi yang terjadi pada masing – masing grid berdasarkan Normalized deifference vegetation index (NDVI) berdasarkan Kidwell, 1990. Jenis kelas vegatasi dan indeks vegetasi di perlihatkan pada tabel berikut ini.

Tabel 2.8 Indeks Vegetasi lahan Kelas

Vegetasi

NDVI Sangat Buruk -1

Buruk -0,5

Sedang 0

Baik 0,5

Sangat Baik 1

Sumber : BPDAS Wampu–Ular–Padang 2012

Persamaan koefisien merupakan fungsi eksponensial dari NDVI di suatu daerah diperlihatkan pada persamaan yang diberikan oleh (Kidwell, 1990) dalam Jain,K.M, 2010 berikut ini.





= −

NDVI K NDVI

TCi

exp 1

β*

(2.5)

Dimana : ß adalah normalisasi kalibrasi berdasarkan indeks vegetasi yang diberikan pada gambar 2.2 berikut ini.

(35)

Gambar 2.2 Usulan hubungan fungsional dari KTC dengan NDVI (Jain,K.M, 2010)

Meyer dan Wischmeier 1969 dalam Jain,K.M, 2010 menyatakan:

1. jika besaran erosi tanah (SE) yang terjadi lebih besar dari kapasitas angkutan sedimen (TCi

Di = SEi – TC

) pada area grid hulu, maka akan terjadi endapan (D) pada grid sebesar :

i

Maka erosi yang tertinggal sama dengan endapan yang terjadi pada grid (SE = D)

(2.6)

Angkutan sedimen keluar (Touti

T

) yang keluar melalui alur ke grid hilir yang terdekat sesuai dengan alur angkutan sebesar :

outi = TCi

(2.7)

(36)

Angkutan sedimen yang keluar dari grid hulu tersebut akan bergabung menjadi besaran erosi tanah pada grid hilir yang terkoneksi berdasarkan alur yang direncanakan, maka total erosi tanah pada grid hilir adalah :

Total SEhilir = SEi(hilir) + ∑Touti(hulu)

2. jika besaran erosi tanah (SE) yang terjadi lebih kecil dari kapasitas angkutan sedimen (TC

(2.8)

i

Di = 0

) pada area grid hulu, maka akan tidak terjadi endapan (D) atau erosi akan keluar semua dari grid :

Angkutan sedimen keluar (T

(2.9)

outi

T

) yang keluar melalui alur ke grid hilir yang terdekat sesuai dengan alur angkutan sebesar :

outi = SEi

Angkutan sedimen yang keluar dari grid hulu tersebut akan bergabung menjadi besaran erosi tanah pada grid hilir yang terkoneksi berdasarkan alur yang direncanakan, maka total erosi tanah pada grid hilir adalah:

(2.10)

Total SEhilir = SEi(hilir) + ∑Touti(hulu) (2.11)

2.5.2 Nisabah Pelepasan Sedimen Akibat Erosi

Dampak dari erosi permukaan akan menyebabkan sedimentasi di sungai yang dapat mengurangi daya tamping dari sungai tersebut. Sejumlah bahan erosi yang dapat mengalami secara penuh hingga mencapai titik control sediment yield dinamakan hasil sedimen. Hasil sedimen tersebut dinyatakan dalam satuan berat (ton) atau satuan volume (m3) yang merupakan fungsi luas daerah pengaliran. Atau

(37)

dapat juga dikatakan hasil sedimen adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada priode waktu dan tempat tertentu. (Asdak C, 2007)

Butiran tanah yang terangkut oleh air dari dari suatu lahan yang mengalami erosi dari suatu daerah aliran sungai (DAS) secara umum disebut sedimen, (Arsyad, 2010). Sedimen yang terbawa masuk ke badan air hanya sebagian saja dari tanah yang tererosi. Sebagian lagi dari tanah yang terbawa erosi akan mengendap pada suatu tempat dibagian bawah tempat dibagian bawah tempat erosi pada DAS tersebut yang dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang dapat menghambat angkutan erosi. Nisbah antara jumlah sedimen yang terangkut ke dalam sungai terhadap jumlah erosi yang terjadi didalam DAS disebut Sediment Delivery Ratio (SDR) atau Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS).

Apabila NPS mendekati nilai satu yang berarti semua tanah akibat erosi terangkut masuk ke dalam sungai. Kejadian ini hanya mungkin terjadi pada DAS yang kecil dan tidak memiliki daerah – daerah datar, tetapi memiliki lereng yang curam, banyak butiran – butiran halus (liat) yang terangkut, memiliki kerapatan drainase yang tinggi, atau secara umum dikatakan tidak memiliki sifat yang cendrung menyebabkan pengendapan sedimen diatas lahan DAS tersebut. Dari hasil penelitian empirik telah diumumkan beberapa persamaan SDR sebagai berikut:

3 ,

41 0

,

0

= A

SDR

Yang menyatakan A adalah luas DAS (Boyce 1975 dalam Arsyad, 2010).

(2.12)

2 ,

385 0

, 0 02 ,

0 +

= A

SDR (2.13)

(38)

Yang menyatakan A adalah luas DAS (Auerswald, 1992 dalam Arsyad, 2010).

Robinson 1979 dalam Arsyad 2010 juga memberikan nilai pelepasan sedimen terhadap luas daerah aliran sungai dalam tabel 2.9 berikut ini.

Tabel 2.9 Pengaruh daerah aliran sungai (DAS) terhadap nisbah pelepasan sedimen Luas Daerah Aliran Sungai (km2) NPS/SDR (%)

0,1 53,0

0,5 39,0

1,0 35,0

5,0 27,0

10,0 24,0

50,0 15,0

100,0 13,0

200,0 11,0

500,0 8,5

26.000,0 4,9

Besar perkiraan harga sedimen sungai akibat erosi menurut Asdak C, 2007 dapat ditentukan berdasarkan persamaan sebagai berikut:

Ws

SDR E

Y= ( ) (2.14)

Dimana:

Y = Hasil sedimen per satuan luas (ton/tahun) E = Besaran erosi tanah (ton/ha/tahun)

Ws

SDR = Sediment delivery ratio (Nisbah pelepasan sedimen) (%) = Luas Daerah Aliran Sungai (ha)

Hasil sedimen tersebar disepanjang sungai yang berada pada DAS yang menyebabkan daya tampung dari sungai tersebut menurun, jika tidak segera

(39)

melakukan suatu tindakan serius pada penampang sungai tersebut, maka dikhawatirkan daerah sempadan sungai akan terjadi banjir yang menyebabkan kerusakan infrastruktur yang berada di sekitar kawasan sempadan sungai. Adapun salah satu cara untuk mencegahnya dengan melakukan pengerukan pada sungai ataupun mengembalikan kapasitas daya tampung dari sungai tersebut, tetapi proses pengerukan sungai ini memerlukan biaya yang tidak murah. Berikut ini dipaparkan biaya pengerukan sungai yang sesuai dengan galian C/galian lumpur sedimen dalam m3 berdasarkan rekapitulasi biaya pengerukan muara sungai dengan harga satuan per m3

Langkah pertama yang perlu diketahui adalah bahwa sedimen hasil erosi merupakan benda yang merupakan partikel, baik yang berasal dari daratan maupun sungai. Salah satu sifat dari partikel ini adalah berat jenisnya (specific gravity) yang relatif tetap. Untuk tanah umumnya nilai kerapatan jenisnya adalah 2,65 g/cm

untuk penggalian tanah menggunakan alat berat sebesar Rp. 15.800,00 (Pedoman Analisa Harga Satuan (AHSP) bidang pekerjaan umum, BALITBANG PU, hal: 258), maka dapat diperkirakan biaya yang akan dikeluarkan untuk normalisasi sungai yang berada pada DAS Deli akibat sedimen yang berasal dari erosi tanah yang tertimbang dari DAS tersebut.

3, untuk sedimen melayang (suspended load) kerapatan jenisnya berkisar 1,60 g/cm3, sedangkan sedimen dasar (bed load) umumnya memiliki kerapatan jenis berkisar 2,0 g/cm3 . Sifat lain dari tanah yang juga relatif tetap dan mudah diukur adalah kerapatan isi atau berat volume (bulk density). Nilai kerapatan jenis untuk tanah bervariasi antara 0,85 -- 2 g/cm3, tergantung dari beberapa sifat tanah seperti tekstur,

(40)

struktur, kandungan bahan organik, dan kandungan mineral di dalam tanah. Untuk tanah-tanah pertanian yang sering diolah, nilai berat isinya sekitar 1,2 g/cm3

2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) (Afandi,2008).

2.6.1 Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis (SIG) adalah sebuah sistem atau teknologi berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisa, serta menyajikan data atau informasi dari suatu obyek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadaannya di permukaan bumi (Ekadinata, 2008), maka Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diartikan sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memangggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospasial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya. Bagi para penggunanya, SIG tidak hanya mampu menampilkan informasi tentang suatu lokasi, tetapi lebih dari itu dapat digunakan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang akan terjadi. Sistem Informasi Geografis sangat dibutuhkan karena untuk data spatial penanganannya sangat sulit terutama karena peta dan data statistik cepat kadaluarsa sehingga tidak ada pelayanan penyediaan data dan informasi yang diberikan menjadi tidak akurat.

(41)

Penjabaran definisi Sistem Informasi Geografis seperti berikut ini:

1. Sistem adalah kumpulan dari sejumlah komponen yang saling terkait dan memiliki fungsi satu sama lain

2. Informasi adalah data yang dapat memberikan keterangan tentang sesuatu.

3. Geografis adalah segala sesuatu tentang gejala atau fenomena di permukaan bumi yang bersifat keruangan.

4. Sistem Informasi adalah suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dari pengumpulan data, manipulasi, pengelolaan dan analisis serta menjabarkannya sehingga menjadi keterangan.

5. Informasi Geografis adalah keterangan mengenai ruang atau tempat-tempat serta gejala-gejala dan fenomena yang terjadi dalam ruang tersebut di permukaan bumi.

Menurut ESRI (Environment System Research Institute 1990), secara sederhana SIG diartikan sebagai suatu sistem komputer yang mampu menyimpan dan menggunakan data yang menggambarkan lokasi di permukaan bumi. Definisi tersebut dengan tegas menyebutkan sistem komputer sebagai bagian yang tak terpisahkan dari SIG, sehingga jika berbicara SIG kita tidak lepas dari komputer, baik hardware maupun softwarenya. Dalam definisi tersebut. SIG tidak hanya sebagai sistem tetapi juga sebagai teknologi.

Sistem Informasi Geografis dibagi menjadi dua kelompok yaitu sistem manual (analog), dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer). Perbedaan yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaannya. Sistem Informasi manual

(42)

biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik dan laporan survey lapangan.

Kesemua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa komputer. Sedangkan SIG otomatis telah menggunakan komputer sebagai sistem pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang terdigitasi. Gambar 2.3 memperlihatkan ilustrasi sistem informasi geografis.

Gambar 2.3 Ilustrasi Sistem Informasi Geografis (SIG) (Ekadinata, 2008)

Komponen utama Sistem Informasi Geografis dapat dibagi kedalam 4 komponen utama yaitu: perangkat keras (digitizer, scanner, Central Procesing Unit / CPU, hard-disk, dan lain-lain), perangkat lunak (ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, dan lain-lain).

2.6.2 Komponen Sistem Informasi Geografis (SIG) obyek

Deskrips i Obyek

Informasi Lokasi

(43)

Komponen utama yang membangun SIG adalah perangkat lunak, perangkat keras, data, pengguna dan aplikasi (Ekadinata, 2008), komponen tersebut dapat diilustrasikan dalam Gambar 2.4 berikut ini.

Gambar 2.4 Komponen Sistem Informasi Geografis (SIG) (Ekadinata, 2008) Sistem komputer untuk SIG terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak dan prosedur untuk penyusunan pemasukan data, pengolahan, analisis, pemodelan, dan penayangan data geospatial. Setiap data yang merujuk lokasi di permukaan bumi dapat disebut sebagai data spasial bereferensi geografis. Misalnya data kepadatan penduduk suatu daerah, data jaringan jalan suatu kota, data distribusi lokasi pengambilan sampel, dan sebagainya. Data SIG dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu data grafis dan data atribut atau tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi. Sedangkan data tabular adalah data deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut. Berikut penjelasan mengenai komponen SIG.

2.6.3 Data Sistem Informasi Geografis (SIG)

(44)

Data geografis (Gambar 2.5) pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial merepresentasikan posisi atau lokasi geografis dari suatu obyek di permukaan bumi, sedangkan data atribut memberikan deskripsi atau penjelasan dari suatu obyek. Data atribut dapat berupa infomasi numerik, foto, narasi dan lain sebagainya, yang diperoleh dari data statistik, pengukuran lapangan sensus dan lain sebagainya. Data spasial dapat diperoleh dari berbagai sumber dan dalam berbagai format, sumber data spasial antara lain mencakup data grafis peta analog, foto udara, citra satelit, surver lapangan, pengukuran theodolit, pengukuran menggunakan global positioning systems (GPS).

Gambar 2.5 Sumber Data Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) (Ekadinata, 2008)

a. Perangkat Keras (Hardware)

(45)

SIG membutuhkan komputer untuk penyimpanan dan pemproresan data.

Ukuran dari sistem komputerisasi bergantung pada tipe SIG itu sendiri. SIG dengan skala yang kecil hanya membutuhkan PC (personal computer) yang kecil dan sebaliknya. Ketika SIG yang di buat berskala besar di perlukan spesifikasi komputer yang besar pula serta host untuk client machine yang mendukung penggunaan multiple user.

Hal tersebut disebabkan data yang digunakan dalam SIG baik data vektor maupun data raster penyimpanannya membutuhkan ruang yang besar dan dalam proses analisanya membutuhkan memori yang besar dan prosesor yang cepat. Untuk mengubah peta ke dalam bentuk digital diperlukan hardware yang disebut digitizer.

b. Perangkat Lunak (Software)

Dalam pembuatan SIG di perlukan software yang menyediakan fungsi tool yang mampu melakukan penyimpanan data, analisis dan menampilkan informasi eografis. Dengan demikian, elemen yang harus terdapat dalam komponen software SIG adalah:

a. Tool untuk melakukan input dan transformasi data geografis b. Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)

c. Tool yang mendukung query geografis, analisa dan visualisasi

d. Graphical User Interface (GUI) untuk memudahkan akses pada tool geografi.

(46)

Inti dari software SIG adalah software SIG itu sendiri yang mampu menyediakan fungsi-fungsi untuk penyimpanan, pengaturan, link, query dan analisa data geografi.

Beberapa contoh software SIG adalah ArcView, MapInfo, ArcInfo untuk SIG; CAD sistem untuk entri grafik data; dan ERDAS serta ER-MAP untuk proses remote sensing data. Modul dasar perangkat lunak SIG: modul pemasukan dan pembetulan data, modul penyimpanan dan pengorganisasian data, modul pemrosesan dan penyajian data, modul transformasi data, modul interaksi dengan pengguna (input query).

c. Sumberdaya Manusia (User)

Teknologi SIG menjadi sangat terbatas kemampuanya jika tidak ada sumberdaya yang mengelola sistem dan mengembangkan untuk aplikasi yang sesuai.

Pengguna dan pembuat system harus saling bekerja sama untuk mengembangkan tekhnologi SIG.

2.6.4 Model Data Spasial

Perkembangan pemanfaatan data spasial dalam dekade belakangan ini meningkat dengan sangat drastis. Hal ini berkaitan dengan meluasnya pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan perkembangan teknologi dalam memperoleh, merekam dan mengumpulan data yang bersifat keruangan (spasial). Teknologi tinggi seperti GPS (Global Positioning System) dan Penginderaan Jauh (remote sensing) telah membuat perekaman data spasial digital relatif lebih cepat dan mudah.

(47)

Kemampuan penyimpanan yang semakin besar, kapasitas transfer data yang semakin meningkat dari perkembangan teknologi informasi.

Sistem informasi atau data yang berbasiskan keruangan pada saat ini merupakan salah satu elemen yang paling penting, karena berfungsi sebagai pondasi dalam melaksanakan dan mendukung berbagai macam aplikasi. Sebagai contoh dalam bidang lingkungan hidup, perencanaan pembangunan, tata ruang, manajemen transportasi, pengairan, sumber daya mineral, sosial dan ekonomi, dan lain-lain. Oleh karena itu berbagai macam organisasi dan institusi menginginkan untuk mendapatkan data spasial yang konsisten, tersedia serta mempunyai aksesibilitas yang baik. Terutama yang berkaitan dengan perencanaan ke depan, data geografis masih dirasakan mahal dan membutuhkan waktu yang lama untuk memproduksinya Beberapa tahun belakangan ini banyak negara yang telah melakukan investasi dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan sistem informasi. Terutama dalam penggunaan, penyimpanan,proses, analisis dan peyebaran suatu informasi.

a. Pengertian Data Spasial

Data spasial mempunyai pengertian sebagai suatu data yang mengacu pada posisi, obyek, dan hubungan diantaranya dalam ruang bumi. Data spasial merupakan salah satu item dari informasi, dimana di dalamnya terdapat informasi mengenai bumi termasuk permukaan bumi, dibawah permukaan bumi, perairan, kelautan dan bawah atmosfir. Data spasial dan informasi turunannya digunakan untuk menentukan posisi dari identifikasi suatu elemen di permukaan bumi.

(48)

Karakteristik utama dari data spasial adalah bagaimana mengumpulkannya dan memeliharanya untuk berbagai kepentingan. Selain itu juga ditujukan sebagai salah satu elemen yang kritis dalam melaksanakan pembangunan sosial ekonomi secara berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan. Berdasarkan perkiraan hampir lebih dari 80 % informasi mengenai bumi berhubungan dengan iinformasi spasial.

Perkembangan teknologi yang cepat dalam pengambilan data spasial telah membuat perekaman terhadap data berubah menjadi bentuk digital, selain itu relatif cepat dalam melakukan prosesnya. Salah satunya perkembangan teknologi yang berpengaruh terhadap perekeman data pada saat ini adalah teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Global Positioning System (GPS).

b. Sumber Data Spasial

Data spasial dapat dihasilkan dari berbagai sumber, diantaranya adalah:

1. Citra Satelit, data ini menggunakan satelit sebagai wahananya. Satelit tersebut menggunakan sensor untuk dapat merekam kondisi atau gambaran dari permukaan bumi. Umumnya diaplikasikan dalam kegiatan yang berhubungan dengan pemantauan sumber daya alam di permukaan bumi (bahkan ada beberapa satelit yang sanggup merekam hingga dibawah permukaan bumi), studi perubahan lahan dan lingkungan, dan aplikasi lain yang melibatkan aktifitas manusia di permukaan bumi.

2. Peta Analog, sebenarnya jenis data ini merupakan versi awal dari data spasial, dimana yang mebedakannya adalah hanya dalam bentuk penyimpanannya saja. Peta analago merupakan bentuk tradisional dari data

(49)

spasial, dimana data ditampilkan dalam bentuk kertas atau film. Oleh karena itu dengan perkembanganteknologi saat ini peta analog tersebut dapat di scan menjadi format digital untuk kemudian disimpan dalam basis data.

3. Foto Udara (Aerial Photographs), merupakan salah satu sumber data yang banyak digunakan untuk menghasilkan data spasial selain dari citra satelit.

Perbedaannya dengan citra satelit adalah hanya pada wahana dan cakupan wilayahnya. Biasanya foto udara menggunakan pesawat udara. Secara teknis proses pengambilan atau perekaman datanya hampir sama dengan citra satelit. Sebelum berkembangan teknologi kamera digital, kamera yang digunakan adalah menggunakan kamera konvensional menggunakan negatif film, saat ini sudah menggunakan kamera digital, dimana data hasil perekaman dapat langsung disimpan dalam basis data. Sedangkan untuk data lama (format foto film) agar dapat disimpan dalam basis data harus dilakukan conversi dahulu dengan mengunakan scanner, sehingga dihasilkan foto udara dalam format digital.

4. Data Tabular, data ini berfungsi sebagai atribut bagi data spasial. Data ini umumnya berbentuk tabel. Salah satu contoh data ini yang umumnya digunakan adalah data sensus penduduk, data sosial, data ekonomi, dan lain-lain. Data tabulan ini kemudian di relasikan dengan data spasial untuk menghasilkan tema data tertentu.

(50)

5. Data Survei (Pengamatan atau pengukuran di lapangan), data ini dihasilkan dari hasil survei atau pengamatan dilapangan. Contohnya adalah pengukuran persil lahan dengan menggunakan metode survei terestris.

2.6.5 Pengenalan Perangkat Lunak Arcview 2.6.5.1 Gambaran Arcview

Arcview merupakan salah satu software dalam sistem informasi geografis (SIG) yang sering digunakan orang yang memiliki kemampuan menyimpan, menyajikan, memanipulasi dan merubah suatu data yang berkaitan dengan geografis bumi. Arcview sendiri merupakan generasi ke 2 setelah mapinfo yang dikembangkan oleh Environmental Systems Research Institute (ESRI). ArcView dapat melakukan pertukaran data, operasi-operasi matematik, menampilkan informasi spasial maupun atribut secara bersamaan, membuat peta tematik, menyediakan bahasa pemograman (script) serta melakukan fungsi-fungsi khusus lainnya dengan bantuan extensions (ESRI, 1996). Saat ini ESRI telah mengeluarkan tiga seri ArcView yaitu ArcView 3.1, ArcView 3.2 dan ArcView 3.3 dimana setiap pengeluaran seri terbaru dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan didalamnya.

Untuk menjalankan software arcview ini sebelumnya user harus melakukan penginstalan terhadap software arcview ini, berikut ini tampilan shortcut arcview 3.3 setelah software di install.

Gambar

Tabel 2.1 Nilai K untuk berbagai jenis tanah
Tabel 2.3 Nilai CP untuk berbagai faktor penggunaan lahan  No  Jenis Tata Guna Lahan  CP
Tabel 2.5 Klasifikasi Kedalaman Tanah/Solum Tanah
Tabel 2.7 Tindakan Khusus Konservasi Tanah Pada Lahan DAS  No  Tindakan Khusus Konservasi Tanah  Nilai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aspek-aspek yang diamati dalam observasi guru pada siklus I dan siklus II meliputi:(1) membuka pembelajaran dengan salam dan mengajak siswa berdoa, (2) mengabsen

Setelah berhasil, maka pada sistem akan muncul halaman home yang berfungsi untuk melihat absensi dari student labor tersebut.. Lalu, data tersebut dengan otomatis akan tersimpan

Full costing merupakan metode penetuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi kedalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya

Kepatuhan. 5) Dalam hal terdapat perubahan informasi yang cenderung bersifat cepat ( prone to rapid change ) antara lain terkait perubahan kondisi ekonomi,

Pada Gambar 2 terjadi penurunan drastis nilai elongasi film PVA-kitosan, elongasi film PVAmurni (PVA : kitosan = 1 : 0) dari 62 menjadi sekitar 5% dengan penambahan kitosan 25 mL

- Melakukan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Komunikasi dan Informatika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.. 2.6

Melalui PMR (Pendidikan Matematika Realistik) yang berbasis ethnomathematics, siswa diharapkan dapat lebih mengembangkan kreativitasnya dengan memahami implementasi matematika

Proses belajar pendidikan jasmani merupakan suatu peristiwa belajar yang dilakukan oleh seluruh siswa dan siswi di sekolah, di mana dalam pelaksanaannya diperlukan adanya suatu